Yang Berhak Menerima Zakat #7
Ibnu Sabil (Musafir yang Kehabisan Bekal)
Secara bahasa ibnusabil adalah musafir. Karena ibnu bermakna anak, sedangkan sabil bermakna jalan. Musafir dinamakan ‘ibnusabil’, karena ia senantiasa berada di jalan. Penyifatan sesuatu sebagai ‘anak’ dari sesuatu yang senantiasa ia sertai sangatlah lumrah dalam tata bahasa Arab, sebagaimana dikatakan ‘waladul lail/anak malam’ untuk orang yang senantiasa keluar di waktu malam. ([1])
Adapun secara istilah, maka dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah,
وَابْنُ السَّبِيلِ هُوَ الْمُسَافِرُ الَّذِي لَيْسَ لَهُ مَا يَرْجِعُ بِهِ إلَى بَلَدِهِ، وَلَهُ الْيَسَارُ فِي بَلَدِهِ، فَيُعْطَى مَا يَرْجِعُ بِهِ.
“Ibnu sabil adalah musafir yang tidak memiliki (harta) untuk membekali kepulangannya ke negara asalnya, sementara dia merupakan orang yang mampu di negaranya. Maka dia diberikan sekadar apa yang mencukupinya sebagai bekal untuk kembali ke negaranya.”([2])
Ada 2 kelompok yang dimasukkan oleh para ulama ke dalam kategori ibnu sabil, yang sebagian disepakati akan kebolehannya untuk mendapatkan bantuan dari harta zakat dan sebagian lagi diperselisihkan, di antaranya adalah:
- Musafir yang kehabisan bekal
Yaitu musafir yang kehabisan bekal di pertengahan safarnya dan tidak memiliki cukup harta untuk melanjutkan perjalanannya. Kelompok ini adalah yang disepakati oleh para ulama akan kebolehannya untuk mendapatkan bantuan dari harta zakat, walaupun di tempat asalnya ia adalah orang yang kaya.([3])
- Orang yang baru memulai safar (dia masih berada di negaranya) namun tidak memiliki bekal.
Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i([4]), dan tidak disetujui oleh mayoritas ulama lainnya. Karena seseorang yang baru akan bersafar belum dikatakan sebagai seorang musafir, dan ini bertentangan dengan makna dari ibnu sabil, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Syarat-syarat
- Muslim, bukan termasuk ahlulbait.
- Tidak ada harta yang dimiliki saat itu.
- Bukan safar maksiat.
Apakah ibnu sabil harus mencari pinjaman terlebih dahulu, kemudian jika ia tidak menemukan pinjaman barulah ia boleh menerima harta zakat?
Tidak disyaratkan hal tersebut menurut mayoritas ulama([5]), walaupun mazhab Hanafi mengatakan ia dianjurkan untuk berutang terlebih dahulu selagi mampu.([6]) Hal ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya :
- Keumuman firman Allah ﷻ,
﴿۞إِنَّمَا ٱلصَّدَقَٰتُ لِلۡفُقَرَآءِ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱلۡعَٰمِلِينَ عَلَيۡهَا وَٱلۡمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمۡ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَٱلۡغَٰرِمِينَ وَفِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۖ فَرِيضَةٗ مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٞ ﴾
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah: 60)
Sisi pendalilannya bahwa dalam ayat ini tidak ada keterangan yang mensyaratkan ketidakmampuan berutang.
- Pensyaratan utang ini memberatkan bagi musafir tersebut, karena itu membuatnya terbebani tanggungan untuk melunasinya.
Bagian yang didapatkan dari zakat
Ibnu sabil berhak mendapatkan harta zakat sekadar kebutuhan safarnya, tidak lebih.([7])
Footnote:
________
([1]) Lihat: Lisanul Arab, karya Ibnu Manzhur (11/320).
Bahkan ini juga sering digunakan dalam Bahasa Indonesia, seperti perkataan masyarakat, “Anak kompleks”, “Anak jalanan”, “Anak-anak motoran”, dll
([2]) Lihat: Al-Mughni (6/484).
([3]) Lihat: Al-Mughni (6/484).
([4]) Lihat: Al-Majmu’ (6/214).
([5]) Kecuali mazhab Maliki yang mewajibkannya untuk mencari pinjaman terlebih dahulu.
Al-Qarafi membawakan perkataan Abu Thahir (ulama mazhab Maliki):
شُرُوطُ ابْنِ السَّبِيلِ ثَلَاثَةٌ أَنْ يَكُونَ سَفَرُهُ غَيْرَ مَعْصِيَةٍ وَأَنْ يَكُونَ فَقِيرًا فِي الْمَوْضِعِ الَّذِي هُوَ فِيهِ وَأَن لَا يَجِدَ مَنْ يُسْلِفُهُ
“Syarat-syarat ibnusabil ada tiga: (1) safarnya bukan maksiat, (2) dia fakir di tempat safarnya, dan (3) tidak mendapatkan orang yang meminjamkannya uang.”
“Syarat-syarat ibnu sabil ada tiga: safarnya bukanlah safar maksiat, dia harus orang yang fakir ketika safar, dan tidak ada yang meminjamkannya.” [Lihat: Adz-Dzakhirah, karya Al-Qarafi (3/149)]
([6]) Lihat: Fahul Qadir (2/265) dan Al-Majmu’ (6/216).
([7]) Lihat: Tabyin al-Haqa’iq Syarh Kanz ad-Daqa’iq, karya Az-Zayla’i (1/298).