Yang Berhak Menerima Zakat #5
Gharim (orang yang terlilit hutang)
Gharim dibagi menjadi 3 kelompok:
- Orang yang terlilit utang untuk kepentingannya sendiri.
Para ulama sepakat bahwa kategori ini berhak mendapatkan zakat, akan tetapi para ulama mensyaratkan beberapa syarat, sebagaimana yang disebukan oleh al-Ghazali:
أَنْ يَكُوْنَ الدَّيْنُ حَالًّا وَالسَّبَبُ الَّذِي فِيهِ الاسْتِقْرَاضُ مُبَاحًا وَأَنْ يَكُوْنَ هُوَ مُعْسِرًا
“(1) Utang tersebut telah jatuh tempo pada saat penerimaan zakat, (2) Sebab dia berutang adalah sebab berutang yang dibolehkan, (3) Dan dia termasuk orang yang kesulitan.” ([1])
Maka tidak termasuk dalam hal ini adalah utang yang sifatnya jauh temponya, karena dia tidak membutuhkan harta tersebut pada saat itu juga.
Utang karena sebab kemaksiatan juga tidak berhak untuk diberikan harta zakat, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah,
لَكِنْ إنْ غَرِمَ فِي مَعْصِيَةٍ، مِثْلُ أَنْ يَشْتَرِيَ خَمْرًا، أَوْ يَصْرِفَهُ فِي زِنَاءٍ أَوْ قِمَارٍ أَوْ غِنَاءٍ وَنَحْوِهِ، لَمْ يُدْفَعْ إلَيْهِ قَبْلَ التَّوْبَةِ شَيْءٌ؛ لِأَنَّهُ إعَانَةٌ عَلَى الْمَعْصِيَةِ
“Namun, jika ia berutang karena kemaksiatan seperti membeli khamar, menggunakannya untuk zina, perjudian, musik, dan yang semisalnya, maka tidak diberikan sedikit pun kepadanya sebelum ia bertobat, karena (memberikan harta zakat kepadanya) termasuk bentuk menolongnya dalam kemaksiatan.” ([2])
Bahkan dikatakan oleh al-Mardawi (salah satu ulama mazhab Hanbali) bahwa ini adalah perkara yang disepakati dan tidak ada perselisihan di dalamnya. ([3])
Begitu juga utang karena sebab menghambur-hamburkan harta, maka tidak mendapatkan harta zakat, karena menghambur-hamburkan harta adalah terlarang dalam Islam, sebagaimana yang Allah firmankan,
﴿وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا. إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ﴾
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan.” (QS. Al-Isra’: 26-27)
Al-Mawardi berkata ketika menjelaskan jenis ini,
كَرَجُلٍ بَذَّرَ فِي الشَّهَوَاتِ وَاللَّذَّاتِ وَأَسْرَفَ فِي الصِّلَاتِ وَالْهِبَاتِ لَا فِي بِرٍّ وَلَا تَقْوَى فَهَذَا لَا يُعْطَى مِنْ سَهْمِ الْغَارِمِينَ، وَلَهُ مَا يَقْدِرُ عَلَى قَضَاءِ دَيْنِهِ مِنْهُ مِنْ نَاضٍّ أَوْ عَقَارٍ، لِأَنَّهُ مَمْنُوعٌ مِنَ التَّبْذِيرِ،
“Seperti seseorang menghamburkan hartanya untuk syahwat dan kelezatan (dunia), atau berlebihan dalam loyalitas dan royalitas tanpa dasar niat kebaikan atau pun ketakwaan, maka ini tidak termasuk dalam golongan gharim (orang yang berutang yang mendapatkan harta zakat) dan dia wajib membayar utangnya dengan hartanya yang berkembang (cash) ataupun tidak (properti dan yang semacamnya), karena dia terhalang (dari mendapatkan zakat) disebabkan perbuatan foya-foyanya.”([4])
Selain itu juga, zakat tidak diberikan kepada orang yang kaya yang mampu membayar utang-utangnya. Diantaranya seseorang yang terlilit hutang meskipun tidak memiliki uang cash akan tetapi asetnya banyak yang bisa ia jual, maka orang ini termasuk orang kaya. Hendaknya ia menjual asetnya untuk melunasi hutangnya dan tidak boleh dikasih zakat.
- Orang yang berutang untuk ishlah dzatul bayn (mendamaikan perselisihan).
Yang dimaksud adalah orang yang menanggung utang dengan tujuan mendamaikan dua pihak yang bersengketa, seperti orang yang menanggung diyat pembunuhan demi mendamaikan dua suku.
Kategori ini berhak mendapatkan bantuan dari harta zakat walaupun dia orang yang kaya, baik kekayaannya berupa harta yang berkembang (cash) ataupun tidak (properti dan yang semacamnya) ([5]). Hal ini berdasarkan hadis Qabishah bin Mukhariq,
تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا، فَقَالَ: أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا، قَالَ: ثُمَّ قَالَ: يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ، تَحَمَّلَ حَمَالَةً، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكُ، وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا “
“Aku pernah menanggung utang (untuk mendamaikan dua kabilah yang saling sengketa). Lalu aku datang kepada Rasulullah ﷺ, meminta bantuan beliau untuk membayarnya. Beliau menjawab: “Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti aku perintahkan menyerahkannya kepadamu.”
Kemudian beliau ﷺ melanjutkan sabdanya: “Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali untuk tiga golongan.
(Satu) orang yang menanggung utang (gharim, untuk mendamaikan dua orang yang saling bersengketa atau semisalnya), maka ia boleh meminta-minta, hingga utangnya lunas. Bila utangnya telah lunas, maka tidak boleh lagi ia meminta-meminta.
(Dua) orang yang terkena bencana, sehingga harta bendanya musnah. Orang itu boleh meminta-minta sampai dia memperoleh sumber kehidupan yang layak baginya.
(Tiga) orang yang ditimpa kemiskinan, (disaksikan atau diketahui oleh tiga orang yang terpercaya bahwa dia memang miskin). Orang itu boleh meminta-minta, sampai dia memperoleh sumber penghidupan yang layak.
Selain tiga golongan itu, haram baginya untuk meminta-minta, dan haram pula baginya memakan hasil meminta-minta itu.”([6])
Hal ini juga berdasarkan keumuman dari ayat bahwa orang-orang yang berutang berhak untuk mendapatkan zakat.
- Orang yang berutang karena menjamin utang orang lain, sedangkan ia dan orang yang ia jamin sama-sama kesulitan dan tidak mampu membayar utang tersebut.
Pemberian terhadap kategori ini adalah pendapat mazhab Syafi’i.([7])
Footnote:
____________
([1]) Lihat: Al-Wasith (4/561).
([2]) Lihat: Al-Mughni (6/480).
([3]) Lihat: Al-Inshaf (3/247).
([4]) Lihat: Al-Hawi al-Kabir (8/508).
([5]) Lihat: Al-Majmu’ (6/206-207), Al-Binayah Syarh al-Hidayah, karya Badruddin Al-Aini (3/453), dan Hasyiyah ar-Raudh al-Murbi’ (3/317).