Zakat Madu
Permasalahan ini termasuk yang diperselisihkan oleh para ulama, di antaranya adalah Imam Ahmad rahimahullah yang berpendapat bahwa dalam madu ada zakatnya, dan ia berdalil dengan banyak dalil, di antaranya:
- Yang diriwayatkan Abdullah Bin Amr radhiallahu ‘anhu,
أَنَّهُ أَخَذَ مِنَ الْعَسَلِ الْعُشْرَ
“Bahwasanya Nabi ﷺ mengambil zakat dari madu, yaitu sebanyak 10% darinya.” ([1])
- Dari Sulaiman Bin Musa dari Abu Sayyarah al-Muta’iy dia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ لِي نَحْلًا، قَالَ: أَدِّ الْعُشْرَ قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، احْمِهَا لِي، فَحَمَاهَا لِي
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki lebah (madu), lalu beliau berkata, ‘Bayarlah (zakatnya) 10%’. Lalu aku pun berkata, ‘Wahai Rasulullah lindungilah ia untukku, beliau pun melindunginya untukku’.” ([2])
- Dari ‘Amr Bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,
جَاءَ هِلَالٌ أَحَدُ بَنِي مُتْعَانَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِعُشُورِ نَحْلٍ لَهُ ، وَكَانَ سَأَلَهُ أَنْ يَحْمِيَ لَهُ وَادِيًا يُقَالُ لَهُ سَلَبَةُ ، فَحَمَى لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ الْوَادِي ، فَلَمَّا وُلِّيَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ سُفْيَانُ بْنُ وَهْبٍ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ يَسْأَلُهُ عَنْ ذَلِكَ ، فَكَتَبَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : إِنْ أَدَّى إِلَيْكَ مَا كَانَ يُؤَدِّي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عُشُورِ نَحْلِهِ فَاحْمِ لَهُ سَلَبَةَ ، وَإِلا فَإِنَّمَا هُوَ ذُبَابُ غَيْثٍ يَأْكُلُهُ مَنْ يَشَاءُ
“Hilal, salah seorang dari Bani Mut’an suatu ketika datang kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa sepersepuluh dari hasil madunya, ia pernah meminta Rasulullah ﷺ agar melindungi bukitnya yang bernama Salabah, dan Rasulullah ﷺ pun melindunginya.
Dan ketika Umar ditunjuk menjadi khalifah, Sufyan bin Wahb bertanya kepadanya mengenai hal itu, kemudian Umar menulis surat kepadanya:
‘Jika dia menunaikan (zakatnya) kepada kalian sebagaimana yang telah dia berikan kepada Rasulullah ﷺ, maka lindungilah bukit Salabahnya, jika tidak, maka sesungguhnya madu itu adalah hasil dari lebah (yang mengambil nektar dari tumbuhan yang diairi oleh) hujan, maka ia dapat dinikmati oleh siapapun yang menginginkannya’.” ([3])
Juga Imam Ahmad ditanya tentang madu,
أَنْتَ تَذْهَبُ إلَى أَنَّ فِي الْعَسَلِ زَكَاةً؟ قَالَ: نَعَمْ. أَذْهَبُ إلَى أَنَّ فِي الْعَسَلِ زَكَاةً، الْعُشْرُ، قَدْ أَخَذَ عُمَرُ مِنْهُمْ الزَّكَاةَ. قُلْت: ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُمْ تَطَوَّعُوا بِهِ؟ قَالَ لَا. بَلْ أَخَذَهُ مِنْهُمْ.
“Apakah engkau berpendapat bahwa madu wajib dizakati?”
Beliau menjawab, ‘Iya, aku berpendapat dalam madu ada zakat 10%, dan sungguh Umar telah mengambil zakat darinya’.
Lalu si penanya berkata, ‘Barangkali mereka memberikannya hanyalah dalam rangka bersedekah (sunah) saja?’
Beliau pun menjawab, ‘Tidak, bahkan Umar yang mengambilnya dari mereka (sebagai zakat yang wajib)’.”([4])
Adapun mayoritas ulama([5]) (seperti Imam Malik dan Imam Asy-Syafi’i([6]) rahimahullah berpendapat bahwa madu tidak ada zakatnya, dan mereka menganggap daif semua atsar yang menerangkan pewajiban zakat pada madu, dan memaknai hadis sahih tentangnya dengan artian bahwa pembayaran 10% dari madu tersebut adalah ibarat upah jasa dari perlindungan yang ia terima terhadap bukit/lahannya, bukan dalam rangka zakat.
Imam Bukhari juga melemahkan semua atsar yang berisi kewajiban zakat pada madu([7]), dan meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tidak memandang adanya kewajiban zakat pada madu([8]). Ibnu Muflih Al-Hanbali rahimahullah juga mengatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat pada madu([9]).
Adapun perkataan Umar radhiallahu ‘anhu,
إِنْ أَدَّى إِلَيْكَ مَا كَانَ يُؤَدِّي إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عُشُورِ نَحْلِهِ فَاحْمِ لَهُ سَلَبَةَ
“Jika ia membayar kepadamu sebagaimana membayar kepada Rasulullah ﷺ dari 10% madunya maka lindungilah Salabah untuknya.”
Maka ini justru merupakan dalil bahwa apa yang diambil dari Hilal bukanlah zakat, akan tetapi sebagai upah jasa dari perlindungan yang ia terima untuk melindungi Salabahnya.” ([10])
Syaikh Utsaimin rahimahullah ditanya apakah dalam madu ada zakat, lalu beliau menjawab,
الصَّحِيْحُ أَنَّ العَسَلَ لَيْسَ فِيْهِ زَكَاةٌ ، لِأَنَّ ذلِكَ لَمْ يَرِدْ عَنْ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَإِنَّمَا وَرَدَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ أَنَّهُ حَرَسَ أَمَاكِنَ النَّحْلِ وَأَخَذَ عَلَيْهِمْ العُشْرَ، وَعَلَى هذَا فَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِيْ العَسَلِ ، لكِنْ إِنْ أَخْرَجَهَا الإِنْسَانُ تَطّوُّعًا فَهذَا خَيْرٌ، وَرُبَّمَا يَكُوْنُ ذلِكَ سَبَباً لِنُمُوِّ نَحْلِهِ وَكَثْرَةِ عَسَلِهِ، أَمَّا أَنَّهَا لَازِمَةٌ يَأْثَمُ الإِنْسَانُ بِتَرْكِهَا فَهذَا لَا دَلِيْلَ عَلَيْهِ
“Yang benar bahwa madu tidak ada zakatnya, karena (kewajiban) itu tidaklah ada diriwayatkan secara sahih dari Rasulullah, melainkan hanya diriwayatkan dari Umar, bahwasanya ia menjaga beberapa tempat-tempat lebah madu, dan mengambil dari mereka 10% dari hasilnya.
Berdasarkan hal itu, kami nyatakan bahwa tidak ada kewajiban zakat madu. Akan tetapi jika seseorang mengeluarkan sedekah darinya maka ini baik. Bahkan bisa jadi sedekah tersebut menjadi sebab berkembangnya koloni lebah dan semakin bertambahnya hasil panen madunya.
Adapun kewajiban zakat madu dan berdosanya seseorang yang tidak menunaikan zakat madunya, maka ini tidak dalilnya.” ([11])
Adapun jika madu tersebut diperjualbelikan, maka berlaku padanya zakat perdagangan, sesuai dengan ketentuan yang telah diketahui bersama. ([12])
Demikianlah, pendapat yang terkuat adalah bahwa zat madu tidaklah memiliki kewajiban zakat. Berbeda jika ia kemudian diperuntukkan untuk jual-beli. Wallahu a’lam.
Footnote:
_____________
([1]) HR. Ibnu Majah 1824 dan dinyatakan sahih oleh al-Albani. Namun dikatakan oleh As-Sindi dalam Hasyiyah Ibnu Majah bahwa hadis ini mursal, karena Sulaiman tidak berjumpa dengan Abu Sayyarah.
([2]) HR. Ibnu Majah 1823 dan dinyatakan hasan oleh al-Albani.
([3]) HR. Abu Dawud 1600 dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani. Namun dikatakan oleh as-Sindi dalam Hasyiyah Ibnu Majah bahwa hadis ini mursal, karena Sulaiman tidak berjumpa dengan Abu Sayyarah.
([4]) Lihat: Al-Mughni (3/20).
([5]) Lihat: Fath al-Bari (3/383).
([6]) Lihat: Hilyatul Ulama Fii Madzaahibil Fuqohaa (3/63).
([7])Lihat: Al-Badr al-Munir (5/524) dan disebutkan juga bahwa ini adalah pendapat Tirmidzi. Lihat juga: Fath al-Bari (3/348).
([8]) Lihat: Shahih Bukhari (7/126).
([9]) Lihat: Al-Furu’ (4/122-123).
([10]) HR. Abu Dawud No. 1600.