Zakat الْمَعْدِنُ Ma’din (Barang Tambang)
Definisi ma’din
Ma’adin secara bahasa berasal dari kata ‘adn yang maknanya adalah iqamah (menetap atau diam).([1])
Adapun secara istilah, ma’din adalah segala sesuatu yang berasal dari dalam bumi yang bukan berasal dari jenisnya (tanah) dan mempunyai nilai berharga.([2]) Dalam bahasa kita ma’adin disebut dengan barang tambang.
Hukum zakat ma’din
Dalil tentang wajibnya zakat pada ma’adin adalah firman Allah ﷻ,
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Al-Qurthubi rahimahullah berkata menafsirkan ayat di atas,
يَعْنِي النَّبَاتَ وَالْمَعَادِنَ وَالرِّكَازَ
“Maksudnya adalah tumbuh-tumbuhan, ma’adin, dan rikaz.”([3])
Dalam hadis juga Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
وَالمَعْدِنُ جُبارٌ، وَفِي الرِّكَازِ الخُمُسُ
“Barang tambang (ma’din) adalah jubar([4]) dan rikaz dizakati 1/5 (20%).”([5])
Selain itu, sebagian ulama menyatakan bahwa para ulama telah ijmak atas wajibnya zakat pada ma’adin, sebagaimana dinukilkan oleh an-Nawawi rahimahullah.([6])
Jenis-jenis ma’din
Berdasarkan jenis zatnya ma’adin terbagi menjadi 3 jenis:
- Ma’din berjenis zat padat yang dapat dicairkan dan dibentuk dengan menggunakan api, seperti emas, perak, besi, tembaga, timah dan yang sejenisnya.
- Ma’din berjenis zat padat yang tidak bisa dibentuk dengan menggunakan api, seperti gipsum, arsenik, dan yang sejenisnya.
- Ma’din berjenis zat cair, seperti aspal, minyak, air raksa, dan yang sejenisnya.
Adapun jika berdasarkan cara mengeluarkannya, ma’adin terbagi menjadi 2, yaitu:
- Ma’din zahirah, seperti garam, dan yang lainnya.
- Ma’adin bathinah, yaitu jenis ma’adin yang dikeluarkan harus menggunakan usaha, contohnya seperti emas, perak, besi, dan yang lainnya
Jenis ma’adin yang diwajibkan zakat padanya
Karena jenis ma’adin bermacam-macam, maka para ulama pun bersilang pendapat tentang jenis ma’adin apakah yang wajib padanya zakat.
Pendapat pertama: Ma’adin yang diwajibkan zakat oleh syariat hanyalah emas dan perak, adapun selain keduanya tidak diwajibkan zakat. Ini adalah pendapat dari mazhab Maliki([7]) dan Syafi’i rahimahullah.([8])
Pendapat kedua: Ma’adin yang diwajibkan zakat oleh syariat adalah yang berjenis zat padat yang bisa dibentuk dengan api. Adapun yang berjenis zat cair maupun zat padat yang tidak bisa dibentuk dengan api maka tidak diwajibkan zakat. Ini adalah pendapat dari Imam Abu Hanifah.([9])
Pendapat ketiga: Seluruh ma’adin, baik itu zat cair atau pun padat, dapat dibentuk dengan api ataupun tidak, diwajibkan zakat padanya. Ini adalah pendapat Mazhab Hanbali.([10])
Pendapat yang paling rajih dalam masalah ini menurut penulis adalah pendapat dari mazhab Hanbali, bahwasanya seluruh ma’adin apa pun jenisnya diwajibkan zakat padanya. Dalilnya adalah firman Allah ﷻ,
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنفِقُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُم مِّنَ الْأَرْضِ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Sisi pendalilan:
- Allah ﷻ menyebutkan secara umum bahwa seluruh yang dikeluarkan oleh bumi diwajibkan zakat padanya dan Allah ﷻ sama sekali tidak mengkhususkan jenis-jenis tertentu.
- Ma’adin adalah harta yang dinilai seperti emas dan perak dan juga didapatkan dari bumi. Maka seluruh ma’adin apa pun jenisnya merupakan harta yang termasuk diwajibkan zakat padanya.
- Tidak ada perbedaan antara satu jenis ma’adin dengan jenis lainnya, sebab seluruhnya adalah harta yang memiliki nilai harga.
Selain itu juga, menjadikan seluruh jenis ma’adin sebagai harta yang diwajibkan zakat sangat sesuai dengan nilai syariat Islam yang cocok di setiap waktu dan tempat. Terlihat di saat ini, manusia bisa saja mengeluarkan berbagai macam jenis ma’adin yang berharga dari perut bumi, terkhususkan lagi ma’adin yang berjenis zat cair, maka sangat sesuai jika menjadikan seluruh jenis-jenis tersebut sebagai harta zakat, sebab ia merupakan harta yang memiliki nilai harga.([11])
Nisab dan besar zakat ma’din
Terdapat dua pendapat tentang hal ini. Sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ini adalah perbedaan tentang makna rikaz, apakah ma’adin termasuk dalam kategori rikaz ataukah tidak?
Pendapat pertama yaitu pendapat mazhab Hanafi menyatakan bahwa tidak ada besar ketentuan nisab ma’adin, besar atau kecil ma’adin wajib dizakatkan sebesar 20%nya. Hal ini karena mereka menganggap bahwa ma’adin adalah termasuk dari rikaz, sehingga hukum ma’adin mengikuti hukum rikaz.([12])
Pendapat kedua yaitu pendapat mayoritas mazhab ulama seperti mazhab Maliki([13]), Syafi’i([14]), Ahmad([15]) rahimahullah, menyatakan bahwa ma’adin menjadi wajib zakat jika nilainya telah mencapai nisab.
Jika ma’adin-nya adalah emas atau perak, maka nisabnya adalah nisab keduanya, yaitu emas sebesar 20 mitsqal (85 gram) dan perak sebesar 200 dirham atau 5 uqiyah (595 gram). Adapun ma’adin selain emas dan perak, maka nisabnya adalah jika harga atau nilainya telah mencapai nisab uang. ([16])
Adapun besar dari yang dizakatkan dari ma’adin, maka dikiaskan dengan zakat harta (atsman) dan barang dagangan, yaitu sebesar 2,5%.
Inilah pendapat yang rajih menurut penulis, Wallahu Ta’ala a’lam. Hal ini karena ma’adin dan rikaz adalah dua hal yang berbeda. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
العَجماءُ جُبارٌ، والمَعدِنُ جُبارٌ، وفي الرِّكازِ الخُمُسُ.
“Luka karena hewan adalah jubar([17]), barang tambang (ma’din) adalah jubar dan rikaz dikenakan 1/5 (20%).”([18])
Dalam hadits ini Nabi Muhammad ﷺ secara eksplisit membedakan antara ma’adin dan rikaz menggunakan و (waw) athaf. Secara nama, ma’adin bukanlah rikaz, begitu juga dalam segi makna ma’adin bukanlah rikaz. Karenanya dalam besar nilai zakat antara rikaz dan ma’adin berbeda.
Permasalahan Berkaitan Dengan Zakat Ma’din
Pertama: Nisab barang tambang senilai dengan 85g emas. Barang tambang yang terus dikeluarkan tanpa terhenti nisabnya disatukan. Jika terhenti melebihi waktu biasanya, maka nisab dihitung dari awal memulai, yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%.
Jika barang tambang dimiliki oleh negara tidak ada zakatnya. Dan jika ditambang di tanah milik orang lain maka barang menjadi milik penambang dan wajib dizakatkan. ([19])
Kedua: Zakat barang-barang yang dikeluarkan dari laut
Terdapat perbedaan pendapat mengenai masalah ini:
Pertama: Barang-barang yang dikeluarkan dari laut seperti mutiara, amber, karang, dan lainnya maka tidak ada zakatnya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Kedua: Barang-barang yang dikeluarkan dari laut wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini dikarenakan ia menyerupai barang tambang yang dikeluarkan dari laut. Ini merupakan salah satu riwayat Imam Ahmad dan pendapat Abu Yusuf.
Ketiga: Diperinci, jika barang-barang yang dikeluarkan dari laut sebelumnya tidak ada yang memiliki maka dia tidak ada zakatnya.
Adapun jika sebelumnya ada pemiliknya, maka ini pun ada dua macam:
- Jika dahulunya milik orang-orang Jahiliah atau diragukan kepemilikannya, maka hukumnya seperti rikaz.
- Jika sebelumnya adalah milik kaum muslimin atau kafir dzimmi maka hukumnya seperti luqathah.
Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah tidak ada zakat dalam barang yang dikeluarkan dari laut. Hal ini dikarenakan barang-barang yang dikeluarkan dari laut sudah ada sejak zaman Rasulullah ﷺ, Namun belum ada satu hadits pun yang menjelaskan tentang zakat barang-barang yang dikeluarkan dari laut. ([20])
Ketiga : Barang yang ditambang dari laut seperti; mutiara atau ikan dengan tujuan untuk dijual maka dizakatkan sama seperti zakat harta perdagangan. ([21])
Footnote:
____________
([1]) Lihat: Lisan al-Arab (13/279).
([2]) Lihat: Al-Mughni (4/239).
([3]) Tafsir al-Qurthubi (3/ 321).
([4]) Tidak ada jaminan atas apa yang menimpanya [Lihat: Al-Muntaqa Syarh al-Muwattha’ (7/109)].
([5]) HR. Ahmad No. 14632 dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ No. 3679.
([6]) Lihat: Al-Majmu’ (6/75).
([7]) Lihat: Hasiyah ad-Dasuki (1/486).
([8]) Lihat: Al-Majmu’ (6/75).
([9]) Lihat: Badai’ ‘ash-Shanai’ (2/65).
([10]) Lihat: Al-Mughni (3/52).
([11]) Hal ini jika ma’adin tersebut jika dimiliki oleh seseorang, namun jika dimiliki oleh negara maka tidak wajib zakat.
([12]) Lihat: Badai’ ash-Shanai’ (2/68).
([13]) Lihat: Syarh ash-Shaghir (1/650).
([14]) Lihat: Al-Majmu’ (6/79).
([15]) Lihat: Al-Mughni (3/53).
([16]) yang berarti nisab tersebut mengacu pada nisab emas berdasarkan pendapat yang rajih.
([17]) Tidak ada jaminan atas apa yang menimpanya [Lihat: Al-Muntaqa Syarh al-Muwattha’ (7/109)].
([19]) Lihat: Al-Ma’ayir asy-Syar’iyah poin 5.5.1 hlm. 898.