Zakat Harta Perdagangan
Macam-macam harta:
- Harta yang dimiliki untuk digunakan secara pribadi, maka harta ini tidak terkena zakat perdagangan.
- Harta yang dimanfaatkan dan digunakan secara pribadi, akan tetapi jika ada yang menawarkan dengan harga yang cocok maka pemilik mau menjualnya. Maka ini juga tidak terkena zakat perdagangan.
- Harta yang dimiliki untuk diperdagangkan dan langsung ia perdagangkan, maka terkena zakat perdagangan, apabila memenuhi syarat.
- Harta yang dimiliki untuk disimpan, sembari menunggu harga barang naik kemudian dia perdagangkan, maka tidak dihitung, kecuali setelah ia perdagangkan.
- Harta yang dijual karena dia tidak menginginkannya lagi, maka tidak terkena zakat perdagangan.
- Harta yang diniatkan untuk diperdagangkan, akan tetapi ia memanfaatkannya sebelum terjual, maka ini terkena zakat perdagangan, karena niat utama adalah memperdagangkannya.
- Harta yang diperdagangkan dan sebelum barang tersebut terjual atau berpindah tangan disewakan terlebih dahulu, maka ia terkena zakat perdagangan, karena niat utama adalah perdagangan.
- Rumah, mobil dan lainnya yang disewakan, maka tidak terkena zakat perdagangan, akan tetapi wajib mengeluarkan zakat dari uang sewa yang ia peroleh jika mencapai nisab dan haul.
Hukum Zakat Perdagangan :
Para ulama berselisih tentang wajibnya zakat harta perdagangan menjadi dua pendapat:
- Mayoritas ulama berpendapat akan wajibnya zakat dari harta perdagangan apabila mencapai nisab ([1]), dan ini adalah pendapat mazhab Hanafi([2]), Maliki([3]), Syafi’i([4]), dan Hanbali([5]), dan diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khaththab, Ibnu Umar([6]), Ibnu Abbas, para Fuqaha’ Sab’ah (7 ahli fikih Madinah), dan selain mereka. Bahkan sebagian ulama([7]) menukilkan ijmak tentang wajibnya zakat harta perdagangan.
Hal ini dikarenakan tujuan dari perdagangan adalah berkembangnya harta, maka terdapat hak zakat padanya seperti hewan ternak.([8])
- Tidak ada kewajiban zakat pada harta perdagangan, dan pendapat ini diriwayatkan dari Dawud azh-Zhahiri, dan dikuatkan oleh Ibnu Hazm Azh-Zhahiri.([9])
Dalil-dalil setiap pendapat:
Dalil-dalil pendapat pertama:
- Hadis Abu Hurairah:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالصَّدَقَةِ، فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ، وَخَالِدُ بْنُ الوَلِيدِ، وَعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلَّا أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا، فَأَغْنَاهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ، وَأَمَّا خَالِدٌ: فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا، قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ وَأَعْتُدَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
“Ketika itu Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk menarik harta zakat. Maka dilaporkan kepada beliau bahwa Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas bin Abdul Muththalib enggan mengeluarkan zakat.
Rasulullah ﷺ pun bersabda, ‘Pantaskah Ibnu Jamil menolak menunaikan zakat, sementara ia dahulu adalah seorang miskin, kemudian Allah azza wa jalla dan Rasul-Nya mencukupkannya?! Adapun Khalid, sungguh kalian telah menzaliminya, bukankah ia telah mewakafkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah azza wa jalla?!’”([10])
An-Nawawi menjelaskan bahwa ketika itu para sahabat menyangka bahwa baju besi dan berbagai perlengkapan perang milik Khalid bin Walid adalah barang dagangannya, maka Rasulullah ﷺ pun menjelaskan kepada mereka bahwa semua itu telah Khalid wakafkan di jalan Allah.
Selain itu juga ada kemungkinan bahwa Rasulullah ﷺ mendorong para sahabatnya untuk berprasangka baik terhadap Khalid bin Walid, karena ia adalah seorang dermawan nan mulia, yang tak ragu mewakafkan harta-hartanya di jalan Allah, sehingga tidak mungkin seseorang yang demikian sifatnya malah enggan membayar zakat.([11])
- Allah ﷻ berfirman,
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ﴾
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah harta terbaik dari yang kalian hasilkan dan dari apa-apa yang kami keluarkan untuk kalian dari bumi.” (QS. Al-Baqarah: 267)
Para ahli tafsir menerangkan bahwa makna “dari yang kalian hasilkan” adalah harta dagangan.([12])
- Hadis Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah ﷺ bersabda,
فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا وَفِي الْبزِّ صَدَقَتُهُ
“Pada unta, kambing, sapi, dan kain terdapat kewajiban zakat.”([13])
Mula al-Qari berkata tentang kain,
وَلَيْسَ فِيهِ زَكَاةُ عَيْنٍ، فَصَدَقَتُهُ زَكَاةُ التِّجَارَةِ
“Tidak terdapat padanya (zat kain tersebut) zakat, zakat yang dikeluarkan adalah zakat perdagangan.” ([14])
- Hadis Samurah bin Jundub:
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِى نُعِدُّ لِلْبَيْعِ.
“Sesungguhnya Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk mengeluarkan zakat dari harta yang kami persiapkan untuk berdagang.”([15])
- Atsar Hamas:
مَرَّ عَلَيَّ عُمَرُ، فَقَالَ: أَدِّ زَكَاةَ مَالِكِ قَالَ: فَقُلْتُ: مَا لِي مَالٌ أُزَكِّيهِ إِلَا فِي الْخِفَافِ، وَالْأُدْمِ قَالَ: فَقَوِّمْهُ، وَأَدِّ زَكَاتَه
Suatu ketika Umar melewatiku, lalu berkata: “Tunaikanlah zakat hartamu!”
Aku pun menjawab: “Aku tidak punya harta yang harus aku zakati kecuali sepatu-sepatu dan kulit.”
Lalu Umar berkata: “Hitunglah nilai harganya lalu keluarkan zakatnya.”([16])
Pada riwayat Ibnu Abi Syaibah terdapat keterangan bahwa Hamas berprofesi sebagai pedagang kulit dan kantong anak panah.([17])
Ini adalah keputusan Umar bin Khaththab, dan tidak didapati ada sahabat lain yang menyelisihinya, sehingga ia seakan menjadi ijmak para sahabat dan layak dianggap sebagai landasan hukum.
Dalil-dalil pendapat kedua:
- Hadis Abu Sa’id radhiallahu ‘anhu,
لَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوَاقٍ صَدَقَةٌ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ ذَوْدٍ صَدَقَةٌ، وَلَيْسَ فِيمَا دُونَ خَمْسِ أَوْسُقٍ صَدَقَةٌ
“Tidak ada kewajiban zakat pada dirham yang belum mencapai lima uqiyah, pada onta yang belum mencapai lima ekor, dan pada hasil panen yang belum mencapai lima wasaq.”([21])
- Hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak terdapat kewajiban zakat bagi seseorang pada budak dan kudanya.”([22])
Pada hadis-hadis di atas, Rasulullah ﷺ meniadakan kewajiban zakat pada harta-harta tersebut secara umum, baik diperdagangkan ataupun tidak([23]).
Sedangkan hadis yang mengisahkan Khalid bin Walid, maka ia semata mengandung peringatan dari Rasulullah ﷺ kepada para sahabatnya untuk berprasangka baik terhadap Khalid bin Walid, karena ia adalah seorang dermawan nan mulia, yang tak ragu mewakafkan harta-hartanya di jalan Allah, sehingga tidak mungkin seseorang yang demikian sifatnya malah enggan membayar zakat, sebagaimana ini adalah salah satu kemungkinan makna yang disebutkan oleh An-Nawawi([24]).
Tarjih:
Yang lebih kuat adalah adanya kewajiban zakat pada harta perdagangan apabila telah mencapai nisab dan haul.
Walaupun ada beberapa hadis daif terkait kewajiban ini, akan tetapi dengan memperhatikan semua riwayat ini secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa zakat perdagangan itu memang ada dan disyariatkan, terlebih lagi praktik para sahabat, serta pernyataan ijmak dari para ulama.
Adapun berdalil dengan keumuman hadis Abu Sa’id dan Abu Hurairah tidaklah benar, karena hadis-hadis yang mengandung kewajiban zakat harta perdagangan bersifat mengkhususkan/mengecualikan, dan sebagaimana telah dimaklumi dalam kaidah usul fikih, bahwa nas-nas yang mengandung keumuman dikembalikan/dihukumi dengan nas-nas yang mengandung pengkhususan/pengecualian.
Al-Khaththabi bahkan dengan jelas menyatakan bahwa penyelisihan pihak mazhab Zhahiriyyah dan beberapa dari kalangan ulama kontemporer tidaklah dianggap, karena ia bertabrakan dengan ijmak yang telah terlebih dahulu ada.([25])
Syarat-syarat wajibnya zakat barang perdagangan:
- Barang tersebut telah menjadi miliknya
- Meniatkannya untuk diperjualbelikan.([26])
- Mencapai nisab.
Nisab zakat barang dagangan adalah nisab emas berdasarkan pendapat yang rajih. Adapun cara penghitungannya maka qimah (nilai) barang dagangan dijumlahkan dengan harta yang ia miliki untuk menyempurnakan nisab. ([27])
- Mencapai haul.([28])
Permasalahan: bagaimana jika barang dagangan berkurang di tengah-tengah haul hingga mencapai kurang dari nisab.
Haulnya dihitung ulang jika kemudian nilai barang tersebut kembali mencapai nisab. Sebab, setelah harta perdagangannya berkurang, bisa jadi beberapa bulan kemudian baru mencapai nisab, atau bahkan tidak mencapai nisab sama sekali, dan setiap pedagang mengerti untung dan rugi perdagangannya. Pendapat inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Suraij dari mazhab Syafi’i dan oleh Ibnu Qudamah([29]).
Permasalahan: Apabila seseorang memperdagangkan barang yang termasuk barang wajib zakat, seperti hewan ternak, emas dan perak, dsb, bagaimana ia mengeluarkan zakatnya? Apakah ia mengeluarkan zakatnya dengan ketentuan zakat zat harta itu sendiri, ataukah dengan ketentuan zakat harta yang diperdagangkan?
Contoh: Seseorang memperdagangkan unta sebanyak 25 ekor, dan jika dinilai dengan harga, maka telah mencapai nisab harta perdagangan, maka zakatnya adalah zakat unta bukan zakat perdagangan.([30]) Yakni dengan mengeluarkan 1 ekor unta betina genap 1 tahun masuk tahun ke-2, bukan dengan menilai harga 25 ekor unta tersebut kemudian mengeluarkan sejumlah 2,5% dari nilainya. Hal ini didasari dua hal:
- Hewan ternak, emas, perak, dan harta-harta lainnya yang zatnya terkena zakat, maka hukumnya kembali kepada zatnya, sedangkan perdagangan tidak seluruhnya demikian.
- Zakat pada harta-harta tersebut telah di sepakati oleh semua kalangan ulama’, sedangkan zakat perdagangan masih diperselisihkan, meskipun mayoritas ulama mewajibkannya dan hanya segelintir kecil ulama yang tidak mewajibkannya.
Permasalahan: barang yang diniatkan untuk diperdagangkan, akan tetapi belum terjual.
Terdapat 2 keadaan:
- Sesuatu yang dijual secara utuh tanpa diolah atau diproses terlebih dahulu.
Seperti: tanah, properti, pakaian, mobil, dan semacamnya.
Apabila ia telah mencapai nisab dan haul, maka harus dikeluarkan zakatnya, dan dihitung dengan nilai jual pasaran saat jatuh tempo haul zakat, bukan dengan harga modal. Karena tujuan dari perdagangan adalah menghasilkan keuntungannya, dan karena nilai barang dagangan bersifat fluktuatif, maka menaksirnya dengan nilai jualnya adalah tindakan yang adil. Selain itu hakikat barang dagangan adalah uang dalam bentuk barang, dan akan berubah menjadi uang ketika dijual, sehingga yang menjadi patokan adalah nilai ketika dijual. Hal ini karena ketika itulah barang berubah menjadi uang, yang uang tersebut adalah uang nilai jual.
Contoh: Budi pada tahun 1438 H membeli mobil senilai 100 juta (harga beli) untuk diperjual belikan. Namun, mobil tersebut selama setahun belum laku terjual, sedangkan pada tahun 1439 H harga jual pasaran saat jatuh tempo haul zakat naik menjadi 150 juta. Maka, zakat yang harus dikeluarkan saat itu adalah 2,5 % dari 150 juta, yaitu sebesar 6 juta rupiah.
Demikian juga sebaliknya jika ternyata harga barang dagangan menjadi turun ketika dijual, lebih rendah daripada harga modal, maka yang menjadi patokan tetaplah nilai harga jual, karena itulah yang real terjadi perubahan dari barang ke uang (yaitu ketika dijual).
- Barang yang dijual setelah diolah/diproses dahulu, seperti material yang akan dijadikan properti, bahan untuk menjahit baju (seperti kancing, benang, dll), dan selainnya.
Sama seperti yang pertama, zakatnya dihitung dengan nilai jual pasaran saat jatuh tempo haul apabila telah mencapai nisab. Sebab ia sudah memilikinya dan sejak awal ia berniat akan memperjual belikannya
Pertanyaan: bagaimana kita menghitung harga jualnya sedangkan dia belum bisa dijual?
Jawaban: Dengan bertanya kepada para ahli tentang taksiran harga jadi produk tersebut, seperti arsitek yang mampu memperhitungkan harga jual rumah yang belum dibangun, dan desainer yang mampu menaksir nilai jual suatu pakaian sebelum dijahit. Wallahu a’lam.
Dan ini ada dua keadaan:
- Sudah ada calon pembelinya:
Maka dihitung zakatnya dari harga yang sudah disepakati.
- Belum ada calon pembelinya:
Dan ini ada dua keadaan:
- Semua barang masih berbentuk bahan mentah dan belum ada yang diolah sedikit pun. Maka diperkirakan harga jual barang bahan mentah tersebut, lalu dikeluarkan 2,5% darinya.
- Sebagian sudah diolah (setengah jadi), dan sebagian masih berbentuk barang bahan mentah.
Maka diperkirakan harga jual barang setengah jadi saat itu, seandainya dijual seperti ini harganya berapa? Ditambah dengan harga jual barang-barang yang masih berbentuk bahan mentah. Kemudian hasilnya ditotal, lalu dikeluarkan 2,5% dari total nilai setengah jadi+ bahan mentah tersebut([31]).
Permasalahan: jika sebelum barang dagangan laku atau berpindah tangan, sang pedagang menyewakannya:
Contoh: Seorang sedang membangun apartemen, ia berniat mendapat laba dengan dijual setelah empat tahun, tetapi ia niatkan menyewakan apartemen tersebut selama dua tahun sebelum dijual apakah wajib dizakati?
Jawabannya adalah wajib dizakati, karena termasuk barang dagangan.
Berdasarkan penjelasan berikut:
Bangunan yang diniatkan untuk mendapat keuntungan dari penjualannya setelah selesai pembangunannya adalah termasuk barang dagangan, sekalipun bangunan tersebut masih belum jadi dengan sempurna. Baik dijual sejak awal dibangun atau tidak. Karena secara hakikatnya bangunan tersebut diniatkan untuk diperdagangkan.
Syaikh Utsaimin pernah ditanya tentang seorang yang membeli tanah dengan niat menjualnya ketika selesai pembangunannya. Beliau menjawab: “Wajib dikeluarkan zakat perdagangan pada tanah tersebut, karena ia membelinya untuk mencari keuntungannya, tidak ada perbedaan apakah ia niat menjualnya sebelum dibangun atau sesudah didirikan bangunan di atasnya, dia seperti orang yang membeli kain untuk mendapatkan keuntungan setelah ia jahit menjadi baju”. ([32])
Tergabungnya niat takassub (mendapat keuntungan) melalui penyewaan, dengan niat takassub melalui penjualan, tidak serta merta mengeluarkan bangunan tersebut dari status sebagai barang dagangan, selama niat perdagangan sudah diniatkan sejak awal dengan yakin([33]).
Permasalahan: Seorang pedagang yang mempermainkan niatnya saat mendekati satu tahun, guna menghindari kewajiban zakat.
Ia berdosa dan tidak terlepas dari kewajiban zakatnya([34]).
Permasalahan: Alat-alat produksi
Alat-alat yang digunakan untuk produksi yang tidak diniatkan untuk diperjualbelikan tidak terkena zakat. Al-Buhuti rahimahullah berkata,
وَلَا زَكَاةَ فِي آلَاتِ الصُّنَّاعِ، وَأَمْتِعَةِ التِّجَارَةِ وَقَوَارِيرِ الْعَطَّارِ وَالسَّمَّانِ وَنَحْوِهِمْ
“Tidak ada zakat pada alat-alat produksi, barang-barang yang digunakan untuk berdagang, botol-botol pedagang minyak wangi, minyak samin, dan yang semisal dengan mereka.” ([35])
Permasalahan: Utang yang jatuh tempo di waktu wajib mengeluarkan zakat.
Jika waktu pelunasan utang bertepatan dengan waktu membayar zakat maka yang lebih didahulukan adalah membayar utang. Jika ada sisa harta yang mencapai nisab maka dikeluarkan zakatnya. Asy-Syinqithi rahimahullah berkata,
إِذَا ازْدَحَمَتْ الَّزكَاةُ وَالدَّيْنُ يُقَدَّمُ حَقُّ الدَّيْنِ عَلَى الَّزكَاة، ويخرج من المال الديون، فإذا فضَل فضْل أخرج في زكاته
“Jika tergabung antara kewajiban membayar zakat dan utang maka lebih didahulukan membayar utang daripada membayar zakat. Harta terlebih dahulu dikeluarkan untuk dibayarkan utangnya, jika tersisa maka dikeluarkan untuk ditunaikan zakatnya.” ([36])
Cara menghitung zakat yang dikeluarkan:
Rumus zakat perdagangan (nilai barang dagangan + pendapatan + piutang yang diharapkan – utang yang jatuh tempo yang dibayarkan) x 2,5%.
Contoh kasus: Budi memiliki 100 lusin baju koko yang diperdagangkan dan sudah mencapai satu haul. 100 lusin baju tersebut jika dihitung nilainya sebesar 100 juta rupiah jika dijual saat itu. Sedangkan saat itu Budi memiliki tabungan dari hasil perdagangannya sebesar 40 juta. Ia juga memiliki para reseller yang berhutang kepadanya sebesar 50 juta rupiah (yang mudah untuk membayar hutang mereka kepada Budi). Di waktu yang sama ia juga berhutang kepada produsen baju koko sebesar 60 juta rupiah (yang ia bayar sebelum mengeluarkan zakat). Jika kita terapkan rumus perhitungan zakat perdagangan di atas maka jumlah yang harus ia zakatkan adalah sebagai berikut:
(100 juta + 40 juta + 50 juta – 60 juta) x 2,5% = 3,25 juta
Hal ini dengan catatan :
- Jika para reseller mudah membayar hutang mereka kepada Budi, sehingga nilai piutang Budi pada para reseller tersebut dimasukan dalam harta Budi yang wajib dizakatkan. Jika ternyata para Reseller tersebut sulit diharapkan untuk membayar hutang mereka kepada Budi maka nilai hutang tersebut tidak dimasukan dalam harta Budi yang wajib zakat. (silahkan lihat kembali pembahasan tentang zakat piutang). Dengan demikian perhitungan berubah menjadi (100 juta + 50 juta – 60 juta) x 2,5% = 2,25 juta
- Jika Budi sebelum menunaikan zakat segera membayar hutangnya 60 juta kepada produsen baju koko, maka 60 juta tersebut tidak dimasukan ke dalam harta Budi yang wajib dizakati karena telah berpindah tangan dari Budi ke Produsen. Adapun jika Budi tetap menahan uang tersebut dan tidak dibayarkan kepada Produsen maka 60 juta tersebut dimasukan dalam harta Budi yang terkena zakat. Dengan demikian perhitungan berubah menjadi (100 juta + 40 juta + 50 juta) x 2,5% = 4,75 juta
Permasalahan: Membayar zakat perdagangan dengan barang perdagangan itu sendiri.
Disebutkan dalam Al-Ma’ayir asy-Syar’iyah,
الْأَصْلُ إِخْرَاجُ زَكَاةِ عُــرُوْضِ التِّجَارَةِ نَقْدًا، وَلَكِنْ يَجُوْزُ فِيْ حَالَةِ الْكَسَادِ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ مِنَ الْأَعْيَانِ التِّجَارِيَّةِ نَفْسِهَا بِشَرْطٍ أَنْ يُحَقِّقَ ذَلِكَ مَصْلَحَةَ الْمُسْتَحِقِّيْنَ لِلزَّكَاةِ.
“Asal membayar zakat perdagangan adalah dengan uang. Akan tetapi, boleh ketika barang perdagangan tidak laku terjual untuk membayarkan zakat dari barang perdagangan tersebut dengan syarat terealisasinya maslahat para mustahik (penerima) zakat.” ([37])
Permasalahan: barang perdagangan yang belum diserah terima.
Disebutkan dalam Al-Ma’ayir asy-Syar’iyah,
زَكاةُ البَضائِعِ اَلْمُعينَةِ عَلَى المُشْتَري فَوْرَ إِبْرامِ البَيْعِ حَتَّى لَوْ لَمْ يَقْبِضْها المُشْتَري
“Zakat perdagangan tertentu menjadi tanggungan pembeli dimulai ketika terjadi akad jual beli meskipun pembeli belum menerimanya.”([38])
Yaitu jika sang pembeli juga memang membelinya untuk menjualnya kembali, sehingga jika telah terjadi jual beli, namun sang pembeli belum mengambil barangnya sehingga memendem lebih dari setahun maka barang dagangan tersebut zakatnya menjadi tanggung jawab pembeli (yang membelinya memang untuk dijual kembali).
Apakah barang yang disewakan terkena zakat?
Jawaban: Barang tetap seperti bangunan dan tanah yang diniatkan untuk disewakan tidak terkena kewajiban zakat, akan tetapi zakat hanya wajib pada hasil sewa-menyewa yang didapatkan darinya, dengan dua syarat:
- Mencapai nisab.
- Melewati haul.
Hitungan haul dimulai dari saat akad, baik uang pembayaran sewa ia terima di muka (di awal tahun misalnya) atau di akhir (di akhir tahun misalnya) ([39]).
Jika ia terima di muka dan berlalu satu haul maka ia harus mengeluarkan zakatnya, atau menzakatkan yang tersisa dari uang tersebut jika ia pakai sebagian uang tersebut untuk keperluannya.([40])
Jika ia terima di akhir maka ia keluarkan zakatnya pada saat itu juga, karena sudah berlalu satu haul, yaitu dimulai pada saat akad.
Siapakah yang membayar zakat pada barang sewaan, pemilik barang atau penyewa?
Para ulama bersepakat bahwa tidak ada zakat untuk nilai dari fisik barang-barang yang disewakan, seperti mobil, rumah, bangunan atau properti yang lain([41]). Berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ فِي عَبْدِهِ وَلَا فَرَسِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak ada kewajiban zakat bagi seorang muslim pada budaknya dan kudanya.” ([42])
Imam an-Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan pada asalnya tidak ada zakat pada harta yang dimiliki dan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.([43])
Ibnu ‘Utsaimin juga menyebutkan bahwa penyebutan kuda dan budak dinisbahkan kepada manusia secara khusus memberikan arti karena dia yang menggunakannya dan memanfaatkannya untuk kepentingan dan kebutuhan pribadinya, seperti kuda, budak, pakaian, rumah yang ditinggalinya, mobil yang dikendarainya, maka ini semua tidak dikenai zakat.([44])
Namun, jika harta atau aset tersebut disewakan, maka orang yang memiliki aset tersebut berkewajiban untuk mengeluarkan zakat dari uang hasil sewa. Sesuai dengan keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami menyebutkan bahwa,
الْعَقَارُ الْمُعَدُّ لِلْإِيْجَارِ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِيْ أُجْرَتِهِ فَقَطْ دُوْنَ رَقَبَتِهِ
“Aset yang disiapkan untuk disewakan, maka wajib zakat berupa upah sewanya saja, bukan nilai fisiknya.”([45])
Ini menunjukkan bahwa zakat wajib dikeluarkan dari aset atau properti yang disewakan. Dia wajib mengeluarkan zakatnya setelah berlalu satu haul sejak akad dan menerima uang sewa. ([46])
Footnote:
___________
([1]) Al Majmu’ (6/47) dan Al Mughi (3/58)
([2]) Lihat: Hasyiah Ibni ’Abidin (2/299).
([3]) Lihat: Al-Kafi Karya Ibnu Abdul Bar (1/298).
([4]) Lihat: Al-Majmu’ (6/68).
([5]) Lihat: Al-Mughni (5/38).
([6]) Lihat: Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah 10459
([7]) Seperti Ibnul Mundzir dalam Al-Ijma’ (1/48), dan sepertinya beliau tidak menganggap pendapat yang menyelisihi pendapat mayoritas.
([8]) Lihat: Al-Muhadzdzab (1/293)
([9]) Lihat: Al-Muhalla bil Atsar (4/12-13)
([10]) HR. Bukhari No. 1468 dan Muslim No. 983.
([11]) Lihat: Syarh Shahih Muslim (7/56)
([12]) Lihat: Ma’alim at-Tanzil )1/364( dan Tafsir Ibn al-Qayyim )1/169(.
([13]) HR. Ahmad No. 21557 dan Daruquthni No. 1932. Hadis ini daif dengan 2 sanadnya. Pada sanad pertama terdapat seorang perawi yang dha’if, yakni Musa bin Ubaidah. Sedangkan sanad kedua dinyatakan munqathi’ (terputus)
([14]) Mirqah al-Mafatih Syarh Mishbah al-Mashabih (4/1259).
([15]) HR. Abu Dawud No. 1564, Baihaqi No. 7847, dan Thabrani (6884).
Hadis ini juga daif, karena:
- Pada sanadnya terdapat Khubaib bin Sulaiman dan Ja’far bin Sa’d bin Samurah yang keduanya dinyatakan sebagai perawi berstatus majhul oleh Ibnu Hajar dan Ibnu Hazm. [Lihat: Tahdzib at-Tahdzib (3/135) dan Al-Muhalla Bil Atsar (4/40)].
- Pada sanadnya terdapat Abu Daud Sulaiman bin Musa yang dinyatakan fihi lin oleh Ibnu Hajar. [Lihat: Taqrib at-Tahdzib (1/255) No. 2617].
([16]) HR. Abdurrazzaq No. 7099, Ibnu Abi Syaibah No. 10456, dan Baihaqi No. 7678.
([17]) Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (2/406) No. 10456.
([18]) Lihat: Al-Amwal karya Abu ‘Ubaid Al Qosim Ibn Sallam No. 1178.
([19]) Lihat: Al-Muhalla bi Al Atsar, Ibnu Hazm (4/40).
([20]) Lihat: Al-Amwal karya Abu ‘Ubaid Al Qosim Ibn Sallam No. 1181.
([21]) HR. Bukhari No. 1405 dan Muslim No. 980.
([22]) HR. Muslim No. 982, An-Nasa’i No. 2467, dan Ahmad No. 7397.
([23]) Lihat: Al-Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm (4/44-45)
([24]) Lihat: Al-Muhalla bil Atsar, (4/44) dan Syarh Shahih Muslim (7/56).
([25]) Lihat: Ma’alim as-Sunan (2/53).
([26]) Terdapat perbedaan pendapat berkaitan dengan masalah ini:
Pertama: Disyaratkan dimiliki dengan perbuatannya. Pendapat ini juga terbagi menjadi dua:
- Barang yang diniatkan untuk perdagangan harus dimiliki dengan perbuatannya dan harus ada pertukaran. Ini adalah pendapat mazhab Syafi’i. [Lihat: Al-Majmu’ (6/48)].
- Barang yang diniatkan untuk perdagangan harus dimiliki dengan perbuatannya baik dengan pertukaran atau tidak. Ini adalah pendapat mazhab Hanbali. [Lihat: al-Mughni (3/59)].
Kedua: Tidak disyaratkan harus dimiliki dengan perbuatannya, selama barang tersebut menjadi miliknya lalu diniatkan untuk diperniagakan, maka barang tersebut sudah menjadi barang perdagangan yang wajib dizakatkan. Ini adalah pendapat al-Karabisi dari ulama mazhab Syafi’i. [Lihat: Al-Majmu’ (6/48)].
Perbedaan ini berdampak pada barang yang dimiliki tanpa perbuatannya seperti harta warisan yang diniatkan untuk diperniagakan. Pendapat pertama mengatakan bahwa harta tersebut tidak bisa menjadi barang perdagangan yang wajib dizakatkan.
Adapun pendapat kedua mengatakan barang tersebut selama menjadi miliknya dan diniatkan untuk diperniagakan maka dia menjadi barang yang wajib dizakatkan. Ini adalah pendapat yang kuat karena beberapa hal:
- Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya amalan tergantung niatnya”. Sehingga seseorang yang meniatkan barang miliknya untuk diperdagangkan maka dia menjadi barang perdagangan. [Lihat: Syarh al-Mumti’ (6/143)].
- Tidak ada perbedaan antara dia memilikinya dengan usahanya ataupun tidak, karena barang tersebut sudah menjadi miliknya. Begitu juga tidak ada pengaruh hukum terhadap suatu barang yang menjadi miliknya dengan usahanya ataupun tidak. [Lihat: Syarh al-Mumti’ (9/112)].
([27]) Hal ini berdasarkan ijmak sebagaimana dinukil oleh al-Khattabi, Ibnu Qudamah dan al-Kamal bin Humam [lihat: Ma’alim sunan (2/16), al-Mughni (3/36) dan Fath al-Qadir (2/221)].
([28]) Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan nisab dianggap sudah sempurna :
Pendapat pertama: Nisab hanya dihitung pada haul terakhir. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, Syafi’i dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Yusuf Qardhawi. [Lihat: fiqh az-Zakah (1/331)].
Pendapat kedua: Nisab berlaku pada seluruh haul, apabila nisab berkurang di pertengahan haul maka haulnya terputus. Ini merupakan pendapat mazhab Hanbali. [Lihat: Al-Iqna’ (1/246), al-Mughni (3/59)].
Pendapat ketiga: Nisab berlaku pada awal dan akhirnya, dan tidak berpengaruh sama sekali apabila nisab berkurang di pertengahan. Ini merupakan salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i. [Lihat: al-Majmu’ (6/55)].
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut kami lebih cenderung kepada pendapat kedua. Hal ini dikarenakan harta zakat perdagangan merupakan harta yang harus terpenuhi padanya nisab dan haul, maka wajib untuk berpatokan pada nisab pada keseluruhan haul sebagaimana harta-harta zakat yang lainnya yang berpatokan pada nisab dan keseluruhan haul. [lihat: Al-Mughni (3/59)].
([30])Ini adalah pendapat Imam Syafi’i. [Lihat: Al-Umm (2/5) dan Al-Majmu’ (6/50)].
Adapun menurut mazhab Hanbali, ia ditunaikan dengan ketentuan zakat perdagangan. [Lihat: Al-Mughni (3/61).
([31]) Disebutkan dalam al-Ma’aayiir Asy-Syar’iyyah hal 891 :
البِضَاعَةُ قِيْدَ التَّصْنِيْعِ تُزَكَّى بِقِيْمَتِهَا السُّوْقِيَةِ بِحَالَتِهَا يَوْمَ الْوُجُوْبِ، فَإِنْ لَمْ تُعْرَفْ لَهَا قِيْمَةٌ سُوْقِيَةٌ تُزَكَّى تَكْلِفَتُهَا
“Barang yang masih dalam proses produksi dibayar zakatnya sesuai dengan nilai jual pasarannya (harga jualnya) dalam kondisinya ketika waktu wajib pembayaran zakat. Jika tidak diketahui nilai jual pasarannya maka dibayar zakat pembiayaan produksinya”
([32]) Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin (18/146)
([33]) Lihat: Hasyiah Ad-Dasuqi (1/472)
([34]) Lihat: I’lam al-Muwaqqi’in (3/194-195)
([35]) Kasysyaf al-Qina’ (2/244).
([36]) Syarh Zad al-Mustaqni’ karya asy-Syinqithi (19/52).
([37]) Al-Ma’ayir asy-Syar’iyah hlm. 891.
([38]) Al-Ma’ayir asy-Syar’iyah hlm. 891.
([39]) Lihat: Al-Mughni (3/72).
([40]) Lihat: Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz (14/177)
([41]) Lihat: Fath al-Qadir (2/162), ad-Durr al-Mukhtar (2/265), al-Muhadzdzab (1/262-263) dan Kassyaf al-Qina’ (2/283).
([43]) Syarh an-Nawawi ‘ala Muslim, (7/55)
([44]) Lihat: Asy-Syarh al-Mumti’ (6/139).