Hukum Zakat Utang
Ada tiga pandangan dalam zakat utang:
- Apakah wajib bagi kreditur (pemberi pinjaman) selaku pemilik harta yang sebenarnya?
- Ataukah wajib bagi debitur (penerima pinjaman) karena ia yang memanfaatkannya?
- Ataukah keduanya tidak wajib zakat, karena kepemilikan masing-masing mereka berdua tidak sempurna?
Zakat Pemberi Pinjaman Uang
Utang terbagi menjadi dua macam:
- Utang yang diharapkan kembali kepada pemiliknya, karena berada di tangan peminjam yang memiliki keluasan harta dan mengakui berutang, maka pemiliknya mengeluarkan zakatnya dengan disegerakan bersama harta yang ia pegang setiap kali melewati haul. ([1])
- Utang yang tidak bisa diharapkan kembali kepada pemiliknya, karena berada di tangan peminjam yang kesulitan membayar dan tidak bisa diharapkan memiliki harta untuk membayar, atau berada di tangan peminjam yang menentang merasa tidak berutang sementara tidak ada bukti.
Maka ada beberapa pendapat:
- Pemiliknya mengeluarkan zakatnya jika sudah memegangnya untuk beberapa tahun yang berlalu (ini adalah mazhab Ali dan Ibnu Abbas).
Contohnya: Seorang menjual tanah seharga 100 juta rupiah, pembelinya adalah orang fakir, ia belum bisa membayarnya sampai berlalu 10 tahun, setelah itu baru penjual bisa memegang uangnya, maka ia mengeluarkan zakat untuk 10 tahun tersebut. Dia harus membayar 2.5 juta per tahun, sehingga total yang harus ia bayarkan untuk 10 tahun adalah 25 juta (2,5% dikali 10= 25%). - Dikeluarkan zakatnya jika sudah memegangnya untuk satu tahun (ini adalah mazhab Maliki).
- Tidak ada kewajiban zakat atas pemiliknya, baik untuk beberapa tahun maupun satu tahun yang lalu (ini adalah mazhab Hanafi).
Jika ada yang bertanya, bukankah zakat itu ditunaikan segera setelah mencapai haul, mengapa harus menunggu sudah memegangnya? Jawabannya adalah karena ada kemungkinan harta tersebut hilang di tangan orang yang berutang, atau tidak mampu membayarnya, atau mengingkarinya baik karena lupa maupun karena zalim. Karena alasan-alasan inilah, kreditur diberi keringanan mengakhirkan zakat sampai ia benar-benar memegang kembali uangnya. Walaupun seandainya jika ia berkenan menunaikan zakatnya sebelum ia memegangnya maka tidak mengapa. ([2])
Akan tetapi, pendapat yang terkuat adalah tidak wajib zakat bagi pemiliknya atas masa yang sudah berlalu, melainkan ia mulai menghitung haul baru sejak awal kali ia memegang kembali uangnya. Karena pada momen tersebutlah ia dianggap benar-benar memiliki harta tersebut dengan sempurna. Wallahu a’lam.
Syaikhul Islam berkata, “Pendapat yang terkuat adalah: tidak wajib zakat sama sekali, sampai melewati satu haul, atau wajib zakat sekali saja ketika memegangnya, pendapat ini memiliki alasan dan satunya juga demikian”. ([3])
Diriwayatkan secara sahih dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata, “Ini adalah bulan zakat kalian, siapa yang memiliki tanggungan utang maka hendaklah ia membayarkannya, sampai harta tersebut kalian dapatkan kemudian kalian tunaikan zakatnya”. ([4])
Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,
لَيْسَ فِيهِ زَكَاةٌ حَتَّى يَقْبِضَهُ
“Tidak ada zakat pada hutang sampai orangnya memegangnya” ([5]). ([6])
Zakat Peminjam Uang / Orang yang Berutang
Syekh Bin Baz rahimahullah mengatakan bahwa dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
Pertama: Utang menghalangi kewajiban zakat sesuai dengan kadar utangnya.
Kedua: Utang tidak menghalangi kewajiban zakat secara mutlak.
Ketiga: Diperinci, utang menghalangi zakat pada harta-harta yang batinah seperti uang dan semisalnya. Adapun pada harta-harta yang zahirah seperti hasil pertanian dan peternakan maka utang tidak menghalangi kewajibannya.
Pendapat yang rajih adalah pendapat yang kedua. Dalilnya adalah bahwa Nabi ﷺ tidak pernah memerintahkan kepada para petugas zakat untuk menanyakan kepada para muzaki apakah mereka memiliki utang atau tidak.([7])
Begitu juga agar orang-orang tidak bermudah-mudahan meninggalkan pembayaran zakat dengan alasan memiliki utang, padahal harta yang dipegang saat itu terbilang banyak nan mewah.
Solusinya adalah hendaknya muzaki yang memiliki utang segera membayarkan utangnya sebelum hartanya mencapai haul.
Footnote:
___________
([1]) Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Umar, Utsman dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat, serta dari selain mereka dari kalangan tabiin. [Lihat: Al-Amwal (hlm. 526)].
([2]) Lihat: Syarh Al-Mumti’ (6/26).
([3]) Lihat: Majmu’ Fatawa (25/48).
([4]) HR. Malik 591, Al-Baihaqi (4/148), dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Al-Irwa’ 789.
([5]) HR. Ibnu Abu Syaibah No. 10259.
([6]) Lihat: Shahih Fiqh Sunnah (2/14-15).
([7]) Lihat: https://binbaz.org.sa/fatwas/1481/ حكم-الزكاة-مع-وجود-الدين