Kisah Menakjubkan Tentang Tawakal
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Puncak dari peribadatan kepada Allah ﷻ adalah tawakal. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
التَّوَكُّلُ نِصْفُ الدِّينِ
“Tawakal adalah setengah dari agama.”([1])
Allah ﷻ berfirman,
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud : 123)
Ada bagian ibadah dan ada bagian tawakal secara terpisah. Seakan-akan ibadah ini dibangun di atas ibadah dan tawakal. Itulah yang sejatinya kita sebutkan setiap hari di dalam shalat,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami beribadah, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan (tawakal).” (QS. Al-Fatihah: 5)
Oleh karenanya, sebagian salaf mengatakan bahwa tawakal adalah setengah dari agama.
Saking agungnya tawakal, Nabi Muhammad ﷺ pun menyebutkan tentang golongan yang masuk surga tanpa hisab, di antara mereka adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah ﷻ. Yaitu ketika Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيْمٌ، فَقِيْلَ لِيْ: هَذِهِ أُمَّتُكَ، وَمَعَهُمْ سَبْعُوْنَ أَلْفًا يَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلاَ عَذَابٍ، ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ، فَخَاضَ النَّاسُ فِيْ أُوْلَئِكَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمُ الَّذِيْ صَحِبُوْا رَسُوْلَ اللهِ r، وَقَالَ بَعْضُهُمْ: فَلَعَلَّهُمْ الَّذِيْنَ وُلِدُوْا فِيْ الإِسْلاَمِ فَلَمْ يُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَذَكَرُوْا أَشْيَاءَ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُوْلُ اللهِ r فَأَخْبَرُوْهُ، فَقَالَ: هُمُ الَّذِيْنَ لاَ يَسْتَرْقُوْنَ وَلاَ يَتَطَيَّرُوْنَ وَلاَ يَكْتَوُوْنَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Tiba-tiba aku melihat lagi sekelompok orang yang lain yang jumlahnya sangat besar, maka dikatakan kepadaku, ‘Mereka itu adalah umatmu, dan bersama mereka ada 70.000 (tujuh puluh ribu) orang yang masuk surga tanpa hisab dan tanpa disiksa lebih dahulu’. Kemudian beliau bangkit dan masuk ke dalam rumahnya, maka orang- orang pun memperbincangkan tentang siapakah mereka itu? Ada di antara mereka yang berkata, ‘Barangkali mereka itu orang-orang yang telah menyertai Rasulullah ﷺ di dalam hidupnya’, dan ada lagi yang berkata, ‘Barangkali mereka itu orang-orang yang dilahirkan dalam lingkungan Islam hingga tidak pernah menyekutukan Allah dengan sesuatupun, dan yang lainnya menyebutkan yang lain pula’. Kemudian Rasulullah ﷺ keluar dan mereka pun memberitahukan hal tersebut kepada beliau. Maka beliau ﷺ bersabda, ‘Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah minta rukyah, tidak melakukan tathayyur dan tidak pernah meminta lukanya ditempeli besi yang dipanaskan, dan mereka pun bertawakal kepada Tuhan mereka’.”([2])
Tawakal inilah yang menjadikan mereka tidak meminta untuk dirukyah. Kesempurnaan tawakal mereka menjadikan mereka tidak minta untuk dirukyah, tidak meminta untuk diobati dengan kay (besi yang dipanaskan) dan karena kesempurnaan tawakal mereka, mereka tidak bertathayyur. Sehingga jadilah sifat utama orang-orang yang masuk ke dalam surga tanpa azab dan tanpa hisab adalah tawakal kepada Allah ﷻ.
Tidaklah seseorang memiliki tawakal yang tinggi, kecuali hatinya sudah dipenuhi dengan tauhid, ibadah yang kuat, meyakini bahwa Allah ﷻ yang Maha Pengatur alam semesta ini. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّمَا أَمْرُهُ إِذَا أَرَادَ شَيْئًا أَنْ يَقُولَ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ
“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Yasin : 82)
Orang yang bertawakal itu tahu bahwa segala urusan di bawah kendali Allah ﷻ. Dia tahu segala yang terjadi atas kehendak Allah ﷻ. Dia yakin dan tahu bahwa apa yang Allah ﷻ kehendaki, pasti terjadi dan apa saja yang tidak Allah ﷻ kehendaki, maka tidak akan terjadi. Dia tahu bahwa Allah ﷻ mampu mengubah segala kondisi sesuai atas kehendak-Nya. Maka, dia pun menyerahkan segala urusannya kepada Allah ﷻ.
Oleh karenanya, hendaknya seorang mukmin mengisi hari-harinya dengan tawakal. Paling tidak, setiap kali dia melakukan suatu perbuatan, maka dia mengucapkan basmalah, yaitu ucapan بِسْمِ اللَّه . Basmalah adalah kalimat tawakal. Dengan nama Allah ﷻ dia bertawakal kepada Allah ﷻ. Sejak dia keluar dari rumahnya sampai tidur, dia bertawakal kepada Allah ﷻ. Ketika dia keluar dari rumahnya dia berdoa,
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.” ([3])
Begitu juga saat hendak tidur, Rasulullah r mengajarkan untuk berdoa,
سُبْحَانَكَ اللهُمَّ رَبِّي بِكَ وَضَعْتُ جَنْبِي، وَبِكَ أَرْفَعُهُ، إِنْ أَمْسَكْتَ نَفْسِي، فَاغْفِرْ لَهَا، وَإِنْ أَرْسَلْتَهَا فَاحْفَظْهَا بِمَا تَحْفَظُ بِهِ عِبَادَكَ الصَّالِحِينَ
“Maha suci Engkau Ya Allah Rabb-ku, dengan-Mu aku meletakkan lambungku, karena Engkau-lah aku bisa mengangkatnya, jika Engkau telah memegang ruhku, maka ampunilah diriku dan jika Engkau mengembalikan ruhku, maka jagalah jiwaku sebagaimana Engkau menjaga hamba-hamba-Mu yang saleh.”([4])
Begitu juga dengan doa yang diriwayatkan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu untuk berdoa,
اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ، وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ، وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ
“Ya Allah aku serahkan jiwaku kepada-Mu, aku pasrahkan urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu.” ([5])
Sejatinya tawakal bukan hanya di dalam perkara-perkara duniawi saja. Namun, kebanyakan orang bertawakal dalam perkara-perkara duniawi. Di dalam mencari rezeki dia bertawakal, mencari jodoh juga bertawakal, setiap kali ada permasalahan bertawakal.
Tawakal juga berkaitan dengan ibadah. Seseorang ketika beribadah, hendaknya dia bertawakal kepada Allah. Berdasarkan firman Allah ﷻ,
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud : 123)
Maka, ketika seseorang menunaikan haji, dia bertawakal kepada Allah ﷻ. Ketika umrah dia bertawakal kepada Allah ﷻ. Bahkan, ketika dia mendirikan shalat pun, dia bertawakal kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ، الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ، وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat), dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” (QS. Asy-Syu’ara : 217-220)
Oleh karenanya, hendaknya setiap muslim berusaha melatih dirinya untuk mencapai tawakal. Kita tahu bahwa tawakal itu bertingkat-tingkat. Semakin tinggi tawakalnya, maka akan semakin mudah baginya untuk masuk surga tanpa azab dan hisab.
Terdapat kisah yang menarik tentang cerita dua orang yang bertawakal. Sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam Shahihnya, di antaranya adalah bab tentang Al-Kafalah, Al-Luqathah, dan bab-bab yang lain, di mana beliau menyebutkannya secara berulang-ulang. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Al-Laits berkata, Ja’far bin Rabi’ah mengabarkanku, dari Abdurrahman bin Hurmuz, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ bersabda,
أَنَّهُ ذَكَرَ رَجُلًا مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ، سَأَلَ بَعْضَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ، فَقَالَ: ائْتِنِي بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ، فَقَالَ: كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا، قَالَ: فَأْتِنِي بِالكَفِيلِ، قَالَ: كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلًا، قَالَ: صَدَقْتَ، فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى، فَخَرَجَ فِي البَحْرِ فَقَضَى حَاجَتَهُ، ثُمَّ التَمَسَ مَرْكَبًا يَرْكَبُهَا يَقْدَمُ عَلَيْهِ لِلْأَجَلِ الَّذِي أَجَّلَهُ، فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا، فَأَخَذَ خَشَبَةً فَنَقَرَهَا، فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ وَصَحِيفَةً مِنْهُ إِلَى صَاحِبِهِ، ثُمَّ زَجَّجَ مَوْضِعَهَا، ثُمَّ أَتَى بِهَا إِلَى البَحْرِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلاَنًا أَلْفَ دِينَارٍ، فَسَأَلَنِي كَفِيلاَ، فَقُلْتُ: كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلًا، فَرَضِيَ بِكَ، وَسَأَلَنِي شَهِيدًا، فَقُلْتُ: كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا، فَرَضِيَ بِكَ، وَأَنِّي جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِي لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ، وَإِنِّي أَسْتَوْدِعُكَهَا، فَرَمَى بِهَا فِي البَحْرِ حَتَّى وَلَجَتْ فِيهِ، ثُمَّ انْصَرَفَ وَهُوَ فِي ذَلِكَ يَلْتَمِسُ مَرْكَبًا يَخْرُجُ إِلَى بَلَدِهِ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، يَنْظُرُ لَعَلَّ مَرْكَبًا قَدْ جَاءَ بِمَالِهِ، فَإِذَا بِالخَشَبَةِ الَّتِي فِيهَا المَالُ، فَأَخَذَهَا لِأَهْلِهِ حَطَبًا، فَلَمَّا نَشَرَهَا وَجَدَ المَالَ وَالصَّحِيفَةَ، ثُمَّ قَدِمَ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، فَأَتَى بِالأَلْفِ دِينَارٍ، فَقَالَ: وَاللَّهِ مَا زِلْتُ جَاهِدًا فِي طَلَبِ مَرْكَبٍ لِآتِيَكَ بِمَالِكَ، فَمَا وَجَدْتُ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي أَتَيْتُ فِيهِ، قَالَ: هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَيَّ بِشَيْءٍ؟ قَالَ: أُخْبِرُكَ أَنِّي لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي جِئْتُ فِيهِ، قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِي بَعَثْتَ فِي الخَشَبَةِ، فَانْصَرِفْ بِالأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا
“Sungguh pada suatu hari beliau ﷺ mengisahkan seorang lelaki dari Bani Israil yang meminta kepada sebagian dari mereka agar mengutanginya uang sejumlah seribu dinar (4250 gram/4,25 Kg emas). Pemilik uang itu berkata kepadanya, ‘Datangkanlah para saksi agar aku dapat mempersaksikan piutang ini kepada mereka!’. Dia menjawab, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’ Pemilik uang kembali berkata, ‘Jika demikian, datangkanlah penjamin piutangmu?’ Dia kembali menjawab, ‘Cukuplah Allah sebagai penjamin.’ Mendengar jawaban itu, pemilik uangpun menimpalinya dengan berkata, ‘Engkau telah benar’. Setelah itu, dia pun memberikan piutang seribu dinar hingga tempo waktu yang disepakati. Setelah itu, lelaki itu pergi hendak melakukan perjalanan di laut hingga dia dapat menuntaskan keperluannya. Kemudian dia mencari kapal yang dapat mengantarkannya agar dapat menunaikan utangnya tepat waktu pada tempo yang telah disepakati, tetapi ia tidak mendapatkan sama sekali satu kapalpun. Maka, dia pun mengambil sebatang kayu, dan melubanginya, lalu dia pun memasukkan uang 1000 dinar beserta secarik surat ke dalam kayu itu, kemudian dia meratakan bagian kayu yang telah dia lubangi hingga rapat, kemudian pergi membawanya menuju ke laut. Sesampainya di pantai dia pun berdoa, ‘Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku telah berutang kepada si fulan uang sejumlah seribu dinar. Tatkala ia meminta agar aku mendatangkan seorang penjamin, maka aku menjawabnya, Cukuplah Allah sebagai penjamin, dan dia pun rida Engkau sebagai penjamin. Tatkala dia meminta agar aku mendatangkan saksi, aku menjawabnya, Cukuplah Allah sebagai saksi, dan dia pun rida Engkau sebagai saksi. Sesungguhnya aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kapal guna menitipkan haknya, akan tetapi aku tidak mendapatkannya. Sesungguhnya, sekarang ini aku titipkan uang ini kepada-Mu.’ Lelaki tersebut melemparkan kayu tersebut ke laut, hingga tenggelam. Kemudian dia pergi dan tanpa menanti lebih lama, dia bergegas tidak kunjung hentinya mencari kapal yang berlayar agar dapat pulang ke negerinya. Pada suatu hari orang pemberi piutang keluar rumah melihat ke arah pantai, siapa tahu ia mendapatkan kapal yang membawa (dititipi) uang yang telah ia utangkan. Tiba-tiba ia menemukan sebatang kayu yang di dalamnya tersimpan uangnya. Dia pun segera memungut kayu tersebut untuk dijadikan kayu bakar. Setibanya di rumah, dia segera membelah kayu itu. Betapa terkejutnya, dia mendapatkan uangnya beserta secarik surat. Tak selang berapa lama, lelaki (pengutang) tiba dari kepergiannya, dan dia segera mendatangi orang yang telah meminjamkan uang kepadanya dengan membawa uang seribu dinar yang lain. Dengan penuh rasa sungkan, dia berkata kepadanya, ‘Aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kapal, untuk memenuhi janjiku dan menyerahkan uangmu, akan tetapi aku tidak mendapatkan satu kapal pun selain kapal yang aku tumpangi ini.’ Sahabatnya pun segera berkata, ‘Apakah engkau telah mengirimkan sesuatu kepadaku?’. (Karena merasa kawatir uangnya tidak sampai kepadanya), maka dia menjawab, ‘Aku katakan bahwa aku tidak mendapatkan kapal selain kapal yang baru saja saya tumpangi ini.’ Sahabatnya pun berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Allah telah menyampaikan uang yang telah engkau sisipkan ke dalam sebatang kayu, maka silahkan anda bawa kembali uang seribu dinar yang engkau bawa ini’.”([6])
Di dalam riwayat lain disebutkan bahwa setelah menyampaikan kisah ini, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَكْثُرُ مِرَاؤُنَا وَلَغَظُنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَنَا أَيُّهُمَا آمَنُ
“Sungguh aku melihat kami (para sahabat) banyak berdiskusi dan bergemuruh suara di antara kami di sisi Rasulullah ﷺ manakah di antara keduanya yang lebih amanah.”([7])
Setelah Rasulullah ﷺ menceritakan kisah dua orang dari bani Israil tersebut, para sahabat saling berdiskusi di antara mereka, manakah yang lebih amanah antara orang yang memberi utang dan orang membayar utang?
Inilah di antara kisah menakjubkan yang pernah terjadi dari kalangan bani Israil. Kita tahu bahwasanya kaidah menyatakan,
شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعٌ لَنَا
“Syariat umat sebelum kita adalah syariat kita.”
Artinya syariat umat sebelum kita adalah syariat bagi kita jika tidak ada dalil dari syariat kita yang memansukhkan syariat tersebut. Ini adalah pendapat yang kuat dari para Ushuliyin (pakar ushul fikih). Oleh karenanya, banyak dari para ahli hadits, seperti Imam Al-Bukhari, sering berdalil dengan kisah-kisah orang-orang terdahulu, di mana kisah-kisah tersebut disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ, di antaranya adalah kisah-kisah Israiliyat.
Kisah-kisah Israiliyat sampai kepada kita dengan jalur yang sahih dan tidak sahih. Jika kisah tersebut bersumber dari jalur yang tidak sahih, maka kita tidak perlu menengok kisah-kisah tersebut, karena tidak bisa dijadikan dalil.
Namun, ada kisah-kisah yang datang dari jalur yang sahih, entah kisah tersebut datang melalui Nabi Muhammad ﷺ, atau para sahabat. Terdapat khilaf di kalangan para Ushuliyin tentang kisah yang datang kepada kita dengan sanad yang sahih dan jika ada hukum-hukum yang berlaku kepadanya, apakah berlaku juga bagi kita atau tidak? Dan yang benar adalah شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعٌ لَنَا ‘Syariat umat sebelum kita adalah syariat kita’ selama tidak ada dalil-dalil yang memansukhkan syariat tersebut.
Ketika Allah ﷻ menyebutkan tentang para nabi, Allah ﷻ berfirman,
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ
“Mereka itulah (para nabi) yang telah diberi petunjuk oleh Allah.” (QS. Al-An’am: 90)
Maka, ini merupakan dalil bahwasanya apa saja yang sampai kepada kita dari para nabi terdahulu merupakan syariat bagi kita.
Oleh karenanya, tujuan Allah ﷻ menceritakan tentang kisah-kisah para nabi adalah agar semua orang bisa meniru mereka. Syariat mereka menjadi syariat kita, kecuali jika ada dalil yang memansukhkan. Contohnya adalah seperti kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam di dalam firman Allah ﷻ,
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِنْ مَحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَاسِيَاتٍ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (QS. As-Saba’: 13)
Nabi Sulaiman ‘alaihissalam memiliki jin-jin yang bekerja untuk beliau. Di antara pekerjaan mereka adalah membuat patung-patung, sedangkan di syariat kita tidak diperbolehkan membuat patung. Inilah termasuk contoh bahwasanya bisa jadi ada di antara syariat kita yang telah memansukhkan syariat nabi terdahulu, sehingga syariat kita tidak membolehkan hal tersebut.
Namun, kisah yang disampaikan ini adalah pelajaran yang disampaikan oleh Nabi Muhammad ﷺ kepada para sahabat. Oleh karenanya, apa saja hukum-hukum yang berlaku di dalam kisah ini, meskipun berlaku bagi umat sebelum kita, tetapi berlaku juga bagi kita. Karena Nabi Muhammad ﷺ menceritakan sebuah kisah yang di dalamnya menggambarkan kondisi bagaimana kedua orang tersebut diuji. Sehingga, ketika para sahabat mendengar kisah ini, membuat mereka berselisih pendapat tentang siapakah orang yang lebih memiliki sifat amanah di antara keduanya.
Jadi, kisah ini memang dibawakan untuk menguji kedua orang tersebut dan agar para sahabat mengambil pelajaran dari kisah tersebut, sehingga mereka mengakui sifat amanah dari kedua orang tersebut.
Kisah tersebut bermula tentang dua orang lelaki dari bani Israil. Barang kali keduanya merupakan dua orang sahabat yang saling mengenal. Salah satu dari keduanya meminjam uang kepada sahabatnya dengan jumlah yang tidak sedikit, yaitu 1000 dinar. Jika disetarakan, maka nominal tersebut sama dengan 4,25 kg emas. Akhirnya, seorang sahabat tersebut meminjamkan uang kepadanya.
Meminjamkan uang merupakan ibadah yang agung. Oleh karenanya, banyak sekali ayat-ayat di dalam Al-Quran yang menjelaskan hal ini, sebagaimana firman Allah ﷻ,
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
“Barang siapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipat gandakan ganti kepadanya dengan banyak.” (QS. Al-Baqarah: 245)
Di dalam ayat ini menjelaskan agungnya pahala orang yang memberikan pinjaman kepada orang lain. Sampai-sampai Allah ﷻ menamakan orang yang meminjamkan uang kepada orang yang membutuhkan dengan seakan-akan meminjamkannya kepada Allah ﷻ.
Padahal, Allah ﷻ tidak butuh kepada itu semua, tapi Allah ﷻ menyebutnya seakan-akan meminjamkannya kepada-Nya agar manusia yakin bahwasanya orang yang memberi pinjaman pasti mendapatkan pahala. Allah ﷻ pasti akan mengganti pinjaman tersebut. Allah ﷻ memosisikan Dzat-Nya seakan-akan sedang meminjam. Jika yang meminjam Allah ﷻ, pasti akan dikembalikan, karena Allah ﷻ adalah Dzat yang Maha Kaya([8]).
Oleh karenanya, disebutkan di dalam satu hadits tentang seorang yang masuk surga karena selalu meminjamkan uang kepada orang lain. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
تَلَقَّتِ الْمَلَائِكَةُ رُوحَ رَجُلٍ مِمَّنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، فَقَالُوا: أَعَمِلْتَ مِنَ الْخَيْرِ شَيْئًا؟ قَالَ: لَا، قَالُوا: تَذَكَّرْ، قَالَ: كُنْتُ أُدَايِنُ النَّاسَ فَآمُرُ فِتْيَانِي أَنْ يُنْظِرُوا الْمُعْسِرَ، وَيَتَجَوَّزُوا عَنِ الْمُوسِرِ، قَالَ: قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: تَجَوَّزُوا عَنْهُ
“Malaikat menerima ruh dari umat sebelum kalian, lalu mereka bertanya, ‘Apakah engkau melakukan satu kebaikan wahai Fulan?’. Dia berkata, ‘Tidak.’ Mereka berkata, ‘Ingatlah.’ Dia berkata, ‘Dahulu aku pernah memberi utang kepada orang-orang, maka aku perintahkan budak-budakku untuk menangguhkan waktu kepada orang yang sulit membayar utang dan memberikan keringanan kepada mereka yang mudah membayarnya.’ Allah ﷻ berfirman, ‘Ampunilah dosa-dosanya.’”([9])
Oleh karenanya, memberi utang kepada orang lain menjadi pahala yang besar bagi orang yang melakukannya. Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ السَّلَفَ يَجْرِي مَجْرَى شَطْرِ الصَّدَقَةِ
“Sesungguhnya pahala memberi utang mengalir seperti mengalirnya setengah sedekah.”([10])
Artinya jika ada seseorang yang memberi pinjaman uang (utang) kepada orang lain sebesar Rp 1.000.000,00. Sejatinya orang yang memberi utang seperti telah bersedekah sebesar Rp 500.000,00, meskipun utang tersebut akan dibayarkan kembali kepadanya.
Kondisi ini berbeda dengan orang yang bersedekah, misalnya dia bersedekah kepada orang lain sebesar Rp 500.000,00. Setelah itu, uang tersebut akan lenyap darinya. Namun, jika dia memberikan pinjaman kepada orang lain sebesar Rp 1.000.000,00, maka seakan-akan dia telah bersedekah setengahnya. Tentu saja, ini adalah ibadah yang sangat mulia.
Kita tahu bahwasanya pada zaman sekarang, ibadah ini semakin sulit untuk dikerjakan. Sebagian orang semakin sulit memberikan utang/pinjaman kepada orang lain. Jika ada orang memberikan utang/pinjaman kepada orang lain, sejatinya dia adalah orang yang baik. Karena pada zaman sekarang ini, sangat sulit untuk mudah percaya kepada orang lain, apalagi menemukan orang yang mau memberikan utang/pinjaman.
Setiap kali kita hendak memberikan pinjaman kepada seseorang, maka kita akan bertanya tentang identitas orang tersebut. Ketika kita hendak memberikan utang tersebut, maka kita akan khawatir apabila utang tersebut tidak dibayarkan, terutama jika yang meminjam adalah orang yang miskin.
Mencari pinjaman pada zaman sekarang juga susah. Akibatnya banyak orang yang terpaksa mencari pinjaman ke bank, pegadaian ataupun rentenir, karena mereka tidak menemukan orang yang mau meminjamkan uangnya. Apalagi di zaman pandemi, semua orang menahan erat-erat hartanya.
Oleh karenanya, jika kita mendapati orang yang memberikan pinjaman kepada kita, sejatinya dia adalah orang yang baik. Hendaknya bersyukur kepada Allah ﷻ, karena ada orang yang peduli kepada kita dengan memberikan pinjaman kepada kita. Begitu pula, jika kita dalam kondisi memiliki banyak kelebihan rezeki, maka hendaknya kita berbuat baik dengan memberikan pinjaman kepada orang lain. Perbuatan ini merupakan pahala yang besar, bahkan pahalanya sepadan dengan setengah pahala sedekah.
Kisah yang disebutkan oleh Nabi Muhammad ﷺ tersebut menceritakan bahwa lelaki dari bani Israil itu meminjam uang dengan nominal yang tidak sedikit, yakni 1000 dinar. Bagaimanapun juga, sahabatnya tersebut tahu bahwa lelaki itu meminjam uang dengan nominal yang tidak sedikit. Oleh karenanya, dia meminta agar didatangkan saksi, dan ini termasuk sunah dari Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah penulis menolak untuk menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah dia menuliskan. Dan hendaklah orang yang berutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia mengurangi sedikit pun dari padanya. Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya atau lemah (keadaannya), atau tidak mampu mendiktekan sendiri, maka hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki di antara kamu.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Utang-piutang adalah salah satu perkara tentang hak yang wajib ditunaikan kepada orang lain. Di antara sunahnya adalah mencatat hal-hal yang berkaitan dengan akad tersebut dan mendatangkan saksi. Tentu saja, ini termasuk hal yang penting.
Kenapa harus ada pencatatan dan saksi? Karena dengan adanya catatan dan saksi, jika orang yang meminjam tersebut hendak berbuat jahat, maka dia akan mengurungkan niatnya untuk melakukan kejahatannya. Dia menyadari adanya catatan akad sekaligus orang yang menyaksikannya. Dengan menjalankan aturan tersebut, sejatinya dia telah menjalankan sesuatu yang baik.
Maka dari itu, ketika Pemilik uang tersebut berkata,
ائْتِنِي بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ
“Datangkanlah para saksi agar aku dapat mempersaksikan piutang ini kepada mereka!”
Maka, lelaki yang hendak meminjam uang tersebut berkata,
كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
‘Cukuplah Allah sebagai saksi.’
Sungguh kondisi yang sangat berat. Di saat dia harus meminjamkan harta yang setara dengan 4250 gram atau 4,25 kilogram emas, lalu menjadikan Allah ﷻ sebagai saksi. Rupanya, lelaki tersebut adalah orang yang saleh, maka dia menerima penawaran tersebut. Dia rida Allah ﷻ menjadi saksi-Nya. Padahal, uang yang dipinjamkan bukanlah harta yang sedikit. Jika satu gram emas senilai dengan uang Rp 1.000.000,00, maka 4250 gram emas = Rp 4.250.000.000,00. Sangat sulit bagi setiap orang untuk melakukan ini, kecuali dia benar-benar orang saleh.
Ketika Pemilik uang tersebut bertanya,
فَأْتِنِي بِالكَفِيلِ
“Jika demikian, datangkanlah penjamin piutangmu?”
Maka, lelaki tersebut menjawab,
كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلًا
“Cukuplah Allah sebagai penjamin.”
Barang kali keduanya sudah saling mengenal baik antara satu dengan yang lain. Sehingga ketika salah satu dari keduanya meyakinkan bahwa cukuplah Allah ﷻ sebagai saksi dan penjamin, maka sahabatnya pun menerimanya. Oleh karenanya, Allah ﷻ berfirman,
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ
“Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya).” (QS. Al-Baqarah: 283)
Setelah itu, pemilik uang itu pun memberikan piutangnya sebesar seribu dinar hingga tempo waktu yang disepakati. Ketika menerima uang pinjam sebesar seribu dinar, lelaki itu pun pergi melakukan perjalanan di laut hingga dia dapat menuntaskan keperluannya.
Sampai pada suatu hari, di mana telah tiba waktunya untuk membayar utangnya. Yang sangat menakjubkan sifat amanah lelaki dari bani Israil tersebut adalah dia ingin membayar utangnya tepat pada waktunya. Dia merasa sangat gelisah saat hendak melunasi utangnya. Dia berusaha mencari kapal untuk menitipkan uang tersebut, tetapi dia tidak menemukan satu kapal pun yang hendak berlayar.
Sementara pemilik uang tersebut percaya dengan sahabatnya yang telah meminjam uang kepadanya bahwa pada hari tersebut dia akan datang menepati janjinya, sedangkan dia sendiri menunggu akan kedatangannya.
Inilah yang membuat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan keadaan para sahabat saat itu, di mana mereka saling berselisih dalam diskusi mereka, أَيُّهُمَا آمَنُ “Manakah di antara keduanya yang lebih amanah?”, antara pemilik uang itu atau lelaki yang meminjam uang tersebut.
Intinya, orang yang meminjam uang tersebut merasa sangat gelisah ketika tiba waktu pembayaran utangnya. Kegelisahan tersebut terlihat saat dia telah menyiapkan sejumlah harta yang dia pinjam dan berusaha keras mencari kapal agar bertemu kepada orang yang telah meminjamkan uang kepadanya. Dia bersungguh-sungguh untuk membayarkan utangnya pada saat itu juga. Inilah sejatinya amanah.
Rasulullah ﷺ bersabda,
مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ
“Menunda bayar utang kepada orang kaya adalah kezaliman.”([11])
Barang siapa memiliki utang, sedangkan dia memiliki uang, tetapi dia tidak mau melunasi utangnya, sejatinya dia telah berbuat zalim. Pada zaman sekarang, sebagian orang memiliki tanggungan utang, tapi menunda-nunda untuk membayarkannya. Ketika ditagih, dia mengaku tidak memiliki uang untuk melunasinya. Padahal, dirinya memiliki kendaraan mewah yang berjejer di depan rumahnya. Tentu saja, ini termasuk perbuatan zalim.
Di dalam syariat Islam, jika ada orang yang berutang, lalu ketika telah tiba waktunya untuk melunasinya, tiba-tiba dia tidak memiliki uang tunai untuk melunasinya, tetapi memiliki aset harta yang lain, maka dibolehkan untuk mengambil aset harta simpanannya tersebut. Pihak pemerintah dibolehkan untuk mengambil aset tersebut, lalu menjualnya guna melunasi utangnya([12]).
Namun, yang menjadi kenyataan yang sangat menyedihkan pada zaman sekarang ini adalah adanya sebagian orang yang memiliki utang, lalu ketika memiliki uang malah memilih menunda pembayaran utangnya. Mereka tidak merasa malu karena telah menunda membayar utangnya, padahal memiliki uang untuk melunasinya, sedangkan mereka sendiri tidak tahu ancaman dari Nabi Muhammad ﷺ. Jika belum jatuh tempo pembayaran, tentunya tidaklah bermasalah. Namun, jika tempo pembayaran telah ditentukan, tetapi masih menunda pembayaran utangnya, padahal memiliki kemampuan untuk melunasinya, maka ini adalah kezaliman.
Selama dia tidak membayarkan utangnya, maka argo dosanya akan terus berjalan. Oleh karenanya, hendaknya berhati-hati, dosa zalim tidak seperti dosa yang lain. Rasulullah ﷺ bersabda,
الظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ القِيَامَةِ
“Kezaliman adalah kegelapan yang bertumpuk-tumpuk pada hari kiamat kelak.”([13])
Jangan sampai hanya karena sikap kita yang salah kepada orang lain, ternyata membuatnya menjadi kesusahan, sehingga membuat kita susah untuk melewati sirath pada hari kiamat kelak, karena kezaliman dan kegelapan yang menutupi kita pada hari kiamat.
Pada kisah tersebut disebutkan bahwa lelaki dari bani Israil itu merasa sangat gelisah, karena dia merasa sangat ingin membayar utang pada waktunya. Dia telah berusaha menepati janjinya. Inilah yang disebut dengan tawakal. Dia telah berusaha mencari kapal untuk menunaikan janjinya.
Tawakal adalah dengan menggabungkan antara dua hal, yaitu:
اعْتِمَادُ الْقَلْبِ عَلَى اللَّهِ مَعَ الْأَخْذِ بِالْأَسْبَابِ
“Menyandarkan hati kepada Allah disertai dengan mengambil sebab (ikhtiar).”([14])
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kalian, sebagaimana Dia telah memberikan rezeki kepada burung yang berangkat di pagi hari dalam keadaan perut kosong dan kembali dalam keadaan perut kenyang.” ([15])
Hendaknya setiap orang selalu berusaha di dalam hal apa pun. Burung saja yang tidak mempunyai akal tahu bahwa dia harus berusaha. Bukan layaknya sebagian orang yang mengaku bertawakal, tetapi dia tidak berusaha, yang penting duduk berzikir saja. Tentu saja, tidak demikian. Tawakal itu harus berusaha.
Oleh karenanya, setiap pagi hari burung telah bertengger di pohon dan mulai berkicau, loncat dari dahan pohon ke dahan pohon yang lain atau terbang ke sana ke mari. Namun, kenyataannya sebagian orang ketika di waktu pagi hari masih mendengkur nyenyak di dalam tidurnya. Ketika melaksanakan shalat pun menunaikannya dengan kemalasan, apalagi saat imam shalat membaca bacaan ayat yang panjang, maka dia akan merasa kepanasan.
Tawakalnya masih kalah dengan tawakalnya burung, di mana sejak pagi sudah berkicau dan terbang ke sana ke mari, karena dia tahu bahwa untuk mencari rezeki, dia harus berusaha.
Lelaki dari bani Israil tersebut berusaha dengan bekerja dan mengumpulkan uang. Untuk melunasi utangnya, dia berusaha mencari kapal untuk mengantarkan uang tersebut. Maka, dia berusaha semaksimal mungkin.
Dia tidak mendapati kapal yang hendak mengantarkannya, sedangkan waktu pelunasan utang telah datang. Dia tidak ingin melakukan dosa. Apa yang dia lakukan? Dia bertawakal kepada Allah ﷻ dengan mencari kayu. Dengan perbuatannya tersebut, dia ingin berhujah di hadapan Allah ﷻ, ‘Ya Allah, saya sudah berusaha’.
Dia sudah berusaha untuk menepati janjinya, namun dia tidak mendapatkan kapal untuk mengantarkannya. Akhirnya dia meletakkan uang yang hendak dibayarkan kepada orang yang memberikan pinjaman uang kepadanya di kayu tersebut dan menyerahkan segalanya kepada Allah ﷻ.
Para ulama menjelaskan bahwa ketika seseorang bertawakal kepada Allah ﷻ, maka dia akan berusaha mengambil sebab, tetapi hatinya jangan bersandar kepada sebab. Hendaknya hatinya bersandar kepada Yang menciptakan sebab-akibat([16]).
Sebagaimana jika kita sedang sakit, maka kita akan bertawakal dengan berobat atau pergi ke dokter. Maka, jangan sampai tawakal kita kepada dokter. Dokter hanya sebab. Yang menyembuhkan adalah Allah ﷻ. Ini sangat rawan.
Betapa sering seseorang terjerumus di dalam hal ini. Dia berikhtiar, tetapi hatinya bertawakal kepada sebab/wasilah, bukan kepada Allah ﷻ. Sehingga ketika dia bekerja, dia merasa bahwasanya rezekinya dari bosnya, bukan dari Allah ﷻ. Ketika dia berobat, dia merasa bahwa kesembuhannya dari dokter tersebut.
Ini adalah perbuatan yang salah. Hendaknya seseorang selalu mengatur hatinya bahwasanya kesembuhan dan rezekinya dari Allah ﷻ. Dokter dan pimpinannya hanyalah sebab. Namun, hendaknya dia tidak lupa untuk selalu bertawakal kepada Allah ﷻ dan berikhtiar.
Ketika seseorang sudah tidak menemukan sebab sama sekali, maka janganlah dia putus asa. Bisa jadi Allah ﷻ ciptakan akibat tanpa sebab, atau dengan sebab yang sangat kecil, tiba-tiba Allah ﷻ menciptakan akibat yang besar. Contohnya sangat banyak, di antaranya adalah seperti kisah Maryam ‘alaihassalam. Ketika dia sudah tidak mampu untuk berusaha, sementara telah tiba waktunya untuk melahirkan Nabi ‘Isa ‘alaihissalam, seorang wanita yang hendak melahirkan dalam kondisi yang sangat lemah, kehausan dan kelaparan. Maka, dia pun bersandar di sebuah batang pohon kurma, dan Allah ﷻ berfirman,
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
“Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya (pohon) itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam: 25)
Maryam ‘alaihissalam tidaklah menggoyangkannya, tetapi hanya menyentuhnya saja. Tidak mungkin, dia bisa menggoyangkan batang pohon kurma tersebut. Ternyata kurma berjatuhan dari pohon tersebut.([17])
Allah ﷻ telah mengajarkan manusia untuk berusaha. Tatkala tidak ada usaha pun, Allah ﷻ bisa memberikan akibat. Lihatlah, ketika Maryam ‘alaihissalam hanya berada di dalam mihrab (tempatnya beribadah kepada Allah ﷻ). Seorang perempuan yang hanya berdiam diri di rumahnya dan tidak pergi ke mana-mana. Yang menanggung dirinya adalah Nabi Zakariya ‘alaihissalam. Ternyata, Allah ﷻ memberikan akibat kepadanya tanpa sebab. Allah ﷻ berfirman,
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا قَالَ يَامَرْيَمُ أَنَّى لَكِ هَذَا قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di mihrab (kamar khusus ibadah), dia dapati makanan di sisinya. Dia berkata, “Wahai Maryam! Dari mana ini engkau peroleh?” Dia (Maryam) menjawab, “Itu dari Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” (QS. Ali ‘Imran: 37)
Inilah contoh akibat tanpa sebab. Nabi Zakariya ‘alaihissalam ketika hendak mengantarkan makanan kepada Maryam, dia selalu melihat ada makanan yang sudah ada di hadapan Maryam ‘alaihassalam. Para ulama menjelaskan bahwa makanan tersebut adalah makanan yang menakjubkan, makanan yang buah-buahan yang harusnya tumbuh di musim panas, tetapi juga tumbuh pada musim dingin atau buah-buahan yang tumbuh pada musim dingin, tetapi tumbuh juga di musim panas. Makanan tersebut Allah ﷻ telah menghidangkannya kepada Maryam.([18])
Ini termasuk contoh bahwa sejatinya Maryam tidak melakukan sebab. Karena dia adalah seorang wanita yang hanya diam di tempatnya, berzikir dan beribadah kepada Allah ﷻ, maka Allah ﷻ memberikan kepadanya akibat tanpa sebab.
Di dalam Al-Quran, kisah Maryam memberikan dua contoh kepada kita, yaitu:
- Adanya akibat karena melakukan sebab/usaha yang ringan
Maryam melakukan sebab yang ringan Ketika dia hendak melahirkan, Allah ﷻ memerintahkannya untuk melakukan ikhtiar/sebab. Meskipun dengan hal yang kecil, yaitu dengan menggoyangkan pohon kurma. Siapa yang mampu menggoyangkan pohon kurma? Terlebih lagi Maryam saat itu dalam keadaan hendak melahirkan. Namun, dia berusaha menggoyangkan pohon tersebut, dan tiba-tiba buah kurma berjatuhan dari pohon tersebut.
- Adanya akibat tanpa ada usaha sama sekali.
Terkadang Allah ﷻ memberikan akibat tanpa usaha sama sekali, seperti ketika Maryam berada di Mihrab dalam keadaan berzikir, dan tiba-tiba Allah mendatangkan makanan kepadanya.
Bahkan, terkadang Allah ﷻ bisa menciptakan akibat yang berbalik dengan akibat yang seharusnya. Contohnya adalah ketika Nabi Ibrahim ‘alaihissalam hendak ditangkap oleh kaumnya. Seluruh kaumnya kafir, kecuali Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Mereka mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk menyalakan api.
Mereka menyalakan api yang sangat besar, tidak pernah ada api yang menyala sebesar itu di zamannya. Sampai banyaknya kayu bakar yang terkumpul, membuat sebagian wanita bernazar, ‘Jika saya begini, maka saya akan membawakan kayu bakar untuk membakar Ibrahim’. Dibutuhkan waktu yang lama untuk mengumpulkan kayu bakar tersebut.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ditahan. Setelah itu, api yang besar dinyalakan dari kayu bakar itu dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dilemparkan di tengah lautan api. Mau sebab apa lagi yang bisa dilakukan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam? Tidak ada usaha lagi. Namun, ada tawakal,
حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
“Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung.” (QS. Ali ‘Imran : 173)
Maka, Allah ﷻ berfirman kepada api,
يَا نَارُ كُونِي بَرْدًا وَسَلَامًا عَلَى إِبْرَاهِيمَ
“Wahai api, Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiya’ : 69)
Lihatlah, api merupakan sebab untuk membakar, tetapi Allah ﷻ mampu membalik sebab tersebut, dari sebab membakar menjadi sebab menjadikan dingin. Artinya ketika seseorang dalam bertawakal, hendaknya dia tetap berikhtiar. Jika semua jalan sebab tidak ada, maka masih ada doa. Ini termasuk bagian dari ikhtiar.
Sudah tidak ada jalan lagi, selain doa kepada Allah ﷻ. Segala pintu tertutup, tetapi masih ada pintu doa. Masih ada pintu untuk bersandar dan berdoa kepada Allah ﷻ. Meskipun tidak ada ikhtiar, Allah ﷻ bisa menimbulkan akibat.
Ikhtiar dari lelaki bani Israil itu hanya berusaha meletakkan uang seribu dinar itu di dalam kayu. Tidak ada usaha lain selain itu. Dia tahu bahwa Allah ﷻ yang telah mengatur lautan. Dia yakin akan kekuasaan Allah ﷻ. Maka, dia mengambil sebatang kayu itu, lalu melubanginya dan memasukkan uang sebesar seribu dinar di dalamnya. Jumlah yang tidak sedikit. Uang yang senilai dengan 4,25 kg emas. Jika bukan orang yang sungguh-sungguh di dalam tawakalnya, maka dia tidak akan bisa melakukan hal tersebut.
Setelah dia melakukannya, maka dia berdoa kepada Allah ﷻ,
اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلاَنًا أَلْفَ دِينَارٍ، فَسَأَلَنِي كَفِيلاَ، فَقُلْتُ: كَفَى بِاللَّهِ كَفِيلًا، فَرَضِيَ بِكَ، وَسَأَلَنِي شَهِيدًا، فَقُلْتُ: كَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا، فَرَضِيَ بِكَ، وَأَنِّي جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِي لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ، وَإِنِّي أَسْتَوْدِعُكَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku telah berutang kepada si fulan uang sejumlah seribu dinar. Tatkala ia meminta agar aku mendatangkan seorang penjamin, maka aku menjawabnya, Cukuplah Allah sebagai penjamin, dan dia pun rida Engkau sebagai penjamin. Tatkala dia meminta agar aku mendatangkan saksi, aku menjawabnya, Cukuplah Allah sebagai saksi, dan dia pun rida Engkau sebagai saksi. Sesungguhnya aku telah berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kapal guna menitipkan haknya, akan tetapi aku tidak mendapatkannya. Sesungguhnya, sekarang ini aku titipkan uang ini kepada-Mu.”
Setelah itu, dia melemparkan kayu tersebut ke laut. Kayunya pun tenggelam di dalam lautan tersebut. Sementara sahabatnya yang dahulu bermurah hati meminjamkan uangnya pergi menuju tempat yang telah Allah ﷻ takdirkan dia menemukan kayu tersebut.
Allah ﷻ telah mengatur semuanya. Kayu tersebut berjalan pada waktu yang telah Allah ﷻ tentukan. Allah ﷻ telah mengatur hingga sedemikian rupa. Ini bukanlah termasuk perkara kebetulan. Tidak ada kebetulan di alam semesta ini. Semuanya sudah diatur oleh Allah ﷻ Rabb semesta alam.
Kayu tersebut terhanyut di dalam gelombang lautan yang begitu besar. Bisa jadi banyak kapal yang menunda waktunya untuk berlayar, disebabkan karena ombak yang besar. Sehingga, dia menunggu kapal, ternyata tidak ada yang datang untuk melewati lautan tersebut. Di dalam gelombang lautan tersebut, kayu itu terhanyut dan berjalan menuju tempat yang hendak dituju oleh orang yang telah meminjamkan uang kepadanya. Allah ﷻ telah mengatur hingga sedemikian rupa, hingga akhirnya Allah ﷻ mempertemukannya dengan kayu tersebut.
Ketika orang yang memberikan utang tersebut datang dan menunggu kedatangan lelaki yang berutang kepadanya, pada saat itu juga kayu tersebut datang di hadapannya. Jika kayunya berada jauh darinya, mungkin saja dia tidak akan mengambilnya. Namun, kayu tersebut datang dan mendekat kepadanya, sehingga dia pun mengambilnya.
Sungguh gambaran tawakal yang luar biasa, sebagaimana firman Allah ﷻ di dalam hadits qudsi,
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، إِنْ ظَنَّ بِي خَيْرًا فَلَهُ، وَإِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ
“Sesungguhnya Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku, jika ia berprasangka baik maka ia akan mendapatkannya, dan jika ia berprasangka buruk maka ia akan mendapatkannya.” ([19])
Kita harus melatih diri untuk berbaik sangka kepada Allah ﷻ. Persangkaan ini sangat banyak, sedangkan semua persangkaan itu adalah dusta dan salah dan banyak persangkaan yang salah kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya, hendaknya kita melatih diri untuk selalu berbaik sangka kepada Allah ﷻ dengan bertawakal kepada-Nya.
Kedua orang tersebut telah berbaik sangka kepada Allah ﷻ. Akhirnya Allah ﷻ sampaikan kayu tersebut kepada orang yang telah meminjamkan uangnya. Sungguh benar, sabda Rasulullah ﷺ,
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barang siapa yang meminjam harta orang dan hendak mengembalikannya, maka Allah akan memenuhinya. Barang siapa yang meminjamnya dan tidak untuk dikembalikan kepadanya, maka Allah akan memusnahkannya.”([20])
Ada dua kemungkinan tentang makna hadits tersebut. Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan bahwa maksudnya adalah Allah ﷻ akan membuatnya mampu untuk membayar utang. Bahkan, seandainya dia tidak mampu untuk membayar utangnya sekalipun setelah dia berusaha semaksimal mungkin, lalu ternyata dia meninggal dunia, maka Allah ﷻ akan membayarkannya di akhirat. Yang penting ketika dia hendak meminjam utang kepada orang lain, dia berniat untuk membayarnya.
Terkadang ada sebagian orang meminjam uang dari kawannya dalam rangka untuk menipunya dengan dalil untuk usaha. Sehingga ketika uangnya telah dihabiskan, maka dia berdalil bahwa yang telah dilakukannya adalah investasi, jadi mereka harus sama-sama rugi([21]). Subhanallah.
Allah ﷻ Maha Tahu. Barang siapa yang mengambil atau meminjam uang dari orang lain dengan maksud tidak ingin mengembalikannya, maka Allah ﷻ akan menghancurkannya, baik berupa fisiknya atau pada saat hari kiamat kelak, karena dia telah berbuat kezaliman.
Lihatlah, niat lelaki bani Israil ini bermaksud untuk mengembalikan utangnya, maka Allah ﷻ telah membuatnya berhasil, sehingga ketika dia mempunyai uang sebesar seribu dinar di dalam sebuah kayu, akhirnya kayu tersebut sampai kepada sahabatnya yang telah memberikan pinjaman kepadanya.
Akhirnya, orang yang meminjamkan uang tersebut mengambil sebatang kayu yang telah ditemukannya terapung di atas laut. Bisa saja, saat itu dia tidak memiliki harta sama sekali atau dalam keadaan kesusahan. Setelah itu dia mengambilnya dan membawanya ke rumahnya untuk dijadikan bahan bakar. Ketika dia memotong kayu tersebut, tiba-tiba terdapat sejumlah uang dan secarik kertas. Uang tersebut berjumlah seribu dinar dan kertas itu merupakan surat dari lelaki yang dahulu pernah meminjam uang tersebut darinya.
Yang lebih menakjubkan lagi adalah lelaki bani Israil itu tidak hanya meletakkan uang di kayu tersebut, tetapi dia tetap berusaha mengambil sikap kehati-hatian. Dia tidak mencukupkan dirinya dengan meletakkan uang tersebut di dalam kayu saja. Namun, dengan harapan dia memiliki hujah ketika menghadap Allah bahwa dia telah berusaha mengembalikan uang yang telah dia pinjam, akhirnya dia juga mencari seribu dinar yang lain. Sehingga ketika dia mendapati kapal yang hendak berlayar, maka dia bisa menaiki kapal tersebut dengan membawa seribu dinarnya untuk mengembalikannya kepada pemiliknya dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Ketika bertemu dengan sahabatnya tersebut dan hendak mengembalikan uang yang dipinjamnya, lelaki bani Israil itu pun menyampaikan uzurnya, di mana dia telah bersungguh-sungguh dalam mencari kapal untuk menepati janjinya, tetapi dia tidak menemukannya. Akibatnya dia tertunda di dalam membayarkan utangnya kepadanya. Tiba-tiba, pemilik uang tersebut berkata,
هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَيَّ بِشَيْءٍ؟ قَالَ: أُخْبِرُكَ أَنِّي لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي جِئْتُ فِيهِ، قَالَ: فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِي بَعَثْتَ فِي الخَشَبَةِ، فَانْصَرِفْ بِالأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا
“Apakah engkau telah mengirimkan sesuatu kepadaku?’. (Karena merasa kawatir uangnya tidak sampai kepadanya), maka dia menjawab, ‘Aku katakan bahwa aku tidak mendapatkan kapal selain kapal yang baru saja saya tumpangi ini.’ Sahabatnya pun berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Allah telah menyampaikan uang yang telah engkau sisipkan ke dalam sebatang kayu, maka silahkan anda bawa kembali uang seribu dinar yang engkau bawa ini’.”
Lelaki dari bani Israil tersebut tidak berkata dusta. Bahkan, dia mengatakan bahwa itulah kapal pertama yang dia naiki. Dari pernyataannya itu, seakan-akan dia hendak berniat baik dengan memberikan hutangnya yang lebih dari pada saat itu -Wallahu a’lam-. Namun, ketika sahabatnya bertanya, ‘Apakah engkau telah mengirimkan sesuatu kepadaku?’ (maksudnya adalah uang disisipkan di dalam sebatang kayu yang dia temukan di tepi laut). Tentu saja, dia tahu, tetapi dia tidak mau mengungkit masalah tersebut. Setelah itu, sahabatnya menjelaskannya dengan berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah menyampaikan uang yang telah engkau sisipkan ke dalam sebatang kayu.’
Sisi lain dari hal yang menakjubkan dari sahabatnya ini adalah seandainya dia bohong, lalu menerima uang seribu dinar yang telah diberikan kepadanya tersebut. Namun, dia tidak melakukannya. Seribu dinar bukanlah nominal yang sedikit. Setan bisa menggodanya agar dia mau menerimanya. Secara lahir, dia berada di dalam kesusahan, di mana saat itu dia mengambil kayu yang berada di laut untuk dijadikan bahan bakar di rumahnya, Artinya dia dalam keadaan susah. Jika dia orang kaya, untuk apa dia mengambil kayu di laut tersebut dan membawanya ke rumah?
Sahabat tersebut juga memahami bahwa seakan-akan lelaki tersebut tidak pernah mengirimkan apa pun kepadanya. Namun, dia berlaku jujur dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah telah menyampaikan uang yang telah engkau sisipkan ke dalam sebatang kayu.’ Seandainya dia berdusta, lalu menerima uang tersebut, maka bisa saja dia melakukannya, sedangkan lelaki tersebut dengan suka rela akan memberikan uang seribu dinar itu kepadanya.
Dari sinilah, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
فَلَقَدْ رَأَيْتُنَا يَكْثُرُ مِرَاؤُنَا وَلَغَظُنَا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَنَا أَيُّهُمَا آمَنُ
“Sungguh aku melihat kami (para sahabat) banyak berdiskusi dan bergemuruh suara di antara kami di sisi Rasulullah ﷺ manakah di antara keduanya yang lebih amanah.”
Sejatinya ini termasuk hal yang membingungkan. Keduanya adalah orang-orang yang bertawakal dan memiliki sifat amanah. Orang pertama, meminjamkan hartanya sebanyak seribu dinar tanpa adanya bukti, saksi maupun catatan utang, sehingga dia bertawakal kepada Allah ﷻ. Sungguh tawakal yang luar biasa.
Begitu juga dengan orang kedua, tidak kalah tawakalnya dengan orang pertama. Bayangkan bagaimana dia memasukkan uang seribu dinar yang dia bayarkan kepada saudaranya ke dalam kayu, lalu dia hanyutkan ke dalam gelombang lautan yang luas, sedangkan dia tidak akan tahu apa yang akan terjadi, sehingga dia sungguh-sungguh bertawakal kepada Allah ﷻ. Tentu saja, ini adalah bentuk tawakal yang luar biasa.
Mana yang lebih tawakal di antara keduanya? Manakah yang lebih amanah? Wallahu a’lamu bis-shawab. Kita tidak tahu. Orang kedua dengan amanahnya bersungguh-sungguh untuk membayar utang tepat pada waktunya dan tidak ingin menundanya. Saking amanahnya dia berusaha memasukkan uangnya di dalam kayu dan dihanyutkan ke dalam gelombang lautan. Tidak berhenti sampai di situ, bahkan dia berusaha mencari seribu dinar lagi dan dia berusaha untuk menemui sahabatnya untuk membayarkannya lagi (jika uang yang telah dia hanyutkan sebelumnya tidak sampai kepadanya), dengan menjelaskan uzurnya.
Begitu pula dengan keadaan orang pertama, di mana sikap amanahnya adalah ketika dia mendapatkan dan menerima kayu yang berisi uang seribu dinar tersebut, lalu mengakuinya dan tidak memerlukan lagi uang yang hendak diberikan dari lelaki yang dahulu meminjam uangnya.
Inilah kisah menakjubkan yang menggambarkan tentang kisah tawakal dan amanah yang dipraktikkan oleh kedua orang ini. Maka, pelajaran bagi kita adalah setiap kali kita menghadapi apapun, hendaknya selalu bertawakal kepada Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah cukup baginya.” (QS. Ath-Thalaq : 3)
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakal, jika kamu orang-orang beriman.” (QS. Al-Maidah : 23)
Hendaknya hati kita selalu bertawakal kepada Allah ﷻ. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan kepada umatnya untuk selalu berdoa, agar ketika kita dalam kondisi apapun, di manapun dan kapanpun selalu bertawakal kepada Allah ﷻ. Sehingga hati kita senantiasa terikat dengan Allah ﷻ.
Jangan menggantungkan hati kita kepada manusia. Manusia tercipta dari tanah dan mereka akan berakhir menjadi bangkai yang busuk. Namun, hendaknya selalu bertawakal kepada Dzat yang ada di langit, Allah ﷻ. Allah ﷻ yang telah menciptakan sebab dan akibat. Seluruh pintu tertutup, kecuali pintu langit, tidak pernah tertutup dan senantiasa terbuka. Oleh karenanya, hendaknya kita selalu mengikatkan hati kita kepada Allah ﷻ.
Footnote:
______
([1]) Madarij As-Salikin, karya Ibnul Qayyim, (2/113).
([3]) HR. Abu Dawud no. 5095 disahihkan oleh Al-Albani.
([7]) Shahih Ibnu Hibban, No. 6487.
([8]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, (3/240-241).
([10]) HR. Ahmad No. 3911 dan sanadnya hasan.
([12]) Lihat: Fath Al-Bari, karya Ibnu Hajar, (4/465).
([14]) Lihat: Madarij As-Salikin, karya Ibnul Qayyim, (2/118-120)
([15]) HR. Ahmad no. 205, sanadnya kuat.
([16]) Lihat: Madarij As-Salikin, karya Ibnul Qayyim, (2/118).
([17]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi, (11/95-96)
([18]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir, (2/36).
([21]) Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb, karya Al-‘Utsaimin, (2/16, 2/24).