Zalim Sebab Kebinasaan di Dunia dan Akhirat
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Di antara bentuk agar kita bisa terhindar dari kerugian adalah dengan saling menasihati. Allah ﷻ telah berfirman,
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa, sungguh, manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta yang saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)
Maka untuk terhindar dari golongan orang-orang yang merugi, pada kesempatan kali ini kita saling mengingatkan tentang suatu perkara besar yang sangat berbahaya bagi seseorang, baik di dunia maupun di akhirat, yaitu tentang perbuatan zalim.
Pembahasan tentang perbuatan zalim ini menjadi lebih penting lagi ketika kita berbicara tentang kezaliman yang dilakukan terhadap sesama manusia. Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah pernah berkata,
إِنَّكَ أَنْ تَلْقَى اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِسَبْعِينَ ذَنْبًا فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ أَهْوَنُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْ تَلَقَّاه بِذَنْبٍ واحِدٍ فِيمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ العِبادِ
“Sesungguhnya engkau bertemu dengan Allah ‘Azza wa Jalla dengan membawa tujuh puluh dosa antara engkau dengan Allah([1]), itu lebih ringan daripada engkau bertemu Allah dengan membawa satu dosa antara engkau dengan seorang hamba yang lain.”([2])
Perkataan Sufyan Ats-Tasuri rahimahullah ini menjelaskan bahwasanya berbuat dosa kepada Allah ﷻ lebih ringan dari berbuat kezaliman kepada orang lain. Seseorang yang berbuat dosa terhadap Allah ﷻ bisa saja mendapatkan ampunan oleh Allah ﷻ. Akan tetapi, ketika dia berbuat dosa terhadap orang lain, maka asalnya adalah orang yang dizalimi akan menuntut pada hari kiamat kelak. Oleh karenanya, setiap kita seharusnya waspada terhadap kezaliman, jangan sampai kita meninggal dunia dalam kondisi berbuat kezaliman kepada orang lain.
Disebutkan dalam sebuah riwayat ada seseorang yang meminta nasihat kepada Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu. Orang tersebut mengirim surat meminta kepada Ibnu ‘Umar untuk menuliskan kepadanya seluruh ilmu. Maka Ibnu ‘Umar pun membalas suratnya dengan berkata,
إِنَّ العِلْمَ كَثيرٌ، وَلَكِنْ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ تَلْقَى اللَّهَ خَفيفَ الظَّهْرِ مِنْ دِمَاءِ النّاسِ، خَميصَ البَطْنِ مِنْ أَمْوالِهِمْ، كَافَ اللِّسانِ عَنْ أَعْرَاضِهِمْ، لَازِمًا لِأَمْرِ جَماعَتِهِمْ، فَافْعَلْ
“Sesungguhnya ilmu itu banyak. Akan tetapi, jika engkau mampu untuk bertemu dengan Allah dalam kondisi tidak menanggung darah manusia, dalam kondisi perutmu kosong dari harta mereka, dalam kondisi engkau menjaga lisanmu dari menjatuhkan harga diri mereka, dan engkau tidak memberontak dari jemaah kaum muslimin, maka lakukanlah.”([3])
Perkataan Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhu ini juga merupakan penjelasan yang sangat mendalam, bahwasanya bertemu dengan Allah ﷻ dalam kondisi tidak menzalimi orang lain adalah yang terbaik, yang seharusnya diraih oleh seorang hamba. Imam Syafi’i rahimahullah juga pernah berkata,
بِئْسَ الزَّادُ إِلَى الْمَعَادِ العُدْوَانُ عَلَى العِبَادِ
“Seburuk-buruk bekal untuk bertemu hari kiamat adalah berbuat zalim kepada hamba-hamba Allah.”([4])
Dari penjelasan-penjelasan inilah kemudian kita merasa perlu untuk membahas tentang makna zalim dan berbagai macam model-modelnya, agar kita bisa menghindari perbuatan zalim seluruhnya, semaksimal mungkin.
Makna Zalim
الظُّلْم ‘kezaliman’ secara bahasa maknanya adalah وَضْعُ الشَّيْء فِي غَيْرِ مَحَلِّهِ, yaitu meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Lawan dari kezaliman adalah الْعَدْل ‘keadilan’, yang maknanya adalah وَضْعُ الشَّيء فِي مَحَلِّهِ ‘meletakkan sesuatu pada tempatnya’.
Definisi ini merupakan definisi yang lebih kompleks dari kezaliman. Sebab sebagian orang memahami kezaliman dengan perilaku melukai orang dan yang semisalnya, padahal kezaliman lebih luas daripada hanya sekadar perilaku melukai orang lain.
Bentuk-bentuk kezaliman
Rasulullah ﷺ pernah bersabda dalam sebuah riwayat yang sahih,
الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ثَلَاثَةٌ: دِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ، فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ: فَالشِّرْكُ بِاللَّهِ، قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ {إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ، فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ} وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا: فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرَكَهُ، أَوْ صَلَاةٍ تَرَكَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَغْفِرُ ذَلِكَ وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ، وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا: فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، الْقِصَاصُ لَا مَحَالَةَ
“Catatan-catatan yang ada disisi Allah ‘Azza wa Jalla ada tiga macam; catatan yang tidak Allah peduli sama sekali, catatan yang tidak Allah tinggalkan darinya sedikit pun, dan catatan yang Allah tidak akan mengampuninya. Adapun catatan yang tidak akan diampuni oleh Allah, yaitu syirik kepada Allah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: Sesungguhnya orang yang mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka pasti Allah akan mengharamkan surga untuknya (QS. Al-Maidah: 72). Sedangkan catatan yang tidak dipedulikan oleh Allah adalah kezaliman seorang hamba terhadap dirinya dan antara dia dengan Rabbnya, dari puasa sehari yang ia tinggalkan maupun shalat yang tidak ia lakukan. Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla akan mengampuninya dan akan lebih mengampuninya jika Dia berkehendak. Sedangkan catatan yang tidak akan Allah tinggalkan adalah kezaliman seorang hamba antara ia dengan sesamanya, yaitu kisas yang tidak pada tempatnya.”([5])
Dari hadis tersebut, maka kita bisa membagi kezaliman memiliki tiga bentuk.
- الظُّلْم فِي حَقِّ الله – Kezaliman pada hak Allah
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
وَدِيوَانٌ لَا يَغْفِرُهُ اللَّهُ
“Catatan yang tidak diampuni oleh Allah.”
Yaitu maksudnya adalah perbuatan syirik terhadap Allah ﷻ, sebagaimana penjelasan Nabi Muhammad ﷺ dalam hadis tersebut.
Zalim terhadap Allah bukan maksudnya kita benar-benar berbuat mudarat terhadap Allah, sebab Allah ﷻ telah berkata dalam hadis qudsi,
يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي
“Wahai hamba-Ku, kamu sekalian tidak akan dapat menimpakan mudarat sedikit pun kepada-Ku, tetapi kalian merasa dapat melakukannya.”([6])
Akan tetapi, maksud dari syirik kepada Allah merupakan bentuk kezaliman terhadap Allah ﷻ adalah melakukan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu tidak tepat jika seseorang melakukan kesyirikan terhadap Allah ﷻ. Oleh karenanya, Luqman berkata kepada putranya,
يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)
Mengapa dikatakan syirik sebagai kezaliman yang paling besar? Karena seseorang yang berbuat syirik telah mengambil tandingan bagi Allah ﷻ, padahal yang menciptakan dirinya adalah Allah ﷻ. Sesungguhnya yang memberikan nikmat kepada kita hanyalah Allah ﷻ. Allah ﷻ yang memberikan alam semesta, Allah ﷻ yang memberikan kesehatan, Allah ﷻ yang memberikan rezeki, dan semua pemberian di dunia ini dari Allah ﷻ. Lantas, ketika secara tiba-tiba kita beribadah kepada selain Allah, baik ibadah tersebut berupa doa, menyembelih, atau bahkan shalat, maka kita telah terjatuh dalam kesyirikan, karena ibadah tersebut seharusnya hanya ditujukan untuk Allah ﷻ.
Di antara bentuk syirik adalah seseorang yang beribadah kepada Allah dan kepada nabi sekaligus, seperti orang Nasrani. Demikian pula seperti orang yang beribadah kepada malaikat, beribadah pohon, beribadah kepada batu, beribadah mayat-mayat, dan yang lainnya. Segala bentuk kesyirikan inilah yang tidak akan diampuni oleh Allah ﷻ, selama hamba tersebut belum bertaubat kepada-Nya sampai dia meninggal dunia. Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ كَفَرُوا لَهُمْ نَارُ جَهَنَّمَ لَا يُقْضَى عَلَيْهِمْ فَيَمُوتُوا وَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمْ مِنْ عَذَابِهَا كَذَلِكَ نَجْزِي كُلَّ كَفُورٍ، وَهُمْ يَصْطَرِخُونَ فِيهَا رَبَّنَا أَخْرِجْنَا نَعْمَلْ صَالِحًا غَيْرَ الَّذِي كُنَّا نَعْمَلُ أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ فَذُوقُوا فَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ نَصِيرٍ
“Dan orang-orang yang kafir, bagi mereka neraka Jahanam. Mereka tidak dibinasakan hingga mereka mati, dan tidak diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, ‘Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami (dari neraka), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan, yang berlainan dengan yang telah kami kerjakan dahulu.’ (Dikatakan kepada mereka), ‘Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami), dan bagi orang-orang zalim (yang berbuat syirik) tidak ada seorang penolong pun’.” (QS. Fatir: 36-37)
Bahkan, ketika para pelaku kesyirikan meminta keringanan siksaan, ternyata Allah ﷻ memberikan tambahan siksaan bagi mereka. Oleh karenanya, ayat yang paling ditakuti oleh orang-orang kafir adalah firman Allah ﷻ dalam surah An-Naba’,
فَذُوقُوا فَلَنْ نَزِيدَكُمْ إِلَّا عَذَابًا
“Maka karena itu rasakanlah! Maka tidak ada yang akan Kami tambahkan kepadamu selain azab.” (QS. An-Naba’: 30)
- الظُّلْم عَلَى النَّفْسِ – Kezaliman terhadap diri sendiri
Berbuat zalim terhadap diri sendiri disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ,
دِيوَانٌ لَا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا
“Catatan yang tidak Allah peduli sama sekali.”
Di antara bentuk kezaliman terhadap diri sendiri adalah bermaksiat kepada Allah ﷻ. Mengapa demikian? Karena sudah seharusnya seseorang menghargai diri dan jiwanya sendiri. Seseorang seharusnya menjadikan dirinya taat kepada Allah ﷻ agar di dunia bisa mendapatkan kebahagiaan, dan di akhirat mendapatkan surga. Maka, ketika seseorang berbuat zalim, maka sejatinya dia telah menzalimi dirinya sendiri. Allah ﷻ berfirman,
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
“Dan Kami tidak menzalimi mereka, akan tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (QS. Hud: 101)
Demikian juga firman Allah ﷻ,
وَمَا ظَلَمْنَاهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا هُمُ الظَّالِمِينَ
“Dan tidaklah Kami menzalimi mereka, tetapi merekalah yang menzalimi diri mereka sendiri.” (QS. Az-Zukhruf: 76)
Ketika seseorang beriman kepada Allah ﷻ, tidak bermaksiat, maka hidupnya di dunia akan tenteram. Selain itu, dia juga akan tenteram ketika di alam barzakh hingga ketika dibangkitkan pada hari kiamat, dan akhirnya dimasukkan ke dalam surga. Akan tetapi, ketika seseorang bermaksiat kepada Allah ﷻ dengan mengikuti hawa nafsunya, maka sesungguhnya dia telah menzalimi dirinya dengan menjadikan dirinya sengsara di dunia, sengsara di alam barzakh, dan sengsara di akhirat.
Kezaliman terhadap diri sendiri ini berkaitan dengan Allah ﷻ. Ada banyak bentuk-bentuk kezaliman terhadap diri sendiri ini. Namun, jika kita ingin merangkum seluruhnya, maka bentuk tersebut hanya dua, yaitu meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah ﷻ perintahkan untuk dikerjakan, dan menjalankan larangan yang Allah ﷻ perintahkan untuk dijauhi.
Para ulama menyebutkan bahwasanya hukum asal zalim terhadap diri sendiri adalah akan diampuni oleh Allah ﷻ karena asalnya Allah ﷻ Maha Pengampun. Akan tetapi, pengampunan tersebut kembali kepada Allah ﷻ, apakah Dia berkehendak untuk mengampuni atau tidak.
- الظُّلْم عَلَى الْعِبَادِ – Kezaliman terhadap hamba Allah yang lain
Kezaliman seseorang terhadap hamba yang lain ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
وَدِيوَانٌ لَا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا
“Catatan yang tidak Allah tinggalkan darinya sedikit pun.”
Kezaliman jenis ini jauh lebih berbahaya daripada kezaliman terhadap diri sendiri. Dalam sabda Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwasanya kezaliman yang Allah tidak akan ditinggalkan (dibiarkan) oleh Allah ﷻ adalah kezaliman yang berkaitan antara seorang hamba dengan hamba yang lain.
Kezaliman terhadap hamba Allah ﷻ yang lain bisa kita klasifikasikan menjadi tiga jenis kezaliman, yaitu kezaliman berkaitan dengan darah, kezaliman berkaitan dengan harta, dan kezaliman berkaitan dengan harga diri. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya darah kalian, harta benda kalian, dan kehormatan kalian adalah haram atas diri kalian.”([7])
Tiga perkara ini, menumpahkan darah tanpa hak, merampas harta orang lain, dan menjatuhkan harga diri orang lain adalah bentuk kezaliman yang sudah seharusnya untuk dijauhi.
- Kezaliman berkaitan dengan darah
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ
“Perkara yang pertama kali yang Allah sidang di antara manusia kelak pada hari Kiamat adalah masalah darah.”([8])
Kelak, pada hari kiamat seseorang yang telah dizalimi berkaitan dengan darah akan datang menggandeng tangan temannya di hadapan Allah ﷻ seraya berkata, “Ya Rabbku, si fulan dahulu di dunia telah membunuh saya.”([9])
Perkara darah akan menjadi perkara yang paling pertama disidang oleh Allah ﷻ karena perkara tersebut sangatlah berbahaya, sebab di antara dosa besar adalah membunuh orang lain.
- Kezaliman berkaitan dengan harta
Terlalu banyak ayat dan hadis-hadis yang menunjukkan bahaya dari memakan harta yang haram. Di antaranya seperti firman Allah ﷻ,
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10)
Orang yang mengurus anak yatim, namun tidak memberikan harta anak yatim sebagaimana yang seharusnya anak tersebut terima, maka dia telah berbuat zalim, dan harta yang dia masukkan ke dalam perutnya secara zalim tersebut akan menjadi api neraka baginya kelak.
Di antara bentuk kezaliman berkaitan dengan harta adalah memakan hasil riba. Ketika seseorang meminjamkan uang kepada orang lain dengan sistem riba, maka riba yang dia makan adalah sebuah kezaliman. Allah ﷻ berfirman,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Jika kamu tidak melaksanakannya (meninggalkan riba), maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok hartamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah: 279)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya riba itu adalah kezaliman, sehingga orang yang bertobat dari riba berhak atas pokok hartanya, dan mengembalikan riba yang telah dia terima. Seseorang yang telah bertobat dari riba, dia tetap boleh menagih kepada si peminjam selama pokok utangnya masih ada, dan dia tidak diperbolehkan lagi untuk menagih riba dari pinjaman tersebut, sebab mengambil riba merupakan kezaliman terhadap harta orang lain, dan riba telah jelas larangannya dalam Islam.
Selain itu, dalam hadis juga disebutkan tentang merampas tanah orang lain. Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ ظُلْمًا، طُوِّقَهُ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ
“Barang siapa mengambil sejengkal tanah saudaranya dengan zalim, niscaya Allah akan membuatnya memikul tujuh lapis bumi pada hari kiamat.”([10])
Ancaman ini sungguh sangat mengerikan, bukan hanya dipikulkan lapisan terluar bumi, akan tetapi tujuh lapis bumi akan dipikulkan pada hari kiamat bagi orang yang mengambil tanah orang lain secara zalim. Sementara di zaman sekarang ini banyak kita dapati orang-orang yang dengan begitu mudah mengambil tanah orang lain dengan cara-cara yang zalim, sampai-sampai permasalahan mengambil tanah orang lain ini telah menjadi masalah umum yang sering terjadi di masyarakat. Oleh karenanya, ingatlah bahwa perkara ini bukan perkara biasa, karena jika yang diambil sejengkal saja sudah mendapatkan ancaman yang begitu luar biasa, bagaimana lagi jika yang diambil secara zalim berhektar-hektar? Kemudian, ingatlah bahwasanya Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
مَنِ اقْتَطَعَ حَقَّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِينِهِ، فَقَدْ أَوْجَبَ اللهُ لَهُ النَّارَ، وَحَرَّمَ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ» فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: وَإِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيرًا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: وَإِنْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
“Barang siapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan neraka untuknya, dan mengharamkan surga atasnya”. Maka seorang laki-laki bertanya, ‘Wahai Rasulullah, meskipun itu sesuatu yang sepele?’ Beliau menjawab, ‘Meskipun itu hanya satu siwak.”([11])
- Kezaliman berkaitan dengan harga diri
Allah ﷻ telah berfirman dalam surah Al-Hujurat tentang larangan menghina orang lain, larangan gibah, dan yang semisalnya. Perbuatan-perbuatan tersebut Allah ﷻ namakan dengan kezaliman. Allah ﷻ berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ، يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 11-12)
Mengapa Allah ﷻ mengatakan bahwasanya yang mengolok-olok bisa jadi lebih baik dari pada yang diolok-olok? Para ulama menjelaskan, sebabnya adalah karena kebanyakan orang yang mengejek dan mengolok-olok itu terdapat kesombongan dalam dirinya. Ketahuilah bahwa jika seseorang mengejek orang lain, maka dia telah merendahkan orang lain, dan dalam sebuah hadis disebutkan bahwa yang namanya kesombongan adalah merendahkan orang lain.([12]) Demikianlah, seseorang yang mengejek atau mengolok-olok orang lain itu tidak lain karena dia merasa tinggi dari yang lainnya. Oleh karenanya Allah ﷻ mengatakan,
عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ
“Boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka yang mengolok-olok.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Maka dari sini, benarlah firman Allah ﷻ bahwasanya yang mengolok-olok tidak jauh lebih baik dari yang diolok-olok, karena kesombongan akan membuat seseorang atau suatu kaum hina di hadapan Allah ﷻ. Oleh karenanya, orang yang sombong akan dibangkitkan pada hari kiamat dengan ukuran sekecil semut, namun bentuknya manusia.([13])
Kemudian, Allah ﷻ mengkhususkan penyebutan wanita, agar mereka tidak saling mengolok-olok dan mengejek antara wanita yang satu dengan yang lainnya. Hal ini dikarenakan ejek-mengejek di antara para wanita sangat dahsyat, karena banyak hal yang bisa menjadi bahan ejekan di antara mereka. Akan tetapi, Allah ﷻ menyebutkan bahwasanya bisa jadi yang diejek dan diolok-olok jauh lebih baik daripada yang mengejek dan mengolok-olok.
Setelah itu, Allah ﷻ juga memperingatkan tentang larangan saling mencela dan memberi orang lain dengan gelar-gelar yang buruk. Kemudian di akhir ayat tersebut Allah ﷻ menutup firmannya dengan menyatakan bahwa barang siapa yang tidak bertobat dari perbuatan itu semua, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim.
Setelah itu, Allah ﷻ memperingatkan untuk menjauhi persangkaan-persangkaan, dan jangan mencari kesalahan-kesalahan orang lain. Hal ini tentu terjadi pada sebagian kita, di mana sebagian kita bahkan mengirim orang untuk mencari kesalahan-kesalahan orang lain, padahal kesalahannya tersebut tidak berkaitan dengan kemaslahatan kaum muslimin, akan tetapi dilakukan untuk dijadikan bahan perbincangan di tengah-tengah masyarakat, maka yang demikian tidak boleh. Kemudian, jangan pula seseorang saling gibah antara yang satu dengan yang lainnya.
Inilah beberapa perkara yang Allah ﷻ sebutkan dalam surah Al-Hujurat agar kita jauhi. Sesungguhnya perbuatan mengolok-olok, mengejek, namimah, gibah, merendahkan orang lain, itu semua adalah kezaliman yang berkaitan dengan harga diri seseorang. Ketahuilah bahwa muslim yang satu dengan yang lainnya itu asalnya saling mencintai, tidak boleh yang satu dengan yang lainnya saling menjatuhkan, bahkan kita harus bisa menjaga harga diri orang lain.
Di antara bentuk kezaliman berkaitan dengan harga diri seseorang adalah dengan menuduh wanita baik-baik dan mukminat sebagai wanita pezina. Allah ﷻ berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang lengah dan beriman dengan tuduhan berzina, mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar. (QS. An-Nur: 23)
Bisa jadi kita melihat ada wanita yang tidak menggunakan jilbab dan pakaian yang syar’i, akan tetapi jangan kemudian kita tuduh dia telah berzina. Perkara zina adalah perkara yang berbeda dengan perkara tidak menutup aurat. Ketahuilah bahwasanya menuduh wanita baik-baik sebagai pezina adalah dosa besar, terlebih lagi kalau kita tidak bisa mendatangkan bukti. Oleh karenanya, orang yang menuduh seseorang berzina dan tidak mendatangkan empat saksi, maka dia didera sebanyak delapan puluh kali cambukan. Allah ﷻ berfirman,
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur: 4)
Dari sini kita kemudian paham bahwasanya tidak boleh seseorang menjatuhkan harga diri orang lain.
Ingatlah bahwasanya kezaliman jenis ini pada asalnya tidak akan Allah ﷻ biarkan, melainkan Allah ﷻ akan mengadakan persidangan antara kita dengan orang-orang yang telah kita zalimi, baik berkaitan dengan darah, harta, dan juga harga diri seseorang. Mengapa demikian? Karena pada dasarnya orang yang zalimi akan menuntut kita pada hari kiamat kelak, karena orang-orang sangat membutuhkan tambahan pahala pada hari kiamat kelak, sehingga mereka akan mendatangi orang-orang yang telah menzaliminya dahulu di dunia untuk diambil pahalanya.
Footnote:
______
([1]) Yaitu maksudnya adalah dosa terhadap Allah ﷻ.
([2]) At-Tadzkirah, karya Ath-Thabari (hlm. 726).
([3]) Mausu’ah al-Akhlaq wa az-Zuhd wa ar-Raqaiq (1/279).
([4]) Siyar A’lam an-Nubala’ (10/41).
([5]) HR. Ahmad No. 26031, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Al-Arnauth mengatakan sanad hadis ini daif. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak No. 8717 meriwayatkan hadis yang serupa dan mengatakan bahwa sanad hadis tersebut sahih, namun Adz-Dzahabi mengatakan bahwa yang benar adalah sanadnya lemah.
([9]) Lihat: HR. An-Nasai No. 3997, dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
([12]) Lihat: HR. Muslim No. 19.
([13]) Lihat: HR. At-Tirmidzi No. 2492, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al-Albani.