Fikih Niat Penentu Nilai Ibadah
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Perlu untuk kita ketahui bahwasanya niat adalah penentu diterima atau tidaknya pahala amal saleh seseorang dan juga penentu besar atau kecilnya amalan seseorang. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niat, dan tiap-tiap sesuatu tergantung apa yang diniatkannya.”([1])
Ibnul Mubarak ﷺ juga telah berkata,
رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
“Betapa banyak amalan yang kecil, namun dibesarkan oleh niat dan betapa banyak amalan yang besar, namun dikecilkan oleh niat.”([2])
Oleh karena itu, kita akan membahas fikih terkait niat.
Urgensi niat
Berkata sebagian para ulama,
تِجَارَةُ النِّيَّاتِ تِجَارَةُ الْعُلَمَاءِ
“Perdagangan niat adalah perdagangan para ulama.”([3])
Maksudnya adalah dengan memperhatikan niat, para ulama berusaha meraih pahala sebanyak-banyaknya. Di antara metode agar seseorang bisa meraih pahala yang banyak adalah dengan memperbanyak niat dalam satu amalan. Seperti seseorang beramar makruf dan nahi munkar, di sini seseorang bisa memperbanyak niat. Misalnya ia berniat untuk menjalankan perintah Allah, kemudian niat agar Allah tidak memberikan hukuman kepada masyarakat, kemudian niat agar ia terlepas dari tanggung jawab terhadap pengingkaran atas kemungkaran, dan seterusnya. Ini di antara contoh di mana dalam satu amalan ia memperbanyak niat. Akan datang pada pembahasan berikutnya tentang metode-metode untuk memperoleh pahala yang banyak dalam satu amalan.
Berbicara tentang perdagangan, maka cara untuk melakukan perdagangan ada banyak, dan orang yang berdagang berusaha untuk bagaimana ia mendapatkan keuntungan yang banyak dalam satu kali penjualan. Maka demikian pula para ulama, tatkala mereka beramal saleh, mereka juga menggerakkan niat mereka untuk meraih pahala sebanyak-banyaknya, sebagaimana para pedagang yang juga berusaha mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari perdagangannya.
Selain hal tersebut, di antara yang menunjukkan urgensinya niat adalah sebuah hadits yang sanadnya lemah, namun maknanya benar dan disampaikan oleh para ulama. Hadits tersebut berbunyi,
نِيَّةُ الْمُؤْمِنِ أَبْلَغُ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat seorang mukmin lebih sampai daripada amalnya.”([4])
Kenapa bisa dikatakan makna hadits ini benar? Hal ini dikarenakan ada beberapa kondisi yang dijelaskan oleh para ulama, antara lain:
- Sisi pertama: Niat semata bisa menghasilkan pahala meskipun tanpa amal, adapun amal tanpa niat tidak akan bisa berpahala
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda tentang bagaimana cara malaikat mencatat amal saleh dan pahala,
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِذَا هَمَّ عَبْدِي بِسَيِّئَةٍ فَلَا تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا سَيِّئَةً، وَإِذَا هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا عَشْرًا
“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, ‘Apabila hamba-Ku berkeinginan untuk kejelekan maka janganlah kamu (malaikat) mencatatnya, namun jika dia mengamalkannya maka tulislah sebagai satu kejelekan. Dan apabila dia berkeinginan untuk kebaikan namun belum melakukannya maka tulislah ia sebagai satu kebaikan, maka jika dia melakukannya maka tulislah ia sebagai sepuluh kebaikan’.”([5])
Ini merupakan dalil bahwasanya niat itu sendiri merupakan amalan yang bisa bernilai pahala meskipun belum diamalkan. Namun, jika dibandingkan dengan amalan, maka hal itu tidak mungkin terjadi. Seseorang yang beramal tanpa niat, maka tidak mungkin ia akan mendapatkan pahala. Ia hanya akan mendapatkan pahala apabila berniat dalam amalnya tersebut.
- Sisi kedua: Hati adalah raja, dan amal (anggota badan) adalah prajurit, maka tentu tidak akan sama antara amal raja dan prajurit
Di sini, para ulama menyebutkan bahwasanya hukum asal amalan hati itu lebih tinggi nilainya daripada amalan anggota badan. Oleh karenanya, Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati dan amal kalian.”([6])
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad ﷺ mendahulukan penyebutan hati, dan ini menunjukkan bahwa hati lebih utama, dan hati adalah tempatnya niat. Oleh karenanya Abu Hurairah h juga mengatakan,
الْقَلْبُ مَلِكُ الْأَعْضَاءِ
“Hati adalah raja dari anggota tubuh.”([7])
Hal ini juga semakna dengan sabda Nabi Muhammad ﷺ,
أَلاَ وَإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً: إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ القَلْبُ
“Dan ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati.”([8])
- Sisi ketiga: Jika seseorang sudah berusaha beramal namun gagar karena suatu halangan, maka dia tetap mendapatkan pahala amal sempurna selama niatnya baik
Dalil akan hal ini sangatlah banyak. Di antaranya seperti sabda Nabi Muhammad ﷺ,
مَثَلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ، كَمَثَلِ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ، رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا وَعِلْمًا، فَهُوَ يَعْمَلُ بِعِلْمِهِ فِي مَالِهِ، يُنْفِقُهُ فِي حَقِّهِ، وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ عِلْمًا، وَلَمْ يُؤْتِهِ مَالًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ كَانَ لِي مِثْلُ هَذَا عَمِلْتُ فِيهِ مِثْلَ الَّذِي يَعْمَلُ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَهُمَا فِي الْأَجْرِ سَوَاءٌ
“Permisalan umat ini bagaikan empat orang laki-laki (di antaranya) yaitu seorang laki-laki yang di berikan oleh Allah berupa harta dan ilmu, kemudian dia membelanjakan hartanya sesuai dengan ilmunya. Seseorang yang diberi oleh Allah berupa ilmu dan tidak di berikan harta, lalu dia berkata, ‘Seandainya saya memiliki seperti yang di miliki orang ini, niscaya saya akan berbuat seperti yang ia perbuat’. Maka dalam urusan pahala, mereka berdua sama.”([9])
Sungguh luar biasa, pahala antara orang yang memiliki harta dan ilmu sekaligus dengan orang yang hanya diberikan ilmu saja ternyata sama. Hal ini dikarenakan niat orang kedua tersebut sehingga ia mendapatkan pahala yang sama, padahal ia tidak memiliki harta.
Demikian pula sabda Nabi Muhammad ﷺ,
إِذَا مَرِضَ العَبْدُ، أَوْ سَافَرَ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau bepergian (lalu beramal) ditulis baginya (pahala amal saleh) seperti ketika dia beramal sebagai mukim dan dalam keadaan sehat.”([10])
Bisa jadi ada orang yang ketika sehat ia selalu shalat malam, ia selalu puasa Senin kamis, ia selalu membantu orang dengan tenaganya. Namun, suatu ketika ia jatuh sakit dalam waktu yang lama dan tidak bisa lagi melakukan amalan-amalan tersebut. Maka selama ia sakit, maka ia tetap akan mendapatkan pahala amalan yang biasa ia kerjakan ketika sehat. Hal ini dikarenakan niatnya memang sudah seperti itu, ingin melakukan amalan tersebut, hanya saja ia terhalangi.
Demikian pula halnya seorang yang terbiasa melakukan shalat sunnah rawatib, selalu berbuat baik kepada tetangganya, selalu berbakti kepada orang tuanya. Ketika ia sedang bersafar, maka ia tidak mampu untuk melakukan semua amalan tersebut. Namun, karena niatnya benar sehingga asalnya ia terbiasa melakukan amalan-amalan tersebut, maka ia akan senantiasa mendapatkan pahala amalan tersebut meskipun ia tidak melakukannya karena sedang bersafar.
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا، مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ، حَبَسَهُمُ العُذْرُ
“Sesungguhnya di dalam Madinah itu ada sekelompok kaum, yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan tidaklah kalian menyeberangi lembah kecuali mereka diikutsertakan (pahalanya) bersama kalian dalam ganjaran.” Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka berada di dalam Madinah?’ Beliau menjawab, ‘Mereka di Madinah karena mereka terhalangi oleh uzur’.”([11])
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
مَنْ أَتَى فِرَاشَهُ، وَهُوَ يَنْوِي أَنْ يَقُومَ فَيُصَلِّيَ مِنَ اللَّيْلِ، فَغَلَبَتْهُ عَيْنُهُ حَتَّى يُصْبِحَ، كُتِبَ لَهُ مَا نَوَى، وَكَانَ نَوْمُهُ صَدَقَةً عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ
“Barang siapa beranjak tidur dengan niat untuk bangun dan salat malam, namun kantuk mengalahkannya hingga tiba pagi, maka akan ditulis baginya apa yang dia niatkan, dan tidurnya dihitung sebagai sedekah dari Rabbnya.”([12])
Nabi Muhammad ﷺ juga bersabda,
مَنْ سَأَلَ اللهَ الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ، بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإِنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ
“Barang siapa mengharapkan mati syahid dengan niat yang benar, maka Allah akan mengangkatnya sampai ke derajat para syuhada meski ia meninggal dunia di atas tempat tidur.”([13])
Inilah di antara dalil-dalil menakjubkan yang menunjukkan bagaimana pengaruh hati dan niat yang luar biasa, seseorang bisa meraih pahala amal saleh meskipun hanya dengan niat yang tulus dan benar, meskipun belum mengerjakan amal saleh tersebut.
- Sisi keempat: Niat adalah amalan hati, tidak akan terkontaminasi dengan riya’, adapun amal bisa terkontaminasi riya’
Inilah beberapa pembahasan terkait urgensinya niat yang disebutkan oleh para ulama.
Tempat Niat
Tempat niat adalah di hati dan bukan dilisan, dan para ulama telah sepakat akan hal ini, sehingga tidak ada satu pun para ulama yang mewajibkan untuk melafalkan niat.([14]) Adapun sebagian ulama mazhab Syafi’i, ketika berbicara tentang masalah niat ibadah, maka mereka hanya menganjurkan, namun tidak mewajibkannya([15]).
Tidak ada dalil dan ulama yang berpendapat wajibnya melafalkan niat. Hanya saja, para ulama yang menganjurkan mengatakan bahwa pelafalan niat tersebut bisa mengukuhkan niat yang ada di hati. Namun yang benar dan pendapat yang penulis lebih condong kepadanya, tidak perlu melafalkan niat dan tidak dianjurkan pula untuk melafalkan niat, sehingga orang yang shalat tanpa melafalkan niat pun shalatnya sah selama ia telah niat di dalam hatinya untuk shalat. Ini hanyalah ijtihad sebagian ulama, karena Nabi Muhammad ﷺ tidak pernah melafalkan niat, para sahabat j juga tidak pernah melafalkan niat, dan bahkan tidak ada satu hadits pun yang menunjukkan bahwa Nabi Muhammad ﷺ melafalkan niat, padahal amalan Nabi Muhammad ﷺ sangatlah banyak. Oleh karenanya, yang benar adalah perkara melafalkan niat tidak wajib dan tidak dianjurkan.
Kenyataannya, sebagian orang yang melafalkan niat justru malah menimbulkan waswas pada diri mereka. Hal ini dikarenakan sebagian orang bingung ketika tidak bisa melafalkan niat tersebut, dan hampir-hampir mereka tidak jadi shalat hanya karena merasa niat yang dia lafalkan belum kukuh. Terkadang, ketika bersafar, ada orang yang bingung bagaimana lafal niat ketika harus shalat jamak taqdim atau jamak ta’khir, akhirnya ia pun bingung bagaimana mau melakukan shalat. Sebagian orang bahkan menunggu orang lain datang untuk mengajarkannya, lalu kemudian mereka shalat. Ini tentunya kekeliruan, ketika menyangka bahwa melafalkan niat adalah syarat wajib shalat. Oleh karena itu, niat itu tempatnya di hati, dan melafalkannya pun tidak dianjurkan.
Fungsi Niat
Di antara fungsi niat antara lain:
- Untuk menegaskan kepada siapa amal ditujukan
Maksud dari fungsi ini adalah niat itu untuk menegaskan apakah seseorang ikhlas atau tidak. Yang membedakan seseorang ikhlas karena Allah ﷻ atau tidak adalah niat. Dari sini, manusia terbagi menjadi dua model dalam hal ini; yaitu orang yang ikhlas dan orang yang tidak ikhlas (baca: riya’).
- Sebagai pembeda
Fungsi niat sebagai pembeda di sini ada dua hal; yaitu pembeda antara dua amal yang zhahirnya sama, dan pembeda antara ibadah dan adat.
- Pembeda antara dua amal yang zhahirnya sama
Contoh dalam hal ini yaitu antara shalat rawatib atau tahiyyatul masjid. Antara kedua shalat ini secara zhahir sama, yaitu sama-sama dua rakaat dan sama-sama bisa dikerjakan di masjid. Maka, untuk membedakan keduanya adalah niat, apakah seseorang yang shalat sunnah dua rakaat ini shalat rawatib atau tahiyyatul masjid. Contoh lain adalah antara puasa sunnah dan puasa wajib. Keduanya jelas-jelas tidak sama, dan niat menjadi pembeda antara keduanya. Ketika seseorang berpuasa di hari senin, maka ia harus membedakan apakah ia puasa sunnah senin atau puasa qadha’ (mengganti puasa ramadhan yang ditinggalkan), dan pembedanya itu adalah niat. Demikian pula antara sedekah yang sunnah dan zakat. Seseorang bisa jadi mengeluarkan sejumlah harta yang kadarnya sejumlah zakat yang harus ia keluarkan. Ketika ia mengeluarkan hartanya tersebut tanpa niat bayar zakat, maka jatuhnya adalah sedekah, dan hal itu akan mengurangi kewajiban zakatnya. Namun, apabila ia mengeluarkan hartanya tersebut dengan niat bayar zakat, maka jatuhnya bukan sedekah. Oleh karenanya, niat adalah pembeda antara amalan yang zahirnya sama.
Tentunya, ada banyak contoh lain dalam masalah ibadah. Maka niat ini sangat penting untuk membedakan antara ibadah yang satu dengan ibadah yang lainnya.
- Pembeda antara ibadah dan adat
Contoh dalam hal ini yaitu antar mandi biasa dengan mandi besar. Mandi besar merupakan ibadah, yaitu salah satu dari bentuk thaharah. Antara mandi biasa dan mandi besar secara umum sama, hanya saja mandi biasa merupakan kebiasaan dan mandi besar merupakan ibadah. Maka, jika seseorang mandi kemudian ia tidak berniat untuk mandi besar, maka hadats yang ada pada dirinya tidak terangkat (belum suci). Misalnya, adalah seorang laki-laki menggauli istrinya di hari Jumat pagi, namun setelahnya ia tidak bersegera untuk mandi, dan kembali melakukan aktivitasnya. Ketika waktu Jumat semakin dekat, maka ia pun mandi namun tidak berniat mandi junub karena lupa telah menggauli istrinya. Maka ketika ia ikut shalat Jumat, maka shalatnya tidak sah, karena ia shalat dalam keadaan masih junub. Hal ini dikarenakan ia tidak berniat mandi junub, sehingga mandinya menjadi mandi biasa, yang itu tidak menghilangkan junub tanpa niat. Maka, orang tersebut harus mengulang shalatnya dengan shalat dhuhur, namun ia harus mandi junub terlebih dahulu.
- Memperbanyak pahala
Hal ini telah kita singgung di awal, di mana di antara perdagangan para ulama adalah niat, yaitu mereka memperbanyak pahala dengan niat. Pembahasan ini akan kita bahas secara khusus pada pembahasan berikutnya.
Memperbanyak niat dalam satu amal
Pembahasan ini merupakan pembahasan yang penting, yaitu bagaimana kita melatih diri kita untuk bisa mendapatkan pahala yang banyak melalui niat, yaitu dengan memperbanyak niat dalam satu amal.
Memperbanyak pahala sendiri bisa dengan beberapa model di antaranya:
- Dengan memperbanyak niat (untuk tujuan yang banyak dalam satu amalan)
Contoh dalam hal ini seperti jawaban Imam Ahmad ﷺ ketika ditanya tentang ilmu. Beliau ﷺ berkata,
العِلمُ لا يَعْدِلُهُ شيء لِمَنْ صَحَّت نيَّتُهُ
“Tidak ada yang menandingi ilmu jika niatnya benar.”
Maka beliau pun di tanya tentang bagaimana niat yang benar tersebut. Beliau pun menjawab,
يَنْوِي رَفْعُ الْجَهْلِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ غَيْرِهِ
“Berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya (ketika menuntut imu), dan menghilangkan kebodohan dari orang lain.”([16])
Di sini, Imam Ahmad ﷺ mengajarkan kepada kita bahwa ketika menuntut ilmu, bisa jadi kita luput dari satu niat, yaitu niat untuk mengangkat kebodohan dari diri kita dan kebodohan orang lain. Mungkin selama ini, ketika menuntut ilmu kita telah berniat untuk mengangkat kebodohan diri kita, namun ketika dibarengi dengan niat untuk mengangkat kebodohan orang lain maka itu artinya ilmu tersebut untuk dakwah. Dengan menghadirkan dua niat ini, menuntut ilmu menjadi amalan yang luar biasa.
Oleh karena itu, ketika seseorang menuntut ilmu, hendaknya menghadirkan niat untuk mendakwahkan ilmunya tersebut. Maka, penulis mengingatkan hal ini kepada kita semua, terutama kepada orang-orang yang belajar di pondok-pondok pesantren dan universitas-universitas, agar meniatkan dalam proses menuntut ilmunya tersebut untuk mengangkat kebodohan dari orang lain. Ketahuilah, ketika seseorang meniatkan untuk mendakwahkan ilmu yang telah dia terima, maka ia pasti akan serius dalam menuntut ilmu. Ia tidak hanya sekadar ingin mendapatkan nilai atau titel semata, tapi ia akan berusaha belajar semaksimal mungkin karena sejak awal ia telah berniat untuk berdakwah.
Selain untuk berdakwah, para ulama juga menyebutkan bahwa seseorang boleh menambahkan niat dalam menuntut ilmu untuk masuk surga. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ
“Barang siapa meniti jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.”([17])
Jika kita menambah niat dalam menuntut ilmu agar masuk surga, maka pahala kita pun akan bertambah, karena niatnya sendiri bertambah.
Selain itu, seseorang juga bisa menambahkan niat untuk terkena doa Nabi Muhammad ﷺ tentang orang yang menghafal sabda-sabda beliau,
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا
“Semoga Allah memperindah (diberikan cahaya) bagi seseorang yang mendengar perkataanku, dia memahaminya, menghafalnya, dan menyampaikannya.”([18])
Maka, orang yang menambah niat ini dalam proses menuntut ilmunya, maka ia pun akan mendapatkan pahala dan wajah yang bercahaya.
Selain itu, seseorang juga bisa berniat untuk berjihad dengan pena. Kita sama-sama tahu bahwa jihad dalam Islam bisa dengan pedang dan bisa dengan pena, keduanya diakui dan memiliki kedudukan yang sangat penting dalam Islam. Bisa jadi, kondisi tertentu seseorang diharuskan untuk berjihad dengan pedang, namun banyak kemungkinan jihad dengan pedang tidak diperlukan, sehingga ketika itu diperintahkan untuk berjihad dengan ilmu (pena). Allah ﷻ berfirman,
﴿فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُم بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا﴾
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar.” (QS. Al-Furqan: 52)
Ayat ini turun ketika Nabi Muhammad ﷺ masih di Mekkah dan belum ada perintah jihad dengan pedang, dan kaum muslimin dalam kondisi lemah. Namun, Allah ﷻ dalam firman-Nya ini memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ berjihad dengan ilmu (Al-Qur’an)([19]).
Intinya, dalam satu amalan seperti menuntut ilmu, seseorang bisa memiliki niat yang bermacam-macam.
Contoh lain memperbanyak niat dalam satu amalan yang disebutkan oleh para ulama adalah dalam masalah berdoa. Banyak orang yang berdoa, namun dia hanya berniat untuk meraih apa yang dia minta. Padahal, seseorang bisa menambahkan niatnya dalam berdoa yaitu niat ibadah, karena doa sendiri adalah ibadah. Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ الْعِبَادَةُ
“Sesungguhnya doa adalah ibadah.”([20])
Seseorang yang sedang berdoa, maka sejatinya ia sedang beribadah, dan Allah ﷻ suka terhadap hamba-hamba-Nya yang beribadah. Oleh karenanya, ketika berdoa hendaknya seseorang sekaligus meniatkan untuk ibadah, sehingga ia pun bisa khusyuk dalam berdoa.
Contoh lain di mana kita bisa memperbanyak niat dalam satu amalan adalah ketika membaca Al-Qur’an. Ada banyak niat yang bisa kita ikutkan dalam perkara ini. Di antaranya seperti berniat agar dapat pahala dari setiap hurufnya([21]), berniat untuk mengobati hati([22]), berniat untuk meruqyah([23]), berniat agar Al-Qur’an bisa menjadi syafaat bagi kita pada hari kiamat kelak([24]), dan niat-niat lainnya. Intinya, tinggal bagaimana kita memperbanyak niat kita ketika hendak membaca Al-Qur’an.
Inilah beberapa contoh amalan yang menunjukkan di antara fungsi niat adalah untuk memperbanyak pahala dalam satu amalan.
- Membiasakan hati setiap hari untuk berniat kebaikan meski tidak bisa melakukannya
Kita telah menyebutkan beberapa dalil yang menunjukkan bahwasanya kita bisa mendapatkan pahala atas amalan yang tidak bisa kita lakukan karena adanya halangan. Hal ini tentu menunjukkan pentingnya untuk kita membiasakan diri untuk berniat melakukan kebaikan, meskipun kita tidak bisa melakukannya. Di antara dalil akan hal ini adalah firman Allah ﷻ,
﴿وَإِمَّا تُعْرِضَنَّ عَنْهُمُ ابْتِغَاءَ رَحْمَةٍ مِّن رَّبِّكَ تَرْجُوهَا فَقُل لَّهُمْ قَوْلًا مَّيْسُورًا﴾
“Dan jika kamu berpaling dari mereka (memberi bantuan kepada kerabat) untuk memperoleh rahmat dari Tuhanmu yang kamu harapkan, maka katakanlah kepada mereka ucapan yang pantas.” (QS. Al-Isra’: 28)
Ayat ini menyuruh kita bahwa apabila kita tidak mampu untuk membantu kerabat kita, maka kita boleh berpaling dari mereka, namun tetap harus berniat dan berharap bahwa suatu hari kita memiliki kemampuan untuk membantu kerabat kita. Misal, sebelumnya kita sering membantu kerabat kita, tapi suatu hari kita tidak mampu membantunya, maka tidak mengapa selama kita masih berniat akan membantunya kalau ada kemampuan. Dengan begitu, niat baik yang telah kita tanamkan akan menjadikan kita mendapatkan pahala.
Sebuah riwayat menyebutkan tentang bagaimana Imam Ahmad ﷺ berkata tentang berniat baik. Diriwayatkan,
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ لِأَبِيهِ يَوْمًا أَوْصِنِي يَا أَبَتِ، فَقَالَ: يَا بُنَيَّ انْوِ الْخَيْرَ فَإِنَّكَ لَا تَزَالُ بِخَيْرٍ مَا نَوَيْتَ الْخَيْرَ
“Suatu hari Abdullah bin Ahmad berkata kepada ayahnya, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, ‘Beri aku nasihat wahai ayahku!’ Maka Imam Ahmad berkata, ‘Wahai anakku, berniat baiklah! Karena sesungguhnya engkau senantiasa dalam kebaikan selama engkau berniat baik’.”([25])
Oleh karena itu, mintalah kepada Allah ﷻ untuk bisa berbuat kebaikan yang banyak. Misalnya ingin umrah dan haji, ingin membangun masjid, ingin membantu dakwah, ingin berbakti kepada orang tua, ingin menyenangkan orang tua, ingin menyenangkan anak dan istri, ingin membantu kerabat, dan yang lainnya. Ini semua hendaknya kita niatkan dalam hati kita, dan hendaknya kita juga berusaha untuk mewujudkannya. Meskipun hasilnya kita tidak berhasil, bisa jadi Allah ﷻ memberikan kita pahala meskipun kita tidak melakukannya, yang penting kita benar-benar telah bersungguh-sungguh. Karena Allah ﷻ telah berfirman,
﴿يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّمَن فِي أَيْدِيكُم مِّنَ الْأَسْرَىٰ إِن يَعْلَمِ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ خَيْرًا يُؤْتِكُمْ خَيْرًا مِّمَّا أُخِذَ مِنكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾
“Wahai Nabi, katakanlah kepada tawanan-tawanan yang ada di tanganmu, ‘Jika Allah mengetahui ada kebaikan dalam hati kalian, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian yang lebih baik dari apa yang telah diambil dari kalian, dan Dia akan mengampuni kalian’. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Anfal: 70)
Demikian niat itu, ia memiliki pengaruh yang besar. Kalau seseorang selalu berniat baik, maka ia akan selalu dalam kebaikan, dan jika niatnya benar-benar tulus, maka Allah ﷻ akan memberikan apa yang dia kehendaki. Di sekitar kita, kita melihat banyak orang yang berniat untuk mendirikan sekolah sunnah yang berbiaya murah. Ketika berniat tersebut mungkin ia tidak memiliki apa-apa, akan tetapi karena ia berusaha maka niatnya pun tercapai. Inilah mengapa pentingnya bagi kita untuk selalu berniat baik.
Ibnu Taimiyah ﷺ juga pernah berkata,
وَمَن أَحَبَّ أَنْ يَلْحَقَ بِدَرَجَةِ الأَبْرارِ، وَيَتَشَبَّهَ بِالْأَخْيَارِ، فَلْيَنْوِي فِي كُلِّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ نَفْعَ الخَلْقِ
“Barang siapa yang ingin mencapai derajat orang-orang yang mulia, dan bisa meniru orang-orang yang terbaik, maka hendaknya dia berniat untuk memberi manfaat kepada orang lain setiap matahari terbit (setiap pagi hari).”
Apa pun yang akan kita kerjakan di hari itu, maka niatkan di pagi hari untuk bisa berbuat baik kepada orang lain. Ingatlah bahwasanya berniat baik memiliki pahala, baik ia lakukan atau tidak. Hal ini sangatlah sederhana, misal seperti kita sedang jalan dan melihat ada kucing, kemudian timbul rasa kasihan dalam benak kita, maka kita berniat ada berdoa agar ia selamat. Ketahuilah, selama niat kita tulus, hal tersebut akan mendatangkan pahala. Demikian pula halnya ketika kita menemukan batu di tengah jalan, kemudian disingkirkan karena khawatir akan membahayakan orang lain, hal ini juga bisa memberikan pahala bagi diri kita.
Ingatlah bahwa kita tidak pernah tahu amalan mana yang bisa membuat kita masuk surga. Tidakkah kita pernah mendengar sabda Nabi Muhammad ﷺ bahwa ada orang yang masuk surga hanya karena menyingkirkan gangguan dari jalan? Tidakkah kita pernah mendengar kisah seorang wanita yang dimasukkan ke dalam surga hanya karena memberi minum seekor hewan? Jadi, bisa jadi kita juga akan dimasukkan oleh Allah ﷻ ke dalam surga hanya karena senyum kita yang tulus kepada orang lain. Apakah bisa semudah itu? Betul, bisa semudah itu karena surga adalah hak Allah ﷻ. Jika seseorang masuk surga karena amalan yang sedikit, itu terserah Allah ﷻ, dan Allah ﷻ tidak zalim kepada hamba-hamba-Nya. Oleh karena itu, senantiasalah untuk berniat baik, karena selama itu kita berada dalam kebaikan, dan argo pahala akan jalan terus.
Tentunya, yang lebih penting dari itu semua adalah keikhlasan niat kita. Kita tahu bahwa ikhlas itu bertingkat-tingkat, maka seseorang berusaha untuk meningkatkan keikhlasannya. Bukankah telah kita sebutkan di awal pembahasan bahwa Ibnul Mubarak ﷺ berkata,
رُبَّ عَمَلٍ صَغِيرٍ تُعَظِّمُهُ النِّيَّةُ، وَرُبَّ عَمَلٍ كَبِيرٍ تُصَغِّرُهُ النِّيَّةُ
“Betapa banyak amalan yang kecil, namun dibesarkan oleh niat dan betapa banyak amalan yang besar, namun dikecilkan oleh niat.”([26])
Orang-orang shalat di masjid yang sama dan di saf yang sama, bisa jadi antara yang satu dengan yang lainnya memiliki pahala yang berbeda-beda, bahkan perbedaannya bisa antara langit dan bumi. Antara seorang dai dengan dai yang lain, bisa jadi pahalanya berbeda-beda, meskipun sama-sama berdakwah. Ini semua tidak lain dikarenakan keikhlasan yang ada pada tiap orang berbeda-beda. Oleh karena itu, seseorang harus senantiasa berusaha meningkatkan keikhlasannya, karena keikhlasan ini sangat berpengaruh pada pahala yang akan didapatkan.
Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda,
سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ، قَالُوا: وَكَيْفَ؟ قَالَ: كَانَ لِرَجُلٍ دِرْهَمَانِ تَصَدَّقَ بِأَحَدِهِمَا، وَانْطَلَقَ رَجُلٌ إِلَى عُرْضِ مَالِهِ، فَأَخَذَ مِنْهُ مِائَةَ أَلْفِ دِرْهَمٍ فَتَصَدَّقَ بِهَا
“Satu dirham dapat mengungguli seratus ribu dirham”. Lalu ada yang bertanya, ‘Bagaimana itu bisa terjadi wahai Rasulullah?” Beliau jelaskan, “Ada seorang yang memiliki dua dirham lalu mengambil satu dirham untuk disedekahkan. Ada pula seseorang memiliki harta yang banyak sekali, lalu ia mengambil dari kantongnya seratus ribu dirham untuk disedekahkan.”([27])
Tidak lain perbedaan ini dikarenakan niat yang berbeda-beda, karena orang yang berinfak di saat sempit akan beda keikhlasannya dengan orang yang berinfak dikala lapang.
Waspada riya’ dan ujub
Di antara hal yang tidak boleh kita lupakan dalam masalah niat adalah berhati-hati terhadap riya’ dan ujub. Keduanya adalah perkara yang sangat mudah untuk menggugurkan amal. Kita harus waspada agar jangan sampai kita beramal dengan niat ingin dipuji dan di sanjung. Sungguh di zaman sekarang ini ada banyak media yang membuat kita mudah untuk riya’. Jika dahulu para salaf berjuang untuk menyembunyikan amal saleh mereka, sekarang orang-orang malah berusaha melakukan pencitraan yang tinggi dengan menampilkan seluruh amal saleh yang dia kerjakan.
Silakan Anda berdakwah sejauh dan sebanyak mungkin, silakan Anda bersedekah sebanyak-banyak, silakan Anda beramal saleh, namun luruskan niat Anda. Sungguh Allah ﷻ Maha Mengetahui tentang niat Anda, Allah ﷻ tidak bisa Anda bohongi. Allah ﷻ tahu dengan benar apa niat kita dalam beramal. Apakah itu untuk pamer, untuk disanjung, untuk diakui, untuk bersaing, semuanya Allah ﷻ tahu. Maka dari itu, waspadai niat kita.
Footnote:
____
([1]) HR. Bukhari No. 1 dan HR. Muslim No. 1907 dengan lafal Imam Bukhari.
([2]) Jami’ Al-‘Uluum wa Al-Hikaam (1/71).
([3]) Auqat Mali–ah Bi al-Hasanat Ma’a an-Niyyah ash-Shalihah (1/8).
([4]) Syu’ab al-Iman, karya al-Baihaqi No. 6445 (9/175), ia mengatakan sanadnya lemah.
([7]) Majmu’ al-Fatawa, karya Ibnu Taimiyah (14/113).
([9]) HR. Ibnu Majah No. 4228, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([12]) HR. Ibnu Majah No. 1344.
([14]) Lihat: Majmu’ al-Fatawa (22/230)
([15]) Lihat: Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzzab, karya an-Nawawi (1/316) dan (6/289).
([16]) Majmu’ Fatawa Wa Rasail al-‘Utsaimin (26/75).
([17]) HR. Ibnu Majah No. 223, dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani dalam Shahih at-Targhib Wa at-Tarhib No. 70.
([18]) HR. At-Tirmidzi No. 2658.
([19]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi (13/58), sebagaimana penafsiran Ibnu Abbas k.
([20]) HR. Ibnu Majah No. 3828, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam ta’liqnya.
([21]) Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لَا أَقُولُ الم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلَامٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ
“Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu pahala kebaikan dan satu pahala kebaikan akan dilipat gandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan Alif Laam Miim itu satu huruf, akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi No. 2910, dinyatakan shahih oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykah No. 2137).
([22]) Sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿يَاأَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُم مَّوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِّمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ﴾
“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Yunus: 57)
Demikian pula seperti doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ,
اللَّهُمَّ أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِي وَنُورَ صَدْرِي، وَجِلَاءَ حُزْنِي، وَذَهَابَ هَمِّي
“Ya Allah, jadikanlah Al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya di dadaku, penghilang kesedihanku, dan penghilang keresahanku.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah No. 199, hadits tersebut shahih).
([23]) Sebagaimana firman Allah ﷻ,
﴿وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِينَ وَلَا يَزِيدُ الظَّالِمِينَ إِلَّا خَسَارًا﴾
“Dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra’: 82)
Ayat ini bersifat umum bahwasanya Al-Qur’an bisa menjadi obat untuk penyakit hati maupun tubuh.
([24]) Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ﷺ,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ
“Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang memberi syafaat kepada para pembacanya pada hari kiamat nanti.” (HR. Muslim No. 804).
([25]) Al-Adab asy-Syar’iyyah Wa al-Minah al-Mar’iyyah, karya Ibnu Muflih (1/104).
([26]) Jami’ Al-‘Uluum wa Al-Hikaam (1/71).
([27]) HR. An-Nasai No. 2527, dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albani dalam al-Misykah No. 119.