Hak-hak Suami Terhadap Istrinya
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pembahasan ini adalah pembahasan yang perlu untuk diperhatikan oleh para istri dan para akhwat pada umumnya karena hal yang akan dibahas adalah hal-hal yang berkaitan tentang kewajiban mereka.
Sesungguhnya para ulama telah sepakat bahwasanya hak suami lebih besar daripada hak kedua orang tua. Perkara ini lebih banyak dilalaikan oleh para wanita. Di antara mereka para wanita, ada yang tidak tahu dan ada pula yang pura-pura tidak tahu bahwa hak suami mereka lebih besar daripada hak kedua orang tuanya. Bahkan sebagian besar wanita banyak menyesal tatkala belum bisa berbakti kepada orang tuanya. Maka kita katakan kepada mereka para wanita bahwa di hadapan kalian ada bakti yang lebih besar yaitu berbakti kepada suami kalian. Bahkan surga dan neraka kalian ditentukan oleh suami kalian. Hendaklah kalian para wanita ingat akan hal ini. Ketahuilah bahwa banyak dalil yang menunjukkan akan hal ini. Di antaranya adalah seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi ﷺ pernah bertanya kepada seorang wanita dengan pertanyaan,
أَذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قَالَتْ: مَا آلُوهُ إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ، قَالَ: فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Apakah kamu mempunyai suami?” ia menjawab, “Ya.” Beliau bertanya lagi: “Bagaimanakah sikapmu terhadapnya?” ia menjawab, “Saya tidak pernah mengabaikannya, kecuali terhadap sesuatu yang memang aku tidak sanggup.” Beliau bersabda: “Perhatikanlah selalu, akan posisimu terhadapnya. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu terdapat pada (sikapmu terhadap) suamimu.”[1]
Bagi seorang wanita yang belum menikah, maka benar sabda Nabi ﷺ bahwa baktinya, surga dan nerakanya ada pada kedua orang tuanya. Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,
الْزَمْ رِجْلَهَا، فَثَمَّ الْجَنَّةُ
“Tetaplah berada pada kedua kakinya (Ibumu) dan di situlah terdapat surga.”[2]
Akan tetapi tatkala seorang wanita telah menikah, maka surga dan nerakanya terletak pada suaminya. Hal ini menunjukkan hak suami yang sangat agung, karena Nabi ﷺ mengaitkan antara keselamatan seseorang istri di akhirat dengan sikapnya terhadap suaminya. Dalam hadits yang lain Nabi ﷺ bersabda,
فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya.”[3]
Dari hadits ini, jika Nabi ﷺ boleh untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada selain Allah, maka Nabi ﷺ tidak menginginkan seorang wanita sujud kepada kedua orang tuanya, melainkan menginginkan para wanita atau istri sujud kepada suaminya. Ini menunjukkan bahwa suami memiliki hak yang besar terhadap istrinya.
Dalam hadits yang masih diperselisihkan oleh para ulama tentang sahih atau daifnya juga berbunyi,
لَا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ، لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ قُرْحَةٌ تَنْبَجِسُ بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيدِ، ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ تَلْحَسُهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ
“Tidak boleh seorang manusia bersujud kepada manusia, dan jikalau boleh seorang manusia bersujud kepada manusia niscaya saya akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya seandainya seorang suami memiliki luka dari ujung kaki hingga ujung kepala yang mengalirkan nanah atau darah kemudian sang istri menciumnya hingga menjilatinya, maka hal itu belum memenuhi seluruh haknya kepadanya.”[4]
Hadist ini diperselisihkan oleh para ulama tentang derajatnya. Ada yang mengatakan hadits hasan ligharihi karena sanadnya lemah. Namun dalam beberapa jalur dan sebagian yang lain mengatakan bahwa hadits tersebut lemah dan mungkar. Akan tetapi cukup bagi kita tentang hadits-hadits sebelumnya yang menunjukkan bahwa seandainya Nabi ﷺ boleh memerintahkan para istri untuk sujud kepada selain Allah, maka Nabi ﷺ akan memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya.
Maka dari itu penulis sampaikan kepada para istri bahwa ini adalah kesempatan bagi kalian untuk meraih surga tertinggi, yaitu dengan berbakti kepada suami. Adapun alasan mengapa hak suami lebih besar daripada hak kedua orang tua yang telah membesarkan seorang wanita adalah karena kita tunduk kepada dalil dan ulama telah menjelaskan demikian. Akan tetapi bukan berarti hal itu mengajarkan kita untuk durhaka kepada orang tua. Oleh karenanya ketika ada seorang suami yang memerintahkan istri untuk durhaka kepada orang tuanya, maka wajib baginya untuk tidak taat kepada suaminya. Adapun contoh hak suami lebih besar daripada hak orang tua istri adalah ketika suami ingin pindah ke tempat yang lain dan orang tua melarang, maka dalam kondisi ini sang istri harus taat kepada suaminya.
Para ulama menyebutkan bahwa sebelum seorang wanita menikah, hak orang tua tentu lebih besar. Akan tetapi di antara hikmah setelah seorang wanita menikah dan menjadikan hak suami menjadi lebih besar karena tanggungan wanita tersebut telah berpindah kepada suaminya. Di antara hikmahnya juga adalah karena syariat juga sangat ingin menjaga keutuhan rumah tangga. Oleh karenanya syariat menjadikan hak suami lebih besar daripada orang tua dalam rangka untuk menjaga keutuhan rumah tangga. Sebab jika hak orang tua lebih besar daripada suami, maka bisa jadi orang tua akan senantiasa ikut campur dalam urusan rumah tangga, sehingga sang istri lebih condong kepada orang tuanya hingga akhirnya rusaklah rumah tangga tersebut. Oleh karenanya jika terjadi pertentangan antara orang tua dan suami, maka seorang istri harus lebih mendahulukan suami. Inilah di antara hikmah yang disebutkan oleh para ulama tentang mengapa hak suami lebih besar daripada hak orang tua.
Maka penulis ingatkan kembali kepada para wanita yang telah dianugerahi seorang suami. Hendaklah menggunakan kesempatan tersebut untuk bertakwa kepada Allah agar meraih surga setinggi-tingginya dengan berbakti kepada suami. Ingatlah sabda Nabi ﷺ,
فَانْظُرِي أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ، فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ
“Perhatikanlah selalu, akan posisimu terhadapnya. Sesungguhnya yang menentukan surga dan nerakamu terdapat pada (sikapmu terhadap) suamimu.”[5]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ﷺ berkata,
اَلْمَرْأَةُ إِذَا تَزَوَّجَت، كَانَ زَوْجُهَا أَمْلَكَ بِهَا مِنْ أَبَوَيْهَا، وَطَاعَةُ زَوْجِهَا عَلَيْهَا أَوْجَبْ.
“Apabila wanita telah menikah, maka suaminya lebih berhak memilikinya daripada kedua orang tuanya. Dan taat kepada suaminya lebih wajib daripada keduanya.”[6]
Oleh karena itu kita akan membahas hak-hak para suami. Dan penulis berharap bahwa hak-hak suami ini nantinya bisa diamalkan oleh para istri. Di antara hak-hak suami adalah:
- Wajib bagi wanita untuk taat kepada suaminya
Telah banyak dalil yang telah kita sebutkan sebelumnya tentang hal ini. Di antaranya adalah tentang kalau boleh seorang sujud kepada manusia, maka Nabi ﷺ akan memerintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya. Di dalam Alquran Allah ﷻ juga berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Laki-laki (suami) itu pemimpin bagi perempuan (istri).” (QS. An-Nisa’: 34)
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa maksudnya adalah suami adalah pemimpin bagi para wanita, dan seorang wanita harus taat kepada yang memimpinnya.[7]
Maka seorang istri wajib untuk taat kepada suami dalam hal yang makruf. Adapun ketika seorang suami menyeru dalam perkara yang mungkar, maka tidak boleh untuk ditaati. Kata Nabi ﷺ,
لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah U.”[8]
Ada sebuah hadits mengisahkan bahwa ada seorang wanita yang putrinya menikah dengan seorang lelaki. Kemudian diketahui bahwa putrinya sakit sehingga rambutnya sering gugur. Kemudian suami tersebut meminta kepada ibu istrinya untuk menyambung rambut anaknya. Maka kemudian wanita ini datang kepada Nabi ﷺ untuk meminta izin tentang permintaan menantunya. ‘Aisyah i menceritakan,
أَنَّ امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ زَوَّجَتِ ابْنَتَهَا، فَتَمَعَّطَ شَعَرُ رَأْسِهَا، فَجَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَتْ: إِنَّ زَوْجَهَا أَمَرَنِي أَنْ أَصِلَ فِي شَعَرِهَا، فَقَالَ: «لاَ، إِنَّهُ قَدْ لُعِنَ المُوصِلاَتُ
“Ada seorang wanita Anshar menikahkan anak perempuannya, lalu rambut anak itu merontok. Maka wanita itu pun segera mendatangi Nabi ﷺ dan mengadukan hal itu, ia berkata, ‘Suaminya menyuruhku untuk menyambung rambutnya’. Maka beliau bersabda: ‘Tidak. Sesungguhnya Allah telah melaknat Al-Muwashilaat (para wanita yang menyambung rambutnya)’.”[9]
Benar bahwa wanita harus taat kepada suami, akan tetapi ketika suami memerintahkan pada perkara yang haram, maka tidak ada boleh seorang istri untuk menaatinya. Contohnya ketika seorang suami memerintahkan istrinya untuk membuka auratnya. Maka dalam hal ini seorang istri tidak dibolehkan untuk taat kepada suami. Sungguh ada sebagian suami yang memang tidak memiliki kecemburuan kepada istrinya, dan malah bangga kalau istrinya menjadi santapan pandangan para laki-laki. Maka tidak boleh taat kepada suami dalam hal seperti ini. Contoh lain adalah seorang suami meminta istrinya untuk memutuskan silaturahmi dengan keluarganya. Maka tidak boleh taat kepada suami dalam hal ini, karena memutuskan silaturahmi adalah salah satu bentuk maksiat kepada Allah ﷻ. Contohnya juga seperti seorang suami yang meminta istrinya untuk ikut menonton sesuatu yang haram dilihat seperti menonton film di bioskop atau menonton sinetron. Maka tidak boleh taat kepada suami dalam hal seperti ini pula, karena bisa jadi suami akan melihat aurat wanita lain, dan istrinya juga akan melihat laki-laki lain, akhirnya mereka tidak bisa menundukkan pandangan mereka.
Selain daripada perintah yang mungkar, maka wajib bagi seorang istri untuk taat kepada suami dalam segala hal pula. Contohnya tatkala seorang suami ingin pindah rumah dari lingkungan sebelumnya. Dalam hal ini seorang istri harus taat. Boleh bagi seorang istri untuk memberi masukan atau pendapatnya kepada suami terhadap keputusannya, akan tetapi tetap hasilnya ada di tangan suami. Ketika dalam diskusi tersebut terjadi percekcokan, maka seorang istri hendaknya mengalah. Namun di sisi lain, hendaknya seorang suami menghargai perasaan istrinya pula. Hendaknya suami menyenangkan istri dengan menyetujui pendapat-pendapatnya yang dalam pertimbangan suami itu memberikan maslahat. Oleh karenanya ketika menyangkut hal-hal yang bersifat urusan rumah, hendaknya seorang suami menyerahkan segalanya kepada istri, karena istri yang akan banyak tinggal di rumah tersebut. Maka seorang suami hendaknya membiarkan istri mengatur rumah sesuai dengan keinginannya agar sang istri betah tinggal di rumah.
Terkadang seorang wanita (istri) akan merasa berdosa ketika mengangkat suaranya di hadapan orang tuanya. Terkadang para wanita merasa berdosa ketika tidak bisa merawat dan mengurus orang tuanya ketika sakit atau yang lainnya. Maka saya ingatkan kepada para wanita dan para istri bahwa hak suami Anda jauh lebih besar daripada orang tua Anda. Maka jangan seorang istri dengan gampangnya mengangkat suara kepada suaminya, atau dengan mudahnya tidak mengurus suaminya tatkala sakit atau dalam urusan yang lain. Sebagaimana kita ketahui bahwa amalan berbakti kepada orang tua menjadikan seseorang mudah masuk ke dalam surga, dan durhaka kepada mereka bisa memasukkan ke dalam neraka. Maka kita katakan bahwa bagi para istri, hal tersebut juga berlaku kepada para suami. Di antara hal yang memudahkan seorang istri masuk ke dalam surga adalah taat kepada suami, dan mendurhakainya adalah di antara hal yang memudahkannya masuk ke dalam neraka. Dan dalil yang menunjukkan akan hal tersebut sangat banyak. Selain dari hadits-hadits di atas, hadits yang lain adalah tatkala Nabi ﷺ selesai khotbah id, beliau mendatangi para wanita dan berkata,
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ، تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ: وَبِمَ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ، وَتَكْفُرْنَ العَشِيرَ، مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ، أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الحَازِمِ، مِنْ إِحْدَاكُنَّ، يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ
“Wahai kaum wanita, bersedekahlah. Sungguh aku melihat kalian adalah yang paling banyak akan menjadi penghuni neraka”. Mereka bertanya: ‘Mengapa begitu, wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab, ‘Kalian banyak melaknat dan mengingkari pemberian (kebaikan suami). Tidaklah aku melihat orang yang lebih kurang akal dan agamanya melebihi seorang dari kalian, wahai para wanita’.”[10]
Maka para istri yang suka mengeluh dan tidak bersyukur kepada suami, selalu menuntut kepada suami, maka hal tersebut akan memudahkan istri untuk masuk neraka. Ada seorang kawan yang menceritakan bahwa sopirnya mengeluh kepada dia (majikannya). Ternyata istrinya suka mengeluh setiap kali suaminya (sang sopir) pulang ke rumah dan memberikan istrinya uang seratus ribu rupiah. Kemudian dia membandingkan ketika memberikan tukang parkir uang sepuluh ribu rupiah, dia langsung mendapatkan ucapan terima kasih serta doa yang tampak tulus dari tukang parkir tersebut. Oleh karenanya banyak para wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya. Padahal mungkin seorang istri tidak tahu bagaimana perjuangan suaminya untuk mendapatkan nafkah tersebut.
Definisi ketaatan adalah patuh, dan kadar ketaatan seseorang itu taat atau tidak diukur dengan seberapa patuhnya seseorang terhadap perintah. Maka seorang istri dapat mengukur sejauh mana ketaatannya kepada suami dengan melihat seberapa banyak dia patuh terhadap perintah suaminya. Jika kenyataannya seorang istri lebih banyak membantah, membentak, dan durhaka, maka itu tanda bahwa seorang istri tidak taat kepada suaminya dan dosanya pun akan terus mengalir. Akan tetapi kalau ternyata sang istri disifati sebagai istri yang taat, maka pahala baginya akan mengalir terus setiap hari karena setiap hari dia menjalani dengan ketaatan. Maka bagaimana mungkin surga bagi seorang wanita tidak tinggi jika demikian sikapnya?
Maka hendaknya para wanita bertakwa kepada Allah ﷻ dengan berusaha menjadi istri yang salihah dan taat kepada suami.
- Melayani suami dalam urusan ranjang
Tatkala seorang suami menginginkan untuk berhubungan, maka hendaknya seorang istri mengondisikan dirinya untuk siap melayani suaminya, dan telah datang dalil yang khusus membicarakan tentang hal ini.
Secara umum fungsi pernikahan adalah agar seseorang bisa menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Rasulullah ﷺ bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ، وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai para pemuda, siapa yang mampu menikah di antara kalian, maka menikahlah, sebab ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga farji. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa sebab ia merupakan benteng baginya.”[11]
Maka di antara hal yang sangat membantu untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan adalah tersalurkannya hasrat seorang suami. Allah ﷻ juga berfirman,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah: 223)
Ayat ini menunjukkan bahwa boleh bagi seorang suami mendatangi istrinya kapan pun dia kehendaki, baik siang maupun malam, dan dengan cara apa pun yang dia sukai, kecuali mendatanginya saat haid dan menggaulinya melalui dubur. Oleh karenanya Nabi ﷺ bersabda,
إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ لِحَاجَتِهِ فَلْتَأْتِهِ، وَإِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّورِ
“Jika seorang lelaki mengajak istrinya untuk memenuhi hasratnya, maka hendaknya dia mendatanginya, walau dia sedang berada di dapur.”[12]
Maka tatkala seorang istri membuat suatu makanan di atas panggangannya, namun suami memanggilnya untuk menyalurkan hasratnya, maka wajib untuk meninggalkan panggangannya meskipun makanannya harus hangus, karena mudarat hangusnya masakan itu lebih kecil dari mudaratnya seorang suami yang menunggu tersalurkannya hasrat, dan telah kita ketahui bahwa menolak kemudaratan yang lebih besar demi kemudaratan yang kecil, itu adalah kaidah yang masyhur ditengah-tengah kita. Dalam hadits yang lain Nabi ﷺ mengatakan,
وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ
“Kalau saja suami memintanya untuk dilayani, sementara ia sedang berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya.”[13]
Oleh karenanya tatkala seorang suami telah memanggil istrinya untuk menuntaskan hasratnya, maka meskipun dia dalam keadaan apa pun, maka wajib bagi seorang istri untuk berhenti dari apa yang dia lakukan dan mendatangi suaminya. Karena hasrat suami terkadang tidak bisa menerima penundaan.
Ketahuilah para wanita, bahwasanya suami Anda tatkala bekerja di luar rumah, bisa saja mereka melihat wanita-wanita yang cantik di tempat kerjanya atau di jalan, yang kemudian muncul hasrat dalam dirinya. Maka tatkala dia telah pulang dari kerjanya dan meminta untuk berhubungan dengan Anda, maka penuhilah, karena bisa saja suami Anda telah menahan hasrat sejak pagi atau siang hari. Sebagaimana Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ تُقْبِلُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، وَتُدْبِرُ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا أَبْصَرَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً -وَفِي رِوَيَة: إِذَا أَحَدُكٌمْ أَعْجَبَتْهُ الْمَرْأَةُ- فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ
“Sesungguhnya wanita itu datang dan pergi bagaikan setan. Maka bila kamu melihat seorang wanita -dalam riwayat yang lain: “Apabila kamu setan kagum dengan seorang wanita yang kamu lihat-, datangilah istrimu, karena yang demikian itu dapat menentramkan gejolak dirimu (hatimu).”[14]
Kata para ulama, maksud wanita bagaikan syaithan adalah wanita sangat menarik hasrat laki-laki. Sebagaimana syaithan mudah menggoda, maka wanita pun sangat mudah menggoda laki-laki, terlebih lagi dalam hadits lain Nabi ﷺm bersabda,
المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu adalah aurat. Jika dia keluar maka setan akan memperindahnya di mata laki-laki.”[15]
Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ menganjurkan untuk melampiaskan syahwat seorang suami kepada istrinya tatkala secara tidak sengaja dia melihat wanita yang membuat dia tertarik.
Oleh karenanya terdapat pula ancaman bagi seorang istri yang menolak ajakan suami yang ingin melampiaskan hasratnya. Nabi ﷺ bersabda,
إِذَا بَاتَتِ المَرْأَةُ مُهَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا، لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ حَتَّى تَرْجِعَ
“Apabila seorang wanita bermalam sementara ia tidak memenuhi ajakan suaminya di tempat tidur, maka Malaikat melaknatnya hingga pagi.”[16]
Ini dalil bahwa menolak ajakan suami untuk berjimak tanpa uzur syar’i, maka merupakan dosa besar sebagaimana perkataan sebagian ulama. Maka hendaklah diketahui bahwa dalam hal ini (jimak) adalah sedekah, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَأتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
“Dalam setiap kemaluan seorang dari kalian (suami-istri) terdapat sedekah.” Mereka (sahabat) bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika salah seorang di antara kami menyalurkan nafsu syahwatnya (kepada istri kami), apakah mendapatkan pahala?’ Beliau menjawab, ‘Bagaimana sekiranya kalian meletakkan hal tersebut pada sesuatu yang haram? Bukankah kalian berdosa? Maka demikianlah bila kalian meletakkannya pada tempat yang halal, maka kalian akan mendapatkan pahala’.”[17]
Maka ketika seorang istri melayani seorang suami dan meniatkan ibadah, maka dia akan mendapatkan pahala yang besar.
- Istri tidak boleh memasukkan seorang pun dalam rumahnya tanpa izin suami
Secara sederhana terkadang kepemilikan rumah adalah milik suami. Maka secara logika tidak boleh seseorang masuk dalam rumah tersebut tanpa izin pemiliknya. Dan bagi seorang suami-istri biasanya yang memiliki rumah adalah suami. Maka seorang tidak boleh memasukkan tamu siapa pun ke dalam rumah suaminya tanpa izinnya. Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda,
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sementara siapa pun suaminya ada di rumah, kecuali dengan seizinnya. Dan tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan seizinnya. Dan sesuatu yang ia infakkan tanpa seizinnya, maka setengahnya harus dikembalikan pada suaminya.”[18]
Ini menjadi dalil bahwa melayani suami itu berpahala, bahkan lebih didahulukan dari puasa sunnah. Kemudian hadits ini menjadi dalil juga bahwa seorang istri tidak boleh memasukkan tamu ke dalam rumahnya tanpa izin suaminya.
Dalam hadits yang lain Nabi ﷺ bersabda,
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ
“Dan kamu punya hak atas mereka yaitu agar mereka tidak mengizinkan orang lain menduduki tikarmu (memasuki rumah tanpa izin).”[19]
Ibnu Atsir mengomentari hadits ini dengan mengatakan,
أَيْ لَا يَأذَنّ لأحدٍ مِنَ الرِّجَالِ الأجانِب أَنْ يَدْخُلَ عليهِنَّ، فيَتَحدَّثَ إليْهنَّ. وَكَانَ ذَلِكَ مِنْ عَادَةِ الْعَرَبِ، لَا يَعْدّونه رِيبَة، وَلَا يَروْن بِهِ بَأْسًا، فَلَمَّا نزَلت آيَةُ الحِجاب نُهُوا عَنْ ذَلِكَ
“Tidak boleh seseorang pun dari laki-laki ajnabi memasuki rumahnya, kemudian berbicara dengannya tanpa izin (suaminya). Dan sesungguhnya demikian adalah kebiasaan orang Arab (dahulu), mereka tidak merasa khawatir, dan mereka tidak melihatnya (sebagai) perbuatan buruk. Maka ketika turun ayat tentang hijab, hal tersebut telah dilarang.”[20]
Dahulu adat kebiasaan orang Arab tatkala seorang istri berbicara dengan laki-laki lain, dan bahkan memasukkannya ke dalam rumahnya merupakan hal yang biasa mereka lakukan. Sehingga tatkala ayat tentang hijab telah turun, maka kebiasaan tersebut menjadi terlarang. Oleh karenanya di antara hak suami adalah seorang istri tidak boleh memasukkan laki-laki ke dalam rumahnya tanpa izin suaminya. Bahkan para ulama mengatakan bahwa hal tersebut mencakup seluruh laki-laki, kecuali kedua orang tua. Maka ketika kakak laki-laki, adik laki-laki, dan paman dari sang istri hendak masuk ke rumahnya, harus dengan izin suami. Hal tersebut sebagai bentuk penghormatan terhadap pemilik rumah. Sehingga jika seorang suami tidak mengizinkan paman sang istri untuk masuk ke dalam rumahnya, maka sang istri tidak boleh memasukkan pamannya ke dalam rumahnya. Dia boleh berbicara dengan pamannya di luar rumahnya tanpa harus memasukkan pamannya di dalam rumahnya.
Akan tetapi saat ini muncul sebagian istri yang mendatangkan kakaknya dan adiknya, keponakannya, pamannya, dan kerabat lainnya untuk tinggal di rumahnya tanpa izin suaminya. Ketahuilah bahwa sifat tersebut menunjukkan rasa tidak hormat sang istri kepada suami sebagai pemilik rumah. Maka harus bagi seorang istri untuk meminta izin kepada suaminya ketika hendak memasukkan keluarganya atau orang lain ke dalam rumahnya. Karena terkadang ada seorang suami yang terganggu ketika ada orang lain di dalam rumahnya, sehingga sang istri terkadang tidak sempat melayani suaminya karena sibuk melayani tamunya.
- Istri tidak boleh keluar rumah kecuali dengan izin suami
Pada dasarnya seorang suami yang mencari nafkah untuk istrinya, sehingga secara umum istri tidak memiliki keperluan untuk keluar rumah. Akan tetapi jika ada hajat yang mengharuskannya keluar rumah, maka dia boleh keluar dengan izin suaminya. Hal ini dikarenakan bisa jadi sang suami tiba-tiba pulang dan menginginkan pelayanan dari istrinya, sedangkan dia tidak mendapati istrinya di rumahnya. Maka ini menjadi salah satu alasan mengapa istri harus minta izin kepada suami jika hendak keluar rumah, meskipun suaminya sedang bersafar. Meskipun seorang istri hendak keluar untuk mengunjungi orang tuanya, menjenguk orang sakit, menghadiri majelis ilmu, dia tetap harus minta izin dari suaminya. Karena di antara hak suami adalah keberadaan istrinya di rumahnya. Maka perlu diingat pula bahwa tidak dibenarkan ketika seorang istri setiap hari meminta izin untuk keluar rumah.
- Suami berhak menghukum istrinya jika melakukan kesalahan
Allah ﷻ berfirman,
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
“Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar.” (QS. An-Nisa’ : 34)
Para ulama menyebutkan bahwa dalam ayat ini ada tiga tahapan seorang suami tatkala melihat istrinya melakukan kesalahan.
Tahapan pertama adalah dengan menasihatinya. Seorang suami hendaknya terlebih dahulu memberikan nasihat kepada istrinya yang melakukan kesalahan dengan nasihat yang berulang-ulang, dengan lembut, dan yang bisa membuat dia paham. Dan tidak dibenarkan seorang suami yang menasihati istrinya dengan berteriak atau marah, terlebih lagi jika dikakukan di tempat umum. Oleh karenanya seorang suami tatkala menghadapi istrinya harus dengan sabar, sehingga tidak terjadi hal-hal yang demikian.
Tahapan kedua adalah memboikot istri. Ketika seorang suami telah berulang-ulang menasihati kesalahan istri dan ternyata masih terus melakukan kesalahan, maka boleh seorang suami untuk memboikot istrinya di rumahnya. Hukum asal seorang suami memboikot istrinya adalah di rumahnya. Seorang suami boleh tidur dalam beda ranjang dengan istrinya atau menoleh ke arah berlawanan dengan istrinya jika masih dalam satu ranjang. Seorang suami juga boleh untuk tidak menyentuh istrinya selama masa boikot, dengan harapan seorang istri akan sadar bahwa dia telah melakukan kesalahan sehingga dia tidak disentuh.
Tahapan ketiga adalah memukul istri. Tatkala dua tahapan di atas telah dilakukan, akan tetapi istri masih saja membangkang atau melakukan kesalahan yang lain, maka seorang suami boleh memukul istrinya. Namun perlu untuk diingat bahwa pukulan tersebut adalah pukulan untuk mendidik dan bukan pukulan yang melampiaskan kemarahan sehingga meninggalkan bekas. Maka tidak boleh seorang suami memukul istri di wajahnya dan tempat-tempat yang sensitif untuk luka dan berbekas. Oleh karenanya seorang suami hendaknya memukul istrinya seperti pukulan terhadap anaknya, yaitu karena rasa sayang sehingga dipukul untuk mendidiknya. Semua ini dilakukan dengan harapan seorang istri akan kembali bertaubat kepada Allah dan meminta maaf kepada suaminya jika melakukan kesalahan. Akan tetapi bagaimanapun juga memukul wanita bukanlah sifat yang baik meskipun di bolehkan dalam syariat. Karena dalam suatu hadits Nabi ﷺ bersabda,
لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ، فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ، فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ، فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah (istri-istri kalian)!” Kemudian Umar datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, ‘Para wanita mulai berani kepada suami-suami mereka’. Kemudian Rasulullah memberikan keringanan untuk memukul mereka. Kemudian banyak para wanita berkumpul di rumah Rasulullah ﷺ mengeluhkan para suami mereka. Maka Nabi ﷺ berkata, ’Sesungguhnya telah datang wanita yang banyak ke rumah istriku yang mengeluhkan para suami mereka (yang memukul). Mereka itu bukanlah orang yang terbaik di antara kalian’.”[21] (HR. Abu Daud 2/245 no. 2146)
Maka meskipun memukul itu dibolehkan, akan tetapi hadits di atas merupakan isyarat bahwa yang terbaik adalah seorang suami hendaknya bersabar, dan menempuh metode yang lebih baik dalam memberikan nasihat atau pelajaran kepada istri.
- Wajib bagi istri berkhidmah kepada suaminya
Pelayanan seorang istri terhadap suaminya dalam hal ini kembali kepada ‘urf. Ibnu Taimiyah ﷺ mengatakan,
وَتَجِبُ خِدْمَةُ زَوْجِهَا بِالْمَعْرُوفِ مِنْ مِثْلِهَا لِمِثْلِهِ وَيَتَنَوَّعُ ذَلِكَ بِتَنَوُّعِ الْأَحْوَالِ فَخِدْمَةُ الْبَدْوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الْقَرَوِيَّةِ وَخِدْمَةُ الْقَوِيَّةِ لَيْسَتْ كَخِدْمَةِ الضَّعِيفَةِ
“Dan wajib bagi sang istri melayani suaminya dengan cara yang baik sebagaimana wanita semisalnya melayani suami semisalnya. Dan perbedaan tingkat pelayanannya sesuai kondisi. Sebagaimana pelayanan wanita di kampung tidak sama dengan pelayanan wanita yang tinggal di kota. Dan sebagaimana pelayanan wanita yang kuat tidak sama dengan pelayanan wanita yang lemah.”[22]
Intinya adalah seorang istri membantu suaminya di rumah sesuai ‘urf setempat. Sebagaimana di Indonesia, kebiasaan pelayanan seorang istri adalah memasak, merapikan rumah, mencuci, dan lain-lain. Maka seorang istri wajib melayani suaminya dalam hal-hal demikian.
- Menjaga diri dan harta suami tatkala suaminya sedang tidak ada
Allah ﷻ berfirman,
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Maka perempuan-perempuan yang salihah adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).” (QS. An-Nisa’ : 34)
Yang pertama adalah seorang istri wajib menjaga diri dan kehormatannya tatkala suaminya sedang tidak ada. Jangan kemudian seorang istri tatkala di rumahnya melakukan sesuatu yang jika dia berada di sisinya, dia tidak akan ridha. Contohnya adalah seorang istri yang berbicara dengan laki-laki lain melalui telepon dan media-media sosialnya, atau membuka website di internet yang menampilkan laki-laki lain. Maka yang demikian seorang istri tidaklah menjaga dirinya dan kehormatannya tatkala suaminya tidak berada di sisinya.
Yang kedua adalah seorang istri wajib menjaga harta suami yang dititipkan kepadanya. Maksudnya adalah seorang istri tidak boleh menggunakan harta tersebut secara sembarangan, karena kebiasaan laki-laki di Indonesia adalah meletakkan hartanya di tangan suaminya. Karena terkadang ada seorang istri yang tatkala memegang harta suaminya, dia tidak amanah dengan memberikan harta tersebut kepada siapa yang dia kehendaki tanpa izin suaminya. Bahkan ketika dia hendak membeli suatu barang yang dia inginkan dengan harta yang dititipkan suaminya kepadanya, maka dia teta harus meminta izin kepada suaminya. Dan ingatlah bahwa seorang istri yang dititipkan harta suaminya juga akan dimintai pertanggungjawaban. Maka istri yang salihah ada istri yang menjaga harta suaminya, baik tatkala suaminya tahu ataupun tidak tahu.
Inilah beberapa hak-hak suami terhadap istrinya. Terakhir kita akan menyampaikan nasihat Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafidzahullahu ta’ala terhadap wanita zaman sekarang. Beliau berkata,
“Inilah bimbingan Islam terhadap wanita tentang bagaimana sikap mereka terhadap suaminya, bagaimana seorang istri menunaikan hak suaminya. Jika para wanita berpegang teguh dengan bimbingan Islam ini, maka rumah-rumah tangga akan hidup dalam kebahagiaan yang sempurna. Akan tetapi wanita zaman sekarang tidak mengetahui hak-hak suaminya, sehingga banyak terjadi perceraian, pemukulan, pertikaian. Akhirnya pada hari ini kita mendengar sebagian wanita yang mereka lupa tentang kelembutannya, tentang sifat kewanitaannya yang berubah menjadi gagah perkasa. Terlebih lagi jika dia temui suaminya lemah, dia pun menguasai suaminya. Apabila sang istri memberikan sebagian hartanya kepada suaminya, maka dia akan mengungkit terus pemberiannya. Dan kalau dia meminta sesuatu dari suaminya yang tidak bisa dipenuhinya, maka dia mengolok-olok suaminya dengan olok-olok miskin, sehingga tatkala dia masuk rumah, wajahnya menjadi beringas di hadapan suaminya. Kalau suaminya keluar rumah, istrinya menolak dari belakang, dia merasa suaminya tidak pernah membahagiakannya, jiwanya tidak akan pernah puas dengan suaminya. Dia tampil di depan pintu melihat kemana-mana, dia pamerkan kecantikan wajahnya atau auratnya kepada laki-laki asing. Kalau dia berbicara dengan suaminya, dia akan membicarakan tentang suaminya fulanah, sedangkan nasibku buruk, padahal dahulu aku dilamar oleh pria terpandang, akan tetapi nasibku sudah begini. Kalau dia tinggal di rumah bersama suaminya, dia merasa seperti di penjara. Dia tidak pernah memakai minyak wangi dan berhias, sehingga kalau suaminya melihatnya, dia akan melihat pemandangan yang tidak enak. Rambutnya semrawut, pakaiannya penuh dengan kotoran. Kalau dia tinggal di rumahnya, maka badannya kotor penuh dengan bawang. Akan tetapi ketika dia keluar rumah, dia berhias dan memakai minyak wangi. Ini adalah ciri-ciri wanita yang celaka. Yang dia menjadikan seluruh kebaikannya untuk orang lain, dan segala keburukannya dia berikan kepada suaminya. Ketika dia keluar bertemu teman-teman perempuannya, dia sangat murah senyum, berkata-kata yang enak (didengar) dan mengindahkan majelis, tidak membuat pembicaraan membosankan, membuat orang senang duduk dengannya. Akan tetapi ketika dia pulang ke rumahnya, berubahlah ia menjadi singa betina yang ketika berbicara dengan suaminya, dia mengeluarkan api, ketika dia melakukan sesuatu, dia melakukan hal yang buruk. Tidak ada kebaikan bagi wanita yang demikian. Ini adalah wanita yang benar-benar celaka. Dari mana wanita ingin bahagia? Sedangkan dia telah menyelisihi agamanya, dai telah menjadikan Rabbnya murka, dia telah menjadikan suaminya menderita. Maka hendaknya dia instrospeksi diri, karena sesungguhnya umurnya terbatas dan ajalnya akan segera tiba.”
Inilah yang bisa kita bahas pada kesempatan kali ini, semoga para istri bisa menjadi istri yang salihah yang taat kepada suaminya, bukan hanya hari ini melainkan hingga maut menjemput.
Footnote:
_______
[1] HR. Ahmad No. 19003, haditsnya hasan.
[2] HR. Ibnu Majah No. 2781, hadits ini hasan menurut Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ Ash-Shaghir No.1248
[3] HR. Ibnu Majah No. 1853, hadits ini dinilai hasan sahih oleh Syaikh Al-Albani
[4] HR. Ahmad No. 12614, Syu’aib Al-Arnauth mengatakan hadits ini sahih lighairihi tanpa perkataan,وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ sampai akhir hadits.
[5] HR. Ahmad No. 19003, haditsnya hasan.
[6] Majmu’ Fataawa 32/261
[7] Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/292
[8] HR. Ahmad No. 1095, Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini sahih berdasarkan syarat Imam Bukhari dan Imam Muslim.
[9] HR. Bukhari No. 5205
[10] HR. Bukhari No. 1462
[11] HR. Muslim No. 1400.
[12] HR. At-Tirmidzi No.1160, hadits ini dinyatakan sahih oleh Syaikh Al-Albani.
[13] HR. Ibnu Majah No. 1853, hadits ini hasan sahih.
[14] HR. Muslim No. 1403
[15] HR. Tirmidzi No. 1173
[16] HR. Bukhari No. 5194
[17] HR. Muslim No. 1006
[18] HR. Bukhari No. 5195
[19] HR. Muslim No. 1218
[20] An-Nihayah fii Ghariibil Hadits wa Al-Atsar 5/201
[21] HR. Abu Daud No. 2146, dinilai sahih oleh Syaikh Al-Albani.
[22] Fataawa Al-Kubra li Ibnu Taimiyah 5/481