Fikih Bermedia Sosial
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Pada kesempatan kali ini, kita akan membahas tentang fikih yang berkaitan dengan media sosial. Pembahasan ini saya angkat karena saya merasa bahwa semua orang perlu untuk mengetahuinya. Siapa pun di antara kita baik laki-laki ataupun perempuan, tua atau muda pasti bermain gawai dan memiliki akun media sosial. Dan hampir semua orang terjebak dengan yang namanya gawai dan media sosial. Agar kita berhati-hati dalam menggunakan media tersebut. Jika kita salah dalam penggunaannya, maka dikhawatirkan akan terjadi bencana yang amat besar bagi diri kita masing-masing.
Sesungguhnya waktu dalam Islam sangatlah berharga. Kalau orang-orang mengatakan bahwa waktu itu emas, maka umat Islam mengatakan bahwa waktu itu lebih berharga daripada emas, perak, atau dolar sekalipun. Sesungguhnya harta itu akan datang dan pergi meninggalkan kita, sedangkan waktu hanya akan pergi dan tidak akan kembali lagi. Oleh karenanya banyak di dalam Al-Quran Allah bersumpah dengan waktu. Di antaranya adalah,
وَالْعَصْرِ
“Demi masa (waktu).” (QS. Al-‘Ashr: 1)
وَالضُّحَى
“Demi waktu dhuha.” (QS. Adh-Dhuha: 1)
وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى، وَالنَّهَارِ إِذَا تَجَلَّى
“Demi malam apabila menutupi (cahaya siang), dan siang apabila terang benderang.” (QS. Al-Lail: 1-2)
Intinya Allah banyak bersumpah di dalam Al-Quran dengan waktu karena dalam Islam waktu adalah hal yang sangat penting. Oleh karenanya Allah ﷻ berfirman,
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau yang ingin bersyukur.” (QS. Al-Furqan: 62)
Jadi waktu dijadikan oleh Allah ﷻ agar kita bersyukur, mengambil pelajaran dan mengingat Allah ﷻ. Oleh karenanya nikmat yang sering terlupakan adalah nikmat waktu. Nabi ﷺ bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ
“Dua kenikmatan yang sering dilupakan oleh kebanyakan manusia adalah kesehatan dan waktu luang.”[1]
Dan kita tahu bahwa dahulu para salaf sangat perhatian terhadap waktu, karena waktu adalah umur bagi mereka. Sebagaimana perkataan Hasan Al-Bashri,
يَا ابْنُ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيّامٌ فَإِذَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ، وَيُوشِكُ إِذَا ذَهَبَ بَعْضُكَ أَنْ يَذْهَبَ كُلُّكَ
“Wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari. Maka apabila telah pergi sebagian hari-hari, maka pergi pula sebagian dari dirimu. Dan dikhawatirkan jika telah pergi sebagian dari dirimu, maka akan hilang seluruh dari dirimu.”[2]
Maka jika hari semakin bertambah, maka semakin berkurang usia kita. Oleh karenanya Ibnu Mas’ud h pernah berkata,
مَا نَدِمْتُ عَلَى شَيْءٍ نَدَمِي عَلَى يَوْمٍ غَرَبَتْ شَمْسُهُ، نَقْصَ فِيه أَجْلِي، وَلَمْ يَزِدْ فِيه عَمَلِي
“Tidak pernah aku menyesal terhadap sesuatu seperti penyesalanku terhadap hari yang matahari terbenam pada hari itu, umurku berkurang sementara amalku tidak bertambah.”[3]
Ini menunjukkan bagaimana perhatian beliau (Ibnu Mas’ud) terhadap waktu. Beliau tidak ingin waktunya hilang sia-sia tanpa bertambahnya amalan. Oleh karenanya beliau juga berkata,
انِّي لَأُبْغِضُ الرَّجُلَ أَنْ أَرَاهُ فَارِغًا لَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْ عَمَلِ الدُّنْيَا وَلَا فِي عَمَلِ الآخِرَةِ
“Aku sangat benci kepada seseorang yang tidak melakukan apa pun baik yang bermanfaat dalam urusan dunia urusan akhirat.”[4]
Demikian juga para ulama sangat memerhatikan waktu. Sampai disebutkan bahwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di radhiallahu ‘anhu adalah orang yang sangat perhatian terhadap waktu. Disebutkan bahwa jika beliau menjumpai orang-orang Arab yang sedang berkumpul sambil minum-minum kopi dan saling mengobrol, beliau berkata “Seandainya saya bisa membeli waktu kalian, maka saya akan membelinya“. Beliau mengatakan demikian karena beliau merasa kekurangan waktu untuk segala keperluan beliau. Beliau merasa kekurangan waktu dalam belajar, menulis, berdakwah, beribadah dan yang lainnya.
Terkadang mungkin di antara kita juga sering merasa kekurangan waktu. Akan tetapi kebanyakan kita merasa kekurangan waktu hanya pada hal-hal urusan dunia. Sedangkan urusan akhirat kita jarang merasa kekurangan waktu. Maka perlu bagi kita juga untuk merasa bahwa kita kekurangan waktu dalam urusan akhirat, agar kita bisa menjadikan waktu lebih efisien dan bermanfaat dalam kehidupan kita.
Hal yang sangat menyedihkan adalah tatkala kita mendapati orang yang tidak peduli dengan waktunya. Terlebih lagi dia membuang-buang waktunya pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Sampai ada orang yang memiliki istilah tersebut dengan sebutan membunuh waktu. Maksudnya adalah dia memiliki waktu yang sangat banyak, sehingga dia sendiri kebingungan untuk mengisi waktu tersebut dengan melakukan apa. Sementara banyak orang-orang saleh kekurangan waktu. Maka sangat menyedihkan jika ada orang yang membuang-buang waktu mereka dalam hal yang tidak bermanfaat, apalagi sampai kepada perkara maksiat kepada Allah ﷻ. Bahkan yang lebih menyedihkan lagi adalah tatkala dia mengambil waktu orang lain dengan mengajaknya ikut dalam kegiatannya untuk membuang-buang waktu bersama.
Dan di zaman sekarang ini, perkara membuang-buang waktu yang hampir menimpa semua orang adalah masalah internet dan media sosial, baik itu dengan Facebook, Instagram, Telegram, Twitter, Whatsapp, dan media lainnya. Pada dasarnya, internet adalah karunia dari Allah ﷻ. Karena betapa banyak manfaat yang bisa kita peroleh dari adanya internet dan media sosial. Dengan internet kita bisa melakukan berbagai macam kebaikan seperti dakwah, terkadang kita juga bisa mengatur waktu dengan Google Maps, kita bisa mendapatkan berita-berita tertentu, kita juga akan mudah bersilaturahmi dengan kerabat yang jauh dengan panggilan video (video call), dan kemudahan-kemudahan yang lainnya.
Namun di sisi lain internet bisa menjadi bencana yang sangat besar bagi umat Islam secara umum. Bagaimana tidak dikatakan bencana, sedangkan yang pertama kali dilakukan oleh kebanyakan kaum muslimin tatkala bangun dari tidurnya adalah membuka gawainya, sehingga melupakan membaca doa bangun tidur. Yang pertama dia lakukan adalah memeriksa pemberitahuan-pemberitahuan terbaru dari masing-masing media sosialnya. Bahkan sebelum kembali untuk tidur, kebanyakan kaum muslimin juga melihat gawainya, sehingga mereka lupa untuk membaca ayat kursi, doa sebelum tidur, dan dzikir-dzikir sebelum tidur lainnya. Padahal di antara dzikir yang paling banyak dalam buku-buku doa dan dzikir adalah dzikir sebelum tidur. Di antara hikmahnya adalah karena tatkala seseorang tidur, seseorang memasrahkan dirinya kepada Allah karena dia tidak tahu apakah dia bisa bangun atau tidak setelah itu. Akan tetapi karena lalai dengan gawai dan internetnya, sehingga orang banyak melupakan doa dan dzikir sebelum tidur tersebut. Tentunya ini adalah musibah.
Di antara musibah yang ditimbulkan oleh gawai dan media sosialnya adalah seorang suami-istri yang mungkin berada dalam satu ranjang, akan tetapi ternyata masing-masing sibuk dengan gawai dan media sosialnya. Tidak ada pembicaraan canda tawa yang terjadi di antara mereka. Mereka masing-masing tersenyum dan tertawa hanya kepada gawainya. Mereka saling asyik sendiri dengan gawainya. Dan entah berapa banyak maksiat yang mereka perhatikan dari time line media sosialnya. Tentunya ini adalah musibah.
Di antara musibah yang lain akibat gawai dan media sosial adalah musibah yang menimpa anak-anak. Tatkala orang tua memberikan gawai kepada anaknya, yang terjadi adalah anak-anak memainkan berbagai macam permainan secara daring. Bahkan mereka yang masih berumur sekolah dasar sudah memiliki akun-akun media sosial seperti Facebook, Instagram, dan media sosial lainnya. Sehingga tatkala anak-anak telah memainkan itu semua, mereka akan sibuk dengan gawainya dan tidak mau lagi dekat dengan orang tuanya. Sang anak akan lebih senang berada dalam dekapan gawainya daripada dekapan orang tuanya. Yang tambah menyedihkan adalah tatkala orang tua senang dengan anaknya yang sibuk dengan gawainya karena dia juga ingin sibuk dengan gawainya. Bahkan tatkala anaknya menangis, yang pertama orang tua kebanyakan lakukan adalah memberikan gawai kepada anaknya agar diam. Ketahuilah bahwa sifat orang tua yang seperti itu adalah sifat khianat kepada anak. Oleh karenanya tatkala kita mendapati anak kita telah kecanduan terhadap gawai, maka ambillah gawai mereka. Jika kita ingin anak kita sayang kepada kita dan kita pun sayang kepadanya, maka ambil gawainya meskipun dia menangis. Karena dikhawatirkan anak-anak kita akan rusak agamanya jika dibiarkan terus menerus bermain gawai dan internet.
Kemudian, di antara musibah lain dari bermain gawai dan media sosial adalah betapa banyak maksiat yang kita lihat melalui media tersebut. Hampir kita semua ketika telah masuk dalam salah media sosial, pasti melihat sesuatu yang haram baik disengaja atau tidak disengaja. Padahal dahulu orang-orang saleh tatkala melihat aurat wanita atau sebaliknya, selalu merasa bahwa itu adalah perkara yang berat. Akan tetapi sekarang perkara tersebut tampak sebagai perkara yang biasa saja karena melihatnya setiap hari. Jangankan hanya wajah, seluruh aurat bisa dilihat melalui gawai. Akhirnya sesuatu yang haram jadi tampak biasa dan rasa malu hilang pada diri seseorang baik kepada manusia atau bahkan kepada Allah ﷻ. Maka ini adalah salah satu bencana yang ditimbulkan oleh gawai.
Saya sering sampaikan bahwa jika seseorang ingin terhindar dari maksiat, hendaknya dia tinggal di rumahnya. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ ketika ada orang yang bertanya kepada beliau dengan mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا النَّجَاةُ؟ قَالَ: «امْلِكْ عَلَيْكَ لِسَانَكَ، وَلْيَسَعْكَ بَيْتُكَ، وَابْكِ عَلَى خَطِيئَتِكَ
“Wahai Rasulullah, bagaimana agar aku bisa selamat?” Rasulullah berkata, “Jagalah lisanmu, hendaklah rumahmu membuatmu lapang (tinggal di rumah), dan menangislah karena dosa-dosamu.”[5]
Dahulu orang yang tinggal di dalam rumahnya akan selamat, namun saat ini orang yang tinggal di rumahnya pun bisa bermaksiat melalui gawainya yang selalu bersamanya. Oleh karenanya banyak pula bencana yang menimpa seseorang dengan adanya internet dan media sosial yang sangat mudah untuk diakses saat ini melalui gawai.
Kemudian musibah yang lain dari internet dan media sosial ada betapa banyak orang yang tidak memiliki adab. Lihatlah bagaimana sikap seseorang yang sibuk dengan gawainya, dia mengabaikan orang yang bahkan sedang berbicara di hadapannya. Juga mungkin seorang suami yang sibuk bermain gawai mengabaikan istrinya yang sedang berbicara dengannya, atau sebaliknya seorang istri terhadap suaminya. Dengan gawai juga seseorang tidak punya adab terhadap gurunya atau ustaz. Tatkala guru atau ustaz menjelaskan pelajaran, muridnya sibuk bermain gawai. Bahkan tatkala keluarga besar berkumpul, semua anggota keluarga sibuk dengan gawai mereka masing-masing. Maka gawai dan segala isinya mampu menghilangkan adab seseorang, baik itu adab bergaul atau berbicara.
Di antara musibah lain yang disebabkan oleh internet dan media sosial adalah seseorang dengan mudah menampakkan sesuatu yang bukan dirinya. Betapa banyak orang yang sering menyampaikan kebaikan, akan tetapi dia tidak melaksanakan nasihatnya sedikit pun. Betapa banyak larangan yang dia sampaikan kepada orang lain, akan tetapi dia sendiri melakukan larangan tersebut. Tidakkah orang-orang seperti mereka pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda,
الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ، كَلَابِسِ ثَوْبَيْ زُور
“Barangsiapa yang berhias dengan apa yang tidak ada pada dirinya, maka dia seperti mengenakan dua pakaian kedustaan.”[6]
Dengan media sosial, betapa banyak orang ingin menjadi tenar dan terkenal. Padahal mencari ketenaran adalah sesuatu yang haram di dalam Islam. Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا، أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa mengenakan pakaian kebesaran agar terkenal di dunia, maka Allah akan mengenakan baginya pakaian kehinaan pada hari kiamat.”[7]
Haram hukumnya seseorang memakai pakaian yang mengundang perhatian orang lain, baik karena bagus, jelek atau bahkan karena anehnya pakaiannya. Apalagi bagi seorang akhwat yang mengenakan pakaian yang mencolok dengan beragam gambar di pakaiannya. Oleh karenanya disebutkan dalam hadits Nabi ﷺ,
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا
“Dua golongan penghuni neraka yang belum pernah aku lihat; kaum membawa cambuk seperti ekor sapi, dengannya ia memukuli orang dan wanita-wanita yang berpakaian (tapi) telanjang, mereka berlenggak-lenggok dan condong (dari ketaatan), rambut mereka seperti punuk unta yang miring, mereka tidak masuk surga dan tidak akan mencium baunya, padahal sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan sejauh ini dan ini.”[8]
Kata sebagian ulama, di antara tafsiran hadits ini adalah gambaran wanita yang disebutkan merupakan isyarat bahwa wanita melakukan sesuatu yang menarik perhatian. Dan sekali lagi dikatakan bahwa mencari ketenaran dan perhatian tidak boleh di dalam Islam. Akan tetapi jika seseorang berbuat baik namun tiba-tiba menjadi terkenal, maka yang seperti itu bukanlah hal yang tercela, melainkan menjadi sebuah ujian.
Akan tetapi begitulah yang terjadi di media sosial. Banyak orang mencari ketenaran dan perhatian orang dengan melakukan hal-hal aneh dengan pakaiannya, dengan mengendarai kendaraan yang mahal, bahkan dengan maksiat yang dia lakukan. Maka ini tidak dibenarkan di dalam syariat Islam.
Ketahuilah bahwa musibah yang ditimbulkan oleh internet dan media sosial bukan hanya menimpa orang awam, tetapi juga menimpa orang-orang yang saleh lagi mulia, yang seharusnya mereka menjadi teladan bagi sebagian orang. Di antara musibah bagi orang-orang seperti mereka adalah dengan akun media sosial mereka menceritakan seluruh amal ibadahnya dengan terperinci. Kita pasti pernah dapati orang yang tatkala melaksanakan umrah, mereka mengunggah foto-foto mereka tatkala melaksanakan masing-masing ibadah yang mereka lakukan di tanah suci. Kadang juga kita dapati orang yang tatkala melakukan bakti sosial atau bersedekah, mereka mengabarkan hal tersebut kepada semua temannya di media sosial. Terkadang kita dapati pula ada orang yang menceritakan bagaimana baktinya kepada ibunya dan perlakuan baiknya terhadap keluarganya. Kita tahu bahwa semua itu adalah bentuk amal saleh, lalu untuk apa diceritakan? Kalau sekiranya perkara menceritakan amal saleh ini terjadi pada orang awam, mungkin akan ada uzur karena ketidaktahuan mereka. Akan tetapi berbeda halnya ketika hal tersebut terjadi pada seorang ustaz atau da’i yang seharusnya menjadi teladan dan paham akan hal tersebut. Padahal asalnya di dalam Islam, seseorang Hendaknya menyembunyikan amal salehnya. Nabi ﷺ bersabda dalam Sahih Muslim,
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْعَبْدَ التَّقِيَّ، الْغَنِيَّ، الْخَفِيَّ
“Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertakwa, berkecukupan dan menyendiri.”[9]
Di antara makna الخَفِيْ dalam hadits di atas adalah seseorang tidak ingin tampil, terkenal dan tidak ingin menjadi bahan perhatian orang lain. Maka sebisa mungkin seseorang berusaha untuk menyembunyikan amalannya. Nabi ﷺ bersabda,
مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ خَبِىءٌ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barang siapa di antara kalian yang mampu untuk menyembunyikan amal saleh, maka lakukanlah.”[10]
Ketahui pulalah bahwa amal saleh yang tersembunyi tentunya memiliki pahala yang lebih sesar jika dibandingkan dengan pahala amal saleh yang ditampakkan. Walaupun niat da’i atau ustaz tersebut dalam menceritakan amal salehnya itu baik, akan tetapi kita katakan bahwa meskipun begitu, perkara menceritakan amal saleh tetap sangat rawan dari pintu-pintu riya’ dan ujub. Oleh karenanya saya katakan bahwa di antara musibah yang menimpa orang-orang ‘alim, penuntut ilmu, para da’i akibat internet dan media sosial adalah mereka menampakkan seluruh amalannya yang akhirnya menjadi bahan pembicaraan dan komentar orang lain. Sehingga tatkala mereka telah banjir pujian, mereka pun menukil pujian tersebut dan menuliskannya kembali dalam status-status media sosial mereka. Subhanallah, ketahuilah bahwa orang-orang yang seperti itu telah terjebak dalam tipu daya media sosial. Padahal Nabi ﷺ pernah bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ، فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمُ التُّرَابَ
“Bila kalian melihat orang-orang memuji, taburkan tanah di wajahnya.”[11]
Wahai saudaraku, mengapa Anda bangga dengan banyaknya jumlah pengikut di media sosial mereka. apakah dengan banyaknya jumlah itu membuat kedudukan Anda tinggi di sisi Allah? Padahal kebenaran tidaklah diukur dengan jumlah dan ketenaran. Nabi ﷺ bersabda,
رُبَّ أَشْعَثَ مَدْفُوعٍ بِالْأَبْوَابِ، لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ
“Betapa banyak orang kusut dan tertolak di pintu-pintu yang seandainya bersumpah atas nama Allah, pasti Allah tunaikan.”[12]
Ini menunjukkan bahwa tidak akan memberi pengaruh di sisi Allah ﷻ atas jumlah pengikut kita di media sosial. Kalaupun ada orang yang memuji kita, biarkan dan jangan sampai kita terperdaya dengan pujian tersebut. Ketahuilah bahwa saya tidak berbicara tentang orang awam, melainkan tentang para ustaz dan para dai yang seharusnya menjadi panutan banyak orang dan betul-betul memerhatikan niat-niat mereka. Dan saya berbicara demikian tidak melazimkan bahwa saya terbebas dari perkara ini. Saya menyampaikan hal ini karena saya takut terjebak di dalamnya atau bahkan saya mungkin telah terjebak di dalamnya namun saya tidak menyadarinya. Oleh karenanya saya mengingatkan diri saya terlebih dahulu sebelum saya mengingatkan Anda wahai saudaraku sekalian, bahwa jangan sampai kita terperdaya dengan pujian dan jumlah yang banyak. Seorang ulama pernah berkata, “Dua orang hadir dalam majelis ilmu seorang dai yang ikhlas itu lebih baik daripada dua juta pengikut di media sosialnya dalam keadaan dia tidak ikhlas“. Ketahuilah bahwa ketenaran itu adalah ujian yang sangat berat. Oleh karenanya jika Anda bisa masuk surga tanpa tenar, maka itu lebih baik. Seperti halnya menjadi donatur, panitia kajian, dan yang lainnya yang tidak perlu tampak di depan banyak orang. Sebagian ulama mengatakan,
أَحْرَزَ العَامِلِينَ مِنْ الشَّيْطانِ عَمَلَ السِّرِّ
“Amal yang paling aman dari gangguan syaithan adalah amal yang tersembunyi.”
Kemudian di antara orang yang teperdaya dengan internet dan media sosial adalah para tokoh-tokoh terpandang. Betapa banyak tokoh-tokoh yang memiliki jumlah pengikut yang banyak, namun jatuh martabatnya disebabkan seringnya menyebarkan informasi hoaks. Atau terkadang tangan mereka sangat gatal ingin mengomentari setiap permasalahan yang ada, agar pengikutnya terus bertambah. Padahal mungkin ada masalah yang harusnya didiskusikan berbulan-bulan agar menemukan solusi yang benar, akan tetapi mereka tidak melakukan demikian. Akan tetapi dengan segera mereka ingin memberikan komentar yang seakan-akan itu adalah solusi terbaik dari masalah yang ada. Ketahuilah bahwa hanya orang bodoh yang menganggap bahwa orang tersebut adalah hebat dan ahli. Akan tetapi bagi orang yang cerdas menganggapnya orang yang bodoh dan ceroboh. Oleh karenanya fitnah media sosial tidak hanya menimpa orang-orang awam, tetapi semua orang tanpa terkecuali bisa tertimpa fitnah media sosial ini.
Maka kita harus sadari bahwasanya umur kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ. Nabi ﷺ bersabda,
لَا تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ جَسَدِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ، وَفِيمَا وَضَعَهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيهِ
“Tidaklah kaki seorang hamba bergeser (dari tempat penantiannya) pada hari kiamat hingga ia ditanya empat perkara: tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang badannya untuk apa ia gunakan, tentang harta dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia belanjakan, serta tentang ilmu untuk apa ia amalkan.”[13]
Dalam hadits ini menunjukkan bahwa waktu kita akan dipertanyakan oleh Allah Sﷻ. Sedangkan waktu kita banyak terbuang dengan bermain media sosial. Betapa banyak di antara kita yang menyisihkan waktu untuk membaca setiap unggahan di media sosial, sehingga tidak ada lagi waktu yang kita sisihkan untuk membaca Al-Quran dalam sehari walaupun hanya satu halaman. Betapa banyak orang yang disibukkan dengan bermain gawai dan media sosial selama berminggu-minggu sehingga dia lupa untuk bersilaturahmi dengan orang tua dan keluarganya meski hanya sekadar meneleponnya. Waktunya habis untuk membuat status dan menunggu respons like dari para pengguna media sosial lainnya. Padahal semua waktu yang dihabiskan akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah ﷻ.
Maka saya mengingatkan kepada Anda sekalian, bahwa tatkala Anda membuka akun-akun Anda di media sosial, maka Anda telah membuka pintu hisab yang baru untuk Anda. Dan ingatlah bahwa semua yang Anda lihat, dengar dan tulis di media sosial akan dihisab pula. Bahkan meskipun tulisan dan komentar telah Anda hapus, telah tercatat apa yang Anda lakukan di catatan malaikat baik yang kecil maupun yang besar, yang tampak maupun yang tersembunyi. Sebagaimana firman Allah ﷻ,
وَوُضِعَ الْكِتَابُ فَتَرَى الْمُجْرِمِينَ مُشْفِقِينَ مِمَّا فِيهِ وَيَقُولُونَ يَاوَيْلَتَنَا مَالِ هَذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا وَوَجَدُوا مَا عَمِلُوا حَاضِرًا وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا
“Dan diletakkanlah kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya,” dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang pun.” (QS. Al-Kahfi: 49)
Oleh karenanya jika Anda bisa untuk tidak memiliki akun-akun media sosial, maka itu lebih baik, karena akan lebih menyelamatkan dari hisab yang panjang. Akan tetapi jika telah punya, maka hendaklah Anda berhati-hati dan tidak menggunakannya kecuali untuk kebaikan.
Beberapa kaidah atau hal-hal penting yang berkaitan tentang media sosial, yang hendaknya diperhatikan oleh kita semua para pengguna media sosial secara umum di antaranya adalah:
- Amal tergantung niat
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amalan tergantung niatnya, dan balasan tergantung apa yang diniatkan.”[14]
Jika seseorang membuka gawai dan akun-akun media sosial niatnya karena Allah, maka kita berharap semoga kita diberi pahala dengan niat tersebut. Bahkan tatkala seseorang berusaha untuk mencari kebaikan dengan membuka media sosial, dapat atau tidak dia akan dapat pahala karena telah berniat dengan niat yang baik dengan anugerah yang Allah berikan yaitu internet. Akan tetapi sebaliknya, jika seseorang telah berniat buruk seperti ingin mengadu domba, ingin menyebarkan kerusakan, dan ingin melihat hal-hal yang haram, maka berhasil atau tidak berhasil, dia akan mendapatkan dosa. Sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
إِذَا التَقَى المُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالقَاتِلُ وَالمَقْتُولُ فِي النَّارِ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَذَا القَاتِلُ، فَمَا بَالُ المَقْتُولِ؟ قَالَ: إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صَاحِبِهِ
“Jika dua orang muslim bertemu dengan menghunuskan pedangnya, maka si pembunuh dan yang dibunuh sama-sama di neraka.” Saya bertanya; ‘Ya Rasulullah, saya maklum terhadap si pembunuh, lantas apa dosa yang dibunuh? ‘ Nabi menjawab: “sesungguhnya dia juga berkeinginan keras membunuh kawannya.”[15]
Hadits ini dijadikan dalil oleh para ulama bahwa barangsiapa yang sudah melakukan usaha namun gagal, maka tetap dihitung baginya pahala keberhasilan. Misalnya adalah seseorang yang hendak berangkat haji, dia pun telah menyetorkan uangnya dan menunggu antrean, akan tetapi dia meninggal dunia sebelum berangkat haji, maka dikatakan bahwa semoga orang tersebut telah mendapatkan pahala haji karena usahanya untuk berangkat haji. Sebagaimana juga sabda Nabi ﷺ tentang para sahabat yang tidak bisa pergi berjihad,
إِنَّ بِالْمَدِينَةِ أَقْوَامًا، مَا سِرْتُمْ مَسِيرًا، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا إِلَّا كَانُوا مَعَكُمْ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ؟ قَالَ: وَهُمْ بِالْمَدِينَةِ، حَبَسَهُمُ العُذْرُ
“Sesungguhnya di dalam Madinah itu ada sekelompok kaum, yang tidaklah kalian menempuh perjalanan dan tidaklah kalian menyeberangi lembah kecuali mereka diikutsertakan bersama kalian dalam ganjaran.” Mereka bertanya; ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka berada di dalam Madinah?’ Beliau menjawab, ‘Mereka di Madinah karena mereka terhalangi oleh uzur’.”[16]
Inilah contoh-contoh seseorang yang telah berusaha melakukan kebaikan namun tidak berhasil, tetap dicatat baginya pahala seperti melakukannya. Maka begitu pula dalam hal kemaksiatan, tatkala seseorang berusaha untuk melakukan keburukan dan tidak berhasil, maka dicatat baginya telah melakukan keburukan. Misalnya ada orang yang berusaha untuk mencuri, kemudian telah memanjat pagar rumah seseorang, akan tetapi akhirnya gagal karena ketahuan sang pemilik rumah, maka telah terhitung baginya dosa mencuri karena dia telah berusaha. Contoh lain adalah seseorang yang bermain internet dan ingin melihat dan mencari-cari hal-hal yang haram, akan tetapi ternyata setiap situs yang dia kunjungi terblokir, maka sama saja seakan-akan dia telah melihat hal-hal yang haram meskipun dia tidak berhasil melihatnya.
Oleh karenanya ini adalah kaidah yang penting, dan hendaknya seseorang berhati-hati dalam bermuamalah dengan internet dan media sosial.
- Hanya niat baik tidaklah cukup
Betapa banyak orang bermain internet dan media sosial, akan tetapi ternyata melakukan kerusakan. Oleh karenanya hanya dengan niat baik tidak cukup, harus mengikuti syariat dan sunnah Nabi ﷺ. Contohnya adalah orang yang menerima suatu hadits atau informasi yang ternyata hadits palsu dan informasi hoaks, kemudian dia menyebarkan pesan tersebut tanpa mengecek terlebih dahulu akan kebenarannya, maka dia telah menyebarkan kedustaan. Sedangkan kebanyakan orang enggan untuk klarifikasi terhadap kesalahan yang dia lakukan. Kalaupun informasi tersebut adalah benar, maka perlu untuk dipikirkan bahwa apakah dengan menyebarkannya memberikan maslahat atau mudharat, jika menimbulkan mudharat, maka sebaiknya ditinggalkan. Maka meskipun dia memiliki niat baik, akan tetapi dia tetap dikatakan melakukan kesalahan.
Misalnya pula ada orang menyebarkan ceramah yang menyimpang, maka dia sama saja telah mengajak orang kain kepada kesesatan. Demikian juga orang-orang yang menyebarkan berita-berita yang memberikan ketakutan dan kekhawatiran bagi kaum muslimin. Itu semua adalah kesalahan, meskipun niat menyebarkannya baik. Oleh karenanya niat baik saja tidak cukup. Kemudian jangan seseorang menjadikan niat yang baik sebagai dalil untuk membolehkan melakukan apa saja yang diinginkan.
- Mengingkari setiap kemungkaran di dalam grup media sosial
Tatkala seseorang berada dalam majelis grup di media sosial, kemudian dia dapati ada kemungkaran, maka dia harus mengingkari kemungkaran tersebut. Contoh kemungkaran yang biasa terdapat dalam grup adalah dia mendapati dalam grup tersebut ada ghibah, naminah, foto-foto wanita bukan mahram yang terbuka auratnya, pembicaraan yang menjatuhkan harga diri orang lain, dan kemungkaran lainnya. Maka seseorang harus mengingkarinya. Akan tetapi jika tidak sanggup, maka dia lebih baik keluar dari grup tersebut.
- Jangan suka mencaci maki di media sosial
Nabi ﷺ pernah bersabda,
لَيْسَ المُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الفَاحِشِ وَلَا البَذِيءِ
“Tidaklah termasuk hamba yang mukmin, yaitu mereka yang selalu mengungkap aib, melaknat, berperangai buruk dan suka menyakiti.”[17]
Betapa banyak kita dapati seseorang yang semangat dalam mendakwahkan sunnah, akan tetapi dia tidak memiliki adab. Betapa banyak yang katanya telah mempelajari sunnah, akan tetapi mencela, mencaci maki, dan berdebat adalah pekerjaannya di media sosial. Hampir setiap informasi yang menurutnya tidak sesuai sunnah, dia mengisi kolom komentar dengan perdebatan yang tidak jarang kata-kata yang keluar adalah cacian. Padahal dengan perdebatan, hidayah itu akan sulit datangnya. Dan juga seseorang tidak mengetahui siapa lawan debatnya di media sosial, sehingga sungguh sia-sia jika yang dilawannya berdebat adalah anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Adapun jika seseorang hanya sekadar untuk menyampaikan kebenaran, maka silakan. Akan tetapi tinggalkan perdebatan. Karena perdebatan terkadang sering mengantarkan pada ujaran kebencian dan caci maki.
Dan ketahuilah bahwa hukum tulisan sama dengan hukum ucapan. Hanya saja terkadang seseorang lebih berani berbicara dengan tulisan di media sosial dibandingkan dengan berbicara langsung dengan lawan bicaranya. Karena terkadang tatkala seseorang bertemu lawan bicaranya, maka dia akan berpikir terlebih dahulu kata-kata yang akan diucapkan. Berbeda halnya dengan berbicara melalui media sosial, seseorang lebih berani mengungkapkan apa yang dia ingin sampaikan, karena tidak sedang berhadapan secara langsung, sehingga seringnya seseorang asal dalam berkata yang akhirnya saling melontarkan caci maki. Maka berhati-hatilah seseorang dalam menulis, karena dalam Islam hukum tulisan sama dengan hukum ucapan. Dan ingatlah firman Allah ﷻ,
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS. Qaf: 18)
Oleh karenanya saya ingatkan pula bahwa tidak ada satu pun yang tertulis kecuali ada malaikat yang mencatatnya. Nabi ﷺ juga bersabda,
إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ
“Sungguh seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang diridai Allah, suatu kalimat yang ia tidak memedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang dibenci oleh Allah, suatu kalimat yang ia tidak memedulikannya, namun dengannya Allah melemparkannya ke dalam neraka.”[18]
Maka saya katakan pula bahwa bisa jadi seseorang menulis suatu tulisan atau komentar yang dia tidak peduli dampak baik dan buruk dari apa yang dia tuliskan, melainkan membuatnya terjerumus ke dalam api neraka Jahanam. Maka bukan berarti karena seseorang tidak mengetahui dan mengenal siapa lawan bicaranya di media sosial, sehingga dia bebas mencaci maka lawan bicaranya. Ketahuilah bahwa semua tulisan kita juga akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak.
- Tidak semua kenikmatan dipamerkan di media sosial
Janganlah seseorang di antara kita memamerkan semua kenikmatan yang kita dapatkan kepada orang lain, terlebih lagi di media sosial. Contohnya adalah seorang istri yang mengunggah foto bersama suami dan anak-anaknya yang sedang berlibur di puncak. Hendaknya seseorang tidak memamerkan hal tersebut karena ada orang-orang yang tidak kuat dan bahkan tidak senang melihat kebahagiaan yang kita rasakan. Contoh lain adalah seorang istri yang mungkin hanya sering diajak berlibur oleh suaminya di Monas, kemudian melihat orang yang mengunggah foto liburannya di luar negeri, Akhirnya dia akan merasa risi, sedih dan benci kepada suaminya karena belum pernah mendapatkan kenikmatan seperti yang orang lain rasakan. Hal seperti ini akhirnya bisa membuat orang yang hasad akan hilang rasa syukurnya kepada Allah ﷻ. Padahal sebelumnya mungkin hubungannya dengan keluarganya sangatlah harmonis, akan tetapi berubah karena dia belum merasakan kenikmatan yang orang lain rasakan. Begitu pula bagi para suami, hendaknya tidak selalu memamerkan kebaikan-kebaikan istrinya. Karena khawatir para suami yang lain akan merasa kecewa dan marah dengan perlakuan istrinya selama ini, yang tidak seperti perlakuan istri orang lain kepada suaminya. Padahal mungkin sebelumnya dia sangat bahagia dengan keluarganya, akan tetapi berubah karena melihat unggahan suami lain yang memamerkan kenikmatan yang mereka dapatkan dari istrinya.
Oleh karenanya tidak semua kenikmatan harus kita perlihatkan kepada orang lain. Mungkin seseorang tidak akan hasad kita, akan tetapi tetap saja mereka akan bersedih dengan kebahagiaan yang kita rasakan.
- Jangan berkeluh kesah di media sosial
Sebagian orang sering mengeluhkan masalahnya di media sosial sampai pada perkara yang sangat kecil sekalipun. Sehingga tidak jarang orang lain melihat dan tahu masalah yang dia hadapi. Akhirnya secara tidak langsung dia menjatuhkan harga dirinya dan keluarganya secara umum karena aib keluarga yang diketahui oleh orang banyak. Dan ketahuilah bahwa orang yang sering mengeluh di media sosial, seakan-akan dia menunjukkan kepada orang lain bahwa dia mengeluhkan takdir Allah ﷻ. Maka kita tanyakan kepada mereka, apa faedah yang mereka dapatkan dari status keluhan tersebut? Apakah dengan seketika ada orang yang bisa membantunya untuk keluar dari masalahnya? Terkadang mungkin ada orang yang bertanya tentang keluhan kita, akan tetapi kebanyakan dari mereka hanya sekadar ingin tahu dan tidak lebih dari itu.
Maka jika seseorang ingin mengeluhkan sesuatu kepada seseorang, pilihlah kepada orang yang terbaik, yang memang mau dan bisa memberikan nasihat. Adapun mengeluh di media sosial, mungkin ada orang yang bertanya, akan tetapi kebanyakan mereka hanya sekadar ingin tahu. Dan tentunya dengan mengeluh di media sosial akan membuat privasi seseorang terbongkar. Maka saya ingatkan kepada Anda, terlebih kepada para wanita yang kebanyakan paling sering menulis status bahwa tatkala Anda memiliki masalah baik dalam rumah tangga atau bukan, jangan biarkan semua orang tahu karena sebab menyebarkannya di media sosial.
- Tidak boleh membuat akun palsu
Ketahuilah bahwa hukum membuat akun palsu adalah haram karena dia telah berdusta dan menipu orang lain. Karena orang yang membuat akun palsu di media sosial akan memasang foto yang bukan dirinya, info kontak, usianya dan yang lainnya bukanlah info yang sebenarnya. Bahkan terkadang akun palsu akan membuat seseorang laki-laki menyamar sebagai wanita dan wanita menyamar sebagai laki-laki, atau menyamar sebagai ustaz padahal aslinya jahil. Maka hal ini tidak dibolehkan karena termasuk perkara dusta.
Sebagian orang tatkala dia menggunakan akun palsu, dia menganggap bahwa halal baginya untuk melakukan apa saja di media sosialnya. Padahal meskipun dia menggunakan akun palsu sekalipun, tidak merubah hakikat bahwa dialah yang akan dihisab oleh Allah ﷻ atas perbuatannya.
- Jangan habiskan waktu untuk melihat akun orang lain
Ketika Anda telah masuk ke media sosial baik itu Facebook, Twitter, Instagram, dan yang lainnya, jangan menghabiskan waktu untuk melihat aku orang-orang. Karena jika Anda melakukannya, Anda tidak akan luput dari melihat yang haram. Karena seseorang tidak tahu apa isi akun orang lain. Sehingga tatkala Anda menjelajahi akun orang lain, bisa jadi Anda mendapatkan gambar-gambar yang haram untuk Anda lihat. Dan akhirnya Anda akan terus melihat, hingga habis waktu Anda melihat akun tersebut.
Maka bersyukurlah Anda jika tidak melihat aib orang lain di media sosial. Karena dengan tidak mengetahui aib orang lain, hati akan selamat dan lebih tenang. Betapa banyak orang yang pusing tatkala mengetahui aib dan masalah orang lain. Padahal tatkala dia tidak mengetahui sebelumnya, dia lebih konsentrasi dalam ibadah, belajar, membaca Al-Quran, dan keluarganya. Maka sebisa mungkin Anda tidak mendengar aib orang lain, maka lakukanlah. Karena itu akan lebih bersih bagi hati Anda. Dan jangan seseorang berusaha untuk mencari-cari aib orang dengan melihat isi akun orang tersebut.
- Tatkala seseorang mengirim pesan, hendaknya to the point
Di antara adab seseorang kepada orang lain adalah dia tidak mengambil waktu orang lain yang dia tahu bahwa orang tersebut memiliki waktu terbatas. Oleh karenanya kalau Anda mengirim pesan kepada orang lain, yang Anda tahu bahwa orang tersebut sibuk, maka hendaknya Anda mengirim pesan yang menunjukkan maksud pesan Anda secara langsung. Jangan kemudian seseorang berbasa-basi terlebih dahulu sebelum menyampaikan maksud utamanya. Karena hal seperti itu terkadang membuat risi sebagian orang yang memiliki waktu terbatas. Akan tetapi ketika mengirim pesan kepada sahabat, keluarga, yang kita tahu mereka adalah orang yang sering menanti pesan dari kita, maka tidak mengapa. Akan tetapi secara umum, hendaknya seseorang tatkala mengirim pesan dia mengirim pesan yang langsung kepada intinya.
Adapun permasalahan mengenai salam yang orang sampaikan melalui pesan singkat, bagaimana cara menjawabnya? Jika seseorang tidak membuka pesan tersebut, maka tidak ada kewajiban baginya untuk menjawab. Akan tetapi jika pesan tersebut dibuka, para ulama khilaf tentang cara menjawabnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa jika ucapan salam tersebut adalah tulisan, maka cukup baginya menjawab secara lisan, meskipun suaranya tidak sampai kepada orang yang memberi salam. Karena dengan demikian dia tetap dihitung telah menjawab salam dan mendoakan orang yang memberi salam. Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah. Meskipun pendapat ini dipilih oleh banyak ulama, yang lebih utama adalah menjawabnya dan menuliskannya pula. Karena Allah ﷻ berfirman,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa’: 86)
Kata sebagian ulama, ayat ini bersifat umum. Bisa mencakup tulisan, lisan , maupun tata cara. Sampai-sampai Syaikh Shalih ‘Utsaimin ﷺ mengatakan bahwa jika ada seseorang yang memberi salam kepada Anda dengan senyuman dan menjulurkan tangan untuk bersalaman, maka Anda harus membalas salam tersebut dengan senyuman dan menjulurkan tangan pula untuk bersalaman. Maka berdasarkan keumuman ayat ini, jika ada orang yang memberi salam secara tulisan, maka kita pun harus menjawabnya dengan tulisan. Kecuali jika ada kemudharatan, dimana orang yang memberi salam adalah pengganggu, maka cukup baginya menjawab secara lisan dan tidak menjawabnya dengan tulisan.
Kemudian yang perlu diperhatikan pula adalah tatkala seseorang dalam suatu grup, hendaknya dia memikirkan terlebih dahulu apakah pesan yang dia kirimkan adalah pesan penting atau tidak. Hendaknya dia memikirkan apakah pesannya dapat mengganggu waktu anggota grup yang lain atau tidak. Karena jika apa yang dia kirimkan ke dalam grup media sosial itu tidak bermanfaat dan terlebih lagi jika berita hoaks, maka sama saja dia telah mengambil waktu orang lain untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Ketahuilah bahwa tidak semua apa yang sampai kepada kita, kemudian kita bagikan (share) kembali kepada orang lain. Karena Nabi ﷺ bersabda,
بِحَسْبِ الْمَرْءِ مِنَ الْكَذِبِ أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang (dianggap) pendusta apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.”[19]
Maka hadits ini juga berlaku bagi orang yang menyebarkan setiap apa yang dia dapatkan di media sosial. Yang pertama harus dilakukan seseorang adalah tatkala mendapatkan suatu berita, hendaknya dia cek kebenaran berita tersebut terlebih dahulu. Karena berita saat ini lebih sering memuat berita palsu. Kemudian tatkala seseorang hendak mengirim suatu faedah, jangan dia mengirim setiap faedah yang dia dapatkan, akan tetapi pilihlah faedah yang terbaik untuk dibagikan kepada temannya di jam-jam tertentu dalam pesan langsung di media sosial. Karena tidak semua apa yang seseorang anggap penting juga dianggap penting oleh orang lain. Sehingga perlu untuk kita pikirkan, apakah pesan kita mengganggu waktu orang lain atau tidak.
Dan bagi para istri, hendaknya foto wanita lain dalam grup khusus wanita yang dia ikut di dalamnya tidak dilihat oleh suami Anda. Rasulullah ﷺ mengatakan,
لاَ تُبَاشِرُ المَرْأَةُ المَرْأَةَ، فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا
“Janganlah seorang istri menceritakan sifat-sifat wanita lain pada suaminya sehingga ia seolah-olah melihatnya.”[20]
Nabi ﷺ melarang hal seperti ini karena bisa membuat seorang suami penasaran dengan wanita tersebut. Maka kalau Nabi ﷺ melarang untuk menceritakan tentang wanita lain, apalagi sampai melihat secara langsung. Dan belum tentu wanita yang terlihat wajahnya oleh suami Anda ridha dengan terlihatnya wajahnya. Maka hendaknya seseorang tatkala sudah berada di dalam grup, dia harusnya amanah dan menjaga agar foto wanita lain tidak dilihat oleh suami Anda.
Akhir dari pembahasan ini, saya ingin sampaikan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ المَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيه
“Sesungguhnya di antara ciri kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.”[21]
Maka jika Anda ingin tahu apakah keislaman Anda baik atau tidak, maka lihatlah apakah Anda dijauhkan oleh Allah pada perkara-perkara yang tidak bermanfaat bagi Anda atau tidak. Karena saat ini betapa banyak orang yang ingin tahu urusan orang lain, sehingga melakukan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya. Dan ketika seseorang telah disibukkan dengan media sosial, mereka pun akhirnya lalai dari hal-hal yang bermanfaat seperti silaturahmi, membaca Al-Quran, shalat sunnah. Maka ingatlah selalu hadits Nabi ﷺ ini.
Footnote:
_________
[1] HR. Bukhari No. 6412
[2] Fashal Khitab fi Az-Zuhd wa Ar-Raqaa-iq wa Al-Adab 3/509
[3] Qimatu az-Zaman ‘Inda al-‘Ulama 1/27
[4] Sifatu Ash-Shafwah 1/156
[5] HR. Tirmidzi No. 2406, sahih menurut Syaikh Al-Albani.
[6] HR. Muslim No. 2129
[7] HR. Ibnu Majah No. 3607, dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani.
[8] HR. Muslim No. 2128
[9] HR. Muslim No. 2965
[10] Silsilah Ash-Shahihah No. 2313
[11] HR. Ahmad No. 23823, dinyatakan sahih oleh Syu’aib Al-Arnauth.
[12] HR. Muslim No. 2854
[13] HR. Ad-Darimi No. 556
[14] HR. Bukhari No. 1
[15] HR. Bukhari No. 6875
[16] HR. Bukhari No. 4423
[17] HR. At-Tirmidzi No. 1977, sahih menurut Syaikh Al-Albani.
[18] HR. Bukhari No. 6478
[19] HR. Muslim No. 5
[20] HR. Bukhari No. 5240
[21] HR. Tirmidzi No. 2317