Tafsir Surah Ath-Thalaq
Tentunya sangat penting bagi kita untuk mempelajari tafsir dan kandungan Alquran agar kita bisa mengamalkannya. Sebagaimana perkataan Fudhail bin ‘Iyadh,
إِنَّمَا أُنْزِلَ الْقُرْآَنُ لِيُعْمَلَ بِهِ، فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Alquran itu diturunkan semata-mata untuk diamalkan. Sedangkan manusia menjadikan membaca Alquran sebagai amalannya.”([1])
Artinya Fudhail bin ‘Iyadh mengingatkan bahwasanya banyak orang yang membatasi dirinya dari Alquran dengan hanya mempelajari tajwid dan tahsin. Padahal mempelajari tajwid dan tahsin itu bukanlah sebuah tujuan, melainkan sebuah tahapan untuk bisa membaca dengan baik, yang kemudian bisa mempelajari tafsirnya agar bisa mengamalkannya. Maka tidak mungkin kita bisa mengamalkan Alquran dengan baik kecuali dengan kita mempelajari kandungan dan maknanya. Oleh karenanya Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata,
فقراءةُ آيَةٍ بِتَفَكُّرٍ وتَفَهُّمٍ خَيْرٌ مِنْ قِرَاءَةِ ختمةٍ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وتَفَهُّمٍ
“Membaca satu ayat (Alquran) dengan tafakkur dan memahaminya, itu jauh lebih baik daripada membaca (Alquran) dengan khatam namun tanpa tadabur dan memahaminya.”([2])
Maka seharusnya setiap ayat yang kita baca dengan memahami maknanya akan menambah iman, takwa, dan rasa takut kita kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya dalam rangka untuk bisa mengamalkan Alquran dengan baik, maka kita berusaha untuk mempelajari kandungan dari ayat-ayat Alquran.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas adalah surah Ath-Thalaq. Surah Ath-Thalaq dinamakan juga oleh sebagian ulama dengan surah An-Nisa Al-Qushra (surah An-Nisa yang pendek) untuk membedakan dengan surah An-Nisa, surah keempat dalam Alquran yang dikenal di kalangan para ulama sebagai surah An-Nisa Ath-Thula (surah An-Nisa yang panjang)([3]). Kalau pada surah An-Nisa Allah Subhanahu wa ta’ala membicarakan hukum-hukum yang di antaranya berkaitan dengan para wanita, maka pada surah Ath-Thalaq Allah Subhanahu wa ta’ala khusus berbicara masalah perceraian sehingga dinamakan sebagai surah An-Nisa Al-Qushra karena pembahasannya penting baik bagi wanita maupun laki-laki, hanya saja isinya lebih besar membahas tentang hak-hak para wanita. Ini semua menunjukkan bagaimana perhatian Islam terhadap para wanita, sampai-sampai ada dua surah yang berbicara tentang wanita.
Topik utama pembahasan dari surah Ath-Thalaq adalah perceraian([4]). Masalah ini sangat penting, sampai-sampai dalam surah ini Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan penekanan yang luar biasa terhadap masalah ini. Karena dalam surah ini dijelaskan tentang bahwasanya thalaq ada aturan-aturannya, dan menyingkap bahwasanya banyak kaum muslimin dan muslimat yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Sebab perceraian tidak lepas kaitannya antara hak-hak istri dan hak-hak anak. Dan betapa banyak kita dapati wanita yang dicerai terbengkalai serta anak-anaknya pun tidak diperhatikan, sementara para laki-laki hanya mencari kesenangan dan tidak perhatian dengan para wanita sehingga dicerai dengan sembarangan. Oleh karenanya surah ini turun untuk mengagungkan permasalahan cerai, agar seseorang tidak memandang rendah dan remeh masalah perceraian. Dan sesungguhnya perceraian adalah perkara yang besar di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karenanya datang penekanan-penekanan tentang perkara talak yang mungkin tidak kita dapati dalam pembahasan haji maupun shalat. Karena perkara talak (cerai) membicarakan hak-hak, sehingga dalam perceraian bisa saja terjadi pertikaian, perdebatan, kebencian, masalah harta, dan yang lainnya. Maka diturunkanlah surah Ath-Thalaq secara khusus agar bisa menjelaskan permasalahan talak dengan baik kepada umat Islam.
Surah Ath-Thalaq termasuk dalam surah Madaniyah([5]), yaitu surah dan ayat yang turun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah. Oleh karenanya meskipun dinamakan secara tempat, akan tetapi pembeda antara Makkiyah dan Madaniyah adalah waktu turunnya. Salah satu contoh ayat yang turun di Mekkah namun dinamakan ayat Madaniyah adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Maidah : 3)
Ayat ini turun di Mekkah([6]), tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang wukuf di ‘Arafah. Meskipun ayat ini turun di Mekkah, namun ayat ini tidak disebut sebagai Makkiyah melainkan ayat Madaniyah karena turun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah. Oleh karenanya dalam sebagian surah ada yang ayat-ayatnya tergolong Makkiyah dan ada yang tergolong Madaniyah. Hal ini dikarenakan tidak semua surah langsung turun secara lengkap. Akan tetapi terkadang sebagian ayat turun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih di Mekkah, dan sebagiannya lagi turun tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berhijrah ke Madinah. Inilah istilah yang digunakan oleh para Ahli Tafsir sehingga kita bisa membedakan apa yang dimaksud dengan Makkiyah dan Madaniyah. Dan faedah dari hal ini adalah agar kita tahu nuansa dari suatu surah. Kalau dikatakan bahwa suatu surah itu Makkiyah, maka nuansa surah tersebut adalah kondisi dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di kota Mekkah yang masih berhadapan dengan Abu Jahal, Abu Lahab dan yang lainnya. Adapun jika suatu surah dinamakan surah Madaniyah, maka nuansa surah tersebut akan berbicara tentang negara Islam atau berbicara tentang hukum-hukum Islam dan kaum muslimin.
Surah Ath-Thalaq artinya adalah perceraian. Pembahasan talak adalah pembahasan yang sangat penting bagi yang telah berumah tangga. Karena betapa banyak kasus-kasus yang menunjukkan bahwa masih banyak orang-orang tidak paham masalah cerai. Banyak di antara kita yang menikah namun jahil tentang masalah perceraian. Maka hendaknya seseorang tatkala menikah dia telah paham tentang masalah perceraian, baik laki-laki maupun wanita. Sehingga ketika mereka telah mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan perceraian maka mereka akan berhati-hati. Misalnya laki-laki akan berhati-hati tentang kapan dia boleh menjatuhkan cerai dan kapan dia tidak boleh menjatuhkannya. Dan bagi wanita dia tahu dan mengerti bahwa apa konsekuensi baginya jika dia di talak satu, dua, atau tiga. Akan tetapi kenyataannya sebagian orang yang menikah tidak paham fikih perceraian. Padahal fitnah, godaan, dan permasalahan yang begitu banyak di zaman sekarang ini sangat rawan dalam menimbulkan talak. Oleh karenanya seorang suami dan istri, dan yang ingin menikah hendaknya belajar masalah fikih talak. Dan karena pentingnya masalah talak ini sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan satu surah khusus untuk membahasnya, dan bukan sekadar melalui hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan tentang sebab turunnya surah ini. Di antaranya mengatakan bahwa surah ini turun karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan Hafshah radhiallahu ‘anha. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan Hafshah, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala melalui Jibril ‘alaihissalam dengan berkata,
يَا مُحَمَّدُ، طَلَّقْتَ حَفْصَةَ وَهِيَ صَوَّامَةٌ قَوَّامَةٌ، وَهِيَ زَوْجَتُكَ فِي الْجَنَّةِ، فَرَاجِعْهَا
“Wahai Muhammad, kamu telah menceraikan Hafshah padahal dia adalah ahli puasa sunnah dan shalat sunnah (di malam hari), dan dia adalah istrimu di surga. Maka rujuklah kepadanya.”([7])
Adapun sebab permasalahan apa yang menyebabkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan Hafshah tidak dijelaskan. Akan tetapi hadits tentang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan Hafshah juga dipersilihkan oleh para ulama, ada yang mengatakan bahwa haditsnya lemah dan sebagian lagi menghasankan.
Sebagian Ahli Tafsir yang lain menyebutkan bahwa sebab turunnya surah Ath-Thalaq adalah perbuatan Ibnu ‘Umar yang menceraikan istrinya tatkala sedang haid([8]). Maka tatkala berita tersebut sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau menegur Ibnu ‘Umar karena menceraikan di waktu haid adalah kesalahan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا، ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ، ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ، وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ، فَتِلْكَ العِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkanlah agar ia segera merujuknya, lalu menahannya hingga ia suci dan haid kembali kemudian suci lagi. Maka pada saat itu, bila ia mau, ia boleh menahannya, dan bila ingin, ia juga boleh menceraikannya -sebelum ia menggaulinya-. Itulah Al-‘Iddah (masa) yang diperintahkan oleh Allah untuk menalak istri.”([9])
Ada sebab-sebab yang lain yang juga disebutkan oleh para Ahli Tafsir yang lain terkait sebab turunnya surah Ath-Thalaq, namun sebagian riwayatnya bermasalah. Intinya surah Ath-Thalaq turun kepada kita, adapun sebabnya maka Allah yang lebih tahu, Wallahu a’lam bishshawwab.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Wahai Nabi! Apabila kalian menceraikan istri-istri kalian maka hendaklah ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) idahnya (yang wajar), dan hitunglah waktu idah itu, serta bertakwalah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, Tuhan kalian. Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas. Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kalian tidak mengetahui bisa jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.” (QS. Ath-Thalaq : 1)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ
“Wahai Nabi! Apabila kalian menceraikan istri-istrimu.”
Jika kita terjemahkan ayat ini secara kata-perkata, maka arti ayat ini menjadi “Wahai Nabi, apabila kalian menceraikan istri-istri kalian”. Karena dalam ayat ini terdapat kata ganti orang kedua tunggal menjadi kata ganti orang kedua jamak. Sebagian para ulama berpendapat bahwa hal ini merupakan dalil bahwasanya hukum asal yang ditujukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu berlaku kepada umatnya([10]) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ushwah (teladan). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab : 21)
Maka hukum asal, seluruh yang dilakukan dan diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berlaku bagi kita. Kecuali ada dalil yang menunjukkan tentang kekhususan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwasanya asalnya perkara cerai ini berkaitan dengan keumuman kaum muslimin([11]). Adapun surah ini Allah Subhanahu wa ta’ala buka dengan memanggil nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan bukan orang-orang yang beriman adalah untuk menunjukkan bahwa perkara ini adalah perkara yang besar dan jangan dipandang sebelah mata. Karena yang diajak berbicara pertama kali adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena betapa banyak orang bisa mencerai sesuai sunnah, dan banyak pula yang mencerai tidak sesuai sunnah. Mereka melanggar aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga Allah tidak memberikan bagi mereka solusi.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Apabila kalian menceraikan istri-istri kalian maka hendaklah ceraikan mereka pada waktu idahnya (yang wajar).”
Yang dimaksud dengan menceraikan pada waktu idahnya yaitu menceraikan dengan talak sunnah. Talak berdasarkan waktu menjatuhkannya asalnya terbagi menjadi dua, talak sunnah dan talak bid’ah. Akan tetapi Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan ada jenis talak yang ketiga yaitu talak tidak sunnah dan tidak bid’ah.
- طلاق السنة – Talak Sunnah. Talak sunnah adalah seorang laki-laki yang menjatuhkan talak satu ketika sang wanita suci dan belum digauli, atau bisa juga laki-laki menceraikan istrinya ketika sedang hamil dan jelas kondisi kehamilannya. Maka jika seorang suami hendak menceraikan istrinya, hendaknya dia mengikuti aturan talak sunnah ini. Dan talak sunnah ini adalah talak yang syar`i, yaitu talak yang dianjurkan.
- الطلاق البدعي – Talak Bid’ah. Adapun talak bid’ah adalah yang menyelisihi talak sunnah. Dan maksud lafal bid’ah di sini adalah “haram”. Jadi talaq bid’ah maksudnya adalah talaq yang haram. Contohnya adalah langsung menalak tiga, atau menceraikan wanita suci namun telah digauli, atau menceraikan wanita dalam kondisi haid atau nifas. Maka barangsiapa yang melakukan talak dengan jenis ini, maka dia telah melakukan sesuatu yang haram, sehingga dia berdosa. Ada khilaf di kalangan para ulama tentang apakah wanita yang ditalak dengan talak bid’ah itu talaknya sah atau tidak. Menurut jumhur ulama empat mazhab, meskipun talak yang dilakukan adalah talak bid’ah, jika seseorang menjatuhkannya maka talaknya tetap sah namun dia berdosa. Adapun pendapat sebagian ulama seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah([12]) dan diikuti oleh muridnya Ibnul Qoyyim([13]), serta dirajihkan oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah bahwasanya talak bid’ah jika dijatuhkan maka tidak sah, karena itu termasuk talak yang haram, dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menerima talak yang haram([14]). Intinya adalah sah atau tidaknya talak yang dilakukan, selama seseorang menalak istrinya dengan talak bid’ah maka dia telah berdosa.
- Talak tidak sunnah dan tidak bid’ah. Yang termasuk dalam talak yang tidak sunnah dan tidak pula bid’ah di antaranya adalah menceraikan wanita yang telah masuk masa menopause, atau wanita yang belum haid, atau wanita yang belum digauli. ([15])
Maka tatkala seorang suami menjatuhkan cerai kepada istrinya hendaknya dia melihat waktu idahnya, yaitu sebagaimana yang termasuk dalam talak sunnah. Dan ini merupakan dalil bahwasanya jika seseorang marah kepada istrinya, tidak boleh serta-merta dia menceraikan istrinya. Dia harus mempelajari dan melihat apakah jika dia menjatuhkan cerai tersebut termasuk talak sunnah atau talak bid’ah. Kalau sekiranya istrinya sedang haid atau dalam masa nifas, maka dia tidak boleh menjatuhkan cerai dan harus menunggu hingga suci kembali. Demikian pula tidak boleh menceraikan istrinya yang suci namun sudah digauli. Dia harus menunggu hingga haid dan suci berikutnya jika ingin menjatuhkan cerai. Kalau dia nekat untuk menceraikan dalam kondisi-kondisi tersebut, maka hukumnya haram dan dia berdosa. Adapun cerainya sah atau tidak, maka ada khilaf di kalangan para ulama sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Penggalan ayat ini juga menjelaskan bahwasanya cerai adalah perkara yang halal. Kenapa talak disyariatkan? Tidak lain adalah karena ada suatu perkara yang tidak ada solusi lain selain cerai. Sehingga cerai disyariatkan untuk menghilangkan kemudharatan. Contohnya suami istri yang merasa sudah saling tidak cocok, baik karena suami yang menyimpang ataupun sang istri. Dan bisa jadi jika pernikahan terus dipertahankan maka akan mendatangkan kemudharatan yang lebih besar yang harus mereka jalani bertahun-tahun. Oleh karenanya syariat memberi solusi adanya talak untuk menghilangkan kemudharatan tersebut. Berbeda dalam sebagian agama yang menjadikan talak adalah hal yang tidak diperbolehkan. Tentu hal tersebut bisa menjadi musibah jika sekiranya permasalahan dalam rumah tangga tidak bisa hilang, sementara tidak bisa bercerai. Oleh karenanya talak itu disyariatkan sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah Subhanahu wa ta’ala, karena tidak seorang pun yang tahu bagaimana takdirnya dalam rumah tangganya. Bisa jadi seseorang menikah namun kemudian banyak timbul permasalahan yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan cerai, maka cerai menjadi rahmat bagi mereka untuk menghilangkan kemudharatan tersebut. Tentunya talak adalah solusi terakhir, jika berbagai cara sudah ditempuh namun gagal. Pepatah arab :
آخِرُ الدَّوَاءِ الكَيّ
“Solusi terakhir adalah berobat dengan kay (menempelkan besi yang dipanaskan).” ([16])
Dan karena tujuan disyariatkannya talak adalah untuk menghilangkan kemudharatan, maka cerai tidak boleh menimbulkan kemudharatan. Karenanya tidak boleh seseorang menjatuhkan cerai dalam rangka untuk balas dendam kepada istrinya, atau seorang istri yang meminta diceraikan suaminya karena ingin balas dendam kepada suaminya. Yang demikian adalah tidak boleh, dan Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu tujuan dan niat seseorang.
Ayat ini menjelaskan tentang idahnya (kapan waktu untuk menceraikan) wanita-wanita yang telah digauli. Adapun wanita yang belum digauli maka seorang suami boleh menceraikannya kapan saja karena tidak ada masa iddah baginya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kalian perhitungkan.” (QS. Al-Ahzab : 49)
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ
“Dan hitunglah waktu idah itu.”
Jika perceraian telah terjadi, maka hendaknya dia menghitungnya. Dan kata وَأَحْصُوا menunjukkan makna perhitungan dengan detail. Seorang suami jika menjatuhkan cerai kepada istrinya, dia harus tahu berapa lama idah bagi istri yang dia ceraikan dan kapan waktu idah itu selesai. Karena dibaik masa idah itu ada hak-hak yang harus ditunaikan.
Talak ditinjau dari jenisnya terbagi menjadi dua, yaitu talak raj’i dan talak bain. ([17])
- Talak Raj’i.
الطَّلاَقُ الرَّجْعِيُّ Talak Raj’i adalah kondisi dimana seorang wanita ditalak namun suaminya masih bisa kembali kepadanya. Dan yang termasuk dalam talak raj’i adalah talak satu dan talak dua. Wanita yang ditalak satu atau dua, selama masa idahnya berlaku maka statusnya masih sebagai istri sehingga masih berlaku nafkah baginya baik tempat tinggal maupun makanan. Akan tetapi wanita yang sedang berada di masa idah tidak boleh digauli ataupun dinikmati. Jika seorang suami ingin menggauli istrinya, maka dia harus rujuk kepada sang istri dengan mendatangkan dua saksi. Dan sang suami berhak untuk kembali istrinya di masa idah istrinya tanpa persetujuan siapapun. Adapun jika seorang suami meninggal dalam masa idah istrinya maka sang istri mendapat warisan dari suami. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam firman-Nya tentang berapa lama masa idah wanita yang diceraikan dalam keadaan dia suci,
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru`.” (QS. Al-Baqarah : 208)
Ada khilaf di kalangan para ulama tentang apa yang dimaksud dengan quru`. Ada yang mengatakan haid dan ada yang mengatakan suci. Akan tetapi kita mengambil pendapat yang mengatakan bahwa quru` itu adalah haid. Maka jika seorang wanita telah mengalami tiga kali haid setelah diceraikan, maka masa idah telah selesai, dan sang suami tidak bisa lagi rujuk kepada sang istri. Sang suami hanya bisa rujuk ketika wanita berada pada masa idahnya. Maka pilihan bagi sang istri yang telah selesai masa idahnya adalah dia boleh menikah dengan laki-laki lain, atau kembali kepada suaminya dengan syarat nikah ulang sebagaimana proses awal yang terdapat mahar, wali, dan saksi.
- Talak Bain.
Talak bain ada dua :
Pertama : الطَّلاَقُ البَائِنُ بَيْنُوْنَةً صُغْرَى Talaq bain (bainunah sughro). Yaitu jika seorang wanita ditalaq dengan talak satu atau talak dua, lantas habis masa íddahnya dan suaminya tidak ruju’ kepadanya. Maka tatkala itu suami tidak bisa serta merta kembali kepada sang wanita, karena sang wanita telah menjadi wanita ajnabiyah dan bukan lagi istrinya. Jika ia hendak kembali maka harus melalui proses pernikahan sebagaimana awal pernikahan. Yaitu melamar sang wanita dan seterusnya.
Termasuk Talaq Bain bainuunah sughro adalah jika seorang suami mencerai istrinya talak 1 maupun talak2 dengan menerima íwadh (ganti/upah) dari istrinya, maka suami tidak berhak untuk ruju’ (kembali kepada istrinya) meski masih dalam masa íddah([18]).
Kedua : الطَّلاَقُ البَائِنُ بَيْنُوْنَةً كُبْرَى Talak Bain (bainuunah kubro). Yaitu kondisi dimana seorang wanita ditalak tiga, pendapat yang rajih menyebutkan bahwa statusnya bukan lagi sebagai istri sehingga tidak wajib bagi sang suami untuk menyediakan tempat tinggal dan nafkah baginya. Dan jika suami meninggal dalam masa idah, maka wanita tersebut tidak mendapat warisan. Dan wanita yang telah ditalak bain bainunah kubro tidak bisa dirujuk meskipun dalam masa idahnya. Jika sang suami ingin kembali kepada istri yang ditalak bain, maka sang wanita harus menikah dan digauli oleh laki-laki lain, lalu diceraikan oleh laki-laki tersebut, lalu kemudian dia bisa kembali dengan menikahinya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ
“Dan bertakwalah kepada Allah Rabb kalian.”
Maksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini adalah seseorang yang menceraikan istrinya hendaknya bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([19]), yaitu dengan menceraikan dengan talak sunnah. Dan sudah sepantasnya kita semua bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam segala urusan, dan khususnya dalam masalah perceraian ini. Karena setelah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang perintah cara menceraikan dengan cara yang tepat dan menghitung masa idah, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian memerintahkan untuk bertakwa. Artinya jika seseorang menjatuhkan cerai dengan ketakwaan maka dia akan mendapat pahala karena melakukan suatu bentuk ketakwaan. Akan tetapi kebanyakan orang menjatuhkan cerai tidak sesuai dengan sunnah sehingga akhirnya mereka tidak mendapatkan pahala dibalik perkara cerai tersebut.
Demikian juga firman Allah رَبَّكُمْ (Rabb kalian), sebagai peringatan bahwa aturan yang Allah berikan dalam masalah perceraian ini berkaitan dengan rububiyah Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini menunjukan bahwa Allah membuat aturan ini untuk mentarbiyah (membimbing) kita, dan sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala membuat aturan karena lebih tahu tentang kemaslahatan kita. Maka kita diperintahkan untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang menurunkan aturan tersebut demi kemaslahatan dan kebaikan kita.
Karenanya perkara cerai membutuhkan ketakwaan, jika seseorang tidak bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka akan banyak pertikaian dan hak-hak yang tidak ditunaikan, akhirnya menjadi sumber banyak permasalahan bagi seseorang baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
“Janganlah kalian keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas.”
Jika seorang telah menceraikan istrinya, maka hendaknya dia tidak mengeluarkan istrinya tersebut dari rumah-rumah mereka. Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala bercerita tentang wanita yang ditalak raj’i([20]). Bahkan yang menakjubkan disini adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan rumah suami mereka sebagai rumah-rumah mereka (sang istri). Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa rumah tersebut milik sang istri, padahal sejatinya yang punya rumah adalah sang suami. Hal ini merupakan penekanan bahwasanya sang istri harus tetap di rumah dan jangan keluar karena statusnya masih sebagai istri. Dan dalam istilah bahasa Arab sang istri disebut Rabbatul Bait (pemilik rumah), yang artinya sang istri punya hak untuk tinggal di rumah tersebut meskipun asalnya yang punya rumah adalah sang suami.
Oleh karenanya seorang suami yang menceraikan istrinya tidak boleh memerintahkan istrinya untuk pulang ke rumah orang tuanya atau kembali ke kampung halamannya, dan tidak boleh seorang wanita yang diceraikan keluar dari rumah suaminya. Haram hukumnya bagi seorang wanita yang dicerai keluar dari rumah tanpa izin suaminya([21]). Jika dia nekat untuk keluar maka dia telah berlaku zalim dan tentunya berdosa, yaitu dia zalim kepada suaminya dan dia berdosa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan betapa banyak kaum muslimin dan muslimat yang tidak menjalankan peraturan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam perkara cerai ini. Jangankan pada perkara cerai, hanya masalah kecil saja masih banyak para istri yang nekat untuk kabur dari rumahnya. Padahal jika sampai tahpan dicerai saja seorang istri tidak boleh keluar dari rumahnya, maka tentu jika pada pertikaian kecil lebih tidak boleh lagi seorang wanita untuk keluar dari rumahnya. Adapun jika sang istri mendapat ancaman-ancaman yang membahayakan nyawanya, maka tidak mengapa dia pergi dari rumahnya ke tempat yang aman baginya.
Untuk aturan ini (tidak boleh para wanita yang dicerai keluar dari rumah) sungguh sudah banyak dilanggar oleh kaum muslimin. Betapa banyak wanita yang dicerai langsung pergi ke rumah orang tuanya. Akhirnya masalah yang ada di rumahnya kemudian berpindah ke rumah mertua dan keluarga-keluarganya, sehingga tidak menghasilkan solusi yang tepat. Padahal jika seseorang ingin agar dia mendapatkan jalan keluar dari segala permasalahannya maka ikutilah aturan Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika seorang istri telah dicerai maka dia tidak boleh keluar dan tidak boleh dikeluarkan dari rumahnya.
Adapun firman Allah إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ (kecuali jika mereka mengerjakan perbuatan keji yang jelas), maksudnya wanita yang dicerai boleh dikeluarkan dari rumahnya jika melakukan perbuatan keji yang jelas. Diantara tafsirannya adalah ketika sang wanita jelas-jelas berzina, atau dia tidak bisa menjaga lisannya dari kata-kata yang menyakiti suaminya, atau sang wanita menyakiti hati keluarga suaminya, atau di keluar meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, maka yang demikian boleh untuk dikeluarkan dari rumah dan dipulangkan ke rumah orang tuanya atau keluarganya([22]). Akan tetapi selama tidak terjadi demikian, yaitu sang wanita tidak melakukan perbuatan-perbuatan keji setelah jatuh talak, maka sang suami tidak boleh mengusir dang istri dari rumahnya, dan sang istri juga tidak boleh keluar dari rumahnya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. ”
Penggalan ayat ini menjelaskan bahwasanya perceraian bukanlah hal yang sepele. Perceraian adalah perkara yang penting, sampai-sampai aturan-aturan perceraian yang telah kita bahas sebelumnya Allah sebut sebagai hukum-hukum Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan barangsiapa yang melanggar aturan Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut, maka dia telah menzalimi dirinya sendiri dan telah menggiring dirinya kepada kebinasaan([23]), yaitu ia akan terjebak dalam kesulitan di dunia maupun di akhirat.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Kamu tidak mengetahui bisa jadi setelah itu Allah mengadakan suatu ketentuan yang baru.”
Disini Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan solusi. Artinya Jika seseorang menceraikan istrinya dengan mengikuti aturan-aturan Allah, yaitu menceraikan sesuai dengan sunnah dan tidak mengeluarkan istrinya dari rumahnya sampai masa idahnya selesai, maka bisa jadi Allah Subhanahu wa ta’ala timbulkan suatu perkara yang baru. Yaitu tadinya sang suami benci kepada sang wanita lantas berubah menjadi tertarik kepadanya([24]). Hal ini bisa terjadi di antaranya bisa jadi sang suami setelah itu merasa iba kepada istri sehingga akhirnya dirujuk. Atau bisa jadi sang istri ketika tetap tinggal di rumahnya, dia melihat suaminya berbuat baik maka diapun juga kemudian memperbaiki dirinya, dan tatkala dia telah lebih baik dari sebelumnya maka bisa jadi suaminya kembali rujuk kepadanya. Hal ini jika keduanya bertakwa dalam menjalani perceraian, baik yang mencerai maupun yang dicerai, maka bisa jadi Allah menimbulkan perkara yang baru, yaitu yang baik bagi mereka berdua.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.” (QS. Ath-Thalaq : 2)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ
“Maka apabila mereka telah mendekati akhir idahnya, maka rujuklah (kembali kepada) mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik.”
Ketika seorang istri dicerai, maka dia harus menunggu tiga kali haid sebagai waktu masa idahnya. Terdapat khilaf di kalangan para ulama terkait kapan masa idah itu selesai. Secara umum ada dua pendapat mengenai hal ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa ketika darah haid berhenti pada haid yang ketiga (terakhir), baik dia telah bersuci atau belum maka selesailah masa idahnya. Pendapat kedua menyebutkan bahwa jika seorang wanita yang dicerai telah berhenti darah haid pada haid yang ketiga dan dia belum bersuci, maka belum selesai masa idahnya. Masa idahnya baru selesai ketika dia bersuci (mandi junub). Pendapat kedua ini dipilih oleh Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah dan banyak riwayat bahwa para salaf juga lebih memilih pendapat ini([25]). Pendapat yang lebih kuat di antara kedua pendapat ini adalah pendapat kedua. Jadi jika seorang suami ingin rujuk kepada istrinya, sementara istrinya telah selesai haid namun belum bersuci maka rujuknya sah.
Jadi maksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini adalah seorang suami harus hati-hati dalam menghitung masa idah istrinya. Karena jika telah mendekati akhir masa idahnya, maka dia hanya punya dua pilihan yaitu rujuk atau melepaskannya (membiarkan masa idah selesai). Oleh karenanya inilah di antara fungsi seorang suami harus menghitung masa idah dengan detail.
Jika wanita yang dicerai telah di penghujung akhir masa iddahnya maka di hadapan suami ada dua hal yang bisa ia lakukan, silahkan ia memilih salah satunya.
- Rujuk. Di antara pilihan yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada seorang suami yang menceraikan istrinya adalah rujuk sebelum masa idahnya berakhir. Tentunya inilah yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, yaitu agar tidak terjadi perceraian. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mendahulukan penyebutan “Fa-amsikuhunna” (rujuklah) daripada “Faariquhunna” (pisahlah)([26]). Dan tentunya seorang suami jika ingin kembali kepada istrinya, hendaknya dia kembali dengan cara yang makruf. Jangan sampai seorang suami kembali kepada istrinya dalam rangka untuk memberi kemudharatan kepada istrinya sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang jahiliyah.([27]) Oleh karenanya Islam datang dengan memberikan aturan bahwa talak hanya bisa sampai tiga kali. Dan jika telah tiga kali maka dia tidak bisa kembali lagi.
- Melepaskan. Jika seorang suami tidak ingin kembali kepada istrinya, maka biarkan istrinya menyelesaikan masa idahnya dengan cara yang baik, karena kebanyakan orang yang bercerai dengan cara yang tidak baik. Betapa banyak pasangan yang bercerai dengan dendam dan pertikaian yang masih terus berlanjut hingga masa idah berakhir. Sampai-sampai terkadang ada seorang istri yang tatkala selesai masa idahnya, maka seketika itupun dia langsung menikah dengan orang lain untuk membuat jengkel mantan suaminya. Demikian pula seorang suami, ketika telah bercerai, dia berusaha untuk menikah wanita lain, bahkan melakukan poligami sekaligus untuk membuat mantan istrinya jengkel pula. Akhirnya pasangan seperti ini bercerai dengan penuh kedendaman, cacian, makian, padahal cerai seperti ini tidak sesuai dengan sunnah dan melanggar hukum Allah Subhanahu wa ta’ala dalam perceraian. Ketika seseorang bercerai dengan melanggar aturan Allah Subhanahu wa ta’ala, akhirnya yang timbul bagi mereka adalah musibah, kesedihan, dan penderitaan yang berkepanjangan. Oleh karenanya hendaknya seseorang yang ingin tetap melepaskan istrinya, maka hendaknya dia melepaskan istrinya dengan cara yang baik, tanpa perlu menimbulkan masalah yang lain. Biarkan hati istirahat, dan hidup dengan tenteram.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalian dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah.”
Pendapat di kalangan para ulama mengatakan bahwa ketika seseorang hendak rujuk atau melepaskan (cerai), maka disyariatkan untuk mendatangkan dua saksi yang adil. Pendapat ini adalah pendapat jumhur para ulama. Bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa jika seseorang rujuk atau cerai tanpa ada dua saksi maka tidak sah. Akan tetapi pendapat ini adalah pendapat yang salah([28]). Karena para ulama sepakat bahwa hukum rujuk atau cerai tanpa saksi itu sah. Hanya saja para ulama menganjurkan untuk mendatangkan dua saksi. Adapun hukum mendatangkan dua saksi, terdapat khilaf di kalangan para ulama, apakah hukumnya wajib atau sunnah. Akan tetapi ulama yang berpendapat wajib pun mengatakan bahwa rujuk atau cerai tanpa saksi sah, hanya saja dia berdosa. Ini perlu untuk kita pahami karena ada sebagian negara yang membuat peraturan bahwa cerai tanpa saksi maka tidak sah cerainya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memiliki pendapat lain bahwasanya menghadirkan dua saksi hanya berlaku ketika seseorang hendak rujuk. Adapun cerai maka tidak perlu menghadirkan dua saksi([29]). Beliau berpendapat demikian karena melihat bahwa ayat ini berbicara tentang rujuk atau membiarkan masa idah habis, bukan kemudian membuat talak baru. Dan sejatinya orang yang sedang berada pada masa idah adalah orang yang telah menjatuhkan talak. Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ini juga merupakan pendapat sebagian salaf, dan juga pendapat yang penulis kuatkan.
Menghadirkan dua saksi untuk pasangan yang ingin rujuk memiliki fungsi agar rujuk tersebut diketahui oleh sang istri dan orang lain, sehingga sang suami serius dan tidak bersikap bermain-main dan tentunya karena dibalik keputusan rujuk ada hak-hak yang berlaku dan harus dipenuhi. Akan tetapi seandainya seorang suami rujuk tanpa mendatangkan dua saksi maka rujuknya sah. Dan rujuk hendaknya dilakukan dengan perkataan, dan hal ini lebih utama. Meskipun sebagian ulama berpendapat bahwa rujuk bisa dengan perbuatan, yaitu jika seorang suami mendatangi istrinya dan memeluknya, maka otomatis dia rujuk kepada istrinya. Namun yang lebih hati-hati adalah seseorang rujuk dengan perkataan sebelum dengan perbuatan, karena sebagian ulama lain mengatakan bahwa rujuk dengan perbuatan tidak sah dan harus dengan perkataan.
Oleh karenanya jika seseorang ingin rujuk, yang lebih utama dan termasuk dia telah menjalankan sunnah adalah dia mendatangkan dua saksi yang adil, dan dia persaksikan rujuknya terhadap istrinya. Namun jika sekiranya seorang suami tidak bisa mendatangkan saksi karena malu dan alasan syar`i lainnya maka rujuknya sah dengan syarat rujuk dengan perkataan dan dia rujuk selama masa idah belum selesai. Dan hendaknya mereka menegakkan persaksian tersebut karena Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Demikianlah pengajaran itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.”
Artinya adalah orang yang bisa menjalankan aturan Allah Subhanahu wa ta’ala terkait perceraian yang kita bahas ini hanyalah orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir([30]). Dan kebanyakan orang tidak peduli, cuek sehingga cerai seenaknya dan mengabaikan aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan bagaimana mereka mau perhatian, sedangkan aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala terkait perceraian ini pun mereka tidak tahu. Mereka tidak mau belajar fikih perceraian, tidak mau tahu bagaimana dampak dan akibat, akhirnya yang mereka lakukan adalah cerai yang bid’ah atau cerai semparangan yang tanpa aturan.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya.”
Penggalan ayat ini sangat sering kita dengan para khatib-khatib menyampaikannya di mimbar-mimbar masjid, bahwa setiap kita memiliki masalah maka solusinya adalah takwa. Ternyata ayat ini berkaitan dengan perceraian. Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya di antara permasalahan yang sangat berat yang dihadapi oleh seorang suami maupun istri adalah masalah perceraian. Maka dia harus bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar diberi solusi. Karena dibalik perceraian akan ada banyak hal-hal yang akan terjadi, baik bagi sang suami maupun bagi sang istri. Seorang suami yang jika menjadi duda belum tentu bisa mendapat istri. Kalaupun dia mendapatkan istri belum tentu istri tersebut bisa mengayomi anak-anaknya. Demikian pula seorang istri jika telah menjanda belum tentu bisa menikah lagi, dia harus kerja di luar rumah untuk mencari rezekinya. Tentunya ini semua bukanlah perkara yang mudah. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa barangsiapa yang bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan aturan-aturan-Nya terkait masalah perceraian, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan berikan baginya solusi. Bahkan para ulama mengatakan, selain solusi yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan di dunia, mereka juga akan diberikan solusi di akhirat. Karena barangsiapa yang mencerai dengan tidak sesuai aturan, maka tentunya dia bersikap zalim. Dan ketika seseorang telah berbuat zalim, maka ketahuilah bahwa pasti dia bermasalah pada hari kiamat kelak. Oleh karenanya orang yang bertakwa dalam masalah ini tentunya Allah Subhanahu wa ta’ala akan berikan solusi di dunia dan juga di akhirat.
Firman Allah مَخْرَجًا “jalan keluar” menunjukan orang yang terjebak dalam kasus talak sedang berada dalam kondisi yang sempit sehingga dia membutuhkan jalan keluar([31]). Tentunya kesulitan ini dialami oleh keduanya, baik orang yang menjatuhkan talak maupun yang ditalak. Maka untuk mendapatkan jalan keluar, mereka berdua harus bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq : 3)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.”
Jika seorang wanita yang dicerai bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, meskipun dia menjanda niscaya ada rezeki yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Demikian pula seorang laki-laki, jika dia menceraikan istrinya dengan ketakwaan dan mengharap ridha Allah Subhanahu wa ta’ala, niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala juga akan memberikan dia rezeki baik itu berupa harta atau istri lain yang lebih salehah. Oleh karenanya pada dasarnya segala solusi dari segala masalah adalah dengan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Meskipun ayat ini berkaitan dengan cerai, para ulama mengatakan bahwa ayat ini sifatnya umum dan mencakup segala permasalahan([32]). Maka hendaknya kita menghadapi segala permasalahan dengan ketakwaan dan jangan kita berbuat zalim kepada orang lain.
Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya ada rezeki yang kita persangkakan, dan ada rezeki yang tidak kita dipersangkakan. Contoh rezeki yang dipersangkakan adalah seorang pedagang tahu berapa rata-rata penghasilannya perhari. Atau seorang karyawan yang tahu berapa gaji yang akan dia dapatkan setiap bulannya. Adapun rezeki yang tidak dipersangkakan di antaranya adalah hadiah yang kita dapatkan dari orang lain, atau kita mendapat tawaran kerja yang tidak pernah kita duga sebelumnya, dan yang lainnya. Dan para ulama mengatakan bahwa barangsiapa yang mendapatkan rezeki dari arah yang tidak dia persangkakan, maka mudah-mudahan itu adalah tanda dia bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”
Di antara yang harus seseorang lakukan dalam menghadapi permasalahan cerai ini adalah dia harus bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena dengan takwa dan tawakal yang dia lakukan, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepadanya solusi dan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Demikian juga seseorang yang telah bercerai terkadang merasa tidak ada tempat baginya untuk mengadukan permasalahannya. Akan tetapi Allah mengingatkannya bahwa jika ia bertawakkal kepada Allah -seberat apapun permasalahan dan dampak cerainya- maka cukup Allah baginya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا
“Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu.”
Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan menjalankan keputusan-Nya([33]) dan tidak ada yang bisa mencegah keputusan-Nya. Jika seseorang telah bertakwa maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan berikan jalan keluar kepadanya, hanya saja dia perlu untuk bersabar. Karena dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa setiap sesuatu yang Allah tentukan tersebut telah ada ketentuannya (ukuran dan kadarnya). Maka jalan keluar yang Allah Subhanahu wa ta’ala janjikan tersebut juga ada waktunya. Bisa jadi jalan keluar tersebut langsung, dan bisa jadi tertunda, tergantung kemaslahatan yang Allah Subhanahu wa ta’ala lihat pada sang hamba. Oleh karenanya tugas seseorang yang menjatuhkan cerai atau yang dijatuhkan hendaknya dia bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar dia diberikan solusi.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istri kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq : 4)
Sebelumnya, pernikahan adalah hal yang sangat dianjurkan. Bahkan dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
“Ada pun aku, demi Allah adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.”([34])
Namun di dalam Islam, jika pernikahan tidak bisa berjalan atau tidak bisa menghasilkan maslahat yang diharapkan, maka boleh terjadi perpisahan. Dan perpisahan tersebut bisa terjadi dengan salah satu dari tiga cara berikut,
- الطلاق – Talak. Sebagaimana kita ketahui, talak adalah selesainya pernikahan, namun hal itu dijatuhkan oleh pihak laki-laki (suami).
- الخلع – Al-Khuluk adalah kondisi dimana pihak wanita (istri) meminta untuk dicerai oleh sang suami dengan pembayaran yang disepakati oleh kedua pihak([35]).
- الفسخ – Al-Faskh (pembatalan akad nikah). Al-Faskh biasanya dijatuhkan oleh pihak pemerintah([36]). Dan Al-Faskh ini biasanya terjadi ketika ada hal-hal dalam pernikahan yang tidak sesuai. Contohnya adalah seorang suami memiliki aib yang muncul belakangan (setelah pernikahan), dan hal tersebut membuat sang laki-laki tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang suami. Maka jika demikian sang wanita bisa melaporkan kepada hakim, dan hakim berhak membatalkan pernikahan tersebut.
Berbicara tentang masa idah, maka hal ini hanya berlaku untuk wanita (istri), dan tidak ada masa idah bagi laki-laki (suami). Tidak sebagaimana perkataan orang-orang liberal bahwa wanita juga bisa menjatuhkan talak. Dan jika perempuan menjatuhkan talak, maka laki-laki memiliki masa idah selama empat bulan sepuluh hari. Tentunya ini adalah pemikiran yang sesat.
Pembahasan ayat ini terkait beberapa bentuk masa idah seorang wanita. Berapa lamakah masa idah([37]) seorang wanita? Maka untuk mengetahuinya, kita bisa menguraikannya dengan penjelasan berikut,
- Masa Idah wanita yang ditalak
- Wanita yang sudah digauli, ada beberapa kemungkinan
- Wanita yang masih mengalami haid
Wanita yang ditalak namun masih mengalami haid, maka masa idah baginya adalah tiga kali haid. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
الْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ
“Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru` (haid).” (QS. Al-Baqarah : 228)
- Wanita yang hamil
Masa idah bagi wanita yang ditalak namun dalam kondisi hamil, maka masa idahnya adalah sampai dia melahirkan anaknya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq : 4)
Ada khilaf di kalangan para ulama tentang bagaimana masa idah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil. Pendapat yang lebih kuat menyebutkan bahwa masa idahnya sebagaimana masa idah wanita hamil yang ditalak yaitu sampai dia melahirkan.
- Wanita yang tidak mengalami haid
Wanita yang tidak mengalami haid terbagi menjadi dua, yaitu wanita yang telah menopause dan wanita yang memang belum haid (belum baligh). Jika seorang wanita yang tidak mengalami haid telah digauli, lalu kemudian ditalak di kemudian hari, maka masa idahnya adalah tiga bulan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istri kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS. Ath-Thalaq : 4)
- Wanita yang diragukan haidnya
Wanita yang diragukan haidnya, maka masa idahnya adalah tiga bulan, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat ini,
وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ
“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istri kalian jika kalian ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka idahnya adalah tiga bulan.” (QS. Ath-Thalaq : 4)
Ada beberapa tafsiran tentang apa maksud “Jika kalian ragu-ragu”. Di antaranya adalah jika seorang wanita haidnya tidak teratur, atau masih ragu-ragu haid atau tidak([38]), maka hukumnya sama dengan wanita yang menopause dan tidak haid (belum baligh) yaitu masa idahnya tiga bulan.
- Wanita yang belum digauli
Terkadang ada sepasang suami istri yang baru menikah kurang lebih satu minggu, mereka belum tinggal serumah dan istrinya belum pula digauli, kemudian diceraikan. Maka masa idah bagi wanita yang belum digauli adalah tidak ada masa idah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kalian ceraikan mereka sebelum mencampurinya maka tidak ada masa idah atas mereka yang perlu kalian perhitungkan.” (QS. Al-Ahzab : 49)
- Masa idah wanita ditinggal mati suaminya
Masa idah bagi wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Dan orang-orang yang mati di antara kalian serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari.” (QS. Al-Baqarah : 234)
- Masa ídah wanita yang minta khulu’
Masa iddahnya adalah sekali haid
- Masa ídah wanita yang difasakh akad nikahnya.
Masa idahnya juga sama seperti wanita yang minta khulu’ yaitu hanya sekali haid.
Inilah di antara penjelasan tentang masa idah bagi wanita yang dicerai karena talak atau karena ditinggal mati oleh suaminya, demikian juga wanita yang khulu’ dan yang akad nikahnya fasakh. Dan di akhir ayat Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.”
Pada penggalan ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala kembali memberikan janji bahwa jika seseorang bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam urusan ini maka segala urusannya akan dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala([39]). Karena sesungguhnya perkara cerai adalah perkara yang sangat berat bagi pasangan suami istri. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan banyak janji, yang penting orang tersebut bertakwa.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذَلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنْزَلَهُ إِلَيْكُمْ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا
“Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kalian; barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipatgandakan pahala baginya.” (QS. Ath-Thalaq : 5)
Artinya adalah syariat Allah Subhanahu wa ta’ala dalam masalah perceraian ini adalah untuk hamba-hamba-Nya, maka hendaknya kita memperhatikannya. Karena syariat ini merupakan kemaslahatan bagi hamba-hamba Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dan pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala kembali memberikan janji, bahwa barangsiapa yang bertakwa dalam masalah ini maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan hapuskan dosa-dosanya. Orang yang bercerai tidak jarang terlibat dalam pertikaian atau tidak jarang kata-kata buruk keluar dari mulut, padahal itu semua menimbulkan dosa. Akan tetapi jika seseorang bertakwa kepada Allah, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan hapuskan dosa-dosanya. Bahkan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala tidak hanya menjanjikan diampuninya dosa-dosa, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala juga akan memberikan pahala yang berlipat ganda atas ketakwaan yang dilakukannya.
Dari beberapa ayat yang telah kita sebutkan, Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan enam janji([40]) yang akan berikan kepada orang yang bertakwa dalam masalah perceraian. Dan janji seperti ini Allah Subhanahu wa ta’ala tidak berikan pada permasalahan-permasalahan yang lain.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) maka berikanlah imbalannya kepada mereka dan musyawarahkanlah di antara kalian (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kalian menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (QS. Ath-Thalaq : 6)
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang hak-hak para wanita yang dicerai. Firman
Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ
“Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian.”
Artinya kalau kebetulan seseorang tinggal di rumah yang bagus, maka biarkan istri yang dicerai tinggal di rumah tersebut hingga masa idahnya selesai. Adapun jika seseorang tinggal di rumah yang sederhana, maka hendaknya dia memberikan tempat tinggal kepada istrinya semampunya([41]). Dan sebagaimana telah kita sebutkan pada awal-awal pembahasan bahwa wanita tidak boleh diusir atau dikeluarkan dari rumah.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
“Dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.”
Jika seorang suami telah menempatkan istri yang telah diceraikannya di rumahnya pada masa idahnya, maka jangan suami tersebut memberi kemudharatan kepada istrinya([42]), atau membuat hati mereka sempit dengan ejekan, olok-olok, dan yang lainnya. Sehingga akhirnya sang istri tidak betah dan memilih untuk pergi. Atau istrinya ditempatkan di rumah, akan tetapi tidak diberi makan, sehingga sang istri harus meminta bantuan orang lain. Hal-hal yang seperti ini tidak boleh dilakukan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan.”
Semua wanita yang dicerai dan memiliki masa idah wajib tetap diberi infak hingga habis masa idahnya, bukan hanya wanita yang dicerai dalam kondisi hamil. Kecuali wanita yang ditalak bain (talak tiga), maka tidak wajib tinggal di rumah mantan suaminya dan juga tidak diberi nafkah, karena statusnya bukan lagi sebagai istri. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhususkan penyebutan wanita hamil untuk diberi infak karena wanita yang sedang hamil membutuhkan perhatian khusus. Hal ini karena di dalam perutnya ada anak mereka berdua, dan juga karena waktu idahnya lebih lama([43]). Maka seorang suami yang menceraikan istrinya yang sedang hamil hendaknya harus memberikan perhatian khusus kepada istrinya yang dia ceraikan.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى
“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) maka berikanlah imbalannya kepada mereka dan musyawarahkanlah di antara kalian (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kalian menemui kesulitan (tidak sepakat), maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.”
Jika seorang istri yang dicerai telah melahirkan anaknya, kemudian menyusukan anaknya, maka laki-laki (bapak dari anak tersebut) harus memberi upah kepada wanita tersebut([44]). Hal ini dikarenakan wanita tersebut bukan lagi istrinya, sehingga asi yang ada pada wanita tersebut bukan lagi milik sang laki-laki. Berbeda ketika sang wanita menjadi istri dari laki-laki tersebut, maka asi pada wanita tersebut masih milik sang laki-laki. Maka meskipun yang disusui adalah anak sendiri, pihak laki-laki yang telah menceraikan istrinya ketika hamil tetap harus membayar infak jika masih dalam masa idah dan juga memberi upah atas penyusuan terhadap anaknya.
Kemudian pada penggalan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk bermusyawarah dalam menentukan upah bagi sang wanita ketika menyusui anaknya. Jika kesepakatan tidak ditemukan, dan ini sangat mungkin terjadi, maka wajib bagi laki-laki untuk mencari wanita lain untuk menyusuinya yang tentunya juga dengan memberi upah.
Para ulama menyebutkan bahwa ini merupakan dalil bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala lebih sayang kepada kita daripada orang tua kita. Karena bisa jadi ada orang tua yang tidak mau memberikan makan bagi anaknya. Bisa jadi seorang lelaki marah sama mantan istrinya sehingga ia tidak mau menafkahi mantan istrinya dan juga tidak mau menafkahi anaknya sendiri. Bahkan bisa jadi seorang wanita yang dicerai marah kepada mantan suaminya sehingga ia tidak mau menyusui anaknya sendiri. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala melalui ayat ini tetap memberikan solusi dengan mencarikan ibu susuan yang lain jika ibu kandungnya tidak mau menyusui anaknya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan.” (QS. Ath-Thalaq : 7)
Seorang lelaki jika telah menceraikan istrinya, maka selama masa idah dia harus memberikan nafkah kepada istrinya sesuai dengan kemampuannya. Jika dia orang yang kaya maka hendaknya dia memberikan infak sesuai kadar dia sebagai orang kaya. Adapun jika seorang yang miskin, maka dia berinfak sesuai apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya (ala kadarnya). Ini semua menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak membebani seorang hamba diluar dari kesanggupannya. Jika pada ayat sebelumnya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan perhatian pada kondisi wanita yang dicerai, maka pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan perhatian bagi seorang suami (laki-laki).
Dan di ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian memberikan kabar gembira bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan kelapangan. Akan tetapi sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya bahwa syaratnya adalah bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ayat ini merupakan akhir pembahasan Allah Subhanahu wa ta’ala tentang perceraian. Dan setelahnya Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang azab bagi orang-orang yang membangkang perintah Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَأَيِّنْ مِنْ قَرْيَةٍ عَتَتْ عَنْ أَمْرِ رَبِّهَا وَرُسُلِهِ فَحَاسَبْنَاهَا حِسَابًا شَدِيدًا وَعَذَّبْنَاهَا عَذَابًا نُكْرًا، فَذَاقَتْ وَبَالَ أَمْرِهَا وَكَانَ عَاقِبَةُ أَمْرِهَا خُسْرًا
“Dan betapa banyak (penduduk) negeri yang mendurhakai perintah Tuhan mereka dan rasul-rasul-Nya, maka Kami buat perhitungan terhadap penduduk negeri itu dengan perhitungan yang ketat, dan Kami azab mereka dengan azab yang mengerikan (di akhirat), sehingga mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan akibat perbuatan mereka, itu adalah kerugian yang besar.” (QS. Ath-Thalaq : 8-9)
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan gambaran tentang penduduk suatu negeri yang diberikan azab karena membangkang perintah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dalam mempelajari tafsir, kita harus membagi setiap surah menjadi beberapa paragraf. Ketika kita telah mengetahui suatu surah terdiri dari beberapa paragraf, maka kemudian kita mencari tahu apa kaitan antara suatu paragraf setelahnya dengan paragraf sebelumnya. Dengan demikian kita akan tahu mengapa suatu paragraf diletakkan pada paragraf tersebut.
Lantas apa kaitannya firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini (paragraf baru ini) dengan masalah perceraian? Sebagian ahli tafsir menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan permasalahan cerai adalah perkara yang berat. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman telah berfirman,
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
“Itulah hukum-hukum Allah, dan barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh, dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (QS. Ath-Thalaq : 1)
ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ
“Demikianlah peringatan itu diberikan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS. Ath-Thalaq : 2)
Artinya seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala berkata, “Jangan sampai kalian melanggar batasan-batasan-Ku dalam masalah perceraian. Jika kalian melanggarnya, maka Aku akan memberikan siksaan-siksaan bagi kalian sebagaimana orang yang melanggar pada suatu negeri juga Kami berikan siksaan”. ([45])
Oleh karenanya orang-orang yang melakukan perceraian, baik yang menceraikan atau dicerai, banyak di antara mereka tidak bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Padahal jika mereka bertakwa, maka bisa jadi mereka yang mencerai mendapat pahala, dan yang dicerai pun bisa mendapat pahala. Akan tetapi tatkala sang laki-laki atau wanita melanggar aturan-aturan Allah dalam kasus perceraian, maka mereka diberi kesengsaraan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan kesengsaraan itu bisa dengan berbagai macam hal, bisa dengan susah merasakan kebahagiaan, bisa dengan kehidupan ekonomi yang tidak baik, bisa dengan hubungan dengan anak yang tidak baik, dan yang lainnya. Maka karena ada sebagian orang-orang yang melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam hal perceraian, Allah Subhanahu wa ta’ala pun kemudian menyebutkan tentang bagaimana negeri-negeri yang Allah Subhanahu wa ta’ala hancurkan disebabkan karena pembangkangan mereka terhadap perintah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ آمَنُوا قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا، رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِ اللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللَّهُ لَهُ رِزْقًا
“Allah menyediakan azab yang keras bagi mereka, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman. Sungguh, Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, (dengan mengutus) seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Allah kepadamu yang menerangkan (bermacam-macam hukum), agar Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dari kegelapan kepada cahaya. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan kebajikan, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.” (QS. Ath-Thalaq : 10-11)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ آمَنُوا
“Allah menyediakan azab yang keras bagi mereka, maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman.”
Allah siapkan bagi penduduk negeri yang membangkang (perintah Allah) tersebut adzab yang keras. Lalu Allah berkata فَاتَّقُوا اللَّهَ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ “maka bertakwalah kepada Allah wahai orang-orang yang mempunyai akal”, menunjukan bahwa akal yang cerdas mengantarkan seseorang untuk bertakwa dan tidak membangkang perintah Allah. Karena takwa mengantarkan kepada kabahagiaan yang hakiki di dunia dan kebahagiaan abadi dan sempurna di akhirat. Lalu Allah berkata, يَاأُولِي الْأَلْبَابِ الَّذِينَ آمَنُوا “wahai orang-orang yang mempunyai akal, (yaitu) orang-orang yang beriman”. Ini menunjukan bahwa menerima iman adalah tanda cerdasnya akal seseorang([46]).
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قَدْ أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكُمْ ذِكْرًا، رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِ اللَّهِ مُبَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ
“Sungguh, Allah telah menurunkan peringatan kepadamu, (dengan mengutus) seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Allah kepadamu yang menerangkan (bermacam-macam hukum), agar Dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dari kegelapan kepada cahaya.”
Penggalan ayat ini merupakan dalil bahwa di antara tugas utama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah membacakan ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala dan menjelaskan maksud ayat-ayat yang dibacakannya. Hal ini juga disebutkan dalam beberapa ayat, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan firman-firman Allah Subhanahu wa ta’ala kepada para sahabat. Allah berfirman :
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ
Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau (QS Al-Baqoroh : 129)
كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولًا مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا
Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu (QS Al-Baqoroh : 151)
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah (QS Ali Ímron : 164)
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka (QS Al-Jumuáh : 2)
رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفًا مُطَهَّرَةً
(yaitu) seorang Rasul dari Allah (Muhammad) yang membacakan lembaran-lembaran yang disucikan (Al Quran) (QSAl-Bayyinah : 2)
Dan tujuan dari tugas Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini adalah untuk mengeluarkan orang yang beriman dan yang beramal saleh dari kegelapan menuju cahaya. Oleh karenanya di antara hal yang paling ampuh untuk mengeluarkan seseorang dari kesengsaraan (kegelapan) menuju kebahagiaan (cahaya) adalah dengan membaca Alquran dengan tafsirnya. Maka ini adalah isyarat bahwa sudah seharusnya kita memperbanyak majelis-majelis tafsir Alquran. Karena seseorang yang membaca dan memahami makna firman-firman Allah Subhanahu wa ta’ala, maka akan menambah keimanan. Dan sebagaimana telah kita sebutkan sebelumnya bahwa Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata,
فَقِرَاءَةُ آيَةٍ بِتَفَكُّرٍ وَتَفَهُّمٍ خَيْرٌ مِنْ قِرَاءَةِ خَتْمَةٍ بِغَيْرِ تَدَبُّرٍ وَتَفَهُّمٍ
“Membaca satu ayat (Alquran) dengan tafakkur dan memahaminya, itu lebih baik daripada membaca (Alquran) dengan khatam namun tanpa tadabur dan memahaminya.”([47])
Demikian pula Ibnu Jarir Ath-Thabari (imamnya para ahli tafsir) mengatakan,
إِنّي لَأَعْجَبُ مِمَّنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَلَمْ يَعْلَمْ تَأْوِيْلَهُ، كَيْفَ يَلْتَذُّ بِقِرَاءَتِهِ؟
“Sungguh aku heran dengan mereka yang membaca Alquran namun tidak memahami tafsirnya, maka bagaimana mereka merasakan kelezatan saat membaca Alquran?” ([48])
Maka seseorang berusaha untuk mempelajari tafsir dari ayat-ayat yang dia telah hafalkan, sehingga dengan membacanya akan membekas dalam dadanya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا قَدْ أَحْسَنَ اللَّهُ لَهُ رِزْقًا
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan kebajikan, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sungguh, Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.”
Ini merupakan dalil bahwasanya hanya orang yang telah beriman dan beramal salehlah yang bisa masuk ke dalam surga. Yang tentunya surga tersebut penuh dengan kenikmatan, dan abadi. Maka jika seseorang ingin masuk surga hendaknya dia beramal saleh. Adapun yang tidak beramal saleh maka tidak akan masuk surga. Dan dalam sebagian ayat Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman di antaranya,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kalian kerjakan.” (QS. An-Nahl : 32)
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“Makan dan minumlah (di surga) dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. Al-Haqqah : 24)
Dan ingat pula bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَلِيُوَفِّيَهُمْ أَعْمَالَهُمْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
“Dan setiap orang memperoleh tingkatan berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan balasan amal perbuatan mereka dan mereka tidak dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf : 19)
Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Adil, Dia menjadikan surga bertingkat-tingkat. Sehingga derajat seseorang di surga berdasarkan kadar amal salehnya ketika di dunia. Namun sebagaimana surga bertingkat-tingkat, maka neraka juga bertingkat-tingkat. Oleh karenanya dunia bagi kita adalah sarana untuk kita beramal saleh. Sejauh mana kita beramal saleh maka sejauh itu pula tingkatan kita di surga. Dan sebagaimana kita bermaksiat maka semakin rendah tingkatan seseorang di akhirat kelak.
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan bahwa di antara nikmat surga adalah adanya taman-taman yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Akan tetapi dengan ayat-ayat yang berbicara tentang kenikmatan surga ini, sebagian orang liberal mengatakan bahwa Alquran konteksnya turun 1400 tahun yang lalu kepada orang-orang Arab badui yang ketika itu mereka senang dengan taman-taman dan sungai-sungai. Sedangkan menurut mereka orang-orang Indonesia tidak membutuhkan hal tersebut. Ketahuilah bahwa tidaklah mereka mengatakan demikian kecuali untuk mengukuhkan metode tafsir mereka yaitu dengan menggunakan teori Hermeneutika. Dan mereka juga ingin menegaskan bahwa Alquran bukanlah firman Allah Subhanahu wa ta’ala, melainkan perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan penjelasan dari makna-makna yang Allah Subhanahu wa ta’ala sampaikan kepadanya 1400 tahun yang lalu. Padahal kenyataannya di zaman modern sekarang ini orang-orang tetap suka dengan yang namanya taman-taman. Bukankah banyak wisatawan dari luar negeri datang ke Indonesia untuk melihat keindahan alamnya? Oleh karenanya jangan kemudian kita mendengarkan ungkapan-ungkapan orang liberal terkait hal ini. Karena sesungguhnya kenikmatan di surga sangat banyak dan bukan hanya taman-taman dan sungai-sungai. Dan tentu taman surga tidak sama dengan taman dunia, terlebih lagi isi taman tersebut tidak sama dengan yang ada di dunia. Yang sama hanya sekedar nama adapun hakikat tentu berbeda.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa dengan langit. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq : 12)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ
“Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa dengan langit.”
Apa yang dimaksud bumi juga diciptakan semisal dengan langit? Terdapat beberapa pendapat tentang hal ini. Akan tetapi yang benar adalah pendapat yang menyebutkan bumi itu berlapis-lapis sebagaimana langit juga berlapis-lapis([49]). Wallahu a`lam bishshawwab. Oleh karenanya dalam suatu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ ظَلَمَ شِبْرًا مِنَ الْأَرْضِ طُوِّقَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِينَ
“Barang siapa yang mengambil sejengkal tanah saja dengan zalim, maka pada hari kiamat ia akan dibebankan tujuh lapis bumi kepadanya.”([50])
Dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,
مَنْ أَخَذَ مِنَ الْأَرْضِ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ خُسِفَ بِهِ يَوْمَ القِيَامَةِ إِلَى سَبْعِ أَرَضِينَ
“Barangsiapa yang mengambil sesuatu (sebidang tanah) dari bumi yang bukan haknya maka pada hari kiamat nanti dia akan dibenamkan sampai tujuh lapis bumi.”([51])
Artinya adalah seseorang yang mengambil tanah tanpa hak, maka dia akan dibenamkan ke dalam tujuh lapis bumi, kemudian diambilnya tujuh lapis bumi tersebut untuk dia pikul pada hari kiamat kelak. Oleh karenanya inilah makna yang benar dari maksud bumi diciptakan serupa dengan langit yaitu bumi belapis-lapis sebagaimana langit juga berlapis-lapis.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Perintah Allah berlaku di antara keduanya (langit dan bumi), agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.”
Tujuan dari ayat ini adalah untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena dalam sebagaimana dalam penggalan ayat sebelumnya Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bagaimana Dia menciptakan langit dan bumi, kemudian pada penggalan ayat ini Dia menjelaskan bahwa tujuannya agar para hamba mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Mahakuasa atas segala sesuatu dan ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Maka ketika seseorang telah mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka dia akan berhati-hati dalam menjalankan aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala berkenan dengan perceraian. Karena tidaklah seseorang menjalankan aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam masalah perceraian kecuali dia telah mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun ketika seseorang tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka pasti dia akan sembarangan dalam menceraikan, tidak mengikuti aturan Allah, istri dan anak-anak akan terbengkalai. Oleh karenanya orang yang tersangkut dalam masalah perceraian, agar dia bisa menjalankan aturan-aturan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam hal ini, maka dia harus mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ayat ini juga menjelaskan bahwa pentingnya mengenal nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi. Karena dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi beserta perintah yang berlaku, tujuannya adalah agar manusia tahu bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Mahakuasa dan ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala meliputi segalanya. Oleh karenanya kita harus belajar Asma’ wa Shifat. Karena ketika kita telah mempelajari dan mengetahui Asma’ wa Shifat, maka kita akan sadar bahwa apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, bagaimana sikap kita terhadap istri kita, itu semua diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, karena ilmu Allah meliputi segalanya. Maka inilah pentingnya kita mengetahui nama-nama Allah yang indah dan sifat-sifat-Nya yang tinggi.
_______________________________________________________________________
([1]) Akhlaq Ahlul Quran 1/102
([2]) Miftah Daar As-Sa’adah 1/187
([3]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/292
([4]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/293
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/147
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 6/61, dan beliau mengatakan bahwa surah ini disepakati madaniyah (6/30)
([7]) HR. Al-Hakim no. 6754 dalam Al-Mustadrak
([8]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/148
([10]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/148
([11]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/294
([12]) Lihat: Majmuu’ al-Fataawaa, Ibnu Taimiyyah 33/22-25
([13]) Lihat: Zaadul Ma’aad 5/201-220
([14]) Lihat: Fataawaa al-Lajnah ad-Daaimah 20/58 fatwa no 6542
([15]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/143
([16]) Lihat: Jamharatul Amtsal 1/97.
Maksudnya meskipun kay adalah bentuk pengobatan yang menyakitkan namun ia adalah obat, yaitu obat yang terakhir. Demikian pula dengan cerai, meskipun ia adalah perkara yang menyakitkan akan tetapi terkadang merupakan solusi yang terbaik untuk sebuah rumah tangga.
([17]) Lihat: Mukhtashor Al-Fiqhi Al-Islamy Fii Dhou’i Al-Quran wa As-Sunnah hal: 838
([18]) Untuk tholaq bi ‘iwadh (suami mentalak dengan menerima upah dari istri) maka para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, secara umum ada 2 pendapat :
Pertama : Perkara ini tetap termasuk talak, hanya saja hak rujuk gugur dari suami karena dia menerima pembayaran dari pihak istri. Namun karena ini termasuk talak maka tetap dihitung sebagai satu talal, dan sang wanita menjalankan ‘iddah sebagaimana ‘iddahnya wanita yang ditalak
Kedua : Perkara ini adalah khulu’, karena bentuknya adalah persis dengan khulu’ (yaitu dimana sang istri minta untuk membatalkan akad nikah dengan memberi bayaran kepada suami). Meskipun talak dengan ‘iwadh lafalnya adalah talak dari pihak suami, akan tetapi hakikatnya persis dengan khulu’ yang diminta dari pihak istri. Karenanya ini bukan termasuk talak, dan tidak dihitung sebagai talak, dan ‘iddahnya pun hanya sekali haid, sebagaimana ‘iddahnya wanita yang minta khulu’. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Beliau berkata :
وَالْخُلْعُ بِعِوَضٍ فَسْخٌ بِأَيِّ لَفْظٍ كَانَ وَلَوْ وَقَعَ بِصَرِيحِ الطَّلَاقِ … وَهَذَا هُوَ الْمَنْقُولُ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَصْحَابِهِ وَعَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَقُدَمَاءِ أَصْحَابِهِ لَمْ يُفَرِّقْ أَحَدٌ مِنْ السَّلَفِ وَلَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَلَا قُدَمَاءُ أَصْحَابِهِ فِي الْخُلْعِ بَيْنَ لَفْظٍ وَلَفْظٍ لَا لَفْظِ الطَّلَاقِ وَلَا غَيْرِهِ بَلْ أَلْفَاظُهُمْ كُلُّهَا صَرِيحَةٌ فِي أَنَّهُ فَسْخٌ بِأَيِّ لَفْظٍ كَانَ
“Dan al-Khulu’ dengan membayar adalah fasakh (pembatalan akad nikah) dengan lafal apapun, meskipun dengan lafal talak yang tegas… dan inilah yang dinukilkan dari Abdullah bin Ábbas dan murid-muridnya, dan juga dinukil dari Imam Ahmad dan murid-murid seniornya. Tidak seorangpun dari salaf -termasuk Imam Ahmad bin Hanbal dan murid-murid seniornya- yang membedakan antara lafal yang satu dengan lafal yang lain dalam hal khulu’, tidak dibedakan antara lafal talak dan lafal yang lainnya. Pernyataan mereka seluruhnya tegas bahwasanya khulu’ adalah faskh (pembatalan akad nikah) dengan lafal apapun” (Al-Fataawaa al-Kubroo 5/486)
([19]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/298
([20]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/155
([21]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/329
([22]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/156
([23]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/156
([24]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/156
([25]) Lihat: Asy-Syarhul Mumti’ 13/192-193
([26]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/308
([27]) Orang-orang jahiliyah dahulu tidak memiliki batasan dalam menceraikan. Sehingga mereka menceraikan istri-istri mereka seenaknya. Jika hampir habis masa idahnya, mereka kemudian rujuk. Akan tetapi setelah itu mereka menceraikan kembali, dan jika masa idahnya hampir habis mereka kemudian rujuk. Dan hal itu terjadi terus menerus sehingga sang wanita terkatung-katung tidak jelas (lihat: Tafsir Al-Qurthuby 3/126).
([28]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/158
([29]) Lihat: Al-Fatawa Al-Kubra 3/296, dan ini juga yang dipilih oleh al-Qurthubi (lihat Tafsir al-Qurthubi 18/157)
([30]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/159
([31]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/311
([32]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/160
([33]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/148
([35]) Lihat: Syarhu Muntaha Al-Iroodaat 3/237
([36]) Lihat: Syarhu Muntaha Al-Iroodaat 3/237. Sebagian ulama berpendapat jika kedua belah pihak sekapat untuk membatalkan akad nikah karena sebab tertentu maka tidak perlu menunggu keputusan pemerintah. Hanya perlu keputusan pemerintah jika terjadi pertikaian.
([37]) Perhitungan masa idah dihitung berdasarkan kalender hijriah
([38]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/163
([39]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/165
([40]) Enam janji Allah kepada yang bertakwa tersebut adalah :
Pertama : Allah akan berikakan solusi
Kedua : Allah akan memberikan rizki dari arah yang tidak ia sangka-sangka
Ketiga : Allah cukup baginya jika ia bertawakkal
Keempat : Allah akan memudahkan urusannya
Kelima : Allah akan mengampuni dosa-dosanya
Keenam : Allah akan melipatgandakan pahalanya
([41]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/168 dan At-Tahrir wa At-Tanwir 28/328
([42]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/334
([43]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/328
([44]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/169
([45]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/333
([46]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 28/336
([47]) Miftah Daar As-Sa’adah 1/187
([48]) Tafsir Ath-Thobary 1/10