Tafsir Surat Adz-Dzariyat
Surat ini dinamakan dengan Adz-Dzariyat atau Wadz-Dzariyat; karena kata tersebut tidak ada di dalam Al-Qur’an kecuali pada surat ini. Dan diantara metode para ulama dalam menyebutkan nama suatu surat adalah dengan memilih kata yang khusus disebutkan dalam surat tersebut dan tidak disebutkan pada surat-surat yang lain. Salah satu contohnya adalah surat Adz-Dzariyat.
Adz-Dzariyat merupakan surat Makkiyah, yaitu surat yang turun sebelum Nabi berhijrah ke kota Madinah. Diantara topik utama yang dibahas surat Makkiyah adalah berbicara tentang tauhid, hari kiamat, nubuwah atau risalah dan Al-Qur’an yang turun kepada Nabi. Karena topik-topik tersebut menjadi sekumpulan isu utama yang ditolak oleh orang-orang kafir. Jika diperhatikan, pembahasan yang terdapat pada surat ini juga berkaitan dengan permasalahan-permasalahan tersebut. ([1])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالذَّارِيَاتِ ذَرْوًا
“Demi (angin) yang menerbangkan debu.” (QS. Adz-Dzariyat: 1)
Di dalam bahasa arab metode pengucapan sumpah adalah dengan menggunakan huruf sumpah berupa (وَ). Lalu huruf terakhir dari kata yang disebutkan sesudahnya harus dibaca kasrah, seperti ketika seseorang mengucapkan (وَاللَّهِ) bermakana ‘demi Allah’. Begitu juga dengan permulaan dari surat ini disebutkan dengan (وَالذَّارِيَاتِ) bermakna ‘demi Adz-Dzariyat’.
Dahulu pada zaman Umar bin Al-Khaththab ada seorang yang bernama Shabigh bin ‘Isl ([2]). Hobinya sering bertanya tentang ayat-ayat yang sulit untuk dipahami, yang menimbulkan kebingungan pada banyak orang. Dia selalu mencari permasalahan, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat yang mutasyabihah.
Suatu hari ia bertemu bertemu dengan Umar lantas ia bertanya kepada Umar, “Wahai Umar, apa makna dari ‘Wadz-Dzariyat’?”. Umar bin Al-Khaththab sudah mengetahui tabiatnya yang sering mencari masalah. Maka beliaupun tidak menjawab pertanyaannya. Namun, yang diperbuat oleh beliau adalah memberinya pelajaran dengan memukulnya dan memenjarakannya. Kisahnya disebutkan oleh Ibnu Katsir,
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ قَالَ: جَاءَ صَبِيغ التَّمِيمِيُّ إِلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَخْبِرْنِي عَنِ الذَّارِيَاتِ ذَرْوًا؟ فَقَالَ: هِيَ الرِّيَاحُ، وَلَوْلَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ مَا قُلْتُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْمُقَسِّمَاتِ أَمْرًا قَالَ: هِيَ الْمَلَائِكَةُ، ولولا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ مَا قُلْتُهُ. قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْجَارِيَاتِ يُسْرًا قَالَ: هِيَ السُّفُنُ، وَلَوْلَا إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُهُ مَا قُلْتُهُ. ثُمَّ أَمَرَ بِهِ فَضُرِبَ مِائَةً، وَجُعِلَ فِي بَيْتٍ، فَلَمَّا بَرَأَ دَعَا بِهِ وَضَرَبَهُ مِائَةً أُخْرَى، وَحَمَلَهُ عَلَى قَتَب، وَكَتَبَ إِلَى أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ: امْنَعِ النَّاسَ مِنْ مُجَالَسَتِهِ
Dari Sa’id bin Al-Musayyib berkata: (Suatu hari) Shabigh At-Tamimiy datang kepada Umar bin Al-Khaththab seraya bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, apa arti dari adz-Dzaariyaat dzarwa?” Maka beliau menjawab: “Yang dimaksud adalah angin, kalau aku tidak mendengar dari Rasulullah maka aku tidak akan mengatakan demikian.” Lalu dia bertanya lagi: “Apa maksud al-muqassimaati amra?” Beliau menjawab: “Yang dimaksud adalah malaikat, kalau aku tidak mendengar dari Rasulullah maka aku tidak akan mengatakan demikian.” Setelah itu ia masih bertanya lagi: “Apa maksud al-jaariyaati yusra?” Beliau menjawab: “Yang dimaksud adalah perahu-perahu, kalau aku tidak mendengar dari Rasulullah maka aku tidak akan mengatakan demikian.” Lalu beliau menyuruh orang untuk memukul Shabigh dengan seratus cambukan dan diasingkan dalam satu rumah. Setelah sembuh dari sakitnya dicambuk lagi seratus kali, dan Umar menaikannya di atas qotab (pelana onta). Akhirnya beliau menyuruh Abu Musa al-Asy’ari untuk melarang orang-orang bermajelis dengan Shabigh bin ‘Asal” ([3])
Para ulama berselisih pendapat mengenai arti dari empat sumpah yang disebutkan berturut-turut di dalam permulaan surat ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa ini semua berkaitan dengan malaikat.
وَالذَّارِيَاتِ ذَرْوًا. فَالْحَامِلَاتِ وِقْرًا. فَالْجَارِيَاتِ يُسْرًا. فَالْمُقَسِّمَاتِ أَمْرًا
“Demi malaikat-malaikat yang menerbangkan debu. Demi malaikat-malaikat yang mengatur awan yang mengandung (hujan). Demi malaikat-malaikat yang mengatur (kapal-kapal) yang berlayar dengan mudah. Demi malaikat-malaikat yang membagi-bagi urusan.”
Dan telah diketahui bahwa di dalam Al-Qur’an, Allah sering bersumpah dengan malaikat, seperti di dalam surat Al-Mursalat, An-Nazi’at, Ash-Shaffat dan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah bersumpah dengan malaikat. Hal ini bertujuan untuk menjelaskan bahwa malaikat adalah makhluk Allah dan mereka dibawah perintah Allah. Karena orang-orang musyrik dahulu menganggap bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah.
Sebagaimana Allah sebutkan tentang keyakinan mereka tersebut :
وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَنِ إِنَاثًا أَشَهِدُوا خَلْقَهُمْ سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُونَ
“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaika-malaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban” (QS Az-Zukhruf : 19)
Sehingga sebagian dari mereka menyembah malaikat. Maka melalui ayat ini, Allah membantah keyakinan dan pemahaman mereka, bahwa malaikat adalah makhluk Allah, bukan putri-putriNya dan merekapun tunduk di bawah perintah Allah.
Adapun sebagian Ahli Tafsir yang lain mengatakan bahwa pada ayat ini Allah berbicara tentang wanita. Allah bersumpah dengan para wanita ‘demi para wanita yang mampu untuk melahirkan atau mereka yang memiliki benih-benih untuk melahirkan bayi’. ‘Demi para wanita yang mengandung’ ([4]). Namun ini merupakan pendapat yang lemah dan jauh dari kebenaran, karena dibantah oleh banyak ulama, diantaranya adalah Asy-Syinqithiy. Dan pendapat yang lebih kuat adalah sebagaimana yang telah ditafsirkan oleh sebagian ulama dan dipilih oleh mayoritas ulama([5]). Yaitu:
وَالذَّارِيَاتِ ذَرْوًا. فَالْحَامِلَاتِ وِقْرًا. فَالْجَارِيَاتِ يُسْرًا. فَالْمُقَسِّمَاتِ أَمْرًا
“Demi malaikat-malaikat yang menerbangkan debu. Dan awan yang mengandung (hujan). Dan (kapal-kapal) yang berlayar dengan mudah. Dan (malaikat-malaikat) yang membagi-bagi urusan.”
Ada juga ulama yang berpendapat lebih rinci lagi, seperti Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wa At-Tanwir, berkata: “Semua sumpah ini berkaitan dengan angin, karena Allah berfirman: Demi angin yang berhembus, maka angin-angin tersebut membawa awan-awan, lalu angin-angin itu mendorong awan-awan ke tempat yang siap untuk diturunkan hujan, maka angin-angin yang siap membagi hujan sesuai dengan tempat yang ditakdirkan oleh Allah untuk diturunkan hujan”
Pada ayat ini Allah bersumpah dengan angin yang berhembus dengan kuat. Dimana angin-angin tersebut membawa awan yang berat yang siap diturunkan di tempat-tempat yang telah Allah kehendaki. Sebagaimana firman Allah,
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّياحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذا أَقَلَّتْ سَحاباً ثِقالاً سُقْناهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ
“Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu.” (QS. Al-A’raf: 57)
Dari segi bahasa, pendapat Ibnu ‘Asyur sangat kuat. Karena pada permulaan ayat, Allah bersumpah dengan kata yang diawali huruf ‘wa’ (وَالذَّارِيَاتِ ذَرْوًا). Setelah itu, Allah menyebutkan ayat selanjutnya dengan kata yang diawali huruf ‘fa’ (فَالْحَامِلَاتِ وِقْرًا. فَالْجَارِيَاتِ يُسْرًا. فَالْمُقَسِّمَاتِ أَمْرًا), yang ‘fa’ artinya adalah (maka/lalu). Artinya semua itu datang dan terjadi berurutan setelah sesuatu yang telah disebutkan sebelumnya.([6])
Intinya, banyak perbedaan pendapat oleh para ahli tafsir mengenai makna ayat ini, namun perbedaan ini tidaklah bertentangan. Bahkan, para sahabatpun berbeda pendapat dalam penafsiran ayat ini. Dan hal ini disebut dengan Tafsir At-Tanawwu’, artinya variatif jika ditafsirkan dengan beragam pendapat ulama atau sahabat maka penafsiran itu menunjukkan suatu kebenaran. Wallahu a’lam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَصَادِقٌ
“Sungguh, apa yang dijanjikan kepadamu pasti benar.” (QS. Adz-Dzariyat: 5)
Allah bersumpah dengan angin bertujuan untuk menekankan bahwa apa yang dijanjikan oleh Allah kepada makhlukNya pasti benar. Diantara janji Allah kepada kaum musyrikin adalah akan tiba hari kiamat dan adzab Allah kepada mereka. Semua janji Allah pasti benar adanya. Dan diantara janji Allah yang diberikan kepada orang-orang yang beriman adalah mereka akan diberikan kebahagiaan di dunia dan mendapatkan surga di akhirat. Semua janji Allah tersebut benar adanya.([7])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَإِنَّ الدِّينَ لَوَاقِعٌ
“Dan sungguh, (hari) pembalasan pasti terjadi.” (QS. Adz-Dzariyat: 6)
Secara bahasa (الدِّينَ) bermakna pembalasan. Balasan bagi orang yang beriman adalah surga. Sebaliknya, balasan bagi orang kafir adalah siksaan neraka Jahannam.([8])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَالسَّمَاءِ ذَاتِ الْحُبُكِ
“Demi langit yang mempunyai jalan-jalan.” (QS. Adz-Dzariyat: 7)
Di dalam ayat ini, Allah bersumpah pada yang kedua kalinya. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kata (الْحُبُكِ). Pertama, bermakna (الطُّرُق) yaitu jalan-jalan. Artinya di langit terdapat banyak jalan yang tidak pernah dilihat oleh manusia. Hanya Allah yang mengetahui tentang jalan-jalan tersebut dan tidak ada manusia yang mengetahuinya. Kedua, ada juga yang mengatakan bahwa (الْحُبُكِ) diambil dari sebuah arti layaknya tenunan yang kokoh dan rapi. Maka, demikian juga halnya dengan langit yang ditenun oleh Allah dengan tenunan yang sangat rapi, kokoh, kuat dan sama sekali tidak ada yang rusak dari tenunan tersebut. Ketiga, ada juga sebagian ulama yang menafsirkannya dengan langit yang indah, yang dihiasi dengan berbagai macam perhiasan langit berupa matahari, rembulan, bintang-bintang beserta gugusan-gugusannya dan galaksi yang lainnya. Inilah beberapa penafsiran dari ayat ini.([9])
Seperti yang telah diketahui menurut ilmu pengetahuan zaman sekarang bahwasanya langit adalah ciptaan Allah yang sangat luas nan besar. Di dalamnya terhiasi dengan berbagai macam galaksi dengan jumlah yang tak terhitung banyaknya. Diantaranya adalah galaksi bima sakti, salah satu dari jutaan galaksi yang ada. Galaksi yang sangat luas dan memiliki garis edar tersendiri, didalamnya terdapat banyak planet yang mengelilingi matahari. Menurut ilmu astronomi, matahari memiliki ukuran yang sangat besar dan luas berkali-kali lipat dari besarnya bumi. Hal itu cukup menunjukkan besar dan agungnya ciptaan Allah ini. Namun, dari sudut lain dari langit ini ada ciptaan Allah yang lebih besar dari matahari, yaitu berupa galaksi-galaksi lain yang jumlahnya banyak sekali. Di dalam masing-masing galaksi tersebut bertebaran ribuan atau bahkan jutaan planet dan bintang. Dan masing-masing planet atau bintang tersebut mungkin saja berukuran seperti besarnya matahari atau bahkan lebih besar lagi. Banyaknya jumlah galaksi yang beredar ini hanya berada di dalam langit yang sangat luas dan semuanya tertenun dengan sangat rapi, tidak saling bertabrakan, masing-masing beredar pada orbitnya dan memiliki aturan tersendiri.
Oleh karena itu, para ulama zaman sekarang mengatakan itulah diantara makna dari ayat ini. Artinya langit memiliki tenunan yang rapi dan tidak ada kerusakan sedikitpun. Wallahu a’lam.([10])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّكُمْ لَفِي قَوْلٍ مُخْتَلِفٍ
“Sungguh, kamu benar-benar dalam keadaan berbeda-beda pendapat.” (QS. Adz-Dzariyat: 8)
Pada ayat ini Allah mengajak berbicara kepada orang-orang musyrikin. Hal itu disebabkan karena mereka selalu dalam keadaan kontradiktif dalam berbagai hal. Contohnya adalah seperti dalam masalah hari kiamat mereka berbeda pendapat. Diantara mereka mengatakan bahwa hari kiamat atau hari kebangkitan tidak mungkin terjadi. Ada juga yang mengatakan bahwa mungkin yang dibangkitkan hanyalah ruh, dan berbagai macam perkataan yang berselisih dengan yang lainnya. Contoh lain tentang perkataan mereka yang kontradiktif adalah mereka berselisih tentang Nabi Muhammad. Sebagian mereka mengatakan bahwa Nabi adalah ‘orang gila’. Sebagian lagi mengatakan ‘penyihir’. Sebagian lagi mengatakan ‘terkena sihir’. Sebagian lagi mengatakan ‘dukun’. Ada juga yang mengatakan ‘penyair’. Sedangkan mereka sendiri tidak sepakat dengan perkataan tersebut. Karena mereka tahu bahwa semua yang mereka ucapkan adalah salah. Sehingga, hal itu membuat mereka selalu berselisih dalam masalah tersebut dan berfikir apa lagi yang hendak mereka tuduhkan kepada Nabi Muhammad yang mulia.
Itulah sebabnya Allah berfirman dalam ayat ini. Begitu juga di dalam masalah aqidah. Mereka memiliki tuhan yang berbeda-beda. Keyakinan mereka terhadap suatu patung berbeda dengan keyakinan terhadap patung yang lain. Dan mereka selalu dalam kondisi yang kontradiktif.([11])
Allah berfirman dengan menggunakan kata (لَفِي) maknanya adalah ‘sungguh-sungguh dalam’ yang memiliki faedah penekanan atau penguatan. Artinya seakan-akan perselisihan atau pendapat mereka yang kontradiktif selalu melazimi dan tidak pernah lepas dari mereka.([12])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ أُفِكَ
“Dipalingkan darinya (Al-Qur’an dan Rasul) orang yang dipalingkan.” (QS. Adz-Dzariyat: 9)
Maksud dari ayat ini adalah orang-orang musyrikin dipalingkan dari kebenaran. Mereka dipalingkan dari memahami Al-Qur’an, padahal Al-Qur’an selalu dibacakan oleh Nabi dan para sahabat. Disamping itu, Al-Qur’an juga berbahasa arab, yang mereka mengerti dengan baik bahasa tersebut. Seandainya Al-Qur’an dibacakan, tentu mereka lebih paham dari pada banyak orang Islam yang tidak bisa berbahasa Arab, karena kaum musyrikin Arab paham betul tentang keindahan dan penunjukan kata-kata dalam bahasa arab. Akan tetapi, dengan kelebihan itu semua, mereka dipalingkan dari kebenaran. Sehingga mereka tidak mau beriman dengan Al-Qur’an.
Maka dari itu, antara mereka sering kali saling saling berwasiat agar jangan sampai mendengar al-Qurán, sebagaimana Allah sebutkan di dalam firmanNya,
وَقالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لا تَسْمَعُوا لِهذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
“Dan orang-orang yang kafir berkata, “Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Al-Qur’an ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mendominasinya.” (QS. Fushshilat: 26)
Artinya ada sesuatu yang benar-benar nyata berada di atas kebenaran, namun mereka tidak beriman. Karena, sejatinya mereka telah dipalingkan. Hal ini sangat benar adanya dan sudah menjadi suatu kejadian yang nyata terjadi pada seseorang. Dia telah mengetahui bahwa ada sesuatu hal yang merupakan kebenaran, akan tetapi hatinya dipalingkan dan tidak mau beriman. Begitulah sikap orang-orang kafir terhadap Rasulullah, ([13])
يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ أُفِكَ
“Dipalingkan darinya (Al-Qur’an dan Rasul) orang yang dipalingkan.”
Sebagian ulama mengatakan kata ganti (عَنْهُ) “dari-nya” bermakna ‘dari Al-Qur’an’. Artinya mereka dipalingkan dari beriman kepada Al-Qur’an. Ada juga ulama yang menafsirkannya ‘dari Nabi Muhammad’. Artinya mereka benar-benar tahu tentang kebenaran Nabi Muhammad dan apa yang dibawanya. Bahwa beliau adalah pribadi yang jujur, bahkan mereka memberikan gelar Al-Amin. Seandainya, beliau mau mengikuti kemauan mereka, tentu beliau-lah yang akan menjadi pemimpin di negeri Mekah dan kabilah Quraisy. Mereka tahu nasab beliau yang mulia, kakek beliau yang merupakan penguasa Makkah, kejujurannya dan semuanya menunjukkan kesempurnaan pada diri Nabi Muhammad. Akan tetapi, mereka dipalingkan dari beriman kepada beliau.([14])
Kondisi mereka ini mirip dengan kondisi orang-orang munafik. Sejatinya, tidak ada yang kurang bagi mereka, seluruh sebab-sebab untuk beriman telah hadir di hadapan mereka. Mereka hidup di zaman Nabi, melihat diri dan akhlak beliau, mendengar shalat dan khutbah beliau dan melihat langsung mukjizat yang dimiliki oleh beliau. Akan tetapi, mereka sama sekali tidak beriman kepada beliau.
يُؤْفَكُ عَنْهُ مَنْ أُفِكَ
“Dipalingkan darinya (Al-Qur’an dan Rasul) orang yang dipalingkan.”
Hal ini menunjukkan bahwa hidayah hanya ada di tangan Allah. Mungkin seorang muslim akan berpikir, “Bagaimana mungkin ada seseorang yang melihat Nabi dengan mata kepalanya sendiri, namun dia tidak beriman kepada beliau?”. Namun inilah yang terjadi terhadap orang-orang munafik dan orang-orang musyrik. ([15])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قُتِلَ الْخَرَّاصُونَ
“Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta.” (QS. Adz-Dzariyat: 10)
Kata (الْخَرَّاصُونَ) dari kata (الْخَرْص) artinya adalah menduga-duga. Artinya mereka selain disebut dengan sebutan pendusta, Allah juga menyebut mereka dengan penduga-duga. Karena seluruh keyakinan yang mereka miliki adalah dugaan semata, tidak ada yang pasti. Tatkala mereka menyebut ‘Muhammad adalah orang gila’ atau ‘penyair’, sebenarnya itu adalah dugaan mereka saja dan tidak ada yang pasti. Begitu juga halnya keyakinan mereka terhadap berhala, itu juga merupakan dugaan mereka. Kemudian, mereka berusaha memastikan dugaan-dugaan tersebut yang pada hakekatnya tidak ada bukti ataupun dalilnya sama sekali.
إِنْ يَتَّبِعُون َإِلاَّ الظَّنَّ
“Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan.” (QS. An-Najm: 28)
Keyakinan mereka tidak dibangun diatas dalil dan argumentasi yang kuat, tetapi hanya sekedar dugaan. Apa saja yang mereka katakan tentang Nabi Muhammad, hari kiamat dan Al-Qur’an, pasti itu hanya berupa dugaan belaka. Maka dari itu, dengan ayat ini Allah mencela mereka, ([16])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
الَّذِينَ هُمْ فِي غَمْرَةٍ سَاهُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang terbenam dalam kebodohan dan kelalaian.” (QS. Adz-Dzariyat: 11)
Orang-orang kafir sibuk dalam kebodohan mereka, sehingga mengakibatkan mereka lalai dari beriman kepada kebenaran. ([17])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَ أَيَّانَ يَوْمُ الدِّينِ. يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُونَ
“Mereka bertanya, “Kapankah hari pembalasan itu? (Hari pembalasan itu ialah) pada hari (ketika) mereka diazab di dalam api neraka.” (QS. Adz-Dzariyat: 12-13)
Mereka lebih sering sesumbar kepada Nabi Muhammad dengan berkata: “Kapankah hari kiamat?”. Engkau telah mengatakan adanya surga dan neraka, yaumul hisab (hari perhitungan), hari kebangkitan, kapan itu terjadi?” Maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan berfirman:
يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُونَ
“(Hari pembalasan itu ialah) pada hari (ketika) mereka diazab di dalam api neraka.”
Orang-orang kafir mengejek Rasulullah dengan bertanya kapan terjadi hari kiamat. Maka, ayat ini menjawab pertanyaan tersebut sekaligus sebagai ejekan bagi mereka. Maksudnya hari kiamat akan datang, tatkala orang-orang kafir dibakar di api neraka. Seakan-akan Allah berkata kepada mereka: “Hari kiamat itu akan datang tatkala kalian diazab di dalam api neraka.” ([18])
Ayat ini menunjukkan bahwa Rasulullah tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Namun, ada sebagian orang pada zaman sekarang ini berani memprediksikan akan terjadinya hari kiamat. Seperti dengan mengatakan bahwa tiga tahun dajjal akan muncul dan lain sebagainya. Jika, hal itu benar terjadi dan dajjal akan muncul tiga tahun yang akan datang. Lalu, Nabi Isa turun di dunia dan hidup selama tujuh tahun. Jadi, sepuluh tahun lagi akan tiba hari kiamat.
Subhanallah, ini merupakan perbuatan nekat dengan memprediksikan waktu terjadinya hari kiamat. Hendaknya, bagi setiap orang yang beriman berhati-hati dengan masalah ini. Hendaknya dia memilih majlis ilmu yang benar-benar mengikuti petunjuk yang kuat yang bersumber kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah. Dan jangan asal memilih majlis ilmu, yang sejatinya tidak sepenuhnya bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena, ada sebagian juru dakwah yang mendadak menjadi paranormal. Mereka mulai berani meramal hal yang bermacam-macam, namun pada hakekatnya dusta dan tidak ada yang benar. Padahal, pada tahun-tahun sebelum mereka, tidak ada seorangpun yang berani meramal seperti halnya perbuatan mereka. Dan menjadi hal yang sangat disayangkan adalah tidak adanya orang-orang yang mengumpulkan ramalan-ramalan mereka ini. Seandainya ada yang mengumpulkannya, lalu ramalan tersebut diungkap satu per satu. Maka, setiap orang akan mengetahui jati diri orang-orang yang merasa pandai dalam meramal masalah itu, bahwa pada hakekatnya mereka ini adalah para pendusta. Perbuatan mereka hanya menimbulkan kegelisahan banyak orang; karena ramalannya tidak bisa dipertanggung jawabkan. Masalah ini menjadi kabar yang menyebar di telinga banyak orang. Sehingga sebagian orang menamakan ilmu mereka dengan metode ilmu cocokologi. Yaitu sebuah istilah yang berarti proses mencocok-cocokkan sesuatu. Jadi, hendaknya seorang mukmin berhati-hati dengan masalah ini.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
ذُوقُوا فِتْنَتَكُمْ هَذَا الَّذِي كُنْتُمْ بِهِ تَسْتَعْجِلُونَ
“(Dikatakan kepada mereka), “Rasakanlah azabmu ini. Inilah azab yang dahulu kamu minta agar disegerakan.” (QS. Adz-Dzariyat: 14)
Dahulu orang-orang musyrikin selalu sesumbar dengan bertanya tentang adzab dan kapan terjadinya hari kiamat. Perkataan merekapun diabadikan dalam firman Allah,
فَأْتِنا بِما تَعِدُنا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Maka buktikanlah ancamanmu kepada kami, jika kamu benar! (QS. Al-A’raf: 70)
Mereka juga mengatakan,
فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ من الْمُرْسَلِيْنَ
“Maka buktikanlah ancamanmu kepada kami, jika kamu utusan Allah!”([19])
Mereka sering meminta agar disegerakan adzab bagi mereka,
يَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذابِ وَإِنَّ جَهَنَّمَ لَمُحِيطَةٌ بِالْكافِرِينَ
“Mereka meminta kepadamu agar segera diturunkan azab. Dan sesungguhnya neraka Jahanam itu pasti meliputi orang-orang kafir.” (QS. Al-Ankabut: 54)
وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ هَذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika (Al-Qur’an) ini benar (wahyu) dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih.” (QS. Al-Anfal: 32)
Ayat-ayat diatas menggambarkan bentuk-bentuk sesumbar mereka. Akan tetapi, Allah tidak menurunkan adzab bagi mereka; karena akan tiba masanya Allah menurunkan adzab bagi mereka. Jika setiap orang bermaksiat kepada Allah, lalu diturunkan adzab baginya seketika itu pula. Atau jika setiap orang tidak mau beriman kepada Allah, lalu binasa saat itu pula. Maka, tidak akan ada ujian di dalam kehidupan ini. Karena, sejatinya manusia diciptakan dan hidup di muka bumi ini untuk diuji. Dan hal ini termasuk bentuk keimanan kepada hal yang ghaib.([20])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air.” (QS. Adz-Dzariyat: 15)
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwanya surga berkaitan dengan orang-orang yang bertaqwa. Hal yang demikian banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Seperti di dalam firman Allah,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)
Allah telah menyiapkan surga bagi orang-orang yang bertaqwa. Taqwa secara bahasa memiliki arti penghalang. Adapun secara istilah memiliki arti:
أَنْ تَجْعَلَ بَيْنَكَ وَبَيْنَ سَخَطِ اللهِ وِقَايَةً بِأَنْ تَتَحَامَى أَسْبَابَ خِذْلَانِهِ فِي الدُّنْيَا وَعَذَابِهِ فِي الْآخِرَةِ
“Engkau menjadikan penghalang antara engkau dengan kemurkaan Allah dengan menghindari sebab-sebab yang dapat mendatangkan kehinaan di dunia dan adzab akhirat.”([21])
Orang bertaqwa adalah orang yang menjadikan penghalang antara dirinya dengan adzab Allah yaitu neraka Jahannam. Hendaknya seorang mukmin sebisa mungkin membuat penghalang antara dirinya dengan neraka Jahannam. Jika dia telah melakukan itu, maka dia telah sungguh-sungguh bertaqwa kepada Allah. Hendaknya dia selalu berusaha untuk bertaqwa kepada Allah di dalam kehidupan ini, baik ketika berada di depan umum atau bersama keluarga atau bepergian ataupun sendirian. Hendaknya dirinya berusaha menjadi seperti pribadi yang disabdakan oleh Rasulullah,
اتَّقِ اللهَ حَيْثُمَا كُنْتَ
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada.” ([22])
Allah hanya menyiapkan surga bagi orang-orang yang bertaqwa. Hendaknya setiap orang menjauhi segala perkara yang dia ketahui dapat mendekatkan dirinya kepada neraka Jahannam. Janganlah mencoba nekat untuk mendekatinya. Zaman sekarang adalah zaman fitnah, banyak hal-hal yang dapat mendekatkan seseorang kepada neraka Jahannam. Apalagi, setiap orang memiliki alat komunikasi sejenis smartphone, lalu dia dalam keadaan sendirian, apalagi dia belum menikah, maka dia bisa melakukan apa saja tanpa sepengetahuan orang lain.
Bentuk ketaqwaan bukan hanya di masjid dengan mengikuti pengajian atau melangkahkan kaki menuju masjid. Akan tetapi, ketaqwaan juga tatkala seseorang dalam keadaan sendirian, baik di rumah ataupun di kamar. Karena surga hanya Allah siapkan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
آخِذِينَ مَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ
“Mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Adz-Dzariyat: 16)
Para ulama menafsirkan (آخِذِينَ) “mengambil” dengan dua makna. Pertama, adalah makna hakiki yaitu mengambil. Artinya banyak sekali yang diambil oleh penghuni surga ketika berada di dalam surga, seperti buah-buahan, makanan, bidadari dan lain sebagianya. Ada juga kenikmatan lainnya yang tidak diambil dengan tangan. Terdapat kenikmatan-kenikmatan yang dilihat ataupun didengar dengan begitu indah oleh penghuni surga. Kedua, makna dari “mengambil” adalah menerima dengan ridha, suka dan puas dengan semua pemberian Allah. Di dalam surga kelak penghuni surga merasakan segala bentuk kepuasan, tidak ada penghuni surga yang tidak puas dengan kenikmatan yang Allah berikan kepada penghuni surga. ([23])
Manusia ketika berada di dunia sering merasa tidak puas, seperti ketika dia mengeluarkan banyak uang untuk membeli mobil, rumah atau menikahi seseorang, ternyata kecewa dengan kekurangan atau cacatnya. Berbeda dengan kondisi di akhirat, mereka akan merasakan segala kepuasan. Apapun yang diberikan oleh Rabb mereka, apapun yang dirasakan oleh penghuni surga, pasti mendatangkan kepuasan. Semua hal yang diinginkan, baik berupa makanan, minuman, pendengaran, penglihatan, pembicaraan atau apapun itu, maka mereka akan merasakan kepuasan.
إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ
“Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik.”
Sebab penghuni surga memperoleh semua kepuasan kenikmatan yang ada di dalam surga adalah karena dahulu ketika di dunia termasuk orang-orang yang berbuat baik (ihsan).([24])
Ihsan mencakup dua hal. Yaitu ihsan kepada Allah dan ihsan kepada makhluk. Pertama, Ihsan kepada Allah. Maksudnya adalah menjalin hubungan baik dengan Allah, sebagaimana Rasulullah ketika didatangi malaikat Jibril lalu bertanya tentang islam dan imam, lalu berkata:
فَأَخْبِرْنِي عَنِ الْإِحْسَانِ، قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Kabarkanlah kepadaku apa itu ihsan?” Beliau bersabda: Engkau menyembah Allah, seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” ([25])
Hadits ini memiliki beberapa faedah yang diantaranya menjadi isyarat bahwa Allah bisa dilihat oleh hamba-hambaNya pada hari kiamat kelak.
Para ulama mengatakan bahwa derajat orang-orang yang beriman ada tiga. Pertama, adalah islam. Merupakan derajat yang paling rendah. Kedua, adalah iman. Merupakan derajat yang lebih tinggi dari islam. Ketiga, adalah ihsan. Yaitu derajat yang paling tinggi diatas islam dan iman.
Sesungguhnya seorang hamba yang telah mencapai derajat ihsan, tatkala beribadah kepada Allah. Maka, dia merasakan seakan-akan melihat Allah. Hal itu disebabkan; karena iman dan keyakinannya yang kuat kepada Rabb-nya, dia sangat merindukan dan mencintai Allah, dia merasakan begitu agungnya Dzat-Nya, hingga seakan-akan dia melihat Allah di hadapannya dan berbicara denganNya di dalam shalatnya. Dia memang tidak melihat Allah. Akan tetapi, seakan-akan dia melihatNya. Bisa dibayangkan, jika seseorang shalat dalam kondisi seperti ini, maka dia akan melaksanakan shalatnya dengan khusyu’.
Namun, jika seorang hamba tidak mampu dalam tahapan seakan-akan Allah melihatnya di dalam ibadah. Maka, hendaknya dia yakin bahwa Allah melihatnya. Mungkin ada seseorang yang tidak mampu untuk mencapai tahapan tersebut disebabkan lemahnya iman pada dirinya atau kurangnya pengagungan dirinya kepada Allah. Maka, dia bisa meraih tahapan berikutnya, yaitu meyakini bahwa Allah melihatnya setiap kali dia melaksanakan ibadah kepadaNya. Mungkin, banyak sekali orang yang mampu melakukan tahapan ini.
Hendaknya seorang mukmin selalu menghadirkan dalam dirinya muraqabah (Allah selalu mengawasi hambaNya). Jika seseorang selalu merasa diawasi oleh Allah. Maka, dia akan selalu ikhlas di dalam ibadahnya, di dalam shalat dia selalu khusyu’, karena dia yakin Allah sedang melihatnya di dalam rukuknya maupun sujudnya. Allah berfirman,
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ. الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ. وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang). Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. Asy-Syu’ara’: 217-219)
Artinya seseorang ketika berdiri melaksanakan shalat, dia merasa dilihat oleh Allah. Atau ketika dia berbakti kepada orang tuanya, dia merasa dilihat oleh Allah. Atau tatkala dia sedang berbuat baik kepada istrinya dan anaknya, bersedekah kepada orang-orang fakir lagi miskin, membantu orang lain ataupun berdakwah, maka dia selalu merasa bahwa Allah sedang melihatnya.
Biasanya, orang-orang yang memiliki tipe seperti ini, yang menjadi tujuan utamanya hanya penilaian Allah terhadap dirinya. Dari sebab itulah, dia akan terhindar dari riya’. Dan sebaliknya, setiap kali dia kehilangan perasaan tersebut, maka akan dengan mudah pula dia akan terserang penyakit hati yang berupa riya’. Dia mulai mendengarkan apa yang dikatakan orang-orang terhadapnya.
Jadi, hendaknya setiap orang selalu berusaha untuk mencapai derajat ihsan. Jika dia tidak mampu merasa seakan-akan melihat Allah, maka hendaknya dia yakin bahwa Allah selalu melihatnya. Inilah yang dimaksud dengan derajat ihsan yang berkaitan dengan hubungan antara seorang hamba terhadap Allah.
Kedua, ihsan kepada makhluk. Maksudnya adalah menjalin hubungan baik dengan sesama makhluk. Seorang hamba hendaknya selalu berbuat yang terbaik kepada makhluk-makhluk Allah, seperti bersedekah, membantu dengan bantuan fisik, materi maupun pikiran, bertutur kata yang baik, memberikan senyuman, atau segala hal baik yang diberikan kepada makhluk-makhlukNya. Bahkan, kepada hewan sekalipun. Jika seorang hamba berbuat baik kepada hewan atau makhluk hidup lainnya, maka hendaknya dia selalu mengedepankan ihsan kepada sesama makhluk. Dan inilah diantara bentuk ihsan terhadap makhluk Allah. ([26])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam.” (QS. Adz-Dzariyat: 17)
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan diantara contoh bentuk ihsan yang paling baik dan mulia dalam beramal shaalih kepada Allah adalah dengan mendirikan shalat malam. Orang-orang yang berbuat ihsan dalam beramal shalih memiliki sifat hanya sedikit sekali tidurnya pada waktu malam.([27])
Ayat ini memiliki dua penafsiran. Penafsiran pertama, yaitu mereka hanya memiliki waktu yang sedikit untuk meletakkan lambung mereka diatas tempat tidur. Artinya sedikit sekali waktu mereka untuk tidur di waktu malam; karena mereka menghabiskan waktunya untuk mendirikan shalat malam. Allah tidak menyebutkan ‘mereka shalat malam’. Akan tetapi, Allah menyebutkan ‘mereka sedikit tidurnya di waktu malam’ akan tetapi maksudnya yaitu mereka kurang tidur karena waktu malam mereka habis untuk shalat malam.([28]). Allah menyebutkannya dengan “kurang tidur”; karena seorang hamba yang mendirikan shalat malam, tentu harus berjuang melawan rasa kantuknya dan meninggalkan kelezatan berbaring di atas tempat tidur. Apalagi, disaat musim dingin dimana keinginan untuk tidur sangat kuat. Seperti halnya seseorang yang tinggal di suatu negara yang memiliki empat musim, seperti negara Saudi atau Eropa. Musim dingin adalah musim yang sangat lezat dan mengenakkan untuk tidur.
Akan tetapi, seorang hamba yang sungguh-sungguh untuk menggapai hubungan baiknya terhadap Allah. Maka mereka akan berusaha meninggalkan kelezatan tidur tersebut hanya untuk bermunajat kepada Allah. Inilah gambaran bagi seorang hamba yang ihsan.
Penafsiran yang kedua, yaitu pada malam hari mereka memiliki waktu untuk mendirikan shalat malam, meskipun sedikit. Mereka selalu meluangkan waktu mereka dan merutinkan untuk mendirikan shalat malam di saat manusia terlelap dalam tidurnya. Meskipun waktu tersebut hanya sebentar saja, mereka tetap mendirikan shalat malam.([29])
Hendaknya seorang mukmin selalu mendirikan shalat malam. Bagaimanapun keadaannya, hendaknya selalu berusaha untuk tidak meninggalkan shalat tersebut. Senantiasa mendirikan shalat malam setiap malamnya. Bahkan, meskipun hanya satu rakaat. Agar dia termasuk orang-orang yang Allah sebutkan di dalam ayat ini.
Amalan ini termasuk amalan yang membutuhkan perjuangan. Dengan melawan rasa kantuk, hendaknya seseorang berusaha mendirikan shalat malam, meskipun hanya beberapa menit saja. Inilah penafsiran kedua yang menunjukkan bahwa amalan tersebut lebih ringan daripada amalan menurut penafsiran yang pertama.
Bisa jadi, ada sebagian orang akan mengeluhkan amalan tersebut. Dimana menurut anggapan mereka amalan itu adalah amalan yang sangat berat dilakukan. Apalagi, jika dibenturkan dengan masalah pencahariannya untuk mencari nafkah. Sangat sulit bagi mereka untuk menerapkan ayat ini, ditambah lagi mereka berada di zaman sekarang dengan keadaan yang menuntut mereka dengan berbagai kesibukan dunia. Namun, sejatinya itu tidak menjadi penghalang bagi mereka. Hendaknya kapanpun seseorang mendapati waktu untuk mengerjakan shalat malam, maka hendaknya dia lekas untuk mengerjakannya. Seperti misalnya ketika dia mendapati hari libur dari pekerjaannya sehari-hari. Dia bisa mengatur dan memanfaatkan waktu tersebut untuk mengerjakan shalat malam. Jadi, selama dia mendapatkan kesempatan shalat malam, maka dia lekas mengerjakannya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan pada akhir malam mereka memohon ampunan (kepada Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 18)
Diantara para ulama menyebutkan bahwa istighfar (memohon ampun) di waktu sahur memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, amalan itu lebih utama dari pada membaca Al-Qur’an di tesebut. Ayat ini masih berkaitan dengan ayat sebelumnya. Allah menyebutkan sifat-sifat orang yang selalu berbuat ihsan, dimana mereka selalu bangun di waktu malam yang panjang untuk menunaikan shalat malam hingga waktu sahur. Kemudian, di waktu sahur ini mereka beristighfar kepada Allah.([30])
Bayangkan, setelah mereka shalat malam, bukannya mereka merasa sombong dan angkuh. Akan tetapi, mereka malah beristighfar. Karena mereka sadar bahwasanya di dalam shalat malam yang mereka kerjakan penuh dengan kekurangan dan belum bisa membalas dengan ungkapan syukur yang seharusnya kepada Allah. Mereka tahu bahwa shalat malam yang mereka kerjakan benar-benar karunia dari Allah([31]). Disisi yang lain, sejatinya seseorang sangat mudah sekali terjangkiti penyakit ‘ujub jika dia sering melakukan shalat malam. Terutama, jika dia tinggal bersama banyak orang. Ketika dia terbangun di tengah malam, sedangkan semua orang yang berada di sekitarnya masih terlelap tidur. Maka, akan timbul perasaan bahwa dia termasuk orang-orang yang dipilih oleh Allah. Bisa saja syaithan membisikkan sesuatu dan menyesatkan seorang hamba kepada kehinaan. Saat itulah dia mudah sekali tertimpa penyakit ‘ujub. Maka dari itu, untuk menghilangkan itu semua, hendaknya dia beristighfar kepada Allah setelah mendirikan shalat malam.
Seperti yang telah diketahui oleh banyak orang bahwa dzikir yang paling utama adalah membaca Al-Qur’an. Akan tetapi, pada waktu-waktu tertentu ada dzikir yang paling utama selain membaca Al-Qur’an sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah. Contohnya adalah seperti dzikir ketika memasuki waktu pagi dan petang. Meskipun membaca Al-Qur’an adalah dzikir terbaik. Tetapi ketika tiba waktu pagi atau petang, membaca dzikir khusus yang dibaca pada waktu tersebut menjadi dzikir yang paling utama dari pada membaca Al-Qur’an. Begitu juga halnya dengan masalah ini, membaca Al-Qur’an di sepanjang malam adalah amalan yang terbaik. Akan tetapi, jika telah tiba waktu sahur, hendaknya diluangkan waktunya untuk membaca istighfar.
Dikisahkan bahwa ketika anak-anak Nabi Ya’qub bertaubat dari berbuat salah kepada saudara mereka Nabi Yusuf, mereka meminta ayah mereka untuk memohonkan ampunan kepada Allah.
قالُوا يَا أَبانَا اسْتَغْفِرْ لَنا ذُنُوبَنا إِنَّا كُنَّا خاطِئِينَ
“Mereka berkata, “Wahai ayah kami! Mohonkanlah ampunan untuk kami atas dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang yang bersalah (berdosa).” (QS. Yusuf: 97)
Maka Nabi Ya’qub-pun menjawab,
قالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّي إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Dia (Yakub) berkata, “Aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sungguh, Dia Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Yusuf: 98)
Dalam Bahasa arab kata (سَوْفَ) memiliki makna ‘akan’ dan menunjukkan tempo waktu yang lama. Para ulama menyebutkan bahwa seakan-akan Nabi Ya’qub mengisyaratkan nanti pada waktu sahur beliau akan memanjatkan permohonan anak-anak mereka. Beliau sengaja memilih waktu yang tepat untuk ber-istighfar, yaitu pada waktu sahur. ([32])
Perbuatan Nabi Ya’qub ini menunjukkan ihsan yang terbaik. Jika seseorang ingin membuktikan hubungan baiknya dengan Allah, hendaknya dia melaksanakan shalat malam. Karena di saat itulah, dia sungguh-sungguh mampu berusaha untuk menghadirkan diri bahwasanya seakan-akan dia sedang melihat Allah. Atau jika tidak mampu maka ia menghadirkan dalam hati bahwasanya Allah sedang melihatnya. Disamping itu, pada waktu tersebut merupakan waktu orang-orang sedang terlelap tidur dan tidak ada satupun yang melihatnya mendirikan shalat malam. Saat itu pula dia mampu untuk mempraktekan ihsan. Allah memberikan contoh untuk membuktikan ihsan seorang hamba adalah dengan shalat malam. Dan itulah contoh yang paling tepat untuk diamalkan oleh seorang hamba.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَفِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan pada harta benda mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak meminta.” (QS. Adz-Dzariyat: 19)
Ayat ini menjelaskan salah satu bentuk ihsan terhadap makhluk. Seorang mukmin hendaknya mengetahui bahwa pada hartanya ada hak-hak yang harus dia tunaikan kepada (السَّائِلِ) orang yang meminta-minta dan (الْمَحْرُومِ) adalah orang yang tidak meminta-minta, akan tetapi membutuhkan. Contoh (الْمَحْرُومِ) adalah sebagaimana yang dijelaskan di dalam firman Allah,
لِلْفُقَراءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْباً فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجاهِلُ أَغْنِياءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيماهُمْ لا يَسْئَلُونَ النَّاسَ إِلْحافاً وَما تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah, sehingga dia yang tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 273)
Yaitu orang yang membutuhkan, namun orang-orang menyangka bahwa dia tidak membutuhkan atau bahkan mereka menyangka bahwa dia adalah orang kaya; karena tidak pernah meminta-meminta padahal dalam kondisi kekurangan([33]). Maka, bagi seseorang yang memiliki kelebihan harta, hendaknya mencari orang-orang yang seperti ini. Ciri-ciri mereka dapat dikenal dari raut wajah mereka, mungkin saja mereka adalah orang-orang yang selalu berdoa kepada Allah dengan khusyu’ hingga meneteskan air mata. Hendaknya seseorang memiliki kepekaan terhadap kondisi orang-orang di sekitarnya yang membutuhkan, terutama kepada kawan-kawannya, melihat dan bertanya keadaannya. Hendaknya pula dia selalu menjaga harga diri mereka yang membutuhkan bantuannya dengan membuat mereka tidak perlu mendatangi rumahnya. Namun, dia yang mendatangi rumah mereka. Ini merupakan perbuatan yang sangat mulia lagi terpuji.
Pada ayat ini Allah menyebutkan diantara bentuk ihsan adalah ketika seseorang mendapati dirinya yang sangat cinta terhadap hartanya, namun dia rela melawan kecintaannya tersebut demi meraih kecintaannya kepada Allah dengan menyedekahkan harta yang dia cintainya kepada orang-orang yang membutuhkan.([34])
Sebuah nasehat untuk kaum muslimin. Bahwa seseorang perlu berlatih diri untuk bersedekah. Jika dia tidak berlatih dan membiasakan diri, maka dia akan dihinggapi rasa pelit yang melilit hingga meninggal dunia. Berapapun harta yang dia punya, hendaknya dia berusaha untuk menyedekahkan sebagiannya. Meskipun hal itu meninggalkan rasa berat di dalam hati, hendaknya dia melawan dengan sungguh-sungguh hawa nafsu yang menggelayutinya dan merelakan harta yang dia sedekahkan. Jika dia berlatih membiasakan satu kali, dua kali dan seterusnya, maka dengan izin Allah dia akan menjadi pribadi yang dermawan. Dan Allah akan membalasnya dengan memberi rizki dari arah yang tidak terduga. Jadi, hawa nafsu yang menahan diri seseorang ketika hendak bersedekah harus dilawan. Begitu juga halnya ketika dia hendak mendirikan shalat malam, rasa kantuk yang memberatkannya harus dilawan.
Setelah dia melatih diri untuk mengerjakan shalat malam atau bersedekah, hendaknya dia tetap membiasakan dirinya dalam ibadah tersebut hingga dia berada dalam kondisi ketika dia tidak mengerjakan shalat malam, maka dia merasakan hambar di siang harinya; karena pada malam harinya dia tidak mengerjakan shalat malam. Jika dia telah merasakan hal seperti ini, maka itu menjadi pertanda suatu kebaikan bagi dirinya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَفِي الْأَرْضِ آيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ
“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin.” (QS. Adz-Dzariyat: 20)
Ayat ini menjelaskan bahwa banyak sekali tanda-tanda kebesaran Allah di muka bumi ini. Seseorang bisa melihat ciptaan Allah yang begitu agung, seperti keajaiban-keajaiban tumbuh-tumbuhan, hewan, sungai, lautan dan seluruh ciptaan Allah di bumi ini yang bisa dilihat oleh manusia. Dan yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang beriman bahwasanya alam semesta ini ada penciptanya. Tidak mungkin alam semesta ini berjalan tanpa ada yang mengaturnya.([35])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَفِي أَنْفُسِكُمْ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” (QS. Adz-Dzariyat: 21)
Ayat ini menjelaskan kehebatan dan keagungan ciptaan Allah di alam semesta ini, khususnya di dalam tubuh manusia. Jika membicarakan tentang keadaan orang-orang tempo dulu, dimana hidup mereka jauh dari teknologi atau alat-alat canggih dalam ilmu medis. Mereka hanya mampu mengetahui bagaimana proses penciptaan manusia. Dari setetes air mani yang bertemu dengan ovum di dalam rahim wanita, lalu menjadi janin, kemudian bertahap menjadi bayi. Setelah itu bayi tersebut dilahirkan ke dunia. Seorang bayi yang tidak mampu berbuat apapun, lalu dia merangkak dan tumbuh besar hingga dia bisa berfikir dan menjadi manusia yang cerdas dan gagah. Setelah melewati tahap itu dia mulai menua dan melemah kekuatan tubuhnya. Hal ini menunjukkan salah satu contoh dari ciptaan Allah. Yang demikian itu menunjukkan bahwa semua perubahan-perubahan yang ada di alam semesta ini ada yang mengaturnya.
Apabila membicarakan zaman sekarang, maka zaman semakin maju dan canggih lagi, dimana banyak sekali teknologi dan alat canggih yang ditemukan para ilmuwan. Mereka bisa melihat kecanggihan ciptaan Allah berupa indera mata yang diberikan kepada manusia. Betapa banyak saraf yang terdapat pada mata seseorang. Jika satu saraf saja terputus, maka akan ada banyak hal yang terganggu di dalam pandangannya. Ada sebagian orang mengalami buta warna. Mereka tidak mampu melihat warna-warna tertentu; karena salah satu saraf mata yang berkaitan dengan warna tersebut bermasalah. Ada juga sebagian orang yang apabila di siang hari tidak mampu melihat dengan jelas ataupun sebaliknya dan beberapa masalah-masalah lainnya.
Begitu juga halnya, jika berbicara tentang kecanggihan ciptaan Allah berupa jantung, maka dia akan melihat kehebatan pada ciptaan Allah. Bisa jadi seseorang bertanya kepada dokter atau ilmuwan ahli dalam membahas anatomi tubuh manusia tentang hebatnya tubuh manusia, maka dia akan menemukan kehebatan-kehebatan lain dari ciptaan Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
وَفِي السَّمَاءِ رِزْقُكُمْ وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS. Adz-Dzariyat: 22)
Ada dua pendapat di kalangan para ulama berkaitan dengan makna dalam ayat ini. Pertama, yang dimaksud rizki di dalam ayat ini adalah hujan yang Allah turunkan dari langit,
هُوَ الَّذِي يُرِيكُمْ آياتِهِ وَيُنَزِّلُ لَكُمْ مِنَ السَّماءِ رِزْقاً
“Dialah yang memperlihatkan tanda-tanda (kekuasaan)-Nya kepadamu dan menurunkan rezeki dari langit untukmu.” (QS. Ghafir: 13)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menurunkan rezeki dari langit berupa hujan. Dan dengan hujan tersebut muncul rezeki-rezeki yang lain. Seandainya bumi ini hidup tanpa hujan, maka, manusia tidak akan mendapatkan rezeki. Banyak jalan-jalan rezeki akan tertutup ketika hujan tidak diturunkan sedikitpun oleh Allah. Maka, sumber utama rezeki yang ada di bumi adalah turunnya hujan dari langit. ([36])
Kedua, ayat tersebut memiliki makna bahwa rezeki manusia sudah di takdirkan oleh Allah. Rezeki seseorang tidak akan tertukar dengan rezeki yang lain. Seorang hamba hanya berusaha, akan tetapi rezeki yang telah diturunkan kepadaNya telah ditakdirkan oleh Allah. Jadi, seseorang tidak akan makan rezeki orang lain. ([37])
وَمَا تُوعَدُونَ
“Dan apa yang dijanjikan kepadamu.”
Demikian juga apa yang dijanjikan kepada manusia berupa surga yang ada di langit. Ayat ini menjadi dalil pula bahwa surga berada di langit. Wallahu a’lam.([38])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَوَرَبِّ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ إِنَّهُ لَحَقٌّ مِثْلَ مَا أَنَّكُمْ تَنْطِقُونَ
“Maka demi Tuhan langit dan bumi, sungguh, apa yang dijanjikan itu pasti terjadi seperti apa yang kamu ucapkan.” (QS. Adz-Dzariyat: 23)
Sesungguhnya apa saja yang dijanjikan Allah di dalam firmanNya benar-benar ada dan pasti akan terjadi. Hari kiamat pasti terjadi, surga pasti ada, adzab neraka pasti ada dan kebenaran itu semua ‘seperti apa yang kamu ucapkan’. Artinya jika seseorang berbicara, maka dia yakin bahwa dia sedang berbicara tanpa ada keraguan sama sekali. Maka, keyakinan itu sama dengan keyakinan terhadap kebenaran semua yang telah dijanjikan Allah baik berupa hari kiamat, surga ataupun neraka Jahannam. Allah tidak menyebutkan kebenaran hari kiamat, surga dan neraka sebagaimana apa yang dilihat atau didengar manusia. Karena penglihatan bisa terhalang dan pendengaran bisa terganggu. Namun, jika seseorang berbicara, maka dia tahu apa yang telah dibicarakannya. Dan dia tidak merasakan keraguan sama sekali saat dia sedang berbicara. Sebagaimana seseorang yakin dan tidak ragu ketika berucap, maka hendaknya dia yakin pula bahwa hari kiamat, surga dan neraka benar adanya tanpa adanya keraguan sedikitpun.([39])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَاهِيمَ الْمُكْرَمِينَ
“Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan?” (QS. Adz-Dzariyat: 24)
Kisah Tamu Nabi Ibrahim
Ayat ini menjelaskan tentang kisah tamunya Nabi Ibrahim yang mulia. Tamu-tamu yang datang ke rumah Nabi Ibrahim adalah para malaikat yang menjelma menjadi para lelaki yang sangat tampan. Mereka datang kepada beliau hanya sekedar singgah saja, karena tujuan mereka sebenarnya adalah untuk pergi kepada kaum Nabi Luthh dan mendatangkan adzab bagi pelaku homoseksual. Akan tetapi sebelum mereka sampai kepada kaumnya Nabi Luthh, mereka singgah terlebih dahulu ke rumah Nabi Ibrahim untuk beberapa waktu.([40])
Ada yang mengatakan bahwa para malaikat tersebut adalah malaikat Jibril, Mikail dan malaikat lainnya. Tidak ada dalil yang jelas dan tegas mengenai hal tersebut. Namun, intinya adalah tamu yang mendatangi Nabi Ibrahim adalah sekelompok malaikat. Allah menamakan mereka dengan ‘Al-Mukromin’ maknanya adalah tamu-tamu yang mulia. Sebagian ulama berbeda penafsiran dalam hal ini. Pertama, mulia karena mereka adalah malaikat. Tentunya malaikat adalah makhluk yang mulia; karena diantara sifat-sifat mereka adalah tidak pernah membangkang perintah Allah, selalu menjalankan perintahNya, selalu beribadah kepada Allah dan tidak pernah lelah dalam beribadah kepadaNya. Kedua, mereka mulia karena dimuliakan oleh Nabi Ibrahim. Beliau sungguh-sungguh menjamu mereka, memuliakan mereka dalam penjamuannya hingga mereka benar-benar mulia karena penjamuan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. ([41])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِذْ دَخَلُوا عَلَيْهِ فَقَالُوا سَلَامًا قَالَ سَلَامٌ قَوْمٌ مُنْكَرُونَ
“(Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, “Salaman” (salam), Ibrahim menjawab, “Salamun” (salam). (Mereka itu) orang-orang yang belum dikenalnya.” (QS. Adz-Dzariyat: 25)
Ketika tamu-tamu tersebut hendak menemui Nabi Ibrahim, mereka mengetuk pintu dengan berkata ‘Assalamu’alaikum’. Lalu beliau menjawab salam mereka dan menyambut mereka sebagai kaum yang beliau sendiripun tidak mengenalnya. Artinya Nabi Ibrahim sama sekali tidak menyadari bahwa tamu-tamu itu adalah para malaikat. Beliau heran, karena tamu-tamu tersebut bukan dari penghuni negerinya. Beliau tidak mengetahui sama sekali asal muasal mereka([42]), selain itu tamu-tamu ini lebih dahulu mengucapkan salam yang hal ini bukanlah kebiasaan kaum Ibrahim atau penduduk setempat di zaman tersebut([43]).
Namun, Nabi Ibrahim memiliki kebiasaan memuliakan tamu. Siapapun tamu yang datang ke rumahnya, maka beliau akan memuliakannya, entah beliau mengenalinya ataupun tidak. Selama dia mengetuk pintu rumah beliau, maka beliau akan memuliakan tamu tersebut, meskipun tidak mengenalinya sama sekali.
Di dalam ayat tersebut disebutkan (سَلَامًا) dimana dalam pembahasan Bahasa arab disebut dengan maf’ul muthlaq yang memiliki makna (نُسَلِّمُ سَلَامًا) aku mengucapkan sebuah penghormatan. Artinya para malaikat mengucapkan dan mendoakan keselamatan kepada Nabi Ibrahim. Lalu beliau menjawab dengan kata (سَلَامٌ) yang merupakan bentuk pengkhabaran. Para ulama mengatakan kata (سَلَامٌ) bentuk pengkhabaran lebih utama dari pada kata (سَلَامًا) yang merupakan bentuk mendoakan. Artinya Nabi Ibrahim menjawab dengan salam yang lebih baik dari salam yang diucapkan oleh tamu-tamunya([44]). Perbuatan ini sesuai dengan apa yang difirmankan oleh Allah,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Dan apabila kamu dihormati dengan suatu (salam) penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (penghormatan itu, yang sepadan) dengannya.” (QS. An-Nisa’: 86)
Jika ada seseorang yang mengucapkan ‘Assalamu’alaikum’ kepada orang lain, maka hendaknya dia menjawab ‘wa’alaikumussalam’ atau menambahkannya dengan yang lebih baik yaitu ‘wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh’. Apabila dia mengucapkan salam dengan sempurna ‘Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh’, maka hendaknya dijawab dengan jawaban sempurna yang semisalnya yaitu ‘wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh’.
Janganlah seseorang ketika diucapkan salam kepadanya ‘Assalaamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh’. Lalu dia hanya menjawab dengan ‘wa’alaikumussalam’. Artinya dia telah menjawab salam yang kurang sempurna dari orang yang telah mengucapkan salam dengan sempurna kepadanya. Padahal, Allah memerintahkan untuk menjawab salam yang lebih baik atau yang semisalnya ([45]).
Demikian pula, jika ada seseorang yang memberi salam kepada orang lain dengan sapaan yang hangat dan senyum. Maka, hendaknya dia membalas dengan sapaan yang hangat disertai senyuman. Apabila dia membalasnya dengan bermuka masam, maka hal itu menunjukkan adab yang tidak terpuji.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَرَاغَ إِلَى أَهْلِهِ فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ
“Maka diam-diam dia (Ibrahim) pergi menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar).” (QS. Adz-Dzariyat: 26)
Kata (رَاغَ) memiliki makna pergi dengan diam-diam tanpa memberitahukan apa yang akan diperbuatnya. Ketika para tamu tersebut memasuki rumah Nabi Ibrahim, maka beliau pergi secara diam-diam kepada keluarganya tanpa memberitahukan kepada mereka apa yang akan dilakukannya. Para ulama mengatakan bahwa perbuatan Nabi Ibrahim menunjukkan bahwa beliau ingin memuliakan para tamunya. Bisa jadi ketika seseorang didatangi oleh seorang tamu, setelah itu dia menyebutkan sesuatu yang akan dilakukannya untuk menjamunya, maka tamunya akan menolaknya dengan sungkan.([46])
فَجَاءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ
“kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk (yang dibakar).”
Setelah Nabi Ibrahim pergi secara diam-diam menginggalkan tamu-tamunya, lalu beliau keluar menemui mereka dengan membawa daging anak sapi gemuk yang telah dipanggang. Dan dalam ayat lain disebutkan,
فَما لَبِثَ أَنْ جاءَ بِعِجْلٍ حَنِيذٍ
“Maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang.” (QS. Hud:69)
Daging tersebut dalam keadaan dipanggang, menunjukkan bahwa ini adalah proses yang paling cepat dalam penyajian makanan. Jika harus dipotong-potong terlebih dahulu, lalu direbus dan dimasak, maka akan membutuhkan waktu lama. Namun, Nabi Ibrahim memilih metode yang paling cepat, yaitu dengan menyembelih seekor anak sapi yang gemuk serta memiliki daging yang masih lembut agar mudah untuk dimakan, lalu dipanggang untuk segera dihidangkan kepada para tamunya([47]). Perbuatan ini menunjukkan betapa mulianya Nabi Ibrahim. Para ulama menyebutkan bahwa beliau memiliki kebiasaan memuliakan tamu. Sehingga beliau selalu menyiapkan sapi-sapi yang ada. Siapapun tamunya yang datang, maka dia akan diberikan hidangan berupa sapi.
Ayat ini menjelaskan bahwa beliau menghidangkan jamuan yang istimewa kepada tamu yang tidak dikenalnya, beliau tidak memiliki hutang budi sedikitpun kepada mereka, bahkan merekapun tidak pernah menjamu beliau sebelumnya, namun beliau menjamu mereka dengan sungguh-sungguh. Apa jadinya jika yang datang adalah tamu yang dikenalnya.
Sebagian ulama mengatakan dianjurkannya memuliakan tamu dan hukumnya adalah sunnah, sebagaimana perbuatan yang dituntunkan oleh Nabi Ibrahim. Karena beliau memuliakan tamunya dengan jamuan yang sangat istimewa berupa daging anak sapi yang telah dipanggang, padahal beliau tidak mengenal tamu-tamu tersebut.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَقَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ
“Lalu dihidangkannya kepada mereka (tetapi mereka tidak mau makan). Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan.” (QS. Adz-Dzariyat: 27)
Pelayanan beliau dalam menjamu tamunya tidak hanya dengan menghidangkan daging anak sapi yang telah dipanggang. Namun, beliau menghadirkannya dan diletakkan tepat di hadapan tamu-tamunya. Hal itu dilakukan oleh beliau dengan tujuan untuk menghilangkan perasaan sungkan yang ada dalam diri mereka. Lain halnya jika sang tamu dipanggil menuju tampan makanan atau ke ruang makan, maka bisa jadi ada rasa malu yang muncul darinya([48]).
Karena dengan adanya jamuan yang dekat dan berada di hadapan tamu menjadikan mereka tidak bersusah payah dalam menyantap makanan yang telah dihidangkan. Sebaliknya, jika makanan yang telah dihidangkan untuk tamu berada di tempat yang jauh, kemudian dipersilahkan untuk menyantapnya oleh pemilik rumah, terkadang akan menimbulkan perasaan malu dan sungkan bagi tamu.([49])
Ini menjadi kebiasaan orang arab sejak dahulu hingga sekarang. Ketika mereka dalam suatu acara bersama. Yang mereka hidangkan adalah seekor kambing besar yang telah dipanggang. Lalu, hidangan tersebut diletakkan di hadapan orang-orang yang dijamunya, lalu dipotongkan sebagian daging tersebut dan diletakkan di hadapan masing-masing orang yang berada pada jamuan tersebut. Jadi, hal itu membuat mereka tidak merasa malu untuk menyantap makanan tersebut. Apabila daging yang berada di hadapan mereka habis, maka akan dipotongkan lagi oleh tuan rumah lalu ia meletakannya dihadapan para tamu agar disantap dan begitu seterusnya. Begitulah cara mereka dalam memuliakan tamu.
Demikian yang telah dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Beliau menyajikan dan mendekatkan hidangan itu di dekat mereka. Tidak hanya itu, bahkan beliau mempersilahkannya di hadapan mereka agar disantap.
قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ
“Ibrahim berkata, “Mengapa tidak kamu makan.”
Begitu sempurna bentuk pemuliaan Nabi Ibrahim kepada tamu-tamunya. Dan ternyata, mereka tidak memakan jamuan beliau; karena mereka adalah para malaikat. Dan saat itulah beliau mengetahui bahwa para tamu yang datang kepada beliau adalah para malaikat([50]). Diantara sifat malaikat adalah tidak butuh makan. Disebutkan dalam firman Allah,
فَلَمَّا رَأى أَيْدِيَهُمْ لا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قالُوا لا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنا إِلى قَوْمِ لُوطٍ
“Maka ketika dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, dia (Ibrahim) mencurigai mereka, dan merasa takut kepada mereka. Mereka (malaikat) berkata, “Jangan takut, sesungguhnya kami diutus kepada kaum Luth.” (QS. Hud: 70)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً قَالُوا لَا تَخَفْ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَامٍ عَلِيمٍ. فَأَقْبَلَتِ امْرَأَتُهُ فِي صَرَّةٍ فَصَكَّتْ وَجْهَهَا وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ
“Maka dia (Ibrahim) merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata, “Janganlah kamu takut, dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian istrinya datang memekik (tercengang) lalu menepuk wajahnya sendiri seraya berkata, “(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.” (QS. Adz-Dzariyat: 28-29)
Sarah, istri Nabi Ibrahim merasa kaget dengan menepuk kedua pipinya, saat dikabarkan bahwa dirinya akan memiliki seorang anak, yaitu Ishak. Para ulama menyebutkan bahwa ketika para malaikat mengabarkan bakal memiliki anak, Sarah berusia sekitar sembilan puluh sembilan tahun. Secara logika, seorang wanita tidak akan memiliki anak dengan umur tersebut; karena dia telah jauh memasuki usia menopause. Sarah berteriak dan kaget karena selama itu dia telah merindukan agar dikaruniai seorang anak. Dengan perasaan tidak percayanya, akhirnya dia memukul-mukul wajahnya.
وَقَالَتْ عَجُوزٌ عَقِيمٌ
“(Aku ini) seorang perempuan tua yang mandul.”
Bagaimana mungkin dia memiliki seorang anak, sementara dia adalah seorang wanita yang sudah tua lagi mandul. ([51])
Ayat ini sekaligus menjadi dalil bahwa seorang perempuan lebih sulit untuk menahan diri dan emosinya ketika mendapatkan sesuatu, baik yang menggembirakan ataupun menyedihkan. Maka dari itu dengan sendirinya ekspresi-nya akan muncul, entah dengan suara ataupun dengan tangan. Nabi Ibrahim ketika dikabarkan akan memiliki anak, tentu dia merasa gembira. Namun, dia bersikap tenang. Adapun Sarah ketika dikabarkan akan memiliki anak, maka dia kaget dan berteriak kegirangan dan menepuk-nepuk wajahnya.([52])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
قَالُوا كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Mereka berkata, “Demikianlah Tuhanmu berfirman. Sungguh, Dialah Yang Mahabijaksana, Maha Mengetahui.” (QS. Adz-Dzariyat: 30)
Artinya mudah bagi Allah untuk menciptakan dan melahirkan seorang anak dari seorang wanita yang sudah tua lagi mandul. Demikian juga, meskipun suaminya sudah berusia seratus tahun. Namun, itu semua mudah bagi Allah. Allah Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui. ([53])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلُونَ. قَالُوا إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمٍ مُجْرِمِينَ. لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ طِينٍ. مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ
“Dia (Ibrahim) berkata, “Apakah urusanmu yang penting wahai para utusan? Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth). Agar Kami menim pa mereka dengan batu-batu dari tanah (yang keras). Yang ditandai dari Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzariyat: 31-34)
Tatkala Nabi Ibrahim mengetahui bahwa tamu-tamu yang datang kepadanya adalah para malaikat. Mereka datang bukan hanya sekedar memberi kabar bahwa beliau akan memiliki seorang anak meskipun sudah berusia tua, begitu juga dengan istrinya yang kondisinya mandul. Akan tetapi, ada urusan lainnya yang lebih penting. Maka dari itu, Nabi Ibrahim bertanya kepada mereka sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam ayat ini.
قَالُوا إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمٍ مُجْرِمِينَ
“Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth).”
Ayat ini menjelaskan bahwa para malaikat diutus oleh Allah dengan tujuan memberikan azab kepada kaum yang berbuat dosa, yaitu kaum Nabi Luthh.([54])
Para ulama mengatakan bahwa Nabi Luthh adalah keponakan Nabi Ibrahim. Ini termasuk diantara salah satu fenomena dimana ada dua nabi yang hidup dalam satu zaman. Seperti halnya Nabi Musa dengan Nabi Khodhir dan Nabi Harun. Begitu juga dengan Nabi Isa yang hidup satu masa dengan Nabi Zakariya dan Nabi Yahya.
لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ طِينٍ. مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ
“Agar Kami menimpa mereka dengan batu-batu dari tanah (yang keras). Yang ditandai dari Tuhanmu untuk (membinasakan) orang-orang yang melampaui batas.”
Kaum Nabi Luthh dikenal dengan dua sifat. Pertama, adalah kaum yang berdosa. Kedua, adalah kaum yang melampaui batas dalam melakukan suatu dosa yaitu homoseksual. Selain berbuat dosa syirik, mereka juga berbuat suatu kemaksiatan besar berupa homoseksual. Kemaksiatan yang mereka perbuat sangat aneh, karena mereka menyukai sesama jenis mereka. Kaum lelaki tidak mempunyai gairah untuk mencumbui istrinya, namun mereka lebih bergairah kepada lelaki semisalnya. Begitu juga kaum perempuan dari mereka.([55])
Kata (طِيْن) memiliki makna tanah yang keras atau batu. Para ulama menyebutkan bahwa maksud dari kata (مُسَوَّمَة) adalah batu-batu yang dilemparkan kepada kaum Nabi Luth memiliki tanda tertentu. Tanda tersebut menunjukkan bahwa batu itu bukan termasuk batu-batu dunia. Akan tetapi, batu khusus yang ditimpakan untuk membinasakan kaum Nabi Luthh. Dari sisi warnanya yang mungkin kemerah-merahan atau hitam dan menunjukkan bahwa batu tersebut dikirimkan sebagai azab bagi mereka([56]). Ada juga sebagian ulama yang menafsirkan bahwa maksud dari ayat ini adalah setiap batu telah diberikan tanda oleh Allah untuk membinasakan masing-masing dari kaum Nabi Luthh. Sehingga, jika ada sebagian kaum Nabi Luthh yang sedang bepergian, maka mereka akan tertimpa batu tersebut. Dimanapun mereka berada, maka mereka tertimpa batu itu. Hingga tidak ada satupun dari mereka yang lolos dari azab Allah. ([57])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di dalamnya (negeri kaum Luth) itu.” (QS. Adz-Dzariyat: 35)
Ayat ini menjelaskan bahwa ketika kaum Nabi Luth ditimpakan azab, Allah menyelamatkan orang-orang yang beriman dari azab tersebut. Allah berfirman kepada Nabi Luth,
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ
“Sebab itu pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia (juga) akan ditimpa (siksaan) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat terjadinya siksaan bagi mereka itu pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Hud: 81)
Dan dalam ayat yang lain disebutkan:
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَاتَّبِعْ أَدْبَارَهُمْ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ وَامْضُوا حَيْثُ تُؤْمَرُونَ
“Maka pergilah kamu pada akhir malam beserta keluargamu, dan ikutilah mereka dari belakang. Jangan ada di antara kamu yang menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang diperintahkan kepadamu.” (QS. Al-Hijr: 65)
Ayat ini tidak menyebutkan bahwa Allah menyelamatkan keluarga Nabi Luthh saja. Akan tetapi menyebutkan bahwa Allah menyelamatkan orang-orang yang beriman dari negeri tersebut. Artinya agar kaum muslimin tahu bahwa yang selamat dari azab bukanlah orang-orang yang menjadi keluarga dekat Nabi Luthh. Akan tetapi, disebabkan keimanan yang ada di dalam diri mereka. Buktinya adalah istri Nabi Luthh, orang yang sangat dekat dengan beliau ternyata tidak selamat, karena dia tidak beriman.([58])
Sebagian ulama seperti Qatadah berkata:
لَوْ كَانَ فِيهَا أَكْثَرُ مِنْ ذَلِكَ لَأَنْجَاهُمُ اللَّهُ، لِيَعْلَمُوا أَنَّ الْإِيمَانَ عِنْدَ اللَّهِ مَحْفُوظٌ
“Seandainya selain keluarga Nabi Luthh ada orang-orang yang beriman lebih banyak dari mereka, tentu Allah akan selamatkan mereka semua. Agar mereka mengetahui bahwa keimanan mereka terjaga di sisi Allah.” ([59])
Karena sejatinya Allah mengetahui orang-orang yang beriman diantara mereka dan yang tidak beriman. Jadi, yang menyelamatkan mereka adalah keimanan yang ada pada diri mereka.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Maka Kami tidak mendapati di dalamnya (negeri itu), kecuali sebuah rumah dari orang-orang Muslim (Luthh).” (QS. Adz-Dzariyat: 36)
Maksudnya adalah rumah Nabi Luth. Allah mensifati rumah tersebut dengan rumah kaum muslimin; karena di dalam rumah tersebut memiliki empat anggota keluarga, yaitu Nabi Luth, kedua putrinya yang beriman dan istri beliau yang kafir. Hanya saja istri beliau di dalam kehidupannya menampakkan seakan-akan dia beriman. Artinya dia menampakkan diri sebagai orang yang beriman, namun sejatinya dia tidaklah beriman dan di dalam hatinya menyimpan kekufuran. Dia kufur kepada Allah, bahkan dia yang menunjukkan kepada kaum Nabi Luth, tatkala para malaikat datang bertamu kepada beliau dengan rupa sekelompok laki-laki yang tampan([60]). Dia telah berkhianat, karena dengan datangnya para malaikat yang menjelma sebagai para lelaki yang memiliki wajah yang sangat tampan membuat Nabi Luth khawatir bahwa mereka akan diganggu oleh kaumnya. Dan ternyata benar, istri beliau yang memberitahukan hal itu kepada kaumnya bahwa ada sekelompok laki-laki tampan berada di rumahnya yang bisa jadi ‘santapan’ bagi mereka.([61])
Hal itulah yang menjadi sebab Allah menyebutkan di dalam ayat tersebut ‘kecuali rumah dari orang-orang muslim’ dan tidak menyebutkan ‘kecuali rumah dari orang-orang mukmin’. Karena di rumah tersebut terdapat istri Nabi Luth yang secara dzahir merupakan seorang muslim yang menampakkan keislamannya, namun sejatinya hatinya tidak beriman. Padahal, seseorang jika ingin selamat dari azab harus terkumpul dalam dirinya iman dan islam. Iman dari hati dan islam secara dzahir. Dan istri Nabi Luth menampakkan keislamannya, tetapi sejatinya di dalam hatinya kufur kepada Allah.([62])
Ketika tiba saatnya Allah menimpakan adzab kepada kaum Nabi Luth. Beliau beserta keluarganya diperintahkan untuk keluar meninggalkan negerinya pada malam hari. Lebih tepatnya adalah menjelang waktu subuh. Disamping itu Allah mengisyaratkan agar tidak ada yang menoleh ke belakang saat mereka keluar meninggalkan negeri tersebut. Disebutkan pula bahwa istri beliaupun ikut keluar pula di malam itu. Namun, dia menengok ke arah belakang; karena ingin mengetahui apa yang menimpa kaum Nabi Luth. Akhirnya diapun ikut terkena azab Allah([63]). Hal ini sebagaimana firman Allah.
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ
“Sebab itu pergilah beserta keluargamu pada akhir malam dan jangan ada seorang pun di antara kamu yang menoleh ke belakang, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia (juga) akan ditimpa (siksaan) yang menimpa mereka. Sesungguhnya saat terjadinya siksaan bagi mereka itu pada waktu subuh. Bukankah subuh itu sudah dekat?” (QS. Hud: 81)
Allah berfirman memberitahukan bagaimana keadaan kaum Nabi Luth ketika disiksa dengan azab-Nya,
فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ
“Maka ketika keputusan Kami datang, Kami menjungkirbalikkannya negeri kaum Luth, dan Kami hujani mereka bertubi-tubi dengan batu dari tanah yang terbakar.” (QS. Hud: 82)
Dan dalam firman Allah yang lain,
فَجَعَلْنا عَالِيَها سَافِلَها وَأَمْطَرْنا عَلَيْهِمْ حِجارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
“Maka Kami jungkirbalikkan (negeri itu) dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” (QS. Al-Hijr: 74)
Allah mengangkat negeri tersebut, lalu dibalik dan menurunkan hujan batu yang sangat panas menimpa mereka.
Hal itu disebabkan dosa yang mereka lakukan terlalu besar. Allah mensifati mereka dengan (المُسْرِفُوْنَ) yaitu orang-orang yang melampaui batas, (الْمُجْرِمُوْن) yaitu orang-orang yang berbuat dosa, (يَجْهَلُوْنَ) yaitu orang-orang yang jahil dan sifat-sifat buruk lainnya yang disematkan kepada mereka. Dosa yang mereka lakukan bukan dosa yang biasa. Akan tetapi, suatu dosa yang melanggar dan bertolak belakang dengan fitrah manusia, yaitu melakukan praktek homoseksual. Sehingga Allah membalas dengan azab yang menunjukkan keterbalikan dari fitrah mereka, yaitu negeri mereka dijadikan terbalik dan dihujani dengan batu yang panas oleh Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَتَرَكْنَا فِيهَا آيَةً لِلَّذِينَ يَخَافُونَ الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
“Dan Kami tinggalkan padanya (negeri itu) suatu tanda bagi orang-orang yang takut kepada azab yang pedih.” (QS. Adz-Dzariyat: 37)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah meninggalkan tanda pada negeri tersebut yang menunjukkan bahwa tempat tersebut dahulu terdapat kaum yang telah dibinasakan. Para ulama berselisih pendapat tentang makna ayat ini letak negeri kaum Sodom, yaitu kaumnya Nabi Luth yang dikisahkan di dalam Al-Qur’an. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah Allah membiarkan tempat tersebut untuk menjadi daerah yang rusak, yang dapat dilihat oleh orang-orang setelahnya. Mungkin saja, tempat tersebut sudah tidak ada, tetapi sempat dilihat oleh orang-orang yang hidup di zaman setelah mereka. ([64])
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُروا كَيْفَ كانَ عاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Sungguh, telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke (segenap penjuru) bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (rasul-rasul).” (QS. Ali Imran: 137)
Dahulu hancurnya negeri mereka meninggalkan bekas sehingga masih dapat terlihat. Namun, seiring dengan berjalannya waktu hingga ribuan tahun mengakibatkan tanda-tanda tersebut hilang.
Ada juga ulama yang mengatakan bahwa tanda tersebut masih ada dan lokasi dibinasakan kaum Nabi Luth sekarang telah berubah menjadi (الْبَحْرُ اْلمَيِّت) yaitu laut mati([65]). Laut yang kadar garamnya sangat tinggi. Disebutkan bahwa kadar garamnya sepuluh kali lipat lebih asin dari kadar air laut biasa. Yaitu sebesar 35 gram per liter atau 32 % lebih tinggi jika dibandingkan terhadap kadar garam air laut yang memiliki rata-rata 3%. Sehingga sulit bagi makhluk hidup, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk hidup di ekosistem ini, karena kadar garamnya yang sangat tinggi dan tidak seperti umumnya air laut. Disamping itu, posisi laut ini berada pada titik terendah di bawah permukaan bumi. Ada yang mengatakan titik terendahnya mencapai hingga 400 meter di bawah permukaan air laut, yang menunjukkan bahwa posisi laut mati ini sangat rendah. Karena dahulu pernah dicungkil oleh Allah, lalu diangkat dan dihancurkan sebagai adzab atas kaum tersebut. Inilah yang dikatakan oleh sebagian ulama, begitu juga menurut pendapat sebagian ahli sejarah. Wallahu a’lam. Kesimpulannya adalah kaum Nabi Luth pernah dijadikan ayat atau tanda kebesaran Allah, sehingga semua orang bisa melihat bagaimana dibinasakannya kaum tersebut.
لِلَّذِينَ يَخَافُونَ الْعَذَابَ الْأَلِيمَ
“Bagi orang-orang yang takut kepada azab yang pedih.”
Ayat ini menjelaskan bahwa yang dapat mengambil pelajaran dari kisah ini hanyalah orang-orang beriman yang takut dengan azab yang pedih. Adapun orang-orang yang tidak beriman, mereka akan mengatakan bahwa kisah tersebut hanyalah kejadian alam belaka([66]). Seringkali terjadi malapetaka dan bencana, namun tidak dikaitkan dengan dosa-dosa yang diperbuat oleh manusia. Seakan-akan itu hanya terjadi karena ada perubahan lokasi alam atau pergerakan lempengan kerak bumi. Padahal, sejatinya sebab terjadinya pergerakan lempengan bumi tersebut, akibat dari perbuatan dosa yang dilakukan oleh manusia. Betapa banyak orang-orang yang sudah menyaksikan bagaimana Allah menegur kaum-kaum yang melakukan dosa-dosa, namun mereka tidak bisa mengambil faedah. Dan yang mampu mengambil faedah hanyalah orang-orang yang takut terhadap azab Allah yang pedih.
Karenanya, jangankan musibah itu menimpa orang lain, terkadang musibah atau kesulitan yang menimpa kita sendiri, lalu kita menganggap musibah tersebut sebagai sesuatu hal yang kebetulan dan tidak mengaitkannya dengan dosa-dosa kita, maka kita tidak akan mampu mengambil pelajaran dari musibah tersebut. Seakan-akan itu hanyalah sebuah anggapan bahwa begitulah kehidupan manusia, perjalanan mereka tidak luput dari kebaikan dan kesulitan. Sehingga kita sendiri tidak mampu mengambil pelajaran pada diri sendiri. Akan tetapi bagi orang yang cerdas, dia bisa mengambil pelajaran atas musibah yang menimpa dirinya. Tatkala musibah datang kepadanya, dia selalu berprasangka baik kepada Allah, bahwa Allah telah menegurnya dan itu menandakan bahwa Allah masih menyayanginya, karena bisa jadi dengan musibah itu Allah akan membinasakannya. Sehingga hal itu membuatnya kembali kepada jalan Allah. Jadi, orang-orang yang mampu mengambil pelajaran dari suatu musibah hanyalah orang-orang yang takut kepada azab yang pedih.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَفِي مُوسَى إِذْ أَرْسَلْنَاهُ إِلَى فِرْعَوْنَ بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
“Dan pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir‘aun dengan membawa mukjizat yang nyata.” (QS. Adz-Dzariyat: 38)
Pada ayat ini Allah mengisahkan kaum yang datang setelah kaum Nabi Luth. Allah menyebutkan kisah kaum orang-orang terdahulu sebagai peringatan bagi orang-orang musyrikin. Karena surat Adz-Dzariyat adalah surat Makkiyah. Pembicaraannya difokuskan kepada orang-orang musyrikin yang mengingkari kerasulan Muhammad dan hari kiamat. Maka dari itu, Allah mengingatkan ‘Wahai kaum musyrikin – yaitu Abu Jahl dan teman-temannya-, telah berlalu sebelum kalian kaum yang lebih hebat dari kalian. Dan lihatlah bagaimana mereka dibinasakan oleh Allah. Jika kalian tidak beriman, maka nasib kalian sama seperti mereka.’
Allah mengisahkan kaum Nabi Musa setelah menyebutkan kisah kaum Nabi Luth. Sesungguhnya pada kisah Nabi Musa ada tanda-tanda kebesaran Allah. Beliau termasuk Nabi yang paling banyak mukjizatnya([67]). Firman Allah,
وَلَقَدْ آتَيْنا مُوسى تِسْعَ آياتٍ بَيِّناتٍ
“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa sembilan mukjizat yang nyata.” (QS. Al-Isra’: 101)
Allah telah memberikan kepada Nabi Musa sembilan mukjizat. Dan mukjizat yang diberikan kepada beliau adalah mukjizat yang hebat-hebat. Diantaranya adalah tangan beliau mampu mengeluarkan cahaya([68]), tongkat beliau mampu berubah menjadi ular, Allah mengirimkan katak dengan jumlah banyak yang bertebaran pada kaumnya Fir’aun, Allah menjadikan air sungai mereka menjadi darah, Allah mengirimkan kepada mereka belalang yang menghancurkan tumbuhan mereka, Allah mengirimkan kutu sehingga menyulitkan segala pekerjaan mereka, Fir’aun menyaksikan sendiri bagaimana Nabi Musa membelah lautan dan beberapa mukjizat-mukjizat lainnya yang luar biasa. Namun, tidak ada satupun dari pengikut Fir’aun yang beriman kepada Nabi Musa. Maka dari itu, Allah berfirman:
بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
“Dengan membawa mukjizat yang nyata.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَتَوَلَّى بِرُكْنِهِ وَقَالَ سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
“Tetapi dia (Fir‘aun) bersama bala tentaranya berpaling dan berkata, “Dia adalah seorang penyihir atau orang gila.” (QS. Adz-Dzariyat: 39)
Fir’aun merasa sombong karena dia memiliki pasukan dan berpaling dengan tidak mau beriman kepada Nabi Musa. Dia mengatakan Nabi Musa sebagai seorang ‘penyihir’ atau ‘orang gila’. Hal inilah yang selalu dialami oleh para Nabi dan Rasul dari kaum-kaumnya.([69])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ
“Maka Kami siksa dia beserta bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, dalam keadaan tercela.” (QS. Adz-Dzariyat: 40)
Allah menenggelamkan mereka di lautan dalam kondisi tercela. Kisah Fir’aun ditenggelamkan di laut Merah menjadi kisah yang masyhur. Karena kejadian ini merupakan kejadian yang dahsyat. Sehingga berita tentang dibinasakannya Fir’aun beserta bala tentaranya di ketahui oleh orang-orang Arab, khususnya kaum Quraisy.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَفِي عَادٍ إِذْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الرِّيحَ الْعَقِيمَ
“Dan (juga) pada (kisah kaum) ‘Ad, ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan.” (QS. Adz-Dzariyat: 41)
Kemudian Allah menyebutkan kaum yang lain yaitu kaum ‘Ad dan kaum Tsamud. Kata الْعَقِيم di dalam bahasa arab memiliki makna mandul. Para ulama mengatakan angin yang mandul maksudnya adalah angin tersebut tidak bermanfaat. Biasanya, angin memiliki manfaat dan fungsi. Diantaranya adalah seperti menggiring dan merangkai awan. Setelah itu, awan tersebut berisi dengan uap air, kemudian menurunkan hujan. Dan diantara fungsinya adalah untuk menggabungkan serbuk sari (kelamin jantan) dan putik (kelamin betina) pada tumbuhan, memberi kesegaran disaat udara terasa panas. Akan tetapi, pada ayat ini Allah mensifati dengan angin yang mandul, artinya angin tersebut tidak ada manfaatnya sama sekali. Bahkan, angin tersebut adalah angin siksaan yang Allah kirimkan kepada kaum ‘Ad([70]). Kaum ‘Ad adalah suku Arab yang tinggal di arah selatan jazirah, antara daerah Yaman dengan Oman([71]).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
مَا تَذَرُ مِنْ شَيْءٍ أَتَتْ عَلَيْهِ إِلَّا جَعَلَتْهُ كَالرَّمِيمِ
“(Angin itu) tidak membiarkan suatu apa pun yang dilandanya, bahkan dijadikannya seperti serbuk.” (QS. Adz-Dzariyat: 42)
Angin tersebut -sebagaimana dijelaskan di dalam ayat-ayat yang lain- bersifat sangat dingin, mengeluarkan suara yang sangat keras dan berputar berhari-hari. Sehingga angin tersebut menghabisi kaum ‘Ad. Karena mereka kufur kepada Nabi Hud.([72])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَفِي ثَمُودَ إِذْ قِيلَ لَهُمْ تَمَتَّعُوا حَتَّى حِيْنٍ
“Dan pada (kisah kaum) Samud, ketika dikatakan kepada mereka, “Bersenang-senanglah kamu sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Adz-Dzariyat: 43)
Allah menyebutkan azab yang lainnya yang ditimpakan kepada kaum Tsamud. Pada kaum tersebut juga terdapat tanda-tanda kebesaran Allah, yaitu ketika Nabi Shalih berkata kepada mereka: ‘Bersenang-senanglah kalian sampai tiba waktunya’. Nabi Shalih berkata demikian -memberi peringatan- kepada mereka sebanyak dua kali. Pada peringatan yang pertama (sebagaimana pada ayat ini) Nabi Shalih berkata kepada kaumnya ‘Bersenang-senanglah, hingga pada suatu saat kalian akan berhenti dari kesenangan tersebut, tatkala adzab Allah datang kepada kalian’. Hal itu disebabkan karena Allah telah memberikan kenikmatan-kenikmatan kepada mereka. Firman Allah,
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ عَادٍ وَبَوَّأَكُمْ فِي الْأَرْضِ تَتَّخِذُونَ مِنْ سُهُولِهَا قُصُورًا وَتَنْحِتُونَ الْجِبَالَ بُيُوتًا فَاذْكُرُوا آلَاءَ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ
“Dan ingatlah ketika Dia menjadikan kamu khalifah-khalifah setelah kaum ‘Ad dan menempatkan kamu di bumi. Di tempat yang datar kamu dirikan istana-istana dan di bukit-bukit kamu pahat menjadi rumah-rumah. Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah dan janganlah kamu membuat kerusakan di bumi.” (QS. Al-A’raf: 74)
Artinya banyak kenikmatan yang telah diberikan kepada mereka. Akan tetapi, mereka berbuat syirik kepada Allah([73]). Maka, Nabi Shalih mengatakan:
تَمَتَّعُوا حَتَّى حِينٍ
“Bersenang-senanglah kamu sampai waktu yang ditentukan.”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ وَهُمْ يَنْظُرُونَ
“Lalu mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, maka mereka disambar petir sedang mereka melihatnya.” (QS. Adz-Dzariyat: 44)
Apa yang dikatakan Nabi Shalih kepada kaumnya sebagaimana disebutkan dalam ayat ini berbeda dengan apa yang dikatakan beliau di dalam ayat yang lain. Nabi Shalih berkata :
تَمَتَّعُوا فِي دارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ ذلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ
“Bersenang-senanglah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud: 65)
Ayat di atas merupakan peringatan yang kedua dari Nabi Shalih. Beliau mengucapkannya setelah mereka menyembelih unta beliau.
فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ وَقَالُوا يَاصَالِحُ ائْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya. Mereka berkata, “Wahai Saleh! Buktikanlah ancaman kamu kepada kami, jika benar engkau salah seorang rasul.” (QS. Al-A’raf: 77)
Seakan-akan beliau berkata kepada mereka: ‘Bersenang-senanglah di rumah kalian selama tiga hari’. Namun, setelah berlalu tiga hari, Allah mendatangkan azab kepada mereka.([74]
Para ulama ahli tafsir mengatakan bahwa Nabi Shalih mengatakan kepada kaumnya untuk bersenang-senang sebanyak dua kali. Pertama, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini, yaitu sebelum mereka menyembelih unta Nabi Shalih. Karena setelah itu Allah berfirman:
فَعَتَوْا
“Lalu mereka berlaku angkuh.”
Setelah itu Nabi Shalih memperingatkan kepada mereka untuk bersenang-senang dan menikmati segala kenikmatan yang ada hingga waktu yang ditentukan; karena akan tiba waktu kenikmatan tersebut akan lenyap.
تَمَتَّعُوا حَتَّى حِينٍ
“Bersenang-senanglah kamu sampai waktu yang ditentukan.”
Namun, mereka tidak menghiraukan peringatan Nabi Shalih dan bersikap angkuh. Justru mereka menyembelih unta Nabi Shalih.
فَعَقَرُوا النَّاقَةَ وَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ
“Kemudian mereka sembelih unta betina itu, dan berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya.” (QS. Al-A’raf: 77)
Kedua, setelah mereka menyembelih unta Nabi Shalih. Dan beliau berkata
تَمَتَّعُوا فِي دارِكُمْ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ ذلِكَ وَعْدٌ غَيْرُ مَكْذُوبٍ
“Bersenang-senanglah kamu semua di rumahmu selama tiga hari. Itu adalah janji yang tidak dapat didustakan.” (QS. Hud: 65)
Setelah itu Allah berfirman:
فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ وَهُمْ يَنْظُرُونَ
“Maka mereka disambar petir sedang mereka melihatnya.”
Azab Allah berupa petir datang kepada mereka, sedang mereka dalam keadaan memandang azab tersebut. ([75])
Para ulama mengatakan bahwa memandang azab ketika datang merupakan tambahan dalam azab. Tatkala mereka melihat halilintar turun sebagai azab, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Artinya mereka telah diazab, sebelum mereka merasakan azab yang sebenarnya. Sama halnya dengan orang yang sedang memandang kenikmatan sebelum merasakannya, maka itu merupakan tambahan dalam kenikmatan. Maka dari itulah, penghuni surga sebelum merasakan kenikmatan yang sebenarnya, mereka telah melihat kenikmatan tersebut.
عَلَى الْأَرائِكِ يَنْظُرُونَ. تَعْرِفُ فِي وُجُوهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيمِ
“Mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup yang penuh kenikmatan.” (QS. Al-Mutaffifin: 23-24)
Sesungguhnya orang-orang yang berbuat baik, mereka berada di dalam kenikmatan. Mereka berada di atas dipan-dipan dengan memandang para bidadari yang indah, makanan yang lezat dan buah-buahan yang segar. Sebelum mereka merasakan dan menikmati itu semua, mereka sudah mendapatkan kenikmatan tersebut dengan melihatnya. Apalagi ketika mereka menyantap dan menikmatinya. Maka kenikmatan itu menjadi kenikmatan yang berlipat-lipat. Demikian juga, ketika seseorang memandang bagaimana dia diselamatkan oleh Allah, sementara sebagian orang dalam kondisi dibinasakan, maka dia akan merasakan tambahan kenikmatan. Allah berfirman kepada Bani Isra’il:
وَأَغْرَقْنَا آلَ فِرْعَوْنَ وَأَنْتُمْ تَنْظُرُونَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami membelah laut untukmu, sehingga kamu dapat Kami selamatkan dan Kami tenggelamkan (Fir‘aun dan) pengikut-pengikut Fir‘aun, sedang kamu menyaksikan.” (QS. Al-Baqarah: 50)
Artinya Kami membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya sementara kalian melihat bagaimana mereka dibinasakan. Hal itu bertujuan agar kalian bersyukur bahwasanya kalian diselamatkan oleh Allah, dimana hal itu menjadi tambahan nikmat bagi kalian. ([76])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَمَا اسْتَطَاعُوا مِنْ قِيَامٍ وَمَا كَانُوا مُنْتَصِرِينَ
“Maka mereka tidak mampu bangun dan juga tidak mendapat pertolongan.” (QS. Adz-Dzariyat: 45)
Tatkala mereka melihat halilintar akan turun kepada mereka dengan diiringi suara yang keras, lalu guntur yang sangat dahsyat turun kepada mereka, mereka tidak bisa melawan itu semua. Mereka hanya pasrah dengan azab tersebut dan tidak ada seorangpun yang mampu menolong mereka. Itulah kondisi kaum Tsamud tatkala azab turun kepada mereka.([77])
Para ulama mengatakan bahwa Allah menggandengkan kaum Nabi Luth dengan kaum Nabi Musa, karena azab yang ditimpakan kepada mereka merupakan azab yang berkaitan dengan dunia. Kaum Nabi Luth diazab dengan diangkat kampungnya lalu dijatuhkan, kemudian menjadi dihancurkan. Sedangkan kaum Nabi Musa ditenggelamkan di laut, termasuk diantaranya adalah Fir’aun. Adapun kaum Tsamud dan kaum ‘Ad diazab dengan azab yang datang dari langit berupa angin dan halilintar yang dikirimkan oleh Allah kepada mereka. Ada kemiripan azab yang ditimpakan kepada kaum Nabi Musa dan kaum Nabi Luth, begitu juga dengan kemiripan azab atas kaum Tsamud dan kaum ‘Ad.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَقَوْمَ نُوحٍ مِنْ قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
“Dan sebelum itu (telah Kami binasakan) kaum Nuh. Sungguh, mereka adalah kaum yang fasik.” (QS. Adz-Dzariyat: 46)
Begitu juga dengan kaum Nuh yang disebutkan sebelum kisah kaum-kaum setelahnya. Karena secara silsilah dan aturan waktu, seharusnya kisah Nabi Nuh disebutkan terlebih dahulu, kemudian kaum ‘Ad, kemudian Tsamud, kemudian kaum Nabi Luth dan barulah kaum Nabi Musa. Namun, ternyata Allah menyebutkan kaum Nabi Luth terlebih dahulu, kemudian kaum Nabi Musa, kemudian kaum sebelumnya yaitu kaum ‘Ad dan kaum Tsamud dan kemudian kaum sebelum mereka yaitu kaum Nabi Nuh. Semua kaum Nabi Nuh telah didatangkan siksaan kepada mereka, karena mereka semua merupakan kaum yang fasik. ([78])
Setelah Allah menyebutkan tentang azab yang pernah menimpa umat-umat terdahulu sebagai peringatan kepada kaum musyrikin bahwasanya akan menimpa mereka juga apa yang menimpa umat-umat terdahulu. Allah menyebutkan paragraf baru tentang agungnya penciptaan langit. Sebagian ahli tafsir mengatakan alasannya adalah karena ada syubhat di dalam diri orang-orang musyrikin bahwasanya Allah tidak mampu membangkitkan manusia yang sudah mati.
مَنْ يُحْيِ الْعِظامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yaasin: 78)
Mereka mengatakan: “Siapa yang bisa menghidupkan kembali tulang-tulang padahal sudah hancur lebur? Bagaimana bisa disusun kembali?” Maka Allah mengingatkan bahwa untuk menciptakan kembali sangat mudah. Karena Allah menciptakan langit yang penciptaannya lebih hebat daripada manusia. Apalagi hanya sekedar mengulanginya atau mengembalikannya. Tentu hal itu lebih mudah bagi Allah.
Penciptaan langit lebih hebat dari penciptaan manusia. Lebih hebat lagi jika hanya sekedar mengembalikan atau mengulangi penciptaan. Maka dari itu Allah menyebutkan tentang langit pada ayat berikutnya.([79])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.” (QS. Adz-Dzariyat: 47)
Langit merupakan makhluk terbesar yang bisa dilihat oleh manusia. Pada ayat ini Allah mensifati langit yang sangat luas sebagaimana firman Allah,
وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.”
Tidak hanya itu, didalamnya penuh berisi dengan benda-benda langit.
وَلَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيحَ
“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat (langit dunia) dengan bintang-bintang.” (QS. Al-Mulk: 5)
Sebagian ulama mengatakan bahwa langit yang terdapat bintang-bintang, planet, matahari dan bulan yang dilihat oleh manusia adalah langit pertama (langit dunia). Maka, bagaimana dengan langit kedua, ketiga hingga langit ketujuh. Pada langit pertama ini manusia tidak mengetahui letak dari ujung dan pangkalnya, ini menunjukkan bahwa langit sangat luas. Dan yang menciptakannya adalah Allah.
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami).”
Allah Maha Kuat dan Maha Kuasa dalam membangun langit, dimana langit tersebut sudah berumur beribu-ribu hingga berjuta-juta tahun, namun kokoh dengan tidak ada celahnya sama sekali. Disamping itu, dia membawa benda-benda langit yang sangat besar dan berat, namun tidak ditemukan retak ataupun celah sedikitpun. Bahkan, tegak dengan kokoh dan kuat tanpa tiang yang menyangganya. ([80])
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا
“Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat.” (QS. Ar-Ra’d: 2)
Siapakah makhluk yang bisa menciptakan seperti itu? Tidak ada satupun yang bisa membuat ciptaan sedemikian rupa yang begitu luas, kokoh, kuat dan menjadi atap bagi semesta alam.([81])
وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.”
Di dalam bahasa arab kata مُوسِعُونَ adalah isim fa’il yang memiliki makna sedang continue. Seperti jika seseorang ketika ditanya إِلَى أَيْنَ أَنْتَ ذَاهِبٌ؟ (kemana kau hendak pergi?). Kemudian dijawab أَنَا ذَاهِبٌ إِلَى السُّوقِ (Aku sedang berjalan menuju ke pasar). Artinya adalah sedang berjalan menuju pasar, namun belum sampai kepada tempat tujuannya. Maka pada ayat ini bisa diartikan bahwa Allah meluaskan langit dengan seluas-luasnya.([82])
Dan ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa langit terus diperluas oleh Allah. Wallahu a’lamu bis shawab. Sebagian peneliti dan astronomi mengatakan bahwasanya alam semesta terus berkembang dan semakin meluas. Karena ada salah satu dari mereka yang melihat bahwa letak suatu bintang mulai berubah semakin jauh daripada letak sebelumnya. Jika hal itu benar, maka tidak bertentangan dengan ayat ini([83]). Karena Allah berfirman,
وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit Kami bangun dengan kekuasaan (Kami), dan Kami benar-benar meluaskannya.”
Artinya kami terus meluaskannya. Wallahu a’lamu bis shawab.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَالْأَرْضَ فَرَشْنَاهَا فَنِعْمَ الْمَاهِدُونَ
“Dan bumi Kami hamparkan; maka (Kami) sebaik-baik yang telah menghamparkan.” (QS. Adz-Dzariyat: 48)
Kata فَرَشْنَا memiliki makna kami hamparkan. Artinya seperti halnya ketika seseorang ketika ada yang bertamu kepadanya, maka dia menghamparkan karpet untuk tamu tersebut sebagai tempat duduk. Demikian maksud dari ayat ini bahwa Allah menghamparkan bumi. Oleh karenanya, secara umum bumi itu datar dan kebanyakan dari isi bumi ini mudah untuk dipijak, dijadikan tempat tinggal, dibangun, terkadang diselingi dengan gunung, lembah dan lautan. ([84])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).” (QS. Adz-Dzariyat: 49)
Allah menyebutkan nikmat-nikmatNya yang lain bahwa semua makhluk yang berada di bumi diciptakan berpasang-pasangan. Ada langit dan bumi, timur dan barat, hitam dan putih, laki-laki dan perempuan, jantan dan betina, positif dan negatif, api dan air dan semuanya berpasang-pasangan. Tujuannya adalah agar manusia mengetahui bahwa yang tidak berpasang-pasangan hanyalah Allah.([85])
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa.” (QS. Al-Ikhlas: 1)
Allah Yang Maha Esa (الْفَرْدُ الصَّمَدُ) dan Maha Ganjil (الوِتْرُ) artinya sendirian dan tidak berpasang-pasangan dengan yang lain.
Faedah kedua, bahwa yang namanya berpasang-berpasangan memiliki arti saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lain. Seorang lelaki tidak akan sempurna kecuali dengan pasangannya yaitu seorang perempuan. Adapun Allah tidak butuh kepada pasangan. Dia sudah Maha Sempurna tanpa ada pasangan. Maka dari itu, Allah berfirman,
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
“Agar kamu mengingat (kebesaran Allah).”
Artinya agar manusia mengingat kebesaran Allah bahwasanya Allah tidak sama dengan ciptaannya yang berpasang-pasangan. ([86])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 50)
Tujuan manusia adalah kembali kepada Allah. Inilah الْغَايَةُ العُظْمَى tujuan yang paling utama. Allah tidak menyebutkan berjalanlah atau langkahkan kakimu melainkan larilah. Artinya harus bersegera menuju Allah. Para ahli tafsir menyebutkan maksudnya adalah jika kalian berdosa hendaklah kembali kepada Allah. Jika kalian takut bermaksiat, maka tinggalkanlah kemaksiatan tersebut dan lari kepada Allah, agar kalian segera dilindungi Allah. Segeralah kalian lari dari maksiat menuju kepada ketaatan kepada Allah. Sebagian ulama juga mengatakan maksudnya adalah dalam segala hal larilah menuju Allah. Jika kalian memiliki masalah atau urusan apapun, segera menuju kepada Allah. Segera sujud, berdoa, minta kepada Allah([87]). Sebagaimana dalam hadits hasan yang diriwayatkan dari sahabat Hudzaifah,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ، صَلَّى
“Adalah Nabi jika menghadapi suatu permasalahan, beliau (langsung) menegakkan shalat.”([88])
Tidaklah seseorang akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan kecuali dengan segera menuju kepada Allah. Jika dia memiliki masalah keluarga, maka hendaknya dia kembali kepada Allah. Jika dia memiliki masalah ekonomi, maka hendaknya dia kembali kepada Allah. Jika dia terjebak dengan maksiat, maka hendaknya dia segera lari kepada Allah. Jika dia dikuasai oleh syahwat, maka hendaknya segera lari kepada Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَلَا تَجْعَلُوا مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain selain Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.” (QS. Adz-Dzariyat: 51)
Kata مَعَ bermakna bersama. Janganlah kalian menjadikan Tuhan yang lain bersama Allah. Artinya janganlah berbuat kesyirikan. Ayat ini menguatkan makna syirik yang bermakna menyembah Allah dan menyembah selain Allah. Maka jika diterjemahkan menjadi ‘janganlah kalian mempersekutukan Allah’. Mempersekutukan artinya adalah menyembah Allah dan menyembah selain Allah. Itulah hakekat kesyirikan. Jika ada orang yang menyembah kepada Allah dan juga beribadah kepada jin atau kepada wali. Maka, perbuatannya disebut dengan syirik dan pelakunya adalah musyrik.
Tidak sebagaimana persangkaan sebagian orang awam yang menyangka bahwa yang dinamakan musyrik adalah jika seseorang keluar dari agama Islam atau pindah dari agama Islam kepada agama yang lain. Tidak demikian, sejatinya yang dinamakan musyrik adalah dia beribadah kepada Allah sekaligus beribadah kepada selain Allah. Jika ada orang yang berdoa kepada Allah di masjid, namun pada waktu yang lain dia berdoa kepada -seseorang yang dianggap- wali di kuburan. Maka sesungguhnya dia telah melakukan kesyirikan. Jika ada seseorang yang menyembelih hewan kurban berupa kambing atau unta pada waktu ‘idul Adha atau musim haji. Namun, pada waktu yang lain dia menyembelih untuk jin, maka dia telah berbuat kesyirikan. Artinya dia menyembelih untuk Allah dan juga untuk selain Allah. Itulah hakekat kesyirikan.
Jadi, syirik tidak mesti berarti pindah agama saja. Berpindah agama adalah perkara yang jelas merupakan perbuatan syirik. Tetapi, orang yang tetap dalam agama Islam, namun dia beribadah kepada selain Allah, maka dia adalah musyrik. Sama halnya seperti orang-orang Nasrani, mereka menyembah Allah sekaligus menyembah Nabi Isa, maka mereka adalah kaum musyrikin.
إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ
“Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.”
Maksudnya adalah Allah mengutus Nabi Muhammad untuk memberi peringatan kepada manusia agar sekali-sekali tidak berbuat kesyirikan kepada Allah.([89])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
كَذَلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
“Demikianlah setiap kali seorang Rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, “Dia itu pesihir atau orang gila.” (QS. Adz-Dzariyat: 52)
Ayat ini merupakan bentuk hiburan kepada Nabi Muhammad. Beliau dikatakan sebagai seorang penyihir ataupun orang gila. Seakan-akan Allah berfirman kepada beliau ‘Wahai Muhammad, bukan hanya engkau yang dikatakan sebagai orang gila maupun penyihir. Seluruh nabi dan rasul sebelum engkaupun dikatakan sebagai orang gila ataupun penyihir’. Terkadang dua kata sekaligus ditujukan kepada beliau. Salah satu contoh yang dikatakan sebagai ‘orang gila’ adalah Nabi Nuh. Beliau dikatakan gila karena pada musim kemarau -tidak ada hujan maupun awan- beliau membuat perahu di tengah hutan. Padahal tidak ada laut maupun danau di tempat tersebut. Akhirnya, beliau dikatakan sebagai orang gila.
Sebagian Nabi juga dikatakan sebagai penyihir. Seperti Nabi Musa, Nabi Muhammad dan Nabi Shalih. Ada juga diejek dengan digabungkan kedua-duanya, seperti Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Mereka dikatakan sebagai orang gila dan penyihir. Sehingga apa yang dialami oleh Nabi, juga dialami oleh saudara-saudanya yang sebelumnya dari kalangan para Nabi.([90])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzariyat: 53)
Apakah antara satu kaum dengan kaum yang lainnya saling berwasiat? Jawabannya tentu tidak. Kaum Nabi Nuh tidak pernah berwasiat kepada kaum Nabi ‘Ad. Begitu juga dengan kaum ‘Ad, mereka tidak pernah berwasiat kepada kaum Tsamud. Demikian seterusnya, kaum Nabi Musa tidak ada yang berwasiat kepada kaum Nabi Muhammad, karena antara kaum-kaum tersebut tidak saling bertemu.
Akan tetapi, kenapa gelar yang disematkan kepada mereka bisa sama? Jawabannya adalah,
بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.”
Yang membuat mereka sama adalah jiwa-jiwa mereka yang buruk dan melampaui batas. Sehingga output-pun sama. Begitu juga dengan Iblis yang menggoda mereka. Iblis yang ada di zaman Nabi Nuh adalah iblis yang menggoda Abu Jahl bersama kawan-kawannya. Oleh karenanya, syubhatnya pun sama, outputnya juga sama.([91])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ فَمَا أَنْتَ بِمَلُومٍ
“Maka berpalinglah engkau dari mereka, dan engkau sama sekali tidak tercela.” (QS. Adz-Dzariyat: 54)”
Maksudnya adalah seakan-akan Allah berfirman ‘janganlah engkau pedulikan kata-kata mereka yang mengatakan bahwa engkau orang gila ataupun penyihir’. Artinya adalah hiburan dari Allah agar Nabi Muhammad tidak mempedulikan apa yang mereka katakan kepada beliau. Karena beliau sangat sedih ketika mereka tidak mau beriman.
وَلا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ
“Dan janganlah engkau bersedih hati terhadap mereka.” (QS. An-Naml: 70)
Diantara hal yang membuat beliau bersedih adalah karena beliau dikatakan sebagai orang gila. Maka dari itu, Allah menyebutkannya ejekan sebagai bentuk gangguan. Allah berfirman,
لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذىً كَثِيراً وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
“Kamu pasti akan diuji dengan hartamu dan dirimu. Dan pasti kamu akan mendengar banyak hal yang sangat menyakitkan hati dari orang-orang yang diberi Kitab sebelum kamu dan dari orang-orang musyrik. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (patut) diutamakan.” (QS. Ali Imran: 186)
Artinya kaum muslimin akan mendengar gangguan yang banyak.
Tentu Nabi terganggu, sedih dan sakit ketika dikatakan sebagai orang gila ataupun penyihir. Bahkan Allah berfirman,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِما يَقُولُونَ
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” (QS. Al-Hijr: 97)
Nabi terganggu, akan tetapi Allah memerintahkan kepada beliau agar bersabar. Allah berfirman,
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ
“Maka berpalinglah engkau dari mereka.”
Allah memerintahkan agar Nabi berpaling dari mereka dan tidak menanggapi tuduhan-tuduhan dari mereka. Beliau diperintahkan agar tidak berlarut di dalam kesedihan, tidak mempedulikan apa yang mereka katakan. Bukan berarti karena sebab tuduhan-tuduhan tersebut lantas berhenti berdakwah. Akan tetapi terus melanjutkan dakwah kepada mereka dengan tidak mempedulikan apa yang mereka tuduhkan.([92])
Hal ini menunjukkan teladan dari Nabi. Jika seseorang diberikan cobaan atau dituduh dengan bermacam gangguan, hendaknya dia bersabar. Misalnya dikatakan cingkrang, wahabi, teroris, radikal. Maka, hendaknya kita bersabar, karena yang terpenting apa yang dituduhkan kepada kita tidaklah demikian.
Dan jika seseorang adalah pendakwah, maka hendaknya dia tidak mempedulikan perkataan mereka dan tetap untuk terus melanjutkan berdakwah dan menyampaikan kebenaran. Sungguh, jika kita -para dai- hanya dikata-katain dengan ejekan demikian maka sesungguhnya Rasulullah telah dituduhkan dengan yang lebih parah dari pada yang dikatakan kepada kita.
فَمَا أَنْتَ بِمَلُومٍ
“Dan engkau sama sekali tidak tercela.”
Ini merupakan diantara metode dalam bahasa arab. Artinya adalah bahwa ‘Tidak ada celaan pada dirimu dan apabila engkau berpaling dari mereka wahai Muhammad, engkau sama sekali tidak tercela’. Maka jangan sibukkan dirimu dengan tuduhan-tuduhan mereka dan teruskanlah dakwahmu.’([93])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin.” (QS. Adz-Dzariyat: 55)
Diantara metode dalam Al-Quran adalah memberikan peringatan. Peringatan itu melazimkan berulang-ulang. Terkadang jika seseorang membaca Al-Quran, dia akan menjumpai kisah-kisah umat-umat terdahulu yang dibinasakan oleh Allah disebutkan secara berulang-ulang. Karena diantara hikmah dari Al-Quran adalah untuk memberikan peringatan. Akan tetapi, setiap kisah selalu ada faedah yang tidak disebutkan di dalam surat yang lain. Begitu juga dengan pembahasan tauhid di dalam Al-Quran-pun berulang-ulang, karena manusia terkadang selalu lupa atau lalai dan butuh untuk diperingatkan terus-menerus tiada hentinya. Disamping itu, peringatan akan memberikan manfaat kepada orang-orang yang beriman dan peringatan kepada orang-orang yang mengingkari. Barangkali diantara mereka ada yang sadar. Jika mereka tidak sadar, maka hujjah akan semakin ditegakkan untuk mereka.([94])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Tujuan manusia diciptakan dan dihidupkan di alam semesta hanya satu, yaitu untuk beribadah kepada Allah dan tidak berbuat syirik kepadaNya. Ayat ini juga menunjukkan bahwasanya orang yang dibebani dengan syariat adalah dua makhluk, yaitu jin dan manusia. Mereka dibebani dengan syariat untuk diberi hukuman dan balasan berupa surga dan neraka.
Jin memiliki hukum sebagaimana manusia. Para ulama menyebutkan bahwa Allah menyebutkan terlebih dahulu jin dari pada manusia, disebabkan orang-orang musyrikin pada zaman dahulu juga menyembah jin. Karenanya, pada ayat ini Allah mengingatkan bahwa jin adalah ciptaan Allah, bukan tuhan untuk disembah atau diibadahi. Bahkan, para jin juga dibebani untuk beribadah kepada Allah dan tidak berhak untuk disembah. ([95])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
مَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ يُطْعِمُونِ. إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
“Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 57-58)
Allah tidak membutuhkan rezeki sedikitpun dari hamba-hambaNya dan tidak pula meminta agar mereka memberi makan kepadaNya. Justru, Allah adalah Dzat yang Maha memberi rezeki. Allah berfirman,
فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ
“Maka mintalah rezeki dari Allah.” (QS. Al-‘Ankabut: 17)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa الْمَتِينُ adalah diantara nama-nama Allah. Terkadang dijumpai ada seseorang yang memiliki nama Abdul Matin artinya adalah Hamba Dzat Yang Maha Kokoh. ([96])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا ذَنُوبًا مِثْلَ ذَنُوبِ أَصْحَابِهِمْ فَلَا يَسْتَعْجِلُونِ
“Maka sungguh, untuk orang-orang yang zalim ada bagian (azab) seperti bagian teman-teman mereka (dahulu); maka janganlah mereka meminta kepada-Ku untuk menyegerakannya.” (QS. Adz-Dzariyat: 59)
Kata ذَنُوْب di dalam bahasa arab memiliki makna ember besar yang berisi dengan air. Disebutkan dalam hadits,
ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ
“seember yang berisi dengan air.”([97])
Pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa sesungguhnya orang-orang yang berbuat dzalim mendapatkan ember sebagaimana ember-ember orang sebelum mereka. Maka hendaknya mereka jangan meminta agar disegerakan azab. Para ulama mengatakan bahwa Allah mengumpamakan orang-orang yang berbuat kesyirikan dari kaum Nabi Muhammad dengan kaum Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Hud, Nabi Shalih seperti orang-orang yang datang ke sebuah sumur, kemudian mereka bergantian mengambil air sumur tersebut dengan ember yang dibawa oleh masing-masing dari mereka. Artinya mereka adalah satu golongan dari kaum musyrikin seperti orang-orang yang datang kepada sebuah sumur dengan tujuan yang sama. Dan masing-masing dari mereka akan mendapatkan bagiannya. Maka dari itu seakan-akan Allah berfirman: ‘Janganlah khawatir wahai orang-orang kafir Quraisy, sekarang kalian belum mendapatkan ember kalian. Dan nanti masing-masing dari kalian akan mendapatkan ember azab kalian. Azab yang besar -sebagaimana dzanub yang memiliki makna ember besar yang berisi air-’. Artinya kalian akan mendapatkan azab sebagaimana kaum-kaum sebelumnya yang sudah menerima azab mereka.([98])
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ يَوْمِهِمُ الَّذِي يُوعَدُونَ
“Maka celakalah orang-orang yang kafir pada hari yang telah dijanjikan kepada mereka (hari Kiamat).” (QS. Adz-Dzariyat: 60)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang-orang kafir yang selalu menantang dan meminta agar disegerakan azab kepada mereka. Seakan-akan mereka berkata ‘kapan azab didatangkan kepada kami.’
فَأْتِنا بِما تَعِدُنا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“Maka buktikanlah ancamanmu kepada kami, jika kamu benar!” (QS. Al-A’raf: 70)
Orang-orang kafir menantang Rasulullah sebagaimana orang-orang kafir terdahulu menantang para Nabi dan Rasul agar didatangkan azab kepada mereka dengan mengatakan ‘Jika engkau orang yang jujur, datangkanlah azab kepada kami’. Namun, Allah berfirman,
فَلَا يَسْتَعْجِلُونِ
“Maka janganlah mereka meminta kepada-Ku untuk menyegerakannya.”
Azab itu pasti akan datang sebagaimana telah datang kepada orang-orang sebelum mereka.([99])
________________________________________
([1]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/335.
([2]) Dan disebut juga dengan Shabigh bin ‘Asl atau ‘Usail. (Lihat: Tarikh Dimasyq Li Ibnu ‘Asakir 23/408)
([3]) Tafsir Ibnu Katsir 7/413.
([4]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 5/361.
([5]) Lihat: Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqithiy 7/434.
([6]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/337.
([7]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/172.
([8]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/394 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/30
([9]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/397, Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/173 dan Tafsir Al-Baghawiy 7/371.
([10]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/341.
([11]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/398 dan Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/173
([12]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/342.
([13]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/343.
([14]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/173 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/33.
([15]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/343.
([16]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/343.
([17]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/34 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/344.
([18]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/372.
([19]) Tafsir Al-Qur’an Al-‘Aziz Li Ibnu Abi Zamanin 3/305.
([20]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/346.
([21]) Tafsir Al-Manar Li Muhammad Rasyid 2/99.
([22]) H.R. Ahmad no.21536 dan At-Tirmidzi no.1987 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([23]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/347.
([24]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/347.
([26]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal.808.
([27]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/348.
([28]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/406.
Untuk tafsiran yang pertama maka huruf مَا pada firmanNya كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ adalah zaaidah (tambahan), yang fungsinya adalah sebagai penguat. Sehingga artinya “Mereka benar-benar sedikit tidurnya” (Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir 26/349)
([29]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/407.
Untuk tafsiran yang kedua, maka huruf مَا pada firmanNya كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ adalah nafiyah (untuk menafikan), sehingga makna ayat sebagaimana yang dikatakan oleh Qotadah, كَانَ لَهُمْ قَلِيلٌ مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ، كَانُوا يُصَلُّونَهُ “Mereka punya waktu sedikit di malam hari mereka tidak tidur, mereka gunakan waktu sedikit tersebut untuk shalat” (Tafsir ath-Thabari 21/503)
([30]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/37.
([31]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/350.
([32]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/413.
([33]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/351.
([34]) Lihat: Tafsir Al-Alusiy 14/10.
([35]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/419.
([36]) Lihat: Tasir Al-Baghawiy 7/375.
([37]) Lihat: Tasir Ibnu ‘Athiyyah 5/176.
([38]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/421.
([39]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/43.
([40]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/45.
([41]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/116.
([42]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/376.
([43]) Lihat: Tafsir Ibni Áthiyyah 5/177 dan Fathul Qodiir, Asy-Syaukani 5/105
([44])Lihat : Fathul Qodiir 5/105, hal ini karena salamnya para malaikat adalah dalam bentuk doa, adapun salamnya Ibrahim kepada mereka adalah dalam bentuk khabar/pengabaran (yaitu taqdirnya bisa jadi sebagai Khobar dari mubtada’ yang dihapuskan أَمْرٌ سَلامٌ perkaranya adalah salam, atau وَاجِبٌ لَكُمْ سَلامٌ wajib atas kalian adalah salam, atau taqdirnya sebagai mubtada’ dari Khobar yang dihapuskan yaitu سَلاَمٌ عَلَيْكُمْ kesalamatan atas kalian). (Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/177). Dan khabar lebih kuat dari doa, karena doa masih menunggu ijabah, adapun khabar menunjukan seakan-akan telah terjadi, atau pasti terjadi.
([45]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 5/299.
([46]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/359.
([47]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/359.
([48]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/359.
([49]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 26/360.
([50]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/117
([51]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/47.
([52]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/178 dan Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/15.
([53]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/47.
([54]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/178.
([55]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/492.
([56]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/6 dan Tafsir Al-Alusiy 14/15
([57]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/178 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/48.
([58]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li ibnu ‘Asyur 27/8.
([59]) Tafsir Ath-Thabariy 21/532.
([60]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li ibnu ‘Asyur 27/8.
([61]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 9/75.
([62]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/48.
([63]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/8.
([64]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/179.
([65]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 12/135.
([66]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 9/27.
([67]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/10.
([68]) Yaitu tangan Nabi Musa setelah dimasukan ke kantongnya tiba-tiba dikerluarkan berubah menjadi warna putih dan bercahaya yang dilihat oleh para hadirin (lihat Fathul Qodiir, Asy-Syaukani 2/263)
([69]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/422.
([70]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/11.
([71]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 16/204.
([72]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/12.
([73]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/13.
([74]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/13.
([75]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/180.
([76]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/14.
([77]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/52.
([78]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/14.
([79]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/15.
([80]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/424.
([81]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/16.
([82]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/16.
([83]) Lihat: Tafsir Al-Alusiy 14/18.
([84]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/379.
([85]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/379.
([86]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/53.
([87]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/120 dan Tafsir Al-Baghawiy 7/379.
([88]) H.R. Abu Dawud no.1319 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([89]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/54.
([90]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/182.
([91]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/54.
([92]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/23.
([93]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/181.
([94]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/24.
([95]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/28.
([96]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/29.
([98]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/57 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/30.