Tafsir Surah Ath-Thur
Sebagaimana telah lalu bahwasanya surah Ath-Thur adalah salah satu dari surah-surah yang dikenal sebagai surah Al-Mufashal, yaitu surah-surah dengan ayat-ayat yang pendek, yang dimulai dari surah Qoof hingga surah an-Naas. Dan surah At-Thuur termasuk dari surah-surah Thiwaal al-Mufashhol (yaitu surah-surah al-Mufashhol yang panjang yang biasanya dibaca tatkala shlat subuh). Oleh karenanya di antara surah yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat subuh adalah surah Ath-Thur. Ummu Salamah beliau berkata,
شَكَوْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّي أَشْتَكِي، فَقَالَ: طُوفِي مِنْ وَرَاءِ النَّاسِ وَأَنْتِ رَاكِبَةٌ. فَطُفْتُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَئِذٍ يُصَلِّي إِلَى جَنْبِ البَيْتِ وَهُوَ يَقْرَأُ: وَالطُّورِ وَكِتَابٍ مَسْطُورٍ
“Aku mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa kondisiku sedang lemah (tidak bisa tawaf), maka Beliau berkata, ‘Tawaflah dari belakang orang banyak (yang sedang shalat) dengan mengendarai tunggangan (unta)’. Maka aku pun tawaf, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu shalat (subuh) di sisi Ka`bah dan beliau membaca ‘WATH THUUR WA KITAABIN MASTHUUR’.”([1])
Namun demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membaca surah Ath-Thur tatkala shalat maghrib. Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa Jubair bin Mut’im waktu masih kafir hendak datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menebus tawanan perang Badr. Tatkala dia sampai di Madinah, dia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat maghrib. Jubair bin Mut’im berkata,
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِالطُّورِ، فَلَمَّا بَلَغَ هَذِهِ الآيَةَ: أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الخَالِقُونَ، أَمْ خَلَقُوا السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ بَلْ لاَ يُوقِنُونَ، أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ المُسَيْطِرُونَ. قَالَ: كَادَ قَلْبِي أَنْ يَطِيرَ
“Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surah Ath-Thur pada shalat maghrib. Tatkala sampai ayat ini; ‘Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa? (Ath-Thur: 35-37)’. Ia (Jubair) berkata, ‘Jantungku hampir-hampir akan lepas (karena mendengarnya)’.”([2])
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah di antara sebab Jubair bin Mut’im masuk Islam di kemudian hari.([3])
Surah Ath-Thur adalah surah Makkiyah. Tatkala kita telah tahu bahwa suatu surah itu adalah Makkiyah maka kita akan tahu bahwa orang-orang yang dihadapi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang-orang kafir Quraisy. Dan biasanya surah-surah Makkiyah berbicara tentang tiga perkara akidah yaitu, iman kepada hari akhir; tentang keotentikan Alquran; dan tentang kerasulan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketiga pokok akidah ini terkandung dalam surah Ath-Thur.([4])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالطُّورِ
“Demi gunung Thur Sinai.” (QS. Ath-Thur : 1)
Sebagaimana disebutkan oleh sebagian para salaf bahwasanya kata الطُّورِ dalam bahasa Siryani maknanya adalah,
جَبَلٌ أَنْبَتَ (شَجَرًا)
“Gunung yang menumbuhkan (pohon-pohon).”([5])
Kemudian الطُّورِ diserap ke dalam bahasa Arab([6]). Berbeda dengan kata جَبَلٌ dalam bahasa Arab, جَبَلٌ dalam bahasa Arab bermakna gunung yang tandus seperti gunung-gunung di Madinah dan kota Mekkah. Maka adapun الطُّورِ adalah sebutan untuk gunung-gunung yang memiliki tumbuh-tumbuhan seperti gunung-gunung yang ada di Indonesia.([7])
Para ulama khilaf tentang penyebutan kata الطُّورِ dalam surah ini. Secara umum ada dua pendapat, pertama bahwa apakah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan gunung Ath-Thur secara umum; kedua atau apakah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan gunung Ath-Thur Sina yang merupakan gunung spesial dimana Nabi Musa ‘alaihissalam pernah dipanggil dan diajak berbicara oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Imam Ibnu Katsir lebih condong kepada pendapat pertama, akan tetapi jumhur mufassir lebih condong kepada pendapat kedua bahwasanya Ath-Thur yang dimaksud dalam ayat ini adalah gunung Thur Sina. Adapun pendapat yang lebih kuat adalah yang dimaksud Ath-Thur dalam ayat ini adalah gunung Thur Sina yang dimana di gunung tersebut Nabi Musa ‘alaihissalam pernah dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian diberi wahyu. ([8])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكِتَابٍ مَسْطُور
“Dan demi Kitab yang ditulis.” (QS. Ath-Thur : 2)
Para ulama juga khilaf tentang kitab apa yang dimaksud dalam ayat ini. Sebagian berpendapat bahwa kitab yang dimaksud adalah kitab di Lauhul Mahfudz. Adapun sebagian yang lain mengatakan bahwa kitab yang dimaksud adalah,
سَائِرَ الْكُتُبِ الْمُنَزَّلَةِ عَلَى الْأَنْبِيَاءِ
“Seluruh kitab tertulis yang diturunkan kepada para Nabi.”([9])
Seluruh kitab baik Alquran, Injil, Taurat, dan Zabur, Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan nama kitab-kitab ini.
Pendapat yang lebih kuat adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi dan bukan kitab yang ada di Lauhul Mahfudz. Sebabnya adalah karena ayat ini berkaitan dengan ayat setelahnya. ([10])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فِي رَقٍّ مَنْشُورٍ
“Pada lembaran yang terbuka.” (QS. Ath-Thur : 3)
Ayat ini berkaitan dengan ayat sebelumnya. Kata رَقٍّ artinya adalah sebuah kulit yang dituliskan di atasnya firman Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun pada ayat sebelumnya tentang kitab apa yang ditulis tersebut, maka para ulama kemudian khilaf lagi dalam hal ini. Ada yang menyebut Alquran, ada yang menyebut Taurat, dan ada pula yang menyebut kitab secara umum([11]). Akan tetapi Thahir Ibnu ‘Asyur merajihkan bahwasanya yang dimaksud kitab pada ayat tersebut adalah Taurat. Karena orang-orang Yahudi dahulu ketika diturunkan wahyu kepada Nabi Musa ‘alaihissalam, maka wahyu tersebut dituliskan di atas kulit. Kemudian kulit-kulit tersebut mereka jahit sehingga menjadi panjang. Jika mereka ingin membacanya maka mereka harus membuka lembaran kulit tersebut. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan رَقٍّ مَنْشُورٍ (kulit yang terbuka)([12]). Hal ini juga sebagaimana disebutkan dalam hadits tentang dua orang Yahudi yang berzina,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِيَهُودِيٍّ وَيَهُودِيَّةٍ قَدْ زَنَيَا، فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَاءَ يَهُودَ، فَقَالَ: مَا تَجِدُونَ فِي التَّوْرَاةِ عَلَى مَنْ زَنَى؟ قَالُوا: نُسَوِّدُ وُجُوهَهُمَا، وَنُحَمِّلُهُمَا، وَنُخَالِفُ بَيْنَ وُجُوهِهِمَا، وَيُطَافُ بِهِمَا، قَالَ: فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ، فَجَاءُوا بِهَا فَقَرَءُوهَا حَتَّى إِذَا مَرُّوا بِآيَةِ الرَّجْمِ وَضَعَ الْفَتَى الَّذِي يَقْرَأُ يَدَهُ عَلَى آيَةِ الرَّجْمِ، وَقَرَأَ مَا بَيْنَ يَدَيْهَا، وَمَا وَرَاءَهَا، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ سَلَامٍ: وَهُوَ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيَرْفَعْ يَدَهُ، فَرَفَعَهَا فَإِذَا تَحْتَهَا آيَةُ الرَّجْمِ، فَأَمَرَ بِهِمَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرُجِمَا
“Ada seorang laki-laki dan seorang wanita dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena keduanya dituduh telah berbuat zina. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas pergi hingga menemui orang-orang Yahudi, beliau kemudian bertanya: ‘Apa yang kalian ketahui dalam Taurat tentang hukuman bagi orang yang telah berzina?’ mereka menjawab: ‘Kami lumuri muka mereka dengan arang, kemudian kami naikkan kedua orang tersebut ke atas kendaraan dengan posisi berbelakang-belakangan lalu diarak keliling kota.’ Beliau bersabda: ‘Jika kalian benar, coba perlihatkan kitab Tauratmu’. Lalu mereka bawa kitab Taurat dan mereka membacanya di hadapan beliau. Ketika bacaannya sampai kepada ayat rajam, pemuda yang membacanya meletakkan tangannya agar bisa menutupi ayat tersebut hingga lewat sampai ayat berikutnya. Tetapi Abdullah bin Salam, yang ketika itu mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, ‘Wahai Rasulullah, suruhlah dia mengangkat tangannya’. Ketika pemuda itu mengangkat tangannya, ternyata di bawah tangannya terdapat ayat rajam. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar keduanya dihukum rajam, akhirnya keduanya dihukum rajam.”([13])
Dalam lafal yang lain :
فَأَتَوْا بِالتَّوْرَاةِ فَنَشَرُوهَا
“Merekapun mendatangkan taurat lalu mereka membuka (gulungan) nya”([14])
Pendapat yang menyebutkan bahwa pada Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan kitab Taurat merupakan pendapat yang kuat karena pada ayat pertama Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan bukit Thur Sina yang di bukit tersebut Nabi Musa ‘alaihissalam berbicara dengan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ
“Dan demi Baitul Makmur.” (QS. Ath-Thur : 4)
Secara umum terdapat dua pendapat tentang makna Baitul Makmur dalam ayat ini. Pendapat pertama menyebutkan bahwa Baitul Makmur adalah Ka`bah yang makmur dipenuhi oleh orang-orang yang beribadah dengan tawaf dan sujud, serta tidak pernah sepi jamaáh yang sedang sholat atau thowaf. Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa وَالْبَيْتِ الْمَعْمُورِ maksudnya adalah “Demi Ka`bah”([15]). Pendapat kedua menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Baitul Makmur adalah masjid yang ada di langit ke tujuh, yang para malaikat selalu masuk ke masjid tersebut untuk beribadah([16]). Sebagaimana disebutkan dalam Shahih Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ثُمَّ رُفِعَ لِي الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ، فَقُلْتُ: يَا جِبْرِيلُ مَا هَذَا؟ قَالَ: هَذَا الْبَيْتُ الْمَعْمُورُ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ، إِذَا خَرَجُوا مِنْهُ لَمْ يَعُودُوا فِيهِ آخِرُ مَا عَلَيْهِمْ
“Kemudian diangkat (ditampakan) kepadaku ke Baitul Makmur, lalu aku bertanya, ‘Wahai Jibril, apakah ini?’ Lalu Jibril menjawab, ‘Ini adalah Baitul Makmur yang mana dalam setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat akan memasukinya. Setelah mereka keluar, mereka tidak akan memasukinya lagi, karena itu merupakan terakhir kali mereka memasukinya’.”([17])
Hadits ini juga menunjukkan jumlah malaikat yang sangat banyak. Karena setiap hari ada tujuh puluh ribu malaikat yang berbeda yang memasuki Baitul Makmur. Dalam hadits lain juga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ،
“Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Ibrahim Alaihissalam, dia sedang menyandarkan punggungnya di Baitul Makmur.”([18])
Pendapat kedua yang menyebutkan bahwa yang dimaksud Baitul Makmur dalam ayat ini adalah Baitul Makmur yang ada di langit merupakan pendapat jumhur salaf dan ulama khalaf. Adapun riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa Baitul Makmur berada persis di atas Ka`bah, maka riwayat-riwayat tersebut semuanya dha’if ([19]).
Inilah dua pendapat yang para ulama khilaf tentang Baitul Makmur mana yang dimaksud dalam ayat ini. Karena meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebut tentang adanya Baitul Makmur di langit, akan tetapi tidak ada isyarat kuat yang menunjukkan bahwa Baitul Makmur yang dilangitlah yang dimaksud dalam ayat ini sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa Baitul Makmur yang dimaksud adalah Ka`bah. Akan tetapi Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa keduanya sama saja, baik itu Baitul Makmur yang ada di langit ataupun di bumi keduanya sama-sama tempat yang makmur dengan peribadahan. Di langit dipenuhi dengan peribadahan para malaikat, sedangkan di bumi dipenuhi dengan peribadahan para manusia.([20])
Allah Subhanahu wa ta’ala firman,
وَالسَّقْفِ الْمَرْفُوعِ
“Dan demi atap yang ditinggikan (langit).” (QS. Ath-Thur : 5)
Langit dinamakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan سَقْف (atap), sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آيَاتِهَا مُعْرِضُونَ
“Dan Kami menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain).” (QS. Al-Anbiya’: 32)
Dan sebagaimana rumah memiliki atap maka bumi inipun memiliki atap yaitu langit. ([21])
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah berfirman,
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا
“Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat.” (QS. Ar-Ra’d : 2)
Oleh karenanya langit diangkat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala menjadi atap bagi bumi dengan sangat sempurna. Dan kesempurnaannya tersebut karena dibuat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak sebagaimana kita manusia yang tatkala membuat atap bagi rumah-rumah kita terkadang ada yang miring, ada yang lubang, dan berbagai kekurangan-kekurangan lainnya. Dan langit Allah Subhanahu wa ta’ala ciptakan dengan sangat kokoh, karena Allah Subhanahu wa ta’ala menempatkan benda-benda yang besar seperti matahari, bulan, dan bintang-bintang. Meskipun benda-benda langit tersebut sangat besar dan berat namun tidak menggoyangkan langit sama sekali. Akan tetapi para ulama khilaf tentang apa maksud Allah Subhanahu wa ta’ala meninggikan langit tanpa tiang. Ada yang mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala benar-benar meninggikan langit tanpa ada tiang sama sekali sebagaimana yang kita lihat. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa langit itu ada tiangnya, hanya saja kita manusia tidak bisa melihatnya. Wallahu a’lam bishshawwab. Intinya langit adalah langit yang sangat besar yang bisa kita lihat. Meskipun ada makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa ta’ala yang lebih besar seperti kursi dan ‘Arsy Allah, akan tetapi yang terbesar dan terluas yang bisa kita lihat saat ini adalah langit.([22])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ
“Dan demi lautan yang meluap.” (QS. Ath-Thur : 6)
Terdapat beberapa khilaf dikalangan para ulama tentang makna وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa وَالْبَحْرِ الْمَسْجُورِ artinya adalah laut yang dinyalakan. Karena kata الْمَسْجُورِ diambil dari kata سَجَرَ yang artinya menyala. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا الْبِحَارُ سُجِّرَتْ
“Dan apabila lautan dinyalakan (dipanaskan).” (QS. At-Takwir : 6)
Pendapat kedua menyebutkan bahwa وَالْبَحْرِ الْمَسْجُور adalah laut yang meluap sehingga bercampur antara air asin dan air tawar. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang lain,
وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ
“Dan apabila lautan dijadikan meluap.” (QS. Al-Infithar : 3)
Pendapat ketiga menyebutkan bahwa وَالْبَحْرِ الْمَسْجُور artinya adalah laut yang hilang airnya.
Inilah secara umum pendapat-pendapat para ulama mengenai ayat ini. ([23])
Para ulama menyebutkan bahwa kata الْمَسْجُورِ merupakan kata الأَضْدَاد Al-Adhdhad, yaitu kata yang maknanya terkadang berlawanan. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ
“Dan demi malam apabila telah larut.” (QS. At-Takwir : 17)
Kata عَسْعَسَ bisa bermakna malam yang datang dan bisa pula bermakna malam yang pergi. Adapun cara menentukan penafsiran yang benar adalah dengan melihat konteksnya. Demikian pula dengan kata الْمَسْجُورِ yang maknanya berlawanan, yaitu bisa berarti meluap dan bisa pula artinya hilang.
Akan tetapi sebagian ulama mengatakan bahwa tafsiran-tafsiran di atas semuanya menunjukkan kondisi laut pada hari kiamat kelak. Mereka mengatakan bahwa pada hari kiamat kelak, yang pertama terjadi adalah air laut meluap, sehingga bercampur air asin dan air tawar. Setelah meluap ke permukaan bumi maka laut kemudian dibakar (dinyalakan) oleh Allah Subhanahu wa ta’ala hingga hilanglah laut tersebut. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala hendak menjadikan bumi datar sebagai padang mahsyar yang tanpa laut dan gunung-gunung. ([24])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ لَوَاقِعٌ
“Sesungguhnya azab Tuhanmu pasti terjadi.” (QS. Ath-Thur : 7)
Allah Subhanahu wa ta’ala pada ayat-ayat sebelumnya bersumpah dengan lima perkara. Tidak lain dan tidak bukan Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan lima sumpah tersebut untuk menekankan sesuatu perkara yaitu azab Allah Subhanahu wa ta’ala pasti akan terjadi.([25])
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala ingin tekankan kepada orang-orang musyrikin bahwa azab yang akan menimpa mereka pasti akan terjadi. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah tekankan dengan tiga penekanan.
Penekanan pertama adalah Allah Subhanahu wa ta’ala membuka dengan lima sumpah.
Penekanan kedua adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata إِنَّ (sesungguhnya) dalam ayat ini.
Penekanan ketiga adalah ada huruf لَ pada kata لَوَاقِعٌ yang berarti sungguh-sungguh akan terjadi.
Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan penekanan karena orang-orang musyrikin meragukan adanya azab. Jangankan meragukan adanya azab, adanya hari kiamat pun mereka ragukan. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan penekanan-penekanan. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa kata وَاقِعٌ sendiri adalah bentuk penekanan, karena maknanya juga adalah pasti terjadi.([26])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا لَهُ مِنْ دَافِعٍ
“(Jika telah terjadi) tidak sesuatu pun yang dapat menolaknya.” (QS. Ath-Thur : 8)
Telah jelas bahwa jika azab Allah Subhanahu wa ta’ala telah tiba maka tidak ada yang bisa menolaknya([27]). Tidak perlu kita jauh berbicara azab di akhirat, ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan musibah di dunia adakah yang bisa menolaknya? Tentu tidak ada. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan gempa atau tsunami, bakan yang lebih ringan seperti banjir, maka siapakah yang bisa menolak musibah tersebut? Sungguh tidak ada yang bisa menolaknya. Maka jika di dunia sendiri tidak ada yang bisa menolak musibah dari Allah Subhanahu wa ta’ala, maka bagaimana mungkin azab diakhirat bisa ditolak? Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menekankan pada ayat ini bahwa jika azab Allah Subhanahu wa ta’ala telah ditimpakan kepada orang-orang kafir maka tidak ada yang bisa menolaknya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ تَمُورُ السَّمَاءُ مَوْرًا
“Pada hari (ketika) langit berguncang sekeras-kerasnya.” (QS. Ath-Thur : 9)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mulai menjelaskan kapan terjadinya azab yang akan ditimpakan kepada orang-orang kafir.
Tanda-tandanya adalah langit bergerak. Makna dari kata مَوْرًا ada yang mengatakan artinya adalah bergetar dengan kencang dan ada pula yang menyebutkan artinya adalah bergerak seperti ombak yang bergoyang. Maka ketika itu langit yang sebelumnya selama hidup terlihat kokoh, ketika hari kiamat langit akan bergoyang tanda tidak kuat lagi. Oleh karenanya bintang-bintang pun berjatuhan pada hari kiamat kelak, matahari dan bulan pun terlepas dari orbitnya. Maka ketika itu terjadilah hari kiamat.([28])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَسِيرُ الْجِبَالُ سَيْرًا
“Dan gunung-gunung berjalan (berpindah-pindah).” (QS. Ath-Thur : 10)
Pada hari kiamat kelak gunung-gunung akan berjalan dengan sebenar-benarnya berjalan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat yang lain,
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ
“Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sungguh, Dia Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Naml : 88)
Jadi kelak pada hari kiamat gunung-gunung akan dicabut dari tempatnya, kemudian diterbangkan dan saling ditabrakkan antara satu dengan yang lainnya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga gunung-gunung tersebut hancur lebur seperti kapas atau bulu yang diterbangkan([29]). Kata Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
“Dan (pada hari itu) gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS. Al-Qari`ah : 5)
Adapun pengulangan kata سَيْرًا dan مَوْرًا merupakan bentuk maf’ul mutlak untuk menjelaskan penekanan bahwasanya hal tersebut akan benar-benar terjadi, serta bukan sekadar majazi melainkan betul-betul makna secara hakikat.([30])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَوَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Maka celakalah pada hari itu bagi orang-orang yang mendustakan.” (QS. Ath-Thur : 11)
Orang-orang kafir Quraisy akan celaka pada hari kiamat kelak.([31])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الَّذِينَ هُمْ فِي خَوْضٍ يَلْعَبُونَ
“Orang-orang yang bermain-main dalam kebatilan (perbuatan dosa).” (QS. Ath-Thur : 12)
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa kecelakaan dan azab yang menimpa orang-orang kafir karena mereka bersenang-senang dalam kebatilan. Orang-orang kafir itu senang ketika telah membicarakan kebatilan. Di antaranya mereka senang mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mereka senang mengejek Alquran. Bermain-main dalam kebatilan tersebut adalah hobi mereka, dan mereka senang melakukan hal tersebut. Itulah mengapa mereka akan mendapatkan kecelakaan pada hari kiamat kelak.([32])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يُدَعُّونَ إِلَى نَارِ جَهَنَّمَ دَعًّا
“Pada hari (ketika) itu mereka didorong ke neraka Jahannam dengan sekuat-kuatnya.” (QS. Ath-Thur : 13)
Kata يُدَعُّونَ juga bisa berarti ditolak. Yaitu orang-orang kafir pada hari kiamat disuruh untuk masuk ke dalam neraka, akan tetapi mereka tidak mau sehingga mereka pun berjalan mundur. Maka ketika mereka berjalan mundur, mereka ditolak dengan kuat sehingga dipaksa masuk ke dalam neraka. Sebagian ulama menyebutkan bahwa mereka diseret dengan kondisi tangan yang terbelenggu dan kaki dilipat ke atas lewat belakang kepala mereka sehingga mereka tidak bisa lari, kemudian didorong dengan keras dan kasar ke dalam neraka.([33])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هَذِهِ النَّارُ الَّتِي كُنْتُمْ بِهَا تُكَذِّبُونَ
“(Dikatakan kepada mereka), “Inilah neraka yang dahulu kamu mendustakannya.” (QS. Ath-Thur : 14)
Orang-orang kafir mendustakan adanya neraka, adanya hari kebangkitan, adanya hari kiamat. Mereka juga mengatakan bahwa surga dan neraka itu tidak ada, dan hanya sebatas khayalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka mengatakan bahwa itu semua adalah dongeng-dongeng orang-orang terdahulu. Maka pada waktu itu Allah Subhanahu wa ta’ala menampakkan kepada mereka neraka yang mereka dustakan tersebut. Ketika itu mereka tidak hanya melihat bahwa neraka itu ternyata benar adanya, akan tetapi mereka juga benar-benar masuk ke dalam neraka Jahannam.([34])
Di antara siksaan Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat kelak adalah siksaan fisik dan siksaan batin (diejek). Maka setelah orang-orang kafir tersebut masuk ke dalam neraka, maka Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mengejek mereka dengan ayat ini bahwa inilah neraka yang mereka dustakan dahulu.([35])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَسِحْرٌ هَذَا أَمْ أَنْتُمْ لَا تُبْصِرُون
“Maka apakah ini sihir? Ataukah kamu tidak melihat?” (QS. Ath-Thur : 15)
Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mengejek kembali orang-orang kafir yang telah berada di dalam neraka dengan mengatakan bahwa apakah yang mereka lihat dan yang mereka rasakan itu adalah sihir? Allah Subhanahu wa ta’ala mengejek mereka dengan perkataan demikian karena dahulu mereka selalu mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah penyihir dan Alquran adalah sihir. Mereka juga dahulu mengatakan bahwa surga dan neraka adalah sihir. Maka seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengejek mereka dengan perkataan “Apakah kalian sedang disihir masuk neraka atau kalian tidak melihat?”. Inilah ejekan Allah Subhanahu wa ta’ala yang kedua kepada orang-orang kafir yang mendustakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Orang-orang kafir tentunya tidak sedang tersihir pada hari kiamat kelak. Mereka benar-benar merasakan panasnya api neraka, mereka benar-benar tersiksa dan menderita karena hal tersebut. Maka pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengejek mereka. Dan mereka tidak bisa tutup mata dengan apa yang sedang mereka alami dan rasakan.([36])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اصْلَوْهَا فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Masuklah ke dalamnya (rasakanlah panas apinya), baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Ath-Thur : 16)
Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan ejekan yang ketiga kepada orang-orang kafir. Ketika mereka telah dimasukkan ke dalam neraka, maka Allah Subhanahu wa ta’ala mengejek mereka bahwa mereka mau bersabar atau tidak atas siksaan tersebut maka sama saja bagi mereka yaitu tidak mengurangi siksaan mereka dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Tentunya berbeda dengan azab di dunia, orang yang sabar dan tidak sabar dalam menghadapi suatu hal tentunya akan memberi dampak yang berbeda. Adapun seseorang yang sabar di dunia tentunya akan memberikan rasa ringan dari apa yang sedang dirasakan dibandingkan dengan orang yang tidak sabar. Oleh karenanya orang miskin yang sabar sudah pasti berbeda dengan orang miskin yang tidak sabar. Orang sakit yang sabar akan merasa sakitnya jauh lebih ringan daripada orang yang sakit namun tidak sabar. Adapun orang-orang kafir di neraka Jahannam kata Allah Subhanahu wa ta’ala mau dia bersabar atau tidak, sama saja dia akan tetap merasakan siksaan yang sangat pedih. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain tentang perkataan penghuni neraka :
سَوَاءٌ عَلَيْنَا أَجَزِعْنَا أَمْ صَبَرْنَا مَا لَنَا مِنْ مَحِيصٍ
“Sama saja bagi kami, apakah kita mengeluh atau bersabar. Kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri.” (QS. Ibrahim : 22)
Jika di dunia orang yang menderita melihat penderitaan orang lain, maka pasti akan mengurangi beban penderitaannya karena ternyata ada yang menderita seperti dirinya. Akan tetapi di akhirat jika seseorang melihat orang lain disiksa maka sama saja, tidak akan mengurangi penderitaannya.
Inilah siksaan fisik maupun batin yang akan dirasakan oleh orang-orang kafir pada hari kiamat kelak. Dan itu semua mereka rasakan sebagai balasan atas perbuatan mereka di dunia. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan
إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak zalim terhadap hamba-hambanya. Oleh karenanya ketika berbicara tentang neraka, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata مَا. Adapun ketika berbicara surga, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata بِمَا sebagaimana dalam firman-Nya,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari sebab apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Ath-Thur : 19)
Para ulama menyebutkan perbedaan penggunaan kata tersebut untuk menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala benar-benar adil, dan apa yang orang-orang rasakan itu benar-benar sepadan dengan kekufuran dan kemaksiatan yang mereka lakukan di dunia.([37])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَعِيمٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan.” (QS. Ath-Thur : 17)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang penghuni neraka, selanjutnya dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian berbicara tentang kenikmatan-kenikmatan yang akan dirasakan oleh penghuni surga.
Di surga seluruhnya adalah kenikmatan. Di surga tidak ada sesuatupun yang tidak nikmat. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
“Dan apabila engkau melihat (keadaan) di sana (surga), niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (QS. Al-Insan : 20)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menerangkan bahwa semua yang dilihat oleh penghuni surga adalah kenikmatan. Mau melihat ke depan, ke kanan, ke kiri, ke belakang, ke atas ataupun ke bawah, maka yang dilihat semua adalah kenikmatan. Tidak ada yang bukan kenikmatan. Berbeda halnya penglihatan seseorang di dunia, terkadang apa-apa yang kita lihat bisa membuat kita sedih dan terkadang bisa membuat kita senang. Maka di surga tidak ada lagi yang demikian. Segala yang dilihat adalah kenikmatan yang mendatangkan kesenangan, serta tidak ada waktu yang tidak dilalui dengan kenikmatan([38]). Karena Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
فِي جَنَّاتٍ وَنَعِيمٍ
“Berada dalam surga dan (dalam) kenikmatan.”
Yaitu tenggelam dalam kenikmatan. Karenanya penduduk surga tidak boleh tidur. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang penghuni surga,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيَنَامُ أَهْلُ الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «النَّوْمُ أَخُو الْمَوْتِ، وَأَهْلُ الْجَنَّةِ لَا يَنَامُونَ
“Wahai Rasulullah, apakah penduduk surga tidur?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Tidur itu adalah saudara kematian, dan penduduk surga tidak tidur’.”([39])
Karena ketika penghuni surga tidur, maka mereka akan berhenti (off) dari aktifitas kenikmatan. Maka penghuni surga tidak tidur agar mereka senantiasa merasakan kenikmatan-kenikmatan di dalam surga.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاكِهِينَ بِمَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ وَوَقَاهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ
“Mereka bersenang-senang dengan apa yang diberikan Tuhan kepada mereka; dan Tuhan mereka memelihara mereka dari azab neraka.” (QS. Ath-Thur : 18)
Sungguh kenikmatan yang luar biasa yang akan didapatkan oleh penghuni surga. Yang namanya kebahagiaan yang sesungguhnya adalah seseorang meraih apa yang ia cita-citakan dan ia dijauhkan dari apa yang ia khawatirkan. Dan inilah yang dirasakan oleh penghuni surga, mereka mendapatkan surga dan dijauhkan dari neraka.
Di dunia kita sering tidak bisa mendapatkan apa yang kita cita-citakan. Kalaupun cita-cita kita di dunia tercapai, tetapi ada saja yang kita khawatirkan belum hilang. Contoh kecil adalah seorang yang bisa meraih cita-citanya memiliki perusahaan yang besar hingga kaya raya, akan tetapi dia khawatir jika suatu saat ekonomi berubah dan membuat dia bangkrut dan jatuh miskin. Maka berbeda tatkala seseorang telah masuk ke dalam surga, segala cita-cita bisa dia dapatkan dan segala kekhawatirannya dihilangkan sehingga yang tersisa hanyalah kebahagiaan. Oleh karenanya dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menggabungkan kedua hal tersebut, yaitu mereka bersenang-senang dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada mereka dan mereka dijauhkan serta dilindungi dari azab neraka Jahannam.([40])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“(Dikatakan kepada mereka), “Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Ath-Thur : 19)
Penghuni surga akan makan dan minum di surga dengan penuh kenikmatan dan tidak hal yang mengganggu atau yang mengkhawatirkan sama sekali. Berbeda dengan di dunia, mau makan namun takut penyakit kolesterol, mau minum takut diabetes, dan kekhawatiran yang lain. Akan tetapi di surga orang-orang akan makan dan minum sepuasnya tanpa ada kekhawatiran sedikitpun. Dan yang mereka rasakan itu adalah sebab ketaatan yang mereka lakukan di dunia.
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata بِمَا. Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا أَسْلَفْتُمْ فِي الْأَيَّامِ الْخَالِيَةِ
“(dikatakan kepada mereka), “Makan dan minumlah dengan nikmat karena amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu.” (QS. Al-Haqqah : 24)
Dan sebagaimana telah dijelaskan sedikit sebelumnya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala hanya menggunakan kata ما dalam berbicara tentang neraka. Penggunaan huruf ب di ayat ini atau dalam ayat-ayat tentang kenikmatan surga adalah karena amalan yang kita lakukan di dunia itu tidak ada bandingannya dengan kenikmatan yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan di surga([41]). Bagaimana bisa sebanding, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat (sebelum) fajar itu lebih baik (pahalanya) daripada dunia dan seisinya.”([42])
Apakah balasan dua rakaat shalat sebelum subuh itu sebanding dengan balasan dunia dan seisinya bahkan lebih baik dari itu? Tentunya ini menunjukkan bahwa balasan di akhirat jauh lebih besar daripada apa yang kita lakukan. Oleh karenanya amal yang kita lakukan hanyalah sebab untuk mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan semua orang masuk ke dalam surga itu karena rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ» قَالُوا: وَلَا أَنْتَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِيَ اللهُ مِنْهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ
“Salam bersabda: “Tidak ada seorang pun yang dimasukkan surga oleh amalnya.” Para sahabat bertanya, ‘Tidak juga engkau, wahai Rasulullah?’ beliau menjawab: ‘Tidak juga aku, kecuali bila Allah melimpahkan karunia dan rahmat kepadanya’.”([43])
Bukan amalan yang menjadi tolak ukur seseorang dimasukkan ke dalam surga, melainkan karena rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi besar kecilnya rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala bergantung pada amal saleh seseorang. Semakin banyak amal saleh seseorang maka akan semakin banyak rahmat Allah yang akan dia raih sehingga kualitas surganya pun akan semakin tinggi.
Oleh karenanya seseorang tetap harus beramal. Jangan kemudian kita seperti orang-orang Nasrani yang berangan-angan bisa masuk surga tanpa beramal. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَنْ يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ كَانَ هُودًا أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, “Tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani.” Itu (hanya) angan-angan mereka. Katakanlah, “Tunjukkan bukti kebenaranmu jika kamu orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 111)
Maka untuk masuk surga seseorang harus beramal sebagai bukti. Akan tetapi sekali lagi perlu diingat bahwa amal tersebut hanya sebab untuk mendapatkan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena tidak seorang pun yang masuk surga dengan sekadar amalnya, melainkan juga karena rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مُتَّكِئِينَ عَلَى سُرُرٍ مَصْفُوفَةٍ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ
“Mereka bersandar di atas dipan-dipan yang tersusun dan Kami berikan kepada mereka pasangan bidadari yang bermata indah.” (QS. Ath-Thur : 20)
Kata مُتَّكِئِينَ maknanya adalah posisi dimana seseorang di antara berbaring dan duduk. Dan posisi seperti ini adalah kebiasaan para raja ketika bersenang-senang. Dan Demikianlah penghuni surga kelak, mereka benar-benar menjadi raja sebagaimana tafsiran para ulama dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا رَأَيْتَ ثَمَّ رَأَيْتَ نَعِيمًا وَمُلْكًا كَبِيرًا
“Dan apabila engkau melihat (keadaan) di sana (surga), niscaya engkau akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (QS. Al-Insan : 20)
Di antara tafsiran dari kata “Kerajaan yang besar” adalah penghuni surga benar-benar memiliki kerajaan yang begitu luas. Kerajaan penghuni surga yang paling rendah seukuran sepuluh kali luas langit dan bumi([44]). Dan di antara tafsiran lain dari “kerajaan besar” adalah اِسْتِئْذَانُ الْمَلاَئِكَةِ “malaikat yang meminta izin”, yaitu malaikat jika ingin bertemu dengan penghuni surga maka malaikat harus minta izin terlebih dahulu sebagaimana orang jika ingin bertemu dengan raja. Oleh karenanya penduduk surga ketika di akhirat kelak kondisinya benar-benar seperti seorang raja. Bayangkan malaikat tidak bisa langsung bertemu dengannya akan tetapi meminta izin terlebih dahulu yang menunjukan begitu dihormatinya sang penghuni surga.
Adapun kata سُرُرٍ مَصْفُوفَةٍ artinya adalah tempat tidur yang telah diatur secara bersaf-saf atau bersusun-susun. Mengenai bagaimana hakikatnya maka kita tidak mengetahuinya. Intinya di atas tempat tidur tersebut mereka bersantai. Dan dalam ayat lain Allah Subhanahu wa ta’ala menambahkan,
عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ
“Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil melepas pandangan (melihat-lihat).” (QS. Al-Muthaffifin : 23)
Artinya sambil mereka bersandar, mereka juga memandang kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalam surga.
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَزَوَّجْنَاهُمْ
“Dan Kami berikan kepada mereka pasangan bidadari.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa kata زَوَّج dalam penggalan ayat ini bukan berarti menikahkan. Karena di surga tidak ada akad nikah antara seorang penghuni surga dan bidadari-bidadari. Akan tetapi maksud kata زَوَّج dalam penggalan ayat ini adalah sebagaimana disebutkan dalam tafsir Al-Qurthubi,
وَقَوْلُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: (وَزَوَّجْناهُمْ بِحُورٍ عِينٍ) أَيْ قَرَنَّاهُمْ بِهِنَّ
“Dan firman Allah ‘Azza wa Jalla: ‘Dan Kami berikan kepada mereka pasangan yang bermata indah’ maksudnya adalah ‘Kami gandengnkan dengan mereka’.”([45])
Adapun siapa yang dimaksud dengan حُورٍ عِينٍ terdapat khilaf di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud حُورٍ عِينٍ adalah bidadari yang diciptakan khusus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk para penghuni surga. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang lain,
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً، فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
“Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari itu) secara langsung, lalu Kami jadikan mereka perawan-perawan.” (QS. Al-Waqi`ah : 35-36)
Sebagian yang lain mengatakan bahwa yang dimaksud حُورٍ عِينٍ adalah umum sehingga termasuk pula wanita-wanita dunia yang masuk surga, ketika mereka masuk surga maka akan diubah menjadi حُورٍ عِينٍ.
Adapun makna kata الْحُورُ dari firman Allah بِحُورٍ عِينٍ merupakan jamak dari kata الْحَوْرَاء. Ada beberapa pendapat tentang apa yang dimaksud الْحَوْرَاء. Pendapat pertama mengatakan bahwa الْحَوْرَاء artinya adalah sangat putih, sehingga bidadari atau wanita yang masuk surga akan menjadi putih. Dan disebutkan dalam hadits tentang bagaimana putihnya wanita penghuni surga, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ المَرْأَةَ مِنْ نِسَاءِ أَهْلِ الجَنَّةِ لَيُرَى بَيَاضُ سَاقِهَا مِنْ وَرَاءِ سَبْعِينَ حُلَّةً حَتَّى يُرَى مُخُّهَ
“Sesungguhnya putih betisnya seorang wanita penghuni surga akan tampak kelihatan dari balik tujuh puluh kain sampai terlihat tulangnya yang jernih.”([46])
Pendapat kedua mengatakan bahwa الْحَوْرَاء diambil dari kata يَحُوْر yang artinya membingungkan, membuat orang takjub keheranan. Disebutkan dalam tafsir Al-Qurthubi,
لِأَنَّهُنَّ يَحَارُ الطَّرْف فِي حُسْنِهِنَّ
“Karena mereka (bidadari) membuat yang memandang mereka terheran-heran dengan kecantikan para bidadari.”([47])
Ditambah lagi sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
يُرَى مُخُّ سُوقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ اللَّحْمِ مِنَ الحُسْنِ
“(bidadari itu) sumsum tulang betisnya dapat kelihatan dari balik daging karena saking cantiknya.”([48])
Bahkan kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
كَبِدُهَا مِرْآتُهُ وَكَبِدُهُ مِرْآتُهَا
“Hati sang bidadari merupakan cermin bagi sang lelaki dan hati sang lelaki juga menjadi cermin bagi sang bidadari.”([49])
Pendapat ketiga mengatakan bahwa yang disebut dengan الْحَوْرَاء adalah,
شِدَّةُ بَيَاضِ الْعَيْنِ فِي شِدَّةِ سَوَادِهَا
“Mata yang sangat putih dalam bola mata (pupil) yang sangat hitam.”([50])
Inilah di antara beberapa pendapat tentang makna الْحُوْر. Adapun عِينٍ maknanya adalah mata mereka tidak sipit, akan tetapi lebar yang menunjukkan kecantikan sang bidadari tersebut.([51])
Setelah itu para ulama khilaf tentang manakah yang lebih utama antara bidadari surga dan wanita yang masuk surga. Ada yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah wanita surga. Wanita dunia yang masuk surga lebih mulia dan utama karena mereka beramal saleh ketika di dunia. Dahulu di dunia mereka pernah bertasbih, sujud kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, taat kepada suaminya, dan bersabar dari apa-apa yang mereka alami, karena itu semua mereka dibalas dengan keutamaan yang lebih utama daripada bidadari. Selain itu ada pula yang mengatakan bahwa yang lebih utama adalah bidadari. Para ulama yang berpendapat seperti ini, mereka membawakan dalil doa saat seseorang sedang shalat jenazah. Dalam doa tersebut dikatakan,
وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ
“Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, istri yang lebih baik dari istrinya semula.”([52])
Mereka mengatakan bahwa dalil ini menunjukkan bidadari lebih utama daripada wanita yang masuk surga. Akan tetapi kita katakan bahwa doa tersebut tidak melazimkan bahwa bidadari lebih utama. Karena bisa jadi jika istri salah seorang masuk surga, maka akan dijadikan lebih baik secara kualitas tubuh maupun akhlak. Karena sebagaimana telah disebutkan bahwa wanita yang masuk surga akan diubah menjadi cantik jelita.([53])
Jadi yang dimaksud dengan وَزَوَّجْناهُمْ بِحُورٍ عِينٍ adalah Allah gandengkan bagi penghuni surga bidadari-bidadari, baik istri mereka di dunia yang masuk surga ataupun bidadari yang Allah ciptakan secara spesial untuk mereka.([54])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka (di dalam surga), dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thur : 21)
Ada beberapa tafsiran tentang ayat ini.
Tafsiran pertama, ayat ini merupakan bentuk pemuliaan Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap orang-orang yang beriman. Ketika seseorang telah masuk surga, akan tetapi ternyata anak-anaknya berada beberapa derajat surga di bawahnya, maka di antara bentuk pemuliaan terhadap mereka adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan setarakan derajat mereka. Dan biasanya untuk mencapai kesetaraan derajat tersebut orang tua mengorbankan sebagian amalnya untuk turun beberapa derajat agar anak bisa naik beberapa derajat sehingga bertemu pada derajat surga yang sama. Akan tetapi tidak demikian caranya. Tidak perlu orang tua berkorban dengan amalnya agar sang anak bisa sama derajat surganya dengan orang tuanya sebagaimana kata Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini,
وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ
“Dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka.”
Akan tetapi anak-anak mereka dinaikkan tanpa mengurangi pahala orang tua mereka.([55])
Sebagian ulama berpendapat sebagaimana orang tua bisa menaikkan derajat anak-anaknya, maka sebaliknya anak-anak juga bisa menaikkan derajat orang tuanya. Karena ذُرِّيَّة dalam bahasa Arab bisa bermakna anak-anak dan bisa pula bermakna orang tua. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَآيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
“Dan suatu tanda (kebesaran Allah) bagi mereka adalah bahwa Kami angkut nenek moyang mereka (Nabi Nuh) dalam kapal yang penuh muatan.” (QS. Yasin : 41)
Di ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut Nabi Nuh ‘alaihissalam dan orang-orang beriman yang merupakan nenek moyang kita dengan kata ذُرِّيَّة. Oleh karenanya ذُرِّيَّة dalam bahasa Arab bisa bermakna orang tua dan bisa pula bermakna anak-anak. ([56])
Oleh karenanya hubungan antara anak dan orang tua bisa memberikan hubungan timbal balik. Kalau ternyata orang tua mendapatkan derajat yang tinggi di surga daripada anaknya, maka anaknya akan diangkat ke derajat tersebut. Dan sebaliknya jika seorang anak mendapatkan derajat yang lebih tinggi di surga daripada orang tuanya, maka orang tuanya yang akan diangkat agar bisa berada di surga yang sederajat dengan anaknya. Oleh karenanya penulis juga sering sampaikan bahwa aset termahal yang kita miliki adalah anak. Jika kita memiliki anak yang lebih saleh daripada kita maka kita akan mendapatkan manfaat baik di dunia apalagi pada hari kiamat kelak.
Dan di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata أَلْحَقْنَا yang dalam bahasa Arab artinya “Kami susulkan”. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menggunakan lafal أَدْخَلْناهُ مَعَهُمْ (Kami masukkan mereka ke dalam surga bersama mereka), namun Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata أَلْحَقْنَا untuk menunjukkan bahwasanya bisa jadi anak-anak tersebut memiliki dosa yang membuatnya harus masuk neraka untuk dibersihkan terlebih dahulu, namun ketika telah bersih maka barulah dia dimasukkan ke surga yang sederajat dengan orang tuanya. Inilah karunia Allah Subhanahu wa ta’ala bagi orang-orang yang beriman. Dan di antara puncak kebahagiaan adalah ketika kita dikumpulkan bersama keluarga kita di surga([57]). Oleh karenanya para malaikat juga mendoakan orang-orang beriman untuk meraih hal tersebut, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّاتِ عَدْنٍ الَّتِي وَعَدْتَهُمْ وَمَنْ صَلَحَ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَزْوَاجِهِمْ وَذُرِّيَّاتِهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Ya Tuhan kami, masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka, dan orang yang saleh di antara nenek moyang mereka, istri-istri, dan keturunan mereka. Sungguh, Engkaulah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Ghafir : 8)
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal (kebajikan) mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.”
Artinya adalah kalau orang tua berada di derajat surga yang tinggi dan dia memiliki dosa maka tidak akan mempengaruhi sang anak. Demikian pula jika anak memiliki dosa maka tidak akan mempengaruhi orang tuanya. Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kemuliaan dengan menaikkan yang berada diderajat surga yang rendah ke tingkat yang tinggi karena amalan salah satunya, adapun dosa maka yang satu tidak bertanggung jawab dengan yang lainnya. Ini di antara bentuk Maha Baiknya Allah Subhanahu wa ta’ala.([58])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَمْدَدْنَاهُمْ بِفَاكِهَةٍ وَلَحْمٍ مِمَّا يَشْتَهُونَ
“Dan Kami berikan kepada mereka tambahan berupa buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka inginkan.” (QS. Ath-Thur : 22)
Di antara kenikmatan yang diberikan oleh penghuni surga adalah mereka akan mendapatkan makanan yang mereka inginkan dengan seketika([59]). Jika mereka ingin makan daging unta, maka tidak perlu untanya yang didatangkan kemudian disembelih, akan tetapi dagingnya yang matang langsung ada dan tinggal dimakan. Demikian pula dengan buah-buahan, jenis buah apa saja yang mereka inginkan maka dihidangkan kepada mereka.
Para ulama menyebutkan bahwa sebagaimana raja-raja di dunia bersenang-senang dengan permaisuri, dengan buah-buahan, dan daging, maka penghuni surga pun akan diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kesenangan tersebut di surga. Akan tetapi bagaimanapun kesenangan di dunia, tentu di akhirat kesenangan jauh lebih sempurna.([60])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَتَنَازَعُونَ فِيهَا كَأْسًا لَا لَغْوٌ فِيهَا وَلَا تَأْثِيمٌ
“(Di dalam surga itu) mereka saling mengulurkan gelas yang isinya tidak (menimbulkan) ucapan yang tidak berfaedah ataupun perbuatan dosa.” (QS. Ath-Thur : 23)
Ada dua penafsiran di kalangan para ulama tentang kata يَتَنَازَعُونَ. Tafsiran pertama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan يَتَنَازَعُونَ adalah penghuni surga saling rebutan cangkir yang berisi khamr dalam rangka untuk bercanda. Tafsiran kedua menyebutkan bahwa maksud يَتَنَازَعُونَ adalah yang satu menuangkan khamr kepada yang lainnya sebagai bentuk mereka bersenang-senang.([61])
Ayat ini merupakan dalil bahwa kata-kata yang keluar dari mulut penghuni surga adalah indah sehingga berbicara dengan penghuni surga akan selalu menyenangkan. Berbeda tatkala kita masih di dunia, berbicara dengan orang lain terkadang menyenangkan namun juga terkadang menyedihkan. Di surga tidak ada lagi kata-kata yang nyelekit sebagaimana di dunia. Tidak ada kata sia-sia dan tidak ada pula kata-kata yang menimbulkan dosa. Meskipun yang mereka minum di surga adalah khamr, akan tetapi khamr tersebut hanya mengandung kelezatan, sehingga hal tersebut tidak membuat mereka hilang kesadaran untuk berkata-kata yang tidak baik.([62])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَطُوفُ عَلَيْهِمْ غِلْمَانٌ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ لُؤْلُؤٌ مَكْنُونٌ
“Dan di sekitar mereka ada anak-anak muda yang berkeliling untuk (melayani) mereka, seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan.” (QS. Ath-Thur : 24)
Pada ayat ini Allah tidak berkata غِلْمَانُهُمْ “pelayan-pelayan muda mereka”, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menambahkan huruf لَ (lam) pada kata لَهُمْ (pelayan-pelayan muda bagi mereka) setelah menyebutkan tentang anak-anak muda yang melayani mereka. Para ulama menyebutkan bahwa hal tersebut dikarenakan bahwa agar tidak disangka bahwa pelayan tersebut adalah pembantu-pembantunya di dunia yang dibawa ke akhirat. Akan tetapi kata لَهُمْ di ayat ini menunjukkan bahwa pelayan tersebut adalah pelayan yang Allah Subhanahu wa ta’ala ciptakan khusus untuk mereka. Pelayan tersebut Allah Subhanahu wa ta’ala jadikan mengitari penghuni surga yang siap untuk melayani mereka. Dan jumlah mereka sangat banyak. Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذَا رَأَيْتَهُمْ حَسِبْتَهُمْ لُؤْلُؤًا مَنْثُورًا
“Apabila kamu melihatnya, akan kamu kira mereka, mutiara yang bertaburan.” (QS. Al-Insan : 19)
Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan bagi mereka anak-anak muda karena anak-anak muda itu lebih cepat dalam bergerak dan lebih mudah ketika diperintah. Berbeda halnya jika pelayan tersebut orang yang tua.
Selain pelayan tersebut masih muda dan jumlahnya banyak, Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan mereka sangat indah, jika dilihat menyenangkan, dan putih bersih seperti mutiara. Tidak sebagaimana pelayan-pelayan di dunia yang identik dengan pekerja keras yang tidak cantik dan gagah, akan tetapi di surga pelayan-pelayan tersebut sangat indah jika dilihat. Adapun maksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala “Seakan-akan mereka itu mutiara yang tersimpan”, para ulama menyebutkan bahwa jika pelayannya saja sudah seperti mutiara yang tersimpan, maka tentu yang dilayani jauh lebih indah daripada mutiara. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa jika pelayan di surga seperti mutiara, maka yang dilayani (tuannya) seperti bulan purnama.([63])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ يَتَسَاءَلُونَ
“Dan sebagian mereka berhadap-hadapan satu sama lain saling bertegur sapa.” (QS. Ath-Thur : 25)
Di antara tafsiran para ulama tentang ayat ini adalah penghuni surga saling berhadap-hadapan berbicara dan saling bernostalgia([64]). Tafsiran yang lain menyebutkan bahwa mereka saling berhadap-hadapan dengan membentuk lingkaran sebagaimana kebiasaan halaqah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Disebutkan di dalam ayat ini bahwa penghuni surga saling bertanya. Namun siapakah yang saling bertanya itu? Ada yang mengatakan bahwa yang saling bertanya adalah penghuni surga yang satu dengan yang lainnya. Ada yang mengatakan bahwa yang saling bertanya itu adalah antara anak dan ayahnya.([65])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُوا إِنَّا كُنَّا قَبْلُ فِي أَهْلِنَا مُشْفِقِينَ
“Mereka berkata, “Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab).” (QS. Ath-Thur : 26)
Telah disebutkan pada ayat sebelumnya disebutkan bahwa penghuni surga itu saling berbicara dan bertanya. Yaitu mereka saling bertanya satu sama lain tentang hal apa yang menyebabkan mereka bisa masuk surga. Maka dalam ayat ini disebutkan bahwa di antara mereka ada yang menjawab bahwa yang menyebabkan mereka masuk surga adalah karena rasa takut mereka.([66])
Oleh karenanya ayat ini adalah dalil tentang keutamaan seseorang yang takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Terlebih lagi dalam ayat ini menjelaskan bahwa mereka takut tatkala sedang berada di tengah-tengah keluarga mereka. Padahal kita ketahui bahwa yang namanya seseorang sedang berkumpul dengan keluarga biasanya sedang bersenang-senang. Seseorang biasanya baru takut tatkala bersendirian, tatkala di masjid, tatkala shalat. Akan tetapi disebutkan bahwa meskipun mereka berada di tengah-tengah keluarga mereka, mereka tetap takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Masih ada rasa takut dalam diri mereka bahwa bisa jadi mereka tidak masuk surga. Maka jika sedang ramai mereka sudah takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, maka bagaimana lagi jika sedang bersendirian? Inilah mengapa pentingnya rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.([67])
Sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa perkataan ini adalah perkataan orang tua kepada anaknya. Yaitu mereka takut dan khawatir jika anak-anaknya nakal, berbuat dosa sehingga tidak bisa masuk surga. Sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa sebaliknya, perkataan ini adalah perkataan anak kepada orang tuanya. Mereka di dunia takut jika orang tuanya berbuat dosa dan tidak bisa masuk surga. Wallahu a’lam bishshawwab.([68])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَنَّ اللَّهُ عَلَيْنَا وَوَقَانَا عَذَابَ السَّمُومِ
“Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.” (QS. Ath-Thur : 27)
Di ayat ini, disebutkan bahwa mereka menyadari karunia-karunia yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan karena rasa takut mereka tatkala di dunia. Karena rasa takut mereka, Allah Subhanahu wa ta’ala jadikan anak-anak mereka masuk surga dan berada di derajat surga yang sama dengan mereka. Dan itu adalah nikmat dan karunia yang besar dari Allah Subhanahu wa ta’ala kepada mereka.([69])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلُ نَدْعُوهُ إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya kami dahulu (senantiasa) menyeru-Nya (berdoa). Dialah Yang Maha Melimpahkan Kebaikan, Maha Penyayang.” (QS. Ath-Thur : 28)
Di antara sebab mereka masuk surga adalah dahulu di dunia mereka senantiasa berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([70]). Oleh karenanya ayat ini adalah di antara dalil tentang pentingnya berdoa. Dan di antara hal yang perlu untuk terus kita doakan adalah anak-anak kita. Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa ayat ini dalil tentang pentingnya mendoakan anak-anak([71]). Karena bisa jadi doa yang terus dipanjatkan tersebut yang menyebabkan anak-anaknya menjadi selevel dengan orang tuanya di surga. Akan tetapi demikian pula sebaliknya, seorang anak juga harus terus mendoakan orang tuanya agar kelak mereka bisa selevel di surga. Karena bukankah dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الرَّجُلَ لَتُرْفَعُ دَرَجَتُهُ فِي الْجَنَّةِ فَيَقُولُ: أَنَّى هَذَا؟ فَيُقَالُ: بِاسْتِغْفَارِ وَلَدِكَ لَكَ
“Sesungguhnya seseorang akan di angkat derajatnya di surga, lalu orang tersebut akan bertanya, ‘Bagaimana ini bisa terjadi?’. Lalu dijawab, ‘Karena anakmu telah memohonkan ampun untukmu’.”([72])
Oleh karenanya baik orang tua mendoakan anak atau anak mendoakan orang tua, keduanya adalah hal penting. Karena hal tersebut bisa menjadi sebab seseorang bisa bertemu dengan keluarganya di surga.([73])
Setelah penduduk surga menyebutkan sebab-sebab mereka masuk surga, mereka kemudian mengatakan,
إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ الرَّحِيمُ
“Dialah Yang Maha Melimpahkan Kebaikan, Maha Penyayang.”
Kata الْبَرُّ dalam bahasa Arab menunjukkan kata luas. Oleh karenanya daratan juga disebut dengan البر. Dan adapun manusia baru bisa dikatakan sebagai البر adalah ketika dia telah melakukan amal saleh yang banyak, shalat yang banyak, atau sedekah yang banyak. Akan tetapi di ayat ini penghuni surga mensifati Allah Subhanahu wa ta’ala dengan البر. Maka perlu diingat bahwa sifat البر Allah Subhanahu wa ta’ala berbeda dengan sifat البر dari makhluk. Artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pemberian yang sangat banyak, tanpa orang yang diberi merasa harus balas budi. Demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala ketika memberi kebaikan, tidak memerlukan balas budi, memberi dengan pemberian yang banyak, bahkan kebaikan yang diberi-Nya berlanjut terus semenjak di bumi hingga di akhirat. Berbeda dengan manusia, ketika memberi kebaikan, terkadang mereka merasa telah berbuat baik sehingga seringnya mengharap balas budi. Bahkan manusia sifatnya pada waktu tertentu berbuat baik dan pada waktu yang lain tidak. Adapun sifat البر Allah Subhanahu wa ta’ala adalah senantiasa baik dengan kebaikan yang sangat luas, serta Allah Subhanahu wa ta’ala tidak membutuhkan balas budi.([74])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ، أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ، قُلْ تَرَبَّصُوا فَإِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُتَرَبِّصِينَ
“Maka peringatkanlah, karena dengan nikmat Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah seorang dukun dan bukan pula orang gila. Bahkan mereka berkata, ‘Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya’. Katakanlah (Muhammad), ‘Tunggulah! Sesungguhnya aku pun termasuk orang yang sedang menunggu bersama kamu’.” (QS. Ath-Thur : 29-31)
Ayat-ayat ini merupakan ayat yang bercerita tentang An-Nubuwah (kenabian), yaitu penetapan bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang rasul. Dan ayat ini merupakan pembelaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَذَكِّرْ فَمَا أَنْتَ بِنِعْمَتِ رَبِّكَ بِكَاهِنٍ وَلَا مَجْنُونٍ
“Maka peringatkanlah, karena dengan nikmat Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah seorang dukun dan bukan pula orang gila.”
Kalau orang-orang beriman saja terkadang bisa lalai sehingga perlu diberi peringatan, maka terlebih orang-orang kafir, mereka sangat butuh untuk diberi peringatan secara berulang agar suatu saat mereka bisa mendapatkan hidayah. Oleh karenanya ayat ini memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk tidak berhenti dalam memberi peringatan kepada orang-orang kafir Quraisy ([75]). Dan pada ayat ini disebutkan bahwa inilah di antara tuduhan orang-orang kafir kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu seorang dukun, orang gila, atau penyair. Sebelumnya orang-orang kafir Quraisy bingung dengan tuduhan apa yang pas untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka tatkala mereka berkumpul, mulailah dari mereka merembukkan sebutan apa yang pas untuk dituduhkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga akhirnya keluarlah sebutan dukun, penyair, dan orang gila. Akan tetapi karena ketiga tuduhan tersebut tidak benar, maka Allah Subhanahu wa ta’ala membantah itu semua dengan ayat ini. ([76])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah seorang dukun dan tidak pernah melakukan praktik perdukunan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bukanlah orang gila, dan orang-orang kafir Quraisy tahu betul akan hal itu. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bukan seorang penyair ([77]), sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا عَلَّمْنَاهُ الشِّعْرَ وَمَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ
“Dan Kami tidak mengajarkan syair kepadanya (Muhammad) dan bersyair itu tidaklah pantas baginya. Alquran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan Kitab yang jelas.” (QS. Yasin : 69)
Oleh karenanya dari sekian ribu hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak kita dapati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka bersyair. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang Arab, dan orang Arab seringnya senang dan pandai dengan syair. Terlebih di zaman beliau adalah zaman dimana orang-orang berbangga-bangga dengan syair. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat jarang bersyair, melainkan hanya pada beberapa hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersyair. Di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبْ، أَنَا ابْنُ عَبْدِ المُطَّلِبْ
“Aku seorang Nabi yang tidak berdusta. Aku anak dari ‘Abdul Mutholib.” ([78])
اللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الآخِرَهْ … فَأَكْرِمِ الأَنْصَارَ، وَالمُهَاجِرَهْ
“Ya Allah, tidak ada kehidupan yang sesungguhnya kecuali kehidupan akhirat. Maka muliakanlah kaum Anshar dan Muhajirin.” ([79])
Dari sekian banyak perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya dua inilah syair yang beliau ucapkan. Dan jika sekiranya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak bersyair, maka tentu jelas alasan orang-orang kafir Quraisy mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang penyair dan Alquran hanyalah syair-syair. Dan yang benar adalah mereka tahu hakikat Alquran bukanlah syair karena urutan (tata susunan) Alquran tidak sebagaimana tata susunan syair-syair. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa Alquran adalah mukjizat, yang tidak bisa didatangkan oleh manusia. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah menantang seluruh bangsa jin dan manusia untuk mendatangkan yang semisal dengan Alquran, akan tetapi mereka tidak mampu ([80]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Alquran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain’.” (QS. Al-Isra’ : 88)
Tatkala mereka tidak mampu mendatangkan Alquran yang semisal, maka Allah Subhanahu wa ta’ala menantang kembali untuk mendatangkan sepuluh surah yang semisal. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Alquran) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Hud : 13)
Tentu meskipun hanya sepuluh surah mereka tidak akan mampu untuk mendatangkan yang semisal dengan Alquran. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menantang dengan tantangan yang lebih ringan, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu meragukan (Alquran) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23)
Akan tetapi ternyata membuat satu surah yang semisal dengan surah yang ada di Alquran pun mereka tidak mampu, padahal mereka orang-orang kafir Quraisy sangat pakar dalam syair dan bahasa Arab. Tentunya ini menunjukkan bahwa Alquran adalah mukjizat dan bukan karangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. ([81])
Oleh karenanya tuduhan orang-orang kafir Quraisy terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merupakan tuduhan yang tidak benar, bahkan tuduhan yang tidak berdasar sama sekali.
Di antara mukjizat Alquran adalah merupakan perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala. Secara sederhana untuk menggambarkan hal ini, kita mengetahui bahwa manusia memiliki tingkatan-tingkatan dalam pengetahuannya. Ada seorang ‘alim, ada seorang ahli bahasa (penyair), dan ada banyak orang awam. Kalau sekiranya kita kumpulkan satu juta orang untuk bisa membuat tulisan seperti tulisan seorang ahli bahasa, maka pasti mereka tidak akan mampu. Demikian pula jika orang awam diminta untuk membuat tulisan seperti tulisan seorang ‘alim, maka tentu mereka tidak mampu. Demikianlah gambaran jika manusia jika disuruh membuat yang seperti Alquran, maka tentu tidak akan bisa karena Alquran adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan di antara mukjizat lain Alquran selain tidak mampunya manusia mendatangkan yang semisal adalah dari sisi lafal dan maknanya. Buku tafsir jumlahnya sangat banyak, dan satu buku tafsir tidak bisa mencukupkan tafsir yang lainnya. Sering didapati suatu pembahasan pada suatu buku tafsir yang tidak dibahas pada buku tafsir yang lainnya. Ini menunjukkan bahwa keajaiban Alquran tidak pernah berhenti. Dan di antara mukjizat Alquran lainnya kata para ulama adalah susunan ayat-ayat dan kaitan antara satu ayat dan ayat berikutnya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَمْ يَقُولُونَ شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ
“Bahkan mereka berkata, ‘Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya’.”
Yang namanya penyair pasti akan meninggal dunia. Dan mereka orang-orang kafir Quraisy menantikan kematian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan mereka berharap sebagaimana ayah beliau Abdullah meninggal di usia muda maka semoga Muhammad juga meninggal di usia muda.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قُلْ تَرَبَّصُوا فَإِنِّي مَعَكُمْ مِنَ الْمُتَرَبِّصِينَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Tunggulah! Sesungguhnya aku pun termasuk orang yang sedang menunggu bersama kamu’.”
Ketika orang-orang kafir Quraisy menantikan kematian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka Allah memerintahkan Nabi untuk menyampaikan kepada mereka bahwa Nabipun sedang menantikan kematian mereka. Akan tetapi takdir Allah Subhanahu wa ta’ala menentukan bahwa orang-orang kafir tersebut meninggal terlebih dahulu pada perang Badr.([82]) Ternyata bukan mereka yang menunggu tapi Nabi yang menunggu.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ تَأْمُرُهُمْ أَحْلَامُهُمْ بِهَذَا أَمْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Apakah mereka diperintah oleh pikiran-pikiran mereka untuk mengucapkan (tuduhan-tuduhan) ini ataukah mereka kaum yang melampaui batas?” (QS. Ath-Thur : 32)
Orang-orang Arab Quraisy adalah orang-orang cerdas. Kabilah Quraisy sendiri merupakan kabilah induk di antara kabilah-kabilah Arab, dan orang Arab mengakui kecerdasan orang-orang Quraisy. Oleh karenanya di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyinggung mereka. Sekan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala berkata, “Bukankah kalian orang-orang cerdas wahai orang-orang Quraisy? Mengapa kecerdasan kalian menghantarkan kalian mengatakan bahwa Muhammad orang gila, penyair, dan dukun?”. Akan tetapi yang benar adalah sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam akhir ayat ini yaitu mereka adalah orang yang melampaui batas. Sebenarnya mereka sangat tahu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah seperti yang mereka tuduhkan. Akan tetapi karena mereka telah melampaui batas, akhirnya hawa nafsu mereka membuat mereka mengucapkan tuduhan-tuduhan tersebut dalam rangka untuk menghentikan dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hawa nafsu mereka mengantarkan mereka berkata-kata seperti orang yang bodoh yang hilang kecerdasannya. Oleh karenanya dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala bertanya sambil mengejek orang-orang kafir Quraisy atas kecerdasan mereka. ([83])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ يَقُولُونَ تَقَوَّلَهُ بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ، فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
“Ataukah mereka berkata, “Dia (Muhammad) mereka-rekanya.” Tidak! Merekalah yang tidak beriman. Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al-Qur’an) jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. Ath-Thur : 33-34)
Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara tuduhan orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Alquran hanyalah karangan beliau dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukan utusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Asalnya mereka meyakini adanya Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi mereka memutuskan sanad antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Allah Subhanahu wa ta’ala bahwasanya Muhammad tidak pernah mendapat wahyu dari Allah Subhanahu wa ta’ala sehingga mereka berkata bahwa Alquran hanyalah buatan Muhammad.
Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala membantah hujjah-hujjah orang-orang kafir dengan mengatakan,
بَلْ لَا يُؤْمِنُونَ، فَلْيَأْتُوا بِحَدِيثٍ مِثْلِهِ إِنْ كَانُوا صَادِقِينَ
“Tidak! Merekalah yang tidak beriman. Maka cobalah mereka membuat yang semisal dengannya (Al-Qur’an) jika mereka orang-orang yang benar.”
Karena mereka menganggap bahwa Alquran adalah karangan Muhammad, maka Allah Subhanahu wa ta’ala menantang mereka untuk membuat yang semisal dengan Alquran jika tuduhan tersebut benar. Artinya jika memang al-Qurán karangan Muhammad maka kalian -wahai Quraisy- tinggal niru saja apa yang dibuat oleh Muhammad. Akan tetapi tuduhan-tuduhan mereka tidak berdalil dan tidak memiliki bukti. Demikianlah jika hawa nafsu telah muncul maka akan membuat orang bisa keluar dari kecerdasannya. ([84])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ خُلِقُوا مِنْ غَيْرِ شَيْءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُونَ، أَمْ خَلَقُوا السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بَلْ لَا يُوقِنُونَ
“Atau apakah mereka tercipta tanpa asal-usul ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi? Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).” (QS. Ath-Thur : 35-36)
Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menyebutkan dalil-dalil yang berkaitan dengan tauhid untuk melanjutkan bantahan terhadap orang-orang kafir Quraisy. Dan sebagaimana telah disebutkan di awal bahwa ayat ini adalah di antara ayat-ayat yang menyebabkan Jubair bin Mut’im berkata,
كَادَ قَلْبِي أَنْ يَطِيرَ
“Jantungku hampir-hampir akan lepas (karena mendengarnya).” ([85])
Ayat-ayat ini merupakan dalil yang sangat kuat tentang Tauhid Ar-Rububiyah, bahwasanya alam semesta ini ada penciptanya. Dan orang-orang kafir Quraisy tahu akan hal tersebut. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
بَلْ لَا يُوقِنُونَ
“Sebenarnya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan).”
Mereka tahu bahwa alam semesta dan diri-diri mereka diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi mereka tidak mau meyakininya.
Dalam ayat ini, ada tiga kemungkinan yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan tentang terjadinya alam semesta ini,
Kemungkinan pertama, tercipta begitu saja (mereka ada) tanpa ada yang menciptakan
Kemungkinan kedua, mereka menciptakan diri mereka sendiri
Kemungkinan ketiga, mereka diciptakan oleh sang pencipta yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.
Dari ketiga kemungkinan di atas, kemungkinan yang benar hanyalah kemungkinan yang ketiga. Orang-orang kafir Quraisy sangat paham bahwa mereka tidaklah ada begitu saja tanpa ada penciptanya. Mereka juga sangat paham bahwa mereka tidak mungkin menciptakan diri mereka sendiri. Dan tentunya bukan mereka pula yang menciptakan langit dan bumi. Oleh karenanya kemungkinan yang tidak disebutkan dalam ayat ini dan menjadi kemungkinan yang benar adalah kemungkinan ketiga bahwasanya mereka diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa ayat ini merupakan pendalilan akan Tauhid Ar-Rububiyah. ([86])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ عِنْدَهُمْ خَزَائِنُ رَبِّكَ أَمْ هُمُ الْمُصَيْطِرُونَ
“Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Tuhanmu ataukah mereka yang berkuasa?” (QS. Ath-Thur : 37)
Yaitu apakah mereka orang-orang kafir Quraisy yang memiliki kekayaan? Ataukah mereka merasa cukup dengan apa yang mereka miliki? Apakah mereka tidak perlu dengan bumi, udara, ataupun rezeki dari Allah Subhanahu wa ta’ala? Ataukah mereka yang mengatur segalanya?
Orang-orang kafir Quraisy tidak memiliki itu semua. Mereka tahu bahwasanya yang memiliki itu semua adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka tahu bahwa yang menciptakan, memberi rezeki, dan mengatur alam semesta ini adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala kembali berdalil dengan ayat ini tentang Rububiyah-Nya. ([87])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ سُلَّمٌ يَسْتَمِعُونَ فِيهِ فَلْيَأْتِ مُسْتَمِعُهُمْ بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ
“Atau apakah mereka mempunyai tangga (ke langit) untuk mendengarkan (hal-hal yang gaib)? Maka hendaklah orang yang mendengarkan di antara mereka itu datang membawa keterangan yang nyata.” (QS. Ath-Thur : 38)
Yaitu apakah mereka bisa mencari berita-berita di langit? Kalaupun mereka bisa mencuri berita di langit, bisakah sang pendengar berita langit tersebut memiliki dalil untuk membuktikan bahwa itu benar-benar kabar dari Allah Subhanahu wa ta’ala? Ataukah telah tercampur antara perkataan jin dan syaithan? Tentunya kedua-duanya pun mereka tidak bisa melakukannya. Mereka tidak memiliki tangga untuk sampai ke langit, dan kalaupun mereka sampai di langit mereka tidak bisa pastikan apakah yang mereka dengarkan itu kabar gaib atau bukan. ([88])
Di ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang sifat-Nya yang ‘Ulu (Maha Tinggi). ([89])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُ الْبَنَاتُ وَلَكُمُ الْبَنُونَ
“Ataukah (pantas) untuk Dia anak-anak perempuan sedangkan untuk kamu anak-anak laki-laki?” (QS. Ath-Thur : 39)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala berdalil tentang kesempurnaan-Nya, bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala itu Maha Esa dan tidak memiliki anak. Ini merupakan bantahan terhadap mereka yang mengatakan bahwa malaikat-malaikat adalah anak perempuan Allah Subhanahu wa ta’ala. Sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Suci dari sifat memiliki anak. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْأُنْثَى، تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى
“Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang perempuan? Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.” (QS. An-Najm : 21-22)
Orang-orang musyrikin tidak senang memiliki anak-anak perempuan, dan hanya senang jika memiliki anak laki-laki. Akan tetapi mereka malah menuduh Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki anak-anak perempuan. Oleh karenanya jelas sekali bahwa mereka telah melakukan dua kesalahan, pertama mereka menuduh Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki anak, kedua anak Allah Subhanahu wa ta’ala adalah perempuan. Sungguh yang benar adalah Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Esa. Jika Tauhid Ar-Rububiyah melazimkan Allah Subhanahu wa ta’ala Esa dalam Dzat-Nya, maka Tauhid Asma’ wa Shifat melazimkan Allah Subhanahu wa ta’ala Esa dalam sifat-sifat-Nya. ([90])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُمْ مِنْ مَغْرَمٍ مُثْقَلُونَ
“Ataukah engkau (Muhammad) meminta imbalan kepada mereka sehingga mereka dibebani dengan utang?” (QS. Ath-Thur : 40)
Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini menyinggung orang-orang kafir tentang mengapa mereka sulit sekali untuk beriman. Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Apakah untuk beriman mereka harus membayar kepada Muhammad dengan utang yang memberatkan mereka?”. Tentunya jawabannya adalah tidak.
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidaklah meminta upah dari mereka. Kalau sekiranya dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta upah, maka wajar orang-orang musyrikin menolak dakwah beliau. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala membantah mereka bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak meminta upah dari dakwahnya. ([91])
Ayat ini juga merupakan dalil bahwa seorang Da`i harus mengikuti jejak dakwah para Rasul, yaitu tidak boleh meminta upah dari dakwahnya, karena itu adalah hal yang tercela dan bukan kebiasaan para Nabi dan Rasul. Akan tetapi jika mereka diberi hadiah maka tidak mengapa untuk diterima. ([92])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ عِنْدَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُونَ
“Ataukah di sisi mereka mempunyai (pengetahuan) tentang yang gaib lalu mereka menuliskannya?” (QS. Ath-Thur : 41)
Yaitu apakah mereka memiliki al-Lauhul Mahfudz sehingga mereka bisa merubah isinya semua mereka? Sehingga mereka bisa menuliskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah Nabi. Atau Allah Subhanahu wa ta’ala membantah ucapan mereka pada ayat-ayat sebelumnya,
شَاعِرٌ نَتَرَبَّصُ بِهِ رَيْبَ الْمَنُونِ
“Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu kecelakaan menimpanya (kematiannya).” (QS. Ath-Thur : 30)
Yaitu apakah mereka mengetahui hal yang gaib sehingga bisa memastikan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam akan meninggal terlebih dahulu daripada mereka? ([93])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ يُرِيدُونَ كَيْدًا فَالَّذِينَ كَفَرُوا هُمُ الْمَكِيدُونَ
“Ataukah mereka hendak melakukan tipu daya? Tetapi orang-orang yang kafir itu, justru merekalah yang terkena tipu daya.” (QS. Ath-Thur : 42)
Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah utusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Bagaimanapun mereka berusaha menyakiti dan membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tetap menolong beliau. ([94])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ لَهُمْ إِلَهٌ غَيْرُ اللَّهِ سُبْحَانَ اللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Ataukah mereka mempunyai Tuhan selain Allah? Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Ath-Thur : 43)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang Tauhid Al-‘Uluhiyah. Jika pada ayat-ayat sebelumnya Allah Subhanahu wa ta’ala bercerita tentang Tauhid Ar-Rububiyah dan Tauhid Asma’ wa Shifat, dan jika mereka meyakini hal tersebut maka melazimkan bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat ini bahwa apakah mereka mempunyai Tuhan selain Allah Subhanahu wa ta’ala? ([95])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنْ يَرَوْا كِسْفًا مِنَ السَّمَاءِ سَاقِطًا يَقُولُوا سَحَابٌ مَرْكُومٌ
“Dan jika mereka melihat gumpalan-gumpalan awan berjatuhan dari langit, mereka berkata, ‘Itu adalah awan yang bertumpuk-tumpuk’.” (QS. Ath-Thur : 44)
Yaitu jika sekiranya ada potongan langit yang jatuh dari langit sebagai azab bagi mereka orang-orang musyrikin, mereka tetap tidak akan beriman dan mengatakan bahwa itu adalah awan yang bertumpuk-tumpuk([96]). Dan ayat ini merupakan balasan atas permintaan mereka kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menurunkan azab kepada mereka jika benar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang Rasul. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang orang-orang kafir,
فَأَسْقِطْ عَلَيْنَا كِسَفًا مِنَ السَّمَاءِ إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ
“(Mereka berkata), ‘Maka jatuhkanlah kepada kami gumpalan dari langit, jika engkau termasuk orang-orang yang benar’.” (QS. Asy-Syu’ara : 187)
Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menghiraukannya. Memenuhi perkataan mereka merupakan hal yang sia-sia, karena meskipun langit turun sebagai azab, mereka tetap tidak akan beriman([97]). Mereka hanya akan mengatakan bahwa itu adalah awan yang bertumpuk-tumpuk. Namun demikianlah pembangkangan orang-orang musyrikin. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah menjelaskan dalam ayat yang lain,
وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ، لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ
“Dan kalau Kami bukakan kepada mereka (orang kafir) salah satu pintu langit, lalu mereka terus-menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, ‘Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir’.” (QS. Al-Hijr : 14-15)
Dan demikian pula umat-umat Nabi terdahulu, setiap kali Nabi mereka memperlihatkan mukjizat, mereka akan mengatakan bahwa Nabi tersebut adalah penyihir. Sebagaimana perkataan mereka kepada Nabi Musa ‘alaihissalam dalam ayat yang lain,
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى تِسْعَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ فَاسْأَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذْ جَاءَهُمْ فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَامُوسَى مَسْحُورًا
“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepada Musa sembilan mukjizat yang nyata maka tanyakanlah kepada Bani Israil, ketika Musa datang kepada mereka lalu Fir‘aun berkata kepadanya, ‘Wahai Musa! Sesungguhnya aku benar-benar menduga engkau terkena sihir’.” (QS. Al-Isra’ : 101)
Oleh karenanya cara menghadapi perkataan seperti mereka ini adalah dengan tidak menghiraukan perkataan mereka. Dan para ulama juga menyebutkan bahwasanya ayat ini merupakan dalil bahwa tidak semua permintaan Ahlul Bid’ah kita turuti([98]). Kalau sekiranya terjadi perdebatan antara Ahlussunnah dan Ahlul Bid’ah, maka tidak semua syubhat mereka juga perlu untuk dibalas dan dibantah. Dan sebuah kesalahan ketika seorang Ahlussunnah mengikuti semua keinginan mereka. Tugas kita cukup sekadar menyampaikan dalil yang kuat dan benar, karena hidayah itu di tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Akan tetapi jika ilmu kita tidak mampu untuk menjawab syubhat mereka, maka ketahuilah bahwa kritikan yang datang kepada Ahlussunnah jauh lebih sedikit daripada kritikan Ahlus Sunnah atas akidah ahlul bidáh. Karena terkadang ada kondisi dimana seseorang hanya bisa menjelaskan pada titik tertentu karena keterbatasan ilmunya. Dan terkadang memang titik/poin tersebut tidak ada yang bisa menjelaskan hikmahnya kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala, sementara menurut ahlul bidáh itu adalah poin yang tidak masuk akal mereka, dan mereka terus ingin mengetahui apa setelah titik/poin tersebut. Oleh karenanya ketika orang-orang kafir meminta suatu permintaan sebagai syarat agar mereka beriman, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak turuti permintaan mereka. Yang tidak mau beriman silakan, dan yang mau beriman juga silakan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَذَرْهُمْ حَتَّى يُلَاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي فِيهِ يُصْعَقُونَ، يَوْمَ لَا يُغْنِي عَنْهُمْ كَيْدُهُمْ شَيْئًا وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ
“Maka biarkanlah mereka hingga mereka menemui hari (yang dijanjikan kepada) mereka, pada hari itu mereka dibinasakan, (yaitu) pada hari (ketika) tipu daya mereka tidak berguna sedikitpun bagi mereka dan mereka tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Ath-Thur : 45-46)
Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membiarkan mereka dengan segala tuduhan, dalil-dalil, dan tuntutan mereka. Tidak perlu menggubris itu semua, karena mereka akan mendapati hari dimana mereka akan binasa yaitu pada hari kiamat([99]), dimana mereka tidak akan mendapatkan pertolongan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّ لِلَّذِينَ ظَلَمُوا عَذَابًا دُونَ ذَلِكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan sesungguhnya bagi orang-orang yang zalim (berbuat syirik) masih ada azab selain itu. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Ath-Thur : 47)
Sebelum orang-orang kafir Quraisy mendapatkan azab pada hari kiamat kelak, maka mereka juga akan mendapatkan azab sebelum hari itu. Azab tersebut bisa saja terdapat di alam barzakh([100]), atau azab yang menimpa mereka dalam perang Badr([101]). Akan tetapi kebanyakan dari mereka tidak mengetahui hal tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap hukum Tuhanmu, karena sesungguhnya engkau berada dalam pengawasan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun.” (QS. Ath-Thur : 48)
Para ulama mengatakan bahwa “hukum” dalam ayat ini adalah hukum Allah secara umum mencakup hukum syar’i dan juga hukum kauni([102]). Nabi diperintahkan untuk bersabar dengan hukum Allah yang syar’i maksudnya adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk tegar dalam berdakwah, untuk senantiasa menyampaikan kebenaran, meskipun mereka tidak suka dengan penyampaian tersebut. Beliau disuruh untuk tetap sabar dalam menyampaikannya dan tidak mengikuti kemauan mereka dalam merubah hukum-hukum Allah Subhanahu wa ta’ala (dalam penghalalan maupun pengharaman). Dan tentunya Allah Subhanahu wa ta’ala akan mengukuhkan hati beliau. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا
“Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka.” (QS. Al-Isra’ : 74)
Adapun Nabi disuruh bersabar untuk menjalani hukum Allah yang kauni maksudnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diperintahkan untuk sabar dengan takdir yang Allah Subhanahu wa ta’ala tetapkan kepadanya berupa celaan, hinaan, serta takdir diusirnya beliau dari kampung halamannya.
Dan tidak lain Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk sabar dalam dua hal tersebut adalah karena Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam ayat ini,
فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا
“Karena sesungguhnya engkau berada dalam penglihatan Kami.”
Hampir dalam seluruh buku-buku tafsir menyebutkan bahwa makna بِأَعْيُنِنَا adalah dalam pengawasan, penglihatan, dan perhatian Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan tafsir semacam ini adalah tafsir billazim (tafsir dengan kelaziman). Artinya para ulama seperti Ath-Thabari dan Ibnu Katsir ketika menafsirkan kata ini bukan berarti sedang menolak sifat mata, akan tetapi mereka menafsirkan dengan kelaziman. Untuk kita pahami bahwa tafsir terhadap sifat dan nama-nama Allah Subhanahu wa ta’ala dilakukan dengan tiga kemungkinan,
Pertama adalah بِالْمُطَابَقَة (dengan kesesuaian).
Kedua adalah بِالتَّضَمُّن (dengan kandungan).
Ketiga adalah dengan بِاللاَزِم (dengan kelaziman). ([103])
Contoh sederhana adalah rumah. Ketika rumah ditafsirkan Bilmuthabaqah, maka jawabannya adalah bangunan yang memiliki ruang tamu, kamar tidur, dan atap. Inilah yang dimaksud penafsiran Bilmuthabaqah, yaitu menafsirkan sesuai dengan apa yang ada. Jika rumah ditafsrikan Bittadhammun, maka jawabannya adalah bangunan yang memiliki ruang tamu. Tafsiran Bittadhammun adalah penafsiran dengan sebagian kandungan dari kata tersebut. Adapun jika rumah ditafsirkan dengan kontraktor pembangun rumah maka itu merupakan tafsiir Billazim. Karena orang yang membangun rumah bukanlah bagian dari rumah, akan tetapi kelazimannya adalah rumah tidak akan ada kalau tidak ada yang membangun. Inilah yang dimaksud dengan tafsir Billazim.
Contoh jika ketiga model penafsiran tersebut diterapkan pada nama Allah Subhanahu wa ta’ala الْخَالِق (Maha Pencipta), maka akan muncul penjelasan sebagai berikut,
Tafsir Bilmuthabaqah, kata الْخَالِق akan memberikan makna tentang adanya Dzat dan sifat mencipta Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tafsiir Bittadhammun, kata الْخَالِق akan memberikan salah satu dari dua makna yaitu jika al-Khaliq ditafsirkan Dzat Allah saja atau jika al-Khaliq ditafsirkan dengan sifat pencipta saja.
Tafsir Billazim, kata الْخَالِق akan ditafsirkan dengan hal lain di luar daripada Dzat dan sifat mencipta Allah Subhanahu wa ta’ala akan tetapi merupakan konsekuensi dari sifat mencipta. Misalnya al-Kholiq ditafsirkan dengan sifat ilmu dan qudrah (kemampuan). Pada dasarnya kata الْخَالِق tidak mewakili kata العِلْمُ maupun القُدْرَةُ. Akan tetapi secara kelaziman yang namanya pencipta pasti memiliki ilmu dan kemampuan. Oleh karenanya dalam sebuah ayat Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ
“Bukankah Allah yang menciptakan itu mengetahui?” (QS. Al-Mulk : 14)
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga serupa. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq : 12)
Ayat ini jelas sekali menerangkan bahwa kelaziman dari Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai pencipta adalah Dia Mahakuasa dan memiliki ilmu.
Adapun lafal Alquran بِأَعْيُنِنَا yang ditafsirkan oleh sebagian ulama dengan pengawasan itu tidak menunjukkan bahwa mereka menolak sifat mata. Akan tetapi penglihatan itu memberikan kelaziman pengawasan. Hal ini juga sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam,
اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى، فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى، قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى، قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى
“Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut. Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, sungguh, kami khawatir dia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas’. Dia (Allah) berfirman, ‘Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat’.” (QS. Thaha : 43-46)
Kelaziman dari mendengar dan melihat dari ayat ini adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan menjaga atau mengawasi. Inilah yang disebut dengan tafsir Billazim (dengan kelaziman).
Bagaimana cara untuk mengetahui seorang mufassir tersebut menafsirkan dengan kelaziman atau memang dia telah menakwilkan firman Allah sejak awal? Yaitu dengan melihat sejarah orang tersebut tentang bagaimana kondisinya dalam menghadapi sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena jika kita melihat tafsir dari ayat ini, penafsir salaf dan penafsir Ahlul Bid’ah sama-sama menafsirkan kata بِأَعْيُنِنَا dengan pengawasan. Maka untuk membedakan keduanya adalah dengan melihat bagaimana sikap sang mufassir dalam menafsirkan sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala yang lain. Sebagai contoh adalah Ath-Thabari yang menetapkan sifat mata dan tangan bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Ketika beliau membawakan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
“Padahal kedua tangan Allah terbuka; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki.” (QS. Al-Maidah : 64)
Ath-Thabari menafsirkan ayat ini dengan makna bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Dermawan([104]). Orang yang melihat tafsiran tersebut mungkin akan menyangka bahwa Ath-Thabari sedang menakwil. Padahal dalam ayat lain ketika Ath-Thabari membahas firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قَالَ يَاإِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ
“(Allah) berfirman, ‘Wahai Iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri atau kamu (merasa) termasuk golongan yang (lebih) tinggi?’.” (QS. Shad : 75)
Ath-Thabari menyebutkan beberapa syubhat tentang ayat ini, akan tetapi dia memberikan bantahan dari syubhat tersebut dengan mengatakan bahwa yang benar Allah Subhanahu wa ta’ala mempunyai dua tangan. Adapun dalam ayat lain Ath-Thabari menafsirkan kedua tangan dengan kedermawanan itu menunjukkan kelaziman dari terbentangnya tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini menunjukkan bahwa Ath-Thabari menafsirkan dengan kelaziman. Akan tetapi ketika kita melihat tafsir-tafsir Ahlul Bid’ah, mereka juga menafsirkan kedua tangan dalam surah Al-Maidah dengan kedermawanan, hanya saja bedanya mereka telah menolak sifat tangan bagi Allah Subhanahu wa ta’ala sejak awal.
Terdapat perkataan yang viral di internet bahwa Imam Al-Bukhari juga menakwil firman Allah Subhanahu wa ta’ala. Ahlul Bid’ah ingin menunjukkan bahwa Imam Al-Bukhari berada di atas manhaj mereka dalam menafsirkan dengan menakwil. Mereka menyebutkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan bahwa Imam Al-Bukhari berkata,
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ [القصص: 88]: إِلَّا مُلْكَهُ، وَيُقَالُ: إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
“(Firman Allah) Segala sesuatu pasti binasa, kecuali wajah-Nya. (yaitu maknanya) Kecuali Dzat-Nya, dan sebagian berkata, ‘Kecuali apa-apa yang mengharap wajah Allah (amal saleh yang ikhlas)’.”([105])
Dalam tafsir Ath-Thabari, tafsir dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang dibawakan juga oleh Al-Bukhari hanya ada dua tafsiran dari para salaf. Yaitu wajah ditafsirkan dengan Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala dan amal saleh yang dilakukan dengan mengharap wajah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebelumnya, Shahih Al-Bukhari diriwayatkan oleh beberapa perawi di antaranya adalah An-Nasafi sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari. Tentang firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini, Imam Al-Bukhari menyebutkan,
فِي رِوَايَةِ النَّسَفِيِّ وَقَالَ مَعْمَرٌ قَوْلُهُ إِلَّا وَجْهَهُ إِلَّا مُلْكَهُ
“Dalam riwayat An-Nasafi, (Imam al-Bukhari berkata 🙂 Dan berkata Ma’mar, ‘firman Allah, ‘Kecuali wajah-Nya’ (yaitu) kecuali kerajaan-Nya.”([106])
Siapakah Ma’mar yang dimaksud tersebut? Dia adalah Abu Ubaidah Ma’mar Ibnul Mutsanna yang memiliki buku berjudul Majazul Quran. Dan Ma’mar dalam bukunya membawakan firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini dengan mengatakan,
كُلُّ شَيْءٍ هالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ: أي إلّا هو
“(firman Allah) ‘Segala sesuatu pasti akan binasa kecuali wajah-Nya’, yaitu kecuali Dia (sang pemilik wajah).”([107])
Di sini menunjukkan bahwa wajah Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut ditafsirkan dengan Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ini merupakan tafsir dengan kelaziman, karena wajah itu melazimkan adanya pemilik wajah yaitu Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya kata مُلْكَهُ (kerajaan-Nya) dalam Shahih Al-Bukhari yang benar bacanya tidak demikian, melainkan cara baca yang tepat adalah مَلِكَهُ (Sang pemilik wajah). Maka dengan demikian Imam Al-Bukhari tidak sedang menakwil firman Allah Subhanahu wa ta’ala, melainkan menafsirkan ayat tersebut dengan tafsir Billazim. Karena dalam banyak kesempatan Imam Al-Bukhari juga menetapkan sifat suara bagi Allah, sifat ketinggian Allah, sifat tangan Allah, dan sifat mata bagi Allah, yang bagi orang-orang Ahlul Bid’ah menolak sifat-sifat tersebut. Dan jika kata ملكه dibaca مُلْكَهُ (kerajaan-Nya) maka tentu tidak ada yang binasa, karena bumi, alam semesta dan bahkan manusia termasuk dari kerajaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau demikian maka siapakah yang binasa? Tentunya ini adalah bentuk penafsiran yang salah. Oleh karenanya yang benar adalah kata ملكه bukan dibaca مُلْكَهُ (kerajaanNya) akan tetapi dibaca مَلِكَهُ,(sang pemilik wajah) yaitu semua akan binasa kecuali sang pemilik wajah, sebagaimana dijelaskan oleh Ma’mar Ibnul Mutsanna dalam kitab Majazul Quran.
Dan tentang penglihatan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini, Ibnu ‘Athiyyah rahimahullah mengatakan,
فلان يرعاه المَلِكُ بعين، وهذه الآية ينبغي أَنْ يُقَرِّرَهَا كُلُّ مؤمن في نفسه فإنها تُفَسِّحُ مضايق الدنيا
“Fulan sedang diperhatikan oleh Sang Raja dengan matanya. Dan adapun ayat ini seorang mukmin harus menanamkan di dalam dirinya, karena itu akan membukan kesulitan-kesulitan dunia.” ([108])
Ibnu ‘Athiyyah menyebutkan bahwa ayat ini harus masuk ke dalam hati-hati seorang mukmin, Kalau seseorang telah beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan yakin bahwa Allah sedang mengawasinya, maka orang tersebut akan tenang dengan segala ibadahnya. Dan ketika Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengawasi seorang hamba, maka Allah Subhanahu wa ta’ala pasti akan memberikan jalan yang terbaik.
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala pada akhir ayat,
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika engkau bangun.”
Bangkit (bangun) yang dimaksud dalam ayat ini ditafsirkan secara umum karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menjelaskan bangkit seperti apa yang dimaksud. Oleh karenanya ada beberapa penafsiran dari para ulama. Sebagian ada yang menafsirkan bahwa bertasbih yang diperintahkan adalah bertasbih tatkala hendak shalat. Sebagaimana seseorang ketika shalat dan membaca doa istiftah,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
“Maha suci Engkau Ya Allah, dan dengan memuji-Mu, Maha berkah nama-Mu dan kemuliaan-Mu sangat agung, dan tidak ada Tuhan selain Engkau.”([109])
Sebagian ulama yang lain menafsirkan bahwa bertasbih yang dimaksud adalah bertasbih tatkala bangkit dari majelis, yaitu membaca doa kafaratul Majelis,
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
“Maha Suci Engkau Ya Allah, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau. Aku memohon ampunan dan taubat kepada-Mu.”([110])
Sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa yang dimaksud bertasbih tatkala bangkit adalah bertasbih tatkala terjaga dari tidur di tengah malam,
مَنْ تَعَارَّ مِنَ اللَّيْلِ، فَقَالَ: لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، الحَمْدُ لِلَّهِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ، وَلاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، أَوْ دَعَا، اسْتُجِيبَ لَهُ، فَإِنْ تَوَضَّأَ وَصَلَّى قُبِلَتْ صَلاَتُهُ
“Barangsiapa yang bangun di malam hari lalu membaca ‘Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qadiir. Alhamdulillahi wa subhaanallah wa laa ilaaha illallah wallahu akbar wa laa haula wa laa quwwata illa billah’ (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia-lah yang memiliki kerajaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dia berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah dan Maha Suci Allah dan tidak ada Ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan Allah Maha Besar dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah). Kemudian dilanjutkan dengan membaca ‘Allahummaghfirlii’ (Ya Allah ampunilah aku) atau berdoa, maka akan dikabulkan baginya. Jika dia berwudhu lalu shalat maka shalatnya diterima.”([111])
Inilah di antara tafsiran-tafsiran dari para ulama, bahwa tatkala seseorang bangkit hendak shalat, atau bangkit dari majelis, atau bangkit dari bangun di malam hari, maka hendaknya dia bertasbih. ([112])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَإِدْبَارَ النُّجُومِ
“Dan pada sebagian malam bertasbihlah kepada-Nya dan (juga) pada waktu terbenamnya bintang-bintang (pada waktu fajar).” (QS. Ath-Thur : 49)
Yang dimaksud bertasbih pada sebagian malam adalah shalat malam, adapun bertasbih pada waktu terbenamnya (perginya) bintang-bintang adalah shalat dua rakaat sebelum subuh. ([113])
Ayat ini merupakan dalil bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pelajaran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa jika beliau merasa susah maka hendaknya beliau bersabar, karena sesungguhnya beliau diawasi oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan jika beliau merasa kesusahan, maka perbanyaklah bertasbih kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana dalam banyak ayat Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bertasbih ketika dalam keadaan gelisah, di antaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَ، وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang sujud (shalat), Dan sembahlah Tuhanmu sampai yakin (ajal) datang kepadamu.” (QS. Al-Hjir : 97-99)
Oleh karenanya ketika seseorang berada dalam kondisi susah, maka hendaknya dia kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan banyak bertasbih dan shalat, di antaranya adalah shalat dan bertasbih ketika bintang-bintang mulai pergi (terbenam), yaitu di waktu subuh (shalat sunnah qabliyah subuh).
([3]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/63
([4]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/36
([5]) Tafsir Al-Qurthubiy 17/59
([6]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/37
([7]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/427
([8]) Lihat: At-Tibyan Fi Aqsam Al-Quran Li Ibnu Al-Qayyim hal.264
([9]) Tafsir Al-Qurthubiy 17/59
([10]) Lihat: At-Tibyan Fi Aqsam Al-Quran Li Ibnu Al-Qayyim hal.265
([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/59
([12]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/38
([15]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/124
([16]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/454
([19]) Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Sholeh Alu Syhaikh hafidzahullah (LIhat Tafsiir al-Mufashhol, Shalih Alu Asy-Syaikh hal 98)
([20]) Lihat: At-Tibyan Fi Aqsam Al-Quran Li Ibnu Al-Qayyim hal.266
([21]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/61
([22]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 9/279
([23]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/186
([24]) Lihat: At-Tibyan Fi Aqsam Al-Quran Li Ibnu Al-Qayyim hal.269
([25]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/18 7
([26]) Sehingga jadilah penekanan ada 4 penekanan. (Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/40)
([27]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/40
([28]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/187 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/41
([29]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/63
([30]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/42
([31]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/64
([32]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/64
([33]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/64
([34]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/43
([35]) Lihat: Tafsir Al-Alusiy 14/31
([36]) Lihat: Tafsir Al-Alusiy 14/31
([37]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/44
Yaitu jika dengan مَا sebagaimana dalam firmanNya إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ artinya : “Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan atas apa yang telah kamu kerjakan.”. Ini menunjukan Allah akan memberi siksaan dengan balasan persis setara dengan apa yang mereka kerjakan, karena Allah tidak akan menzalimi mereka. Berbeda tatkala Allah menyebutkan balasan bagi penghuni surga maka Allah menggunakan lafal بِمَا (yaitu huruf مَا didahului dengan huruf بِyang menunjukan sebab) seperti dalam firmanNya كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ yang artinya : “Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari sebab apa yang telah kamu kerjakan”. Artinya ganjaran di surga yang Allah sediakan tidak sepadan dengan pengorbanan amal shalih yang dilakukan oleh para hamba, karena amal shalih mereka sangat tidak sepadan untuk membeli surga, akan tetapi ama shalih itu hanyalah sebab yang mendatangkan rahmat Allah yang memasukan mereka ke dalam surga.
([38]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/45
([39]) HR. Ath-Thabrani no. 919 dalam Mu’jam Al-Ausath
([40]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/46
([41]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/46
([44]) Sebagaimana disebutkan dalam hadits, Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
إِنِّي لَأَعْلَمُ آخِرَ أَهْلِ النَّارِ خُرُوجًا مِنْهَا، وَآخِرَ أَهْلِ الجَنَّةِ دُخُولًا، رَجُلٌ يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ كَبْوًا، فَيَقُولُ اللَّهُ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الجَنَّةَ، فَيَأْتِيهَا، فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى، فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ: يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى، فَيَقُولُ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الجَنَّةَ، فَيَأْتِيهَا فَيُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهَا مَلْأَى، فَيَرْجِعُ فَيَقُولُ: يَا رَبِّ وَجَدْتُهَا مَلْأَى، فَيَقُولُ: اذْهَبْ فَادْخُلِ الجَنَّةَ، فَإِنَّ لَكَ مِثْلَ الدُّنْيَا وَعَشَرَةَ أَمْثَالِهَا – أَوْ: إِنَّ لَكَ مِثْلَ عَشَرَةِ أَمْثَالِ الدُّنْيَا … «ذَاكَ أَدْنَى أَهْلِ الجَنَّةِ مَنْزِلَةً»
“Sungguh aku benar-benar mengetahui orang yang terakhir keluar dari neraka dan yang paling terakhir masuk ke surga, yaitu seorang lelaki yang keluar dari nekara dalam kondisi tertatih-tatih, Maka Allah berkata, “Pergilah dan masuklah ke dalam surga !”, maka iapun pergi menuju surga. Maka dikhayalkan kepadanya bahwa surga telah penuh, maka iapun kembali dan berkata, “Wahai Rabbku aku mendapati surga sudah penuh”. Allah berkata, “Pergilah menuju surga !”. Maka iapun menuju surga, namun dikhayalkan kepadanya bahwa surga telah penuh, maka iapun kembali lalu berkata, “Wahai Rabbku aku mendapati surga telah penuh”. Maka Allah berkata, “Pergilah dan masuklah ke surga !, sesungguhnya bagimu surga seluas dunia dan sepuluh kali lipatnya” atau “bagimu surga seluas sepuluh kali lipat dunia”….itulah penghuni surga yang paling rendah”. (HR Al-Bukhari no 6571 dan Muslim no 186)
([45]) Tafsir Al-Qurthubi 17/65
([46]) HR. At-Tirmidzi no. 2533
([47]) Tafsir Al-Qurthubi 16/153
([49]) Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no. 3591
([50]) Tafsir Ath-Thabari 16/153
([51]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 16/153
([53]) Tafsir Al-Qurthubi 16/154
([54]) Lihat: At-Tibyan Fi Aqsam Al-Quran Li Ibnu Al-Qayyim hal.274
([55]) Lihat: At-Tibyan Fi Aqsam Al-Quran Li Ibnu Al-Qayyim hal.276
([56]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/67 dan at-Tafsiir al-Wasiith, al-Wahidi 1/203
([57]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/48
([58]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/67 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/50
([59]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/67
([60]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/52
([61]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/52
([62]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/69 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/52
([63]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/55
([64]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/390
([65]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/56
([66]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/70
([67]) Lihat: At-Tibyan Fi Aqsam Al-Quran Li Ibnu Al-Qayyim hal.278
([68]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/56
([69]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/57
([70]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/70
([71]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/58
([72]) HR. Ibnu Majah no. 3660
([73]) Lihat: Tafsir ibnu Katsir 7/434
([74]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/58
([75]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/58
([76]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/191
([77]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/61
([80]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 15/204
([81]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 12/21
([82]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/73
([83]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/63
([84]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/65
([86]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/437
([87]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/75
([88]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/73
([89]) Lihat: Tafsir Al-Alusiy 14/38
([90]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/74
([91]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/75
([92]) Lihat: Adhwa’ul Bayan fii Idhahi Al-Qur’an bil Qur’an 2/179.
([93]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/76
([94]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/76
([95]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal.816
([96]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/79
([97]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/80
([98]) Lihat: Tafsiir al-Mufashhol, Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 133.
([99]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/77
([100]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/78
([101]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/82
([102]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 818
([103]) Lihat: Al-Qowaa’idul Mutslaa Fii Shifaatillah wa Asmaaaihil Husnaa hal: 11
([104]) Lihat: Tafsir Ath-Thobary 10/451
([105]) Shahih Al-Bukhari 6/112
([108]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/194
([109]) HR. Ibnu Majah no. 804