Tafsir Surah Al-Qamar
Surah ini dikenal dengan surah Al-Qamar karena diambil dari ayat pertama dari surah ini, yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
“Saat (hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah.” (QS. Al-Qamar : 1) ([1])
Surah Al-Qamar adalah surah Makkiyah([2]), yaitu turun tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih berada di Mekkah, dan masih berhadapan dengan orang-orang kafir Quraisy. Dan disebutkan oleh para Ahli Tafsir bahwa peristiwa terbelahnya bulan terjadi pada tahun kelima kenabian (sebelum hijrah)([3]). Karenanya jumhur ulama berpendapat bahwasanya seluruh ayat dalam surah Al-Qamar adalah Makkiyah. Akan tetapi ada beberapa ayat yang dikhilafkan oleh para ulama, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَمْ يَقُولُونَ نَحْنُ جَمِيعٌ مُنْتَصِر، سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ، بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ
“Atau mereka mengatakan, ‘Kami ini golongan yang bersatu yang pasti menang’. Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. Bahkan hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qamar : 44-46)([4])
Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini merupakan Madaniyah karena bercerita tentang perang Badr([5]), dan kita tahu bahwa perang Badr terjadi setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah. Akan tetapi yang benar adalah ayat-ayat ini pun turun tatkala masih di Mekkah sebagai ancaman bagi mereka orang-orang kafir Quraisy bahwasanya akan terjadi suatu perang dan mereka akan kalah dalam perang tersebut. Oleh karenanya, pendapat yang benar adalah seluruh ayat-ayat dalam surah Al-Qamar turun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah, sehingga surah ini disebut dengan surah Makkiyah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
“Saat (hari Kiamat) semakin dekat, bulan pun terbelah.” (QS. Al-Qamar : 1)
Para ulama membawakan peristiwa terbelahnya bulan merupakan salah satu dari tanda-tanda kecil hari kiamat. Sebagaimana kita ketahui bahwa tanda-tanda hari kiamat menjadi dua, yaitu tanda-tanda kecil hari kiamat dan tanda-tanda besar hari kiamat.
- Tanda-tanda besar hari kiamat
Tanda-tanda besar hari kiamat adalah tanda-tanda yang muncul menjelang tibanya hari kiamat. Di antara tanda-tanda tersebut adalah munculnya Dajjal dan turunnya Nabi Isa ‘alaihissalam, munculnya Imam Mahdi, matahari terbit dari barat, muncul hewan yang bisa berbicara dengan manusia, dukhan, dan yang lainnya. Jika salah satu dari tanda-tanda besar hari kiamat muncul, maka akan muncul pula tanda-tanda yang lain secara beriringan hingga tibalah hari kiamat.
- Tanda-tanda kecil hari kiamat
Tanda-tanda kecil hari kiamat adalah tanda-tanda yang muncul jauh sebelum hari kiamat, oleh karenanya disebut sebagai tanda-tanda kecil. Tanda-tanda kecil hari kiamat sangatlah banyak, bahkan sebuah risalah menyebutkan bahwa tanda-tanda kecil hari kiamat terdapat 57 tanda([6]). Di antara tanda-tanda tersebut adalah diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
بُعِثْتُ أَنَا وَالسَّاعَةَ كَهَاتَيْنِ
“Aku diutus dan jarak antara aku dan kiamat bagai dua (jari) ini (dekat).”([7])
Di antara tanda-tanda kecil hari kiamat juga adalah terbelahnya rembulan. Perkara terbelahnya bulan adalah perkara yang dahsyat, akan tetapi dia termasuk tanda-tanda kecil karena terjadi jauh sebelum terjadinya hari kiamat itu sendiri.
Sebagian orang menyangka bahwa seluruh tanda-tanda hari kiamat adalah buruk, padahal tidak demikian. Terbelahnya bulan bukanlah tanda yang buruk, justru hal tersebut adalah salah satu dari mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula diiutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah pertanda yang buruk, padahal diutusnya beliau merupakan tanda-tanda hari kiamat. Begitu pula halnya dengan mulainya bermunculan bangunan-bangunan yang tinggi bukanlah hal yang buruk selama digunakan dalam hal kebaikan, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutnya sebagai tanda-tanda hari kiamat. Akan tetapi tidak kita pungkiri bahwa di antara tanda-tanda kecil hari kiamat kebanyakan adalah hal-hal yang buruk, seperti tersebarnya zina, tersebarnya kejahilan, tidak memberi salam kecuali kepada orang yang dikenal, tidak shalat sunnah tahiyatul masjid ketika masuk masjid, dan yang lainnya. Intinya fungsi dari tanda-tanda tersebut adalah untuk mengingatkan kepada kita bahwa hari akhir itu ada, bumi yang kita tempati ini suatu saat akan hancur dan diubah oleh Allah Subhanahu wa ta’ala jika telah tiba waktunya.
Terdapat beberapa hadits yang menyebutkan bahwa umur dunia ini sudah sangat dekat dengan hari kiamat. Di antara hadits tersebut adalah seperti yang disebutkan Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَا بَقِيَ مِنْ دُنْيَاكُمْ فِيمَا مَضَى إِلَّا مِثْلُ مَا بَقِيَ مِنْ هَذَا الْيَوْمِ فِيمَا مَضَى، وَمَا نَرَى مِنَ الشَّمْسِ إِلَّا يَسِيرًا
“Tidak tersisa dari dunia kalian yang telah lalu kecuali seperti yang tersisa dari hari ini atas apa yang telah lewat”. (Anas bin Malik berkata) ‘Dan kami melihat sebentar lagi matahari terbenam (ketika Nabi mengatakan itu)’.”([8])
Dalam hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyamakan bahwasanya umur dunia ibarat satu hari, sehingga umur dunia yang telah berlalu adalah seperti subuh hingga sore hari menjelang maghrib, dan yang tersisa dari umur dunia adalah sisa waktu menjelang maghrib sebagaimana yang dijelaskan oleh Anas bin Malik. Ini menjelaskan bahwasanya umur dunia tinggal sedikit. Hadits-hadits seperti masih banyak, hanya saja Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menyebutkan secara spesifik umur dunia angka tertentu. Semua hadits yang menyebutkan tentang umur dunia dengan angka, maka hadits-hadits itu dha’if menurut Ibnul Qayyim rahimahullah sehingga hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah([9]). Oleh karenanya telah keliru sebagian ulama yang menentukan umur dunia. Di antara ulama yang menentukannya adalah Imam Ath-Thabari dalam tarikhnya yang ditulis pada tahun sekitar abad ke-4, beliau berkesimpulan bahwa umur dunia tidak akan bertahan sampai 500 tahun hijriah ke depan([10]), padahal saat ini sudah mencapai abad ke-14 hijriah. Di antara ulama yang menentukan umur dunia adalah Imam As-Suyuti rahimahullah, dalam Al-Hawi li Al-Fatawaa beliau berbicara tentang umur dunia dan mengatakan bahwasanya Imam Mahdi akan muncul sekitar abad ke-12 hijriah, akan tetapi saat ini Imam Mahdi belum muncul. Demikianlah, para ulama juga bisa salah. Para ulama yang menentukan umur dunia secara spesifik kita katakan salah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menyebutkan berapa umur dunia. Meskipun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan perumpamaan umur dunia, akan tetapi tidak ada yang mengetahui angkanya secara pasti. Para ilmuan boleh mengatakan bahwa dunia telah melalui masa jutaan tahu, akan tetapi kita katakan bahwa itu hanyalah sekadar hipotesis mereka, dan tidak ada dalil pasti yang menunjukkan kebenaran akan hipotesis mereka.
Intinya tanda-tanda kecil hari kiamat telah banyak terjadi. Maka tidak perlu seorang Da’i kemudian meramal kapan terjadinya hari kiamat, karena sebagian Da’i zaman sekarang berani meramal waktu terjadinya hari kiamat, sampai-sampai sebagian kita bertanya-tanya apakah orang tersebut Da’i atau dukun. Bahkan anehnya banyak orang yang percaya dengan ramalan tersebut, padahal betapa banyak ramalannya tersebut telah terbukti salah. Ini berarti dia telah berdusta kepada umat, sedangkan hal tersebut jelas diharamkan dalam agama. Namun demikianlah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda tentang para dukun,
إِذَا قَضَى اللَّهُ الأَمْرَ فِي السَّمَاءِ، ضَرَبَتِ المَلاَئِكَةُ بِأَجْنِحَتِهَا خُضْعَانًا لِقَوْلِهِ، كَأَنَّهُ سِلْسِلَةٌ عَلَى صَفْوَانٍ، فَإِذَا فُزِّعَ عَنْ قُلُوبِهِمْ قَالُوا: مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ؟ قَالُوا لِلَّذِي قَالَ: الحَقَّ، وَهُوَ العَلِيُّ الكَبِيرُ، فَيَسْمَعُهَا مُسْتَرِقُ السَّمْعِ، وَمُسْتَرِقُ السَّمْعِ هَكَذَا بَعْضُهُ فَوْقَ بَعْضٍ – وَوَصَفَ سُفْيَانُ بِكَفِّهِ فَحَرَفَهَا، وَبَدَّدَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ – فَيَسْمَعُ الكَلِمَةَ فَيُلْقِيهَا إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، ثُمَّ يُلْقِيهَا الآخَرُ إِلَى مَنْ تَحْتَهُ، حَتَّى يُلْقِيَهَا عَلَى لِسَانِ السَّاحِرِ أَوِ الكَاهِنِ، فَرُبَّمَا أَدْرَكَ الشِّهَابُ قَبْلَ أَنْ يُلْقِيَهَا، وَرُبَّمَا أَلْقَاهَا قَبْلَ أَنْ يُدْرِكَهُ، فَيَكْذِبُ مَعَهَا مِائَةَ كَذْبَةٍ، فَيُقَالُ: أَلَيْسَ قَدْ قَالَ لَنَا يَوْمَ كَذَا وَكَذَا: كَذَا وَكَذَا، فَيُصَدَّقُ بِتِلْكَ الكَلِمَةِ الَّتِي سَمِعَ مِنَ السَّمَاءِ
“Ketika Allah menetapkan suatu urusan di langit, malaikat lantas meletakkan sayapnya dalam rangka tunduk pada perintah Allah. Firman Allah yang mereka dengarkan itu seolah-olah seperti suara gemerincing rantai di atas batu. Hal ini memekakkan mereka. Apabila rasa takut telah dihilangkan dari hati mereka, mereka mengucapkan, ‘Apa yang telah difirmankan oleh Rabb kalian?’ Mereka menjawab, ‘Perkataan yang benar. Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar’. Jin-jin pencuri berita itu pun mendengarkan berita itu. Para pencuri berita itu posisinya saling bersusun-susun. Sufyan menggambarkannya dengan memiringkan telapak tangannya dan merenggangkan jari-jemarinya. Jika Jin yang di atas mendengar berita itu, maka segera disampaikan kepada Jin yang berada di bawahnya. Kemudian yang lain juga menyampaikan kepada Jin yang berada di bawahnya hingga sampai kepada tukang sihir dan dukun. Terkadang Jin penyadap berita itu terkena api sebelum sempat menyampaikan berita itu. Terkadang pula Jin itu bisa menyampaikan berita itu sebelum terkena api. Lalu dengan berita yang didengarnya itulah tukang sihir atau dukun menambah dengan seratus kedustaan. Orang-orang yang mendatangi tukang sihir atau dukun pun mengatakan, ‘Bukankah pada hari ini dan itu, dia telah mengabarkan kepada kita bahwa akan terjadi demikian dan demikian?’ Akibatnya, tukang sihir dan dukun itu pun dipercaya karena satu kalimat yang telah didengarnya dari langit.”([11])
Para ulama mengambil faedah dari hadits ini bahwa meskipun para dukun salah meramal hingga seratus kali, namun jika dukun tersebut pernah meramal satu kali dan benar, maka yang benar itulah yang akan diingat oleh orang-orang, sedangkan yang salah dilupakan. Dan sebagian Da’i yang meramal tentang hari kiamat tersebut membuat orang-orang yang mendengarnya jadi mundur dari apa yang dia inginkan. Padahal yang benar adalah meskipun hari kiamat itu benar terjadi, namun bukan berarti membuat orang akhirnya tidak beraktivitas. Bahkan jika kita tahu bahwa hari kiamat sebentar lagi, maka kita harus melakukan sesuatu yang terbaik yang bisa kita lakukan. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ، فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا
“Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah benih, maka jika ia mampu (menanamnya) sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.”([12])
Artinya, kapan pun hari kiamat itu terjadi, selama kita masih punya waktu dan bisa melakukan sesuatu yang baik untuk kemaslahatan dunia atau akhirat kita maka lakukanlah. Bukan malah sebaliknya, dimana seseorang membatalkan segala rencana dan keinginannya ketika mengetahui tanda-tanda besar hari kiamat muncul. Maka berhati-hatilah dengan kemunculan para Da’i yang suka mencocokkan antara dalil dengan cerita-cerita sehingga menyimpulkan bahwa kiamat akan terjadi pada tahun tertentu, karena orang-orang seperti itu telah banyak bermunculan di tanah air kita.
Oleh karena itu, yang benar adalah hari kiamat telah dekat, hanya saja tidak ada yang mengetahui berapa waktu yang bisa menunjukkan tentang seberapa dekatnya, yang tahu hanyalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun orang-orang yang menentukan bahwa hari kiamat akan terjadi pada tahun sekian dan sekian, maka itu menunjukkan dia tahu hari kiamat, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengetahuinya. Bukankah tatkala Jibril bertanya tentang hari kiamat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
مَا المَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ
“Yang ditanya tentang itu tidak lebih tahu dari yang bertanya.” (Muttafaqun ‘alaih)([13])
Artinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan malaikat Jibril sama-sama tidak tahu tentang kapan hari kiamat terjadi. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَسْأَلُونَكَ عَنِ السَّاعَةِ أَيَّانَ مُرْسَاهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ رَبِّي لَا يُجَلِّيهَا لِوَقْتِهَا إِلَّا هُوَ ثَقُلَتْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا تَأْتِيكُمْ إِلَّا بَغْتَةً يَسْأَلُونَكَ كَأَنَّكَ حَفِيٌّ عَنْهَا قُلْ إِنَّمَا عِلْمُهَا عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, ‘Kapan terjadi?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba’. Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’.” (QS. Al-A’raf : 187)
Maka orang-orang yang mengatakan bahwa hari kiamat terjadi kurang dari 30 tahun, atau 50 tahun, maka itu menunjukkan bahwa dia telah melanggar ayat-ayat Allah yang menyebutkan bahwa tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui kapan terjadinya hari kiamat tersebut.
Setelah itu, Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan dalam ayat ini tentang peristiwa terbelahnya bulan. Banyak hadits-hadits yang menyebutkan tentang peristiwa terbelahnya bulan. Hadits-hadits tersebut adalah hadits-hadits yang mutawatir, banyak para sahabat yang meriwayatkan peristiwa tersebut di antaranya adalah Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, dari Anas bin Malik, Jubair bin Muth’im, Ibnu ‘Abbas, dan para sahabat yang lain radhiallahu ‘anhuma. Dari hadits-hadits tersebut menyebutkan bahwa orang-orang kafir Quraisy menantang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membelah bulan, maka kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa kepada Allah sehingga akhirnya bulan terbelah menjadi dua. Dari Anas bin Malik, dia berkata,
سَأَلَ أَهْلُ مَكَّةَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آيَةً، فَانْشَقَّ القَمَرُ بِمَكَّةَ مَرَّتَيْنِ، فَنَزَلَتْ: اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ، وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ
“Penduduk Mekkah meminta satu tanda kenabian kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian bulan terbelah di Mekkah dua kali. Kemudian turunlah ayat: Saat (hari kiamat) semakin dekat dan bulan pun terbelah dua kali. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘(Ini adalah) sihir yang terus menerus’ (QS. Al-Qamar 1-2).”([14])
Sebagian ulama mengatakan bahwa maksud hadits ini tidak menyebutkan bulan terbelah dua kali, akan tetapi bulan terbelah menjadi dua bagian([15]). Karena dalam lafal Shahih Al-Bukhari, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
انْشَقَّ القَمَرُ فِرْقَتَيْنِ
“Bulan terbelah menjadi dua.”([16])
Lafal dalam Shahih Al-Bukhari ini adalah lafal yang paling kuat. Artinya orang-orang kafir Quraisy melihat terbelahnya bulan yang terjadi di malam hari.
Peristiwa terbelahnya bulan adalah mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi kemudian hal itu diingkari oleh orang-orang kafir Quraisy. Mereka mengatakan bahwa peristiwa terbelahnya bulan adalah sihirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini menunjukan bahwa peristiwa ini benar-benar pernah terjadi. Karena kalau sekiranya peristiwa ini tidak terjadi, tentu orang-orang kafir Quraisy akan menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena Alquran telah berdusta dengan mengatakan bahwa bulan pernah terbelah. Akan tetapi tidak kita dapati satu riwayat pun dimana ada seorangpun dari orang-orang kafir Quraisy protes dengan ayat ini. Ini menjadi bukti bahwa bulan pernah terbelah, dan kita orang Islam harus beriman dengan ayat ini.
Sebagian orang-orang di zaman sekarang kembali mengejek Alquran dengan mempertanyakan mana bukti bahwa bulan pernah terbelah. Maka kita katakan bahwa baik ada bukti atau tidak bahwa bulan pernah terbelah bukanlah urusan kita, karena demikianlah yang namanya mukjizat, sehingga bisa jadi Allah membelah bulan lalu dikembalikan seperti sediakala tanpa ada jejak sama sekali, atau bahkan Allah berikan sedikit tanda bekas belahan tersebut, maka itu semua terserah kehendak Allah Subhanahu wa ta’ala. Bukankah hal seperti ini sama ketika muncul lagi orang-orang yang mengatakan bahwa tidak mungkin Nabi melakukan isra’ ke langit, maka kita katakan bahwa itulah yang namanya mukjizat. Demikian pula Nabi Isa ‘alaihissalam yang lahir tanpa ayah, ketika bayi telah bisa berbicara, tentunya itulah yang namanya mukjizat. Akan tetapi belakangan penelitian mengabarkan bahwa pada bulan terdapat bekas bahwa bulan pernah terbelah. Mereka orang-orang kafir memang tidak meyakini hal itu, mereka meyakini bahwa bekas yang tampak pada bulan itu hanya bekas benturan yang telah berlangsung jutaan tahun yang lalu hingga membentuk bekas seperti yang mereka amati. Intinya mereka tidak bisa menafikan dengan dalil, semua hanya sekadar hipotesis belaka.
Kita orang Islam tidak butuh penjelasan dan penilitian mereka, kalau Alquran telah mengatakan bulan pernah terbelah maka kita beriman dengan itu. Namun demikianlah mereka orang-orang kafir berusah memberikan syubhat agar umat Islam ragu akan kebenaran mukjizat ini. Mereka mengatakan bahwa jika benar bulan pernah terbelah maka seharusnya ada dalam buku-buku sejarah yang menyebutkan peristiwa dahsyat itu. Untuk membantah syubhat mereka ini, kita bisa membantahnya dengan beberapa bantahan,
Bantahan pertama, bisa jadi ketika peristiwa bulan terbelah, Allah Subhanahu wa ta’ala menutup mata manusia yang lain dan yang melihatnya adalah orang-orang Quraisy. Hal ini sangat mungkin, karena sebagaimana kita tidak bisa melihat benteng yang menutupi Ya’juj dan Ma’juj, padahal benteng tersebut ada, hanya saja Allah menutup mata kita sehingga tidak tahu keberadaannya. Demikian pula kisah orang-orang kafir Quraisy yang hendak menangkap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan telah berada di mulut goa, akan tetapi Allah membuat mata mereka tidak bisa melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu yang berada di dalam goa tersebut. Intinya, bisa jadi Allah menutup mata orang lain selain orang-orang Quraisy untuk melihat peristiwa tersebut. Dan bisa jadi peristiwa tersebut bisa dilihat semua orang, akan tetapi karena peristiwa itu terjadi di malam hari maka kebanyakan orang tidur dan akhirnya tidak melihatnya.
Bantahan kedua, bisa jadi ada orang-orang yang melihat dan menuliskan peristiwa tersebut dalam buku-buku sejarah mereka. Akan tetapi kita ketahui bahwa banyak sekali buku-buku sejarah yang hilang. Peperangan yang terjadi membuat banyak terjadi pembakaran buku-buku dan bukti-bukti sejarah, sehingga bisa jadi sejarah tersebut ada namun hilang karena peperangan. Sejarah menyebutkan jangankan catatan peristiwa terbelahnya bulan, bahkan taurot pernah hilang karena peperangan.
Bantahan ketiga, terdapat dalam tulisan-tulisan manuskrip kuno, seperti suku Maya yang ada di Amerika([17]) dan suku Malabar di India, mereka menyebutkan dalam manuskrip tersebut bahwa pernah terjadi peristiwa terbelahnya bulan pada abad ke-7 H, dan itu pas di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan suku Malabar yang kebanyakan mereka adalah orang Islam, sejarah mereka mencatat bahwa sebab mereka masuk Islam adalah dahulu raja mereka sempat melihat bulan terbelah, dan kemudian bertanya-tanya kepada pedagang Arab tentang peristiwa itu, dari situ kemudian dia tahu tentang keberadaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan akhirnya masuk Islam, dan Islam kemudian berkembang di India([18]).
Intinya, ada sejarah atau tidak yang menyebutkan peristiwa tentang terbelahnya bulan tidaklah menjadikan kita sebagai orang Islam ragu akan hal itu. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyebutkan bahwa bulan pernah terbelah maka kita beriman dengan kabar tersebut. Dan sederhananya, jika peristiwa ini tidak pernah terjadi maka orang-orang kafir Quraisy tentu akan menjadikan ayat ini sebagai bahan ejekan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mereka semakin kafir terhadapnya. Akan tetapi kenyataannya mereka semua diam dan tidak mengomentari tentang ayat ini, sehingga menunjukkan bahwa peristiwa terbelahnya bulan benar-benar pernah terjadi.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ
“Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, ‘(Ini adalah) sihir yang terus-menerus’.” (QS. Al-Qamar : 2)
Terdapat beberapa pendapat di kalangan Ahli Tafsir tentang makna مُسْتَمِرٌّ. Tafsiran pertama, مُسْتَمِرٌّ artinya sihir yang akan hilang. Artinya mereka orang-orang kafir Quraisy meremehkan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengatakan bahwa itu adalah sihir yang yang akan hilang. Tafsiran kedua, مُسْتَمِرٌّ berasal dari kata مِرَّة yang artinya kuat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang malaikat Jibril,
ذُو مِرَّةٍ فَاسْتَوَى
“Yang mempunyai kekuatan, maka (Jibril) menampakkan diri dengan rupa yang asli.” (QS. An-Najm : 6)
Artinya mereka orang-orang kafir Quraisy mengatakan bahwa mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sihir yang sangat kuat, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah pakarnya ilmu sihir sampai-sampai bisa membelah bulan menjadi dua. Tafsiran ketiga, مُسْتَمِرٌّ artinya terus-menerus. Artinya orang-orang kafir Quraisy menyangka bahwa karena sebagaimana mereka merasa pernah disihir dengan mukjizat-mukjizat yang telah ditunjukkan kepada mereka, maka mereka mengatakan bahwa peristiwa terbelahnya bulan yang diperlihatkan kepada mereka adalah sihir yang ke sekian dan akan datang lagi sihir yang berikutnya. ([19])
Demikianlah sifat-sifat orang-orang musyrikin yang tetap saja tidak mau beriman meskipun telah melihat mukjizat, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوْ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَابًا مِنَ السَّمَاءِ فَظَلُّوا فِيهِ يَعْرُجُونَ، لَقَالُوا إِنَّمَا سُكِّرَتْ أَبْصَارُنَا بَلْ نَحْنُ قَوْمٌ مَسْحُورُونَ
“Dan kalau Kami bukakan kepada mereka (orang-orang kafir) salah satu pintu langit, lalu mereka terus menerus naik ke atasnya, tentulah mereka berkata, ‘Sesungguhnya pandangan kamilah yang dikaburkan, bahkan kami adalah orang yang terkena sihir’.” (QS. Al-Hijr : 14-15)
Maka mukjizat apa pun yang didatangkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap saja orang-orang kafir Quraisy akan mengatakan bahwa hal mukjizat tersebut adalah sihir, karena mereka telah menetapkan julukan penyihir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَذَّبُوا وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ وَكُلُّ أَمْرٍ مُسْتَقِرٌّ
“Dan mereka mendustakan (Muhammad) dan mengikuti keinginannya, padahal setiap urusan telah ada ketetapannya.” (QS. Al-Qamar : 3)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَكَذَّبُوا وَاتَّبَعُوا أَهْوَاءَهُمْ
“Dan mereka mendustakan (Muhammad) dan mengikuti keinginannya.”
Artinya orang-orang kafir Quraisy itu tidak mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dari hati mereka, mereka tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang benar, akan tetapi sebab pendustaan mereka adalah karena mereka mengikuti hawa nafsu mereka([20]). Orang-orang kafir Quraisy menyangka bahwa jika harus mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka mereka akan kerepotan dengan hukum-hukum yang ditetapkan kepada mereka.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَكُلُّ أَمْرٍ مُسْتَقِرٌّ
“Padahal setiap urusan telah ada ketetapannya.” (QS. Al-Qamar : 3)
Sebagian ulama menafsirkan penggalan ayat ini dengan makna bahwa kebaikan telah ditetapkan kepada orang-orang yang baik, dan keburukan telah ditetapkan pula kepada pelakunya([21]). Artinya seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa demikianlah ketetapan-Nya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan ditetapkan dengan kebaikannya, dan bagi orang-orang kafir Quraisy telah ditetapkan keburukan bagi mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنَ الْأَنْبَاءِ مَا فِيهِ مُزْدَجَرٌ
“Dan sungguh, telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat ancaman (terhadap kekafiran).” (QS. Al-Qamar : 4)
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata مُزْدَجَرٌ yang berasal dari kata زَجر yang artinya terhalangi. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata مُزْدَجَرٌ sebagai tambahan penekanan terhadap pencegahan, sehingga artinya adalah telah datang kepada mereka sebagian kisah-kisah yang dengan kisah tersebut seharusnya bisa mencegah dan menghalangi mereka dari kekufuran([22]). Adapun kisah-kisah tersebut Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat-ayat selanjutnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
حِكْمَةٌ بَالِغَةٌ فَمَا تُغْنِ النُّذُرُ
“(itulah) suatu hikmah yang sempurna, tetapi peringatan-peringatan itu tidak berguna (bagi mereka).” (QS. Al-Qamar : 5)
Semua yang Allah Subhanahu wa ta’ala lakukan pasti ada hikmah yang sempurna dibalik hal tersebut, baik kita ketahui atau tidak ketahui. Oleh karenanya di antara nama Allah Subhanahu wa ta’ala adalah الحَكِيْم yang di antara maknanya adalah Yang Memiliki Hikmah yang sempurna. Artinya di balik Allah mengabarkan kisah-kisah tersebut terdapat hikmah yang sempurna, dibalik Allah mengutus Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pasti terdapat hikmah yang sempurna, bahkan dibalik pembangkangan orang-orang kafir Quraisy terdapat hikmah yang sempurna.
Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa ternyata peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata النُّذُرُ yang maknanya bisa jadi adalah الإِنْذَارُ (peringatan) dan bisa juga النُّذُرُ merupakan jamak dari النَّذِيْر yang bisa diartikan sebagai pemberi peringatan yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para nabi-nabi yang lain([23]). Makna yang lebih kuat dari النُّذُرُ dalam ayat ini adalah peringatan-peringatan, sehingga maknanya adalah tidak bermanfaat peringatan-peringatan Allah kepada mereka. Begitu banyak ayat-ayat Alquran yang turun kepada mereka sebagai pemberi peringatan kepada mereka, akan tetapi peringatan-peringatan tersebut tidak bermanfaat bagi mereka orang-orang kafir Quraisy.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ يَوْمَ يَدْعُ الدَّاعِ إِلَى شَيْءٍ نُكُرٍ، خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ، مُهْطِعِينَ إِلَى الدَّاعِ يَقُولُ الْكَافِرُونَ هَذَا يَوْمٌ عَسِرٌ
“Maka berpalinglah engkau (Muhammad) dari mereka pada hari (ketika) penyeru (malaikat) mengajak (mereka) kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari pembalasan), pandangan mereka tertunduk, ketika mereka keluar dari kuburan, seakan-akan mereka belalang yang beterbangan, dengan patuh mereka segera datang kepada penyeru itu. Orang-orang kafir berkata, ‘Ini adalah hari yang sulit’.” (QS. Al-Qamar : 6-8)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ
“Maka berpalinglah engkau (Muhammad) dari mereka.”
Karena disebabkan peringatan-peringatan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak bermanfaat bagi orang-orang kafir Quraisy, maka Allah memerintahkan agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling dari mereka. Artinya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap berdakwah kepada mereka, akan tetapi jangan berharap bahwa mereka akan menerima dakwah beliau. Padahal kita tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentu sangat ingin agar orang-orang kafir Quraisy itu masuk Islam. Sampai-sampai Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
“Dan janganlah engkau bersedih hati (Muhammad) terhadap kekafiran mereka, dan jangan (pula) bersempit dada terhadap tipu daya yang mereka rencanakan.” (QS. An-Nahl : 127)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat ingin agar orang-orang Quraisy itu beriman, karena orang-orang Quraisy adalah satu suku sekaligus kerabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa mereka tidak akan beriman maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat sedih, akan tetapi kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak bersedih atas tidak berimannya mereka orang-orang Quraisy. Dan perintah Allah ini sama seperti dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ فَمَا أَنْتَ بِمَلُومٍ
“Maka berpalinglah engkau (Muhamad) dari mereka (orang-orang kafir), dan engkau sama sekali tidak tercela.” (QS. Adz-Dzariyat : 54)
Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala berkata, ‘Berpalinglah dari mereka, sesungguhnya engkau tidaklah tercela. Sesungguhnya engkau telah menyampaikan, maka jika mereka tidak beriman, janganlah engkau terlalu bersemangat agar mereka beriman, karena mereka telah ditetapkan tidak akan beriman, berdakwahlah dan palingkan hatimu dari mereka’.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَدْعُ الدَّاعِ إِلَى شَيْءٍ نُكُرٍ، خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ، مُهْطِعِينَ إِلَى الدَّاعِ يَقُولُ الْكَافِرُونَ هَذَا يَوْمٌ عَسِرٌ
“Pada hari (itu) penyeru (malaikat) mengajak (mereka) kepada sesuatu yang tidak menyenangkan (hari pembalasan). Pandangan mereka tertunduk, ketika mereka keluar dari kuburan, seakan-akan mereka belalang yang beterbangan, dengan patuh mereka segera datang kepada penyeru itu. Orang-orang kafir berkata, ‘Ini adalah hari yang sulit’.”
Berdasarkan ayat ini, Thahir Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya At-Tahrir wa At-Tanwir mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tujuh perkara yang mengerikan pada hari kiamat yang akan dirasakan oleh orang-orang kafir([24]). Sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Berpalinglah engkau Muhammad dari mereka, karena mereka akan mendapatkan perkara-perkara ini pada hari kiamat’. Di antara perkara-perkara tersebut antara lain,
Hal mengerikan pertama, akan tiba hari dimana ada seorang penyeru yang akan menyeru mereka, yaitu Abu Jahal dan kawan-kawannya (orang-orang kafir Quraisy) untuk dihadirkan dan dihisab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Peristiwa ini tentu sangat mengerikan bagi mereka.
Hal mengerikan kedua, mereka akan diseru pada suatu perkara. Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata شَيْءٍ yang nakiroh yang menunjukkan bahwa perkara tersebut dahsyat.
Hal mengerikan ketiga, adanya tambahan kata نُكُرٍ (tidak menyenangkan) pada suatu perkara yang mereka dipanggil untuknya, dan ini menunjukkan bahwa perkara yang mengerikan tersebut merupakan perkara yang mereka tidak suka.
Hal mengerikan keempat, mereka akan memenuhi seruan tersebut dengan keadaan pandangan mata mereka tertunduk karena ketakutan dan terhina. Saat itu mereka tidak dapat memandang yang satu dengan yang lainnya dengan pandangan yang lama.
Hal mengerikan kelima, mereka akan keluar dari kuburan mereka seperti belalang yang bertebaran. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan dua sifat manusia tatkala keluar dari kubur di dalam Alquran. Pada sebagian ayat Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ
“Ketika mereka keluar dari kuburan, seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al-Qamar : 7)
Dan dalam sebagian ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ
“Pada hari itu manusia seperti laron yang beterbangan.” (QS. Al-Qari’ah : 4)
Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa berdasarkan dua ayat ini, maka ada dua kondisi manusia tatkala itu. Pertama, mereka dibangkitkan dan mereka akan keluar dengan kebingungan seperti laron yang bertebaran tidak jelas arahnya, yaitu mereka bingung melihat hari ketika mereka dibangkitkan sehingga membuka mereka kesana-kemari tanpa tujuan. Kedua, setelah itu manusia akan mendengar seruan, sehingga mereka akhirnya berjalan menuju seruan tersebut seperti belalang yang bertebaran, yaitu mereka terarah menuju arah seruan tersebut.
Hal mengerikan keenam, setelah mereka dibangkitkan dari kuburan mereka, maka mereka semua akan berjalan menuju arah seruan tersebut dengan cepat. Kata مُهْطِعِينَ artinya adalah orang yang berjalan dengan cepat sambil meninggikan lehernya.
Hal mengerikan ketujuh, ketika itu orang-orang kafir akan berkata bahwa hari itu adalah hari yang berat. Mahfum mukhalafah dari perkataan orang-orang kafir ini adalah orang-orang beriman tidak akan merasakan hal yang berat seperti yang mereka rasakan. Betapa berat hari tersebut pasti ada kemudahan bagi orang-orang yang beriman, dan hal ini pula yang kita pahami dari ayat-ayat Alquran. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ، يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ، وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ، وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ، لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ، وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُسْفِرَةٌ، ضَاحِكَةٌ مُسْتَبْشِرَةٌ، وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ، تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ، أُولَئِكَ هُمُ الْكَفَرَةُ الْفَجَرَةُ
“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua), pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya. Pada hari itu ada wajah-wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan pada hari itu ada (pula) wajah-wajah yang tertutup debu (suram), tertutup oleh kegelapan (ditimpa kehinaan dan kesusahan). Mereka itulah orang-orang kafir yang durhaka.” (QS. ‘Abasa : 33-42)
Maka meskipun hari kiamat adalah hari yang sangat mengerikan, bahkan para Nabi juga takut dengan hari tersebut, akan tetapi orang beriman akan merasakan perkara tersebut jauh lebih ringan daripada yang dirasakan oleh orang-orang kafir, karena perkataan mereka sendiri menunjukkan bahwa hari itu adalah hari yang berat.
========
Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menyebutkan contoh tentang umat-umat terdahulu. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kisah-kisah umat terdahulu secara tartib zamani (urutan zaman), yaitu dimulai dari kisah Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shalih, Nabi Luth, dan Nabi Musa ‘alaihimassalam.
========
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوحٍ فَكَذَّبُوا عَبْدَنَا وَقَالُوا مَجْنُونٌ وَازْدُجِرَ
“Sebelum mereka, kaum Nuh juga telah mendustakan (rasul), maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan, ‘Dia orang gila’. Lalu (mereka) mengusirnya dengan ancaman.” (QS. Al-Qamar : 9)
Para ulama menyebutkan bahwa ayat tentang kisah-kisah para Nabi ini adalah untuk menghibur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Yaitu sebagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam didustakan oleh orang-orang kafir Quraisy, sesungguhnya saudara-saudara beliau dari kalangan para Nabi juga telah didustakan oleh umat-umat mereka([25]). Kisah-kisah ini juga sebagai ancaman bagi orang-orang kafir Quraisy karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan membacakan surah Al-Qamar kepada mereka yang berisi tentang kisah yang menunjukkan bahwa sebelum mereka mendustakan Nabi, telah berlalu umat-umat terdahulu yang juga mendustakan Nabi-Nabi mereka. Dan inilah perincian dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala sebelumnya yang mengatakan,
وَلَقَدْ جَاءَهُمْ مِنَ الْأَنْبَاءِ مَا فِيهِ مُزْدَجَرٌ
“Dan sungguh, telah datang kepada mereka beberapa kisah yang di dalamnya terdapat ancaman (terhadap kekafiran).” (QS. Al-Qamar : 4)
Contoh kisah pertama yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Nabi Nuh ‘alaihissalam telah berdakwah selama 950 tahun, dan itu bukanlah waktu yang pendek. Bahkan disebutkan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah siang dan malam, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا
“Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam’.” (QS. Nuh : 5)
Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah tanpa lelah selama 950 tahun, siang dan malam, akan tetapi hasilnya adalah beliau didustakan oleh kaumnya sendiri, bahkan anak dan istrinya pun ikut mendustakan beliau. Yang beriman kepadanya hanya sedikit, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan tidaklah orang-orang beriman yang bersama dengan Nuh kecuali hanya sedikit.” (QS. Hud : 40)
Dan para ulama menyebutkan bahwa yang ikut bersama Nabi Nuh ‘alaihissalam kurang lebih hanya delapan puluh orang([26]). Sungguh luar biasa ujian yang dialami oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam.
Disebutkan dalam beberapa riwayat dalam buku-buku tafsir disebutkan bahwa di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam ada orang yang umurnya pendek dan ada orang-orang yang umurnya panjang, dan Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah di antara orang-orang yang berumur panjang. Disebutkan bahwa orang-orang yang berumur pendek tersebut membawa anak mereka untuk menunjukkan dan memberi tahu kepada anaknya tersebut bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah orang gila. Kemudian datang generasi selanjutnya dari orang-orang berumur pendek tersebut, maka orang tuanya mewasiatkan kepada anak-anaknya, lalu anak-anaknya melanjutkan wasiat kepada generasi berikutnya. Hal ini berlangsung hingga keturunan tersebut sampai cicit mereka, semuanya tidak beriman dan mengatakan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah orang gila. Oleh karenanya Nabi Nuh ‘alaihissalam mengatakan,
رَبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا، إِنَّكَ إِنْ تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا
“Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas muka bumi. Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak kafir.” (QS. Nuh : 26-27) ([27])
Nabi Nuh ‘alaihissalam dituduh oleh kaumnya sebagai orang gila. Bahkan puncak ejekan Nabi Nuh ‘alaihissalam sebagai orang gila adalah ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam membuat kapal di musim kemarau. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأُوحِيَ إِلَى نُوحٍ أَنَّهُ لَنْ يُؤْمِنَ مِنْ قَوْمِكَ إِلَّا مَنْ قَدْ آمَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ، وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلَا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ، وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ
“Dan diwahyukan kepada Nuh, ‘Ketahuilah tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang benar-benar beriman (saja), karena itu janganlah engkau bersedih hati tentang apa yang mereka perbuat. Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicara dengan Aku tentang orang-orang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan’. Dan mulailah Nuh membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, ‘Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal’.” (QS. Hud : 36-39)
Sungguh sangat berat sekali ujian yang dihadapi oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam. Oleh karenanya penulis ingatkan bahwa kita beruntung hidup di zaman ini, karena sesungguhnya kita tidak yakin bahwa kita akan berada di barisan mana tatkala kita hidup di zaman Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, terlebih lagi jika kita hidup di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam, bisa jadi kita berada barisan orang-orang yang mencelanya. Segala puji bagi Allah yang menganugrahkan kita iman dan menjadikan kita sebagai umat Muhammad shallallahu álaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَدَعَا رَبَّهُ أَنِّي مَغْلُوبٌ فَانْتَصِرْ
“Maka dia (Nuh) mengadu kepada Tuhannya, ‘Sesungguhnya aku telah dikalahkan, maka tolonglah (aku)’.” (QS. Al-Qamar : 10)
Kata فَانْتَصِرْ dalam bahasa Arab sebenarnya berarti “Menangkanlah dirimu”. Sehingga seakan-akan Nabi Nuh ‘alaihissalam menyerahkan segala urusannya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena kaumnya telah mendustakannya, dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga didustakan olehnya, maka Nabi Nuh ‘alaihissalam berdoa kepada Allah agar Dia memenangkan diriNya([28]). Maka Allah Subhanahu wa ta’ala mengabulkan doa Nabi Nuh ‘alaihissalam, hingga akhirnya Nabi Nuh ‘alaihissalam diperintahkan untuk membuat kapal. Dan disebutkan bahwa orang yang pertama kali membuat kapal adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam([29]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ، وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ
“Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan.”(QS. Al-Qamar : 11-12)
Setelah Nabi Nuh selesai membuat kapalnya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menurunkan hujan yang sangat deras. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa hujan tersebut tanpa disertai dengan awan([30]), karena tatkala itu mereka sedang berada di musim kemarau.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala mengeluarkan air dari bumi. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak berkata وَفَجَّرْنَا عُيُوْنَ الأَرْضِ “Dan Kami menjadikan mata air-mata air bumi mengeluarkan air”, yang ini artinya mata-mata air yang ada di bumi yang tadinya kering jadi mengeluarkan air. Akan tetapi Allah mengatakan وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا (dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air), yaitu bumi dijadikan mata air yang mengeluarkan air, sehingga seluruh tempat yang sebelumnya bukan mata air menjadi mata air.([31]) Sampai dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ آمَنَ وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Hingga apabila perintah Kami datang dan tanur (dapur) telah memancarkan air.” (QS. Hud : 40)
Bisa kita bayangkan bagaimana air-air itu keluar dari bumi, sampai-sampai tanur yang merupakan tempat pembakaran -yang seharusnya mengeluarkan api- ternyata juga mengeluarkan air.
Ini seperti halnya firman Allah dalam ayat yang lain tentang perkataan Nabi Zakaria ‘alaihissalam.
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Dia (Zakaria) berkata, ‘Ya Tuhanku, sungguh tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku’.” (QS. Maryam : 4)
Dalam ayat ini Nabi Zakaria ‘alaihissalam mengatakan bahwa وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا yang secara bahasa artinya “Dan kepalaku sudah putih” menunjukkan bahwa uban telah merata, karena jika beliau mengatakan وَاشْتَعَلَ شَيْبُ الرَّأْسِ “Uban di kepalaku telah memutih” menunjukkan bahwa bisa saja uban tersebut belum merata dan masih ada sebagian rambut kepala yang masih hitam belum beruban. ([32])
Akhirnya air turun dari langit dengan sangat deras, dan dari bumi pun keluar dengan banyaknya. Sebagian ulama menafsirkan kalimat فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ (maka bertemulah air-air itu sehingga menimbulkan yang telah ditetapkan) dengan makna bahwa Allah telah menentukan berapa banyak kadar air yang dari langit dan berapa banyak kadar air dari bumi([33]). Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa makna عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ adalah peristiwa pertemuan air tersebut telah ditetapkan di dalam al-Lauhul Mahfudz. ([34])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَحَمَلْنَاهُ عَلَى ذَاتِ أَلْوَاحٍ وَدُسُرٍ
“Dan Kami angkut dia (Nuh) ke atas kapal yang terbuat dari papan dan paku.” (QS. Al-Qamar : 13)
Artinya Nabi Nuh ‘alaihissalam membuat perahu tersebut dengan sangat tradisional karena hanya berbahan dasar papan dan paku yang saling disusun sehingga menjadi kapal yang utuh. ([35])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
تَجْرِي بِأَعْيُنِنَا جَزَاءً لِمَنْ كَانَ كُفِرَ
“Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan) Kami sebagai balasan bagi orang yang telah diingkari (kaumnya).” (QS. Al-Qamar : 14)
Yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala mengawasi perahu tersebut sehingga tidak tenggelam([36]), padahal Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa gelombang air tatkala itu sangat besar. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَهِيَ تَجْرِي بِهِمْ فِي مَوْجٍ كَالْجِبَالِ
“Dan kapal itu berlayar membawa mereka ke dalam gelombang (yang) laksana gunung-gunung.” (QS. Hud : 42)
Sedangkan kita tahu bahwa kapal Nabi Nuh ‘alaihissalam sangatlah sederhana, dan secara logika kapal seperti itu akan tenggelam jika menghadapi gelombang yang besarnya seperti gunung. Oleh karenanya meskipun gelombang air saat itu sangat dahsyat dan hujan tidak berhenti, akan tetapi kapal Nabi Nuh ‘alaihissalam tetap berlayar dengan selamat karena berada dalam pengawasan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Terkadang kita merasa ada masalah yang kita rasa tidak bisa untuk kita hadapi, maka dalam kondisi seperti itu hendaknya kita meminta pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala, karena dengan pertolongan Allah seseorang akan bisa melalui berbagai permasalahan. Lihatlah bagaimana kisah Maryam, dia dikenal sebagai wanita salehah, tidak pernah berzina, tidak pernah berhubungan dengan laki-laki yang bukan mahramnya, akan tetapi tiba-tiba Allah Subhanahu wa ta’ala mengujinya dengan meniupkan ruh ke dalam rahimnya. Tentu masyarakat pasti akan menuduhnya telah berzina. Coba kita bayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang seperti Maryam. Bahkan karena saking takutnya beliau menghadapi ujian tersebut, sampai-sampai beliau mengatakan,
يَالَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا
“Wahai, betapa baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi seorang yang tidak diperhatikan dan dilupakan.” (QS. Maryam : 23)
Maryam menyangka bahwa dirinya tidak bisa melalui ujian tersebut, akan tetapi karena Allah Subhanahu wa ta’ala tahu bahwa dia mampu melewati ujian tersebut maka Allah Subhanahu wa ta’ala meniupkan ruh ke dalam rahimnya. Maka demikian pula dengan kapal Nabi Nuh ‘alaihissalam, meskipun tampak tidak mungkin untuk melewati ombak-ombak sebesar gunung, akan tetapi kapal tersebut akhirnya bisa melewatinya karena pertolongan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ تَرَكْنَاهَا آيَةً فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ، فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ
“Dan sungguh, kapal itu telah Kami jadikan sebagai tanda (pelajaran). Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran? Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku.” (QS. Al-Qamar : 15-16)
Ada sebagian ulama yang menafsirkan bahwa maksud dari kapal Nabi Nuh ‘alaihissalam Allah Subhanahu wa ta’ala jadikan sebagai pelajaran bagi orang-orang adalah kapal tersebut sempat dilihat oleh beberapa generasi setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Disebutkan oleh Qatadah bahwa setelah badai berhenti dan air laut mereda, maka kapal tersebut berada di atas gunung Judiy([37]), kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam dan orang-orang yang ikut bersama beliau turun, dan kapal tersebut masih terlihat sampai beberapa generasi, lalu kemudian kapal tersebut menjadi debu (hilang). ([38])
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa maksud kapal Nabi Nuh ‘alaihissalam menjadi pelajaran adalah setelah peristiwa itu, orang-orang kemudian mulai membuat kapal([39]). Artinya seharusnya setiap orang yang membuat kapal itu ingat tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Setiap orang yang membuat kapal harusnya ingat bahwa Nabi Nuh membuat kapal karena ada orang-orang yang kafir kepada Allah sehingga Allah turunkan azab kepada mereka. Akan tetapi sangat disayang ketika saat ini hampir semua orang yang membuat kapal tidak mengingat sama sekali kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, bahkan sebagian mereka menjadikan kapal tempat untuk pesta dan iklan maksiat. Sungguh kisah tentang Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak pernah terpikirkan di dalam otak-otak mereka, dan Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa kapal itu menjadi pelajaran bagi orang-orang yang mau mengambil pelajaran.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa azab dan peringatan-peringatan-Nya sangatlah dahsyat dan besar, akan tetapi orang-orang tidak mau mengambil peringatan-peringatan tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar : 17)
Para ulama menjelaskan seperti Al-Qurthubi bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memudahkan Alquran mudah untuk dipelajari dari dua sisi([40]):
Sisi pertama adalah mudah untuk dihafal. Kita dapati bukti hal ini bahwa banyak orang yang mudah menghafalkan Alquran, dan ini tidak berlaku pada kitab-kitab sebelumnya. Bahkan di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam tidak ada yang menghafalkan Taurat kecuali beberapa orang di antaranya adalah Nabi Musa ‘alaihissalam, Yuusya’ bin Nun, Nabi Harun ‘alaihissalam, dan Uzair. Ketika kita membaca sejarah tentang mengapa ‘Uzair disebut sebagai anak Allah, akan kita dapati bahwa hal tersebut disebabkan karena ‘Uzair bisa mendikte Taurat dari hafalannya, dan orang-orang yang melihatnya kemudian kagum. Ini menunjukkan bahwa orang-orang di zaman ‘Uzair tidak ada yang menghafal Taurat. Demikian pula di zaman sekarang tidak kita dapati orang-orang yang menghafalkan Injil. Sebaliknya, betapa banyak orang yang tidak bisa berbahasa Arab sama sekali namun mereka bisa menghafalkan Alquran. Yang lebih menakjubkan lagi kita dapati zaman sekarang orang yang terganggu otaknya ternyata bisa menghafalkan Alquran. Oleh karenanya inilah di antara keistimewaan Alquran, yaitu Alquran itu mudah untuk dihafalkan.
Sisi kedua adalah mudah untuk mengambil pelajaran dari Alquran. Kita ketahui bahwa Alquran memiliki beberapa metode dalam menyampaikan pelajaran. Ada dengan metode kisah, ada metode balaghah yang luar biasa, ada metode perumpamaan-perumpamaan, dan metode-metode lainnya. Artinya adalah Alquran bisa untuk semua kalangan, sehingga orang awam yang membaca Alquran juga bisa mendapatkan hidayah. Dan betapa banyak kita lihat orang-orang kafir yang membaca terjemahan Alquran, ternyata bisa mendapat hidayah dan masuk Islam. Kita membenarkan bahwa ada bagian-bagian dari Alquran yang hanya bisa dipahami oleh para ulama, akan tetapi lebih banyak bagian-bagian yang bisa semua orang memahaminya secara global. Oleh karenanya betapa banyak pula kita dapati orang yang membaca Alquran kemudian mereka menangis, tidak lain karena Alquran memang mudah untuk diambil pelajaran, dan ini kemudahan yang berikan dari Alquran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ، إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا صَرْصَرًا فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ، تَنْزِعُ النَّاسَ كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ مُنْقَعِرٍ، فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ، وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Kaum ‘Ad pun telah mendustakan. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku. Sesungguhnya Kami telah mengembuskan angin yang sangat kencang kepada mereka pada hari sial yang terus menerus, yang (angina tersebut) mencabuti mereka sehingga mereka bagaikan pohon-pohon kurma yang tumbang dengan akar-akarnya. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku. Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar : 18-22)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam, Allah kemudian menyebutkan kisah kaum ‘Ad yang Nabi diutus kepada mereka adalah Nabi Hud ‘alaihissalam. Dan kisah kaum ‘Ad ini tentunya juga menjadi hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa bukan hanya beliau yang didustakan oleh kaumnya, akan tetapi telah berlalu kaum-kaum yang juga mendustakan Nabi-Nabi mereka, di antaranya adalah kaum ‘Ad.
Nabi Hud ‘alaihissalam telah berulang-ulang kali menyampaikan peringatan demi peringatan kepada kaumnya, akan tetapi ternyata mereka tidak peduli. Akhirnya, disebabkan pendustaan kaum ‘Ad terhadap Nabi Allah Hud ‘alaihissalam, maka Allah memberikan mereka azab berupa angin yang kencang. Allah Subhanahu wa ta’ala menyifati angin tersebut dengan kata صَرْصَرًا, yang para ulama menafsirkannya dengan dua penafsiran yaitu, angin tersebut sangat dingin dan memiliki suara yang keras sehingga memekakkan telinga mereka. ([41])
Terdapat beberapa hal yang perlu untuk kita bahas berkaitan dengan ayat ini,
Pertama, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa kaum ‘Ad diterpa angin tersebut pada hari yang sial. Maka timbul pertanyaan, apakah dalam Islam ada hari sial? Para ulama menjelaskan bahwa tidak hari sial dalam Islam. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang hari sial maksudnya adalah kaum ‘Ad ditimpa angin yang kencang di hari sial untuk menunjukkan kepada kaum ‘Ad bahwa itu adalah hari dimana mereka diazab. Tentunya bagi orang-orang yang beriman hari itu bukanlah hari sial, karena Nabi Hud ‘alaihissalam dan pengikutnya tidak sial, bahkan mereka selamat dari azab tersebut. Oleh karenanya sial yang dimaksud bukan menunjukkan hari, akan tetapi menunjukkan bahwa kaum ‘Ad yang sial. Sesungguhnya tidak ada hari yang sial kecuali akan dianggap baik oleh sebagian orang lainnya([42]), maka kesialan pada dasarnya bukan kembali kepada hari, akan tetapi kembali kepada pelakunya. Oleh karenanya tidak ada hari sial dalam Islam, bahkan ketika sebagian orang menganggap bulan Shafar adalah bulan sial, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَلاَ صَفَرَ
“Tidak ada (kesialan) dalam bulan Shafar.” ([43])
Dalam hal ini Thahir Ibnu ‘Asyur juga pernah berkata,
وَاشْتَهَرَ بَيْنَ كَثِيرٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ التَّشَاؤُمُ بِيَوْمِ الْأَرْبِعَاءِ، وَأَصْلُ ذَلِكَ انْجَرَّ لَهُمْ مِنْ عَقَائِدِ مَجُوسِ الْفُرْسِ
“Dan tersebar di antara banyak kaum muslimin yang menganggap hari rabu adalah hari sial. Padahal asal dari akidah ini mereka adopsi dari akidah orang-orang Majusi Persia.”([44])
Maka dari itu, tidak ada yang namanya hari sial. Menganggap hari rabu merupakan hari sial adalah tidak benar, sehingga shalat Rebo Wekasan asalnya tidak ada karena shalat tersebut dibangun di atas keyakinan menganggap bahwa hari rabu adalah hari sial. Sebagian ulama memang mengatakan bahwa kaum ‘Ad disiksa di hari rabu, namun tetap saja tidak bisa katakan bahwa hari rabu adalah hari sial karena hari itu pula Nabi Hud ‘alaihissalam dan pengikutnya tidak sial, bahkan justru mereka beruntung karena pengganggu mereka telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kedua, sifat angin yang menimpa kaum ‘Ad. Sebagaimana telah kita bahas sedikit bahwa sifat angin tersebut صَرْصَرًا yang artinya angin tersebut sangat dingin yang menyakitkan mereka hingga ke dalam tulang-tulang, dan memiliki suara yang keras sehingga memekakkan telinga mereka, dan membuat mereka seperti pohon kurma yang tumbang. Disebutkan bahwa kaum ‘Ad memiliki bentuk badan yang tinggi dan kuat, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاذْكُرُوا إِذْ جَعَلَكُمْ خُلَفَاءَ مِنْ بَعْدِ قَوْمِ نُوحٍ وَزَادَكُمْ فِي الْخَلْقِ بَسْطَةً
“Ingatlah ketika Dia menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan.” (QS. Al-A’raf : 69)
Akan tetapi karena saking kuatnya kaum ‘Ad, mereka menjadi sombong. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَمَّا عَادٌ فَاسْتَكْبَرُوا فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَقَالُوا مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّةً أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“Maka adapun kaum ‘Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’ Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah yang menciptakan mereka. Dia lebih hebat kekuatan-Nya dari mereka? Dan mereka telah mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (QS. Fushshilat : 15)
Kaum ‘Ad sombong dengan kekuatan mereka, akan tetapi cara Allah Subhanahu wa ta’ala membinasakan mereka adalah hanya dengan udara. Disebutkan bahwa ketika angin tersebut datang, mereka kaum ‘Ad mulai berlarian mencari tempat sembunyi. Akan tetapi angin tersebut menjadi seperti tangan yang mencabut mereka dari tempat persembunyian mereka, lalu kemudian mengambil mereka sehingga tidak ada yang bisa selamat dari angin tersebut. Allah berfirman تَنْزِعُ النَّاسَ “mencabuti manusia”, maknanya yaitu تَقْلَعُهُمْ مِنْ مَوَاضِعِهِمْ “mencabuti mereka dari tempat-tempat mereka” ([45]). Yaitu meskipun mereka bersembunyi di goa, di sumur, di dalam rumah mereka, tetap saja angina tersebut masuk dan mencabuti mereka dari persembunyian mereka. Pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa badan mereka yang besar-besar tersebut diterbangkan dan diputar di udara selama tujuh malam delapan hari. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَخَّرَهَا عَلَيْهِمْ سَبْعَ لَيَالٍ وَثَمَانِيَةَ أَيَّامٍ حُسُومًا فَتَرَى الْقَوْمَ فِيهَا صَرْعَى كَأَنَّهُمْ أَعْجَازُ نَخْلٍ خَاوِيَةٍ
“Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam delapan hari terus-menerus, maka kamu melihat kaum ‘Ad pada waktu itu mati bergelimpangan seperti batang-batang pohon kurma yang telah kosong (lapuk).” (QS. Al-Haqqah : 7)
Para ulama menafsirkan bahwa maksud perumpamaan mereka dengan batang pohon kurma yang telah lapuk adalah isi perut mereka keluar dari tubuh-tubuh mereka([46]). Oleh karenanya kita dapati ada dua penafsiran kata مُنْقَعِرٍ. Pendapat pertama, مُنْقَعِرٍ berasal dari kata قَعَر yang artinya dalam, yaitu mereka mereka jatuh sampai tubuh mereka tembus ke dalam tanah. Pendapat kedua مُنْقَعِرٍ maksudnya adalah batang kurma yang telah dihilangkan bagian dalamnya, yaitu karena saking kencangnya angin tersebut sampai-sampai membuat isi-isi perut mereka keluar dari tubuh mereka sementara jasad luar mereka masih utuh, sehingga tatkala jatuh ke tanah mereka seperti batang kurma yang kosong. ([47])
Ketiga, azab kaum ‘Ad yang terus-menerus. Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud dari ungkapan azab yang terus-menerus adalah karena mereka diazab selama delapan hari tanpa berhenti.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa maksud dari azab yang terus-menerus adalah sejak angin tersebut datang, maka azab bagi mereka akan terus berkelanjutan hingga hari kiamat([48]), yaitu setelah mereka di siksa dengan angin tersebut, maka di alam barzakh mereka juga disiksa tanpa henti hingga hari kiamat. Sehingga seakan-akan angin yang datang kepada mereka di dunia dahulu hanyalah pembuka dari siksaan-siksaan bagi kaum ‘Ad, sehingga tentu siksa mereka jauh lebih berat saat ini di alam barzakh, dan terlebih lagi pada hari kiamat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ ثَمُودُ بِالنُّذُرِ
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan peringatan itu.” (QS. Al-Qamar : 23)
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kata النُّذُرُ bisa bermakna pembawa peringatan atau peringatan-peringatan secara umum. Namun dalam ayat ini, yang dimaksud النُّذُرُ adalah (jamak dari النَّذِيْرُ) yaitu para pembawa peringatan yaitu para Nabi, sehingga makna ayat ini adalah kaum Tsamud telah mendustakan Nabi mereka yaitu Nabi Shalih ‘alaihissalam.
Penggunaan kata النُّذُرُ menunjukkan bahwa kaum Tsamud telah mendustakan Rasul-Rasul Allah. Hal ini dikarenakan setiap kaum yang mendustakan satu Rasul maka sama saja mereka telah mendustakan seluruh para Rasul([49]). Oleh karena itu, sama halnya bagi orang-orang Nasrani, ketika mereka mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka itu berarti mereka telah mendustakan Nabi Isa, Nabi Musa, dan Nabi yang lainnya, karena setiap Nabi mengabarkan tentang Nabi terakhir. Adapun orang Islam tidak membedakan antara satu Nabi dengan Nabi yang lain, dan beriman kepada seluruh para Nabi dan Rasul. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ
“(Mereka berkata), ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya’.” (QS. Al-Baqarah : 285)
Kaum Tsamud adalah kaum yang muncul setelah kaum ‘Ad, bahkan kaum Tsamud masih merupakan keturunan dari kaum ‘Ad. Letak tempat kaum Tsamud adalah di Madain Shaleh, di sebuah kota sekarang yang bernama al-Úlaa (yang merupakan salah satu kabupaten yang ada di propinsi Madinah), posisinya kurang lebih 300 km sebelah utara kota al-Madinah al-Munawwarah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَقَالُوا أَبَشَرًا مِنَّا وَاحِدًا نَتَّبِعُهُ إِنَّا إِذًا لَفِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ
“Mereka berkata, ‘Bagaimana kita akan mengikuti seorang manusia (biasa) di antara kita? Sungguh, kalau begitu kita benar-benar telah sesat dan gila’.” (QS. Al-Qamar : 24)
Kaum Tsamud mencari dalih agar mereka tidak mengikuti Nabi Shalih ‘alaihissalam, yaitu mereka tidak mau mengikuti satu orang yang mengajak mereka. Maka kita katakan bahwa masalahnya bukan pada jumlah orang, akan tetapi masalahnya adalah apakah mereka berada di atas kebenaran atau tidak? Dan kita tahu bahwa kebenaran tidaklah diukur dengan jumlah pengikut, karena bisa jadi kebenaran dibawa oleh satu atau dua orang. Oleh karenanya dalam suatu hadits disebutkan,
وَالنَّبِيُّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ
“Dan (terlihat) seorang Nabi yang tidak memiliki pengikut satu orang pun.”([50])
Lihatlah bagaimana seorang Nabi yang tidak memiliki pengikut, namun dia di atas kebenaran. Namun demikianlah kaum Tsamud yang mencari dalih untuk tidak beriman kepada Nabi Shalih ‘alaihissalam karena mengatakan bahwa mereka tidak mau percaya kepada satu orang saja. Bahkan mereka membuat propaganda bahwa mengikuti Nabi Shalih ‘alaihissalam adalah tanda kegilaan dan kebodohan, padahal Nabi Shalih ‘alaihissalam membawa kebenaran untuk menyuruh mereka kepada tauhid dengan dalil yang sangat logis.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَأُلْقِيَ الذِّكْرُ عَلَيْهِ مِنْ بَيْنِنَا بَلْ هُوَ كَذَّابٌ أَشِرٌ، سَيَعْلَمُونَ غَدًا مَنِ الْكَذَّابُ الْأَشِرُ
“(Mereka kaum Tsamuud berkata) ‘Apakah wahyu itu diturunkan kepadanya di antara kita? Sungguh dia (Shalih) seorang yang sangat pendusta (dan) sombong’. Kelak mereka akan mengetahui siapa yang sebenarnya sangat pendusta (dan) sombong itu.” (QS. Al-Qamar : 25-26)
Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini merupakan dalil bahwa kaum Tsamud hasad kepada Nabi Shalih ‘alaihissalam karena wahyu bukan diturunkan kepada mereka, namun kepada Nabi Shalih ‘alaihissalam. Dan kita tahu bahwa hasad adalah di antara hal yang banyak menimbulkan masalah, hasad banyak menyebabkan tertolaknya kebenaran, contohnya adalah Iblis yang hasad kepada Nabi Adam ‘alaihissalam sehingga mereka tidak mau sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam, orang-orang Yahudi yang hasad kepada orang-orang Arab sehingga mereka tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan kaum Tsamud yang hasad kepada Nabi Shalih ‘alaihissalam sehingga mereka tidak mau beriman. Dan disebutkan bahwa mereka membuat tuduhan bahwa Nabi Shalih ‘alaihissalam itu ingin jadi pemimpin namun beliau miskin, maka untuk bisa menjadi pemimpin di tengah mereka Nabi Shalih mengaku-ngaku sebagai Nabi. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa kelak mereka akan ketahui siapa yang pendusta lagi sombong di antara mereka (Nabi Shalih dan kaumnya), akan tetapi telah jelas bagi kita bahwa merekalah (kaum Tsamud) yang pendusta lagi sombong.
Sesungguhnya Al-Haq itu datang dengan dalil-dalil yang jelas, akan tetapi banyak orang menolaknya karena hasad. Di antara hal yang menyebabkannya adalah mereka khawatir jika kehilangan orang-orang yang mengikutinya sebelumnya, atau takut tidak dihormati lagi oleh kaumnya, dan sebab-sebab lain yang dibisikkan oleh Iblis sehingga akhirnya mereka menolak kebenaran tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang berdakwah di atas jalan sunnah memiliki dalil yang jelas, yaitu dengan Alquran, sunnah, dan perkataan para ulama. Akan tetapi meskipun demikian masih banyak orang lain yang menolak karena takut hal-hal yang mereka anggap halal akan jadi haram, sehingga akhirnya mereka tetap memilih dengan keyakinan mereka sebelumnya yang santai dengan perkara apa saja yang mereka inginkan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا مُرْسِلُو النَّاقَةِ فِتْنَةً لَهُمْ فَارْتَقِبْهُمْ وَاصْطَبِرْ
“Sesungguhnya Kami akan mengirimkan unta betina sebagai cobaan bagi mereka, maka tunggulah mereka dan bersabarlah (Shalih).” (QS. Al-Qamar : 27)
Unta yang dimaksud dalam ayat ini adalah unta yang sangat spesial, sampai-sampai dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutnya sebagai نَاقَةُ اللهِ “Unta Allah”. Segala yang disandarkan kepada Allah maka pasti menjadi istimewa, di antaranya adalah Baitullah (rumah Allah), Rasulullah (utusan Allah), dan seperti dalam ayat ini yaitu Unta Allah.
Disebutkan dalam buku-buku tafsir, kaum Nabi Shalih ‘alaihissalam menantang beliau untuk menunjukkan mukjizat kepada mereka dan mereka akan beriman. Pada dasarnya mereka meminta mukjizat bukan untuk beriman, akan tetapi mereka meminta sesuatu yang tidak masuk akal agar Nabi Shalih tidak mampu menghadirkannya. Sehingga mereka meminta agar Nabi Shalih mengeluarkan seekor unta betina yang dalam kondisi mengandung, dengan warna tertentu, yang unta tersebut dari sebuah batu yang mereka tentukan. Intinya mereka meminta sesuatu yang mustahil kepada Nabi Shalih ‘alaihissalam agar mereka tetap bisa kafir kepada Nabi Shalih. Maka kemudian Nabi Shalih ‘alaihissalam shalat dan berdoa meminta unta yang seperti mereka inginkan, maka tiba-tiba unta tersebut keluar dari batu sebagaimana permintaan mereka. Akan tetapi ternyata mukjizat tersebut tidak membuat mereka beriman, bahkan mereka mengatakan bahwa itu adalah sihir. ([51])
Maka setelah unta itu diperlihatkan kepada mereka, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk Nabi Shalih ‘alaihissalam bersabar dan menunggu, karena Allah mengetahui bahwa mereka akan berbuat sesuatu terhadap unta tersebut. Dan pada ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَاقَوْمِ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ آيَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ قَرِيبٌ
“Dan wahai kaumku, inilah unta betina dari Allah sebagai mukjizat untukmu, sebab itu biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apa pun yang akan menyebabkan kamu segera ditimpa (azab).” (QS. Hud : 64)
Yaitu unta tersebut jangan sampai diganggu dengan gangguan sedikit pun oleh mereka, jika itu terjadi maka akan ada azab Allah terhadap mereka. Jangankan dibunuh unta tersebut, bahkan dihalang-halangi saja dilarang. Inilah yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan Nabi Shalih ‘alaihissalam untuk menunggu dan bersabar.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَنَبِّئْهُمْ أَنَّ الْمَاءَ قِسْمَةٌ بَيْنَهُمْ كُلُّ شِرْبٍ مُحْتَضَرٌ
“Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa air itu dibagi di antara mereka (dengan unta betina itu), setiap orang berhak mendapat giliran minum.” (QS. Al-Qamar : 28)
Disebutkan bahwa ada air di sumur yang dimana air tersebut dibagi antara unta Allah dan kaum Nabi Shalih ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,
قَالَ هَذِهِ نَاقَةٌ لَهَا شِرْبٌ وَلَكُمْ شِرْبُ يَوْمٍ مَعْلُومٍ
“Dia (Saleh) menjawab, “Ini seekor unta betina, yang berhak mendapatkan (giliran) minum, dan kamu juga berhak mendapatkan minum pada hari yang ditentukan.” (QS. Asy-Syu’ara : 155)
Para ulama menggambarkan bahwa kalau satu hari dipakai oleh kaum Tsamud untuk mengambil air dari sumur tersebut, maka unta tersebut akan puasa. Akan tetapi keesokan harinya mereka akan bergantian, yaitu unta yang minum dari sumur dan tidak boleh ada yang mengganggunya, akan tetapi kaum Tsamud mendapat ganti air pada hari itu dengan air susu dari unta tersebut, dan air susu unta itu cukup untuk seluruh kaum Tsamud([52]). Inilah ketetapan yang Allah Subhanahu wa ta’ala tetapkan. Akan tetapi meskipun demikian, kaum Tsamud merasa tidak senang dengan ketetapan tersebut karena merasa unta tersebut tidak memiliki hak untuk melarang-larang mereka untuk mengambil air dari sumur tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَنَادَوْا صَاحِبَهُمْ فَتَعَاطَى فَعَقَرَ
“Maka mereka memanggil kawannya, lalu dia menangkap (unta itu) dan memotongnya.” (QS. Al-Qamar : 29)
Disebabkan kejengkelan kaum Tsamud terhadap unta tersebut, maka mereka kemudian berunding dan menghasilkan keputusan untuk membunuh unta tersebut. Maka akhirnya satu orang kemudian berdiri dan pergi membunuh unta tersebut. Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذِ انْبَعَثَ أَشْقَاهَا، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ نَاقَةَ اللَّهِ وَسُقْيَاهَا، فَكَذَّبُوهُ فَعَقَرُوهَا فَدَمْدَمَ عَلَيْهِمْ رَبُّهُمْ بِذَنْبِهِمْ فَسَوَّاهَا
“Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka, ‘(Biarkanlah) unta betina dari Allah ini dengan minumannya’. Namun mereka mendustakannya dan menyembelihnya, karena itu Tuhan membinasakan mereka karena dosanya, lalu diratakan-Nya (dengan tanah).” (QS. Asy-Syams : 12-14)
Disebutkan bahwa orang yang membunuh unta tersebut adalah Qudar bin Salif([53]). Padahal Nabi Shalih ‘alaihissalam telah memperingatkan mereka untuk tidak mengganggu unta tersebut, jangankan untuk dibunuh, dihalang-halangi pun Nabi Shalih melarang mereka. Akan tetapi mereka melanggar hal tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِي وَنُذُرِ، إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ صَيْحَةً وَاحِدَةً فَكَانُوا كَهَشِيمِ الْمُحْتَظِرِ، وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
“Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku. Kami kirimkan atas mereka satu suara yang keras mengguntur, maka jadilah mereka seperti batang-batang kering yang lapuk. Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar : 30-32)
Kata الْمُحْتَظِرِ artinya seseorang pemilik kandang yang terbuat dari kayu dan rumput-rumput kering yang dibawa oleh unta-unta. Tatkala rumput-rumput tersebut dibawa oleh unta, terkadang ada rumput-rumput yang berjatuhan, itulah yang disebut dengan هَشِيم ([54]), yaitu sesuatu yang kering, mudah ditiup angin dan mudah hancur. Dan kata Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini, mereka ditimpakan dengan suara yang sangat keras sampai akhirnya mereka seperti daun kering yang mudah ditiup oleh angin.
Sungguh kita kita tidak bisa membayangkan bagaimana dahsyatnya suara tersebut sampai bisa membuat mereka dengan kondisi seperti itu. Terkadang kita saat ini mendengar suara yang besar sudah bisa membuat kita ketakutan, maka bagaimana lagi dengan suara yang ditimpakan kepada kaum Tsamud? Yang suara tersebut membuat mereka meninggal, bahkan sampai menjadikan mereka seperti rumput kering yang mudah tertiup angin.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوْطٍ ۢبِالنُّذُرِ
“Kaum Luth pun telah mendustakan peringatan itu.” (QS. Al-Qomar: 33)
Pada ayat sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala membinasakan kaum ‘Ad yaitu kaumnya Nabi Hud dan kaum Tsamud yaitu kaumnya Nabi Shalih ‘alaihimassalaam selanjutnya dari ayat 33 sampai 40 Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang kisah kaum Nabi Luth ‘alaihis salaam.
Kaum Nabi Luth adalah kaum yang melakukan praktik homoseksual pertama kali di alam semesta ini, oleh karenanya Nabi Luth mengatakan,
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian?” Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas.” QS. Al-A’raf: 80-81
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menamakan homoseksual dengan الْفَاحِشَةَ “perbuatan keji” yang tidak ada seorang pun yang mendahului mereka dalam perbuatan ini, dan ini menunjukkan bahwasanya yang pertama kali melakukan perbuatan homoseksual adalah kaum Nabi Luth. Dan kampung Nabi Luth termasuk dari kampung-kampung yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dengan الْمُؤْتَفِكَات yaitu kampung-kampung yang Allah subhanahu wa ta’ala balikkan, di antaranya kampung Nabi Luth([55]) yang bernama kampung Sodom sehingga perbuatan homoseksual disebut dengan sodom([56]). Dan saking kejinya perbuatan mereka sampai Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan kaum Nabi Luth dengan beberapa sifat yaitu ada 6 sifat yang menunjukkan keburukan mereka:
- Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan مُسْرِفُونَ yaitu orang yang melampaui batas dalam berbuat maksiat, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas (dalam bermaksiat)” QS. Al-A’raf: 81
- Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan الْمُجْرِمِينَ yaitu orang-orang yang kufur dan berdosa, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا ۖ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” QS. Al-A’raf: 84
- Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan قَوْمَ سَوْءٍ yaitu kaum yang buruk, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلُوطًا آتَيْنَاهُ حُكْمًا وَعِلْمًا وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْقَرْيَةِ الَّتِي كَانَتْ تَعْمَلُ الْخَبَائِثَ ۗ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمَ سَوْءٍ فَاسِقِينَ
“dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buruk lagi fasik.” QS. Al-Anbiya’: 74
- Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan فَاسِقِينَ yaitu kaum yang fasik, berdasarkan ayat pada surah Al-Anbiya’ di atas.
- Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan kaum yang bodoh, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَئِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
“Mengapa kalian mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (kalian), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kalian adalah kaum yang jahil.” QS. An-Naml: 55
- Allah subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan yaitu orang-orang yang berbuat kerusakan, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ
“Luth berdoa: “Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu”.” QS. Al-Ankabut: 30
Dan ini adalah sifat-sifat yang buruk yang secara keseluruhan Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada kaum Nabi Luth yang tidak Allah subhanahu wa ta’ala kumpulkan sifat-sifat tersebut pada kaum-kaum yang lain. Hal ini karena maksiat yang mereka perbuat ini adalah maksiat yang baru yang tidak pernah terjadi di alam semesta sebelumnya, sebuah maksiat yang keluar dari fitrah manusia, sebuah maksiat yang merupakan salah satu bentuk kelainan. Dan mereka telah mendustakan ancaman-ancaman yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِنَّآ اَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِبًا اِلَّآ اٰلَ لُوْطٍ ۗنَجَّيْنٰهُمْ بِسَحَرٍ نِّعْمَةً مِّنْ عِنْدِنَاۗ كَذٰلِكَ نَجْزِيْ مَنْ شَكَرَ
“Sesungguhnya Kami kirimkan kepada mereka badai yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Kami selamatkan mereka sebelum fajar menyingsing sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur” (QS. Al-Qomar: 34-35)
حَاصِبًا adalah angin kencang yang disertai dengan batu([57]), dalam ayat yang lain disebutkan tentang sifat batu tersebut,
فَجَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ
“Maka Kami jadikan bagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras.” QS. Al-Hijr: 74
Di sini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa batu tersebut مِنْ سِجِّيلٍ yaitu batu yang keras dan panas yang dilemparkan kepada mereka.
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan keluarga Nabi Luth dari azab tersebut, dan kita tahu bahwasanya keluarga Nabi Luth terdiri dari Nabi Luth, istrinya dan kedua putrinya, dan kita ketahui juga bahwa istri Nabi Luth tidak selamat dari azab tersebut, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam firman-Nya,
فَأَنْجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلَّا امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
“Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).” QS. Al-A’raf: 83
Namun pada surat al-Qomar (ayat 34) ini Allah tidak menyebtukan “kecuali istrinya Luth yang tidak selamat”. Seakan-akan istrinya Nabi Luth yang kafir bukanlah termasuk keluarga Luth sehingga tidak perlu dikecualikan. Hal ini karena jika ada seseorang yang kafir maka secara syariat tidak dianggap sebagai keluarga([58]), oleh karenanya ketika Nabi Nuh ‘alaihis salaam berbicara kepada Allah tentang putranya yang tenggelam,
وَنَادَىٰ نُوحٌ رَبَّهُ فَقَالَ رَبِّ إِنَّ ابْنِي مِنْ أَهْلِي وَإِنَّ وَعْدَكَ الْحَقُّ وَأَنْتَ أَحْكَمُ الْحَاكِمِينَ
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya”.” QS. Hud: 45
Maka pada ayat berikutnya Allah subhanahu wa ta’ala menegurnya,
قَالَ يَا نُوحُ إِنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِكَ ۖ إِنَّهُ عَمَلٌ غَيْرُ صَالِحٍ ۖ فَلَا تَسْأَلْنِ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۖ إِنِّي أَعِظُكَ أَنْ تَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ
“Allah berfirman: “Hai Nuh, sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan), sesungguhnya (perbuatan)nya perbuatan yang tidak baik. Sebab itu janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikat)nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan”.” QS. Hud: 46
Di sini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa karena anaknya kafir maka tidak dianggap keluarga Nabi Nuh, maka tatkala Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan bahwa yang selamat hanya keluarga Nabi Luth maksudnya adalah Nabi Luth dan kedua putrinya([59]), adapun istrinya maka tidak termasuk karena istrinya tidak dianggap sebagai keluarga dalam syariat, oleh karenanya jika ada salah seorang anggota keluarga kafir maka tidak saling mewarisi dan tidak bisa jadi wali karena sudah tidak dianggap sebagai keluarga secara syariat.
Dalam ayat ini juga Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala menyelamatkan mereka di waktu sahur, jadi siksaan yang turun kepada mereka berupa hujan batu terjadi di waktu pagi, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam surah yang lain,
قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ ۖ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ ۖ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ ۚ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۚ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ
“Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?“.” QS. Hud: 81
Ketika Nabi Luth dan kedua putrinya selamat kemudian di pagi hari tiba-tiba siksaan datang, jadi antara selamatnya Nabi Luth dan keluarganya dengan datangnya siksaan tersebut jeda waktunya tidak lama, karena Nabi Luth keluar di waktu sahur (menjelang subuh) dan siksaan datang pada waktu setelahnya yaitu di pagi hari. ([60])
Kisah tentang bagaimana diazabnya kaum Nabi Luth sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat-ayat yang lain, yaitu datang beberapa para malaikat yang menjelma menjadi manusia, sebelum mereka mendatangi kaum Nabi Luth mereka datang terlebih dahulu kepada Nabi Ibrahim, dan Nabi Luth adalah keponakannya Nabi Ibrahim, kemudian Nabi Ibrahim menghidangkan sapi yang dipanggang ternyata mereka tidak memakannya dan mereka berkata bahwasanya mereka diutus kepada kaum Nabi Luth. Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
وَلَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُنَا إِبْرَاهِيمَ بِالْبُشْرَىٰ قَالُوا سَلَامًا ۖ قَالَ سَلَامٌ ۖ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ بِعِجْلٍ حَنِيذٍ فَلَمَّا رَأَىٰ أَيْدِيَهُمْ لَا تَصِلُ إِلَيْهِ نَكِرَهُمْ وَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً ۚ قَالُوا لَا تَخَفْ إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَىٰ قَوْمِ لُوطٍ
“Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat”. Ibrahim menjawab: “Selamatlah,” maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: “Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth”.” QS. Hud: 69-70
Kemudian para malaikat tersebut datang kepada Nabi Luth, dan Nabi Luth juga tidak tahu bahwasanya mereka adalah malaikat, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
فَلَمَّا جَاءَ آلَ لُوطٍ الْمُرْسَلُونَ قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ مُنْكَرُون
“Maka tatkala para utusan itu datang kepada kaum Luth, beserta pengikut pengikutnya,ia berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal”.” QS. 61-62
Dan Nabi Luth khawatir terhadap mereka, karena malaikat tersebut menjelma sebagai manusia yang tampan sementara kaumnya adalah pelaku homoseksual, seakan-akan ada makanan lezat yang terhidangkan sementara orang-orang satu kampung dalam keadaan kelaparan. Dan Nabi Luth masih belum sadar bahwa tamu-tamunya tersebut adalah malaikat, akhirnya dia segera memasukkan tamu-tamunya tersebut ke dalam rumahnya, karena yang namanya tamu harus diselamatkan. Ternyata istri Nabi Luth berkhianat sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam Al-Quran,
ضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا لِّلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَاَتَ نُوْحٍ وَّامْرَاَتَ لُوْطٍۗ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتٰهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللّٰهِ شَيْـًٔا وَّقِيْلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ
“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Lut. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah; dan dikatakan (kepada kedua istri itu), “Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”.” QS. At-Tahrim: 10
Disebutkan di sini bahwa istri nabi Nuh dan istri nabi Luth berkhianat kepada suami mereka, di antara penafsiran para ulama bahwa khianatnya istri Nabi Luth yaitu dia melaporkan kepada kaumnya bahwa ada tamu-tamu yang tampan di rumah Nabi Luth, padahal Nabi Luth sudah menyembunyikan tamu-tamunya namun istrinya melaporkan hal tersebut kepada penduduk negeri Sodom bahwa ada tamu yang tampan yang ada di rumah Nabi Luth([61]). Akhirnya mereka datang menuju rumah Nabi Luth karena mengetahui ada laki-laki tampan di dalamnya, bahkan disebutkan bahwa mereka datang dengan bergegas disebabkan nafsu yang luar biasa,
وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ ۚ قَالَ يَا قَوْمِ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي ۖ أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ
“Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: “Hai kaumku, inilah putri-putriku, mereka lebih suci bagi kalian, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yang berakal?” QS. Hud: 78
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang mereka dalam ayat yang lain,
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Demi umurmu, sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”. QS. Al-Hijr: 72
Ini disebabkan karena syahwat mereka yang menggelora ingin menggauli tamu-tamu lelaki yang tampan tersebut yang ternyata adalah para malaikat. Mereka pun memaksa Nabi Luth hingga Nabi Luth berkata: تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي “janganlah kalian mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini”, dan Nabi Luth juga menawarkan putri-putrinya untuk dinikahi daripada mendatangi tamu-tamu lelaki tersebut, ia berkata: هؤُلاءِ بَناتِي إِنْ كُنْتُمْ فاعِلِينَ “Inilah putri-putriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)”, namun mereka menolak dan tetap menginginkan tamu-tamu lelaki tersebut. Nabi Luth masih terus diselimuti rasa cemas karena dia tidak mengetahui bahwa para tamunya tersebut adalah para malaikat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ اَنْذَرَهُمْ بَطْشَتَنَا فَتَمَارَوْا بِالنُّذُرِ
“Dan sungguh, dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan hukuman Kami, tetapi mereka meragukan peringatan-Ku.” (QS. Al-Qomar: 36)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwasanya Nabi Luth telah mengingatkan mereka tentang siksaan Allah subhanahu wa ta’ala jika mereka melanggar, namun mereka ragu dengan peringatan tersebut, تَمَارَوْا artinya mereka ragu, mereka meragukan apakah mereka akan diazab karena berbuat homoseksual([62]). Dan dalam ayat ini terdapat uslub tadhmin, karena ini adalah bahasa Arab maka maksud dari ayat ini adalah فَتَمَارَوْا فَكَذَّبُوْا بِالنُّذُرِ “mereka meragukan dan akhirnya mereka mendustakan peringatan-Ku”([63]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ رَاوَدُوْهُ عَنْ ضَيْفِه فَطَمَسْنَآ اَعْيُنَهُمْ فَذُوْقُوْا عَذَابِيْ وَنُذُرِ
“Dan sungguh, mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan peringatan-Ku!” (QS. Al-Qomar: 37)
الْمُرَاوَدَةُ Yaitu merayu orang yang tidak mau, jadi mereka merayu Nabi Luth untuk menyerahkan tamu-tamunya namun Nabi Luth menolaknya, dan ketika mereka gagal mereka terus mendatanginya dan terus merayunya agar Nabi Luth menyerahkan tamu-tamunya kepada mereka namun Nabi Luth tetap menolaknya([64]). Akhirnya para malaikat pun mengaku kepada Nabi Luth bahwa sesungguhnya mereka adalah para malaikat,
قَالُوا يَا لُوطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ ۖ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلَّا امْرَأَتَكَ ۖ إِنَّهُ مُصِيبُهَا مَا أَصَابَهُمْ ۚ إِنَّ مَوْعِدَهُمُ الصُّبْحُ ۚ أَلَيْسَ الصُّبْحُ بِقَرِيبٍ
“Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal, kecuali istrimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”.” QS. Hud: 81
Dalam ayat lain
فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَاتَّبِعْ أَدْبَارَهُمْ وَلَا يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ وَامْضُوا حَيْثُ تُؤْمَرُونَ
“Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutlah mereka dari belakang dan janganlah seorang pun di antara kalian menoleh ke belakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepada kalian“.” QS. Al-Hijr: 65
Karena mereka terus merayu-rayu Nabi Luth, فَطَمَسْنَآ اَعْيُنَهُمْ “maka Kami tutup/butakan mata mereka”, dan terdapat 3 pendapat dalam masalah penafsiran ditutupnya kedua mata mereka:
Pertama: penafsiran bahwa mata mereka tiba-tiba menjadi buta, karena ingin melihat lelaki tampan akhirnya tidak bisa melihatnya karena mata mereka buta.
Kedua: bahwasanya mereka sudah masuk ke dalam rumah Nabi Luth namun Allah subhanahu wa ta’ala menutup mata-mata mereka sehingga mereka tidak bisa melihat para malaikat yang tampan.
Ketiga: maksud dari mata mereka ditutup adalah mata mereka berubah seperti menjadi kulit wajah sehingga tidak ada mata sama sekali, hal ini dikarenakan mereka membangkang. ([65])
Akhirnya di waktu sahur menjelang subuh Nabi Luth keluar bersama istri dan kedua putrinya, namun ternyata istrinya khawatir terhadap kaumnya lalu dia pun menoleh ke belakang dan akhirnya dia pun terkena azab, padahal sebelumnya telah dilarang agar tidak menoleh ke belakang, namun karena dia bersekutu dengan kaum Nabi Luth akhirnya dia pun menoleh ke belakang dan terkena azab.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ صَبَّحَهُمْ بُكْرَةً عَذَابٌ مُّسْتَقِرٌّۚ فَذُوْقُوْا عَذَابِيْ وَنُذُرِ
“Dan sungguh, pada esok harinya mereka benar-benar ditimpa azab yang menetap. Maka rasakanlah azab-Ku dan peringatan-Ku!” (QS. Al-Qomar: 38-39)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya mereka di waktu pagi harinya ditimpakan azab yang terus menerus, dan azabnya berupa diangkat kampung mereka, sehingga ketika sampai di atas kampung tersebut dibalikkan lalu dijatuhkan, setelah dijatuhkan lalu ditimpa dengan hujan batu serta angin kencang([66]), para ulama menyebutkan hal ini terjadi karena fitrah mereka telah berubah yang seharusnya lelaki suka dengan wanita namun mereka malah menyukai sesama lelaki. Dan inilah yang terjadi bahkan Nabi Luth ketika menegur mereka namun mereka malah menjawab teguran tersebut dengan usiran dan menganggapnya sebagai orang yang sok suci,
فَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلَّا أَنْ قَالُوا أَخْرِجُوا آلَ لُوطٍ مِنْ قَرْيَتِكُمْ ۖ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
“Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu; karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih”.” QS. An-Naml: 56
Inilah jawaban kaumnya terhadap Nabi Luth ketika dia menegur mereka, dan ini menunjukkan akan fitrah mereka yang telah berubah, Nabi Luth mengingatkan mereka akan bahayanya homoseksual mereka malah mengatakannya sok suci. Dan subhanallah, perkara ini yang dahulunya merupakan aib sekarang berubah menjadi hal yang biasa, dan demikianlah kondisi zaman sekarang, didapati acara perkumpulan para homo, festival para homo, bahkan menjadi tren kehidupan. Penulis pernah pergi ke salah satu instansi, sebagian mereka bertanya kepada penulis tentang masalah homo yang menimpa di sebagian mereka, padahal mereka telah memiliki istri dan anak, namun tren hidup mereka adalah memiliki pacar laki-laki, ini menunjukkan bahwa homoseksual pada saat ini bukanlah menjadi sesuatu yang memalukan lagi, bahkan menjadi suatu yang tren. Wal ‘iyadzu billah, suatu yang menjijikkan menjadi suatu hal yang biasa, terlebih lagi ada orang-orang liberal yang menghalalkan, seperti seorang Profesor Doktor wanita yang berjilbab namun menghalalkan homoseksual, dia mengatakan bahwa yang Allah haramkan bukanlah praktik homoseksualnya akan tetapi yang diharamkan adalah cara homoseksualnya, padahal secara jelas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampaui batas (dalam bermaksiat” QS. Al-A’raf: 81
Padahal ayat ini sangat jelas, namun dia tetap menghalalkan homoseksual. Sikap menghalalkan homo seksual merupakan kekufuran, karena homoseksual lebih aneh dari pada zina. Kalau ada orang menghalalkan zina saja bisa mengeluarkan seseorang dari Islam apalagi menghalakan sesuatu kelainan seperti homoseksual. Dan jika ada orang terkena penyakit homoseksual maka kita harus jelaskan bahwa ini perbuatan keji, dia tidak normal, harus diobati, dan jangan dianggap biasa karena penyakit ini jika dibiarkan maka akan menyebabkan banyak wanita yang tidak dinikahi, semakin banyak janda dan semakin banyak perawan tua, hal ini disebabkan karena mereka para pelaku homoseksual merasa punya alternatif lain. Ada lagi sebagian orang liberal mengatakan bahwa homoseksual tidak haram, mereka menganggap jika seandainya homoseksual haram tentunya Allah sudah menurunkan azab sebagaimana diazabnya kaum Nabi Luth, maka kita katakan apakah setiap ada sesuatu yang haram yang dilakukan oleh seseorang harus diturunkan azab? Maka jawabannya tentu tidak, karena betapa banyak maksiat yang terjadi namun tidak diturunkan azab, betapa banyak orang membunuh orang lain namun tidak diturunkan azab kepadanya saat itu, dan untuk menjawab syubhatnya sangatlah mudah, kita panggil da’i liberal tersebut lalu kita pukul kepalanya menggunakan martil dan ketika tidak turun azab kepada kita maka lalu katakan kepadanya: “Apakah tidak turunnya azab kepada kita menunjukkan halalnya perbuatan memukul kepalanya tersebut?”. Betapa banyak kemungkaran terjadi seperti pembunuhan, pencurian, atau pemerkosaan namun tidak diturunkan azab kepadanya, karena Allah tidak mesti menurunkan azab di dunia, karena Allah pasti akan mengazabnya di akhirat. Oleh karenanya homoseksual adalah penyakit yang harus disembuhkan bukan dibiarkan begitu saja, dan orang yang terkena penyakit ini dia harus berusaha untuk terapi. Penulis memiliki seorang teman di Bali yang dia memiliki beberapa sahabat yang dahulunya praktisi homoseksual lalu mereka sadar. Karenanya penulis berharap kepada orang-orang yang pernah terjerumus dalam dosa homoseksual lalu mereka tersadar agar mereka menulis sebuah buku tentang cara mereka terlepas dari jeratan penyakit homo seksual, agar bisa memberikan manfaat kepada orang-orang yang masih tenggelam dalam perbuatan homoseksual.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qomar: 40)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Al-Quran mudah untuk diingat, dihafal, dan dipelajari isinya, apakah ada yang mau mengambil pelajaran darinya? ([67])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ جَاۤءَ اٰلَ فِرْعَوْنَ النُّذُرُۚ
“Dan sungguh, peringatan telah datang kepada keluarga Fir‘aun.” (QS. Al-Qomar: 41)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mulai menceritakan tentang Nabi Musa dan Fir’aun, kalau kita perhatikan dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan ungkapan yang berbeda dengan kisah-kisah sebelumnya, ketika menceritakan tentang kisah nabi Nuh Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ قَبْلَهُمْ قَوْمُ نُوْحٍ فَكَذَّبُوْا عَبْدَنَا وَقَالُوْا مَجْنُوْنٌ وَّازْدُجِرَ
“Sebelum mereka, kaum Nuh juga telah mendustakan (rasul), maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh) dan mengatakan, “Dia orang gila!” Lalu diusirnya dengan ancaman.”
Ketika menceritakan tentang Nabi Hud Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ عَادٌ فَكَيْفَ كَانَ عَذَابِيْ وَنُذُرِ
“Kaum ‘Ad pun telah mendustakan. Maka betapa dahsyatnya azab-Ku dan peringatan-Ku!”
Ketika menceritakan tentang Nabi Shalih Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ ثَمُوْدُ بِالنُّذُرِ
“Kaum Tsamud pun telah mendustakan peringatan itu.”
Ketika menceritakan tentang Nabi Shalih Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبَتْ قَوْمُ لُوْطٍ ۢبِالنُّذُرِ
“Kaum Luth pun telah mendustakan peringatan itu.”
Namun begitu datang menceritakan tentang Nabi Musa Allah subhanahu wa ta’ala tidak mengatakan كَذَّبَتْ قَوْمُ مُوْسَى “telah mendustakan kaum Musa”, hal ini dikarenakan yang mendustakan Nabi Musa bukan kaum Nabi Musa, akan tetapi yang mendustakannya adalah kaumnya Fir’aun, dan kaumnya Nabi Musa adalah Bani Israil, oleh karenanya dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ جَاۤءَ اٰلَ فِرْعَوْنَ النُّذُرُۚ
“Dan sungguh, peringatan telah datang kepada keluarga Fir‘aun.”([68])
Dan اٰلَ adalah pengikut-pengikut Fir’aun([69]), dan النُّذُرُ yaitu peringatan-peringatan atau ancaman-ancaman([70]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَّبُوْا بِاٰيٰتِنَا كُلِّهَا فَاَخَذْنٰهُمْ اَخْذَ عَزِيْزٍ مُّقْتَدِرٍ
“Mereka mendustakan mukjizat-mukjizat Kami semuanya, maka Kami azab mereka dengan azab dari Yang Maha perkasa, Mahakuasa.” (QS. Al-Qomar: 42)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa mereka mendustakan seluruh mukjizat-mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa, dan dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan كُلِّهَا “seluruhnya” karena mukjizat-mukjizat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Nabi Musa sangat banyak, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam ayat lain,
وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَىٰ تِسْعَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ ۖ فَاسْأَلْ بَنِي إِسْرَائِيلَ إِذْ جَاءَهُمْ فَقَالَ لَهُ فِرْعَوْنُ إِنِّي لَأَظُنُّكَ يَا مُوسَىٰ مَسْحُورًا
“Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa sembilan buah mukjizat yang nyata, maka tanyakanlah kepada Bani Israil, tatkala Musa datang kepada mereka lalu Fir’aun berkata kepadanya: “Sesungguhnya aku sangka kamu, hai Musa, seorang yang kena sihir”.” QS. Al-Isra: 101
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwasanya Nabi Musa telah diberikan sembilan mukjizat yang semuanya didustakan oleh Fir’aun dan pengikut-pengikutnya, kesembilan mukjizat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan seluruhnya dalam surah Al-A’raf, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوفَانَ وَالْجَرَادَ وَالْقُمَّلَ وَالضَّفَادِعَ وَالدَّمَ آيَاتٍ مُفَصَّلَاتٍ فَاسْتَكْبَرُوا وَكَانُوا قَوْمًا مُجْرِمِينَ
“Maka Kami kirimkan kepada mereka banjir besar, belalang, kutu-kutu, katak-katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.”QS. Al-A’raf: 133
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menegur mereka dengan mendatang teguran satu demi satu namun tidak ada yang mereka benarkan dan mereka menganggap ini hanya sebagai kejadian alam. Dan ini adalah 5 mukjizat/tanda-tanda yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam satu ayat, adapun 4 mukjizat lainnya adalah:
- Berubah tongkatnya Nabi Musa menjadi ular yang besar
- Tangan Nabi Musa ketika dikeluarkan dari ketiaknya berubah menjadi warna putih bercahaya
- Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kepada mereka teguran berupa musim kemarau yang panjang, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَخَذْنَا آلَ فِرْعَوْنَ بِالسِّنِينَ وَنَقْصٍ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan, supaya mereka mengambil pelajaran.” QS. Al-A’raf: 130
- Terbelahnya lautan yang mereka menyaksikan itu
Para ahli tafsir mengatakan inilah 9 mukjizat yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada Nabi Musa yang semuanya didustakan oleh Fir’aun dan kaumnya, dan mereka mengatakan tentang mukjizat tersebut bahwa itu hanyalah sihir([71]), sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
قَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ إِنَّ هَٰذَا لَسَاحِرٌ عَلِيمٌ
“Pemuka-pemuka kaum Fir’aun berkata: “Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai.” QS. Al-A’raf: 109
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain menceritakan tentang perkataan mereka ketika telah datang mukjizat-mukjizat yang nyata,
وَقَالُوا مَهْمَا تَأْتِنَا بِهِ مِنْ آيَةٍ لِتَسْحَرَنَا بِهَا فَمَا نَحْنُ لَكَ بِمُؤْمِنِينَ
“Mereka berkata: “Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan beriman kepadamu”.” QS. Al-A’raf: 132
Dan mereka itu kaum yang sangat sulit beriman, Allah subhanahu wa ta’ala datangkan kepada mereka bukti bahwa Nabi Musa adalah utusan Allah dengan membawa mukjizat-mukjizat namun mereka mengatakan bahwa semua itu adalah sihir, dan mukjizat yang diberikan kepada Nabi Musa bukanlah mukjizat yang rendahan akan tetapi mukjizat yang luar biasa seperti laut terbelah. Air yang mengalir ke atas bahkan ada 12 aliran dan mereka menyaksikan itu semua, dan juga tiba-tiba tanah dari lautan yang terbelah berubah menjadi kering yang mudah untuk dilewati oleh Bani Israil, sebab jika tanah tersebut becek maka mereka bisa tersusul oleh pasukan Fir’aun, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
وَلَقَدْ أَوْحَيْنَا إِلَىٰ مُوسَىٰ أَنْ أَسْرِ بِعِبَادِي فَاضْرِبْ لَهُمْ طَرِيقًا فِي الْبَحْرِ يَبَسًا لَا تَخَافُ دَرَكًا وَلَا تَخْشَىٰ
“Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: “Pergilah kamu dengan hamba-hamba-Ku (Bani Israil) di malam hari, maka buatlah untuk mereka jalan yang kering dilaut itu, kamu tak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)”.” QS. Thaha: 77
Dan semua mukjizat ini disaksikan oleh kaum Fir’aun, namun mereka tidak mau mengimani semuanya.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَاَخَذْنٰهُمْ اَخْذَ عَزِيْزٍ مُّقْتَدِرٍ
“maka Kami azab mereka dengan azab dari Yang Maha perkasa, Mahakuasa.”
Akhirnya merekapun diazab oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Dan Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan semua kisah-kisah ini yaitu kisah kaum nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud, kaum nabi Luth, dan kaum Fir’aun untuk mengingatkan kaum musyrikin, karena surah Al-Qomar ini adalah surah makkiyyah sebagaimana yang telah dijelaskan. Allah menyebutkan kisah-kisah orang terdahulu agar mereka sadar bahwasanya jika mereka terus menerus membangkang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat akan datang azab menimpa mereka, meskipun azabnya tidak seperti azab yang ditimpakan kepada kaum-kaum terdahulu namun akan ada siksaan yang akan turun kepada mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اَكُفَّارُكُمْ خَيْرٌ مِّنْ اُولٰۤىِٕكُمْ اَمْ لَكُمْ بَرَاۤءَةٌ فِى الزُّبُرِۚ
“Apakah orang-orang kafir di lingkunganmu (kaum musyrikin) lebih baik dari mereka, ataukah kamu telah mempunyai jaminan kebebasan (dari azab) dalam kitab-kitab terdahulu?” (QS. Al-Qomar: 43)
Maksud ayat ini: “kami telah menjelaskan kepada kalian wahai orang-orang kafir Quraisy, tentang azab yang menimpa kaum ‘Ad, Tsamud, kaum Luth, dan kaum Fir’aun akan tetapi kalian tidak memperdulikan, mengapa kalian tidak memperdulikan? Dan ini ada 2 kemungkinan:
Pertama: apakah kalian merasa lebih baik dari kaum-kaum terdahulu? Sehingga kalian merasa bahwa tidak akan menimpa kalian apa yang menimpa mereka.
Kedua: kalian merasa bahwa kalian buruk seperti kaum terdahulu namun telah turun kepada kalian sebuah ayat yang menjelaskan bahwa kalian tidak akan diazab? Dan dua kemungkinan ini tidak benar. ([72])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اَمْ يَقُوْلُوْنَ نَحْنُ جَمِيْعٌ مُّنْتَصِرٌ
“Atau mereka mengatakan, “Kami ini golongan yang bersatu yang pasti menang”.” (QS. Al-Qomar: 44)
Ini adalah perkataan Abu Jahal dan kawan-kawannya yang mengatakan: “kami pasti akan menang”. ([73])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّوْنَ الدُّبُرَ
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.” (QS. Al-Qomar: 45)
Namun nyatanya mereka dikalahkan, dan itu terjadi ketika perang Badar. Dan antara turunnya ayat ini dengan perang Badar yang terjadi pada tahun 2 H sekitar 7 tahun. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori, ‘Aisyah berkata
لَقَدْ أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ، {بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ} [القمر: 46]
“sungguh telah diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah dan aku saat itu masih remaja putri yang sedang bermain {Bahkan hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit}.” ([74])
Ayat tersebut turun di Makkah, akan tetapi ketika terjadi perang Badar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan mengangkat tangannya dan berkata: ya Allah subhanahu wa ta’ala jika kami kalah engkau tidak akan disembah lagi”, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus berdoa hingga selendangnya jatuh kemudian diangkat oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq, setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca:
سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّوْنَ الدُّبُرَ
“Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan ayat tersebut ketika turun surah Al-Qomar dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan kembali ketika perang Badar. Dan ini menunjukkan mukjizat meskipun tujuh tahun berikutnya baru terjadi namun Allah subhanahu wa ta’ala buktikan bahwasanya Abu Jahal yang saat itu dalam keadaan yang sangat kuat bersama pasukannya ternyata akan kalah dalam perang Badar. ([75])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ اَدْهٰى وَاَمَرُّ
“Bahkan hari Kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.” (QS. Al-Qomar: 46)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwasanya kekalahan mereka di dunia dalam perang Badar maka perkaranya tidak berhenti sampai di situ akan tetapi nanti di hari kiamat lebih dahsyat lagi azabnya, bahwasanya mereka semua akan dibangkitkan dan disiksa pada hari kiamat yang siksaannya lebih dahsyat dan lebih pahit. Oleh karenanya pada ayat sebelumnya ketika Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang azab yang menimpa kaum nabi Luth,
وَلَقَدْ صَبَّحَهُمْ بُكْرَةً عَذَابٌ مُّسْتَقِرٌّۚ فَذُوْقُوْا عَذَابِيْ وَنُذُرِ
“Dan sungguh, pada esok harinya mereka benar-benar ditimpa azab yang menetap. Maka rasakanlah azab-Ku dan peringatan-Ku!”
Para ulama di antaranya Ibnu ‘Athiyyah menafsirkan firman Allah tentang kaum Luth عَذَابٌ مُّسْتَقِرٌّ “azab yang menetap” (QS Al-Qomar : 48) yaitu begitu mereka ditimpa dengan azab berupa hujan batu itu adalah awal azab yang tidak akan berhenti, jadi ketika mereka ditimpa dengan hujan batu, ditenggelamkan ke dalam tanah, diazab dalam barzakh, dan itu terus menimpa mereka hingga dibangkitkan pada hari kiamat dalam kondisi tersiksa kemudian masuk neraka Jahanam abadi selama-lamanya, sejak mereka diazab mereka terus diazab dengan azab yang tidak pernah berhenti([76]). Maka Allah subhanahu wa ta’ala ingatkan juga kepada Abu Jahal dan kawan-kawannya bahwa mereka akan kalah, bahkan bukan hanya di dunia saja mereka akan kalah, bahkan nanti pada hari kiamat mereka akan diazab dengan azab yang lebih dahsyat dan lebih pahit. Adzab yang mereka rasakan di dunia (kalah dalam perang) bukanlah akhir siksaan bagi mereka, akan tetapi merupakan permulaan adzab yang tidak akan pernah berhenti selama-lamanya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِنَّ الْمُجْرِمِيْنَ فِيْ ضَلٰلٍ وَّسُعُرٍۘ
“Sungguh, orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan akan berada dalam neraka (di akhirat).” (QS. Al-Qomar: 47)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan orang-orang kafir mereka dalam kondisi tersesat karena mereka berpaling dan menjauh dari kebenaran, dan juga mereka dalam kondisi terbakar dan sebagian ulama mengatakan bahwa mereka dalam kondisi gila. ([77])
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwasanya yang dimaksud dalam ayat ini “Sungguh, orang-orang yang berdosa berada dalam kesesatan (di dunia) dan akan berada dalam neraka (di akhirat)”adalah golongan Qodariyyah([78]) yaitu golongan yang menolak takdir Allah subhanahu wa ta’ala yang kita ketahui bahwasanya beriman kepada takdir termasuk rukun iman yang ke 6, barang siapa yang tidak beriman kepada takdir maka imannya tidak sah, sebagaimana yang disebutkan pada shohih Muslim
كَانَ أَوَّلَ مَنْ قَالَ فِي الْقَدَرِ بِالْبَصْرَةِ مَعْبَدٌ الْجُهَنِيُّ، فَانْطَلَقْتُ أَنَا وَحُمَيْدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيُّ حَاجَّيْنِ – أَوْ مُعْتَمِرَيْنِ – فَقُلْنَا: لَوْ لَقِينَا أَحَدًا مَنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَسَأَلْنَاهُ عَمَّا يَقُولُ هَؤُلَاءِ فِي الْقَدَرِ، فَوُفِّقَ لَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ دَاخِلًا الْمَسْجِدَ، فَاكْتَنَفْتُهُ أَنَا وَصَاحِبِي أَحَدُنَا عَنْ يَمِينِهِ، وَالْآخَرُ عَنْ شِمَالِهِ، فَظَنَنْتُ أَنَّ صَاحِبِي سَيَكِلُ الْكَلَامَ إِلَيَّ، فَقُلْتُ: أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّهُ قَدْ ظَهَرَ قِبَلَنَا نَاسٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ، وَيَتَقَفَّرُونَ الْعِلْمَ، وَذَكَرَ مِنْ شَأْنِهِمْ، وَأَنَّهُمْ يَزْعُمُونَ أَنْ لَا قَدَرَ، وَأَنَّ الْأَمْرَ أُنُفٌ، قَالَ: «فَإِذَا لَقِيتَ أُولَئِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنِّي بَرِيءٌ مِنْهُمْ، وَأَنَّهُمْ بُرَآءُ مِنِّي»، وَالَّذِي يَحْلِفُ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ «لَوْ أَنَّ لِأَحَدِهِمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، فَأَنْفَقَهُ مَا قَبِلَ اللهُ مِنْهُ حَتَّى يُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ»
“Orang yang pertama kali membahas takdir di Bashrah adalah Ma’bad al-Juhani, maka aku dan Humaid bin Abdurrahman al-Himyari bertolak haji atau umrah, maka kami berkata, ‘Seandainya kami bertemu dengan salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka kami akan bertanya kepadanya tentang sesuatu yang mereka katakan berkaitan dengan takdir.’ Maka [Abdullah bin Umar] diberikan taufik (oleh Allah) untuk kami, sedangkan dia masuk masjid. Lalu aku dan temanku menghadangnya. Salah seorang dari kami di sebelah kanannya dan yang lain di sebelah kirinya. Lalu aku mengira bahwa temanku akan mewakilkan pembicaraan kepadaku, maka aku berkata, ‘Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya telah muncul di hadapan kami suatu kaum membaca al-Qur’an dan mencari ilmu lalu mengklaim bahwa tidak ada takdir, dan perkaranya adalah baru (tidak didahului oleh takdir dan ilmu Allah).’ Maka [Abdullah bin Umar] menjawab, ‘Apabila kamu bertemu orang-orang tersebut, maka kabarkanlah kepada mereka bahwa saya berlepas diri dari mereka, dan bahwa mereka berlepas diri dariku. Dan demi Dzat yang mana hamba Allah bersumpah dengan-Nya, kalau seandainya salah seorang dari kalian menafkahkan emas seperti gunung Uhud, niscaya sedekahnya tidak akan diterima hingga dia beriman kepada takdir. ([79])
Namun yang jadi masalah adalah kebanyakan orang yang menyimpang dalam masalah takdir karena mereka menggunakan otak atau akal mereka yang bukan ranahnya, karena masalah takdir di luar dari ranah akal, oleh karenanya para ulama mengatakan,
إنَّ قَدَرَ اللهِ تعالى سرٌّ مكتومٌ
“sesungguhnya takdir Allah Ta’ala adalah rahasia yang tersembunyi.” ([80])
Sehingga tidak ada seseorang yang mengetahui mengapa si fulan ditakdirkan begini dan begini, mengapa Muhammad dijadikan sebagai seorang rasul, mengapa Iblis ditakdirkan sebagai Iblis, maka semua ini tidak ada seorang pun yang dapat mengetahuinya karena ini adalah rahasia Allah subhanahu wa ta’ala. Ibnu Daqiq Al-Ied berkata bahwasanya seseorang mungkin jika sudah di akhirat seseorang akan diungkapkan rahasia tersebut, akan tetapi kita tidak akan mengetahui rahasia tersebut mengapa begini dan begitu maka Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” QS. Al-Anbiya: 23
Maka seseorang dalam masalah takdir tidak boleh bertanya kenapa begini dan kenapa begitu, hal ini dikarenakan otak kita tidak sampai dalam memahaminya, sekarang saja banyak hal tidak bisa kita pikirkan, penulis akan memberikan ilustrasi وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ“dan perumpamaan Allah lebih besar”, contoh sederhana: banyak di antara kita memiliki anak kecil, misalkan anak kecil tersebut sedang bermain game atau yang lain lalu kita larang, ketika kita menjelaskan alasan melarangnya namun dia tidak dapat memahaminya, hal ini dikarenakan otak dia tidak bisa untuk memahaminya. Dan banyak hal yang otak anak kecil tidak bisa sampai dalam memahaminya dibandingkan otak kita, karena dalam masalah takdir Allah subhanahu wa ta’ala berbicara masalah hikmah, dan itu semua rahasia Allah subhanahu wa ta’ala. Dan tugas kita di dunia ini bukan menanyakan kenapa Allah begini dan kenapa Allah begitu? Namun yang menjadi kewajiban kita adalah menjalankan aturan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menjelaskan semuanya, barang siapa yang beramal saleh akan masuk surga dan barang siapa yang bermaksiat akan masuk neraka, dan kita semua bisa memilih antara dua pilihan, dan kita akan diberi balasan sesuai dengan pilihan kita. Adapun jika kita tidak bisa memilih maka kita tidak akan dihukum, akan tetapi semua itu telah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan.
Rukun iman kepada takdir:
Pertama: عِلْمُ اللهِ السَّابِق yaitu ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang maha mengetahui sebelumnya.
Kedua: الكِتَابَة pencatatan di al-lauh al-mahfuzh
Ketiga: المشِيْئَة kehendak, yaitu semua yang terjadi tidak ada yang keluar dari kehendak Allah subhanahu wa ta’ala.
Keempat: الخلْقُ penciptaan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki tersebut. ([81])
Penulis akan memberikan perumpamaan untuk dapat lebih memahami 4 rukun iman terhadap takdir وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الْأَعْلَىٰ“dan perumpamaan Allah lebih besar”, jika ada seorang insinyur dan kalau dia hebat ketika dia ingin membangun rumah maka dia harus paham tentang ilmu membuat rumah, maka dia akan memperkirakan, menyusun sketsa rumahnya, memperkirakan bahan-bahannya, memperkirakan biayanya atau RAB (rencana anggaran biaya), memperkirakan kapan selesai pembangunannya, dan semuanya dia perkirakan, semuanya dia lakukan dengan ilmu lalu dia gambar dan susun bagaimana progres setiap bulannya dan tahap akhirnya dia kerjakan, jika dia memperkirakan pembangunan rumah tersebut selama 4 bulan dan ternyata rumah tersebut selesai selama 4 bulan sesuai yang dia perkirakan maka dia adalah seorang insinyur yang hebat karena sesuai berjalan dengan progresnya, namun kebanyakan orang tidak bisa seperti ini, yang pasti ada kesalahan yang terjadi entah itu tambah biaya, atau kurang biaya, salah hitung, atau telat dari yang diperkirakan. Kira-kira demikianlah gambarannya, Allah subhanahu wa ta’ala sebelum menjalankan penciptaan semua ini Dia merencanakan, Dia tahu apa yang akan Dia lakukan, Dia tahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang secara keseluruhan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ،
“Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit-langit dan bumi.” ([82])
Jadi Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang akan terjadi d masa mendatang dan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala meliputi semua yang akan terjadi setelah Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui semuanya Allah subhanahu wa ta’ala mencatat ilmu tersebut di Al-Lauh Al-Mahfuz, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ، فَقَالَ لَهُ: اكْتُبْ قَالَ: رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ؟ قَالَ: اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ
“sesungguhnya yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, kemudian Allah berkata kepadanya: tulislah wahai pena! Pena berkata: apa yang aku tulis wahai Tuhanku? Allah subhanahu wa ta’ala berkata: tulislah takdir segala sesuatu hingga hari kiamat.” ([83])
Ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang telah tercacat tersebut kemudian Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak untuk menjalankannya, maka semua yang Allah subhanahu wa ta’ala catat Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki dan semuanya tidak ada yang keluar dari kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, ketika semuanya telah Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki maka kemudian Allah subhanahu wa ta’ala jalankan semuanya, كُنْ فَيَكُونُ “Jadi ! maka terjadilah” semuanya Allah subhanahu wa ta’ala buat terjadi, maka semua yang terjadi adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada satu pun yang keluar dari ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, dan semua selain Allah subhanahu wa ta’ala adalah ciptaan-Nya termasuk kejadian yang sedang berlangsung. Dan inilah akidah Ahlu sunnah secara global, dan jika seseorang tidak memahami hal ini maka dia akan terjerumus dalam kelompok sesat yaitu Qodariyyah dan Jabriyyah.
Manfaat dari beriman kepada takdir sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surah Al-Hadid,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian dan supaya kalian jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” QS. Al-Hadid: 22-23
Maka dalam ayat ini disebutkan dua manfaat dari beriman kepada takdir:
Pertama: supaya kalian jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kalian, karena jika ada yang luput maka semua ini sudah Allah subhanahu wa ta’ala takdirkan, dan ini sangat penting dalam kehidupan kita, karena tidak semua yang kita hadapi sesuai dengan tujuan kita atau sesuai dengan cita-cita kita, banyak hal yang terjadi tidak sesuai dengan cita-cita kita yang membuat air mata kita berderai, membuat kita marah, karena memang Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kehidupan sebagai tempat ujian, sehingga ketika kita sedang diuji maka kita ingat bahwa hal tersebut telah ditakdirkan,
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ، وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
“bahwa apa yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan.” ([84])
Penulis mempunyai sebuah kisah tentang Ustadz Abu Sa’ad rahimahullah yang cerita tersebut penulis dapatkan dari teman-teman beliau, ketika beliau mengirimkan berbagai macam bantuan ke sebagian negara dan saat itu di sana dalam konteks perang, beliau berkata kepada kawan-kawan penulis: “kamu jangan takut karena setiap peluru telah ditulis namanya akan mengenai siapa, jika tidak ada namamu maka tidak akan mengenaimu”. Kawan-kawan beliau yang pernah menyertai beliau dalam safar untuk kegiatan sosial, bawasanya beliau tidak pernah takut, ketika yang lain mundur dia malah maju. Dan ini adalah buah dari iman kepada takdir, dan setiap orang memiliki tingkat iman yang berbeda-beda.
Kedua: supaya kalian jangan sombong terhadap apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Ketika kita bekerja keras kemudian mendapatkan kenikmatan berupa rumah yang bagus dan mobil yang bagus, maka jangan kita mengatakan bahwasanya hal tersebut semata-mata hasil jerih payah kita, namun yang benar bahwasanya semua hal tersebut telah ditakdirkan. Dan ketika kita memiliki kecerdasan dan kepintaran maka jangan kita sombong karena semua tersebut adalah pemberian Allah subhanahu wa ta’ala, seandainya Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan kita bodoh maka itu adalah perkara yang mudah bagi Allah subhanahu wa ta’ala, namun kita tidak tahu apa yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki.
Berikutnya ketika kita beriman kepada takdir maka ini akan membuat takut orang-orang yang saleh, karena kita tidak tahu penghujung dari kehidupan kita, kita tidak tahu apakah kita akan meninggal dalam keadaan husnul khotimah atau su-ul khotimah.
Beriman kepada takdir fungsinya banyak, jadi ketika membahasa tentang takdir bukan maksudnya untuk bertanya mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menakdirkan ini dan itu karena akal kita tidak sampai, dan Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَا يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.” QS. Al-Anbiya: 23
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يُسْحَبُوْنَ فِى النَّارِ عَلٰى وُجُوْهِهِمْۗ ذُوْقُوْا مَسَّ سَقَرَ
“Pada hari mereka diseret ke neraka pada wajahnya. (Dikatakan kepada mereka), “Rasakanlah sentuhan api neraka”.” (QS. Al-Qomar: 48)
Jadi mereka dalam kondisi tersesat dan terbakar atau dalam kondisi tersesat dan gila itu terjadi di hari mereka diseret, dan السَّحْبُ artinya الْجَرُّ yaitu mereka diseret, lalu Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bagian tubuh mereka yang diseret yaitu عَلٰى وُجُوْهِهِمْ “di atas wajah-wajah mereka”, dan kita tahu bahwasanya wajah adalah bagian tubuh yang paling mulia dan ini sebagai bentuk penghinaan kepada mereka([85]). Oleh karenanya tatkala seseorang sujud wajah diletakkan di tanah sebagai bentuk peribadatan dan ketundukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan orang-orang yang kafir pada hari kiamat mereka dihina dengan cara mereka diseret di atas wajah-wajah mereka ke neraka, wajah mereka yang mulia dihinakan saat itu lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan ذُوْقُوْا مَسَّ سَقَرَ “Rasakanlah sentuhan api neraka”, karena selama di duni wajah-wajah tersebut tidak pernah tunduk bersujud kepada Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qomar: 49)
Ayat ini berbicara tentang masalah takdir, seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan mereka orang-orang kafir: “kalian yang sekarang memaki-maki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengganggu kaum muslimin di Makkah suatu saat kalian akan kalah dan diseret di neraka jahannam selama-lamanya, dan semua ini telah ditakdirkan dan tidak akan luput janji Allah subhanahu wa ta’ala”. ([86])
Pertanyaan:
Apakah doa bisa mengubah takdir misalnya yang berkaitan dengan rezeki, jodoh, atau yang lainnya?
Jawabannya:
Takdir yang ada di al-lauh al-mahfuzh tidak akan bisa berubah, adapun tugas seorang hamba hanyalah berdoa dan doa tersebut tidak akan mengubah apa yang telah ditakdirkan untuknya di al-lauh al-mahfuzh, karena dia tidak mengetahui apa yang ditakdirkan untuknya, jika dia berdoa meminta sesuatu kemudian mendapatkan apa yang dia minta maka itu adalah takdirnya dan jika dia tidak mendapatkannya maka itu juga adalah takdirnya. Adapun hadits yang berbunyi,
وَلَا يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلَّا الدُّعَاءُ
“Dan tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa” ([87])
Maka terdapat beberapa penafsiran ulama di antaranya:
Pertama: bahwa doa adalah sebab yang sangat kuat, dan ini seperti sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَلَوْ أَنَّ شَيْئًا سَبَقَ الْقَدَرَ لَسَبَقَتْهُ الْعَيْنُ
“jika ada sesuatu yang mendahului takdir maka ‘ain akan mendahuluinya.” ([88])
Dan ini hanya sekedar mubalaghoh atau hiperbola dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjukkan betapa kuatnya pengaruh ‘ain (mata jahat) hingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “jika ada sesuatu yang mendahului takdir maka ‘ain akan mendahuluinya” akan tetapi hakikatnya ‘ain tidak bisa mendahului takdir, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya ingin menjelaskan betapa kuat pengaruh ‘ain terhadap terjadinya suatu perkara. Begitu juga doa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan “Dan tidak ada yang bisa menolak takdir kecuali doa” ini hanya untuk menjelaskan bahwa doa memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap terjadinya perkara.
Kedua: dan tafsiran kedua ini lebih dipilih sebagian ulama, yaitu merubah catatan takdir yang dicatat oleh malaikat, karena catatan takdir yang dicatat oleh malaikat bisa diubah sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam surah Ar-Ra’d,
يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ ۖ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” QS. Ar-Ra’d: 39
Maksudnya seseorang ketika berada di dalam janin, maka ada malaikat yang mencatat takdirnya, misalnya malaikat mencatat takdir seseorang bahwa orang tersebut usianya hanya sampai 40 tahun dan rezekinya hingga dia meninggal adalah 2 milyar, ternyata ketika dia telah dewasa dia berbakti kepada kedua orang tuanya, menyambung silaturahmi, dan dia berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala kemudian memerintahkan malaikat untuk mengubah catatan takdir tersebut dari takdirnya yang dicatat oleh malaikat bahwa usianya hanya 40 tahun menjadi 80 tahun dan yang sebelumnya ditakdirkan rezekinya 2 milyar menjadi 6 milyar, dan semua perubahan ini telah dicatat di al-lauh al-mahfuzh. Jadi maksud dari hadits tersebut adalah untuk seseorang berusaha karena sebab yang paling kuat untuk mendapatkan hasil adalah doa, karena ini banyak yang dilalaikan oleh orang yang kebanyakan mereka menjadikan doa sebagai alternatif terakhir, jika mereka telah berusaha kemudian tidak mampu baru mereka berdoa. Dan ini salah, karena sebab utama untuk meraih keberhasilan adalah dengan berdoa baru kita berusaha, karena semuanya ada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَآ اَمْرُنَآ اِلَّا وَاحِدَةٌ كَلَمْحٍ ۢبِالْبَصَرِ
“Dan perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.” (QS. Al-Qomar: 50)
اللَّمْحُ yaitu kedipan mata, kita ketika mengedipkan mata membutuhkan waktu yang sangat singkat, dan Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa untuk menjalankan semua takdir sangat mudah dan sangat cepat, Allah subhanahu wa ta’ala tinggal hanya mengatakannya maka semua takdir tersebut selesai dan berjalan sesuai dengan takdirnya dan tidak akan ada yang keluar dari takdirnya. ([89]) Meskipun urusan begitu banyak yang berjalan di dunia, akan tetapi semua itu mudah bagi Allah untuk memutuskan seluruh perkara, semudah mengejapkan mata.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ اَهْلَكْنَآ اَشْيَاعَكُمْ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami binasakan orang yang serupa dengan kalian (kekafirannya). Maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qomar: 51)
Ayat ini menjelaskan bahwa bukan hanya kalian wahai orang-orang kafir Makkah yang dibinasakan, namun orang-orang yang serupa dengan kalian dalam membangkang dan kufur kepada para rasul juga telah kami binasakan([90]), maka adakah di antara kalian yang mengambil pelajaran?
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلُّ شَيْءٍ فَعَلُوْهُ فِي الزُّبُرِ
“Dan segala sesuatu yang telah mereka perbuat tercatat dalam buku-buku catatan.” (QS. Al-Qomar: 52)
Ayat ini menjelaskan bahwa segala sesuatu yang telah mereka kerjakan dari umat-umat terdahulu dari kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Shalih, kaum Nabi Luth, dan kaum Fir’aun telah tercatat di lauh mahfuzh dan dicatat oleh para malaikat([91]). Dan ini menguatkan firman Allah subhanahu wa ta’ala sebelumnya,
اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu sesuai takdir.”
Apa yang mereka kerjakan telah Allah subhanahu wa ta’ala catat sebelumnya lalu mereka kerjakan sebagaimana yang telah Allah subhanahu wa ta’ala catat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكُلُّ صَغِيْرٍ وَّكَبِيْرٍ مُّسْتَطَرٌ
“Dan segala (sesuatu) yang kecil maupun yang besar (semuanya) tertulis.” (QS. Al-Qomar: 53)
Maksudnya bahwa semua dosa kecil dan dosa besar seluruhnya tercatat sebelumnya([92]), dan semuanya akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّنَهَرٍۙ
“Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman dan sungai-sungai” (QS. Al-Qomar: 54)
Pada ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang bertakwa yang sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan keadaan orang-orang yang kafir bagaimana mereka disiksa di dunia dan di akhirat. Adapun orang-orang yang bertakwa berada dalam taman-taman dan نَهَرٍ, dan terdapat beberapa penafsiran berkaitan dengan kata نَهَرٍ, di antaranya:
Pertama: نَهَرٍdiartikan dengan sungai-sungai yang ada di surga, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
مَثَلُ الْجَنَّةِ الَّتِي وُعِدَ الْمُتَّقُونَ ۖ فِيهَا أَنْهَارٌ مِنْ مَاءٍ غَيْرِ آسِنٍ وَأَنْهَارٌ مِنْ لَبَنٍ لَمْ يَتَغَيَّرْ طَعْمُهُ وَأَنْهَارٌ مِنْ خَمْرٍ لَذَّةٍ لِلشَّارِبِينَ وَأَنْهَارٌ مِنْ عَسَلٍ مُصَفًّى ۖ وَلَهُمْ فِيهَا مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ وَمَغْفِرَةٌ مِنْ رَبِّهِمْ ۖ كَمَنْ هُوَ خَالِدٌ فِي النَّارِ وَسُقُوا مَاءً حَمِيمًا فَقَطَّعَ أَمْعَاءَهُمْ
“(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya?” QS. Muhammad: 15
Berdasarkan penafsiran ini maka maknanya bahwa sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman yang indah dan sungai-sungai yang disebutkan pada ayat di atas.
Kedua: نَهَر berasal dari kata النَّهَارُ yang artinya siang, maka berdasarkan penafsiran ini maka maknanya bahwa sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman yang indah dan mereka selalu berada dalam kondisi siang, karena di surga tidak ada malam. ([93])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فِيْ مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيْكٍ مُّقْتَدِرٍ
“di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.” (QS. Al-Qomar: 55)
مَقْعَد artinya tempat duduk, yaitu tempat duduk yang صِدْق yaitu yang baik yang tidak ada perbuatan sia-sia, tidak ada dosa([94]), dan dia dalam kondisi yang nyaman di tempat duduknya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala yang maha kuasa. Disebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika dipenjara beliau mengkhatamkan Al-Quran sebanyak 80 kali dan ayat terakhir yang beliau baca sebelum meninggal dunia adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
اِنَّ الْمُتَّقِيْنَ فِيْ جَنّٰتٍ وَّنَهَرٍۙ فِيْ مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيْكٍ مُّقْتَدِرٍ
“Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada di taman-taman dan sungai-sungai di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Mahakuasa.” ([95])
___________________________________________
([1]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir: 27/165
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/125
([3]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/166
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/125 dan Tafsir Al-Alusy 14/74
([5]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/211
([6]) Lihat kitab Asyrooth as-Saa’ah karya Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Waabil
([8]) HR. Al-Bazzar no. 7242 dalam Musnadnya
([9]) Lihat: Al-Manaar Al-Muniif Fii Ash-Shohiih wa Adh-Dho’iif hal: 80-84
([10]) Lihat: Tarikh Ath-Thobary 2/237
([12]) HR. Bukhari no. 479 dalam Al-Adab Al-Mufrad, Al-Albani mengatakan hadits ini sahih
([13]) HR. Bukhari no. 50 dan HR. Muslim no. 9
([14]) HR. At-Tirmidzi no. 3286
([15]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/74
([17]) Silahkan lihat http://quran-m.com/quran/article/2653/الأدلة-العلمية-والشرعية-على-انشقاق-القمر
([18]) Profesor Muhammad Hamidullah (1909-2002) dalam kitabnya, Muhammad Rasulullah memberi satu catatan tersendiri mengenai ini. Dia menjelaskan bahwa di Museum Britania, London, ada sebuah manuskrip tua dari India dengan nomor induk 2807/152-173 yang bercerita bahwa salah seorang raja Malabar -barat daya di India-, yaitu Chakrawati Farmas pernah melihat bulan terbelah pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia ceritakan pada orang-orang, hingga pada suatu hari, datang segerombolan pedagang Muslim yang hendak ke Cina, tetapi singgah dulu di Malabar. Tatkala mendengar cerita itu, pedagang-pedagang itu meyakinkan bahwa itu adalah mukjizat Rasulullah. Akhirnya dia mendatangi Rasulullah, dan kemudian masuk Islam. Dia pulang, tetapi sayang, di tengah jalan, ajal menjemput. Kemudian dia dikuburkan di tempat yang bernama Thafar. Kabar itu kemudian sampai ke Malabar, dan konon setelah itu semua penduduknya masuk Islam dan menjadi daerah pertama India yang masuk Islam. (silahkan lihat : Al-Najjar, Zaghlul Raghib (2013). Buku Pintar Sains dalam Hadits: Mengerti Mukjizat Ilmiah Sabda Nabi hlm.137 – 142.) (https://id.wikipedia.org/wiki/Terbelahnya_bulan)
([19]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/127-128
([20]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/172
([21]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/128
([22]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/128
([23]) Lihat: Tafsir Al-Qurhuby 17/129
([24]) Lihat At-Tahrir wa At-Tanwir 27/177-178
([25]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/180
([26]) Lihat: Tafsir Ath-Thobary 15/326
([27]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 3/168
([28]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/182
([29]) Lihat: At-Tahrir Wat Tanwir 27/184
([30]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/132
([31]) Lihat: Tafsir Al-Bahr al-Muhiith, Abu Hayyaan al-Andalusi 10/39
([32]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/183
([33]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/183-184
([34]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/82
([35]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/132
([36]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 825
([37]) Sebagaimana firman Allah :
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ
Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judiy” (QS Huud :44)
([38]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 17/133
([39]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal:825
([40]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 17/134
([41]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/125
([42]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 27/193
([44]) At-Tahrir wa At-Tanwir 27/193
([45]) Tafsir al-Qurthubi 17/136
([46]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/261
([47]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 27/194
([48]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/135
([49]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/87
([51]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/140
([52]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/140
([53]) Lihat: Tafsir Ath-Thobary 22/592
([54]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir 27/203
([55]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 8/202
([56]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 7/243
([57]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/143
([58]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/204
([59]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/90 dan At-Tahrir wat Tanwir 27/204
([60]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/204
([61]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/202
([62]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/144
([63]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/90
([64]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/206
([65]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/144
([66]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/207
([67]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/134
([68]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir: 27/208
([69]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athhiyyah 5/220
([70]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/145
([71]) Lihat: At-Tharir wat Tanwir 27/209
([72]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/145
([73]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/212
([75]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/146
([76]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/219
([77]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/147
([78]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/221 dan Al-Alusy 14/93
([80]) Lihat: Syarah al-Arbaín An-Nawawiyah, Ibnu Daqiiq al-Íed pada syarah hadits ke 4, dan juga Syarah Tsalaatsatul Ushuul karya Syaikh Al-‘Utsaimin hal: 114
([81]) Lihat: Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyyah hal: 162-163
([83]) HR. Abu Dawud no. 4700 dan dishohihkan oleh Al-Albani
([84]) HR. Abu Dawud no. 4700 dan dishohihkan oleh Al-Albani
([85]) Lihat: At-Tahrir wat tanwir 27/215
([86]) Lihat: At-Tahrir wat tanwir 27/215
([87]) HR. Ahmad no 22386, dikatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth bahwa hadits ini hasan lighoirih
([88]) HR. Abu Yusuf da;lam kitabnya Al-Aatsaar no. 10454
([89]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/149
([90]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/149
([91]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/149
([92]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/149
([93]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby: 17/149