Tafsir surah An-Najm
Surat An-Najm adalah surat Makkiyyah([1]), surat yang Allah turunkan sebelum Nabi berhijrah ke Madinah. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجَدَ بِالنَّجْمِ، وَسَجَدَ مَعَهُ المُسْلِمُونَ وَالمُشْرِكُونَ وَالجِنُّ وَالإِنْس
“Sesungguhnya Nabi sujud (ketika membaca) surat An-Najm. Maka orang-orang muslim, musyrik, golongan jin dan manusia ikut sujud bersama beliau.” ([2])
Hadits ini menjelaskan bahwa tatkala Nabi masih berada di Makkah, beliau pernah membaca surat An-Najm dari awal hingga akhir surat di hadapan orang-orang musyrikin. Dan ayat terakhir dari surat an-Najm adalah :
فَاسْجُدُوا لِلَّهِ وَاعْبُدُوا
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An-Najm: 62)
Ketika Nabi selesai membaca hingga akhir surat ini, beliau pun sujud dan orang-orang kafir yang berada di sekitar Nabi dan sedang mendengarkan bacaan surat tersebut seketika ikut sujud bersama beliau yang sedang sujud. Para ulama mengatakan hal itu dikarenakan mereka terbuai dan terlena dengan indahnya lantunan ayat Al-Qur’an yang dibacakan oleh Nabi dengan bahasanya yang sangat tinggi.([3])
Demikian juga yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ سُورَةَ النَّجْمِ، فَسَجَدَ بِهَا فَمَا بَقِيَ أَحَدٌ مِنَ القَوْمِ إِلَّا سَجَدَ، فَأَخَذَ رَجُلٌ مِنَ القَوْمِ كَفًّا مِنْ حَصًى – أَوْ تُرَابٍ – فَرَفَعَهُ إِلَى وَجْهِهِ، وَقَالَ: يَكْفِينِي هَذَا “، قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: فَلَقَدْ رَأَيْتُهُ بَعْدُ قُتِلَ كَافِرًا
“Sesungguhnya Nabi membaca surat An-Najm, setelah itu beliau sujud. Dan seluruh manusiapun sujud kecuali satu orang dari mereka. Lalu dia mengambil pasir -atau tanah- dan menempelkannya ke wajah (jidat) nya dan berkata: ‘ini cukup bagiku’. Abdullah bin Mas’ud berkata: ‘Setelah itu aku melihatnya terbunuh (pada perang Badar) dalam kondisi kafir.’” ([4])
Sebagian ulama mengatakan bahwa satu-satunya orang yang tidak mau sujud adalah Umayyah bin Khalaf (majikannya bilal bin Rabah)([5]). Ada juga yang mengatakan Al-Walid bin Al-Mughirah (ayahnya Khalid bin Al-Walid). Dan keduanya meninggal dalam keadaan kafir.([6])
Peristiwa ini menunjukkan bahwa surat tersebut dari ayat pertama hingga akhir adalah surat Makkiyah, karena terjadi ketika Nabi masih berada di Makkah.([7])
Demikian pula jika diperhatikan isi dari surat An-Najm, maka surat tersebut banyak menjelaskan tentang wahyu, hari kiamat dan ke-Esa-an Allah. Yang topik-topik tersebut merupakan nuansa surat Makkiyah, karena ditujukan kepada orang-orang musyrikin Arab yang mengingkari topik-topik tersebut.([8])
Tujuan diturunkannya surat An-Najm adalah untuk membantah tuduhan yang diarahkan kepada Nabi. Pasalnya, yaitu orang-orang kafir menuduh bahwa Nabi telah membuat-buat Al-Qur’an. Mereka mengatakan Al-Qur’an bukanlah firman Allah.
Meskipun kaum musyrikin percaya kepada Allah, namun mereka tidak percaya bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, sebagaimana mereka tidak percaya bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan untuk Nabi. Maka Allah menurunkan surat An-Najm untuk membela Nabi dan membantah tuduhan mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالنَّجْمِ اِذَا هَوٰىۙ
Demi bintang ketika terbenam, (QS: An-Najm: 1)
Ada beberapa pendapat berkaitan makna dari (النَّجْمِ). Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah Al-Qur’an, karena Al-Qur’an diturunkan (مُنَجَّمًا) artinya secara berangsur-angsur atau bertahap (sebagian-sebagian)([9]). Dan sebagian lain mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah bintang, inilah pendapat yang lebih kuat. ([10])
Karenanya setelah itu Allah berfirman,
…اِذَا هَوٰىۙ
“… ketika terbenam.”
Karena jika yang dimaksud adalah Al-Qur’an, seharusnya Al-Qur’an tidaklah terbenam. Akan tetapi turun atau diturunkan. Jadi, maksud yang benar dalam ayat ini adalah bintang([11]). Allah bersumpah dengan bintang, sebagaimana Allah bersumpah dengan makhlukNya di dalam sejumlah ayat yang lain di dalam Al-Qur’an.
Diantara faedah dari ayat bahwa Allah bersumpah dengan bintang adalah menunjukkan bahwa bintang merupakan makhluk Allah, dia tidak terbit selamanya, adakalanya dia akan terbenam([12]). Sebagaimana kisah Nabi Ibrahim ketika berdialog dengan kaumnya,
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗ قَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ
“Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (QS: Al-An’am: 76)
Hal ini menunjukkan bahwa bintang bukanlah Tuhan. Dia merupakan salah satu diantara makhluk Allah yang diatur, memiliki waktu terbit dan terbenam dan tidak pantas untuk disembah. ([13])
Allah bersumpah dengan bintang agar orang tidak salah dalam menganggap bahwa bintang adalah sesuatu yang sangat hebat, yang berhak untuk disembah. Maka dari itu, Allah menyebutkan ‘Demi Bintang ketika terbenam’. Ini disebut dengan metode الاِحْتِرَاسُ ihtiras, yaitu menyebutkan suatu pernyataan dimana dibalik pernyataan tersebut bisa mengandung persangkaan makna yang jauh (salah) dari orang yang mendengarnya. Lalu, didatangkan bantahannya untuk menghilangkan persangkaan yang salah tersebut([14]). Contohnya adalah sebagaimana di dalam firman Allah:
وَاضْمُمْ يَدَكَ اِلٰى جَنَاحِكَ تَخْرُجْ بَيْضَاۤءَ
“Dan kepitlah tanganmu ke ketiakmu, niscaya ia keluar menjadi putih (bercahaya).” (QS. Thaha: 22)
Pada ayat ini, sekilas orang akan menganggap bahwa tangan Nabi Musa berubah menjadi putih akibat dari penyakit kulit. Namun, setelah itu Allah menyebutkan:
مِنْ غَيْرِ سُوْۤءٍ اٰيَةً اُخْرٰىۙ
“tanpa cacat, sebagai mukjizat yang lain.” (QS. Thaha: 22)
Artinya Allah menjelaskan bahwa tangan Nabi Musa menjadi putih bukan karena penyakit, akan tetapi sebagai mukjizat. Dan pernyataan ini menghilangkan persangkaan yang salah.([15])
Contoh yang lain adalah sebagaimana kisah Nabi Sulaiman ketika melewati kampung semut,
حَتّٰىٓ اِذَآ اَتَوْا عَلٰى وَادِ النَّمْلِۙ قَالَتْ نَمْلَةٌ يّٰٓاَيُّهَا النَّمْلُ ادْخُلُوْا مَسٰكِنَكُمْۚ لَا يَحْطِمَنَّكُمْ سُلَيْمٰنُ وَجُنُوْدُهۙ
“Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya.” (QS. An-Naml: 18)
Pada ayat ini, sekilas orang akan memahami bahwa Pemimpin semut memperingatkan kepada kelompoknya agar mereka tidak diinjak oleh Nabi Sulaiman dan pasukannya secara sengaja. Namun, di akhir ayat ini Allah menjelaskan dalam firman-Nya,
وَهُمْ لَا يَشْعُرُوْنَ
“sedangkan mereka tidak menyadari.” (QS. An-Naml: 18)
Artinya pada ayat ini Allah menjelaskan agar kelompok semut itu tidak diinjak oleh Nabi Sulaiman dan bala tentaranya secara tidak sengaja. Pernyataan ini datang untuk menghilangkan persangkaan dari pemahaman pernyataan sebelumnya. Dan ini merupakan salah satu bentuk ihtiras.([16])
Begitu juga dengan maksud dari ayat ini, ketika Allah bersumpah dengan bintang, maka orang-orang musyrik menganggap bahwa bintang merupakan makhluk yang berhak untuk diagungkan dan diibadahi. Namun, akhirnya Allah membantahnya dengan berfirman “ketika terbenam”. Maksudnya adalah supaya mereka tahu bahwa bintang itu adalah makhluk, karena memiliki tabiat yang berupa terbit dan juga terbenam.([17])
Diantara faedah Allah bersumpah dengan bintang adalah Allah ingin menjelaskan pada ayat berikutnya bahwa Al-Qur’an turun kepada Nabi melalui malaikat Jibril yang turun dari langit membawa wahyu dari Allah kemudian disampaikan kepada Nabi. Ketika Allah bersumpah dengan bintang yang jatuh, artinya dengan melihat bintang dan yang sejenisnya ketika jatuh, maka hal itu menggambarkan bahwa terdapat benda yang dapat bergerak dengan cepat. Adapun Allah memiliki makhluk yang dapat bergerak dari atas (langit) ke bawah (bumi) dengan cepat melebihi bintang jatuh yaitu malaikat Jibril. Dia turun atas perintah dari Allah untuk menyampaikan wahyuNya kepada Nabi([18]). Ini menunjukkan kekuasaan dan kehebatan Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوٰىۚ
“Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak (pula) keliru. (QS. An-Najm: 2)
Ayat ini menekankan maksud dari sumpah Allah. Yaitu Allah ingin membela NabiNya dari tuduhan orang-orang kafir bahwa Nabi tidaklah (ضَلَّ) dan tidak juga (غَوٰى). (ضَلَّ) bermakna tersesat, artinya seseorang terjerumus dalam keselahan tanpa dia sadari. Sedangkan (غَوٰى) artinya adalah terjerumus dalam kesalahan dengan sengaja dan disertai niat yang buruk.([19])
Para ulama mengatakan Allah menggunakan ungkapan dengan lafadz ‘kawan kalian’ sebagai wujud penghinaan kepada orang-orang musyrik. Karena, sejatinya mereka mengetahui jati diri Nabi yang sebenarnya. Beliau yang sejak kecil tumbuh dan bergaul di tengah-tengah mereka. Mereka mengetahui bagaimana masa kecil beliau dan masa remajanya. Bagaimana sifatnya, akhlaqnya dan amanahnya. Bahkan, mereka dahulu memberikan julukan kepada beliau dengan ‘Al-Amiin’. Lantas, mereka mengatakan dan menuduh Rasulullah sesat dan keliru. Seakan-akan mereka mengingkari apa yang sejatinya mereka sendiri lebih mengetahui tentang hal itu.([20])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى. اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ
“Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)
Secara umum, ayat ini menjadi sebuah paragraf yang menjelaskan proses turunnya wahyu kepada Nabi. Apakah wahyu tersebut turun di bumi dengan datangnya Jibril atau apakah wahyu tersebut di langit, kemudian Nabi diangkat ke langit agar langsung mendengar wahyu dari Allah? Maka di dalam ayat ini Allah menjelaskan bagaimana metode turunnya wahyu kepada Nabi yaitu dengan melalui malaikat Jibril álaihis salam.
Di dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang ke-otentikan Al-Qur’an, bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang berasal dari Allah dan diwahyukan kepada Nabi. Tidak mungkin beliau berbicara mengikuti hawa nafsunya. Apa yang beliau sampaikan berupa Al-Qur’an bukanlah hasil dari karangan beliau sendiri. Akan tetapi, semuanya berasal dari Allah.([21])
Diantara dalil yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash berkata:
كُنْتُ أَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ أَسْمَعُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيدُ حِفْظَهُ، فَنَهَتْنِي قُرَيْشٌ وَقَالُوا: أَتَكْتُبُ كُلَّ شَيْءٍ تَسْمَعُهُ وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَشَرٌ يَتَكَلَّمُ فِي الْغَضَبِ، وَالرِّضَا، فَأَمْسَكْتُ عَنِ الْكِتَابِ، فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَوْمَأَ بِأُصْبُعِهِ إِلَى فِيهِ، فَقَالَ: اكْتُبْ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا حَقٌّ
“Dahulu aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah agar aku dapat menghafalkannya. Maka orang-orang Quraisy pun menegurku dan mengatakan: “Apakah kamu menulis seluruh yang kamu dengar dari Rasulullah, sedangkan dia adalah manusia yang terkadang berbicara sambal marah dan ridha.” Setelah itu, akupun berhenti menulis. Lalu aku menceritakan hal ini kepada Rasulullah. Maka beliau berisyarat dengan jarinya ke mulutnya, seraya bersabda: “Tulislah, demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, tidak ada yang keluar dari mulutku kecuai kebenaran.” ([22])
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah bahwa salah seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّكَ تُدَاعِبُنَا، قَالَ إِنِّي لَا أَقُولُ إِلَّا حَقًّا
“Sesungguhnya engkau bercanda dengan kami.” Lalu beliau bersabda: “Aku tidak berkata kecuali kebenaran.” ([23])
Oleh karenanya, ini menjadi bukti bahwa Rasulullah tidak pernah berbicara sesuai dengan hawa nafsunya, bahkan di dalam bercandapun beliau selalu berbicara dalam kebenaran. Seperti halnya yang terjadi kepada salah satu sahabat, dari Anas berkata:
أَنَّ رَجُلًا أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، احْمِلْنِي، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّا حَامِلُوكَ عَلَى وَلَدِ نَاقَةٍ قَالَ: وَمَا أَصْنَعُ بِوَلَدِ النَّاقَةِ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَهَلْ تَلِدُ الْإِبِلَ إِلَّا النُّوقُ
“Sesunggunya ada seorang lelaki datang menemui Nabi, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, berilah tunggangan kepadaku.” Lalu Nabi bersabda: “Kami akan memberikan kepadamu anak unta.” Dia berkata: “Apa yang bisa aku lakukan dengan anak unta?” Setelah itu Nabi bersabda: “Bukankah, onta besar juga dilahirkan oleh induknya?” ([24])
Maksudnya adalah bukankah unta yang sudah besar juga disebut dengan anak unta? Karena dia dilahirkan dari induknya. Inilah salah satu contoh bentuk candaan Nabi, dan beliau tidaklah berbohong.
Di dalam ayat ini terdapat beberapa pelajaran, diantaranya adalah apakah Nabi berijtihad? Apakah ijtihad beliau termasuk kepada kebenaran dan tidak didasari dengan hawa nafsu?
Telah dijelaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi adalah kebenaran (wahyu) dan bukan dari hawa nafsunya. Namun, dalam beberapa kisah Nabi berbuat salah, kemudian ditegur oleh Allah. Sebagaimana kisah dalam surat ‘Abasa.
Maka para ulama berpendapat dengan menggabungkan ayat ini dengan ayat-ayat lain yang menjelaskan teguran kepada Nabi. Dan di dalam ayat ini menjadi bukti bahwa dibolehkan bagi Nabi untuk berijtihad. Adapun maksud dari kebenaran yang disampaikan oleh Nabi adalah yang berupa Al-Qur’an, karena konteks ayat ini berbicara tentang Al-Qur’an.
Ijtihad Nabi hanya sebatas dalam beberapa kondisi saja yang jarang terjadi. Dan yang lebih banyak beliau sampaikan adalah wahyu dari Allah. Disamping itu, ketika Rasulullah berijtihad tidak berdasarkan dengan hawa nafsu beliau, maka ketika beliau keliru dalam berijtihad, beliau langsung mendapat teguran dari Allah. ([25])
Oleh karena itu, Rasulullah tetap ma’shum (terjaga dari kesalahan) baik ketika menyampaikan wahyu dari Allah, berupa Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Atau ketika beliau terjatuh dalam melakukan suatu kesalahan, maka Allah akan langsung menegur beliau. Karena Nabi tidak akan dibiarkan diatas kesalahan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
عَلَّمَهُ شَدِيْدُ الْقُوٰىۙ. ذُوْ مِرَّةٍۗ فَاسْتَوٰىۙ. وَهُوَ بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰىۗ. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰىۙ
“Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai keteguhan; maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa). Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat.” (QS. An-Najm: 5-8)
Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah membacakan Al-Qur’an karena ada yang mengajarkannya, yaitu malaikat Jibril. Allah mensifatinya sebagai makhluk yang sangat kuat([26]). Dan diantara sifatnya adalah,
ذُوْ مِرَّةٍۗ
“Yang mempunyai keteguhan.”
Ada beberapa penafsiran dari (ذُوْ مِرَّةٍۗ), diantaranya Pertama: ulama salaf mengatakan maksudnya adalah memiliki bentuk yang sangat indah([27]). Kedua: memiliki akal yang sangat cerdas([28]). Hal ini menunjukkan kepada orang-orang musyrik bahwa sumber dari apa yang disampaikan oleh Nabi sangat jelas, yaitu Al-Qur’an. Atau bisa dikatakan sebagaimana dalam ilmu hadits, sanadnya sangat kuat. Yaitu Nabi Muhammad dari Jibril dari Allah. Nabi memiliki sifat amanah nan cerdas,begitu pula dengan Jibril, Allah mensifatinya dengan sangat cerdas.
Orang-orang kafir berpikir bagaimana mungkin Allah menurunkan wahyu kepada Nabi. Maka disini Allah menjelaskannya kepada mereka, bahwa Rasulullah mendapatkan wahyu melalui Jibril, malaikat yang sangat cerdas dan kuat.
فَاسْتَوٰىۙ
“Maka (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli (rupa yang bagus dan perkasa).” (QS. An-Najm: 6)
Lafadz tersebut juga memiliki beberapa panafsiran. Pertama adalah menampakkan bentuknya yang asli([29]). Artinya Jibril memiliki enam ratus sayap dan jika dia mengepakkan satu sayapnya saja maka akan menutupi cakrawala. Dan dari sayapnya akan keluar yaquth, mutiara dan benda-benda lainnya yang sangat indah. Kedua: naik ke atas. Artinya Jibril berada di atas ketika hendak bertemu dan menyampaikan wahyu kepada Nabi([30]). Maka dari itu setelahnya Allah berfirman,
وَهُوَ بِالْاُفُقِ الْاَعْلٰىۗ
“Sedang dia berada di ufuk yang tinggi.”
Artinya Jibril berada di ufuk yang tinggi. Allah menjelaskan proses Jibril membawa wahyu kepada Nabi. Diantara cara Jibril membawa wahyu Allah kepada Nabi adalah ketika dia turun dari langit, lalu berhenti dan istiwa’ di ufuk yang tinggi (berdiam sejenak), kemudian turun menuju Nabi dan menyampaikan wahyu kepada beliau. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikutnya.([31])
ثُمَّ دَنَا فَتَدَلّٰىۙ
“Kemudian dia mendekat (pada Muhammad), lalu bertambah dekat.”
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ اَوْ اَدْنٰىۚ
“Sehingga jaraknya (sekitar) dua busur panah atau lebih dekat (lagi).” (QS. An-Najm: 9)
Jibril mendekati Nabi dengan jarak sekita dua busur (jarak antara ujung busur panah dengan ujung lainnya). Dan sebagian ulama lain menyebutkan bahwa maksudnya adalah jarak antara tali dengan busurnya, yaitu ketika tali busur tersebut ditarik hendak melepaskan anak panahnya. Ini menunjukkan dekatnya jarak Jibril dengan Nabi ketika menyampaikan wahyu dan bukan dari jauh.([32])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاَوْحٰىٓ اِلٰى عَبْدِهِ مَآ اَوْحٰىۗ
“Lalu disampaikannya wahyu kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah diwahyukan Allah.” (QS. An-Najm: 11)
Ada dua penafsiran pada ayat ini. Pertama: Allah memberi wahyu kepada hambaNya. Kedua: Jibril menyampaikan kepada Nabi berupa wahyu yang telah Allah sampaikan kepadanya. Kedua pendapat tersebut benar. Artinya Allah telah memberikan wahyu kepada Jibril, lalu Jibril memberikan wahyu kepada Nabi. Atau Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi, dimana wahyu tersebut datang dari Allah.([33])
Hal ini sama sekali tidak tergambarkan di benak orang-orang musyrik. Bagaimana Nabi mendapatkan wahyu dari Allah yang berada di langit. Sehingga mereka mengingkarinya, mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah karangan Muhammad. Maka ayat ini menjelaskan proses bagaimana mudahnya Allah menyampaikan wahyu kepada hambaNya yaitu Nabi. Karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu([34]). Sebagaimana firman Allah,
اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 20)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَاٰى. أَفَتُمٰرُوْنَهُ عَلٰى مَا يَرٰى. وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً أُخْرٰىۙ. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى
“Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu? Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratul Muntaha” (QS. An-Najm: 11-14)
Ada beberapa pendapat dalam penafsiran ayat ini. Pertama: Nabi melihat Allah ketika Isra’ Mi’raj dengan hatinya. Kedua: Nabi melihat Jibril. Namun, pendapat kedua yang lebih benar. Karena ayat ini masih berbicara tentang Jibril.([35])
Nabi telah melihat Jibril dalam bentuk aslinya dua kali([36]). Satu waktu beliau melihatnya di dunia, yaitu ketika turunnya wahyu, pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Katsir. Dan pada waktu yang lain beliau melihatnya ketika Isra’ Mi’raj. Dan biasanya beliau melihat Jibril dalam bentuk manusia, seperti ketika Nabi menerima wahyu yang pertama,sedangkan beliau berada di gua Hira’.([37])
اَفَتُمٰرُوْنَهُ عَلٰى مَا يَرٰى
“Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang dilihatnya itu?”
Orang-orang musyrik membangkang dan tidak percaya bahwa Nabi telah melihat Jibril. Maka dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Nabi benar-benar melihat Jibril. Yaitu, ketika Jibril mendekat dan menyampaikan wahyu dari Allah kepada beliau secara langsung. Jadi, mereka tidak bisa membantah lagi bahwa apa yang telah disampaikan Jibril kepada Nabi adalah wahyu yang benar-benar datang dari Allah.([38])
وَلَقَدْ رَاٰهُ نَزْلَةً اُخْرٰىۙ. عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهٰى
“Dan sungguh, dia (Muhammad) telah melihatnya (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (Yaitu) di Sidratul Muntaha.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Rasulullah melihat wujud Jibril dengan bentuk yang aslinya pada waktu yang kedua kalinya, yaitu pada saat Isra’ Mi’raj. Sidratul Muntaha adalah tempat yang tertinggi. Dalam hadits disebutkan bahwa tempat tersebut berada di langit yang ke tujuh. Disebutkan bahwa bentuknya seperti pohon Sidr, namun sangat indah. Bahkan dikatakan (الْمُنْتَهٰى) artinya adalah penghujung, artinya tidak ada tempat lagi selain itu, karena merupakan tempat terjauh dan paling tinggi([39])
Ibnu Mas’ud berkata bahwa Rasulullah bersabda:
رَأَيْتُ جِبْرِيلَ بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى لَهُ سِتُّمِائَةِ جَنَاحٍ يَتَنَاثَرُ مِنْ رِيشِهِ الدُّرُّ وَالْيَاقُوتُ
“Aku melihat Jibril di ufuk yang tertinggi, dia memiliki enam ratus sayap, maka keluar dari sayapnya Mutiara dan permata yang berjatuhan.” ([40])
Itulah diantara keindahan malaikat Jibril, sebagaimana yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوٰىۗ
“Di dekatnya ada surga tempat tinggal.” (QS. An-Najm: 15)
Di Sidratul Muntaha terdapat surga (tempat tinggal). Sebagian ulama berpendapat surga ini adalah surga yang pernah ditempati oleh Nabi Adam. Sebagian lagi berpendapat surga ini adalah surga yang dihampiri oleh ruh-ruh para syuhada yang telah meninggal([41]), meskipun jasadnya berada di alam barzakh, tetapi ruh mereka terkadang bermain ke surga dalam bentuk burung. Dan ada yang mengatakan surga tersebut adalah tempat yang akan didatangi oleh orang-orang yang beriman setelah hari kiamat kelak.([42]) Maka tatkala mereka dibangkitkan, dihisab dan menerima catatan amalnya, maka mereka akan memasuki surga, yang mana surga tersebut merupakan surga yang pernah ditempati oleh Nabi Adam sekaligus dihampiri oleh ruh-ruh para syuhada.
Ini menjadi dalil bahwa surga sudah ada dan telah diciptakan berada di atas langit. Disamping itu, ayat ini merupakan bantahan terhadap orang-orang mu’tazilah yang mengatakan bahwa surga belum ada([43]). Padahal Allah berfirman:
اُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِيْنَۙ
“Yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imran: 133)
Tentunya, seseorang lebih semangat beramal ketika mengetahui bahwa surga sudah ada, dari pada dia mengetahui bahwa nanti surga akan diciptakan.
Perumpamaannya adalah seperti seorang majikan berkata kepada anak buahnya: “Bekerjalah yang baik! Jika kamu bekerja dengan baik, maka saya akan buatkan rumah untukmu.” Lalu ada majikan yang lain berkata kepada anak buahnya: “Bekerjalah yang baik! Jika kamu bekerja dengan baik, maka silahkan kamu tempati rumah yang telah saya buatkan dan ini kuncinya.”
Dari perumpamaan di atas, maka yang akan lebih giat dalam bekerja adalah anak buah dari majikan yang kedua. Maka, surgapun demikian Allah telah menciptakannya. Dan diantara fungsinya adalah ruh-ruh syuhada menghampiri surga, meskipun jasadnya berada di alam barzakh, orang-orang yang meninggal berada di alam barzakh diperlihatkan surga mereka, mereka diberikan kenikmatan dengan diperlihatkan bagaimana surga.
Para ulama mengatakan bahwa surga yang ada sekarang bisa bertambah. Sebagaimana seseorang yang berdzikir maka akan ditanamkan baginya pohon kurma di surga. Dan inilah maksudnya bahwa surga bisa berkembang sesuai dengan kehendak Allah. Disamping itu, hal ini juga menunjukkan bahwa surga sudah ada([44]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشٰىۙ
“(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.” (QS. An-Najm: 16)
Allah tidak menyebutkan apakah itu sesuatu yang meliputi Sidratul Muntaha. Allah menjadikan hal itu mubham (tidak disebutkan). Artinya Nabi melihat sesuatu yang indah yang meliputi Sidratul Muntaha, yang tidak mampu untuk diungkapkan, karena begitu indahnya.([45])
Dalam pendapat salaf seperti Al-Hasan Al-Bashri mengatakan:
غَشِيَهَا نُورُ رَبِّ العالمين
“(Sidratul Muntaha) diliputi oleh cahaya Allah Rabb semesta alam.”([46])
Dan dalam riwayat lain dikatakan:
غَشِيَهَا نُورٌ مِنَ اللَّهِ حَتَّى مَا يَسْتَطِيعُ أَحَدٌ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
“(Sidratul Muntaha) diliputi oleh cahaya Allah, sehingga seseorang tidak mampu untuk melihatnya.”([47])
Ada juga yang mengatakan:
غَشِيَهَا أَلْوَانٌ، لَا أَدْرِي مَا هِيَ
“(Sidratul Muntaha) itu diliputi oleh warna-warni, yang aku tidak tahu apa warna-warni tersebut.” ([48])
Jadi, semua itu menggambarkan suatu keindahan yang Allah tidak meyebutkannya secara detail.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغٰى
“Penglihatannya (Muhammad) tidak menyimpang dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (QS. An-Najm: 17)
Artinya Nabi benar-benar fokus melihat Jibril dengan nyata. Dan ketika beliau menceritakan kepada para sahabat, beliau tidaklah mengada-ada terhadap apa yang diceritakannya. Tidak berlebih-lebihan dalam bercerita (hiperbola) ataupun menguranginya. Demikianlah beliau bercerita sebagaimana beliau melihatnya.([49])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ رَاٰى مِنْ اٰيٰتِ رَبِّهِ الْكُبْرٰى
“Sungguh, dia telah melihat sebagian tanda-tanda (kebesaran) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 18)
Sebagian ahli tafsir mengatakan: “Ini adalah keindahan-keindahan yang lainnya yang tidak disebutkan dalam ayat-ayat ini.” Diantaranya adalah Nabi telah melihat Jibril, Sidratul Muntaha dan sesuatu yang meliputinya. Dan ada keindahan-keindahan lainnya yang Allah sebutkan dalam surat ini.([50])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اَفَرَءَيْتُمُ اللّٰتَ وَالْعُزّٰى. وَمَنٰوةَ الثَّالِثَةَ الْاُخْرٰى
“Maka apakah patut kamu (orang-orang musyrik) menganggap (berhala) Al-Lata dan Al-‘Uzza. Dan Manat, yang ketiga (yang) kemudian (sebagai anak perempuan Allah).” (QS. An-Najm: 19-20)
Ayat ini merupakan paragraf baru, dimana Allah berfirman tentang sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik. Ada tiga sesembahan yang disembah oleh orang-orang kafir yaitu: Al-Lata, sesembahan yang disembah Bani Tsaqif yang berada di Tha’if([51]). Dikisahkan bahwa Al-Lata adalah orang yang shalih. Sewaktu hidup dia sering membagi-bagikan makanan kepada orang-orang yang berhaji, sehingga orang-orang mengagung-agungkan dia. Tatkala dia meninggal, maka dibangunkanlah di atas kuburannya patung/batu dengan bentuknya. Akhirnya, orang-orang setelahnya-pun menyembahnya, dan menjadikannya sebagai Tuhan kebanggan bagi orang-orang Tha’if.([52])
Adapun Al-‘Uzza adalah sesembahan orang-orang Nakhlah (suatu tempat yang terletak antara Thoif dan Mekah), karena patung tersebut berada di suatu tempat yang bernama Nakhlah. Yaitu tempat yang berupa sekumpulan pohon-pohon. Ada pula yang mengatakan dia adalah patung-patung yang dibentuk seperti pohon.([53])
Dikisahkan bahwa terdapat penjaga yang menghuni tempat tersebut. Kemudian, tatkala tiba Fathu Makkah, Nabi memerintahkan Khalid bin Al-Walid untuk menghancurkan Al-‘Uzza. Sebagaimana diriwayatkan di dalam hadits:
لَمَّا فَتْحَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ بَعَثَ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ إِلَى نَخْلَةٍ، وَكَانَتْ بِهَا الْعُزَّى، فَأَتَاهَا خَالِدٌ , وَكَانَتْ عَلَى ثَلَاثِ سَمُرَاتٍ([54])، فَقَطَعَ السَّمُرَاتِ، وَهَدَمَ الْبَيْتَ الَّذِي كَانَ عَلَيْهَا، ثُمَّ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ فَإِنَّكَ لَمْ تَصْنَعْ شَيْئًا , فَرَجَعَ خَالِدٌ، فَلَمَّا بَصُرَتْ بِهِ السَّدَنَةُ وَهُمْ حَجَبَتُهَا، أَمْعَنُوا فِي الْجَبَلِ , وَهُمْ يَقُولُونَ: يَا عُزَّى يَا عُزَّى، فَأَتَاهَا خَالِدٌ , فَإِذَا امْرَأَةٌ عُرْيَانَةٌ , نَاشِرَةٌ شَعْرَهَا , تَحْتَفِنُ التُّرَابَ عَلَى رَأْسِهَا، فَعَمَّمَهَا بِالسَّيْفِ حَتَّى قَتَلَهَا، ثُمَّ رَجَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرَهُ , فَقَالَ: تِلْكَ الْعُزَّى
“Tatkala Rasulullah menaklukan kota Makkah, beliau mengutus Khalid bin Al-Walid pergi menuju Nakhlah, yang disana terdapat (berhala bernama) Al-‘Uzza. Lalu Khalid-pun mendatanginya. Ternyata Al-‘Uzza adalah tiga pohon besar, lalu diapun menebang ketiga pohon tersebut. Pohon-pohon tersebut berada di dalam bangunan, lalu Khalid pun menghancurkan bangunan tersebut. Kemudian dia mendatangi Nabi dan memberitahukan kepada beliau. Lalu beliau bersabda: “Kembalilah, sesungguhnya kamu belum berbuat apa-apa.” Lalu Khalidpun kembali lagi. Tatkala para penjaga (juru kunci) melihat kedatangannya, mereka melihat ke arah gunung sambal berteriak: “Wahai ‘Uzza, wahai ‘Uzza.” Setelah itu Khalid mendatanginya, ternyata dia adalah seorang perempuan yang telanjang, terurai rambutnya, dia sedang menghamburkan debu di atas kepalanya. Lalu Khalid pun menyabetkan pedangnya dan membunuhnya. Kemudian dia kembali kepada Nabi dan memberitahukannya. Setelah itu beliau bersabda: “Itu adalah Al-‘Uzza.” ([55])
Al-‘Uzza adalah berhala yang diagung-agungkan dan dibanggakan oleh Quraisy, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Sufyan tatkala masih kafir pada perang Uhud,
إِنَّ لَنَا العُزَّى وَلاَ عُزَّى لَكُمْ
“Sesungguhnya kami memiliki Al-‘Uzza dan kalian tidak memiliki (Al-‘Uzza).” ([56])
Adapun Manat adalah berhala yang terletak di Musyallal ([57]) yang diagung-agungkan oleh suku Al-Aus dan Al-Khazraj ([58]).
Di dalam ayat ini terdapat korelasi dengan paragraf sebelumnya. Allah membantah orang-orang kafir tentang berhala-berhala yang mereka sembah. Pantaskah berhala-berhala tersebut disembah? Apakah mereka tidak mengetahui malaikat Jibril yang begitu agung, memiliki bentuk sangat indah, sangat cerdas dan kuat, menurunkan wahyu dari Allah kepada Nabi. Artinya Allah telah memuji dan memberikan sifat-sifat agung kepada makhlukNya yang agung, yaitu Jibril diantara makhluk-makhlukNya yang lain. Namun, dia tidak pantas untuk disembah. Maka, bagaimana dengan berhala-berhala yang mereka sembah? Sesembahan yang sama sekali tidak memiliki keutamaan sedikitpun, apakah pantas untuk disembah?([59])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman
أَلَكُمُ الذَّكَرُ وَلَهُ الْاُنْثٰى
“Apakah (pantas) untuk kamu yang laki-laki dan untuk-Nya yang perempuan?” (QS. An-Najm: 21)
Orang-orang kafir Quraisy dan musyrikin dari segala penjuru Arab menganggap berhala-berhala dan sesembahan mereka adalah putri-putri Allah. Maka dari itu, mereka menamakannya dengan Al-Lata (اللَّاتَ) yaitu nama perempuan dari (الإِلَه). Lalu (العُزَّى) yaitu nama perempuan dari (العَزِيْز). Lalu (الْمَنَاة) yaitu nama perempuan dari (الْمَنَّان). Artinya mereka meyakini bahwa berhala-berhala yang mereka sembah adalah putri-putri Allah. Dan dalam ayat ini Allah membantah anggapan mereka yang sesat. Apakah kalian senang dengan anak laki-laki, sementara kalian menyatakan bagi Allah anak-anak perempuan?([60])
Hal itu dikarenakan mereka tidak menyukai apabila mereka memiliki anak perempuan. Jika mereka memiliki anak perempuan, maka mereka akan membunuhnya,
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثٰى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَّهُوَ كَظِيْمٌۚ. يَتَوٰرٰى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْۤءِ مَا بُشِّرَ بِهۗ اَيُمْسِكُهُ عَلٰى هُوْنٍ اَمْ يَدُسُّهُ فِى التُّرَابِۗ اَلَا سَاۤءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58)
Mereka tidak suka anak perempuan, mereka akan merasa malu dan bahkan mereka akan membunuhnya. Namun, dengan kebencian itu mereka mengatakan bahwa Allah memiliki anak perempuan.([61])
تِلْكَ إِذًا قِسْمَةٌ ضِيْزٰى
“Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil.”
Seakan orang-orang kafir tidak memiliki otak. Karena, seandainya Allah mempunyai anak, maka itu tidak akan mungkin. Apalagi anak tersebut adalah perempuan. Jadi, ada dua kesalahan besar pada anggapan sesat orang-orang kafir. Pertama: Mereka meyakini bahwa Allah mempunyai anak, wal iyadzu billah. Kedua: Mereka mengatakan bahwa sesembahan-sesembahan mereka dan malaikat-malaikat adalah putri-putri Allah. Maha suci Allah atas tuduhan-tuduhan mereka.([62])
Diantara dalil bahwa mereka menganggap bahwa sesembahan mereka adalah perempuan, sebagaimana ucapan Abu Bakar dalam peristiwa perjanjian Hudaibiyyah, terjadi perdebatan antara Abu Bakar dengan ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafiy, yaitu salah seorang tokoh mereka ketika masih kafir. Maka, Abu Bakar pun marah seraya berkata:
امْصُصْ بِبَظْرِ اللَّاتِ
“Hisaplah kemaluan (klitoris) berhala Laata.” ([63])
Ini menunjukkan bahwa mereka menganggap berhala mereka Al-Laata adalah perempuan, putri-putri Allah. Maka pada ayat ini Allah membantah anggapan mereka. Yang demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil. ([64])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِنْ هِيَ اِلَّآ اَسْمَاۤءٌ سَمَّيْتُمُوْهَآ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللّٰهُ بِهَا مِنْ سُلْطٰنٍۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَمَا تَهْوَى الْاَنْفُسُۚ وَلَقَدْ جَاۤءَهُمْ مِّنْ رَّبِّهِمُ الْهُدٰىۗ
“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk (menyembah)nya. Mereka hanya mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya. Padahal sungguh, telah datang petunjuk dari Tuhan mereka.” (QS. An-Najm: 23)
Ini adalah pembeda antara aqidah yang benar dengan aqidah yang salah. Semua aqidah yang benar pasti ada dalilnya. Sebaliknya, aqidah yang salah, Allah tidak menurunkan dalilnya([65]). Maka, orang-orang yang beraqidah salah, pasti akan menyandarkan sesuatu dengan ‘katanya’ dan ‘katanya’. Ungkapan tersebut menunjukkan tidak ada dasarnya sama sekali. Orang islam tidak boleh meyakini itu semua, karena hal tersebut adalah keyakinan yang dilarang. Seorang muslim tidak boleh berkeyakinan seenaknya sendiri, semuanya (yang berkaitan dengan ibadah) harus disertai dengan dalil.
Allah menghardik orang-orang kafir, karena mereka menjadikan batu, lalu memahatnya, kemudian menyembahnya dan mereka sendiri yang menamakannya Tuhan([66]). Kasus mereka, sama halnya dengan berhala-berhala di zaman sekarang. Berhala tersebut tidak mampu, berbicara, tidak mampu melihat, tidak mampu mendengar.
Jika dibandingkan dengan Jibril, malaikat yang mulia, yang cerdas nan kuat, memiliki bentuk yang sangat indah. Salah satu makhluk Allah yang paling mulia saja tidak pantas untuk disembah. apalagi dengan sekedar batu yang mereka pahat lalu disembah. Terkadang, mereka memahatnya pun dengan bentuk yang aneh. Ada Tuhan yang berkepala empat, ada yang berbadan hewan, ada yang bertangan empat, bahkan bertangan delapan, berkepala manusia atau sebaliknya berkepala hewan dan berbadan manusia, ada juga yang berkepala manusia berhidung gajah. Sungguh seandainya kita disuruh berubah menjadi seperti bentuk-bentuk tersebut tentu kita tidak mau, maka apalagi kemudian dianggap sebagai Tuhan?.
Mereka menamakannya dengan nama-nama yang mereka pasang sebagai Tuhan yang pada hakekatnya adalah hanya sebongkah batu yang dipahat. Ini menjadi bantahan telak bagi orang kafir.([67])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اَمْ لِلْاِنْسَانِ مَا تَمَنّٰىۖ
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?” (QS. An-Najm: 24)
Ayat ini adalah bantahan bagi orang-orang kafir. Karena mereka beragama dan beramal dengan mengikuti hawa nafsu mereka. Padahal, tidak boleh bagi seseorang beragama dengan seeanaknya sendiri dengan menuruti hawa nafsunya. sebagaimana Ibnu ‘Asyur mengatakan:
قُصِدَ بِهِ إِبْطَالُ نَوَالِ الْإِنْسَانِ مَا يَتَّمْنَاهُ وَأَنْ يَجْعَلَ مَا يَتَمَنَّاهُ بَاعِثًا عَنْ أَعْمَالِهِ وَمُعْتَقَدَاتِهِ بَلْ عَلَيْهِ أَنْ يَتَطَلَّبَ الْحَقَّ مِنْ دَلَائِلِهِ وَعَلَامَاتِهِ وَإِنْ خَالَفَ مَا يَتَمَنَّاهُ
“Yang dimaksudkan dengan ayat ini adalah membantah keyakinan seseorang yang menjadikan aqidah dan cara beragamanya mengikuti hawa nafsu mereka. Padahal, yang benar adalah hendaknya dia mengikuti kebenaran (hak) sesuai dengan dalil, meskipun dalil tersebut menyelisihi hawa nafsunya.” ([68])
Orang-orang kafir tidaklah memiliki tujuan dalam menyembah berhala-berhala mereka, kecuali agar mereka mendapatkan syafa’atnya pada hari kiamat kelak([69]). Sebagaimana Allah abadikan di dalam firmanNya tentang mereka ketika mengatakan:
مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰىۗ
“Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (QS. Az-Zumar: 3)
Artinya mereka berharap syafa’at dari berhala-berhala yang mereka sembah tersebut. Mereka juga berkata dalam ayat yang lain:
وَيَقُوْلُوْنَ هٰٓؤُلَاۤءِ شُفَعَاۤؤُنَا عِنْدَ اللّٰهِ ۗ
“Dan mereka berkata, “Mereka itu adalah pemberi syafaat kami di hadapan Allah.” (QS. Yunus: 18)
Artinya itu hanyalah anggapan dan persangkaan mereka. ‘Apakah setiap manusia mendapatkan apa yang dia angan-angankan?’. Angan-angan mereka adalah suatu kebatilan, bahkan hal itu merupakan suatu kesyirikan. ([70])
Banyak hal di dalam agama islam yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, lalu mereka menggantikan dengan keinginan yang lain. Contohnya adalah mereka tidak menginginkan rasulullah (utusan Allah) dari kalangan manusia, tapi dari kalangan malaikat. Sebagaimana perkataan mereka yang Allah abadikan dalam Al-Qur’an:
وَقَالُوْا مَالِ هٰذَا الرَّسُوْلِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِيْ فِى الْاَسْوَاقِۗ لَوْلَآ اُنْزِلَ اِلَيْهِ مَلَكٌ فَيَكُوْنَ مَعَه نَذِيْرًا ۙ
“Dan mereka berkata, “Mengapa Rasul (Muhammad) ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Mengapa malaikat tidak diturunkan kepadanya (agar malaikat) itu memberikan peringatan bersama dia.” (QS. Al-Furqan: 7)
Mereka juga menginginkan agar yang menjadi utusan Allah bukanlah Nabi Muhammad, tetapi orang lain, dari negeri lain. Itulah diantara keinginan mereka. Namun, keinginan mereka sama sekali tidak dipenuhi oleh Allah.([71])
Jadi, seseorang yang beragama sebagaimana cara beragama orang-orang kafir dengan dasar mengikuti hawa nafsunya adalah suatu kesalahan yang besar. Dan yang benar adalah hendaknya seseorang mengambil aqidah dan cara beragama tidak dengan mengikuti hawa nafsunya. Akan tetapi dengan mengikuti apa yang diturunkan oleh Allah dan diajarkan oleh Rasulullah([72]). Janganlah mengikuti hawa nafsu. Jika aqidah mengikuti hawa nafsu, maka hal itu tidaklah dibenarkan. Maka dari itu Allah berfirman:
اَمْ لِلْاِنْسَانِ مَا تَمَنّٰىۖ
“Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya?”
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلِلّٰهِ الْاٰخِرَةُ وَالْاُوْلٰى ࣖ
“(Tidak!) Maka milik Allah-lah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia.” (QS. An-Najm: 25)
Kehidupan akhirat dan dunia hanyalah milik Allah semata, maka manusia harus mengikuti aturan-aturan Allah, terutama dalam urusan aqidah.([73])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَمْ مِّنْ مَّلَكٍ فِى السَّمٰوٰتِ لَا تُغْنِيْ شَفَاعَتُهُمْ شَيْـًٔا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اَنْ يَّأْذَنَ اللّٰهُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَرْضٰى
“Dan betapa banyak malaikat di langit, syafaat (pertolongan) mereka sedikit pun tidak berguna kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhai.” (QS. An-Najm: 26)
Ayat ini juga merupakan bantahan bagi orang-orang kafir sebagaimana ayat-ayat sebelumnya, namun dari sisi yang lain. Mereka sangat berharap untuk mendapatkan syafa’at-syafa’at dari berhala-berhala mereka. Maka, di dalam ayat ini Allah mengajak mereka agar berpikir betapa banyaknya Allah menciptakan malaikat, tidak satupun dari mereka yang memberikan manfaat dengan memberikan syafa’at kepada orang-orang kafir. Kecuali setelah izin dari Allah kepada orang yang Dia kehendaki dan Dia ridhai. ([74])
Secara umum, syafa’at memiliki dua syarat. Pertama: izin Allah kepada pemberi syafa’at. Kedua: ridha Allah kepada orang yang diberikan syafa’at. Jika dua syarat ini tidak terpenuhi, maka Allah tidak akan memberikan syafa’atNya.([75])
Disamping itu, ayat ini tidak bermaksud bahwa malaikat memberi syafa’at kemudian ditolak. Namun, maksudnya adalah para malaikat tidak berani memberikan syafa’at kecuali dengan izin dari Allah. Setelah mereka tahu bahwa Allah telah mengizinkan mereka untuk memberikan syafa’at, saat itu pula mereka berani untuk memberikan syafa’atnya. ([76])
Hal ini menunjukkan bahwa semua kembali kepada Allah. Berbeda dengan raja-raja di dunia, mereka membutuhkan para menteri dan pembantu. Terkadang para mentri berani memutuskan sesuatu atau memberikan suatu manfaat tanpa sepengetahuan sang Raja. Atau paling tidak para mentri berani memberi rekomendasi tanpa harus menunggu izin dari sang raja. Karena seorang Raja membutuhkan menteri dan anak buah, sehingga mereka berani untuk memutuskan sesuatu tanpa persetujuan Rajanya.
Adapun Allah, Dia tidak butuh kepada malaikat, para Nabi atau siapapun. Sehingga tidak ada satupun yang langsung berani memberikan syafa’at. Bahkan, Nabi tatkala di padang Mahsyar tidak langsung memberikan syafa’at. Namun, beliau sujud terlebih dahulu dengan lama, agar diizinkan untuk memberikan syafa’at. Maka setelah itu Alah berfirman di dalam hadits qudsi,
يَا مُحَمَّدُ ارْفَعْ رَأْسَكَ، وَقُلْ يُسْمَعْ لَكَ، وَسَلْ تُعْطَ، وَاشْفَعْ تُشَفَّعْ
“Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu, berkatalah, engkau akan didengar, mintalah, engkau akan diberikan, berilah syafa’at, engkaupun akan diberi syafa’at.” ([77])
Para malaikat sangat menginginkan agar kaum muslimin diampuni. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah:
وَيَسْتَغْفِرُوْنَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْاۚ رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَّعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِيْنَ تَابُوْا وَاتَّبَعُوْا سَبِيْلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ الْجَحِيْمِ
“Dan (Malaikat-malaikat) memohonkan ampunan untuk orang-orang yang beriman (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu yang ada pada-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan (agama)-Mu dan peliharalah mereka dari azab neraka yang menyala-nyala.” (QS. Ghafir: 7)
Hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat sayang kepada orang-orang yang beriman. Namun, mereka tidak mampu memberikan syafa’at kepada orang-orang beriman, kecuali setelah mendapatkan izin dari Allah. ([78])
Secara tidak langsung, Allah mengajak berpikir kepada orang-orang musyrik. Bahwa disana terdapat makhluk Allah, yaitu para malaikat yang tinggi lagi mulia, tidak pernah bermaksiat dan kedudukannya dekat dengan Allah. Namun, mereka tidak bisa memberi syafa’at, kecuali dengan izin Allah. Maka, bagaimana dengan patung-patung yang mereka sembah yang tidak bisa berbuat apapun, bahkan mereka yang membuatnya dengan tangan mereka sendiri. Lalu mereka mengharapkan syafa’at dari benda-benda tersebut?([79])
اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ اَنْ يَّأْذَنَ اللّٰهُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ وَيَرْضٰى
“kecuali apabila Allah telah mengizinkan (dan hanya) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Dia ridhai.”
Intinya adalah jika seseorang ingin mendapatkan syafa’at, maka hendaknya dia mencari keridhaan Allah. Jika dia telah diridhai Allah, maka siapapun bisa memberikan syafa’at kepadanya. Sebaliknya, jika seseorang tidak diridhai Allah, maka siapapun tidak akan mampu memberikan syafa’at kepadanya, karena Allah tidak ridha. ([80])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
اِنَّ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ لَيُسَمُّوْنَ الْمَلٰۤىِٕكَةَ تَسْمِيَةَ الْاُنْثٰى
“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sungguh mereka menamakan para malaikat dengan nama perempuan”. (QS An-Najm : 27)
Yang dimaksud dalam firman Allah ﷻ “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat” adalah orang-orang musyrikin Arab para penyembah berhala. Dan maksud dari لَيُسَمُّوْن”َ” yang artinya “menamakan” maksudnya adalah “لَيَصِفُونَ” yaitu menyifati para malaikat dengan sifat-sifat kewanitaan karena di antara keyakinan mereka bahwa berhala-berhala mereka seperti Latta, ‘Uzza dan Manaath adalah putri-putri Allah ﷻ ([81]). Sebagian mereka juga berkeyakinan bahwa para malaikat adalah putri-putri Allah, sebagaimana tertera dalam firman-Nya,
وَجَعَلُوا الْمَلٰۤىِٕكَةَ الَّذِيْنَ هُمْ عِبٰدُ الرَّحْمٰنِ اِنَاثًا ۗ اَشَهِدُوْا خَلْقَهُمْ ۗسَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْٔـَلُوْنَ
“Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba-hamba (Allah) Yang Maha Pengasih itu sebagai jenis perempuan. Apakah mereka menyaksikan penciptaan (malaikat-malaikat itu)? Kelak akan dituliskan kesaksian mereka dan akan dimintakan pertanggungjawaban” (QS Az-Zukhruf : 19)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا لَهُمْ بِه مِنْ عِلْمٍۗ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِيْ مِنَ الْحَقِّ شَيْـًٔاۚ
“Dan mereka tidak mempunyai ilmu tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti dugaan, dan sesungguhnya dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran”. (QS An-Najm : 28)
Ayat ini menjelaskan kepada kita tentang bahaya membangun Aqidah di atas dugaan dan prasangka, katanya batu ini bisa begini dan katanya pohon ini bisa begitu dst, karena Allah mencela orang-orang yang berbuat demikian bahwa dugaan itu tidak berfaedah sedikit pun terhadap kebenaran.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاَعْرِضْ عَنْ مَّنْ تَوَلّٰىۙ عَنْ ذِكْرِنَا وَلَمْ يُرِدْ اِلَّا الْحَيٰوةَ الدُّنْيَاۗ
Maka tinggalkanlah (Muhammad) orang yang berpaling dari peringatan Kami, dan dia hanya mengingini kehidupan dunia. (QS An-Najm : 29)
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa yang dipikirkan oleh orang-orang musyrikin hanyalah kehidupan dunia, mereka tidak ingin mendengarkan Al-Qur’an karena di dalamnya terkandung peringatan tentang kehidupan akhirat. Sesungguhnya memikirkan kehidupan akhirat hanya akan menjadikan mereka resah dan gelisah.
Adapun maksud dari meninggalkan “orang-orang yang berpaling dari peringatan kami” (Allah ﷻ) sebagaimana dijelaskan oleh para ulama adalah untuk tidak terlalu perhatian akan keselamatan mereka dan jangan terlalu bersedih. Dan bukan berarti berpaling sama sekali kemudian meninggalkan dakwah kepada mereka sama sekali karena yang terpenting adalah menegakkan hujjah kepada mereka dan jangan terlalu perhatian karena mereka sendiri yang ingin menjauh dari peringatan Allah ﷻ. ([82])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ذٰلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِّنَ الْعِلْمِۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِه وَهُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدٰى
“Itulah kadar ilmu mereka. Sungguh, Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS An-Najm : 30)
Ibnu ‘Athiyyah rohimahullah menyebutkan dalam kitab tafsir beliau Al-Muharror Al-Wajiz bahwasanya ilmu terbagi menjadi dua, ilmu yang berkaitan tentang dunia dan ilmu yang berkaitan dengan akhirat([83]). Dalam islam kita dituntut untuk mempelajari keduanya sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
“Bersemangatlah pada perkara yang bermanfaat bagimu!” ([84])
Manfaat di sini umum baik itu manfaat yang bersifat duniawi atau ukhrowi([85]). Dan Islam menganjurkan kita untuk mencari kedua manfaat tersebut sebagaimana doa yang senantiasa kita panjatkan,
رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka” (QS Al-Baqoroh : 201)
Akan tetapi orang-orang yang kafir ilmu mereka hanya terfokus pada kehidupan dunia saja, dan tentang kehidupan akhirat mereka tidak tahu apa-apa([86]). Sehingga Allah berfirman tentang mereka,
ذٰلِكَ مَبْلَغُهُمْ مِّنَ الْعِلْمِۗ
“Itulah kadar ilmu mereka” karena ilmu mereka hanya sebatas ilmu dunia saja. Bahkan sebagian mereka ada yang pakar dalam kedokteran tapi tidak paham masalah akhirat sama sekali, sebagian mereka ada yang pakar astronomi ada pula yang menciptakan pesawat luar angkasa (Apollo) akan tetapi semua itu mereka curahkan untuk menguasai ilmu dunia tapi mereka tidak tahu tentang ilmu akhirat sama sekali. Mereka tidak tahu bahwasanya dibalik kehidupan ini ada kematian dan setelah itu ada kehidupan yang abadi.
Firman Allah ﷻ :
اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِه وَهُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اهْتَدٰى
“Sungguh, Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pula yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”.
Oleh karenanya masing-masing dari dua kelompok ini akan mendapatkan balasan dari sisi Allah ﷻ, yang mendapatkan petunjuk Allah akan balas dengan surga dan yang tersesat Allah akan balas dengan neraka Jahannam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِلّٰهِ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ لِيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَسَاۤءُوْا بِمَا عَمِلُوْا وَيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا بِالْحُسْنٰى
“Dan milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).” (QS An-Najm : 31)
Jika kita cermati ayat ini maka akan kita dapati susunan yang berbeda seharusnya secara susunan dalam bahasa arab مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ للهِ yaitu “Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi milik Allah” akan tetapi kata لله di kedepankan dan ini yang disebut dalam bahasa arab sebagai “تَقدِيمُ مَا حَّقُّهُ التَّأخِير” yaitu “Mengedepankan (kata/kalimat) yang seharusnya berada di akhir” fungsinya adalah “إِفَادَةُ الحَصر” memberikan faedah pembatasan([87]), sehingga terjemahan dalam bahasa Indonesia adalah “Dan hanya milik Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. Semua yang ada di alam semesta ini hanya milik Allah ﷻ sehingga Dia berhak untuk mengatur apa yang Dia kehendaki dan membalas dengan apa yang Dia kehendaki.
Kemudian firman Allah ﷻ
لِيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَسَاۤءُوْا بِمَا عَمِلُوْا وَيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا بِالْحُسْنٰىۚ
Agar Dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan dan Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).
Huruf “ل” pada firman Allah ﷻ لِيَجْزِيَ yang bermakna “Agar” dalam bahasa Arab dinamakan sebagai لاَمُ الْعَاقِبَةِ “laamul ‘aaqibah” yaitu huruf laam yang berfungsi menjelaskan kesudahan (akibat) dari suatu pekerjaan([88]), bukan laam yang berfungsi menjelaskan tujuan dari suatu pekerjaan yang dalam bahasa Arab disebut sebagai “laamul kay” contoh : آكُلُ لِأشْبَعَ artinya “Saya makan agar kenyang”.
Diantara contoh “laamul ‘aaqibah” seperti yang digunakan pada ayat diatas adalah perkataan seorang penyair Arab,
لِدثوا لِلْمَوْتِ
Yang artinya “Lahirlah kalian agar (untuk) mati!” maksudnya bukan lahir untuk (dengan tujuan) mati, akan tetapi tapi “lahirlah dan kesudahannya pasti kalian akan mati”.
وابْنُوا لِلْخَرَابِ
“dan bangunlah (bangunan) untuk kehancuran!” maksudnya bukan membangun bangunan (dengan tujuan) untuk dihancurkan, akan tetapi “Buatlah bangunan dan kesudahannya pasti akan hancur”. ([89])
Kedua laam tersebut laamul ‘aqibah dan laamul kay mirip cara bacanya karena keduanya sama-sama dibaca لِ (dengan kasrah) akan tetapi keduanya memiliki fungsi yang berbeda.
Contoh laamul ‘aaqibah dalam Al-Quran adalah firman Allah ﷻ
فَالْتَقَطَه اٰلُ فِرْعَوْنَ لِيَكُوْنَ لَهُمْ عَدُوًّا وَّحَزَنًاۗ
“Maka dia dipungut oleh keluarga Fir‘aun agar (kelak) dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. (QS Al-Qhososh : 8)
Tidak tepat jika dikatakan bahwa laam pada ayat diatas adalah laamul kay sehingga maknanya Musa dipungut agar menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Laam pada ayat diatas berfungsi menjelaskan kesudahan dari apa yang mereka lakukan bahwasanya Musa kecil yang mereka pungut kelak akan menjadi musuh dan mendatangkan kesedihan bagi mereka dan ini yang dinamakan dengan “laamul ‘aaqibah”.
Firman Allah ﷻ,
وَيَجْزِيَ الَّذِيْنَ اَحْسَنُوْا بِالْحُسْنٰىۚ
Dia akan memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).
Disini timbul pertanyaan, siapakah orang-orang tersebut? Kata Allah ﷻ dalam ayat selanjutnya :
اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ اِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِۗ هُوَ اَعْلَمُ بِكُمْ اِذْ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاِذْ اَنْتُمْ اَجِنَّةٌ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْۗ فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى
“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, kecuali kesalahan-kesalahan kecil. Sungguh, Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu. Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (QS. An-Najm : 32)
Ayat ini menjelaskan tentang ciri-ciri para penghuni surga diantaranya, menjauhi dosa-dosa besar. Allah ﷻ tidak mengatakan, “Orang-orang yang tidak melakukan dosa-dosa besar” akan tetapi “Orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar” karena kata “Menjauhi” lebih sempurna dari pada tidak melakukan. Bisa jadi seorang tidak melakukan dosa besar akan tetapi ia dekat dan mengarah kepada perbuatan tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ atau الكَبِيرَةُ“dosa-dosa besar” adalah dosa-dosa yang diancam dengan neraka secara khusus. Meskipun semua dosa diancam dengan neraka akan tetapi sebagian dosa ada yang disebutkan ancaman neraka secara khusus dan inilah yang dinamakan dengan dosa besar.
Adapun الْفَوَاحِشَ menurut pendapat sebagian ulama adalah dosa-dosa besar yang terancam dengan hukuman had([90]), seperti mencuri, berzina, praktik homo seksual dan selainnya. Pendapat lain menyebutkan bahwa semua termasuk dari kabair tetapi Al-Fawahisy adalah perbuatan yang keji yang mana menurut logika seseorang hal itu adalah perbuatan buruk([91]) karena ada dosa-dosa besar yang kita tidak tahu dengan logika kita akan tetapi syariat menjelaskan, contoh seperti sholatnya seseorang tanpa wudhu terlebih dahulu, ini adalah dosa besar yang kita tahu melalui syariat.
Banyak perbuatan yang haram meskipun tidak ada dalil tapi kita tahu itu adalah perbuatan keji semisal zina, mencuri dan membunuh kita tahu bahwa hal-hal tersebut tidak benar dan keji meskipun seandainya tidak ada dalil dari syariat namun logika kita tahu bahwa hal-hal tersebut adalah perbuatan keji. Intinya Al-kabair dan Al-Fawahisy adalah dosa-dosa besar akan tetapi ulama khilaf kenapa dipisahkan penyebutannya dalam ayat di atas.
Kata Allah ciri-ciri penghuni syurga mereka menjauhi Al-Kabair dan Al-fawahisy kecuali اللَّمَم mereka tidak bisa meninggalkannya. Apakah yang dimaksud dengan اللَّمَم ? Terdapat khilaf diantara para ulama secara umum banyak pendapa tapi terfokus pada dua pendapat([92]):
- Pendapat pertama mengatakan adalah dosa-dosa kecil yang mana seseorang tidak dapat menghindar darinya. Di antara contoh dosa-dosa kecil adalah memandang yang haram menyentuh yang haram, mencium yang diharamkan ini adalah dosa-dosa kecil yang tidak sampai pada derajat zina. Banyak oang tidak mampu menghindar dari dosa-dosa tersebut. Jika diartikan dengan dosa-dosa kecil maka pengecualian di sini disebut dengan ististina’ munqoti’ (pengecualian yang terputus) maksudnya yang dikecualikan bukan bagian dari yang awal contoh : “Seluruh murid hadir kecuali Budi”, Budi adalah murid, ini yang dinamakan istisna’ muttashil (pengecualian yang tersambung) karena budi bagian dari murid kelas. Adapun contoh istisna’ munqhoti’ : “Seluruh murid hadir dikelas kecuali pak satpam”, inilah yang dinamakan pengecualian yang terputus karena pak satpam bukan bagian dari murid kelas. Contoh istisna’ munqhoti’ dalam Al-Quran juga terdapat dalam firman Allah ﷻ ketika menceritakan tentang iblis
وَاِذْ قُلْنَا لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اسْجُدُوْا لِاٰدَمَ فَسَجَدُوْٓا اِلَّآ اِبْلِيْسَۗ اَبٰى وَاسْتَكْبَرَۖ وَكَانَ مِنَ الْكٰفِرِيْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, “Sujudlah kamu kepada Adam!” Maka mereka pun sujud kecuali Iblis. Ia menolak dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang kafir“. (QS Al Baqoroh : 36)
“Maka mereka pun sujud kecuali Iblis” ini adalah istisna’ munqhothi’ karena Iblis bukan bagian dari malaikat.
Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa ayat diatas yang menjelaskan bahwa orang-orang yang masuk surga adalah orang-orang yang menjauhkan diri dari dosa-dosa besar kecuali dosa-dosa kecil, adalah istisna’ munqhoti’. Oleh karena itu menurut pendapat ini dosa-dosa kecil yang setiap manusia tidak bisa terbebas darinya maka akan diampuni oleh Allah ﷻ dan dosa-dosa tersebut bukan bagian dari dosa-dosa besar dan bukan merupakan dosa-dosa yang menghalangi seseorang masuk kedalam surga, sebagaimana firman Allah ﷻ :
إنْ تَجْتَنِبُوْا كَبَاۤىِٕرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّاٰتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُّدْخَلًا كَرِيْمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu dan akan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)“. (QS An Nisa’ : 31)
Maka hendaknya seseorang berusaha dalam kehidupannya untuk selalu menghindar dari dosa-dosa besar ketika suatu saat terjerumus dalam dosa-dosa kecil maka kemungkinan besar Allah akan hapuskan dosa-dosa kecilnya tersebut yang tidak bisa ia hindari.
- Makna yang kedua adalah dosa besar yang pernah dilakukan oleh seseorang kemudian tidak pernah mengulanginya lagi. Maka makna ayat menurut pendapat ini bahwa orang-orang yang akan masuk surga adalah orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari dari dosa-dosa besar dan Al-fawahisy kecuali dosa besar yang pernah mereka lakukan dahulu dan mereka tidak mengulanginya lagi. Berdasarkan pendapat ini maka istisna’ dalam ayat ini adalah istisna’ muttashil (pengecualian yang bersambung) karena bagian dari dosa besar hanya saja dia tidak pernah mengulanginya lagi artinya orang yang terjerumus dalam dosa-dosa besar seperti, zina, homoseksual atau riba misalnya maka tetap berhak masuk surga jika ia bertobat kepada Allah ﷻ dan tidak mengulanginya lagi.
Manakah di antara dua pendapat ini yang benar? Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan keduanya benar([93]), kesimpulannya orang yang selalu menjauhkan diri dari dosa-dosa besar kemudian terjerumus ke dalam dosa-dosa kecil maka dosa-dosa tersebut tidak menghalanginya untuk masuk ke dalam surga atau orang yang pernah terjerumus ke dalam dosa-dosa besar akan tetapi dia tidak mengulanginya lagi entah itu zina, membunuh atau bahkan berbuat syirik maka tidak menghalangi dia untuk masuk surga karena tidak pernah ada syarat seseorang bisa masuk surga harus suci dari dosa-dosa. Tapi syarat masuk surga jika seseorang melakukan dosa hendaknya bertobat kepada Allah ﷻ dan tidak mengulanginya lagi.
Adapun اللَّمَم menurut pendapat pertama adalah dosa-dosa kecil yang tidak diulangi terus-menerus akan tetapi dia berusaha menghindarinya meskipun terkadang terjerumus kembali, bukan dosa yang dia sengaja untuk terus menerus melakukannya karena makna اللَّمَم dalam bahasa Arab menunjukkan sesuatu yang tidak berkesinambungan. Seperti perkataan Al Qurthuby dalam tafsirnya,
وَالْعَرَبُ تَقُولُ مَا يَأْتِينَا إِلَّا لِمَامًا، أَيْ فِي الْحِينِ بَعْدَ الْحِينِ
“Orang-orang Arab dahulu berkata, “Hal itu tidaklah datang kepada kami kecuali لِمَامًا kadang-kadang saja (tidak terus-terusan)”([94]).
Kesimpulannya dosa-dosa kecil yang tidak menghalangi seseorang masuk surga adalah dosa-dosa kecil yang tidak dilakukan secara terus menerus oleh pelakunya. Adapun orang yang terus-terusan melakukan dosa kecil dapat menghalangi dia untuk masuk surga. Hendaknya seseorang yang terjatuh dalam dosa-dosa kecil segera beristighfar dan tidak Ishrar (terus-menerus) dalam dosa-dosanya, sebagaimana perkataan para ulama
لاَ صَغِيرَةَ مَعَ الإِصْرَارِ وَلاَ كَبِيرَةَ مَعَ الاِستِغْفَارِ
“Tidak dinamakan dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus dan tidak pula dianggap dosa besar jika dia bertobat darinya”([95]).
Ini merupakan kabar gembira bagi kita, siapakah di antara kita yang dapat luput dari dosa-dosa kecil di zaman sekarang? Dengan adanya internet dan berbagai macam aplikasi media sosial yang dapat menyeret seseorang untuk terjerumus ke dalam berbagai macam dosa-dosa kecil. Kita berharap semoga dosa-dosa kecil tersebut diampuni oleh Allah ﷻ kemudian hendaknya kita juga menjauhi dosa-dosa besar dengan belajar dan membaca di antaranya kitab Al-Kabair karya Imam Ad-Dzahabi, hendaknya kita baca dan hindari semuanya bahkan di antara dosa besar juga adalah mendengarkan musik sebagaimana di masukkan ke dalam kategori dosa besar oleh para ulama Syafi’iyah. Apabila suatu saat kita terjerumus ke dalam dosa kecil maka insya Allah akan diampuni oleh Allah ﷻ dengan catatan dosa-dosa kecil tersebut tidak kita lakukan terus menerus.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala ,
اِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِۗ
“Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya”. Ini kembali ke dua pendapat tadi, bahwa orang-orang yang melakukan dosa-dosa kecil yang tidak mampu terhindar darinya atau dosa-dosa besar kemudian bertobat dan tidak melakukannya lagi maka sesungguhnya Allah ﷻ maha luas ampunan-Nya. Allah ﷻ berfirman :
هُوَ اَهْلُ التَّقْوٰى وَاَهْلُ الْمَغْفِرَةِ
“Dialah Tuhan yang patut (kita) bertakwa kepada-Nya dan yang berhak memberi ampunan“. (QS Al Mudatsir : 56)
Seorang penyair juga berkata :
يا ربِّ إنْ عَظُمَتْ ذُنُوْبِيْ كَثْرَةً … فَلَقَدْ عَلِمْتُ بِأَنَّ عَفْوَكَ أَعْظَمُ
“Ya Allah kalau seandainya dosa-dosaku sangat banyak….sungguh aku mengetahui bahwa ampunan-Mu lebih besar”. ([96])
Kemudian firman Allah ﷻ :
هُوَ اَعْلَمُ بِكُمْ اِذْ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاِذْ اَنْتُمْ اَجِنَّةٌ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْۗ
“Dia mengetahui tentang kamu, sejak Dia menjadikan kamu dari tanah lalu ketika kamu masih janin dalam perut ibumu”.
Ayat ini menjelaskan bahwasanya bukan hanya sekarang Allah tahu tentang diri kita. Jangankan kondisi kita sekarang, waktu kita belum ada Allah tahu dan Allah juga tahu kondisi kita saat kita masih berbentuk janin dalam perut ibu-ibu kita apalagi sekarang ketika kita sudah terlahir ke dunia maka Allah tahu semuanya jangan sampai kita merasa ada perkara yang Allah tidak ketahui dari kita. Oleh karenanya,
فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى
“Janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa”
Para ulama memaknai ayat ini dengan dua tafsiran, kata Ibnu ‘Asyur bahwasanya maknanya adalah janganlah menganggap diri kalian suci([97]) baik dengan keyakinan ataupun dengan perkataan ataupun dengan isyarat yang menunjukkan seakan-akan kalian adalah wali-wali Allah dan seakan akan kalian adalah orang-orang saleh. Atau maknanya jangan kalian menganggap suci orang lain dengan perkataan kalian, “Si Fulan diridhoi dan dimuliakan oleh Allah ﷻ” atau “Si Fulan masuk surga” dan sebagainya. Semua itu yang tahu hanyalah Allah ﷻ dan Allah lebih tahu siapa saja yang bertakwa kepada-Nya.
Kenapa dimaknai juga jangan menganggap orang lain suci dan tidak cukup hanya bermakna jangan menganggap diri kalian suci? karena كُمْ dalam firman Allah اَنْفُسَكُمْ yang artinya “kalian” bisa dimaknai dengan “diri kalian” bisa juga dimaknai dengan “sesama kaum muslimin” sebagaimana firman Allah dalam surat Al Hujurat,
وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ
“Jangan kalian mencela diri kalian (dan jangan sebagian kalian mencela sebagian yang lain)”. (QS Al-Hujurat : 11)
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Al Bukhari rohimahullahu ta’aala tentang wafatnya Ustman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu seorang sahabat yang terkenal rajin beribadah
أَنَّ أُمَّ العَلاَءِ، امْرَأَةً مِنَ الأَنْصَارِ بَايَعَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ: أَنَّهُ اقْتُسِمَ المُهَاجِرُونَ قُرْعَةً فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ، فَأَنْزَلْنَاهُ فِي أَبْيَاتِنَا، فَوَجِعَ وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ، فَلَمَّا تُوُفِّيَ وَغُسِّلَ وَكُفِّنَ فِي أَثْوَابِهِ، دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ: رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ، فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ: لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ؟» فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَنْ يُكْرِمُهُ اللَّهُ؟ فَقَالَ: «أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ اليَقِينُ، وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الخَيْرَ، وَاللَّهِ مَا أَدْرِي، وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ، مَا يُفْعَلُ بِي» قَالَتْ: فَوَاللَّهِ لاَ أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا
“bahwa Ummul ‘Ala seorang wanita anshar yang pernah berbai’at kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarinya; bahwasanya para sahabat kaum Anshoor mengadakan undian tentang pembagian kaum Muhajirin, yaitu dalam pembagian untuk menjamu dan melayani kaum muhajirin. Maka Utsman bin mazh’un (salah seorang Muhajirin) mendapat bagian untuk kami jamu dan tinggal di tempat kami. Mak kami tempatkan beliau di dalam rumah kami, kemudian ia sakit yang menyebabkan kematiannya. Tatkala ia meninggal, dia dimandikan dan dikafankan dalam kainnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk. Lantas saya berkata, “Allah merahmati engkau wahai Abu Saib (kunyahnya Útsman bin Madzúun), dan aku bersaksi terhadap dirimu, sungguh Allah telah memuliakanmu”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Dari mana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya?” Saya menjawab; “Dengan ayahku sebagai tebusanmu wahai Rasulullah, lantas siapakah yang dimuliakan Allah?”. Rasulullah bersabda; “Adapun dia, demi Allah, kematian telah merenggutnya, demi Allah, sungguh aku berharap ia memperoleh kebaikan, dan demi Allah, saya tidak tahu bagaimana aku diperlakukan nanti sedang aku Rasulullah.” Kata Ummul ‘Ala, “Demi Allah, saya sama sekali tidak akan mentazkiyah (menyatakan seseorang dimuliakan Allah) seorangpun setelahnya selamanya.” ([98])
Dalam riwayat lain disebutkan tambahan,
فَأَحْزَنَنِي ذَلِكَ فَنِمْتُ فَأُرِيتُ لِعُثْمَانَ عَيْنًا تَجْرِي، فَجِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ذَاكَ عَمَلُهُ»
“hal itu menjadikanku sedih sehingga aku tidur dan aku bermimpi melihat ‘Utsman mempunyai mata air yang mengalir, dan aku kabarkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, dan beliau bersabda, “Itulah amalnya.” ([99])
Beliau sewaktu masih hidup adalah seorang Murobith yaitu seseorang yang berjaga di perbatasan sewaktu perang, maka orang yang beramal sebagai seorang murobith amalannya akan terus mengalir meskipun dia sudah meninggal dunia. Disini Nabi ﷻ dikabarkan melalui wahyu tentang keadaan Ustman bin Madz’un radhiyallahu ‘anhu, adapun kita yang tidak tahu hal yang ghaib maka tidak boleh bagi kita untuk mengatakan bahwa si fulan pasti masuk surga dan lain sebagainya, karena kita tidak tahu hakikat keadaan orang tersebut yang tahu hanyalah Allah ﷻ.
Jika kita membaca siroh para sahabat radhiyallahu ‘anhum maka kita dapati tidak ada diantara mereka yang bersikap seakan-akan mereka pasti masuk surga. Abu bakar radhiyallahu anhu orang terbaik setelah Nabi ﷺ beliau pernah memegang lisannya dan berkata:
إِنَّ هذَا أَوْرَدَنِي الْمَوَارِدَ
“inilah lisanku yang telah menjerumuskanku dalam banyak hal”([100])
Dan kita tahu bahwa Abu bakar adalah orang yang sangat menjaga lisan. Adapun kita yang hidup di zaman ini sebagian kita tidak berilmu tapi rajin berkomentar, memposting kemudian membantah maka kita lebih tidak terjamin dari pada beliau. Sewaktu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu dikabarkan oleh Nabi ﷺ bahwa fulan dan fulan adalah orang-orang munafik sehingga ketika ada yang meninggal di zaman sahabat mereka menunggu Hudzaifah, kalau beliau menyolati jenazahnya berarti dia bukan orang munafik, tapi jika beliau tidak mau menyolatinya berarti dia adalah orang munafik, oleh karenanya beliau disebut sebagai shohibusirr Rasulillah ﷺ yaitu orang yang diberi rahasia oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam([101]). Zaid bin Wahb berkata :
مَاتَ رَجُلٌ مِنَ الْمُنَافِقِينَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ حُذَيْفَةُ، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: أَمِنَ الْقَوْمِ هُوَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: بِاللَّهِ، مِنْهُمْ أَنَا؟ قَالَ: «لَا، وَلَنْ أُخْبِرَ بِهِ أَحَدًا بَعْدَكَ»
“Salah seorang munafiq meninggal, maka Hudzaifah tidak menyolatkan janazahnya. Maka Umarpun berkata kepadanya, “Apakah orang itu tersmasuk kaum munafikin?”. Hudzaifah berkata, “Iya”. Maka Umarpun berkata kepadanya, “Demi Allah, apakah aku termasuk mereka?”. Hudzaifah berkata, “Tidak, dan aku tidak akan mengabarkan tentang hal ini kepada seorangpun setelah engkau”([102]).
Disini kita tahu bahwa Umar masih khawatir dirinya termasuk golongan orang-orang munafik padahal beliau berjihad dan memiliki amalan yang luar biasa bahkan Nabi ﷺ pernah menyebutkan bahwa وَعُمَرُ فِي الجَنَّةِ “Umar di surga” ([103]). Nabi juga pernah bersabda kepadanya,
«وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ قَطُّ سَالِكًا فَجًّا إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ»
“demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidak ada satu setan pun yang berjumpa denganmu pada suatu lorong melainkan dia akan mencari lorong lain selain lorong yang kamu lalui.” ([104])
Tapi itu semua tidak menjadikannya bangga dan ujub, bahkan ketika beliau berada pada penghujung hayatnya (ketika beliau ditikam) datang Ibnu Ábbas radhiallahu ánhumaa lalu memuji Umar dengan berkata :
أَبْشِرْ بِالْجَنَّةِ، صَاحَبْتَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَطَلْتَ صُحْبَتَهُ، وَوُلِّيتَ أَمْرَ الْمُؤْمِنِينَ فَقَوِيتَ وَأَدَّيْتَ الْأَمَانَةَ
“Bergembiralah dengan surga, engkau telah bersahabat dengan Rasulullah dan begitu lama perhasabatan tersebut. Engkau telah diangkat menjadi Amirul mukminin dan engkau telah kuat menjalankannya dan telah menunaikan amanah”.
Maka Umar menimpali Ibnu Ábbas dengan berkata,
أَمَّا تَبْشِيرُكَ إِيَّايَ بِالْجَنَّةِ، فَوَاللهِ لَوْ أَنَّ لِي الدُّنْيَا بِمَا فِيهَا لافْتَدَيْتُ بِهِ مِنْ هَوْلِ مَا أَمَامِي قَبْلَ أَنْ أَعْلَمَ الْخَبَرَ، وَأَمَّا قَوْلُكَ فِي أَمْرِ الْمُؤْمِنِينَ، فَوَاللهِ لَوَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَفَافًا، لَا لِي وَلا عَلَيَّ، وَأَمَّا مَا ذَكَرْتَ مِنْ صُحْبَةِ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَلِكَ
“Adapun kabar gembira darimu kepadaku dengan surga, maka demi Allah seandainya aku memiliki dunia dan segala isinya maka aku akan menjadikannya tebusan atas kedahsyatan apa yang ada di hadapanku sebalum aku mengetahui apa hakikatnya yang akan terjadi. Dan adapun perkataanmu tentang Amirul mukminin maka demi Allah aku sungguh berhadap hanya impas, tidak mendapatkan kebaikannya dan juga tidak mendapatkan keburukannya. Adapun apa yang kau sebutkan tentang bersahabat dengan Nabi shallallahu álaihi wasallam maka memang demikianlah” ([105])
Dalam riwayat yang lain, Ibnu Umar berkata :
فَأَثْنَوْا عَلَيْهِ فَقَالَ: «رَاغِبٌ رَاهِبٌ، وَدِدْتُ أَنِّي نَجَوْتُ مِنْهَا كَفَافًا، لاَ لِي وَلاَ عَلَيَّ، لاَ أَتَحَمَّلُهَا حَيًّا وَلاَ مَيِّتًا»
“Mereka (orang-orang yang menjenguk Umar) memujinya, maka Umar berkata, “Aku dalam kondisi berharap )pahala dari Allah) dan khawatir (dari adzab Allah, sehingga aku tidak berpatokan dengan pujian kalian). Aku berharap seandainya aku lepas dari khilafah (kepemimpinan dengan wafatku) dalam kondisi selamat dan impas, tidak mendapatkan kebaikannya dan juga terhindar dari keburukannya, aku tidak ingin menanggung beban khilafah (sebagai pemimpin) ketika masih hidup ataupun setelah meninggal” ([106])
Inilah yang dinamakan ketakwaan yang mana seseorang tahu kadar dirinya dan bahwasanya dia jauh dari kesempurnaan. Dari sini kita tahu bahwa hendaknya kita menjauhi sifat ujub dan merendahkan orang lain, bisa jadi orang terlihat biasa saja namun belum tentu derajatnya lebih rendah disisi Allah dari pada kita. Bisa jadi orang yang di hadapan kita yang kita sepelekan ternyata dia mempunyai amalan luar biasa yang tidak kita ketahui.
Pernah ada seorang syeikh yang bercerita bahwa ada seorang yang saleh ketika tidur ia bermimpi berjumpa Nabi ﷺ dan beliau ﷺ bekata kepadanya, “Pergilah kepada si fulan dan sampaikan kabar gembira kepadanya!” orang tersebut kemudian terbangun dan berpikir hanya mimpi biasa, akan tetapi mimpi tersebut terulang selama tiga kali hingga ia berpikir bahwa mimpi tersebut adalah ilham dari Allah ﷻ maka dia pun mencari tahu tentang si fulan hingga dia dapat menemukan tempat tinggalnya. Ketika sudah sampai di depan pintu dia pun mengetuk pintunya dan ketika dibukakan dia mendapati penampilan si fulan tersebut biasa saja, tidak berpenampilan layaknya Imam masjid atau seorang ustadz penampilan orang tersebut biasa saja. Maka dia pun bertanya kepada si fulan tadi, “Wahai fulan sesungguhnya saya bermimpi sebanyak tiga kali bahwasanya Rasulullah ﷺ menyuruh saya untuk menyampaikan kabar gembira kepadamu, dan saya ingin tahu sesungguhnya amalan apa yang engkau miliki sampai saya bisa bermimpi demikian sebanyak tiga kali? Jawab orang tersebut, “Saya tidak memiliki amalan apa pun” akan tetapi orang saleh tersebut terus mendesaknya, “Pasti engkau punya amalan, coba sebutkan, pasti ada jangan kau sembunyikan!”. Akhirnya dia pun bercerita, “Saya tidak punya amalan kecuali satu yang dengannya saya berharap akan bertemu dengan Allah membawa amalan tersebut” dia pun mulai bercerita, “Dahulu sewaktu saya menikah pada malam pertama yaitu malam pengantin saya dapati istri saya dalam kondisi sudah hamil, dan dia berkata kepadaku, “Wahai Fulan tutuplah aibku semoga Allah menutupi aibmu juga”. “Subhanallah, maka seketika itu saya tidak menyentuhnya sama sekali dan saya menunggu sampai anak tersebut lahir dan tidak ada yang tahu, kemudian setelah lahir saya bawa anak tersebut sebelum subuh dan saya taruh di pintu masjid” katanya.
Ia pun melanjutkan kisahnya, “kemudian saya dapati sewaktu subuh orang-orang ramai mengerumuni anak tersebut dan saya berkata kepada mereka, ‘biar saya saja yang mengurus anak ini’ dan mereka pun berterima kasih dan mendoakan saya, kemudian saya bawa pulang dan saya kembalikan anak tersebut kepada istri saya dan tidak ada yang tahu”.
Untuk itu jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain karena ketika kita merasa lebih baik dari orang lain berarti kita sedang men-tazkiah diri kita padahal Allah ﷻ berfirman,
فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى
“Janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa”
Bisa jadi orang di depan kita dia memiliki kekurangan dalam sebagian hal misal jarang sholat berjamaah, atau mungkin dia melakukan sebagian maksiat akan tetapi bisa jadi dia memiliki amalan lain seperti berbakti kepada orang tuanya atau mungkin dia tidak pernah sombong atau mungkin dia tidak pernah hasad, dibandingkan dengan sebagian kita yang mungkin ke masjid dengan penampilan islami tapi hati penuh dengan hasad, hati penuh dengan kedengkian maka jangan pernah merasa lebih baik dari orang lain dan memandang rendah orang lain karena yang tahu semuanya hanyalah Allah ﷻ.
Firman Allah ﷻ :
اَفَرَءَيْتَ الَّذِيْ تَوَلّٰىۙ (33) وَاَعْطٰى قَلِيْلًا وَّاَكْدٰى (34) اَعِنْدَه عِلْمُ الْغَيْبِ فَهُوَ يَرٰى (35)
“Maka tidakkah engkau melihat orang yang berpaling (dari Al-Qur’an)? dan dia memberikan sedikit (dari apa yang dijanjikan) lalu menahan sisanya. Apakah dia mempunyai ilmu tentang yang gaib sehingga dia dapat melihat(nya)?” (QS An-Najm : 33-35)
Para ulama tafsir sepakat bahwasanya ayat di atas turun kepada seseorang dari kalangan orang-orang musyrikin, akan tetapi mereka khilaf siapakah orang tersebut? Menurut mayoritas ahli tafsir orang yang dicerca dalam ayat ini adalah Al walid bin Mughiroh Al-Makhzumi([107]).
firman Allah ﷻ
وَاَعْطٰى قَلِيْلًا وَّاَكْدٰى
“dan dia memberikan sedikit (dari apa yang dijanjikan) lalu menahan sisanya”
Firman Allah ini ditujukan kepada Al Walid bin Mughiroh Karena ketika ia mendengarkan lantunan Al-Quran yang dibaca oleh Nabi ﷺ , dia tahu bahwasanya Al Quran itu benar dan ia pun memujinya, “Al-Quran itu indah, manis bukanlah perkataan dukun bukan pula perkataan syair ini adalah perkataan yang indah” dia tertarik mendengar lantunan Al Quran.
Ketertarikannya akan Alquran menjadikan kecemasan pada diri Abu Jahl karena Al Walid termasuk orang yang paling tua tatkala itu dan dia dari Bani Makhzum. Jika al-Walid masuk islam maka orang-orang dari bani makhzum akan masuk islam juga dan Abu Jahl termasuk dari bani makhzum juga. Abu jahl pun mulai mempengaruhi Al Walid dan menganjurkannya untuk berkata dengan perkataan yang menunjukkan bahwa dia berlepas diri dari Muhammad. Terlebih lagi Bani Mughiroh dan Bani Hasyim bersaing. Anjuran tersebut tidak langsung diiyakan oleh Al Walid dikarenakan dia merasa takut kepada Allah ﷻ atas dosa-dosanya, maka Abu Jahl pun tanpa ragu-ragu berkata kepada Al Walid bahwa Abu Jahal-lah lah yang akan menanggung dosa-dosanya al-Walid. Inilah maksud dari firman Allah sebagaimana disebutkan oleh sebagian ahli tafsir, “Dan dia memberikan sedikit (yaitu dia sudah benar memuji Nabi ﷺ meskipun sedikit) lalu menahan sisanya (berhenti tiba-tiba)” seandainya dia melanjutkannya maka dia akan masuk islam([108]). Kata وَّاَكْدٰى dalam bahasa Arab adalah seseorang yang menggali sumur dan terus menggali kemudian berhenti tiba-tiba karena ada batu yang menghalanginya untuk melanjutkan penggalian sumur([109]).
Adapun dosa-dosanya yang akan ditanggung oleh Abu Jahl maka kata Allah ﷻ, “Apakah dia mempunyai ilmu tentang yang gaib sehingga dia dapat melihat(nya)?”
Allah berfirman :
اَمْ لَمْ يُنَبَّأْ بِمَا فِيْ صُحُفِ مُوْسٰى
Ataukah belum diberitakan (kepadanya) apa yang ada dalam lembaran-lembaran (Kitab Suci yang diturunkan kepada) Musa?. (QS An Najm : 36)
Apakah Al walid bin Mughirah tidak dikabarkan tentang apa yang terdapat di dalam suhuf (lembaran-lembaran) Musa?.
Terdapat khilaf diantara para ulama apakah suhuf Musa berbeda dengan Taurat ataukah suhuf tersebut adalah Taurat? Yang jelas bahwasanya kitab suci yang turun kepada Nabi Musa adalah Taurat, adapun suhuf apakah dia merupakan bagian dari Taurat ataukah lembaran lain yang berbeda? Wallahu a’lam bishowab.
وَاِبْرٰهِيْمَ الَّذِيْ وَفّٰىٓ
Dan (lembaran-lembaran) Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji? (QS An Najm : 37)
Apakah dia juga tidak dikabarkan tentang isi suhuf (lembaran-lembaran) Ibrahim? Karena Ibrahim juga diberikan lembaran-lembaran oleh Allah yang berisi tentang firman Allah sebagaimana Musa juga memilikinya.
Dalam ayat ini Ibrahim disebut sebagai orang yang selalu menyempurnakan janji الوَفِي yang selalu menunaikan perintah Allah sebagaimana tertera dalam firman Allah,
وَاِذِ ابْتَلٰٓى اِبْرٰهمَ رَبُّه بِكَلِمٰتٍ فَاَتَمَّهُنَّ ۗ قَالَ اِنِّيْ جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ اِمَامًا ۗ قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِيْ ۗ قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِى الظّٰلِمِيْنَ
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu dia melaksanakannya dengan sempurna. Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan (juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim.” (QS Al Baqarah : 124)
Nabi Ibrahim diuji oleh Allah ﷻ dengan ujian-ujian yang berat akan tetapi semuanya mampu dikerjakan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Sebagai contoh Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk mendakwahi raja Namrud yang mana penduduk negeri beliau waktu itu seluruhnya adalah orang-orang kafir sehingga kemudian beliau di bakar akan tetapi Allah menyelamatkannya. Beliau juga pernah di perintahkan untuk meninggalkan istri dan anak beliau yang sangat beliau cintai di suatu lembah yang gersang yaitu kota Mekkah. Beliau juga pernah diperintahkan untuk menyembelih putranya Ismail di mana saat itu hati seorang ayah masih sangat cinta kepada anaknya. Semua perintah yang berat tersebut dikerjakan oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dengan sebaik-baiknya maka beliau pantas mendapatkan pujian dari Allah sebagai seorang yang selalu menyempurnakan janji (perintah).
Kemudian Allah ﷻ menjelaskan isi suhuf Musa dan Ibrahim sebagai bentuk bantahan kepada Abu Jahl dan Al Walid bin Mughirah dalam firman-Nya,
اَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۙ* وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ
“(yaitu) bahwa seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya”. ? (QS An Najm : 38-39)
Sebagaimana seseorang tidak akan menanggung dosa orang lain maka dia juga tidak akan mengambil kebaikan orang lain.
Dalam ayat ini para ulama berbeda pendapat mengenai masalah mengirim pahala kepada mayat. Imam As-Syafi’i mengatakan dalam Al-Umm bahwasanya terdapat tiga perkara yang bermanfaat bagi mayit di antaranya doa kaum muslimin untuk mayit tersebut, yang kedua menghajikan orang yang sudah meninggal, yang ketiga adalah bersedekah atas nama mayit([110]). Secara umum para ulama ijma’ dalam masalah-masalah ini. Kecuali Imam Malik menurut beliau seseorang hanya boleh menghajikan atau bersedekah atas nama mayit apabila sebelum meninggal dia berwasiat. Intinya secara umum para ulama ijma’ dalam tiga permasalahan tersebut dan ini yang dinamakan dengan niyabah (perwakilan). Kita tahu bahwasanya mendoakan orang yang sudah meninggal diperbolehkan adapun diterima atau tidaknya doa tersebut maka itu adalah hak prerogatif Allah dan ini berbeda dengan masalah mengirim pahala kepada orang lain.
Berdoa untuk mayit dengan izin Allah akan bermanfaat seperti orang yang berziarah kubur kemudian berdoa untuk mayit, sama halnya sholat jenazah yang mana ketika kita mensholati jenazah berarti kita sedang mendoakannya karena dalam sholat jenazah terkandung di dalamnya doa untuk mayit dan ini berbeda dengan masalah mengirim pahala.
Adapun menghajikan orang lain yang sudah meninggal maka hal tersebut juga berbeda dengan masalah mengirim pahala haji untuknya, yang dimaksud dengan mengirim pahala haji adalah ketika seseorang haji untuk dia sendiri kemudian dia berdoa “Ya Allah Pahala haji saya ini saya kirimkan untuk si fulan”, namun yang dimaksud dan disepakati akan kebolehannya oleh para ulama adalah niyabah atau menghajikan atas nama si fulan misal seorang berhaji untuk bapaknya kemudian berkata لَبَّيكَ اللَّهُمَّ حَجّاً عَن أَبِي “Ya Allah saya berhaji atas nama bapak saya”.
Bersedekah atas nama mayit juga berbeda dengan masalah mengirim pahala sedekah untuknya, yang dimaksud dengan mengirim pahala sedekah adalah ketika seseorang bersedekah untuk dirinya sendiri kemudian dia berdoa “Ya Allah kirimkan pahala sedekah saya ini untuk si fulan”. Adapun bersedekah atas nama mayit misalnya ketika seseorang bersedekah atas nama bapaknya yang sudah meninggal maka yang demikian juga disepakati akan kebolehannya.
Masalah-masalah di atas yaitu niyabah para ulama secara umum sepakat bahwasanya hal-hal tersebut diperbolehkan bahkan dapat memberikan manfaat kepada orang yang diwakilkan dengan izin Allah. Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama adalah masalah mengirim pahala, misalnya seseorang berkata setelah melaksanakan sholatnya “ Ya Allah kirimkan pahala sholat ini untuk bapak saya” . Secara umum masalah ini kembali kepada dua pendapat, pendapat pertama yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan di jelaskan secara nash (textual) dalam kitab beliau Al-Umm dan dinukil oleh imam An-Nawawy dalam Al Minhaj Syarah Sohih Muslim bahwasanya mengirim pahala tidak akan sampai([111]), jadi menurut pendapat ini mengirim pahala bacaan Al Quran, kirim pahala sholat, kirim pahala puasa dan kirim pahala haji tidak akan sampai dst.
Pendapat ke dua yang dipilih oleh jumhur ulama di antaranya Imam Ahmad rohimahullah bahwasanya pahala akan sampai kepada orang yang dikirimkan kepadanya pahala([112]). Terdapat perincian dalam masalah ini akan tetapi secara umum dua pendapat inilah yang kuat.
Dalam masalah ini penulis lebih cenderung kepada pendapat Imam As-Syafi’i bahwasanya pahala tidak akan sampai dan pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsir ayat ini([113]). Alasannya karena Nabi ﷻ dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya, tidak tercatat dalam sejarah mereka seorang pun mengamalkan amalan kirim pahala kepada orang lain. Bahkan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Ummul mukminin Aisyah radhiyallahu anha disebutkan,
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أُمّـِيْ افْـتُـلِـتَتْ نَـفْسُهَا (وَلَـمْ تُوْصِ) فَـأَظُنَّـهَا لَوْ تَـكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ، فَـهَلْ لَـهَا أَجْـرٌ إِنْ تَـصَدَّقْتُ عَنْهَا (وَلِـيْ أَجْـرٌ)؟ قَالَ: «نَعَمْ» (فَـتَـصَدَّقَ عَـنْـهَا).
Bahwasanya ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi, “Sesungguhnya ibuku meninggal dunia secara tiba-tiba (dan tidak memberikan wasiat), dan aku mengira jika ia bisa berbicara maka ia akan bersedekah, maka apakah ia memperoleh pahala jika aku bersedekah atas namanya (dan aku pun mendapatkan pahala)? Beliau menjawab, “Ya, (maka ia pun bersedekahlah untuknya)([114]).
Ini menunjukkan terbetik dalam benak para sahabat bahwasanya seseorang tidak beribadah atas nama orang lain sehingga mereka pada akhirnya bertanya tentang masalah tersebut. Ini pun masalah beribadah atas nama orang lain (niyabah) bukan masalah kirim pahala, dan para sahabat tetap bertanya kepada Nabi.
Namun bagaimanapun permasalahan ini tetap tetap merupakan permasalahan khilafiyah. Dan yang menakjubkan di zaman sekarang orang-orang Indonesia yang notabene berpegang dengan madzhab syafi’i mereka lebih memilih pendapat Imam Ahmad dalam hal ini, sedangkan orang-orang saudi yang notabene bermadzhab hanbali mereka justru memilih pendapat Imam As Syafi’i dalam masalah ini yang demikian menunjukkan bahwa mereka berusaha melihat dalil. Mungkin menurut masyarakat Indonesia pendalilan yang dipakai Imam As Syafi’i kurang kuat sehingga mereka menyelisihi pendapat beliau sebaliknya orang-orang Saudi memandang pendapat Imam Ahmad dalam masalah ini kurang kuat sehingga mereka lebih memilih pendapat Imam As Syafi’i.
Di antara kandungan ayat,
وَاَنْ لَّيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ
dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya
Adalah termasuk di dalamnya juga amalan yang dia kerjakan secara langsung atau amalan kebaikan yang timbul dengan dia sebagai perantaranya atau dia sebagai sebabnya, karena amalan tersebut termasuk dari apa yang dia usahakan. Misalnya seorang berdakwah akhirnya orang lain mendapat hidayah kemudian sholat, baca Al-Quran dan semisalnya maka pahalanya akan mengalir juga kepadanya karena ia telah menjadi sebab orang tersebut mendapatkan hidayah. Di antaranya seperti sabda Nabi ﷻ ,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang saleh”([115]).
Di antara contoh sedekah jariyah adalah pembangunan masjid. Ketika seseorang membangun masjid kemudian masjid tersebut digunakan untuk sholat, baca Al-Quran, berdzikir, kajian dan lain sebagainya maka pahalanya akan mengalir kepada orang tersebut karena itu merupakan apa yang dia usahakan.
Di antara contoh ilmu yang bermanfaat adalah wakaf ilmu seperti yang dilakukan oleh para ulama ketika mereka mengarang buku-buku dan buku-buku tersebut kemudian dibaca berabad-abad ada yang ditulis dari abad ke dua dan dibaca sampai sekarang dan terus menerus memberikan manfaat maka pahalanya akan terus mengalir kepada mereka. selayaknya jika seseorang tidak bisa mewakafkan harta hendaknya dia mewakafkan ilmu.
Adapun anak saleh yang mendoakan orang tuanya, karena anak yang sholeh merupakan usaha kita, usaha didikan kita, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
إِنَّ أَطْيَبَ مَا أَكَلْتُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ، وَإِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مِنْ كَسْبِكُمْ
“Sesungguhnya sebaik-baik apa yang kalian makan ialah (berasal) dari usaha kalian, dan sesungguhnya anak-anak kalian adalah (hasil) dari usaha kalian([116]).
Oleh karenanya jika anak-anak kita didik kemudian menjadi anak yang sholih dan mendoakan kita niscaya pahalanya akan terus mengalir kepada kita.
Firman Allah ﷻ,
وَاَنَّ سَعْيَه سَوْفَ يُرٰىۖ
“Dan sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)”. (QS An-Najm : 40)
Baik usaha berupa kebaikan atau berupa keburukan semuanya akan terlihat pada hari kiamat, akan dilihat oleh Allah dan akan dilihat pula oleh para malaikat. Sebagian orang kebaikannya akan diperlihatkan kepada khalayak untuk memuliakan dia dan sebagian orang keburukannya juga akan diperlihatkan kepada khalayak untuk dipermalukan. Adapun orang mukmin maka Allah tidak akan membongkar aibnya, sebagaimana dalam hadist yang sahih bahwasanya Allah akan mendekatkan dia kepada-Nya kemudian Allah bongkar aib-aibnya di hadapannya dengan lembaran-lembaran catatan amalnya antara dia dengan Allah saja, kemudian Allah berkata, “Bukankah Engkau telah melakukan demikian? Maka dia pun menjawab, “Benar ya Allah”.
Nabi bersabda :
إِنَّ اللَّهَ يُدْنِي المُؤْمِنَ، فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ، فَيَقُولُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا؟ فَيَقُولُ: نَعَمْ أَيْ رَبِّ، حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ، وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ هَلَكَ، قَالَ: سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ اليَوْمَ، فَيُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ، وَأَمَّا الكَافِرُ وَالمُنَافِقُونَ، فَيَقُولُ الأَشْهَادُ: {هَؤُلاَءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلاَ لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ}
“Sesungguhnya Allah mendekatkan seorang mukmin, lalu Allah menaunginya dan menutupinya, maka Allah bertanya, “Tahukah engkau dosa ini, tahukah engkau dosa itu?”. Maka sang mukmin berkata, “Ya, Rabbku”. Hingga tatkala ia mengakui/menetapkan dosa-dosanya dan ia merasa dalam dirinya bahwa telah binasa, maka Allah berkata, “Aku telah menutupi dosa-dosa tersebut di dunia, dan pada hari ini aku mengampuninya untukmu”. Maka iapun diberikan buku catatan kebaikan-kebaikannya. Adapun orang kafir dan kaum munfiq maka al-Asyhaad/para saksi (para malaikat, para nabi, manusia dan jin) berkata, “Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan mereka”. Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zalim” (QS Huud : 18) ([117])
Adapun para pelaku maksiat maka akan terlihat amalan-amalan mereka di hadapan banyak orang, contoh seperti sabda Nabi ﷺ,
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
“Barangsiapa yang sumáh (memperdengarkan amalannya) maka Allah akan memperdengarkan tentangnya, dan barangsiapa yang memperlihatkan (riyaa’) maka Allah akan memperlihatkan tentang dia”([118]).
Maksudnya barang siapa yang yang beramal karena sum’ah (ingin disebut-sebut oleh orang) maka Allah akan sebut-sebut keburukannya (pada hari kiamat kelak) dan barang siapa yang beramal sholeh agar dilihat oleh orang lain (riyaa’) maka Allah akan perlihatkan di hadapan khalayak bahwasanya ia adalah orang yang riyaa’. Sebagaimana firman Allah ﷻ ,
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَاۤىِٕرُۙ
“Pada hari ditampakkan segala rahasia”. QS AT-Thaariq : 9.
Terkadang juga Allah beri tanda, sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُقَالُ هَذِهِ غَدْرَةُ فُلَانٍ
“Setiap pengkhianat memiliki bendera pada hari Kiamat kelak. Lalu dikatakan kepadanya: “Inilah pengkhianatan si Fulan”([119]).
Nabi ﷺ juga bersabda,
من كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ
“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring”([120]).
Inilah makna ayat sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya bahwasanya usaha dan amalannya sewaktu di dunia akan terlihat, apakah amalan tersebut akan diperlihatkan antara dia dan Allah saja dan ini diperuntukkan bagi orang-orang mukmin atau terlihat oleh banyak orang ? terkadang sebagian orang mukmin dimasyhurkan oleh Allah agar semua tahu bahwa dia adalah orang yang mulia sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
الْمُؤَذِّنُونَ أَطْوَلُ النَّاسِ أَعْنَاقًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Para muadzin adalah orang-orang yang paling panjang lehernya di hari kiamat nanti”([121]).
Karena ketika di dunia dia selalu meninggikan kalimat Allah maka pada hari kiamat kelak Allah jadikan dia tersohor. Seperti halnya orang yang meninggal dalam kondisi berihram sebagaimana sabda Nabi ﷺ ,
فَإِنَّهُ يُبعَثُ يَومَ القِيَامَةِ مُلَبِّياً
Sesungguhnya ia akan dibangkitkan pada hari kiyamat nanti dalam keadaan bertalbiyah([122]) (yakni membaca : لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ )
Artinya, “Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sungguh, segala puji, nikmat, dan segala kekuasaan adalah milik-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.”
Seperti halnya juga orang yang mati syahid Allah bangkitkan dalam keadaan berlumuran darah, kata Nabi ﷺ :
اللَّوْنُ لَونُ الدَّمِ، وَالرِّيحُ رِيحُ المِسْكِ
“Warnanya warna darah, dan aromanya aroma kasturi”([123]).
Jadi amalan akan terlihat terkadang dihadapan para khalayak dan terkadang hanya dihadapan Allah saja.
Firman Allah,
ثُمَّ يُجْزٰىهُ الْجَزَاۤءَ الْاَوْفٰىۙ
“Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna”. (QS An-Najm : 41)
tidak ada yang dikurangi, kedzoliman sedikitpun akan dibalas kebaikan sedikitpun juga akan dibalas, sebagaimana firman Allah ﷻ,
فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَه* وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَه
Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (QS Az-Zalzalah : 7-8).
Nabi ﷺ juga bersabda,
لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri”([124]).
Semua akan ada balasanya meskipun terlihat sepele semua akan di balas oleh Allah ﷻ secara sempurna, baik itu kebaikan atau keburukan karena semua itu tercatat dan tidak ada yang luput sedikitpun.
وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ
“Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu)”. (QS An-Najm : 42)
Di sini Allah ﷻ melanjutkan kandungan isi suhuf Ibrahim dan Musa, ayat ini ditafsirkan dengan dua tafsiran oleh ahli tafsir:
- Akal tidak akan sampai berpikir tentang Allah ﷻ, makanya tidak diperbolehkan merenung tentang dzat Allah ﷺ akan tetapi hendaknya yang direnungkan adalah nikmat-nikmat dan ciptaan Allah([125]) ﷻ, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi ﷻ,
يَأْتي الشَّيْطانُ أحَدَكُمْ فَيَقُولَ: مَن خَلَقَ كَذا وكَذا؟ حتَّى يَقُولَ له: مَن خَلَقَ رَبَّكَ؟ فإذا بَلَغَ ذلكَ، فَلْيَسْتَعِذْ باللَّهِ ولْيَنْتَهِ
“Setan akan datang kepada salah seorang dari kalian lalu bertanya, ‘Siapa yang menciptakan ini dan itu? Hingga akhirnya dia akan bertanya siapa yang menciptakan tuhanmu? Jika hal itu terjadi, hendaknya dia berlindung kepada Allah dan sudahilah (jangan turuti menjawab pertanyaannya)”([126]).
Alkisah bahwasanya ada seseorang tokoh yang berkewarganegaraan Saudi Arabia bernama Abdullah Al-Qoshimy menulis sebuah buku yang menakjubkan berjudul الصِّرَاعَ بَينَ الإِسْلاَمِ وَالوَثَنِيَّة “Pertarungan antara Islam dan penyembahan berhala” yang isinya adalah bantahan terhadap agama-agama kesyirikan sampai orang-orang kagum dan menulis bait-bait syair yang isinya pujian untuknya akan tetapi di akhir hayatnya dia kafir kepada Allah ﷻ dan tidak percaya adanya Rabb. Bisa jadi dia berpikir tentang Rabb yang mana otak manusia tidak akan sampai berpikir tentang itu. Kita tahu bahwa indra yang kita miliki mempunyai batasan, pandangan kita, pendengaran kita bahkan tenaga kita juga terbatas maka otak kita juga memiliki batasan. Apabila kita berusaha memikirkan sesuatu di luar batasan otak maka yang demikian itu berbahaya karena setan akan datang kepada kita membawa syubhat dan inilah yang terjadi kepada diri Abdullah Al-Qoshimy dia kafir di saat para pakar dan ilmuan memilih untuk masuk Islam sehingga ketika dia telah kafir dia pun menulis buku yang menyerang Islam. Maka hendaknya seseorang bersyukur atas nikmat hidayah yang Allahﷻ berikan.
- Bahwasanya segala perkara semua yang menentukan adalah Allah ﷻ, semua urusan kesudahannya kembali kepada Allah ﷻ. Tentang hari kiamat, padang Mahsyar, surga dan neraka, kehidupan dan kematian, taqdir, rezeki, semuanya kembali kepada Allah ﷻ dan ini erat kaitannya dengan tauhid Rububiyah([127]). Pendapat inilah yang lebih kuat oleh karenanya pada firman selanjutnya Allah ﷻ memerinci,
Allah berfirman :
وَاَنَّه هُوَ اَضْحَكَ وَاَبْكٰى
“Dan sesungguhnya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”. (QS An-Najm : 43)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya manusia tidak luput dari dua kondisi, kalau tidak dalam keadaan senang maka sedang dalam kondisi sedih. Maka ketika Allah ﷻ menyebutkan bahwa Allah ﷻ yang membuat tertawa dan menangis maka Allah lah yang menciptakan sebab-sebab orang menjadi tertawa dan menangis. Kalau kondisi manusia cuma dua senang atau sedih berarti maksudnya segala urusan manusia yang mengatur adalah Allah ﷻ ([128]) . Oleh karenanya tawa tidak bisa dicela secara dzatnya selama tidak berlebih-lebihan karena jika berlebih-lebihan maka akan mematikan hati, sebagaimana sabda Nabi ﷺ ,
وَلَا تُكْثِرِ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ القَلْوبَ
“Dan janganlah terlalu banyak tertawa. Sesungguhnya terlalu banyak tertawa dapat mematikan hati”([129]).
Adapun jika tertawa pada tempatnya maka tidak mengapa karena Nabi ﷻ tertawa dan para sahabat juga tertawa, dalam suatu hadist juga disebutkan bahwasanya setelah sholat subuh Nabi ﷺ berdzikir sampai terbitnya matahari sementara para sahabat ngobrol tentang masa jahiliyah mereka sambil tertawa dan ketika Nabi ﷻ lewat beliau hanya tersenyum dan tidak menegur([130]).
Pernah juga dikatakan kepada Ibnu Umar radhiyallahu anhu,
سُئِلَ ابْنُ عُمَرَ: هَلْ كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضْحَكُونَ؟ قَالَ قَالَ: نَعَمْ! وَالْإِيمَانُ وَاللَّهِ أَثْبَتُ فِي قُلُوبِهِمْ مِنَ الْجِبَالِ الرَّوَاسِ
“Apakah para sahabat Nabi ﷺ tertawa? “Iya”, akan tetapi Iman mereka demi Allah lebih tegar dari pada gunung-gunung yang kokoh” jawabnya([131]).
Sebagian ahli tafsir seperti Al-Quthuby mengatakan terdapat tafsir-tafsir yang lain bahwasanya ini berkaitan dengan akhirat bahwasanya Allah ﷻ lah yang menjadikan penghuni surga tertawa dan Allah ﷻ pula yang menjadikan penghuni neraka menangis. Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini membahas tentang manusia karena manusia lah yang bisa menangis dan tertawa adapun hewan tidak bisa tertawa dan menangis, ada hewan yang bisa tertawa seperti monyet tapi tidak bisa menangis, ada juga hewan yang bisa menangis tapi tidak bisa tertawa seperti onta, adapun yang bisa menggabungkan tawa dan tangis hanyalah manusia([132]).
Allah berfirman :
وَاَنَّه هُوَ اَمَاتَ وَاَحْيَاۙ * وَاَنَّه خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْاُنْثٰى * مِنْ نُّطْفَةٍ اِذَا تُمْنٰىۙ * وَاَنَّ عَلَيْهِ النَّشْاَةَ الْاُخْرٰىۙ
“Dan sesungguhnya Dialah yang mematikan dan menghidupkan. Dan sesungguhnya Dialah yang men-ciptakan pasangan laki-laki dan perempuan. dari mani, apabila dipancarkan. Dan sesungguhnya Dialah yang menetapkan penciptaan yang lain (kebangkitan setelah mati)”. (QS An Najm : 44-47)
Allah ﷻ lah yang menghidupkan kita dari awal kemudian Allah ﷻ juga yang mematikan kemudian Allah akan kembali menghidupkan kita tatkala di padang mahsyar dan semua urusan termasuk kehidupan dan kematian kembali kepada Allah ﷻ . Dan Allah juga yang menciptakan laki-laki dan wanita berpasang pasangan dari semenjak Nabi Adam ‘alaihissalam dan Hawa kemudian anak keturunannya pun berpasang pasangan kemudian beranak pinak semua itu Allah ciptakan dari air mani yang dipancarkan. Dan Allah lah yang menetapkan terjadinya hari kebangkitan setelah kematian dan perkara tersebut kembalinya juga kepada Allah ﷻ. Ini semua adalah penjelasan dari ayat ke 42 وَاَنَّ اِلٰى رَبِّكَ الْمُنْتَهٰىۙ, “Dan sesungguhnya kepada Tuhanmulah kesudahannya (segala sesuatu)”. Tawa dan tangisan, kehidupan dan kematian, dan hari kebangkitan semua perkaranya kembali kepada Allah ﷻ.
واَنَّه هُوَ اَغْنٰى وَاَقْنٰىۙ
Dan sesungguhnya Dialah yang memberikan kekayaan dan kecukupan. (QS An-Najm : 48)
Allah menyebutkan perkara yang bertolak belakang tawa dan tangis, hidup dan mati, laki-laki dan perempuan, kaya dan miskin semuanya yang menentukan adalah Allah ﷻ. Jika kita tahu bahwasanya kekayaan dan kemiskinan yang menentukan adalah Allah ﷻ maka jika sudah berusaha namun tidak bisa kaya maka semua itu Allahﷻ lah yang mengaturnya, kalaupun berusaha kemudian berhasil kaya maka itu juga Allah yang mengaturnya, semua urusan kembali kepada Allah ﷻ.
Adapun makna اَقْنٰىۙ maka terdapat dua penafsiran, ada yang mengatakan اَقْنٰىۙ adalah menjadikan miskin, ada yang mengatakan maknanya adalah الاِقتِنَاء yaitu selain kaya dia juga memiliki barang-barang dan aset-aset yang dia miliki yang tidak perlu untuk dia jual maksudnya Dialah Allah yang menjadikan seseorang kaya dan bahkan berlebihan dalam kekayaannya([133]).
وَاَنَّه هُوَ رَبُّ الشِّعْرٰىۙ
“Dan sesungguhnya Dialah Tuhan (yang memiliki) bintang Syi‘ra”. (QS An-najm : 49)
Bintang Syi’ra dalam bahasa latinnya adalah bintang Sirius([134]). Kenapa Allah ﷻ khususkan bintang ini padahal terdapat banyak bintang dilangit? Menurut penjelasan para ulama karena bintang Sirius dahulu di sembah oleh orang-orang Arab dari kabilah khuza’ah([135]) karena bintang Sirius adalah bintang yang paling terang di malam hari sehingga mereka mempunyai keyakinan-keyakinan khurofat tentang bintang tersebut dan pada akhirnya mereka menyembahnya.
وَاَنَّه اَهْلَكَ عَادًا ۨالْاُوْلٰىۙ
dan sesungguhnya Dialah yang telah membinasakan kaum ‘Ad dahulu kala (yang pertama). (QS An-najm : 50)
Dalam ayat ini Allah menyifati kaum ‘Ad dengan الأُولَىyaitu “yang pertama”, terdapat tiga pendapat dalam masalah ini, pendapat yang pertama bahwasanya kaum ‘Ad yang kedua adalah Tsamud, karena kaum Tsamud adalah keturunan kaum ‘Ad sehingga untuk membedakan kaum ‘Ad yang merupakan kaumnya Nabi Hud dikatakan عَادًا ۨالْاُوْلٰىۙ adapun untuk kaumnya Nabi Sholeh Kaum Tsamud maka disebut dengan ثَمُود.([136])
Adapun menurut pendapat kedua disifati dengan الْاُوْلٰىۙ karena dia adalah kabilah Arab dari Arab Al Baidah yang pertama([137]), karena Kabilah Arab terbagi menjadi tiga :
- Al ‘Arob al baaidah yaitu arab yang sudah punah di antaranya adalah suku ‘Ad dan Tsamud dan yang paling pertama dari suku-suku tersebut adalah ‘Ad.
- Al ‘Arob Al ‘Aribah adalah arab yang asli dari Qohthon dari negeri Yaman.
- Al ‘Arob Al Musta’robah yaitu keturunan Nabi Ismail ‘alaihissalam seperti suku Qurays yang mana dia adalah percampuran antara suku Arab dan sukunya Nabi Ismail ‘alaihissalam.
Pendapat yang ketiga karena dia adalah suku yang waktu itu paling hebat di antara suku-suku yang ada karena mereka diberi kekuatan tubuh yang luar biasa([138]), sampai mereka mengatakan sebagaimana dikisahkan oleh Allah, dimana mereka berkata dengan sombong مَنْ أَشَدُّ مِنَّا قُوَّة ؟ “Siapa yang lebih kuat dari kami?”. QS Fushilat ayat 15
وَثَمُوْدَا۟ فَمَآ اَبْقٰىۙ* وَقَوْمَ نُوْحٍ مِّنْ قَبْلُۗ اِنَّهُمْ كَانُوْا هُمْ اَظْلَمَ وَاَطْغٰىۗ
Dan kaum Tsamud, tidak seorang pun yang ditinggalkan-Nya (hidup). Dan (juga) kaum Nuh sebelum itu. Sungguh, mereka adalah orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka. (QS An-Najm : 51-52)
Di sini Allah menyebutkan bahwasanya kaum Tsamud semuanya binasa dan Allah juga membinasakan kaum Nabi Nuh sebelum ’Ad dan Tsamud karena secara silsilah sejarah yang pertama adalah kaum Nuh baru setelah itu ‘Ad kemudian Tsamud. Akan tetapi Allah menyebutkan ‘Ad dan Tsamud karena keduanya Arab yang merupakan keturunan dari Sam bin Nuh karena Nabi Nuh punya anak tiga, Sam, Ham dan Yafits. Seluruh Arab adalah keturunan Sam Bin Nuh([139]).
Allah ﷻ sebutkan kenapa Allah binasakan Kaum Nabi Nuh karena mereka adalah orang-orang yang paling dzalim dan paling durhaka. Terdapat dua tafsiran dalam hal ini. Yang pertama maksudnya kaum Nuh lebih dzalim dan durhaka dari pada kaum ‘Ad dan Tsamud yang demikian karena Nabi Nuh alaihis salam berdakwah sampai 950 tahun dan Allah berikan kepada beliau umur yang panjang sedangkan sebagian kaumnya tidak memiliki umur sepanjang Nabi Nuh dan mereka beranak-pinak. Kalau salah seorang dari mereka punya anak maka ia akan membawa anaknya ke tempat Nabi Nuh seraya berkata “Wahai anakku jangan ikuti orang ini karena dia adalah orang gila” dan begitu selanjutnya ketika anak tersebut nantinya memiliki anak dia akan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan bapaknya kepadanya dulu yaitu agar tidak mengikuti seruan Nabi Nuh alaihissalam dan mengecapnya dengan orang gila. Dan demikian begitu seterusnya sehingga mereka adalah kaum yang lebih dzalim dan durhaka dari pada kaum ‘Ad dan Tsamud karena mereka tidak memiliki waktu yang panjang untuk didakwahi seperti waktu yang diberikan kepada kaumnya Nabi Nuh.
Tafsiran yang kedua bahwasanya kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum Nuh mereka lebih dzalim dan lebih durhaka dari pada kaum musyrikin Arab sehingga seakan-akan ayat ini memberi hiburan kepada Nabi ﷺ ketika beliau dimusuhi oleh kaum musyrikin Arab karena sesungguhnya mereka tidak lebih durhaka dari kaumnya Nabi Nuh, kaum ‘Ad dan Tsamud([140]).
وَالْمُؤْتَفِكَةَ اَهْوٰىۙ
“Dan prahara angin telah meruntuhkan (negeri kaum Luth)”. (QS An-najm : 53)
الْمُؤْتَفِكَةُ maknanya adalah الْمُنْقَلِبَةُ yaitu “yang terbalik”. Dalam ayat yang lain وَالْمُؤْتَفِكَاتِ “Dan negeri-negeri yang dibalik (oleh Allah)” (QS at-Taubah : 70). Sebagian ahli tafsir mengatakan ada 4 kota kecil yang penduduknya semuanya adalah pelaku Homoseksual. Keempat negeri tersebut adalah Sodom (سَدُومُ), Umuroh (عَمُورَةُ), Adamah (أَدَمَةُ), dan Shibwim (صِبْوِيمُ) ([141]), maka sewaktu mereka kufur kepada Nabi Luth alaihissalam Allah angkat mereka([142]). Malaikat Jibril dengan sayapnya mengangkat mereka keatas kemudian dibalikkan, maka setelahnya mereka disebut dengan الْمُؤْتَفِكَةُ yaitu negeri yang di balik oleh Allah ﷻ.
فَغَشّٰىهَا مَا غَشّٰىۚ
lalu menimbuni negeri itu (sebagai azab) dengan (puing-puing) yang menimpanya. (QS An-najm : 54)
makna فَغَشّٰىهَا adalah “meliputi” sebagian ahli tafsir mengatakan maknanya adalah kaum Nabi Luth setelah mereka diangkat kemudian dibalik, Allah liputi mereka dengan batu yang banyak yang menghujani mereka sehingga mereka tertutup dengan batu-batu yang panas dan keras untuk membinasakan mereka([143]). Tafsiran yang kedua maksudnya adalah Allah pun menutupi mereka dengan adzab yaitu kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, kaum Tsamud dan kaum Nabi Luth([144]).
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكَ تَتَمَارٰى* هٰذَا نَذِيْرٌ مِّنَ النُّذُرِ الْاُوْلٰى
Maka terhadap nikmat Tuhanmu yang manakah yang masih kamu ragukan? Ini (Muhammad) salah seorang pemberi peringatan di antara para pemberi peringatan yang telah terdahulu. (QS An-najm : 55-56)
Inilah yang termaktub di dalam suhuf Ibrahim dan suhuf Musa yang Allahﷻ nukil didalam Al quran([145]).
اَزِفَتِ الْاٰزِفةُ * لَيْسَ لَهَا مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ كَاشِفَةٌ
Yang dekat (hari Kiamat) telah makin mendekat. Tidak ada yang akan dapat mengungkapkan (terjadinya hari itu) selain Allah. (QS An-najm : 57-58)
Terdapat dua tafsiran, yang pertama tidak ada yang bisa mengungkap kapan terjadinya hari kiamat([146]) sebagaimana firman Allah ﷻ ,
لَا يُجَلِّيْهَا لِوَقْتِهَآ اِلَّا هُوَۘ
“Tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia”. (Qs Al-A’raf : 187)
Nabi ﷺ tidak tahu dan Jibril alaihissalam juga tidak tahu, sampai-sampai ketika suatu hari terjadi gerhana Nabi ﷺ mengira hari kiamat telah tiba.
Abu Musa al-Asyári berkata :
خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ
“Terjadi gerhana matahari di zaman Nabi shallallahu álaihi wasallam, maka Nabipun bangkit dalam kondisi kaget kawatir itu merupakan hari kiamat, hingga beliau datang ke masjid” ([147])
Sehingga disebutkan bahwa beliau keluar tergesa-gesa hingga beliau menggeret rida’ (selendang beliau) dan tidak sempat dipakai karena saking takutnya akan terjadinya hari kiamat([148]). Nabi juga pernah menyangka bahwa Ibnu Soyyad adalah Dajjal akan tetapi setelah di cek ternyata bukan ini menunjukkan bahwa beliau tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Nabi ﷺ juga pernah bersabda,
إِنْ يَخرُج وَأَنَا فِيكُم فَأَنَا حَجِيجُهُ دُونَكُم
“Jika Dajjal keluar dan aku ada di tengah-tengah kalian, maka aku yang akan mengalahkan dia untuk membela kalian”([149])
Ini menunjukkan bahwasanya Nabi ﷺ tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat. Jibril alaihissalam juga pernah bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai kapan terjadinya hari kiamat maka Nabi ﷺ menjawab,
مَا المَسؤُولُ عَنهَا بِأَعلَمَ مِنَ السَّائِلِ
“yang ditanya tidak lebih tahu dari pada yang bertanya”([150]).
Adapun yang dilakukan oleh sebagian orang saat ini, mereka mengatakan hari kiamat sebentar lagi akan terjadi mereka meramal tahun sekian akan terjadi huru hara, akan terjadi pembunuhan di tahun sekian, akan terjadi di Arab Saudi begini dan begitu namun semua itu tidak ada yang tepat dan benar-benar terjadi karena ilmu mereka dibangun di atas cocokologi (mencocok-cocokan aja, dengan memaksakan lafal-lafal hadit tentang tanda-tanda hari kiamat dengan kejadian sekarang, padahal belum tentu pas).
Tafsiran yang kedua adalah bahwasanya apabila hari kiamat telah terjadi maka tak ada seorang pun yang mampu mencegahnya, tidak bisa dimajukan dan tidak bisa diakhirkan([151]).
اَفَمِنْ هٰذَا الْحَدِيْثِ تَعْجَبُوْنَۙ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini?” . (QS An-najm : 59)
Yaitu dengan Al Quran dan dengan apa yang ada di suhuf Ibrahim dan Musa apakah kalian merasa heran ?
وَتَضْحَكُوْنَ وَلَا تَبْكُوْنَۙ
“Dan kamu tertawakan dan tidak menangis”. (QS An-najm : 60)
Padahal ini semua adalah peringatan, dalam surat ini Allah ﷻ sebutkan tentang akan adanya hari kiamat yang dahsyat, Allah ﷻ juga sebutkan bagaimana dibinasakannya umat-umat terdahulu, Allah juga sebutkan bahwa pada hari kiamat mereka akan melihat hasil perbuatan mereka, apakah dengan peringatan-peringatan tersebut mereka hanya tertawa? Berarti tertawa tersebut menunjukkan pendustaan. jika kalian mendengar pemberitaan yang mengerikan ini dan merenungkan diri kalian yang penuh dengan kesyirikan seharusnya kalian menangis.
وَاَنْتُمْ سَامِدُوْنَ
“Sedang kamu lengah (darinya)”. (QS An-najm : 61)
Terdapat beberapa penafsiran makna سَامِدُوْنَ diantaranya, مُعرِضُونَ yaitu berpaling ada pula yang mengatakan maknanya adalah angkuh sebagaimana disebutkan dalam bahasa Arab سَمَدَ البَعِيرُ yaitu apabila unta mengangkat kepalanya (yang menunjukan keangkuhan), ada pula yang mengatakan maknanya adalah bernyanyi-nyanyi sebagaimana dalam bahasa suku Himyar. Semua tafsiran ini menunjukkan makna ketidak pedulian terhadap peringatan-peringatan ini([152]).
فَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ وَاعْبُدُوْا
“Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)”. (QS An Najm : 62)
Para ulama berbeda pendapat tentang ayat terakhir ini apakah ada sujud tilawah atau tidak. Dalam hadist yang sahih Nabi ﷺ sewaktu di Mekah Nabi membaca surat ini dan beliau sujud kemudian orang-orang musyrikin pun ikut sujud. Terdapat dua pendapat yang menjelaskan kenapa mereka ikut sujud, yang pertama mereka ikut sujud karena setan ikut menyampaikan perkataan yang mereka dengar dimana setan berkata, “Sesungguhnya itu adalah sesembahan terdahulu yang diharapkan syafatnya”, dan ini adalah tambahan setan tatkala Nabi membaca surat ini([153]). Akan tetapi kisah ini di bathilkan oleh para ulama di antaranya syeikh Al-Albany yang mana beliau memilikii risalah khusus berkaitan tentang bathilnya hadist ini, namun sebagian ulama yang lain mensahihkan hadist tersebut.
Pendapat yang kedua tidak ada tambahan suara dari setan akan tetapi mereka mengikuti sujud Nabi ﷻ karena terbawa lantunan dan isi dari surat tersebut. Kecuali Umayyah bin Kholaf yang tidak ikut sujud kemudian mengambil pasir dan menaruh di dahinya seraya berkata, “Ini sudah cukup bagiku”.
Nabi ﷻ pernah sujud ketika membaca ini sewaktu di Makkah, adapun setelah hijrah ke Madinah para ulama berbeda pendapat, Imam malik berpendapat bahwa Nabi tidak pernah sujud lagi ketika membaca surat ini sehingga mereka menyimpulkan bahwa ayat ini bukan ayat sajdah, adapun Jumhur Ulama berpendapat bahwasanya ayat ini adalah ayat sajdah karena Nabiﷺ pernah sujud sewaktu di Mekkah meskipun di Madinah tidak ada nukilan bahwa Nabi ﷺ sujud ketika membacanya, akan tetapi riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi ﷺ pernah sujud sewaktu di Makkah sudah cukup sehingga mereka menyimpulkan bahwasanya ketika seseorang membaca surat ini dan sampai pada ayat terakhir maka di sunnahkan bagi Imam untuk sujud tilawah begitu pula makmumnya([154]).
Wallahu a’alam bishowab
______________________________________________________________
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/195
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/124
([5]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/421.
([6]) Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibnu Batthal 3/54
([7]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/81.
([8]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 27/88.
([9]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/400.
([10]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/495.
([11]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/195.
([12]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/90.
([13]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 7/26.
([14]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/91.
([15]) Lihat: Al-Bahr Al-Muhith Li Ibnu Hayyan Al-Andalusiy 7/325 dan Al-Burhan Fii ‘Ulum Al-Qur’an Li Az-Zarkasyiy 3/65
([16]) Lihat: Al-Burhan Fii ‘Ulum Al-Qur’an Li Az-Zarkasyiy 3/65.
([17]) Lihat: Tafsir Ar-Raziy 28/233.
([18]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/136 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/92.
([19]) Lihat: Tafsir Ar-Raziy 28/234 dan Tafsir Ibnu Katsir 7/443.
([20]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/92.
([21]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/498.
([22]) H.R. Abu Dawud no. 3646 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([23]) H.R. Tirmidzi no. 1990. Hadits hasan dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([24]) H.R. Abu Dawud no. 4998 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([25]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/95.
([26]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/498 dan Tafsir Al-Mawardi 5/391.
([27]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/400.
([28]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 5/329.
([29]) Lihat: Tafsir As-Sam’aniy 5/285.
([30]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/96.
([31]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/137.
([32]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 5/393.
([33]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/139.
([34]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/97 dan 98.
([35]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/508 dan Bahr Al-‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/360.
([36]) Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/142.
([37]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/445.
([38]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/98.
([39]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/514 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/101.
([40]) Tafsir Al-Qurthubiy 17/94.
([41]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/406 dan Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/199.
([42]) Lihat: Tafsir As-Sam’aniy 5/291 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/96.
([43]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 4/89.
([44]) Lihat: Tafsir As-Sam’aniy 5/291.
([45]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/100.
([46]) Tafsir Al-Baghawiy 7/406 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/96.
([47]) Tafsir Al-Qurthubiy 17/96.
([48]) Fathul Bari Li Ibni Rajab 2/323.
([49]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/139, Tafsir Al-Mawardiy 5/397 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/101.
([50]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 5/397 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/98.
([51]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/99.
([52]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/523 dan Bahr Al-‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/361.
([53]) Lihat: Bahr Al’Ulum Li As-Samarqandiy 3/361.
([54]) (سَمُرَاتٍ) adalah bentuk jamak dari (سَمُرَة) artinya salah satu jenis pepohonan. (An-Nihayah Li Ibnu Al-Atsir 2/399)
([55]) H.R. An-Nasa’i no.11483 di dalam As-Sunan Al-Kubra.
([57]) Yaitu jalan dari di suatu bukit menuju wilayah Al-Qudaid. (Lihat: Taj Al-‘Arus 29/281).
([58]) Suku Al-Aus dan Al-Khazraj adalah kaum Anshar sebelum memeluk agama islam.
([59]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/102.
([60]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/522 dan Bahr Al’Ulum Li As-Samarqandiy 3/361.
([61]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 17/227 dan 22/522.
([62]) Lihat: Tafsir Ar-Razi 28/249 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/108.
([64]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/106
([65]) Lihat: Bahr Al-‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/362, Tafsir Al-Baghawiy 7/409, Tafsir Al-Qurthubiy 17/103 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/108.
([66]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/423.
([67]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/458.
([68]) At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/111.
([69]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 15/233.
([70]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 4/356.
([71]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/202 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/111.
([72]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/111.
([73]) Lihat: Bahru Al-‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/362 dan Tafsir Ibnu Katsir 7/458.
([74]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/104 dan Tafsir Ibnu Katsir 7/458.
([75]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal.820.
([76]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/113.
([78]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/114.
([79]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 4/424.
([80]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/114.
([81]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/114-115
([82]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/117
([83]) Lihat Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/203.
([85]) Lihat: Subulus Salaam 2/602
([86]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/105
([87]) Lihat: Al-Nalaghoh Al-‘Arabiyyah hal: 537
([88]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/106
([89]) Lihat: Al-Lubaab fii ‘Uluumil Kitaab 8/170
([90]) Lihat penjelasan tentang كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ dan الْفَوَاحِشَ di Tafsir Al-Qurthuby 17/106
([91]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/127
([92]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/106-107
([93]) Lihat: Madaarijus Saalikiin Bayna Manaazili Iyyaaka Na’budu wa Iyyaaka Nasta’iin 1/324
([94]) Tafsir Al-Qurthuby 17/108.
([95]) Lihat: Tafsir As-Sam’any 2/412
([96]) Lihat: Syarhus Shuduur bisyarhil Mautaa wal Qubuur hal: 285
([97]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/125
([99]) HR. Ahmad dalam musnadnya no. 27457
([100]) HR. Malik dalam kitab Muwattho’nya no. 3621
([101]) Lihat: Al-Mishbaahul Mudhy Fii Kitaabin Nabi Al-Ummy wa Rusulihi Ilaa Muluukil Ardhi min ‘Aroby wa ‘ajamy hal: 87
([102]) Mushonnaf Ibni Abi Syaibah 7/481 no 37390. Al-Haitsami berkata, رَوَاهُ الْبَزَّارُ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ “Diriwayatkan oleh Al-Bazzaar dan para perawinya tsiqoh” (Majma’ Az-Zawaid no 3/42 no 4225)
([103]) HR At-Tirmidzi no 3747 dan dishahihkan oleh Al-Albani
([105]) HR Ahmad no 322 dan sanadnya dishahihkan oleh para pentahqiq al-Musnad.
([107]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/111
([108]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 27/127
([109]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 17/112
([110]) Lihat Al-Umm karya Imam As-Syafi’i 4/126.
([111]) Lihat Al Minhaj Syarah Sahih Muslim karya An Nawawy 1/90.
([112]) Lihat Hasyiyah Ibnu Abidin 1/605.
([113]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/465.
([114]) HR. Bukhori no.1388, HR. Muslim no.1004.
([116]) HR. Abu Daud no.3528 dan dinilai sahih oleh Al-Albani
([118]) HR. Al-Bukhari no 6499.
([125]) lihat Tafsir Al Qurthuby 17/155.
([127]) lihat At Tahrir 27/141.
([128]) lihat At Tahrir 27/142.
([131]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 17/116.
([132]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 17/117.
([133]) Lihat At Tahrir 27/149.
([134]) Sirius adalah bintang paling terang di langit malam. Nama Sirius diambil kata Yunani Σείριος, yang berarti “berkilau”. Dengan magnitudo tampak −1.46, Sirius hampir dua kali lebih terang dari Canopus, bintang paling terang ke-2 di langit malam. Lihat : https://id.wikipedia.org/wiki/Sirius
([135]) Lihat At Tahrir 27/151.
([136]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 17/120.
([137]) Lihat At Tahrir 27/153.
([138]) Lihat At Tahrir 27/153
([139]) Lihat At Tahrir 27/153
([140]) Lihat At Tahrir 27/154.
([141]) Lihat At Tahrir 10/261, kota-kota tersebut terletak di Yordania, di sekitar Laut Mati (الْبَحْرِ الْمَيِّتِ).
([142]) Lihat At Tahrir 27/154.
([143]) Lihat At Tahrir 27/155.
([144]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 17/121.
([145]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 17/121.
([146]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 17/122.
([147]) HR Al-Bukhari no 1059 dan Muslim no 912
([151]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 17/122.
([152]) Lihat At Tahrir 27/160.