Tafsir Surah Ar-Rahman
Surat Ar-Rahman adalah surat Makkiyyah, menurut jumhur ahli tafsir([1]). Sebagian ulama berpendapat bahwa ada sebagian ayatnya yang merupakan ayat-ayat Madaniyyah. Namun, pendapat yang lebih kuat adalah bahwa seluruh ayat-ayat pada surat Ar-Rahman adalah Makkiyyah, yaitu surat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah([2]). Sebagian ulama mengatakan bahwa surat ini turun setelah surat Al-Furqan([3]), karena di dalam surat Al-Furqan terdapat firman Allah:
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اسْجُدُوْا لِلرَّحْمٰنِ قَالُوْا وَمَا الرَّحْمٰنُ اَنَسْجُدُ لِمَا تَأْمُرُنَا وَزَادَهُمْ نُفُوْرًا
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Sujudlah kepada Yang Maha Pengasih”, mereka menjawab, “Siapakah yang Maha Pengasih itu? Apakah kami harus sujud kepada Allah yang engkau (Muhammad) perintahkan kepada kami (bersujud kepada-Nya)?” Dan mereka makin jauh lari (dari kebenaran).” (QS. Al-Furqan: 60)
Ini adalah bentuk pengingkaran orang-orang musyrikin terhadap Ar-Rahman. Bukan berarti mereka mengingkari Allah. Mereka tahu adanya Allah, Yang telah menciptakan mereka, alam semesta. Akan tetapi, mereka tidak suka dengan nama Ar-Rahman. Adapun peristiwa ini terjadi di Makkah.([4])
Begitu juga disebutkan kisah Ibnu Mas’ud radhiallahau ‘anhu di awal-awal Islam di Mekah beliau ingin memperdengarkan Al-Qur’an kepada orang-orang Quraisy, lalu dia menuju area sekitar Ka’bah, kemudian dia membacakan Al-Qur’an secara terang-terangan. Maka dari itu, dia disebut sebagai sahabat yang pertama kali membaca Al-Qur’an dengan terang-terangan. Ketika beliau membacanya, maka orang-orang kafir Quraisy yang sedang beraktivitas di dekatnya kaget mendengar bacaan Ibnu Mas’ud. Akhirnya merekapun ramai-ramai mendatangi Ibnu Mas’ud dan memukulnya hingga jatuh terkapar, sedangkan dia tetap membaca surat Ar-Rahman.
Ibnu Ishaaq berkata : Telah menyampaikan kepadaku Yahya bin Urwah bin Az-Zubair, dari ayahnya berkata:
كَانَ أَوَّلُ مَنْ جَهَرَ بِالْقُرْآنِ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمَكَّةَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: اجْتَمَعَ يَوْمًا أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالُوا: وَاَللَّهِ مَا سَمِعَتْ قُرَيْشٌ هَذَا الْقُرْآنَ يُجْهَرُ لَهَا بِهِ قَطُّ، فَمَنْ رَجُلٌ يُسْمِعُهُمُوهُ؟
فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ : أَنَا، قَالُوا: إنَّا نَخْشَاهُمْ عَلَيْكَ، إنَّمَا نُرِيدُ رَجُلًا لَهُ عَشِيرَةٌ يَمْنَعُونَهُ مِنْ الْقَوْمِ إنْ أَرَادُوهُ، قَالَ: دَعُونِي فَإِنَّ اللَّهَ سَيَمْنَعُنِي. قَالَ: فَغَدَا ابْنُ مَسْعُودٍ حَتَّى أَتَى الْمَقَامَ فِي الضُّحَى، وَقُرَيْشٌ فِي أَنْدِيَتِهَا، حَتَّى قَامَ عِنْدَ الْمَقَامِ ثُمَّ قَرَأَ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ -رَافِعًا بِهَا صَوْتَهُ- الرَّحْمنُ عَلَّمَ الْقُرْآنَ قَالَ: ثُمَّ اسْتَقْبَلَهَا يَقْرَؤُهَا. قَالَ: فَتَأَمَّلُوهُ فَجَعَلُوا يَقُولُونَ: مَاذَا قَالَ ابْنُ أُمِّ عبْدٍ؟ قَالَ: ثُمَّ قَالُوا: إنَّهُ لَيَتْلُو بَعْضَ مَا جَاءَ بِهِ مُحَمَّدٌ، فَقَامُوا إلَيْهِ، فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ فِي وَجْهِهِ، وَجَعَلَ يَقْرَأُ حَتَّى بَلَغَ مِنْهَا مَا شَاءَ اللَّهُ أَنَّ يَبْلُغَ. ثُمَّ انْصَرَفَ إلَى أَصْحَابِهِ وَقَدْ أَثَّرُوا فِي وَجْهِهِ ، فَقَالُوا لَهُ: هَذَا الَّذِي خَشِينَا عَلَيْكَ، فَقَالَ: مَا كَانَ أَعْدَاءُ اللَّهِ أَهْوَنَ عَلَيَّ مِنْهُمْ الْآنَ، وَلَئِنْ شِئْتُمْ لَأُغَادِيَنَّهُمْ بِمِثْلِهَا غَدًا، قَالُوا: لَا، حَسْبُكَ، قَدْ أَسْمَعْتَهُمْ مَا يَكْرَهُونَ.
“Yang pertama kali terang-terangan baca al-Qur’an -setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam- di Mekah adalah Abdullah bin Mas’uud. Pada suatu hari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalla sedang berkumpul, lalu mereka berkata, “Demi Allah, kaum Quraisy sama sekali belum pernah mendengar al-Qur’an dibacakan terang-terangan, maka siapakah yang bisa membuat mereka mendengarnya?”
Maka Abdullah bin Mas’uud berkata, “Saya”. Mereka berkata, “Kami mengkhawatirkan mereka memberi kemudorotan kepadamu, maksud kami adalah seorang yang memeliki kabilah yang kuat sehingga bisa menghalangi keburukan kaum Quraisy jika mereka hendak berbuat keburukan”. Ibnu Mas’ud berkata, “Biarkanlah aku, sesungguhnya Allah akan melindungiku”. Maka Ibnu Mas’uud pun pergi hingga tiba di Maqoom Ibrahim di waktu duha, sementara kaum Quraisy sedang di tempat perkumpulan mereka, lalu Ibnu Mas’uud pun berdiri di sisi Maqom Ibrahmi lalu membaca firman Allah -sambil mengeraskan suaranya- : “Bismillahirrahmaanirrahiim, Arraohmaan, ‘Allamal Qur’aan…”. Lalu Ibnu Mas’uud menghadap lokasi tempat mereka berkumpul dan membaca ayat-ayat tersebut. Maka merekapun memperhatikan Ibnu Mas’ud, lalu mereka berkata, “Apa yang sedang diucapkan oleh Ibnu Ummi ‘Abd (yaitu Ibnu Mas’uud)?”. Lalu mereka berkata, “Sesungguhnya dia sedang membaca sebagian yang dibawa oleh Muhammad”. Maka merekapun berdiri dan menuju kepada beliau lalu mereka memukuli wajahnya, namun Ibnu Mas’uud tetap membaca hingga sampai yang ia baca. Lalu beliaupun kembali kepada para sahabat, sementara nampak bekas pukulan di wajah beliau. Maka para shabat berkata kepada beliau, “Inilah yang kami kawatirkan menimpamu”. Beliau berkata, “Tidaklah musuh-musuh Allah menjadi lebih ringan dari pada mereka sekarang, jika kalian mau besok aku akan melakukan hal yang sama di hadapan mereka”. Para sahabat berkata, “Sudah cukup, engkau telah memperdengarkan kepada mereka apa yang mereka benci” ([5])
Peristiwa ini terjadi di Makkah, lebih tepatnya saat awal munculnya Islam. Ini menunjukkan bahwa surat Ar-Rahman adalah Makkiyah. ([6])
Ar-Rahman adalah salah satu nama dari nama-nama Allah. Biasanya bergandengan dengan Ar-Rahiim, seperti dalam lafadz dari surat Al-Fatihah (الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ). Kedua nama ini kembali kepada sifat (الرَّحْمَة) yaitu kasih sayang Allah.
Adapun perbedaannya terdapat dua pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama mengatakan Ar-Rahman menunjukkan sifat rahmat Allah yang meliputi seluruh makhluk, baik orang-orang beriman maupun orang-orang kafir. Mereka semua mendapatkan rahmat Allah. Mereka diberikan rizki, kesehatan, kemudahan-kemudahan kepada seluruh hambaNya, meskipun kafir. Adapun Ar-Rahim menunjukan sifat rahmat Allah, khusus untuk orang-orang yang beriman([7]). Sebagaimana dalam firman Allah:
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِيْنَ رَحِيْمًا
“Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 43)
Ini merupakan pendapat yang dipilih oleh banyak ulama([8]). Artinya, Ar-Rahman dan Ar-Rahiim memiliki persamaan menunjukkan sifat rahmat. Ar-Rahman, rahmatNya mencakup seluruh manusia, baik yang beriman maupun kafir. Adapun Ar-Rahiim khusus untuk orang-orang beriman.
Pendapat kedua, pendapat yang dipilih oleh Ibnu Al-Qayyim di dalam kitabnya Badai’ul Fawaid, berkata bahwa perbedaan Ar-Rahman dan Ar-Rahiim bukan pada sisi siapa yang mendapatkan rahmat tersebut. Akan tetapi, berkaitan dengan sifat dzatiyyah Allah, bahwasanya Allah memiliki sifat rahmat yang agung. Adapun Ar-Rahiim adalah sifat yang berkaitan dengan rahmat Allah yang diberikan kepada makhlukNya. ([9])
Pendapat Ibnu Al-Qayyim lebih kuat, karena dalam ayat lain Allah berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ
“Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Manusia yang dimaksud di dalam ayat ini mencakup orang yang beriman dan orang kafir ([10]). Artinya, Allah juga Rahiim kepada orang-orang kafir. Oleh karena itu, Ar-Rahman berkaitan dengan dzat Allah. Sedangkan Ar-Rahiim berkaitan dengan rahmat yang diberikan kepada makhlukNya. Meskipun rahmatNya mencakup terhadap orang-orang beriman dan orang-orang kafir, namun tentunya rahmat Allah terhadap orang-orang yang beriman adalah rahmat khusus yang diberikan kepada mereka terutama di akhirat kelak, dimana rahmat tersebut tidak akan mengenai orang-orang kafir. Adapun di dunia semua makhluknya mendapatkan rahmat Allah.
Surat ini dibuka dengan Ar-Rahman yang menunjukkan kasih sayang Allah kepada makhluknya. Maka dari itu, ayat setelahnya Allah menyebutkan tentang nikmat-nikmatNya yang diberikan kepada hamba-hambaNya dengan berbagai macam kenikmatan, baik itu berupa agama, dunia, kemaslahatan manusia dan lain sebagainya([11]). Dan setiap kali Allah menyebutkan berbagai macam kenikmatan-kenikmatan, maka Allah tutup dengan berfirman:
فَبِأَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13)
Karena itulah, surat ini banyak menjelaskan tentang nikmat-nikmat Allah, sebagai bentuk dari rahmatNya kepada hamba-hambaNya.([12])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
اَلرَّحْمٰنُۙ. عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ
“(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Al-Qur’an.” (QS. Ar-Rahman: 1-2)
Diantara nikmat yang Allah berikan dan Dia sebutkan di urutan pertama dalam surat ini adalah Allah mengajarkan Al-Qur’an. Dia mengajarkan Al-Qur’an kepada Nabi dan juga kepada hamba-hambaNya([13]). Maka dari itu Allah berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْاٰنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُّدَّكِرٍ
“Dan sungguh, telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan, maka adakah orang yang mau mengambil pelajaran?” (QS. Al-Qamar: 17)
Al-Qur’an mudah dipelajari. Orang yang tidak mengetahui ilmu bahasa Arab pun mampu membacanya([14]). Apalagi bagi mereka yang mengetahuinya. Jadi, Al-Qur’an termasuk nikmat paling besar yang diberikan kepada makhlukNya. Al-Qur’an adalah kitab yang mendatangkan kebahagiaan. Sebagaimana firman Allah:
طٰهٰ ۚ. مَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْاٰنَ لِتَشْقٰٓى ۙ
“Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah.” (QS. Thaha: 1-2)
Ayat ini menjelaskan tujuan Allah menurunkan Al-Qur’an kepada Nabi, yaitu untuk membuat beliau dan umatNya bahagia([15]). Jadi, sejauh mana keterkaitan seseorang dengan Al-Qur’an, maka sejauh itu pula seseorang akan merasakan kebahagiaan. Sejauh mana seseorang semakin jauh dengan Al-Qur’an, maka sejauh itu pula kebahagiaan itu menjauhi seseorang. Kemudian kesengsaraan akan menghinggapi hatinya.
Maka, hendaknya seorang mukmin berusaha memiliki perhatian dengan Al-Qur’an, baik tilawah (membaca)nya, membaca terjemahannya atau mendengarkan tafsirnya. Karena, ketika seseorang semakin memperdalam Al-Qur’an, maka dia semakin memperoleh kebahagiaan. Sebagaimana halnya, Allah menyebutkan di dalam surat ini nikmat yang paling besar, nikmat yang Allah berikan kepada hambaNya sebelum nikmat-nikmat yang lain, yaitu nikmat Al-Qur’an.
Disebutkan di dalam suatu riwayat dari Abdullah bin Mas’ud yang menunjukan bahwa surah Ar-Rahman termasuk surah-surah al-Mufashhol,
أَتَى ابْنَ مَسْعُودٍ رَجُلٌ، فَقَالَ: إِنِّي أَقْرَأُ الْمُفَصَّلَ فِي رَكْعَةٍ، فَقَالَ: أَهَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ، وَنَثْرًا كَنَثْرِ الدَّقَلِ، لَكِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ النَّظَائِرَ السُّورَتَيْنِ فِي رَكْعَةٍ، الرَّحْمَنَ وَالنَّجْمَ فِي رَكْعَةٍ، وَاقْتَرَبَتْ وَالْحَاقَّةَ فِي رَكْعَةٍ، وَالطُّورَ وَالذَّارِيَاتِ فِي رَكْعَةٍ، وَإِذَا وَقَعَتْ، وَنُونَ فِي رَكْعَةٍ، وَسَأَلَ سَائِلٌ وَالنَّازِعَاتِ فِي رَكْعَةٍ، وَوَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ وَعَبَسَ فِي رَكْعَةٍ، وَالْمُدَّثِّرَ وَالْمُزَّمِّلَ فِي رَكْعَةٍ، وَهَلْ أَتَى وَلَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فِي رَكْعَةٍ، وَعَمَّ يَتَسَاءَلُونَ وَالْمُرْسَلَاتِ فِي رَكْعَةٍ، وَالدُّخَانَ وَإِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ فِي رَكْعَةٍ
“Ada seseorang datang kepada Ibnu Mas’ud seraya berkata: ‘Aku membaca surat Al-Mufasshal dalam satu rakaat.’ Maka Ibnu Mas’ud bertanya: ‘Apakah kamu membacanya dengan cepat seperti membaca sya’ir? Akan tetapi, Rasulullah dahulu membaca dua surat Al-Mufasshal dalam satu rakaat, beliau membaca surat Ar-Rahman dan An-Najm dalam satu rakaat, Al-Qamar dan Al-Haqqah dalam satu rakaat, Ath-Thur dan Adz-Dzariyat dalam satu rakaat, Al-Waqi’ah dan Nun dalam satu rakaat, Al-Ma’arij dan An-Nazi’at dalam satu rakaat, Al-Muthaffifin dan ‘Abasa dalam satu rakaat, Al-Muddatstsir dan Al-Muzzammil dalam satu rakaat, Al-Insan dan Al-Qiyamah dalam satu rakaat, An-Naba’ dan Al-Mursalat dalam satu rakaat. Dan Ad-Dukhan dan At-Takwir dalam satu rakaat.” ([16])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
خَلَقَ الْاِنْسَانَۙ
“Dia menciptakan manusia.” (QS. Ar-Rahman: 3)
Dalam ayat ini Allah menyebutkan nikmatNya yang lain, yaitu Allah menciptakan manusia. Ada beberapa pendapat yang dimaksud dengan manusia dalam ayat ini. Sebagian ulama menyebutkan yang dimaksud adalah Nabi Adam. Dan sebagian lagi mengatakan yang dimaksud adalah seluruh manusia. (ال) di dalam ayat menunjukkan ‘istighraq’ maksudnya adalah seluruh manusia. Pendapat kedua adalah pendapat yang lebih kuat. Jadi, bukan hanya Nabi Adam saja, karena Allah sedang menyebutkan nikmatNya kepada manusia seluruhnya.([17])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
عَلَّمَهُ الْبَيَانَ
“Mengajarnya pandai berbicara.” (QS. Ar-Rahman: 4)
Allah mengajarkan kepada manusia (الْبَيَانَ). Ada beberapa pendapat makna dari (الْبَيَانَ). Sebagian ulama mengatakan maksudnya adalah perkara yang halal dan haram. Artinya Allah mengajarkan sesuatu yang halal dan haram sebagai hujjah bagi mereka. Ada juga yang mengatakan maksudnya adalah segala hal yang mereka perlukan dalam kehidupan. ([18])
Namun, pendapat yang lebih kuat bahwa yang dimaksud dengan Al-Bayan adalah kemampuan untuk mengungkapkan, yang merupakan pembeda antara manusia dan hewan. Artinya manusia mampu berbicara dan mengungkapkan isi hatinya, baik mengungkapkan dengan kata-kata maupun dengan tulisan([19]). Seperti firman Allah dalam surat Al-‘Alaq:
الَّذِيْ عَلَّمَ بِالْقَلَمِۙ. عَلَّمَ الْاِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْۗ
“Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 4-5)
Karena pena dan lisan adalah dua cara untuk mengungkapkan isi hati manusia. Dan hal ini yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya. ([20])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
اَلشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍۙ
“Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan,” (QS. Ar-Rahman: 5)
Lafadz (حُسْبَانٌ) pada ayat ini memiliki dua makna. Pertama, sesuatu yang berputar pada porosnya, sebagian ulama menggambarkan seperti (حُسْبَانِ الرَّحَى) alat penggilingan yang berputar pada tempatnya ketika menggiling biji-bijian. Artinya matahari dan bulan beredar sesuai dengan garis edar (orbit) nya. Apabila ditinjau dari ilmu fisika, maka hal ini adalah benar. Kedua, bulat. Maksudnya matahari dan bulan itu bulat. Dan seluruh benda-benda langit itu bulat, tidak datar dan diantaranya adalah bumi. ([21])
Bumi adalah salah satu benda langit yang berbentuk bulat. Ini merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyyah bahwa bumi itu bulat, berdasarkan ijma’ ulama yang beliau sebutkan. ([22])
Adapun ayat yang menjelaskan bahwa Allah menjadikan bumi sebagai hamparan, seperti:
وَإِلَى الْأَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْ
“Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” (Al-Ghaasyiyah: 20)
Dan firman Allah,
وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ
“Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran” (QS. Al-Hijr: 19).
Maksudnya adalah bumi jika dilihat merupakan sebuah hamparan atau dataran yang luas. Allah berfirman tentang apa yang dilihat oleh seseorang dihadapannya bahwa bumi merupakan hamparan, sehingga mudah untuk didirikan bangunan, bercocok tanam, sesekali dihiasi dengan gunung atau sungai. Jadi, secara umum bumi itu terhampar dan datar sehingga layak untuk ditempati. ([23])
Terdapat perdebatan tentang bentuk bumi, apakah bulat atau datar. Berdasarkan pendapat yang kuat oleh para ulama, mereka mengatakan bahwa bumi itu bulat. Karena diantara dalil yang mereka sebutkan adalah sebuah perumpamaan apabila seseorang melihat pergerakan matahari dari waktu terbit hingga terbenam, maka ukurannya konstan dan tidak banyak berubah. Berbeda dengan orang-orang yang berpendapat bahwa bumi itu datar, mereka beralasan karena jarak matahari itu dekat. Tidak seperti yang dibayangkan oleh Ahli fisika yang mengatakan bahwa jarak antara bumi dengan matahari adalah 150 juta tahun.
Sejatinya alasan mereka tidak masuk akal. Karena, jika jarak antara matahari dengan bumi dekat, tentu perubahan bentuk dan ukuran matahari ketika terbit dan tenggelam sangat siginfikan. Artinya bentuk dan ukurannya akan berubah. Padahal, secara logika jika seseorang melihat benda yang dekat dengannya, kemudian menjauh, maka benda tersebut akan terlihat mengecil.
Seperti halnya ketika seseorang yang melihat pesawat. Ketika datang dari jauh, maka dia terlihat kecil. Lalu, ketika mendekat di atasnya, maka terlihat semakin besar. Dan ketika semakin pergi jauh, maka semakin kecil dan menghilang. Akan tetapi, apabila seseorang melihat benda yang sangat jauh, maka ukurannya tetap/konstan, seperti bintang dan benda-benda langit lainnya yang jaraknya sangat jauh. Inilah diantara dalil sederhana bahwa bumi itu bulat.
Demikian juga, contoh yang lain seperti Burj Al-Khalifa yang berada di Dubai, yang tingginya 828 meter. Disebutkan bahwa orang-orang yang mendirikan shalat maghrib disana, mendapati waktu maghrib pada tiga waktu. Alasannya, karena orang-orang yang tinggal di bagian bawah pada tempat tersebut mendapati waktu maghrib terlebih dahulu, kemudian bagian tengah, kemudian bagian atas dan seterusnya. Disamping itu, mereka juga mengatakan bahwa di Burj Al-Khalifa seseorang dapat melihat matahari tenggelam dua atau tiga kali. Hal ini menunjukkan bahwa ketika seseorang berada di tempat yang tinggi, maka dia masih mampu untuk melihat matahari yang sedang tenggelam, begitu juga seterusnya.
Seandainya bumi itu datar, sedangkan matahari telah terbenam, maka ketika seseorang naik atau turun pada suatu tempat yang tinggi atau bagaimanapun keadaannya, hasilnya tidak akan berubah yaitu matahari tidak akan terlihat.
Demikian juga benda-benda langit yang kita lihat semuanya berbentuk bulat, matahari, rembulan, bintang, dan planet-planet. Maka semestinya bumi juga demikian bentuknya sama dengan benda-benda langit lainnya.
Itulah perbedaan pendapat mengenai bumi itu bulat atau datar. Dan juga penuturan beberapa pendapat yang kuat dari beberapa ulama dan ahli tafsir. Wallahu a’lam
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa maksud dari (حُسْبَانٌ) adalah hitungan. Maksudnya matahari, rembulan dan bintang-bintang yang lain berjalan dengan hitungan yang sudah ditentukan. Dengan adanya matahari dan rembulan, maka manusia bisa menghitung tahun, bulan dan hari. Seandainya, dalam setahun penuh waktunya adalah siang terus menerus, maka manusia akan bingung, sudah berapa tahun umurnya? Begitu juga halnya, jika dalam setahun penuh waktunya adalah malam saja dan tidak ada siang, bulan tidak pernah muncul maupun tenggelam, maka manusia tidak akan pernah tahu bagaimana menghitung hari, bulan ataupun tahun. ([24])
Maka diantara nikmat Allah adalah Dia menjadikan siang dan malam, matahari dan bulan. Dengan matahari ataupun bulan, manusia dapat menghitung waktu-waktu penting yang berkaitan dengan ibadah, begitu juga dengan hal-hal penting lainnya. Sebagaimana firman Allah:
لِتَعْلَمُوْا عَدَدَ السِّنِيْنَ وَالْحِسَابَۗ مَا خَلَقَ اللّٰهُ ذٰلِكَ اِلَّا بِالْحَقِّۗ يُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ
“Agar kamu mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan demikian itu melainkan dengan benar. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
Maksudnya adalah agar kalian mampu menghitung hari, bulan, tahun dan hal yang lainnya.([25])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَّالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ
“Dan tetumbuhan dan pepohonan, keduanya tunduk (kepada-Nya).” (QS. An-Najm: 6)
Para ulama bersepakat, bahwa yang dimaksud dengan (الشَّجَرُ) adalah pohon-pohon yang memiliki batang, seperti pohon durian, mangga dan sebagainya. Namun, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna dari (النَّجْمُ). Ada dua pendapat.
Pertama, artinya adalah tumbuhan-tumbuhan yang tidak memiliki batang, seperti kangkung, sayur-mayur. Artinya Allah menjelaskan tentang pohon-pohon, baik yang memiliki batang atau tidak, semuanya tunduk dan sujud kepada Allah.
Kedua, artinya adalah benda langit, yaitu bintang-bintang([26]). Pendapat yang kedua ini merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir([27]). Artinya Allah ingin menjelaskan bahwa semua makhluk yang ada di bumi maupun di langit sujud kepada Allah. Dan Dia menggandengkan bintang dengan pohon pada ayat-ayat yang lain, seperti firman Allah:
اَلَمْ تَرَ اَنَّ اللّٰهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَمَنْ فِى الْاَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُوْمُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَاۤبُّ وَكَثِيْرٌ مِّنَ النَّاسِۗ وَكَثِيْرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُۗ وَمَنْ يُّهِنِ اللّٰهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُّكْرِمٍۗ اِنَّ اللّٰهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاۤءُ
“Tidakkah engkau tahu bahwa siapa yang ada di langit dan siapa yang ada di bumi bersujud kepada Allah, juga matahari, bulan, bintang, gunung-gunung, pohon-pohon, hewan-hewan yang melata dan banyak di antara manusia? Tetapi banyak (manusia) yang pantas mendapatkan azab. Barangsiapa dihinakan Allah, tidak seorang pun yang akan memuliakannya. Sungguh, Allah berbuat apa saja yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Hajj: 18)
Di dalam ayat ini Allah menggandengkan antara bintang dan pohon. Jika ada yang bertanya, bagaimana cara pohon bersujud?
Para ahli tafsir dalam menjelaskan ayat seperti ini terbagi menjadi dua pendapat.
Pertama, sebagian ulama ada yang membawakan kepada makna majazi. Maksudnya adalah mereka tunduk dibawah aturan Allah. Pohon-pohon itu tumbuh atau mati atas kehendak Allah. Bintang-bintang yang beredar pada orbitnya, matahari yang terbit dan terbenam, semuanya atas kehendak Allah. Demikian juga dengan matahari dan bulan, tidak ada yang keluar dari perintah Allah. Matahari ketika beredar pada orbitnya adalah sesuatu yang berjalan sesuai dengan aturanNya.
Kedua, sebagian ulama menafsirkannya dengan makna hakiki. Artinya matahari, bulan, bintang-bintang dan pepohonan benar-benar sujud kepada Allah. Adapun bagaimana cara sujudnya, maka masing-masing memiliki cara sendiri sesuai dengan cara makhluk-makhluk tersebut, tidak seperti manusia ketika sujud([28]). Sujud secara bahasa artinya adalah (الخُضُوع) yaitu tunduk. Akan tetapi, ketundukan tersebut untuk umat islam diungkapkan dengan sujud yang sebagaimana sabda Nabi,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan untuk sujud diatas tujuh tulang; yaitu kening dan menunjuk kepada hidungnya, kedua tangan, kedua lutut dan kedua kaki.” ([29])
Adapun untuk Bani Isra’il, ketika mereka diperintahkan untuk sujud, maka sujud mereka terkadang bermakna ruku’. Seperti dalam firman Allah:
وَّادْخُلُوا الْبَابَ سُجَّدًا
“Dan masukilah pintu gerbangnya sambil sujud (membungkuk).” (QS. Al-Baqarah: 58)
Maksudnya adalah mereka diperintahkan untuk memasuki gerbang palestina dalam keadaan sujud, maksudnya adalah ruku’. Karena dengan ruku’ mereka masih bisa untuk berjalan dan memasuki gerbang tersebut. ([30])
Adapun sujudnya pohon maka sebagimana yang dikatakan oleh sebagian ahli yaitu maksud dari pepohonan ketika sujud adalah dengan berubah bayangannya ke kanan maupun ke kiri, sebagaimana dalam firman Allah:
أَوَلَمْ يَرَوْا إِلٰى مَا خَلَقَ اللّٰهُ مِنْ شَيْءٍ يَّتَفَيَّؤُا ظِلٰلُهُ عَنِ الْيَمِيْنِ وَالشَّمَاۤىِٕلِ سُجَّدًا لِّلّٰهِ وَهُمْ دَاخِرُوْنَ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan suatu benda yang diciptakan Allah, bayang-bayangnya berbolak-balik ke kanan dan ke kiri, dalam keadaan sujud kepada Allah, dan mereka (bersikap) rendah hati.” (QS. An-Nahl: 48)
Adapun matahari, bulan dan bintang-bintang ketika sujud, para ahli tafsir menerangkan bahwa bintang-bintang ketika hendak terbenam, maka itulah keadaan dimana makhluk-makhluk tersebut sujud.
Intinya, manusia tidak pernah tahu persis bagaimana makhluk-makhluk tersebut sujud. Namun, Allah telah mengabarkan bahwa mereka sujud kepada Allah dan masing-masing makhluk tersebut sujud sesuai dengan cara makhluk itu sendiri.([31])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالسَّمَاۤءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ
“Dan langit telah ditinggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.” (QS. Ar-Rahman: 7)
Allah menyebutkan kenikmatanNya yang lain. Yaitu Allah menciptakan langit yang sangat luas dan sangat tinggi([32]). Siapa yang mampu membuat bangunan semegah langit ini? Padahal, manusia ketika membangun rumah sampai setengah mati, dia harus membuat tiang dan mengukurnya, apalagi jika rumah itu luas, maka berapa tiang yang harus dipancangkan. Allah berfirman:
اَللّٰهُ الَّذِيْ رَفَعَ السَّمٰوٰتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا
“Allah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat.” (QS. Ar-Ra’d: 2)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan, bahwa Dia telah menciptakan langit tanpa tiang dan menjadi atap bagi manusia.
وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا
“Dan Kami menjadikan langit itu sebagai atap yang terpelihara” (QS Al-Anbiyaa’ : 32)
Atap tersebut tidak hanya atap yang kosong, namun banyak benda langit di dalamnya, seperti bulan, matahari dan bintang-bintang. Atap tersebut begitu kokoh padahal beban yang dipikulnya begitu berat. Namun pada hari kiamat atap tersebut akan retak dan robek, yang akan mengakibatkan benda-benda langit tersebut berjatuhan.
Diantara nikmat Allah yang besar yang telah diberikan kepada manusia adalah Allah menjadikan bumi dihiasi dengan langit yang begitu kokoh dan luas tanpa ada tiang sedikitpun.
وَوَضَعَ الْمِيْزَانَۙ
“Dan Dia ciptakan keseimbangan.” (QS. Ar-Rahman: 7)
Diantara kenikmatan Allah adalah Dia meletakkan (الْمِيْزَانِ). Ada dua pendapat maksud dari (الْمِيْزَانِ). Ada yang mengatakan maksudnya adalah timbangan yang sudah diketahui pada umumnya, entah timbangan yang memiliki dua daun timbangan, ukuran, volume, berat atau semua jenis timbangan yang ada. Terutama timbangan zaman sekarang, seperti timbangan digital. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah keadilan([33]). Pendapat kedua sebagian ulama menyatakan yang dimaksud dengan timbangan adalah keadilan, yaitu hendaknya bersikpa adil ketika menimbang suatu barang, mengukur volume dengan benar dan dengan cara yang seharusnya. Maka dari itu, Allah memperingatkan kepada manusia agar jangan berbuat kedzaliman dalam menakar atau menimbang suatu benda, hingga jauh dari keadilan.([34])
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
اَلَّا تَطْغَوْا فِى الْمِيْزَانِ
“Agar kamu jangan merusak keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman: 8)
Allah melarang manusia agar tidak berlebih-lebihan dalam timbangan, agar mereka tidak berbuat dzalim. Tatkala seseorang menimbang dalam memutuskan hukum suatu perkara atau keputusan, hendaknya dengan keadilan, sesuai dengan porsi yang sebenarnya. Jangan sampai seseorang menimbang/menakar dengan berlebih-lebihan, entah dengan cara menambah atau mengurangi sehingga berakibat kepada perbuatan mendzalimi orang lain([35]). Jadi, hendaknya seseorang memiliki sifat adil. Karena Allah “Dia telah menciptakan keseimbangan (adil). Agar kamu jangan merusak keseimbangan (keadilan) itu.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَأَقِيْمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
“Dan tegakkanlah keseimbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman: 9)
Ayat ini menjelaskan tentang timbangan. Jika diperhatikan, hal ini merupakan sesuatu yang sepele. Akan tetapi, masalah timbangan merupakan salah satu permasalahan yang berbahaya. Karena Allah pernah mengadzab suatu kaum, yaitu kaum Nabi Syu’aib, disebabkan ulah mereka yang sering mengurangi takaran. ([36])
Suatu kali Nabi pernah datang ke kota Madinah, beliau mendapati sebagian orang mengurangi takaran dan timbangan. Maka, Allah menurunkan firmanNya:
وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَۙ
“Celakalah bagi orang-orang yang curang (dalam menakar dan menimbang)!” (QS. Al-Muthaffifin: 1)
Renungkanlah, hendaknya seseorang berhati-hati ketika berbuat suatu kedzaliman atau suatu maksiat yang berkaitan dengan orang lain. Lebih baik, seseorang berbuat maksiat terhadap Allah. Karena Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Namun, jika seseorang berbuat maksiat terhadap orang lain. Maka, dia akan menuntut pada hari kiamat kelak. Karena, hukum asal seseorang ketika didzalimi adalah menuntut. Di dunia saja dia susah untuk memaafkan, apalagi di akhirat kelak, dia akan menuntut keadilan di hadapan Allah, maka hal itu menjadi sesuatu yang sangat mengerikan. Akibatnya, bagi orang yang mendzalimi tatkala dihadapkan dengan neraka yang sangat mengerikan, dia butuh dengan pahala, namun pahala yang dia miliki diberikan kepada orang yang dia dzalimi waktu di dunia.
Sufyan Ats-Tsauriy berkata:
إِنَّكَ أَنْ تَلْقَى اللهَ عَزَّ وَجَلَّ بِسَبْعِيْنَ ذَنْباً فِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ أَهْوَنُ عَلَيْكَ مِنْ أَنْ تَلْقَاهُ بِذَنْبٍ وَاحِدٍ فِيْمَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الْعِبَادِ
“Sesungguhnya engkau bertemu Allah dengan membawa tujuh puluh dosa antara engkau dengan Allah perkaranya lebih ringan, dari pada engkau bertemu Allah dengan membawa satu dosa antara engkau dengan manusia.” ([37])
وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيْزَانَ
“Dan janganlah kamu mengurangi keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman: 9)
Sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah “janganlah kalian mengurangi timbangan kebaikan kalian pada hari kiamat”([38]). Ini merupakan maksud dari (إِنَّ الْجَزَاءَ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ) artinya ‘balasan bergantung pada amal’.
Artinya, jika seseorang menjual suatu barang kepada pembeli, kemudian penjual tersebut mengurangi timbangan atau takaran pada barang yang dijualnya. Maka, secara pasti timbangan amalnya di akhirat juga akan ikut berkurang. Karena dia telah mendzalimi pembeli. Dan di akhirat kelak pahala orang yang mendzalimi akan diberikan kepada orang yang terdzalimi.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang selalu berhati-hati. Jika dia mengurangi timbangan di dunia. Maka timbangan amal kebaikannya di akhirat juga akan berkurang. Hal itu sudah menjadi suatu hukum yang lazim. Karena di akhirat kelak pahala orang yang dzalim akan diberikan kepada orang yang terdzalimi.
Ini sekaligus menjadi peringatan bagi orang yang berjualan, berbisnis agar menghindari kedustaan dan kebohongan dalam bisnis atau dagangannya. Karena banyak cara yang digunakan untuk berbohong khususnya bagi para pedagang, yaitu dengan cara mengurangi timbangan atau takaran. Jadi, setiap kali dia mengurangi takaran, maka tanpa sadar, sejatinya dia telah mengurangi amal kebaikannya di akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَالْاَرْضَ وَضَعَهَا لِلْاَنَامِۙ
“Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk(-Nya).” (QS. Ar-Rahman: 10)
Ayat ini menyebutkan diantara nikmat Allah yang lain. Allah telah menciptakan bumi di alam ini. Dia meletakkannya, memudahkannya dan menyiapkannya bagi manusia. Begitu juga bagi hewan-hewan ternak. Ini merupakan dalil bahwa bumi Allah persiapkan untuk manusia([39]). Oleh karena itu, manusia tidak bisa hidup normal di luar bumi dan itu tidak akan mungkin. Apalagi Allah berfiman:
قَالَ اهْبِطُوْا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ ۚوَلَكُمْ فِى الْاَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَّمَتَاعٌ اِلٰى حِيْنٍ. قَالَ فِيْهَا تَحْيَوْنَ وَفِيْهَا تَمُوْتُوْنَ وَمِنْهَا تُخْرَجُوْنَ ࣖ
“(Allah) berfirman, “Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenanganmu sampai waktu yang telah ditentukan. (Allah) berfirman, “Di sana kamu hidup, di sana kamu mati, dan dari sana (pula) kamu akan dibangkitkan.” (Al-A’raf: 24-25)
Maksudnya adalah bahwa di bumilah manusia akan hidup. Allah mendahulukan firmannya dengan jar majrur (فِيْهَا تَحْيَوْنَ). Di dalam kaedah Bahasa arab, hal ini memberikan faedah pembatasan. Artinya hanya di atas muka bumilah, manusia dapat hidup, hanya di atas bumilah manusia akan meninggal dunia dan hanya dari bumilah, manusia akan dibangkitkan. ([40])
Syaikh Shalih ibnu Utsaimin pernah ditanya: “Apakah seseorang bisa ke planet Mars? Apakah seseorang bisa ke bulan? Maka jawabannya adalah tidak ada dalil yang melarang seseorang untuk pegi ke suatu planet di luar angkasa dan hal itu bisa saja terjadi.Tetapi, tidaklah mungkin untuk hidup normal disana. Hidup yang normal bagi manusia hanya di atas muka bumi.
Disebutkan bahwa jika seseorang hendak ke ruang angkasa, maka dia harus memakai baju astronot. Padahal, satu buah baju astronot berharga 150 milyar. Karena baju-baju tersebut memiliki sifat-sifat khusus, kuat dan tahan dalam suhu dengan derajat yang tinggi ataupun rendah, terdapat oksigen dan dengan berbagai macam spesifikasi tertentu. Maka, bagaimana mungkin manusia dapat hidup di bulan, planet mars atau planet-planet yang lain
Jadi, bumi merupakan tempat tinggal manusia. Karena bumi tersebut Allah ciptakan untuk mereka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّالنَّخْلُ ذَاتُ الْاَكْمَامِۖ
“Di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.” (QS. Ar-Rahman: 11)
Di bumi ada buah-buahan([41]). Sedangkan planet lain selain bumi tidak ada. Maka, bagaimana mungkin manusia hendak hidup di sana.
فِيْهَا فَاكِهَةٌ وَّالنَّخْلُ ذَاتُ الْأَكْمَامِۖ
“Di dalamnya ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.” (QS. Ar-Rahman: 11)
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan diantara kenikmatan-kenikmatan yang Allah letakkan di bumi. Allah tidak menjadikan bumi hanya berupa dataran tanpa ada isinya, akan tetapi Dia juga menyiapkan kenikmatan-kenikmatan yang lain berupa buah-buahan, pohon kurma yang memiliki (الْأَكْمَام) penutup. Maksudnya adalah kelopak buah kurma. ([42])
Para ulama menjelaskan (الْأَكْمَام ذَاتُ) dengan dua tafsiran. Pertama: Serbuk sari pada kurma yang terletak di dalam kelopak yang menutupinya dan suatu saat dia akan terbuka ketika tiba waktunya. Itu menandakan bahwa kurma tersebut telah matang. Maka di dalam ayat ini disebutkan dengan kurma yang memiliki kelopak yang menutupinya. Kedua: Serabut yang menutupi batang kurma, hingga seakan-akan buah kurma tertutupi dengan serabut tersebut.([43])
Intinya di dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang macam-macam nikmat yang telah diberikan kepada manusia.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْحَبُّ ذُو الْعَصْفِ وَالرَّيْحَانُۚ
“Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya.” (QS. Ar-Rahman: 12)
Artinya gandum, biji-bijian, beras dan lainnya yang menjadi makanan pokok bagi manusia pada umumnya. Sebagian ulama menafsirkan bahwa biji-bijian itu memiliki kulit yang kering, menempel dan menutupinya. Ada juga yang menafsirkan bahwa biji-bijian tersebut memiliki daun-daun yang kering. Biasanya daun-daun yang kering itu dikumpulkan oleh orang-orang, kemudian dijadikan bahan makanan bagi hewan-hewan ternak mereka.([44])
Allah menyebutkan berbagai kenikmatan yang diberikan di muka bumi, diantaranya adalah biji-bijian yang murni memiliki gizi. Lalu buah-buahan yang manusia dapat merasakan kelezatannya. Begitu juga dengan kurma, memiliki khasiat yang bercampur antara buah-buahan dan gizi. Selain sebagai buah-buahan, dia juga memiliki gizi yang tinggi. Bahkan kenikmatan ini tidak hanya dirasakan untuk manusia saja, namun juga untuk hewan-hewan ternak. Allah siapkan daun-daun kering untuk hewan ternak yang ada di muka bumi ini. Kemudian tumbuhan-tumbuhan yang memiliki aroma-aroma yang harum.([45])
فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 13)
Bumi beserta isinya adalah suatu kenikmatan yang besar. Dalam Bahasa arab lafadz (كُمَا) memiliki makna kalian, yaitu kata ganti untuk dua orang, dan yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah manusia dan jin([46]). Artinya seakan-akan Allah berfirman “Wahai manusia dan jin, nikmat apa lagi yang akan kalian dustakan dari Rabb kalian? Padahal telah diberikan berbagai macam kenikmatan yang disiapkan kepada kalian.”
Disebutkan dalam suatu hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ سُورَةَ «الرَّحْمَنِ» عَلَى أَصْحَابِهِ فَسَكَتُوْا فَقَالَ: مَا لِي أَسْمَعُ الْجِنَّ أَحْسَنَ جَوَابًا لِرَبِّهَا مِنْكُمْ مَا أَتَيْتُ عَلَى قَوْلِ اللَّهِ: فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُما تُكَذِّبانِ إِلَّا قَالُوْا: لَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبِّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْدُ.
“Sesungguhnya Rasulullah membaca surat Ar-Rahman kepada para sahabat, lalu mereka terdiam. Maka Nabi bersada: “Kenapa aku mendengar jawaban jin lebih baik dari pada kalian? Tidaklah setiap aku membaca firman Allah ‘fa bi ayyi alaa’i raabikuma tukaddziban’, melainkan mereka pasti menjawab, ‘Tidak ada satu nikmatpun yang kami dustakan dari engkau wahai Rabb kami, segala puji hanya untuk engkau.” ([47])
Oleh karena itu, dari hadits ini para ulama berdalil bahwa jika seseorang mendengar orang lain membaca firman Allah yang berbunyi (فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ) maka hendaknya dia menjawab dengan:
لَا بِشَيْءٍ مِنْ نِعَمِكَ رَبِّنَا نُكَذِّبُ فَلَكَ الْحَمْد
“Wahai Rabb kami, tidak ada satu nikmatpun yang kami dustakan dari nikmat-nikmat yang engkau berikan kepada kami, segala puji hanya untuk engkau.”
Hal ini bertujuan sebagai bentuk jawaban atas pertanyaan Allah kepada manusia dan jin bahwa tidak sedikit pun nikmat yang mereka dustakan yang telah Allah berikan kepada mereka.
Al-Alusiy dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini mendorong manusia untuk bersyukur kepada Allah. Karena betapa banyak manusia tidak bersyukur kepada Allah. Mereka lupa dengan nikmat Rabb, bahwasanya Allah telah memberikan banyak nikmat dari RububiyyahNya diantaranya berupa kenikmatan dunia.
Diantara bentuk tidak bersyukur adalah manusia beribadah kepada selain Allah, menyandarkan kenikmatan kepada selain Allah. Seperti halnya yang terjadi kepada sebagian dari mereka yang telah tertimpa suatu penyakit, lalu berobat, kemudian sembuh dari sakitnya. Kemudian mereka berkata: ‘Karena dokter saya menjadi sembuh dari sakit’. Begitu juga, jika sebagian mereka telah ditolong oleh polisi, lalu mengatakan: ‘Karena polisilah, saya bisa selamat’. Ini adalah diantara contoh manusia yang tidak bersyukur kepada Allah. Sehingga mereka menyandarkan semua kenikmatan kepada selain Allah. Padahal yang menyembuhkan dan menyelamatkan adalah Allah.
Disamping itu, diantara bentuk tidak bersyukur adalah manusia menyandarkan kenikmatan kepada diri sendiri. Yaitu merasa percaya diri karena kecerdasannya, pengalamannya sehingga dia meraih keberhasilan. Bahkan, perbuatan ini termasuk bentuk berdusta dengan nikmat Allah. Maka dari itu, hendaknya seseorang tidak mendustakan nikmat Allah, sekecil apapun nikmat tersebut. Segala yang dirasakan oleh manusia adalah murni dari Allah.([48])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ
“Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar.” (QS. Ar-Rahman: 14)
Allah menciptakan manusia, yaitu Nabi Adam dari tanah yang kering seperti tembikar([49]). Di dalam Al-Qur’an Allah menyebutkan penciptaan Nabi Adam dalam beberapa fase, sebagaimana dalam firmanNya,
إِنَّ مَثَلَ عِيْسٰى عِنْدَ اللّٰهِ كَمَثَلِ اٰدَمَ ۗ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنُ
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.” (QS. Ali Imran: 59)
Penciptaan Nabi Isa tidak lebih hebat dari pada Nabi Adam. Karena Nabi Isa dilahirkan dari seorang ibu. Adapun Nabi Adam diciptakan tanpa ayah maupun ibu. Di dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Nabi Adam diciptakan dari tanah.([50])
إِنَّا خَلَقْنٰهُمْ مِّنْ طِيْنٍ لَّازِبٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat.” (QS. As-Shaffat: 11)
Maksudnya Allah menciptakan Nabi Adam dari (طِيْنٍ) yaitu tanah yang bercampur dengan air dan (لَّازِبٍ) yaitu tanah yang melekat, seperti tanah liat. Disebutkan dalam suatu riwayat bahwa Allah mengumpulkan berbagai macam tanah dari atas muka bumi ini sebelum penciptaan Nabi Adam. Setelah itu Allah menjadikan tanah tersebut (طِيْنٍ) yaitu tanah yang bercampur dengan air. Setelah itu, tanah tersebut memiliki sifat (لَّازِبٍ) lengket. Lalu, Allah membiarkan tanah tersebut menjadi (حَمَإٍ مَسْنُونٍ) yaitu tanah yang mulai menghitam dan mengeluarkan bau yang tidak sedap, karena dibiarkan dalam waktu yang lama. Kemudian dibentuk dan dibiarkan menjadi (صَلْصَالٍ) yaitu tanah kering seperti (الْفَخَّارِ) yaitu tembikar. Setelah itu Allah meniupkan ruh hingga menjadi Adam. Demikianlah proses penciptaan Nabi Adam. ([51])
Hal ini mirip seperti mukjizat yang Allah berikan kepada Nabi Isa. Beliau membuat burung dari tanah liat, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah,
وَرَسُوْلًا اِلٰى بَنِيْٓ اِسْرَاۤءِيْلَ ەۙ اَنِّيْ قَدْ جِئْتُكُمْ بِاٰيَةٍ مِّنْ رَّبِّكُمْ ۙاَنِّيْٓ اَخْلُقُ لَكُمْ مِّنَ الطِّيْنِ كَهَيْـَٔةِ الطَّيْرِ فَاَنْفُخُ فِيْهِ فَيَكُوْنُ طَيْرًاۢ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚ
“Dan sebagai Rasul kepada Bani Israil (dia berkata), “Aku telah datang kepada kamu dengan sebuah tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah berbentuk seperti burung, lalu aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan izin Allah.” (QS. Ali Imran: 49)
Ayat ini menjelaskan semua karena kekuasaan Allah. Jika Allah ingin menghendaki sesuatu maka cukup berfirman “Kun” (Fayakun) maka terjadilah([52]). Jika ditelusuri menurut ilmu kimia, hal ini tidaklah mungkin terjadi, karena bagaimana mungkin unsur tanah dengan waktu yang cepat berubah menjadi unsur daging. Namun, bagi Allah semuanya itu menjadi mudah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَخَلَقَ الْجَاۤنَّ مِنْ مَّارِجٍ مِّنْ نَّارٍۚ
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api tanpa asap.” (QS. Ar-Rahman: 15)
Para Ulama mengatakan bahwa Jin tidak diciptakan dari api, akan tetapi dari ujung-ujung nyala api. Jadi itulah asal dari diciptakannnya Jin([53]). Disebutkan dalam hadits bahwa Rasulullah bersabda:
خُلِقَتِ الْمَلَائِكَةُ مِنْ نُورٍ، وَخُلِقَ الْجَانُّ مِنْ مَارِجٍ مِنْ نَارٍ، وَخُلِقَ آدَمُ مِمَّا وُصِفَ لَكُمْ
“Malaikat diciptakan dari cahaya, Jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan sebagaimana yang disebutkan (Al-Qur’an) kepada kalian.”([54])
Maka diantara tiga makhluk yang disebutkan dalam hadits, makhluk pertama yang diciptakan adalah malaikat. Dan dia diciptakan dari cahaya. Lalu makhluk berikutnya adalah Jin yang diciptakan dari nyala api. Kemudian manusia yang diciptakan dari tanah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 16)
Yang telah menciptakan manusia adalah Allah. Yang memberikan kenikmatan adalah Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
رَبُّ الْمَشْرِقَيْنِ وَرَبُّ الْمَغْرِبَيْنِۚ
“Rabb (yang memelihara) dua timur dan Rabb (yang memelihara) dua barat.” (QS. Ar-Rahman: 17)
Maksud dalam ayat ini adalah Allah menjelaskan bahwa Dia-lah yang menguasai dua titik tempat terbit dan dua titik tempat tenggelamnya matahari. Dan di dalam ayat yang lain Allah berfirman:
فَلَآ اُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغٰرِبِ اِنَّا لَقٰدِرُوْنَۙ
“Maka Aku bersumpah demi Tuhan yang mengatur tempat-tempat terbit dan terbenamnya (matahari, bulan dan bintang), sungguh, Kami pasti mampu.” (QS. Al-Ma’arij: 40)
Maksudnya adalah Allah menjelaskan bahwa Dia-lah yang menguasai berbagai macam titik terbit dan berbagai macam titik tenggelamnya matahari.
Menurut teori Fisika disebutkan bahwa rotasi bumi mengelilingi matahari memiliki kemiringan sekitar 23⁰. Sehingga dengan kemiringan tersebut mengakibatkan perubahan titik letak terbit matahari yang berbeda-beda. Maka dari itu, setiap hari matahari terbit dari titik letak yang berbeda-beda. Dengan demikian, dalam satu tahun matahari memiliki kurang lebih 360 titik terbit, begitu juga halnya dengan titik terbenamnya matahari. Artinya Allah adalah Rabb yang menguasai berbagai macam titik terbit dan terbenamnya matahari tersebut.
Kemiringan rotasi bumi yang mengelilingi matahari ini juga mengakibatkan pergantian musim, seperti musim panas, musim dingin, musim semi dan musim gugur. Maka, seseorang akan mendapati beberapa negara pada sebagian belahan bumi ini seperi negara yang tidak berada pada garis khatulistiwa mengalami beberapa musim. Hal itu disebabkan dari titik letak terbit dan terbenamnya matahari.
Di dalam ayat ini, Allah menyebutkan dua titik terbit dan dua titik terbenam, maksudnya adalah dua titik terbit di musim yang paling dingin dan di musim yang paling panas. Demikian juga dua titik terbenam di musim yang paling dingin dan di musim yang paling panas.([55])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 18)
Allah menyebutkan nikmatNya yang lain. Bahwa terbitnya matahari adalah suatu kenikmatan. Seandainya Allah tidak menerbitkan matahari, maka manusia akan binasa. Begitupun sebaliknya, seandainya Allah tidak membenamkan matahari, maka manusia akan binasa. Jadi, terbit dan terbenamnya matahari adalah kenikmatan dari Allah. Allah menciptakan siang dan malam. Di waktu siang manusia dapat beraktivitas, malam mereka istirahat dan begitu seterusnya, menunjukkan bahwa semua adalah nikmat dari Allah. Tidak ada yang berjalan dengan sendirinya, melainkan ada yang mengaturnya, yaitu Allah. ([56])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ يَلْتَقِيٰنِۙ. بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيٰنِۚ. فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Dia membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu. Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 19-21)
Allah membiarkan dua laut bertemu. Di dalam ayat ini Allah menyebutkan (الْبَحْرَيْنِ) artinya adalah dua laut. Maksudnya adalah sebagaimana yang telah disebutkan di dalam ayat lain bahwa dua laut itu adalah laut asin dan sumber mata air yang tawar, seperti danau, sungai dan semisalnya. ([57])
بَيْنَهُمَا بَرْزَخٌ لَّا يَبْغِيٰنِۚ
“Di antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing.”
Artinya diantara dua lautan yang saling bertemu tersebut terdapat pembatas, sehingga dua jenis air ini tidak bisa bercampur dengan yang lainnya. Dalam beberapa ayat, Allah menjelaskan dua jenis air ini, diantaranya Allah berfirman:
وَهُوَ الَّذِي مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هَذَا عَذْبٌ فُراتٌ وَهذا مِلْحٌ أُجاجٌ وَجَعَلَ بَيْنَهُما بَرْزَخاً وَحِجْراً مَحْجُوراً
“Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan); yang ini tawar dan segar dan yang lain sangat asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang tidak tembus.” (QS. Al-Furqan:53)
Dan pada ayat yang lain Allah berfirman,
وَما يَسْتَوِي الْبَحْرانِ هَذَا عَذْبٌ فُراتٌ سائِغٌ شَرابُهُ وَهذا مِلْحٌ أُجاجٌ
“Dan tidak sama (antara) dua lautan; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit.” (QS. Fathir: 12)
Lalu pada ayat yang lain,
أَمَّنْ جَعَلَ الْأَرْضَ قَراراً وَجَعَلَ خِلالَها أَنْهاراً وَجَعَلَ لَها رَواسِيَ وَجَعَلَ بَيْنَ الْبَحْرَيْنِ حاجِزاً أَإِلهٌ مَعَ اللَّهِ
“Bukankah Dia (Allah) yang telah menjadikan bumi sebagai tempat berdiam, yang menjadikan sungai-sungai di celah-celahnya, yang menjadikan gunung-gunung untuk (mengokohkan)nya dan yang menjadikan suatu pemisah antara dua laut? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)?” (QS. An-Naml: 61)
Pada ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa maksud dari dua jenis air ini adalah air tawar dan air asin. Sedangkan penghalang atau pembatas dari dua jenis air yang bertemu, para ulama berbeda pendapat. Dan yang paling kuat menurut Ibnu Katsir bahwa pembatas antara dua laut itu adalah bumi yang kering([58]). Seandainya tidak ada bumi, maka air laut dan air sungai akan bersatu. Dan itu hanya akan terjadi pada hari kiamat kelak. Sebagaimana firman Allah,
وَاِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْۙ
“Dan apabila lautan dijadikan meluap.” (QS. Al-Infithar: 3)
Tatkala air laut meluap, maka akan bersatu dengan air sungai, air asin dengan air tawar. Akan tetapi, sebelum tiba hari kiamat Allah menjadikan penghalang antara air sungai dengan air laut, yaitu bumi berupa tanah yang kering dan ditempati manusia.
Adapun menurut sebagian ulama yang lain seperti Al-Qurthubiy, Asy-Syinqithiy dan Ibnu ‘Asyur adalah pembatas yang tidak kelihatan. Artinya ada suatu lokasi dimana air tawar dan air asin bertemu, namun tidak bisa bersatu. ([59])
Bahkan, ada sebagian ulama yang menafsirkan bahwa di dalam laut terkadang ada air tawar yang mengalir. Sehingga jika ada penyelam yang menyelami lautan hingga bagian paling dalam, maka dia akan mendapati air tawar tersebut dan berada di bawah lautan. Air tawar tersebut terpisah dengan air laut dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.([60])
Meskipun pendapat Ibnu Katsir lebih kuat, bahwa pembatas yang dimaksud adalah bumi atau tanah kering yang menghalangi antara air laut dengan air tawar. Namun, itulah dua tafsiran ulama yang disebutkan oleh para ahli tafsir.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَخْرُجُ مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُۚ
“Dari keduanya keluar mutiara dan marjan.” (QS. Ar-Rahman: 22)
Para Ulama menafsirkan (اللُّؤْلُؤُ) adalah mutiara kecil. Sedangkan (الْمَرْجَانُ) adalah mutiara yang besar. Atau sebaliknya Lu’lu’ adalah mutiara yang besar dan Marjan adalah mutiara yang kecil. Intinya keduanya merupakan satu jenis dari mutiara.([61])
Ayat ini menjelaskan bahwa kedua benda mulia ini keluar dari air tawar dan air laut (asin). Mayoritas Ulama menafsirkan bahwa mutiara hanya terdapat pada air asin dan tidak terdapat pada air tawar. Hal itu disebabkan karena pada zaman itu mereka tidak pernah menjumpai bahwa mutiara terdapat pada air tawar. Maka dari itu mereka menafsirkan, meskipun telah disebutkan bahwa mutiara keluar dari kedua air laut dan tawar, namun yang dimaksud adalah keluar dari salah satu dari kedua air tersebut, yaitu hanya air asin.
Ini sama seperti firman Allah :
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ يَقُصُّونَ عَلَيْكُمْ آياتِي وَيُنْذِرُونَكُمْ لِقاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا قالُوا شَهِدْنا عَلى أَنْفُسِنا وَغَرَّتْهُمُ الْحَياةُ الدُّنْيا وَشَهِدُوا عَلى أَنْفُسِهِمْ أَنَّهُمْ كانُوا كافِرِينَ
“Wahai golongan jin dan manusia! Bukankah sudah datang kepadamu rasul-rasul dari kalangan kalian sendiri, mereka menyampaikan ayat-ayat-Ku kepadamu dan memperingatkanmu tentang pertemuan pada hari ini? Mereka menjawab, “(Ya), kami menjadi saksi atas diri kami sendiri.” Tetapi mereka tertipu oleh kehidupan dunia dan mereka telah menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-An’am: 130)
Dalam ayat ini Allah menyebut jin dan manusia, seakan-akan mereka adalah satu. Dan Allah menyatakan para rasul dari kalian (jin dan manusia), padahal kita tahu bahwasanya para rasul hanyalah dari golongan manusia saja dan tidak ada rasul dari golongan jin.
Begitu juga dengan firman Allah,
أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَماواتٍ طِباقاً. وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُوراً وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِراجاً
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis? Dan di langit-langit tersebut Dia menciptakan bulan yang bercahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)?” (QS. Nuh: 15-16)
Sebagaimana diketahui bahwa rembulan hanya terdapat di langit yang paling bawah atau langit dunia. Namun, Allah berfirman bahwa Dia menciptakan bulan pada langit-langit tersebut, maksudnya adalah salah satu langit.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa Allah menyebutkan salah satu benda yang berfungsi mewakili benda lainnya. Sebagaimana yang telah disebutkan di dalam ayat ini, bahwa mutiara keluar dari kedua jenis air (air laut dan air tawar), namun yang dimaksud adalah mutiara hanya terdapat pada air laut/asin saja.([62])
Akan tetapi telah disebutkan dalam tafsir Al-Alusiy bahwa beliau menukilkan sebagian pendapat ulama yang hidup pada zamannya, sebagian mereka berpendapat tentang ayat ini bahwasanya mutiara juga keluar dari sungai. Adapun kondisi bahwasanya orang-orang belum menemukan adanya mutiara yang terdapat di sungai, maka betapa banyak perkara yang mana manusia tidak mengetahuinya. ([63])
Dan ternyata di zaman sekarang telah ditemukan bahwa terdapat mutiara dari dalam sungai. Barangkali pada zaman sebagian ahli tafsir belum diketahui bahwasanya terdapat mutiara yang berasal dari sungai. Maka dari itu, hendaknya seseorang memahami firman Allah dari dzahir ayat bahwa terdapat mutiara yang berasal dari sungai (air tawar) dan juga dari laut (air asin).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَهُ الْجَوَارِ الْمُنْشَاٰتُ فِى الْبَحْرِ كَالْاَعْلَامِۚ. فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Milik-Nyalah kapal-kapal yang berlayar di lautan bagaikan gunung-gunung. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 24-25)
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan diantara kenikmatanNya, yaitu menjadikan kapal yang besar dan berisi muatan-muatan yang banyak, namun mampu mengalir di atas air. Hal ini juga menunjukkan bahwa Allah memberikan kenikmatan kepada manusia, karena mereka mampu membuat kapal tersebut. Disamping itu, diantara nikmat Allah yang lain adalah air yang berada di lautan mampu menampung kapal-kapal yang dibuat oleh manusia dengan muatan-muatan yang berat. Dan itu semua tidak lepas dari kekuasaan Allah.([64])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍۖ. وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ. فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 26-28)
Fana adalah kata yang diambil dari lafadz (فَانٍ) artinya binasa atau tidak kekal. Ayat ini menetapkan sifat wajah bagi Allah. Allah memiliki dzat dan terdapat wajah pada dzat tersebut([65]). Oleh karena itu, disebutkan dalam beberapa hadits bahwa Rasulullah bersumpah dengan wajah Allah, beliau juga berdoa agar bisa melihat wajah Allah. Sebagaimana beliau bersabda,
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ
“Aku memohon kepadaMu (Ya Allah) kelezatan memandang wajahMu.”([66])
Dan Nabi juga mensifati sinar yang keluar dari wajah Allah. Nabi bersabda :
حِجَابُهُ النُّورُ لَوْ كَشَفَهُ لَأَحْرَقَتْ سُبُحَاتُ وَجْهِهِ مَا انْتَهَى إِلَيْهِ بَصَرُهُ مِنْ خَلْقِهِ
“HijabNya adalah cahaya, seandainya Allah menyingkapnya maka cayaha wajahNya akan membakar seluruh makhluknya yang terlihat oleh pandangan Allah” ([67])
Dan tentunya wajah Allah tidak seperti wajah makhluk. Oleh karenanya diantara puncak kenikmatan penghuni surga adalah melihat wajah Allah di surga.
Namun, menurut tata bahasa arab, disebutkan wajah pada ayat ini memiliki fungsi yaitu untuk mewakili dzat secara keseluruhan. Artinya menyebutkan sebagian untuk mewakili seluruh dzat. Seperti halnya seseorang mengatakan: ‘Aku tidak melihat batang hidungnya’. Maksudnya bukan batang hidungnya saja yang tidak ada, akan tetapi wujud orangnyapun tidak ada. Maka batang hidung yang telah disebutkan berfungsi mewakili suatu dzat. Bentuk kalimat seperti ini juga digunakan dalam bahasa Arab.
وَّيَبْقٰى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلٰلِ وَالْاِكْرَامِۚ
“Tetapi wajah Tuhanmu yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.”
Artinya bukan hanya wajah Allah yang tetap kekal, namun semua Dzat Allah secara keseluruhan tetap kekal. Justru, jika seseorang mengatakan bahwa yang dimaksudkan wajah dalam ayat ini adalah dzat, maka hal itu menunjukkan penetapan bahwa Allah mempunyai wajah.
Alasannya, ketika seseorang mengatakan ‘batang hidung’ yang merupakan perwakilan dari dzat manusia seluruhnya, hal itu menunjukkan penetapan bahwa manusia benar-benar memiliki batang hidung. Atau ketika seseorang memberikan sifat kepada manusia dengan ‘tangan panjang’ (mencuri) atau ‘ringan tangan’ (suka membantu), maka hal itu menunjukkan suatu penetapan bahwa manusia benar-benar mempunyai tangan.
Begitu juga halnya, Tatkala seseorang mengatakan bahwa maksud dari wajah Allah pada ayat ini adalah dzat yang mewakili dzat Allah secara keseluruhan, maka hal itu menetapkan bahwa Allah mempunyai wajah.
Sebagian orang mentakwil dan mengatakan bahwa wajah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah dzat dan hal itu menunjukkan bahwa Allah tidak memiliki wajah. Justru, yang benar adalah wajah Allah yang dimaksudkan dalam ayat ini merupakan perwakilan dari dzat. Maka, hal ini menetapkan bahwa Allah mempunyai wajah. Seandainya Allah tidak mempunyai wajah, tidak mungkin sesuatu yang bukan menjadi bagian dari Allah dijadikan sebagai perwakilan dzat Allah.([68])
Dan tidaklah seseorang menjadikan wajah sebagai perwakilan dari dzat Allah, kecuali karena Allah benar-benar mempunyai wajah. Seandainya Allah tidak mempunyai wajah, maka tidak mungkin wajah tersebut dijadikan sebagai perwakilan dari dzat Allah.
ذُو الْجَلٰلِ وَالْإِكْرَامِۚ
“Yang memiliki kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.”
Maksud dari (الْجَلَال) adalah (العَظَمَة) maknanya adalah Maha Agung. Sedangkan (الْإِكْرَام) memiliki makna pemuliaan. Artinya Allah adalah Dzat yang paling utama untuk dimuliakan oleh makhluk-makhlukNya. Dan bisa juga berarti Allah yang memuliakan makhluk-makhlukNya yaitu wali-waliNya, para nabi dan rasul dan orang-orang shaleh. Ini merupakan diantara sifat-sifat Allah.([69])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَسْـَٔلُهُ مَنْ فِى السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِيْ شَأْنٍۚ
“Apa yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahman: 29)
Di dalam ayat ini Allah menggunakan fi’il mudhari’ (يَسْأَلُ) memiliki makna waktu ‘sedang’. Artinya semua makhluk penghuni langit dan bumi senantiasa meminta kepada Allah. Peghuni bumi meminta kepada Allah kebaikan dunia dan akhirat. Mereka meminta rizki, ampunan, hidayah dan segala hal kepada Allah. Begitupun penghuni langit, yaitu malaikat, mereka meminta kepada Allah.([70])
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِيْ شَأْنٍۚ
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”
Allah Yang Maha Mengatur segala urusan alam semesta ini, urusan dalam mengabulkan doa makhluk-makhlukNya dan permintaan malaikat-malaikatNya, urusan dalam menghidupkan dan mematikan makhluk-makhlukNya dan sekian banyak urusan lainnya yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Semuanya di bawah kehendak Allah. Setiap hari Dia dalam urusan.([71])
Hal ini sekaligus menjadi bantahan bagi orang-orang Yahudi yang mengatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta hanya enam hari, sedangkan satu hari yang tersisa, yaitu hari sabtu, Dia istirahat. Demikian yang mereka katakan. Akhirnya, mereka membentuk sebuah solidaritas dengan Tuhan mereka, yaitu pada hari sabtu mereka beristirahat dan tidak bekerja. Karena jika mereka bekerja pada hari sabtu, berarti mereka telah melanggar ketentuan Tuhan mereka.([72])
Jadi, pada ayat ini mengandung bantahan bagi orang-orang Yahudi. Disamping itu pada ayat yang lain juga disebutkan:
لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَّلَا نَوْمٌۗ
“Allah, tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Ini juga menjadi bantahan bagi orang-orang Qadariyyah. Dengan logika, mereka mengatakan bahwa Allah menciptakan manusia, lalu Dia membiarkan begitu saja dan tidak mengurusi urusan mereka. Entah kelak mereka akan menjadi orang yang baik atau buruk, itu bukan menjadi urusan Allah.
Tapi anggapan mereka ini terbantahkan, karena sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah,
كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِيْ شَأْنٍۚ
“Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” (QS. Ar-Rahman: 29)
Artinya Allah setiap waktu mengatur makhlukNya dan juga mengatur alam semesta. Adapun pernyataan orang-orang Qadariyyah adalah keliru dan tidak benar. Perumpamaannya adalah seperti seseorang yang menciptakan dua robot lalu di nyalakan kemudian dibiarkan begitu saja. Dan yang benar adalah bahwa semua makhluk yang ada di alam semesta ini berikut gerakan-gerakannya berada di bawah urusan Allah, “Setiap waktu Dia dalam kesibukan.”
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَنَفْرُغُ لَكُمْ اَيُّهَ الثَّقَلٰنِۚ
“Kami akan memberi perhatian sepenuhnya kepadamu wahai (golongan) manusia dan jin!” (QS. Ar-Rahman: 31)
Artinya Allah akan memberikan waktu khusus untuk manusia dan jin. Sebagian ulama mengatakan maksudnya adalah seakan-akan Allah mengatakan kepada para manusia dan jin: “Meskipun Aku memiliki banyak urusan, Aku tidak lalai dari kalian. Dan nanti pada hari kiamat kelak, akan ada waktu khusus untuk mengurusi pembalasan kepada kalian.”([73])
Maka, hendaknya seseorang berhati-hati dalam beramal dan tidak menganggap bahwa Allah lalai dari urusan manusia, Allah tidak mengurusi manusia dan alam semesta. Bahkan, Allah setiap waktu selalu dalam urusan makhlukNya dan Allah akan memberikan waktu khusus kepada manusia dan jin untuk membalas amal perbuatan mereka, yaitu pada hari kiamat atau hari pembalasan.
Dalam ayat ini Allah menyebut (الثَّقَلَان)([74]) artinya dua hal yang berat, maksudnya adalah golongan manusia dan jin. Adapun sebab dua golongan ini disebut demikian, sebagian ulama mengatakan karena manusia dan jin adalah makhluk yang dimuliakan Allah, oleh karena itulah mereka disebut Ats-Tsaqalan (dua hal yang berat). Ada juga yang mengatakan karena manusia dan jin-lah yang hanya diberi beban yang berat, yaitu berupa syariat. Mereka dibebani untuk menjalankan syariat, hukum halal dan haram. Berbeda dengan malaikat, hewan, tumbuhan dan yang lainnya, mereka merupakan makhluk yang tidak diberikan beban untuk menjalankan syariatNya. Ada juga ulama yang mengatakan karena mereka makhluk yang berat akibat beban dosa-dosa yang mereka lakukan. ([75])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَبِأَيِّ أٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 32)
Diantara nikmat Allah adalah nikmat pembalasan amal bagi orang-orang yang bertaqwa agar mereka menyiapkan diri mereka bahwa semua ketaatan yang mereka lakukan, pasti ada balasannya.([76])
Demikian juga dengan nikmat setiap perbuatan manusia yang selalu diurus oleh Allah, bahkan di setiap waktu. Bukan hanya manusia saja bahkan daun yang jatuh sekalipun Allah yang mengurusinya,
وَيَعْلَمُ مَا فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِۗ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَّرَقَةٍ اِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِيْ ظُلُمٰتِ الْاَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَّلَا يَابِسٍ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مُّبِيْنٍ
“Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am: 59)
اَفَمَنْ هُوَ قَاۤىِٕمٌ عَلٰى كُلِّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ
“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap jiwa terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang lain)?” (QS. Ar-Ra’d: 33)
Allah mengetahui perbuatan manusia seluruhnya. Allah yang mengurusi mereka semua secara rinci. Berbeda dengan manusia, misalnya seorang pengusaha yang memiliki perusahaan dan ribuan anak buah, maka dia tidak mampu mengurusi dan mengatur mereka secara keseluruhan. Jikapun mampu, maka dia hanya bisa mengatur sebatas bagian tertentu saja, adapun selebihnya maka dia tidak akan mampu mengaturnya.
Adapun Allah, Dia adalah Dzat yang Maha Agung, Maha Mengatur segala urusan, mengurusi alam semesta secara keseluruhan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يٰمَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْاِنْسِ اِنِ اسْتَطَعْتُمْ اَنْ تَنْفُذُوْا مِنْ اَقْطَارِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ فَانْفُذُوْاۗ لَا تَنْفُذُوْنَ اِلَّا بِسُلْطٰنٍۚ. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ. يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّنْ نَّارٍۙ وَّنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِۚ. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Wahai golongan jin dan manusia! Jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan (dari Allah). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Kepada kamu (jin dan manusia), akan dikirim nyala api dan cairan tembaga (panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan diri (darinya). Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 33-36)
Dalam ayat ini Allah mengajak berbicara jin dan manusia: “Wahai Jin dan Manusia! Jika kalian mampu untuk lari dari penjuru langit dan penjuru bumi, maka lakukanlah! Namun, kalian tidak akan mampu kecuali dengan kekuatan. Seandainya kalian mampu, maka kalian akan dikejar oleh api yang akan membakar kalian atau dikejar dengan asap yang sangat panas yang akan membakar kalian atau dikejar dengan minyak yang sangat mendidih yang akan membakar kalian atau dikejar dengan tembaga yang meleleh yang akan menghantam kalian.”([77])
Ayat-ayat ini berkaitan dengan adzab dan ancaman Allah pada hari kiamat. Artinya pada hari kiamat nanti, manusia dan jin tidak akan bisa kabur, meskipun dia melintasi penjuru langit maupun penjuru bumi([78]). Ayat ini tidak sedang menjelaskan keterkaitan dengan ruang angkasa, teknologi atau siapa yang ingin menembus penjuru langit, maka bisa dengan ilmu agar bisa menembus ruang angkasa dan menuju bulan. Dan kenyataannya pun, mereka tidak menembusnya, karena masih berada pada langit pertama atau langit dunia. Maka dari itu, tidak selayaknya ayat ini ditafsirkan dan dikaitkan dengan teknologi, apalagi sampai dipaksa-paksakan agar ayat tersebut saling berkaitan. Karena ayat ini sejatinya sedang membicarakan kondisi hari kiamat yang dahsyat dan mengerikan.
Oleh karenanya, Allah berfirman setelah ayat tersebut,
يُرْسَلُ عَلَيْكُمَا شُوَاظٌ مِّنْ نَّارٍۙ وَّنُحَاسٌ فَلَا تَنْتَصِرَانِ
“Kepada kamu (jin dan manusia), akan dikirim nyala api dan cairan tembaga (panas) sehingga kamu tidak dapat menyelamatkan diri (darinya).” (QS. Ar-Rahman: 35)
Ayat ini pula menjelaskan tentang ancaman. Manusia dan Jin tidak akan bisa kabur dan melarikan diri dari adzab Allah. Seandainya mereka bisa kabur, maka Allah mengirimkan nyala api tanpa asap atau asap yang sangat panas atau minyak yang sangat panas atau tembaga yang sangat panas dan meleleh, sedangkan mereka semua tidak bisa saling tolong menolong. ([79])
فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Nikmat Allah yang ada pada ayat-ayat ancaman ini adalah Allah memberi peringatan kepada manusia dan jin agar mereka tidak melakukan kemaksiatan. Tentu jika ada seseorang yang memberi peringatan akan suatu bahaya kepada orang lain, berarti orang tersebut telah berbuat baik kepadanya karena mengingatkannya. ([80])
Hendaknya seseorang bersyukur apabila ada orang lain yang mengingatkannya tentang perilaku maksiat yang telah dikerjakannya. Agar dia tidak mendapat siksa pada hari kiamat. Jadi, diantara rahmat dan nikmat Allah adalah Dia mengirimkan peringatan-peringatan kepada manusia dan jin.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاِذَا انْشَقَّتِ السَّمَاۤءُ فَكَانَتْ وَرْدَةً كَالدِّهَانِۚ. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilauan) minyak. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 37-38)
Di dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa langit yang sekarang terlihat begitu kokoh, mampu menyangga bulan dan bintang-bintang itu ternyata pada hari kiamat akan terbelah. Dan tatkala langit itu terbelah, maka langit yang sekarang terlihat biru itu akan meleleh dan melebur dan berubah menjadi warna yang memerah seperti kilauan minyak.([81])
Adapun (وَرْدَة) memiliki dua tafsiran. Pertama: Bunga yang berwarna merah. Artinya langit tersebut berubah menjadi warna merah. Kedua: kuda tertentu yang memiliki warna abu-abu yang bercampur dengan warna kemerah-merahan. Disebutkan juga bahwa kuda tersebut dalam empat musim warnanya akan berubah-ubah, dan sebagian ulama ahli tafsir menyebut kuda ini dengan (الْكُمَيْت) artinya kuda khusus yang disebut dengan Ward dan mampu berubah warna. Artinya pada hari kiamat langit tersebut akan meleleh dan warna langit yang biru tersebut akan berubah menjadi warna-warni seperti halnya warna kuda yang mampu berubah-ubah tersebut. Demikianlah kondisi hari kiamat kelak.([82])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَيَوْمَئِذٍ لَّا يُسْـَٔلُ عَنْ ذَنْۢبِهِ اِنْسٌ وَّلَا جَاۤنٌّۚ. فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ. يُعْرَفُ الْمُجْرِمُوْنَ بِسِيْمٰهُمْ فَيُؤْخَذُ بِالنَّوَاصِيْ وَالْاَقْدَامِۚ
“Maka pada hari itu manusia dan jin tidak ditanya tentang dosanya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan.? Orang-orang yang berdosa itu diketahui dengan tanda-tandanya, lalu direnggut ubun-ubun dan kakinya.” (QS. Ar-Rahman: 39-41)
Artinya pada hari kiamat manusia dan jin tidak akan ditanya tentang dosa mereka. Karena orang-orang kafir dikenal dengan ciri-ciri yang ada pada mereka. Kemudian, malaikat menyeret mereka dengan dipegang ubun-ubun dan kaki mereka untuk dilemparkan ke dalam neraka Jahannam.([83])
يُعْرَفُ الْمُجْرِمُوْنَ بِسِيْمٰهُمْ
“Orang-orang yang berdosa itu diketahui dengan tanda-tandanya.”
Sehingga pada hari tersebut mereka tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa yang telah mereka kerjakan. Karena ciri-ciri orang-orang kafir dan pelaku dosa terihat pada waktu itu. Seperti yang telah disebutkan dalam beberapa hadits yang menjelaskan ciri-ciri orang kafir, pelaku dosa dan maksiat, begitu juga dengan orang-orang shaleh ketika dibangkitkan pada hari kiamat.([84])
Diantaranya Allah berfirman,
يَوْمَ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ وَنَحْشُرُ الْمُجْرِمِينَ يَوْمَئِذٍ زُرْقًا
“Pada hari (Kiamat) sangkakala ditiup (yang kedua kali) dan pada hari itu Kami kumpulkan orang-orang yang berdosa dengan (wajah) biru muram.” (QS. Thaha: 102)
Begitu juga dalam ayat yang lain,
يَّوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَّتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ ۚ فَاَمَّا الَّذِيْنَ اسْوَدَّتْ وُجُوْهُهُمْۗ اَ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ فَذُوْقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُوْنَ
“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan), “Mengapa kamu kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu.” (QS. Ali Imran: 106)
Para ulama mengatakan bahwa orang-orang kafir pada hari kiamat kelak akan dibangkitkan dalam kondisi wajah mereka hitam, sedangkan mata mereka biru karena penuh dengan ketakutan.([85])
Adapun orang yang beriman seperti umat Nabi Muhammad akan dibangkitkan, sebagaimana sabda Rasulullah,
إِنَّ أُمَّتِي يُدْعَوْنَ يَوْمَ القِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ آثَارِ الوُضُوءِ
“Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam keadaan bercahaya wajahnya, tangannya dan kakinya disebabkan bekas-bekas wudhu.”([86])
Pada hari kiamat kelak Allah tidak perlu bertanya kepada mereka tentang dosa-dosa yang telah mereka perbuat. Karena Allah mengetahui seluruh keadaan hamba-hambaNya. Dia mengetahui umat Nabi Muhammad, pelaku dosa dan maksiat, orang-orang kafir, orang-orang munafik dan yang lainnya, karena masing-masing memiliki ciri-ciri yang ada pada diri mereka.
Para ulama juga menyebutkan bahwa pada hari kiamat kelak akan ada fase-fase yang harus dilewati oleh manusia dan jin. Seperti fase ketika mereka dibangkitkan, dihisab, mizan dan seterusnya. Pada ayat ini menerangkan bahwa Allah tidak bertanya kepada mereka. Artinya pada saat pertama kali mereka dibangkitkan dari kubur mereka, Allah tidak bertanya kepada mereka, karena Allah sudah mengetahui ciri-ciri mereka.
Namun, di dalam sebagian ayat yang lain disebutkan bahwa Allah bertanya kepada mereka,
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua. Tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr: 92-93)
Pada ayat ini menjelaskan sesungguhnya di hari kiamat kelak Allah bertanya kepada manusia pada saat kondisi tertentu setelah dibangkitkan. Terutama saat mereka dihisab, Allah akan bertanya kepada mereka, padahal Allah mengetahui apa yang akan mereka jawab. Hal ini bertujuan untuk menghinakan mereka.
Perumpamaanya adalah seperti seorang pemilik rumah yang telah menangkap pencuri dan mengadilinya. Lalu dia bertanya kejahatan yang telah dilakukannya, padahal dia melihat tindakan pencuri itu yang telah terekam di cctv. Sejatinya, pemilik rumah mengetahui perbuatan pencuri tersebut, namun tetap dicerca dengan pertanyaan atas perbuatannya, supaya dia merasa malu dan terhina.
Jadi, pada hari kiamat kelak Allah bertanya kepada manusia dan jin, bukan berarti untuk mencari tahu. Bahkan, hal itu bertujuan untuk menghinakan mereka. Allah bertanya dosa apa yang telah mereka perbuat dan kenapa mereka melakukan dosa tersebut.([87])
Namun, setelah Allah bertanya kepada mereka, akhirnya merekapun mengingkari dan berdusta,
ثُمَّ لَمْ تَكُنْ فِتْنَتُهُمْ إِلَّآ أَنْ قَالُوْا وَاللّٰهِ رَبِّنَا مَا كُنَّا مُشْرِكِيْنَ
“Kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, kecuali mengatakan, “Demi Allah, ya Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan Allah.” (QS. Al-An’am: 23)
Setelah orang-orang kafir mengingkari dan berdusta dengan menjawab seperti itu. Maka Allah berfirman,
اَلْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلٰٓى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَآ أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin: 65)
Pada saat itu Allah menutup mulut mereka, karena mereka sering berdusta. Kemudian Allah membuat tangan, kulit dan kaki mereka berbicara. Dan itulah diantara fase-fase yang dilalui manusia pada hari kiamat kelak.
فَيُؤْخَذُ بِالنَّوَاصِيْ وَالْأَقْدَامِۚ
“Lalu direnggut ubun-ubun dan kakinya.”
Setelah fase tersebut, orang-orang kafir diambil oleh malaikat pada ubun-ubun dan kaki mereka, lalu diseret kepada neraka Jahannam. Menurut sebagian ulama menyebutkan artinya adalah malaikat mengambil dan melipat tubuh mereka dengan menyatukan kaki dan ubun-ubun dari arah belakang, lalu dilemparkan ke neraka Jahannam. Ada juga yang mengatakan malaikat melipat tubuhnya dari kaki hingga kepala dari depan sebagaimana seseorang melipat kayu, lalu dilemparkan ke neraka Jahannam. Ada juga yang mengatakan sebagian malaikat menarik kaki mereka, sehingga mereka terseret di atas kepalanya lalu dilemparkan ke neraka Jahannam. Ada juga yang mengatakan malaikat akan menarik ubun-ubunnya hingga terseret wajahnya dan dilemparkan ke neraka Jahannam. ([88])
Intinya, mereka dimasukkan ke neraka Jahannam dengan paksaan dan cara yang sangat menghinakan mereka.
فَبِاَيِّ ءاٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 42)
Kembali Allah menyebutkan nikmat-nikmatNya, yaitu berupa peringatan kepada manusia agar tidak bermaksiat. Dan bagi seorang yang beriman, peringatan adalah suatu kenikmatan baginya. Karena jika orang yang beriman tidak diingatkan, maka dia akan lalai, merasa hidup selamanya, Allah tidak mencatat segala ucapan dan perbuatannya hingga dia meninggal dunia tanpa disadari.([89])
Seperti yang telah dikisahkan dalam sebuah cerita yang nyata. Bahwa ada seseorang yang meninggal dunia dalam keadaan bermain judi. Ketika dia sedang bermain judi, melihat kartu, lalu dia meninggal dunia dalam kondisi masih memegang kartu. Bayangkan, dia tidak merasa bahwa dia bakal menemui ajalnya, tiba-tiba Allah mencabut nyawanya di saat dia sedang bermaksiat kepada Allah. Wal’iyadzu billah
Oleh karenanya, dengan adanya peringatan-peringatan seperti ini, menunjukkan akan nikmat Allah yang telah diberikan kepada hambanya yang beriman. Karena, manusia sering lalai.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هٰذِهِ جَهَنَّمُ الَّتِيْ يُكَذِّبُ بِهَا الْمُجْرِمُوْنَۘ. يَطُوْفُوْنَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَمِيْمٍ ءاٰنٍۚ. فَبِاَيِّ ءاٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Inilah neraka Jahanam yang didustakan oleh orang-orang yang berdosa. Mereka berkeliling di sana dan di antara air yang mendidih. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 43-45)
Inilah neraka Jahannam yang didustakan oleh orang-orang kafir dan pelaku maksiat. Mereka melihat dan merasakan dengan nyata neraka yang telah dahulu mereka dustakan dan mereka minta agar disegerakan kepada Nabi Muhammad. Pada waktu itu yaitu hari kiamat mereka merasakannya dengan sebenar-benarnya.([90])
يَطُوْفُوْنَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ حَمِيْمٍ ءاٰنٍۚ
“Mereka berkeliling di sana dan di antara air yang mendidih.”
Maksud dari (حَمِيْم) adalah air yang sangat panas. Sedangkan (ءاٰنٍۚ) adalah puncak kepanasan. Artinya air yang sudah panas dan mencapai puncaknya yang paling panas. Allah telah menciptakannya sejak diciptakannya neraka Jahannam, lalu neraka tersebut menunggu penghuninya datang, sedangkan setiap hari selalu bertambah rasa panasnya.([91])
فَبِاَيِّ ءاٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
“Dan bagi orang yang takut akan kedudukan Rabb nya akan mendapatkan dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46)
Pada ayat ini Allah menyebutkan kenikmatan-kenikmatan yang didapatkan oleh penghuni surga di dalam surga. Pada ayat sebelumnya Allah telah menjelaskan gambaran-gambaran kondisi orang-orang yang masuk neraka Jahannam dan bagaimana keadaan mereka dihinakan dan disiksa di dalamnya. Setelah itu, Allah menyebutkan hal yang berlawanan dari keadaan tersebut yaitu berupa kenikmatan-kenikmatan di dalam surga. Begitulah diantara metode di dalam Al-Qur’an, biasanya setelah disebutkan ayat-ayat yang menjelaskan tentang penghuni neraka, maka setelahnya akan diikuti dengan ayat-ayat yang menyebutkan tentang penghuni surga atau jika Allah menyebutkan tentang azab neraka, maka setelahnya akan menyebutkan tentang kenikmatan yang ada di surga.([92])
Di dalam ayat ini disebutkan (مَقَامَ رَبِّهِ), sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama asal katanya adalah (القِيَامُ) yang memiliki dua penafsiran.
Pertama, maknanya adalah berdiri. Artinya orang yang takut ketika berdiri di hadapan Allah pada hari kiamat kelak. Dia takut karena pada hari kiamat nanti ia akan disidang oleh Allah Ta’ala dan mempertanggung-jawabkan atas apa saja yang telah ia lakukan, yang pernah ia lihat, yang pernah ia dengar dan yang pernah ia tulis, karena semuanya akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah. ([93])
Seorang hamba ketika mengingat bahwa suatu hari ia akan berdiri di hadapan Allah. Maka, ia akan takut kepada Allah dan tentunya kekhawatirannya tersebut akan membuatnya takut dan selalu berhati-hati dalam bertindak, berucap, berkata-kata, melihat, mendengar dan menulis ketika di dunia ini. Karena ia tahu bahwa ia akan bertanggung jawab di hadapan Rabbnya untuk mempertanggung jawabkan itu semua pada hari kiamat kelak.
Kedua, maknanya kembali kepada Allah Ta’ala, yaitu القِيَامُ بِشُؤُوْنِ خَلْقِهِ Dia yang mengatur urusan hamba-Nya, mengurus urusan mereka, sebagaimana dalam Firman Allah:
أَفَمَنْ هُوَ قَائِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ
“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap jiwa tentang apa yang diperbuatnya”. (QS. Ar-Ra’d: 33)
Ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah selalu memperhatikan hamba-hambaNya, Dzat yang mengatur mereka, Maha Melihat atas apa yang mereka lakukan. Dialah Rabb yang memerintahkan malaikat untuk mencatat seluruh amalan hamba sehingga muncul rasa takut dari seorang hamba kepadaNya; karena hamba tersebut mengetahui bahwasanya ia senantiasa diawasi oleh Allah. Oleh karena itu banyak para ulama yang menyebutkan tentang tafsir ayat ini bahwa seorang hamba jika memiliki keinginan untuk bermaksiat, akan tetapi ia takut kepada Allah, kemudian dia meninggalkan perbuatan tersebut. Maka mereka akan mendapatkan dua surga.([94])
Sejatinya bagi seseorang yang hatinya tergerak untuk berbuat maksiat, entah itu keinginan untuk mendengarkan, melihat, mengucapkan, makan atau minum sesuatu yang haram atau bahkan menerima uang/gaji yang haram atau apa saja yang berupa kemaksiatan, maka hendaknya ia mengingat ayat ini:
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
“Dan bagi orang yang takut akan kedudukan Rabb nya akan mendapatkan dua surga”.
Artinya jika dia meninggalkan kemaksiatan yang terbetik dalam niatnya itu, maka dia termasuk golongan yang telah disebutkan di dalam ayat ini. Dan ayat ini merupakan dalil bahwa amalan hati merupakan ibadah yang agung. Allah menyebutkan orang mendapatkan kenikmatan surga ini disebabkan satu amalan yakni (الْخَوف) yaitu rasa takut kepada Allah, bukan karena amalan yang lain.
Maka dari itu, hendaknya seseorang tidak hanya memperhatikan amalannya yang baik secara zhahir saja, seperti shalat, membaca Al-Qur`an, puasa dan sebagainya. Akan tetapi juga harus memperhatikan amalannya yang bersifat batin, seperti rasa takut, harapan dan cintanya kepada Allah harus ia pupuk sehingga amalan hati seorang hamba menjadi agung dan mendapat pahala besar di sisi Allah.([95])
Jadi, ayat ini menunjukkan bahwa rasa takut kepada Allah adalah amalan yang agung dan memiliki ganjaran yang amat besar yakni mendapatkan balasan dua surga. Oleh karena itu janganlah seseorang hanya memperhatikan amalan zhahir saja, penampilannya dan kegiatannya sesuai dengan sunnah, akan tetapi ia tidak memperhatikan keadaan hatinya, tidak ada rasa takut kepada Allah, tidak ada rasa harap kepada Allah, cintanya kepada Allah terasa hambar, maka hendaknya seseorang memperhatikan amalan zhahir dan juga amalan batin.
Adapun maksud dua surga, maka para ulama memiliki beberapa penafsiran tentang maksud dua surga yang disebutkan pada ayat ini. Ada yang mengatakan bahwa keduanya adalah surga ‘Adn dan surga Na’im([96]). Ada juga yang mengatakan surga keabadian dan surga kenikmatan. Sebagian ulama ada yang mengatakan surga dari emas dan surga dari perak([97]). Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah surga untuk ia sendiri dan yang lain adalah surga untuk dirinya bersama para pelayannya. Dan perlu diketahui bahwa ini semua hanyalah pendapat para ulama tafsir. Intinya adalah orang tersebut memiliki dua surga, tidak satu surga([98]). Adapun bagaimana kaifiyah surga tersebut dan hakikatnya Allah lebih mengetahui tentang semua itu. Oleh karena itu Nabi bersabda:
لَا تَسُبُّوا وَرَقَةَ فَإِنِّي رَأَيْتُ لَهُ جَنَّةً أَوْ جَنَّتَيْنِ
“Jangan kalian cela Waraqah karena sesungguhnya aku melihat baginya sebuah surga atau dua surga”. ([99])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 47)
Dalam ayat ini berisi sebuah peringatan dari Allah atas kenikmatan yang telah diberikan kepada hamba-hambanNya. Sekaligus menjadi motivasi kepada mereka, agar mereka meninggalkan maksiat tatkala sendirian. Sehingga ketika seseorang ingin melakukan maksiat, ingin melihat, mendengar atau melakukan hal yang haram, maka ia ingat tentang keagungan Allah. Dan sesuai dengan janjiNya yang telah disebutkan dalam ayat ini, maka baginya dua surga.([100])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ذوَاتَا أَفْنَانٍ
“(Kedua surga itu) memiliki berbagai macam warna” (QS Ar-Rahman:48)
Kata (أَفْنَانٌ) merupakan jamak dari kata (فَنٌّ) yang maknanya adalah (لَوْنٌ) yaitu warna. Pada ayat ini Allah menjelaskan sifat-sifat surga. Diantara sifat surga adalah dia memiliki warna warni yang indah dengan bermacam-macam warna. Sebagian mereka juga mengatakan maksudnya adalah warna-warni dari buah-buahan.
ذَوَاتُ أَلْوَانٍ مِنَ الْفَاكِهَةِ
“(Surga) yang memiliki buah-buahan yang berbagai macam warna”.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwasanya (أَفْنَانٌ) merupakan jamak dari (فَنَنٌ) yang artinya adalah (غُصْنٌ) yakni cabang-cabang yang begitu banyak dan cabang-cabang tersebut berisi buah-buahan yang begitu banyak.([101])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS Ar-Rahman: 49)
Ayat ini menggunakan kata ganti untuk dua orang (تُكَذِّبَانِ) yang maknanya adalah “kalian berdua dustakan” maksudnya adalah golongan Jin dan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِيهِمَا عَيْنَانِ تَجْرِيَانِ
“Di dalam keduanya (surga) terdapat dua mata air yang mengalir”. (QS Ar-Rahman ayat 50)
Diantara sifat surga yang disebutkan pada ayat ini adalah terdapat dua air yang mengalir di dalam kedua surga tersebut. Dua air itu tidak hanya terpancar, bahkan dia mengalir seperti sungai. Allah lebih mengetahui tentang dua mata air ini.
Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwasanya salah satunya adalah mata air dari Salsabil, sedangkan yang satunya lagi adalah mata air dari Tasnim. Dan sebagian ulama lain mengatakan bahwa dua mata air ini tidak bisa diperoleh kecuali oleh orang-orang yang kedua matanya mengalirkan air mata karena takut kepada Allah. Ada juga yang mengatakan bahwa keduanya adalah mata air khamr dan mata air yang segar([102]). Intinya adalah bahwa terdapat dua mata air di dalam surga itu. Tidak ada dalil yang tegas yang menunjukkan tentang perincian hal tersebut.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS Ar-Rahman: 51).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِيهِمَا مِنْ كُلِّ فَاكِهَةٍ زَوْجَانِ
“Di dalam kedua surga itu terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan.” (QS Ar-Rahman: 52)
Diantara sifat surga yang lain yaitu memiliki buah yang berpasang-pasangan. Allah lebih mengetahui hakekat tentang buah-buah yang berpasangan itu. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa buah yang satu manis sedangkan yang lainnya adalah pahit. Dan para ulama juga berbeda penafsiran bahwa masing-masing buah itu memiliki dua bentuk. Adapun bentuknya tidak ada makhluk yang mengetahuinya kecuali Allah.([103])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS Ar-Rahman: 53).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مُتَّكِئِينَ عَلَى فُرُشٍ بَطَائِنُهَا مِنْ إِسْتَبْرَقٍ وَجَنَى الْجَنَّتَيْنِ دَانٍ
“Mereka bertelekan di atas permadani-permadani yang bagian bawahnya dari sutera. Dan buah-buahan di kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat”.(QS Ar-Rahman: 54)
Kata (فُرُشٌ) merupakan bentuk jamak dari (فِرَاشٌ) yang maknanya adalah sesuatu yang dihamparkan. Sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud adalah permadani atau semacam karpet yang diletakkan di atas tanah. Permadani ini bagian bawahnya terbuat dari kain sutra yang halus. Allah tidak menyebutkan sifat-sifat bagian atasnya. Para ulama menjelaskan bahwa Allah tidak menyebutkan hal itu karena di bagian atasnya terdapat kenikmatan yang disembunyikan oleh Allah. Cukuplah bagi seseorang mengetahui bagian bawahnya saja yang menempel dengan tanah terbuat dari sutra yang halus. Maka dari itu dapat dipastikan bagian atasnya tentu saja sangat indah([104]). Di dalam ayat lain disebutkan:
عَلى سُرُرٍ مَوْضُونَةٍ مُتَّكِئِينَ عَلَيْها مُتَقابِلِينَ
“Mereka berada di atas dipan-dipan yang bertahtakan emas dan permata. Mereka bersandar di atasnya berhadap-hadapan.” (QS Al-Waqi’ah: 15-16)
Begitu juga dengan firman Allah,
عَلٰى سُرُرٍ مُّتَقٰبِلِيْنَ
“(Mereka duduk) berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.” (QS. As-Saffat: 44)
Artinya penghuni surga terkadang bertelekan di atas permadani. Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa permadani ini diletakkan di atas tanah. Sedangkan sebagian ulama yang lain ada yang mengatakan bahwa permadani ini diletakkan di atas tempat tidur, sehingga secara umum tetap dikatakan bahwa mereka bertelekan di atas dipan-dipan yang tinggi.([105])
Adapun kata (مُتَّكِئِيْنَ) asal katanya adalah dari kata (اتِّكَاءٌ) yang maknanya adalah bertelekan yang merupakan keadaan pertengahan antara duduk dan tidur. Penghuni surga saat itu tidak duduk dan tidak tidur. Akan tetapi bersandar dengan bertelekan. Para ulama mengatakan itulah merupakan cara duduk orang-orang yang sedang berada dalam kenikmatan, dalam kondisi sehat dan aman. Bukan seperti cara duduk orang yang sakit dan bukan pula seperti orang yang sibuk dan banyak pikiran. Para ahli tafsir juga mengatakan ini menunjukkan cara duduknya orang yang sedang dilayani, karena ketika seseorang menginginkan sesuatu maka ia tidak perlu bangun untuk mengambilnya karena sudah ada yang melayaninya. Sehingga kesimpulannya mereka adalah sedang berada dalam kenikmatan yang sempurna sembari bertelekan di atas permadani yang bagian bawahnya adalah sutra yang halus terlebih lagi bagian atasnya.([106])
وَجَنَى الْجَنَّتَيْنِ دَانٍ
“Dan buah-buahan di kedua surga itu dapat (dipetik) dari dekat.” (QS Ar-Rahman: 54)
Penghuni surga dalam kondisi bertelekan dapat memetik buah-buahan yang dahannya dapat mendekat ke penghuni surga tersebut tanpa perlu bersusah payah untuk memetiknya dan ia bisa memakan buahnya tanpa kepayahan sama sekali. Itu semua menunjukkan kekuasaan Allah atas segala sesuatu yang mungkin saja terjadi.([107])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS Ar-Rahman: 55).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِيهِنَّ قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Di permadani-permadani tersebut terdapat para bidadari yang menundukkan pandangan mereka, yang tidak pernah disentuh sebelumnya oleh seorang pun manusia maupun jin.” (QS Ar-Rahman: 56)
Dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya bahwa pada ayat ini Allah menyebutkan tentang bidadari. Allah tidak mengatakan dalam dua surga ada bidadari-bidadari, akan tetapi Allah mengatakan di dalam permadani-permadani tersebut terdapat bidadari-bidadari. Dalam ayat ini Allah menyebutkan (فِيْهِنَّ), yang mana kata gantinya kembali kepada kata (فُرُشٌ) yaitu di permadani-permadani yang bertebaran. Dimana pada tiap permadani terdapat bidadari yang menanti.([108])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ
“Para bidadari yang menundukkan pandangan mereka.”
Ayat ini menjelaskan sifat-sifat bidadari yang berada di surga. Diantara sifatnya adalah mereka selalu menundukkan pandangan. Para ulama memiliki dua penafsiran tentang arti ‘menundukkan pandangan’.
Pertama, artinya para bidadari menundukan pandangan suami mereka penghuni surga. Yaitu para bidadari tersebut begitu cantik dan jelitanya membuat para suami mereka sangat puas memandangnya dan menundukkan pandangan mereka hanya kepada bidadari tersebut. Sehingga para suami tidak perlu lagi melirik lagi kepada wanita yang lain. Hal itu dikarenakan saking cantiknya dan indahnya bidadari tersebut yang hadir di tengah-tengah mereka.
Tidak seperti wanita dunia, meskipun seorang suami memiliki seorang istri yang sudah sangat cantik jelita dan sangat mulia akhlaknya, namun masih tetap melirik kepada wanita yang lain. Karena tidak ada yang sempurna di atas dunia ini. Maka, sungguh berbeda dengan keadaan penghuni surga ketika berada di dalam surga. Setiap kali penghuni surga melihat bidadari, maka ia akan merasa puas dan tidak ingin melirik wanita lain. Terlebih lagi setiap penghuni surga memiliki banyak bidadari dan tiap bidadari memiliki sifat ini, yaitu mampu menundukkan pandangan pasangannya karena kesempurnaan kecantikannya.
Kedua, artinya adalah para bidadari itu menundukan pandangan bidadari itu sendiri, sehingga para bidadari memiliki sifat tidak pernah melihat kepada lelaki lain. Yang dia lihat hanyalah suaminya. Dan menurutnya lelaki yang paling sempurna di surga adalah pasangannya tersebut, sehingga ia tidak mau melihat kepada lelaki lainnya. Inilah sifat mulia yang tidak dimiliki oleh banyak wanita dunia. Sebagian wanita adakalanya telah memiliki suami yang lumayan sempurna, namun masih melirik kepada lelaki lainnya. Bahkan terkadang membandingkan suaminya dengan suami orang lain. Perbuatan ini bukanlah akhlak seorang bidadari. Justru, seorang bidadari hanya fokus kepada suaminya dan tidak pernah melihat lelaki yang lain.([109])
Perumpamaannya adalah seperti seorang wanita yang terlahir dan dia tidak pernah melihat lelaki manapun kecuali pasangannya. Seburuk apapun pasangannya, maka di matanya dia-lah yang paling tampan. Karena dia tidak pernah melihat lelaki lain, sehingga ia sama sekali tidak akan mampu membandingkan dengan lelaki lainnya. Terlebih lagi, masing-masing penduduk surga dijadikan tampan oleh Allah.
Artinya keduanya baik bidadari maupun suaminya saling menundukkan pandangannya. Suami yang merupakan penghuni surga merasa puas dengan bidadari yang ia miliki sehingga tidak perlu meilirik kepada wanita lainnya. Begitu juga dengan istrinya yang merupakan sang bidadari tidak melirik laki-laki yang lain, dia memiliki akhlak yang mulia, menundukkan pandangannya dan tidak pernah membandingkan suaminya dengan lelaki lainnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Yang tidak pernah disentuh sebelumnya oleh seorang pun manusia maupun jin.”
Diantara sifat bidadari adalah tidak pernah disentuh sebelumnya oleh seorangpun dari kalangan manusia maupun jin. Kata (طَمْث) maknanya adalah darah. Oleh karena itu wanita yang haid disebut juga dengan (طَمَثَتْ) yakni wanita yang sedang haid. Kata ini kemudian digunakan untuk istilah jima’, artinya ketika seorang lelaki berhubungan badan dengan wanita atau seorang gadis, setelah itu kegadisannya menjadi rusak/robek, sehingga hal itu akan mengakibatkan wanita tersebut mengeluarkan darah. Inilah alasan disebut dengan istilah (طَمْث), karena ia berkaitan dengan darah. Oleh karena itu sebagian ulama menyebutkan, ayat ini mengisyaratkan bahwa para bidadari surga selalu perawan, setiap digauli selalu dalam keadaan gadis. Itulah sebabnya Allah menggunakan kata (طَمْث) pada ayat ini.([110])
Lalu sebagian ulama seperti Al-Alusiy dan Ibnu Asyur menjelaskan bahwa secara bahasa (طَمْث) bermakna jima’ dengan gadis. Kemudian makna kata ini digunakan juga untuk makna jima’ secara umum dan tidak terbatas pada gadis saja. ([111])
Di dalam ayat ini terdapat beberapa faedah, di antaranya:
Faedah Pertama, Bidadari tersebut tidak pernah disentuh maupun digauli oleh lelaki manapun, baik dari golongan manusia maupun jin. Dan ini menjadi dalil bahwa bidadari yang disebutkan oleh Allah adalah (حُوْرٌ عِيْنٌ) yaitu bidadari yang Allah ciptakan untuk melayani lelaki yang menjadi penghuni surga, bukan wanita dunia yang menjadi seorang istri dan masuk surga. Karena Allah berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ
“Yang tidak pernah disentuh sebelumnya oleh seorang pun manusia maupun jin.”
Semua orang tahu bahwa jikapun seorang wanita dunia masuk surga. Barangkali dia di dunia merupakan seorang janda, yang sudah disentuh oleh suaminya yang pertama atau yang kedua. Jadi, ayat ini khusus menjelaskan berkaitan dengan bidadari yang Allah ciptakan di surga.
Disamping itu Allah juga berfirman:
إِنَّا أَنْشَأْنَاهُنَّ إِنْشَاءً. فَجَعَلْنَاهُنَّ أَبْكَارًا
“Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (para bidadari) dengan sebaik-baiknya. Lalu Kami jadikan mereka senantiasa dalam keadaan perawan.” (QS Al-Waqi’ah: 35-36)
Artinya Allah menciptakan bidadari tersebut dengan sebaik-baiknya secara langsung dan spontan, tanpa melalui proses sebagaimana manusia dilahirkan di dunia. Ketika di dunia manusia terlahir dengan proses yang lama. Dimulai dengan keadaanya yang kecil, merangkak, lalu tumbuh besar hingga menjadi dewasa. Berbeda dengan penciptaan bidadari di surga. Allah menciptakannya dalam keadaan sudah menjadi dewasa dan siap untuk digauli. Setiap bidadari tersebut digauli oleh suaminya, maka keadaanya selalu gadis. ([112])
Faedah Kedua, Ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwasanya jin bisa menggauli wanita dari golongan manusia. Walaupun memang terjadi khilaf pendapat di kalangan para ulama tentang hal ini. Sebagian ulama juga menyebutkan bahwa tidak mungkin jin berhubungan badan dengan manusia. Karena mereka diciptakan dari sumber yang berbeda. Jin terbuat dari api sedangkan manusia dari tanah. Sebagian ulama mengatakan bahwa jin bisa berhubungan dengan manusia.([113]) Dan berdasarkan firman Allah,
وَشَارِكْهُمْ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ وَعِدْهُمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا
“Dan bersekutulah dengan mereka pada harta dan anak-anak lalu beri janjilah kepada mereka.” (QS. Al-Isra’: 64)
Diantara penafsiran ayat tersebut adalah bahwa para jin ikut bersekutu dalam hubungan badan antara manusia. Bahkan sebagian ulama salaf ada yang berkata bahwa jika seorang suami berhubungan badan dengan istrinya, namun tidak membaca do`a tatkala berhubungan badan terlebih dahulu, maka jin bisa ikut serta menikmati istrinya tanpa disadari oleh suami.([114])
Pernah terjadi seorang suami yang sedang bepergian dan meninggalkan istrinya di rumah sendirian. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba ada seseorang yang datang menemui istrinya dengan wujud yang sama dengan dirinya. Setelah itu, lelaki tersebut mengajak sang istri untuk berhubungan badan. Lalu sang istri membaca do`a sebelum berhubungan badan dan tiba-tiba sosok lelaki tersebut hilang seketika. Dan ternyata sosok tersebut adalah jin yang menyamar menjadi suami wanita tersebut. Sehingga mungkin saja terjadi hubungan badan antara jin dengan manusia.
Kemudian, pernah juga terjadi sebuah kejadian yang nyata. Ada seorang lelaki yang sedang bepergian untuk beberapa hari, sedangkan istrinya berada di rumah sendirian. Setelah itu datang sosok seorang lelaki yang wujudnya seperti wujud suaminya. Kemudian, dia menggauli istrinya dan terjadilah hubungan badan. Setelah itu, seorang suami itu datang pada hari yang telah ditentukan. Singkat cerita, tiba-tiba istrinya kaget dan menceritakan kejadiannya yang terjadi pada tempo hari saat suaminya bepergian, sedangkan sang suami mengingkarinya. Dan ternyata sosok yang telah menggauli istrinya adalah jin yang menyamar menjadi lelaki tersebut.
Dari cerita tersebut, hendaknya seorang suami dan istri yang hendak berhubungan badan membaca doa yang telah diajarkan oleh Nabi. Dan hendaknya yang membaca doa adalah keduanya yaitu, suami dan istri. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian mendatangi istri kalian, hendaknya dia mengucapkan:
اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
“Ya Allah, jauhkanlah syai’than dari kami dan jauhkanlah syaithan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami.” ([115])
Kejadian semacam ini menunjukkan bahwa bisa saja jin berhubungan badan dengan seorang manusia. Bahkan, dalam banyak kasus telah terjadi bahwa jin laki-laki merasuki tubuh seorang wanita. Yang ternyata ada hubungan cinta dan kasih antara keduanya. Dan pada kasus yang lain ada wanita yang jatuh cinta kepada jin laki-laki. Karena dia bisa merubah dirinya menjadi sosok laki-laki yang sangat tampan di hadapan wanita tersebut. Sehingga terjadinya hubungan seksual antara jin dan manusia sangat mungkin terjadi, maka terjadilah khilaf di kalangan para ulama, Wallahu a’lam.
Para ulama juga membahas tentang hukum pernikahan antara jin dengan manusia. Dan mereka berbeda pendapat. Pertama, sebagian dari mereka mengatakan hukumnya adalah haram. Dan ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal. Kedua, makruh dan ini adalah pendapat Imam Malik. Ketiga, sebagian yang lain mengatakan boleh.([116])
Dan pendapat yang lebih tepat adalah haram dan tidak boleh. Karena hal itu menimbulkan kerancuan dan permasalahan seperti dalam perwaliannya. Atau bisa jadi seorang wanita dituduh telah berbuat zina, karena tiba-tiba menampakkan kehamilannya tanpa ada yang mengetahui bahwa dia telah menikah dengan jin. Begitu juga karena Allah menciptakan mereka dari jenis yang berbeda. Dan Allah menyebutkan tentang pernikahan di dalam firmanNya:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجاً
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri.” (QS. Ar-Rum: 21)
Dan dalam ayat yang lain:
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
“Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri.” (QS. An-Nahl:72)
Artinya Allah telah menjadikan pasangan-pasangan atau istri-istri untuk manusia dari jenis manusia, sebagaimana menentukan pasangan atau istri untuk jin dari jenis jin itu sendiri. ([117])
Diantara faedah dari ayat ini, yaitu faedah ketiga bahwa yang dimaksud dengan (قَاصِرَاتُ الطَّرْفِ) adalah bidadari yang diciptakan oleh Allah untuk manusia dan jin yang menjadi penghuni surga. Allah menciptakan bidadari yang cocok dan serasi untuk manusia, disamping itu Allah juga menciptakan bidadari yang cocok dan serasi untuk jin. Karena ayat ini berbicara kepada jin dan manusia. Maka tatkala Allah menjelaskan tentang bidadari, artinya bidadari tersebut cocok untuk golongan manusia dan juga untuk golongan jin, masing-masing bidadari memiliki sifat tersendiri. Inilah pendapat yang banyak dirajihkan oleh para ulama. ([118])
Selain itu, seperti yang telah diketahui bahwa makhluk yang diberikan beban untuk beribadah kepada Allah hanya dari dua golongan saja, yaitu jin dan manusia. Mereka di dunia diperintahkan untuk beribadah, diantara mereka ada yang melaksanakan perintah tersebut ada juga yang melanggarnya. Maka, di akhirat pun keadaan mereka demikian. Ada sebagian golongan jin yang masuk surga, sebagaimana sebagian manusia yang masuk surga dan ada juga sebagian golongan jin yang masuk neraka, sebagaimana sebagian golongan manusia yang masuk ke dalam neraka.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sungguh, akan Kami isi neraka Jahanam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.” (QS. Al-A’raf: 179)
Oleh karena itu, sebagaimana disebutkan dalam ayat ini bahwa golongan jin dan manusia yang bermaksiat akan masuk neraka. Dan sebaliknya, mereka yang taat akan masuk ke dalam surga.([119])
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 57).
Maksudnya adalah bahwa seluruh ayat ini berkaitan dengan jin dan manusia.
كَأَنَّهُنَّ الْيَاقُوتُ وَالْمَرْجَانُ
“Seakan-akan mereka itu permata yakut dan marjan.” (QS. Ar-Rahman: 57).
Ayat ini menggambarkan tentang bidadari-bidadari yang ada di surga. Bahwasanya mereka bagaikan (الْيَاقُوتُ) yaitu batu permata atau berlian yang bening. Sedangkan (الْمَرْجَانُ) yaitu mutiara yang sangat putih. Di dalam ayat ini Allah menggambarkan sifat-sifat bidadari. Diantara sifat-sifatnya adalah bening bagaikan Yaqut dan putih bagikan Marjan. ([120])
Adapun sifat putihnya digambarkan bahwa bidadari sangat putih, sebagaimana firman Allah,
وَحُورٌ عِينٌ.كَأَمْثالِ اللُّؤْلُؤِ الْمَكْنُونِ
“Dan ada bidadari-bidadari yang bermata indah. Laksana mutiara yang tersimpan baik.” (QS. Al-Waqi’ah: 22-23)
Sangat putih dan putihnya sangat sempurna, tidak terkontaminasi dengan kotoran apapun. Tidak seperti putihnya wanita yang ada di dunia, terkadang ada merah-merahnya atau bintik-bintiknya, yang menunjukkan bahwa putihnya tidaklah sempurna. Dan saking putihnya, digambarkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, dari Nabi bersabda,
إِنَّ المَرْأَةَ مِنْ نِسَاءِ أَهْلِ الجَنَّةِ لَيُرَى بَيَاضُ سَاقِهَا مِنْ وَرَاءِ سَبْعِينَ حُلَّةً حَتَّى يُرَى مُخُّهَا
“Sesungguhnya putihnya betis bidadari terlihat di balik tujuh puluh gaun hingga terlihat sumsumnya.” ([121])
Hadits ini menggambarkan begitu putihnya bidadari di surga. Bahwa jika bidadari mengenakan gaun sebanyak tujuh puluh lapis, maka saking putihnya, betisnya masih terlihat, menembus tujuh puluh gaun yang ia pakai.
Lalu, sifat bidadari yang lain yaitu bening. Sebagaimana sabda Nabi,
كَبِدُهَا مِرْآتُهُ
“Sesungguhnya hati bidadari adalah cermin bagi suaminya.”([122])
Maksudnya adalah tubuh bidadari sangat bening. Seandainya suaminya berada di depannya, maka wajahnya akan tampak terlihat di hati sang bidadari tersebut. Hadits ini menunjukkan bahwa hati bidadari sangat bening, hingga tembus terlihat dari luar.
Begitu juga dengan sabda Nabi
يُرَى مُخُّ سَاقِهِمَا مِنْ وَرَاءِ اللَّحْمِ، مِنَ الْحُسْنِ
“Sungguh kedua bidadari itu terlihat sumsum tulangnya dibalik dagingnya karena keindahannya.”([123])
Rasulullah menutup haditsnya dengan (مِنَ الْحُسْنِ) yaitu karena cantiknya. Hal ini menunjukkan keindahan dan kecantikan yang dimiliki oleh bidadari di surga. Seandainya seseorang mengetahui hadits ini tanpa adanya penutup hadits yang disebutkan oleh Nabi, maka dia tidak akan mampu memahaminya dengan benar dan tidak akan bisa menggambarkan dengan jelas bagaimana sifat bidadari itu. Hal ini pula menunjukkan bahwa otak manusia tidak akan mampu mengkhayalkan akan cantik dan indahnya bidadari di surga.
Rasulullah juga bersabda:
وَلَوْ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ اطَّلَعَتْ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ لَأَضَاءَتْ مَا بَيْنَهُمَا، وَلَمَلَأَتْهُ رِيحًا، وَلَنَصِيفُهَا عَلَى رَأْسِهَا خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Seandainya ada bidadari dari surga muncul di tengah-tengah penduduk bumi, niscaya akan menerangi langit dan bumi, memenuhinya dengan wangi yang semerbak. Sungguh, kerudung yang berada di atas kepalanya lebih baik dari dunia dan seisinya.”([124])
Maksud dalam hadits ini adalah seandainya bidadari dari surga muncul di dunia ini. Maka kehadirannya akan menerangi seisi bumi dan langit, semua akan menjadi terang benderang. Seluruh tempat tersebut akan penuh dengan aroma yang harum, karena kemunculan bidadari tersebut. Kerudung yang berada di atas kepalanya lebih baik daripada dunia dan seisinya. Ini menunjukkan bahwa gambaran tentang bidadari surga berada di luar batas mengkhayal manusia. Kemampuan mengkhayal manusia sangat rendah, tidak mungkin mengkhayalkan bidadari dan berbagai kenikmatan lainnya di surga.
Allah berfirman,
فَلا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزاءً بِما كانُوا يَعْمَلُونَ
“Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 17)
Semua hal itu adalah perkara ghaib. Seandainya Allah memperlihatkan bidadari surga dengan sifat-sifat yang disebutkan berada di dunia, manusia mampu melihatnya dengan leluasa. Maka sangat dipastikan bahwa seluruh manusia akan taat kepada Allah. Mereka akan puasa, shalat malam dan membaca Al-Qur’an setiap hari; karena mereka tahu balasan surga berupa bidadari yang telah diperlihatkan kepada mereka di dunia.
Akan tetapi, Allah sembunyikan dari makhlukNya dan tidak ada yang tahu tentang bidadari tersebut kecuali hanya sebagian sifat saja yang Allah sebutkan untuk diketahui oleh hamba-hambaNya.([125])
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 59)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ
“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)
Ini merupakan balasan untuk orang-orang yang ihsan. Sebagaimana sabda Rasulullah ketika Jibril bertanya kepada beliau,
مَا الإِحْسَانُ؟ قَالَ: أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Apa itu ihsan?” Rasulullah bersabda: “Engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.”([126])
Hadits tersebut menjelaskan tentang sifat orang-orang yang berhak mendapatkan surga, sebagaimana firman Allah,
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ جَنَّتَانِ
“Dan bagi orang yang takut akan kedudukan Rabb nya akan mendapatkan dua surga.” (QS. Ar-Rahman: 46)
Diantara sifat orang yang takut kepada Allah adalah dia selalu merasa diawasi, khusyu’ dalam beribadah kepadaNya, karena dia tahu bahwa Allah sedang menilai apa saja yang dia lakukan. Jika dia mendirikan shalat malam atau membaca Al-Qur’an, maka dia melaksanakannya dengan khusyu’; karena dia tahu bahwa Allah sedang menilai shalat malam atau melihatnya membaca Al-Qur’an. Jika seorang mukmin mampu mencapai pada tingkatan perbuatan tersebut, maka dia telah mencapai derajat ihsan. ([127])
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 61)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ دُونِهِمَا جَنَّتَانِ
“Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi.” (QS. Ar-Rahman: 61)
Di dalam ayat ini terdapat khilaf ulama tentang maksud dari dua surga yang lain itu. Sebagian mereka mengatakan bahwa orang yang takut kepada Allah akan mendapatkan empat surga, yaitu dua surga dengan suatu bentuk untuk dirinya dan tambahan dua surga yang lain dengan bentuk yang berbeda. Ada juga yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan empat surga adalah dua surga yang tinggi dan dua surga lain sedikit rendah atau turun. Intinya empat surga tersebut menjadi miliknya seutuhnya.
Dan maksud yang lebih tepat adalah bahwa dua surga ini diperuntukkan bagi orang-orang yang derajatnya di bawah. Hal ini disebabkan karena surga itu bertingkat-tingkat. Seperti kedudukan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, mereka memiliki derajat yang bertingkat-tingkat,
إِنَّ فِي الجَنَّةِ مِائَةَ دَرَجَةٍ، أَعَدَّهَا اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، مَا بَيْنَ الدَّرَجَتَيْنِ كَمَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Sesungguhnya di surga ada seratus tingkatan yang Allah siapkan bagi orang-orang yang berjihad di jalan Allah, jarak antara dua tingkatan itu seperti jarak antara langit dan bumi.”([128])
Hadits ini memiliki hubungan makna dengan ayat yang telah disebutkan sebelumnya. Artinya surga memiliki tingkatan. Allah menyebutkan dua bentuk surga yang berbeda tingkatannya. Tingkatan pertama sebagaimana yang disebutkan dalam ayat ini adalah khusus diperuntukkan bagi orang-orang yang istimewa, yaitu:
وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ. أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ. فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ
“Dan orang-orang yang paling dahulu (beriman), merekalah yang paling dahulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang dekat (kepada Allah). Berada dalam surga kenikmatan.” (QS. Al-Waqi’ah: 10-12)
Dan tingkatan yang kedua adalah orang-orang yang Allah sebutkan dalam firmanNya:
لِأَصْحَابِ الْيَمِينِ
“Untuk golongan kanan.” (QS. Al-Waqi’ah: 38)
Yaitu orang-orang yang mulia yang menjadi penghuni surga, namun, derajat mereka masih berada di bawah tingkatan yang pertama. Mereka adalah para penghuni surga yang terdapat dalam firman Allah,
وَمِنْ دُونِهِمَا جَنَّتَانِ
“Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi.”
Artinya dua surga yang kedudukannya berada di bawah.([129])
Syaikh As-Sa’diy mengatakan dua surga yang berada di atas diperuntukkan bagi orang-orang yang istimewa dan dua surga yang disebutkan dalam ayat ini diperuntukkan untuk penghuni surga secara umum.([130])
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 63)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
مُدْهَامَّتَانِ
“Kedua surga itu (kelihatan) hijau tua warnanya.” (QS. Ar-Rahman: 64)
Ayat ini menggambarkan tentang sifat surga yang berwarna hijau tua, karena banyaknya rerimbunan pepohonan yang ada di dalamnya. Disebutkan juga bahwa warna hijaunya sampai kehitam-hitaman; karena banyaknya pohon yang ada di surga tersebut. ([131])
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 65)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِيهِمَا عَيْنَانِ نَضَّاخَتَانِ
“Di dalam keduanya (surga itu) ada dua buah mata air yang memancar.” (QS. Ar-Rahman: 66)
Pada dua surga yang berada pada tingkatan sebelumnya terdapat mata air yang mengalir. Jika air mengalir tentu tekanannya lebih besar, dibandingkan dengan air yang memancar, yang mana tekanannya lebih rendah dan ringan. Ini menunjukkan bahwa air tersebut terdapat pada derajat surga yang berada di bawahnya.([132])
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 66)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِيهِمَا فَاكِهَةٌ وَنَخْلٌ وَرُمَّانٌ
“Di dalam kedua surga itu ada buah-buahan, kurma dan delima.” (QS. Ar-Rahman: 67)
Allah menjelaskan sifat surga yang digambarkan pada ayat sebelumnya bahwa surga tersebut terdapat buah-buahan yang berpasang-pasangan. Namun, pada ayat ini menggambarkan sifat surga yang lain, yaitu terdapat banyak buah-buahan, kurma dan buah delima. Disamping itu, Allah menyebutkan buah tersebut tidak berpasang-pasangan. Sifat buah-buahan surga yang disebutkan ini menunjukkan bahwa surga tersebut masih berada di bawah surga yang sebelumnya.([133])
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 69)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
فِيهِنَّ خَيْرَاتٌ حِسَانٌ
“Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik dan jelita.” (QS. Ar-Rahman: 70)
Sebagian ulama menyebutkan (خَيْرَاتٌ) merupakan bentuk jamak dari (خَيْر) artinya adalah (ذَوَاتُ الخَيْرِ) para bidadari yang baik yang berada di puncak akhlak yang paling mulia. Ada juga yang menafsirkannya dengan (مُخْتَرَاتٌ) artinya pilihan-pilihan. Maksudnya Allah menciptakan banyak wanita, lalu memilihnya diantara yang tercantik untuk dijadikan sebagai bidadari untuk para penghuni surga. Dan (حِسَانٌ) artinya adalah cantik dari sisi fisiknya. Yang mensifati bidadari cantik bukanlah manusia, akan tetapi Allah. Artinya kecantikannya melebihi batas kecantikan yang disifati oleh manusia.([134])
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 71)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
حُورٌ مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ
“Bidadari-bidadari yang dipelihara di dalam kemah-kemah.” (QS. Ar-Rahman: 72)
Diantara sifat-sifat bidadari surga adalah (حُورٌ) yaitu memiliki mata yang putihnya berwarna sangat putih dan hitamnya berwarna sangat hitam, jika digambarkan bola matanya yang berwarna sangat hitam di dalam bola matanya yang sangat putih yang membuat keindahannya sangat menggoda([135]). Dan (مَقْصُورَاتٌ فِي الْخِيَامِ) yaitu terpingit dalam kemah-kemah. Kemah-kemah tersebut bukan terbuat dari kulit dan semacamnya, akan tetapi terbuat dari mutiara yang sangat besar dan luas.
Pada ayat ini Allah menjelaskan kenikmatan yang ada pada dua surga yang berada di bawah. Kenikmatannya adalah bidadari-bidadari surga telah menunggu di kemah-kemah. Mereka tidak pernah keluar dari kemah itu, karena menunggu suaminya datang. Allah menciptakan bidadari tersebut untuk melayani para penghuni surga, sedangkan keadaan mereka selalu terpingit dalam kemah-kemah.([136])
Berbeda dengan bidadari yang telah disebutkan pada ayat sebelumnya. Sebagian ulama menyebutkan bahwa bidadari-bidadari tersebut lebih utama. Meskipun mereka tidak terpingit, namun mereka selalu menundukkan pandangan, tidak melihat kecuali kepada suaminya.
Semua ini menunjukkan suatu kenikmatan yang agung, karena seorang suami setiap kali pulang ke rumahnya, maka dia mendapati istrinya menantikan dirinya di rumah. Bukan seperti yang banyak terjadi di zaman sekarang ini, terkadang seorang suami yang pulang ke rumah, kemudian mendapati istrinya sedang keluar dan tidak berada di rumahnya.
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan?” (QS. Ar-Rahman: 73)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَمْ يَطْمِثْهُنَّ إِنْسٌ قَبْلَهُمْ وَلَا جَانٌّ. فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ. مُتَّكِئِينَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَعَبْقَرِيٍّ حِسَانٍ. فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ. تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia maupun oleh jin sebelumnya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan? Mereka bersandar pada bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kalian dustakan? Mahasuci nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 74-78)
Sebagian ulama menafsirkan (رَفْرَف) dengan beberapa pengertian. Sebagian mereka ada yang menafsirkan dengan permadani, sebagian yang lain menafsirkan dengan bantal-bantal. Intinya, para penghuni surga ketika di dalam surga bertelekan dengan bantal-bantal yang hijau dan permadani-permadani yang indah.([137])
Pada surat ini Allah membuka firmannya dengan “Ar-Rahman” artinya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kemudian di dalam ayat tersebut Allah menyebutkan berbagai macam kenimatan. Ada nikmat dunia, nikmat agama, nikmat akhirat dan peringatan-peringatan. Yang semua ini menunjukkan kasih sayang Allah kepada hamba-hambaNya. Kemudian di akhir surat Allah menutupnya dengan memuji diriNya seraya berfirman, ([138])
تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Mahasuci nama Tuhanmu Pemilik Keagungan dan Kemuliaan.”
Allah adalah Dzat pemilik segala keagungan dan berhak untuk diagungkan dan dimuliakan, karena keluasan rahmatNya yang sangat luas kepada hamba-hambaNya.([139])
Allah banyak menyebutkan kenikmatan-kenikmatan di dalam surat ini. Kenikmatan-kenikmatan ini hanya bisa didapatkan oleh orang-orang yang takut kepada Rabb-Nya. Oleh karena itu, Allah menyebutkan empat surga. Dua surga pada golongan yang pertama dan dua surga pada golongan yang kedua. Para ulama menyebutkan bahwa penghuni surga bertingkat-tingkat.
Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat rasa takut para hamba kepada Allah juga bertingkat-tingkat. Barang siapa memiliki tingkat takut yang besar kepada Allah, maka dia berada pada dua surga yang di atas. Dan barang siapa yang memiliki tingkat takut yang lebih kecil, maka dia berada pada sua surga yang di bawah.
Tidak mungkin seseorang memperoleh bidadari yang begitu cantik jelita, kecuali dia memiliki rasa takut kepada Allah. Maka di zaman sekarang ini yang penuh dengan fitnah, hendaknya seseorang berhati-hati dan takut kepada Allah, terutama di saat dia dalam keadaan sendirian. Jangan sampai dia mendengarkan hal yang haram, melihat hal yang haram, berkomentar dengan komentar yang haram. Hendaknya dia selalu takut kepada Allah, agar dia mampu mendapatkan bidadari-bidadari surga sebagaimana yang disebutkan dalam surat ini.
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ
“Barang siapa yang minum khamr di dunia, maka dia tidak akan minumnya di akhirat kelak.”([140])
Begitu pula dengan hadits yang diriwayatkan oleh Umar berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda:
مَنْ لَبِسَ الحَرِيرَ فِي الدُّنْيَا لَمْ يَلْبَسْهُ فِي الآخِرَةِ
“Barang siapa yang memakai kain sutera di dunia, maka dia tidak akan memakainya di akhirat.”([141])
Begitu juga disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Barra’ bin ‘Azib berkata: “Rasulullah memerintahkan kepada kami dengan tujuh perkara dan melarang kami dengan tujuh perkara, diantaranya adalah menggunakan emas dan perak.”
فَإِنَّهُ مَنْ شَرِبَ فِيهَا فِي الدُّنْيَا لَمْ يَشْرَبْ فِيهَا فِي الْآخِرَةِ
“Barang siapa yang minum darinya, maka dia tidak akan minum darinya di surga kelak.”([142])
Barang siapa yang tidak menjaga kemaluannya, pandangannya, menjalin hubungan dengan wanita yang tidak halal baginya, maka dikhawatirkan dia tidak akan medapatkan bidadari di surga. Bidadari yang sangat cantik jelita, maharnya adalah ketaqwaan, rasa takut kepada Allah, shalat malam dan menundukkan pandangan. Apabila kita menikmati yang halal, maka Allah akan halalkan bagi kita. Allah menganugerahkan kepada seseorang istri, maka hendaknya seseorang tersebut berusaha menyalurkan syahwatnya kepada yang halal. Jangan sampai Allah sudah memberikan kepada seseorang seseuatu yang halal, namun masih mencari sesuatu yang haram.
Oleh karena itu diantara doa yang selalu dipanjatkan oleh Nabi adalah:
اللَّهُمَّ اكْفِنِي بِحَلَالِكَ عَنْ حَرَامِكَ، وَأَغْنِنِي بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ
“Ya Allah cukupkanlah aku dengan yang halal, sehingga aku tidak butuh dengan yang haram. Dan cukupkanlah aku dengan karuniaMu dari bergantung kepada selainMu.” ([143])
Demikian juga kepada para wanita, untuk bisa menjadi ratu bidadari maka hendaknya selalu bersabar dalam kehidupan ini, hendaknya membantu suami untuk bertakwa kepada Allah, bersabar menghadapi sikap para suami, berusaha taat kepada mereka. Karena, ketahuilah bahwa kehidupan ini hanyalah sebentar. Jika dia mampu bersabar, maka dia akan menjadi ratu bidadari yang indahnya melebihi para bidadari yang cantik jelita sebagaimana yang Allah sebutkan sifat-sifatnya.
Ibnu Al-Mubarak menuturkan: Rusydin telah mengabarkan kepada kami, dari Ibnu An’um, dari Hibban bin Abu Jabalah, berkata:
إِنَّ نِسَاءَ الدُّنْيَا مَنْ دَخَلَ مِنْهُنَّ الْجَنَّةَ فُضِّلْنَ عَلَى الْحُورِ الْعِينِ بِمَا عَمِلْنَ فِي الدُّنْيَا
“Sesungguhnya wanita dunia jika masuk surga, maka dia lebih utama dari para bidadari surga disebabkan amalnya yang mereka lakukan di dunia.”([144])
__________________________________________________________________________
([1]) Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/223.
([2]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/151.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/438.
([4]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/378 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/152.
([5]) Siroh Ibnu Hisyaam 1/315 dengan sanad yang shahih hingga Úrwah, akan tetapi mursal, karena ‘Urwah bin Az-Zubair bin al-‘Awwaam adalah tabi’i
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/151.
([7]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 1/99 dan Tafsir Al-Baghawiy 1/51.
([8]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 1/105.
([9]) Lihat: Badai’ul Fawa’id 1/24.
([10]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 3/170.
([11]) Lihat: Mafatihul Ghaib Li Ar-Razi 29/335
([12]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 5/427 dan Tafsir Al-Baghawiy 7/443.
([13]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/7 dan Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/223.
([14]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/152
([15]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal.501
([16]) H.R. Abu Dawud no.1396 dan dishahihkan oleh Al-Albani di Ashl Shifat Sholat an-Nabi 1/404-405
Hadits ini menunjukan dibolehkannya membaca dua surat dalam satu rakaat, begitu juga dibolehkan membaca tiga surat dalam satu rakaat. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Hudzaifah,
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ، ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ: يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ، فَمَضَى، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ بِهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ، فَقَرَأَهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ،
“Pada suatu malam aku shalat bersama Nabi, lalu beliau mulai membaca surat Al-Baqarah. Maka aku berkata: ‘Beliau akan ruku’ setelah seratus ayat’ kemudian beliau melanjutkannya. Maka aku berkata: ‘Beliau akan membaca Al-Baqarah dalam satu rakaat.’ Lalu beliau melanjutkannya. Maka aku berkata: ‘Beliau akan ruku’.’ Kemudian beliau melanjutkan lagi dengan membaca surat An-Nisa, kemudian membaca surat Ali Imran.” (H.R. Muslim no.772)
Dalam satu riwayat dari Abdullah bin Mas’ud berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَطَالَ حَتَّى هَمَمْتُ بِأَمْرِ سَوْءٍ، قَالَ: قِيلَ: وَمَا هَمَمْتَ بِهِ؟ قَالَ: «هَمَمْتُ أَنْ أَجْلِسَ وَأَدَعَهُ
“Aku pernah bersama Rasulullah, lalu beliau memanjangkan shalatnya, hingga aku berkeinginan sesuatu yang buruk. Dia berkata, ditanyakan kepadanya: ‘Apa yang engkau inginkan?’ Dia berkata: ‘Aku ingin duduk dan meninggalkan beliau (shalat)’.” (H.R. Muslim no. 773)
Dibolehkan juga membaca satu surat dalam satu rakaat, sebagaimana yang dilakukan semua orang pada umumnya. Seperti halnya, dibolehkan bagi seseorang membaca satu surat dari Al-Qur’an dibagi menjadi dua, setengah surat yang pertama dibaca dalam satu rakaat dan setengah surat yang tersisa dibaca pada rakaat yang lain (Lihat Ahkamul Qur’an Li Ibnu Al-‘Arabiy 4/336). Hal ini berdasarkan firman Allah:
فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْاٰنِۗ
“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.” (QS. Al-Muzzammil: 20)
Bahkan, sebagian ulama membolehkan membaca satu ayat di bagi menjadi dua rakaat, yaitu setengah ayat pertama dibaca pada rakaat pertama dan setengah ayat yang tersisa dibaca pada rakaat yang kedua. Akan tetapi, dengan syarat jika ayat tersebut membawa makna yang lengkap. Namun demikian, sebaiknya seseorang menghindari permasalahan ini, karena yang dicontohkan oleh Nabi adalah dengan membaca satu surat yang lengkap dalam satu rakaat atau satu surat dibagi menjadi dua dalam dua rakaat.( Lihat: Fathul Qadir Li Al-Kamal Ibnu Al-Humam 1/332)
([17]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 7/22 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/152.
([18]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/8 dan Tafsir Al-Mawardiy 5/423.
([19]) Lihat; Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/224 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/152.
([20]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 20/120.
([21]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/11 dan Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/224.
([22]) Lihat: Bayan Talbis Al-Jahmiyyah fii Ta’sisi Bida’ihim Al-Kalamiyyah Li Ibni Taimiyyah 4/6 dan Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 6/586.
([23]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 10/12 dan Tafsir Ibnu Katsir 4/529.
([24]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/11.
([25]) Tafsir Al-Baghawiy 4/122.
([26]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/224.
([27]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/489.
([28]) Lihat: Jami’ Ar-Rasa’il Li Ibni Taimiyyah 1/41, Tafsir Ath-Thabariy 22/13 dan Tafsir Al-Mawardiy 5/424.
([30]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/274
([31]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 10/111.
([32]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/13.
([33]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/224.
([34]) Lihta: Tafsir Al-Baghawiy 7/442
([35]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/442 dan Tafsir Ar-Raziy 29/342.
([36]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/240.
([37]) At-Tadzkirah Bi Ahwali Al-Mauta wa Umuur Al-Akhirah Li Al-Qurthubiy hal.726.
([38]) Tafsir Al-Qurthubiy 17/155.
([39]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/16.
([40]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 8/71.
([41]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 22/17.
([42]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/242.
([43]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/442 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/156.
([44]) Lihat: Bahr Al-‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/379, Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/225 dan Al-Qurthubiy 17/157.
([45]) Lihat: Al-Kassayaf Li Az-Zamakhsyariy 4/444 dan Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/103.
([46]) Lihat: Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/104.
([47]) H.R. Tirmidzi no.3291 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([48]) Lihat: Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/104.
([49]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 5/428 dan Tafsir Al-Alusiy 14/104.
([50]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 1/367.
([51]) Lihat: Tafsir As-Sam’aniy 5/324 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/161.
([52]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 2/44.
([53]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 7/444.
([55]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/247.
([56]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/381, Tafsir Ibnu Katsir 7/492 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/248.
([57]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/381.
([58]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/492.
([59]) LIhat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/162, Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqithiy 6/66 dan At-Tahrir wa At-Tanwir 27/2498.
([60]) Lihat: Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqithiy 6/66.
([61]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/381 dan Tafsir Al-Baghawiy 7/445.
([62]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/445 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/163.
([63]) Lihat: Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/106.
([64]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/252
([65]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/165.
([66]) H.R. An-Nasa’i no.1305 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([68]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/165 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/254.
([69]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/165 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/254.
([70]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/166.
([71]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/255.
([72]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 4/447 dan Tafsir Al-Alusiy 14/110.
([73]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/383 dan Tafsir Al-Baghawiy 7/447.
([74]) Dalam Bahasa arab (الثَّقَل) artinya adalah sesuatu yang berat
([75]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/447 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/169 dan Tafsir Al-Alusiy 14/111.
([76]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/42.
([77]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/496.
([78]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/384.
([79]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/498, Tafsir Ath-Thabariy 23/47 dan Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/187.
([80]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/384 dan Tafsir Al-Alusiy 14/112.
([81]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/449 dan Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/187.
([82]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/50, Tafsir Al-Baghawiy 7/449 dan Tafsir Al-Qurthubiy 17/173.
([83]) Lihat: Bahrul ‘Ulum Li As-Samarqandiy 3/385.
([84]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/262.
([85]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/499.
([87]) Lihat: Tafsir Ar-Raziy 29/367.
([88]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/175.
([89]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/451.
([90]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/451.
([91]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/175.
([92]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/176.
([93]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/58.
([94]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/56 dan Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 4/451.
([95]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/451.
([96]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/189.
([97]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/57.
([98]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/177.
([99]) H.R. Al-Hakim dalam Mustadrak nya no 4211, Imam Adz-Dzahabiy berkata: shahih sesuai syarat Al-Bukhari dan Muslim dan dishahihkan pula oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no 7320.
([100]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/58.
([101]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/452 dan Tafsir Ibnu Katsir 7/502.
([102]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/190 dan Tafsir Al-Baghawiy 7/452.
([103]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/453 dan Tafsir AL-Qurthubiy 17/179.
([104]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 9/190 dan Tafsir Al-Baghawiy 7/453.
([105]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/267.
([106]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/267.
([107]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/180 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/269.
([108]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/180.
([109]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/63.
([110]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/181.
([111]) Lihat: Ruh Al-Ma’aniy Li Al-Alusiy 14/118 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/270.
([112]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/14.
([113]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/181 dan Tafsir Al-Alusiy 14/118.
([114]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 10/289.
([116]) Lihat: Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqithiy 2/415.
([117]) Lihat: Adhwa’ul Bayan Li Asy-Syinqithiy 2/415.
([118]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/181.
([119]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 2/179.
([120]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/455.
([121]) H.R. Tirmidzi no.2533.
([122]) H.R. Thabraniy no. 9763 dan Al-Hakim no.8761.
([123]) H.R. al-Bukhari no 3245 dan Muslim no.2834.
([125]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 21/229.
([127]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/67 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/271.
([129]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/272.
([130]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal.831.
([131]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/185 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/272.
([132]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/507 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 27/272.
([133]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 27/273.
([134]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/187.
([135]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 17/188 dan 15/80.
([136]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/459.
([137]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 7/459.
([138]) Tafsir Al-Qurthubiy 17/193.
([139]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/510.
([143]) H.R. Tirmidzi no.3563 dan dihasankan oleh Al-Albani.