Tafsir Juz 27 – Surah Al-Hadid
Surah Al-Hadid merupakan surah terakhir dari Juz ke-27 dalam Alquran. Surah Al-Hadid adalah salah satu dari surah-surah yang dikenal dengan surah-surah Al-Musabbihat([1]). Diriwayatkan dari ‘Irbadh bin Sariyah, dia berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ بِالْمُسَبِّحَاتِ قَبْلَ أَنْ يَرْقُدَ وَيَقُولَ: إِنَّ فِيهِنَّ آيَةً أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ آيَةٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa membaca Al-Musabbihat sebelum tidur. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya pada surah-surah itu ada ayat yang lebih utama dari seribu ayat’.”([2])
Hadits ini adalah hadits yang dha’if, akan tetapi istilah Al-Musabbihat dikenal oleh para ulama yang di antaranya berdasarkan hadits ini.
Ada tujuh surah yang merupakan surah-surah Al-Musabbihat([3]) yang kemudian digolongkan menjadi empat,
Pertama adalah surah-surah yang dibuka dengan fi’il madhi (سَبَّحَ), di antaranya adalah surah Al-Hadid, Ash-Shaff, dan Al-Hasyr.
Kedua adalah surah-surah yang dibuka dengan fi’il mudhari (يُسَبِّحُ), di antaranya adalah surah Al-Jum’ah dan At-Taghabun.
Ketiga adalah surah yang dibuka dengan Masdar (سُبْحَانَ), yaitu surah Al-Isra’.
Keempat adalah surah yang dibuka dengan fi’il ‘Amr (سَبِّحْ), yaitu surah Al-A’la.
Ini semua menunjukkan bahwa tasbih adalah perkara yang agung dalam Islam. Tasbih sangat agung karena telah datang kalimat-kalimat tasbih dengan berbagai macam bentuk dalam Alquran, dan inti dari syariat Islam adalah menyucikan Allah Subhanahu wa ta’ala dari segala bentuk kesyirikan. Dalam banyak ayat di dalam Alquran Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At-Taubah : 31)
Dan dalam sebuah ayat Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يَقُولُونَ عُلُوًّا كَبِيرًا
“Mahasuci dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka katakan (perkataan kesyirikan).” (QS. Al-Isra’ : 43)
Para ulama berselisih tentang apakah surah Al-Hadid merupakan surah Makkiyah atau Madaniyah. Namun kalau kita memperhatikan nuansa dari isi surah Al-Hadid, maka akan kita dapati sebagian ayat-ayatnya nuansanya ayat-ayat Makkiyah, terlebih lagi diawal-awal surah yang banyak berbicara tentang iman. Sedangkan sebagian ayat yang lain bernuansa surah-surah Madaniyah, karena adanya penyebutan orang-orang munafik, karena orang-orang munafik baru muncul setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah. Oleh karena itu, pendapat yang benar adalah sebagian surah Al-Hadid turun di Mekkah dan sebagian yang lainnya turun di Madinah. ([4])
========
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ، لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid : 1-2)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Apa yang di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Telah disebutkan dalam pembahasan surah Ash-Shaff bahwa makna tasbih adalah menyucikan Allah Subhanahu wa ta’ala dari segala kekurangan dan aib karena Allah Subhanahu wa ta’ala sempurna dalam segala sifat dan perbuatan-Nya, dan semua itu dibangun dengan hikmah yang sempurna.
FirmanNya وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ “Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”, di sini Allah menggabungkan antara sifat al-Ízzah (keperkasaan) dengan al-Hikmah (bijak). Sebagian manusia memiliki sifat ízzah namun tidak memiliki hikmah, dan sebaliknya sebagian orang memiliki sifat hikmah (bijak) namun tidak memiliki keperkasaan.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يُحْيِي وَيُمِيتُ
“Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan.”
Allah Subhanahu wa ta’ala mengedepankan kata لَهُ (milikNya) dalam penggalan ayat ini. Seharusnya susunan kalimatnya adalah “Kerajaan langit dan bumi adalah milik Allah”. Namun dalam ayat ini terjadi taqdim dan ta’khir sehingga menjadi “Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi”. Dalam bahasa Arab terdapat istilah التَّقْدِيْمُ taqdiim dan التَّأْخِيْرُ ta’khir. Taqdim adalah mendahulukan sesuatu yang seharusnya di akhirkan, sebaliknya ta’khiir adalah mengkakhirkan yang seharusnya didahulukan. Diantara fungsi taqdim dan takhir adalah memberikan pembatasan makna. Sehingga ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mendahulukan penyebutan kata لَهُ memberi makna bahwa hanya milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan segala kepemilikan yang ada di alam semesta ini hanyalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala, karena Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan.
Akan datang dalam ayat-ayat selanjutnya tentang isyarat ayat ini, yaitu kepemilikan manusia (diantaranya harta) bukanlah kepemilikan hakiki, pemilik yang hakiki dan sesungguhnya adalah Allah. Karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala membuka surah ini dan menjelaskan bahwa pemilik sejati terhadap apa yang ada di langit dan di bumi seluruhnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kita meyakini bahwasanya kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah tanpa batas, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Akan tetapi sebagian orang Ahlul bid’ah dan orang-orang Ateis terkadang melontarkan syubhat berupa pertanyaan yang bisa membuat orang awam Islam (yang tidak memiliki dasar ilmu yang kokoh) menjadi ragu dengan agamanya sendiri. Di antara syubhat yang mereka lontarkan adalah, “Kalau Allah Maha kuasa atas segala sesuatu, maka seharusnya Allah bisa menciptakan Tuhan yang semisalnya”, atau mereka mengatakan, “Kalau Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, maka seharusnya Allah bisa menciptakan batu yang sangat besar yang Allah tidak mampu untuk mengangkatnya”. Maka jawabannya, kita tetap mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Mahakuasa atas segala sesuatu, akan tetapi kata شَيْءٍ (sesuatu) dalam bahasa Arab tidaklah mencakup apa yang mereka tanyakan tersebut. Karena perkara yang merupakan kemustahilan bukanlah sesuatu menurut bahasa Arab. Pertanyaan mereka, “Apakah Allah bisa menciptakan Tuhan yang semisalnya?”, ini merupakan pertanyaan yang salah, karena Tuhan tidaklah diciptakan, akan tetapi Tuhan itu menciptakan. Selain itu syarat Tuhan adalah harus esa, jika Tuhan menciptakan Tuhan yang lain maka Tuhan tidak esa lagi. Pertanyaan semacam ini sama halnya seperti bertanya “Apakah kita bisa naik ke bawah?”. Tentunya kita tidak bisa menjawabnya karena pertanyaannya sendiri tidak benar. Karena yang namanya naik adalah ke atas. Demikian pula pertanyaan mereka, “Apakah Allah bisa menciptakan batu yang lebih besar darinya yang Dia tidak bisa mengangkatnya?” Maka kita katakan itu bukanlah “sesuatu” yang dimaksud dari Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, karena tidak mungkin Allah menciptakan sesuatu yang lebih besar dari-Nya sementara Dia adalah Yang Maha Besar, Dialah Yang Terbesar.
Demikian pula ungkapan “Apakah Allah bisa menciptakan istri atau anaknya?”. Maka kita katakan bahwa perkara tersebut bukanlah “sesuatu” sehingga tidak masuk dalam kekuasaan Allah, karena syarat Tuhan adalah tidak membutuhkan yang lainnya, sehingga Tuhan tidak butuh istri atau pun anak.
Kita boleh mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk menciptakan dunia ini dua kali lipat, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala hanya menciptakan apa yang ada kita ketahui sekarang. Lantas apakah Allah Subhanahu wa ta’ala mampu untuk menciptakan tujuh kali lipat bumi? Maka kita katakan tentu Allah Subhanahu wa ta’ala mampu karena itu adalah hal yang mungkin, hanya saja Allah tidak menciptakannya. Oleh karena itu, maksud dari Allah Subhanahu wa ta’ala Maha kuasa atas segala sesuatu adalah Mahakuasa atas segala sesuatu yang mungkin terjadi bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka para ulama menjelaskan bahwa “sesuatu” yang dimaksud dalam kalimat-kalimat semacam ini adalah perkara yang bukan pada perkara yang mumtani’at (perkara yang kontradiktif), melainkan pada perkara yang mumkinat (perkara yang mungkin). Oleh karenanya, para ulama membagi “sesuatu” menjadi tiga,
Pertama : Mumtani’at, yaitu sesuatu yang secara zat tidak mungkin terjadi, atau sesuatu hal yang kontradiktif, meskipun hanya sekadar dianalogikan. Contohnya adalah menggabungkan antara timur dan barang, panjang dan pendek, siang dan malam dalam satu kondisi.
Kedua : Mustahilat, yaitu perkara yang mustahil meskipun secara logika Allah mampu. Contohnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan batu yang lebih besar daripada Dia, Allah menciptakan istri atau anak, dan yang lainnya. Semua perkara ini adalah perkara yang mustahil, maka yang seperti ini bukanlah “sesuatu” yang dimaksud dari Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Ketiga : Mumkinat, yaitu perkara yang mungkin terjadi. Inilah yang dimaksud “sesuatu” dalam bahasa Arab. Dan inilah yang termasuk dalam ke-Mahakuasaan Allah([5]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid : 3)
Apa makna dari sifat-sifat yang Allah sebutkan bagi diri-Nya dalam ayat ini? Maka tidak ada yang bisa menjelaskan sebagaimana penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اللهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الظَّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَيْءٌ، وَأَنْتَ الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُونَكَ شَيْءٌ، اقْضِ عَنَّا الدَّيْنَ، وَأَغْنِنَا مِنَ الْفَقْرِ
“Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Awal, maka tidak ada sesuatu pun yang mendahului-Mu. Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Akhir, maka tidak ada sesuatu setelah-Mu. Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Zahir, maka tidak ada yang menutupi-Mu (di atas-Mu). Ya Allah, Engkaulah Tuhan Yang Maha Bathin, maka tidak ada sesuatu pun di bawah-Mu. Ya Allah, lunaskanlah utang-utang kami dan bebaskanlah kami dari kefakiran.”([6])
- Al-Awwal
Istilah lain Al-Awwal orang zaman sekarang adalah ‘azali. Al-Awwal maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala ada tanpa didahului oleh ketiadaan. Berbeda dengan makhluk-Nya, semuanya dimulai dari ketiadaan lalu menjadi ada. Hal ini sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Zakaria ‘alaihissalam,
وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا
“Sungguh, engkau telah Aku ciptakan sebelum itu, padahal (pada waktu itu) engkau belum berwujud sama sekali.” (QS. Maryam : 9)
Dari penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam doanya, menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang bersama Allah pada zaman ‘azali. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits yang lain,
كَانَ اللَّهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ قَبْلَهُ
“Allah telah ada dan tidak ada yang bersama-Nya sebelumnya.”([7])
Jadi di zaman ‘azali Allah Subhanahu wa ta’ala sendirian, lalu kemudian Dia menciptakan sesuatu. Dan jika Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka Allah akan katakan “Kun” maka jadilah apa yang dikehendaki-Nya tersebut.
- Al-Aakhir
Al-Akhir maksudnya tidak ada sesuatu pun setelah Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala abadi, dan sebagian makhluk akan diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Di antaranya adalah penghuni surga dan penghuni neraka atau surga dan neraka. Akan tetapi keabadian mereka tidak seperti keabadian Allah Subhanahu wa ta’ala, karena Allah abadi karena Dzat-Nya sendiri, adapun mereka abadi karena diabadikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga jika sekiranya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengabadikan mereka maka mereka tidak akan abadi. Sama halnya ketika kita mengatakan bahwa Allah Maha Hidup dan manusia juga hidup, akan tetapi kehidupan manusia disebabkan karena Allah yang menghidupkan, adapun Allah Subhanahu wa ta’ala Dia Maha Hidup karena Dzat-Nya.
Sebagian Ahli Bid’ah mengatakan bahwa “akhirat tidak kekal”, karena jika akhirat kekal berarti sama dengan kekekalan Allah. Bahkan baru-baru ini ada orang yang menulis buku berjudul “Ternyata akhirat tidak kekal”. Maka jawabannya adalah berbeda, Allah Subhanahu wa ta’ala kekal karena konsekuensi Dzat-Nya sebagai Tuhan, adapun makhluk dikekalkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan makhluk seperti manusia didahului dari ketiadaan lalu menjadi ada kemudian mati, lalu dibangkitkan dan kemudian dikekalkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga kekekalan makhluk tidak sama dengan kekekalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Az-Zahir
Az-Zahir artinya Allah Yang Maha Unggul atau Yang Maha Atas, dan tidak ada sesuatu pun di atas Allah Subhanahu wa ta’ala. Tentunya sifat Allah Subhanahu wa ta’ala ini menunjukkan bahwa Allah Maha Tinggi dan Dia tidak butuh dengan tempat. Berbeda dengan Ahlul Bid’ah, mereka menganggap bahwa jika Allah berada di atas maka menunjukkan bahwa Allah butuh dengan tempat. Maka kita katakan bahwa pernyataan tersebut salah, karena bukan berarti Allah di atas kemudian menganggap bahwa Allah butuh dengan tempat, kecuali langit lebih besar daripada Allah bahkan menaungi Allah, maka barulah kita katakan Allah Subhanahu wa ta’ala butuh dengan tempat. Akan tetapi kenyataannya alam semesta ini sangat kecil bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berkata tentang hari kiamat,
وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالْأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَاوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. Az-Zumar : 67)
Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan tempat. Bahkan dalam ayat yang lain menunjukkan bahwa langitlah yang butuh kepada Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
“Sungguh, Allah yang menahan langit dan bumi agar tidak lenyap, dan jika keduanya akan lenyap tidak ada seorang pun yang mampu menahannya selain Allah. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.” (QS. Fathir : 41)
Oleh karenanya pemikiran mereka yang menganggap bahwa sesuatu yang di atas pasti butuh kepada sesuatu yang di bawah membuat mereka menolak akidah Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas. Akan tetapi pemikiran yang seperti ini sering kita bantah. Di antara bantahannya adalah tidak berarti yang di atas menunjukkan butuh kepada yang di bawah, dan yang di atas tidak berarti menempati yang di bawah. Contohnya adalah langit dan bumi, langit lebih di atas daripada bumi, akan tetapi langit lebih besar dan tidak butuh kepada bumi. Maka jika di antara makhluk saja telah menunjukkan bahwa bukanlah keharusan yang di atas butuh kepada yang di bawah atau yang di atas lebih kecil daripada yang di bawah, maka terlebih lagi antara Allah dan makhluk-Nya, Dia yang menciptakan alam semesta namun Allah tidak butuh kepada alam semesta untuk menaungi-Nya. Namun demikianlah Ahlul Bid’ah, mereka menolak Allah di atas karena memisalkan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan makhluk, padahal itu adalah kesalahan yang fatal
- Al-Bathin
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa Allah adalah Al-Bathin dan tidak ada sesuatu pun di bawah-Nya. Para ulama menyebutkan bahwa maknanya adalah Allah Maha Mengetahui segalanya dan tidak ada yang terbathinkan (tersembunyikan) bagi Allah Subhanahu wa ta’ala sesuatu pun.
Ketika Allah memiliki kempat sifat di atas (Al-Awwal, Al-Aakhir, Adz-Dzhahir, dan al-Bathin) menunjukan Allah mengetahui segala sesuatu. Karena jika Allah bukan al-Awwal berarti ada sesuatu sebelum Allah yang Allah tidak mengetahui tentangnya. Demikian juga jika Allah bukanlah al-Aakhir, maka ada sesuatu yang setelah Allah yang Allah tidak tahu tentangnya. Jika Allah bukanlah adz-Dzahir tentu ada sesuatu yang di atas Allah yang Allah tidak pernah sampai kepadanya dan tidak pernah mengetahui tentanganya. Dan jika Allah bukan al-Bathin tentu ada perkara-perkara yang halus tersembunyi yang Allah tidak mengetahui tentangnya. Tatkalah Allah meliputi menguasai semua zaman (dari azali hingga abadi) dan meliputi semua tempat (dari yang tinggi hingga yang terendah dan tersembunyi) maka berarti Allah mengetahui dan menguasai segalanya, karena semua makhluk tidak lain berada diantara interval zaman dan interval tempat tersebut.
Karenanya setelah menyebut 4 sifat di atas maka Allah tutup ayatNya dengan firmanNya
وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid : 3)
Dan ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu sangatlah banyak, diantaranya :
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya, tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhil Mahfudzh).” (QS. Al-An’am : 59)
Lihatlah, setiap daun yang jatuh berguguran pun Allah tahu tentangnya karena daun tersebut adalah ciptaan-Nya, padahal berapa banyak jumlah pohon di bumi ini? Tentu tidak ada yang bisa menghitungnya, bagaimana lagi dengan jumlah daun di bumi ini? Namun Allah mengetahui tentang kondisi setiap daun di bumi ini, hal ini karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui apa yang Dia ciptakan?” (QS. Al-Mulk : 14)
Maka jika benda-benda mati seperti daun saja Allah Subhanahu wa ta’ala tahu tentangnya, maka bagaimana lagi dengan kita manusia yang memang dibebankan untuk syariat dan diuji untuk dimasukkan ke dalam surga atau neraka? Tentu Allah Subhanahu wa ta’ala tahu secara detail tentang diri kita. Di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada (manusia).” (QS. Ghafir : 19)
Dari pembahasan ini, terdapat bantahan terhadap orang-orang filsafat yang mereka sesat dalam tiga perkara, dan mereka telah dibantah oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali([8]) dalam kitabnya Tahaafut Al-Falasifah dan Al-Munqidz min Adh-Dhalaal. Al-Ghazali mengatakan bahwa orang-orang yang belajar filsafat([9]) sesat dalam dua puluh kesalahan. Tiga dari kesalahan-kesalahan tersebut menyebabkan mereka kafir, dan tujuh belas kesalahan lainnya membuat mereka menjadi Ahlul Bid’ah. Tiga kesalahan utama mereka adalah,
Pertama, Ahli Filsafat mengatakan bahwa manusia dibangkitkan pada hari kiamat hanyalah ruh tanpa jasad, karena yang mendapatkan pahala dan siksaan hanyalah ruh. Pernyataan ini sangat bertentangan dengan ayat-ayat Alquran yang sangat banyak, di antaranya firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَضَرَبَ لَنَا مَثَلًا وَنَسِيَ خَلْقَهُ قَالَ مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ، قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
“Dan dia (orang-orang kafir) membuat perumpamaan bagi Kami dan melupakan asal kejadian mereka. Mereka berkata, ‘Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?’ Katakanlah (Muhammad), ‘Yang akan menghidupkannya ialah (Allah) yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk’. ” (QS. Yasin : 78-79)
Seakan-akan tidak masuk dalam logika orang-orang yang belajar filsafat bahwa jasad manusia beserta tulang-tulangnya yang sudah hancur lebur dapat dikembalikan sebagaimana bentuk asalnya. Akan tetapi kita mengatakan bahwa tentunya hal yang seperti itu mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan Al-Ghazali mengatakan bahwa hal ini telah cukup untuk mengafirkan mereka para filsuf karena pernyataan mereka tersebut menjadikan mereka mengingkari banyak ayat yang menyebutkan bahwa manusia dibangkitkan jasad dan ruhnya.
Kedua, Ahli Filsafat mengatakan bahwa alam itu qadim (‘azali) bersama Allah Subhanahu wa ta’ala. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala telah ada bersama makhluk-Nya (alam) di zaman ‘azali, dan pendapat seperti ini bertentangan dengan firman-firman Allah dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan bahwa makhluk itu ada setelah ketiadaan. Pendapat mereka tersebut melazimkan bahwa bukan hanya Allah yang ‘azali, akan tetapi makhluknya juga ‘azali, bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa planet-planet juga ‘azali bersama Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya dengan sebab ini mereka juga dikafirkan.
Ketiga, Ahli Filsafat mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala hanya tahu tentang makhluknya secara global, dan tidak tahu secara terperinci. Di antara para fisluf tersebut adalah Ibnu Sina yang menggunakan logikanya dengan mengatakan bahwa banyak perkara-perkara buruk yang terjadi di alam semesta ini yang tidak pantas untuk masuk dalam ilmu Allah Subhanahu wa ta’ala. Contohnya adalah seorang laki-laki yang berzina dengan wanita, atau seseorang yang buang air besar, dan hal buruk lainnya([10]). Dari kesimpulan itu mereka beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengetahui tentang segala kejadian di alam semesta secara global. Ketahuilah bahwa keyakinan seperti ini sangatlah berbahaya, karena yang benar adalah Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui atas segala sesuatu. Bukankah telah jelas firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauhil Mahfudzh).” (QS. Al-An’am : 59)
Inilah contoh mengapa bahayanya seseorang menggunakan akalnya hingga mengedepankan akalnya daripada dalil-dalil.
Oleh karena itu, dengan tiga sebab inilah Al-Ghazali mengafirkan para Ahli Filsafat. Dan tentunya tiga keyakinan para Filsuf tersebut adalah keyakinan yang menyimpang, karena pendapat mereka tersebut menafikan Maha Agungnya Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid : 4)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa.”
Mengapa Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi enam hari? Maka jawabannya adalah itu adalah hak Allah Subhanahu wa ta’ala. Jika Allah berkehendak menciptakan dalam sekejap maka itu terserah Allah, jika Allah juga berkehendak menciptakan dalam waktu enam hari maka itu juga terserah Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana jika Allah berkehendak maka Allah menciptakan manusia (seperti nabi Adam álaihis salam dan istrinya Hawwa) tanpa ayah dan ibu, jika berkehendak Allah menciptakan manusia tanpa ayah (seperti nabi Isa álaihis salam), jika berkehendak Allah menciptakan manusia (pada umumnya) dengan proses adanya ayah dan ibu. Sebagaimana juga jika Allah berkehendak maka Allah menciptakan para bidadari langsung dewasa tanpa ayah dan ibu dan tanpa melalui proses pertumbuhan dari balita hingga dewasa. Intinya Allah menciptakan dengan cara dan proses yang Allah kehendaki dan tentu ada hikmah dibalik itu semua.
Sebagian ulama berusaha mencari hikmah dari penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam hari tersebut. Sebagian ulama menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mampu menciptakannya dalam sekejap, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala ingin memperlihatkan kepada para malaikat keajaiban yang Allah buat hari demi hari, sehingga akhirnya mereka tahu bahwa semua itu terjadi dengan ciptaan Allah dan bukan tiba-tiba. Sebagian yang lain menyebutkan bahwa hikmah penciptaan langit dan bumi selama enam hari adalah Allah Subhanahu wa ta’ala ingin mengajarkan kepada kita bahwa yang namanya pelan-pelan itu baik meskipun kita bisa mengerjakannya dengan cepat, terlebih lagi jika pelan-pelan itu lebih baik. Ini hanya sekadar pendapat para ulama, akan tetapi intinya ada hikmah yang Allah kehendaki dari penciptaan langit dan bumi dalam waktu enam hari tersebut.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.”
Istiwa’ maknanya adalah عَلاَ وَارْتَفَعَ وَاسْتَقَرَّ, yaitu tinggi di atas beserta menetap. Jadi, setelah Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Yang Maha Tinggi menciptakan langit dan bumi, Allah kemudian beristiwa’ dengan ketinggian yang khusus, yaitu ketinggian yang disertai dengan menetap di atas ‘Arsy. Adapun istiwa’ diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “bersemayam”, maka bisa jadi makna tersebut benar, karena di antara makna bersemayam adalah tinggal atau menetap. Akan tetapi kita katakan bahwa itu hanyalah pendekatan bahasa, dan yang lebih tepat dari makna istiwa’ adalah Dia berada di ketinggian yang khusus yaitu menetap di atas ‘Arsy Allah Subhanahu wa ta’ala.
Adapun tentang bagaimana cara dan bentuk Allah Subhanahu wa ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, maka hal tidak perlu kita tanyakan dan bahkan tidak perlu untuk kita khayalkan. Sebagaimana ketika seseorang bertanya kepada Imam Malik tentang makna istiwa’, maka Imam Malik menjawab,
الِاسْتِوَاءُ مَعْلُومٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُولٌ وَالْإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْ الْكَيْفِيَّةِ بِدْعَةٌ
“Istiwa’ telah dipahami, dan adapun bagaimananya tidak ada yang mengetahuinya. Dan beriman terhadap itu adalah wajib, dan bertanya tentangnya (bagaimananya) adalah bid’ah.”([11])
Tentunya tidak mungkin kita bisa mengetahui secara hakikat tentang bagaimana Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy kecuali setelah kita mengetahui bagaimana Dzat Allah Subhanahu wa ta’ala dan bagaimana hakikat ‘Arsy itu sendiri, baru kita bisa mengkhayalkan bagaimananya (kaifiyat) istiwaa Allah. Akan tetapi karena tidak ada satu orang pun yang mengetahui kedua hakikat tersebut maka tidak mungkin kita bisa mengetahui bagaimana istiwa’ Allah di atas ‘Arsy. Oleh karena itu ada sebuah kaidah yang menyebutkan,
الْكَلاَمُ فِي الصِّفَاتِ فَرْعٌ عَنِ الْكَلاَمِ فِي الذَّاتِ
“Pembicaraan (pembahasan) tentang sifat-sifat Allah adalah cabang dari pembahasan tentang Dzat (Allah).”
Artinya jika engkau tahu tentang bagaimananya (kaifiyatnya) dzat Allah maka tentu engkau akan mengetahui bagaimananya sifat-sifat Allah. Dan sebaliknya jika engkau tidak mengetahui bagaimananya dzat Allah maka engkau tidak akan mengetahui bagaimananya sifat-sifat Allah.
Oleh karenanya cukuplah kita beriman dengan istiwa’ Allah Subhanahu wa ta’ala di atas ‘Arsy dan paham maknanya, dan tidak perlu mengkhayalkan bagaimana-bagaimananya sebagaimana pendapat Ahlussunnah wa Al-Jama’ah.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا
“Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari dalamnya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana.”
Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mulai memerinci tentang sifat ilmu-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa dia Maha Tahu tentang apa yang masuk ke dalam bumi seperti air hujan yang masuk ke dalam bumi, atau biji-bijian yang masuk ke dalam bumi untuk ditanam oleh manusia, akar yang menjulang ke dalam bumi, dan juga hewan-hewan yang masuk ke dalam bumi. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala juga tahu tentang apa-apa yang keluar dari bumi, seperti tumbuh-tumbuhan yang tumbuh, atau bahan tambang yang diambil dari bumi. Kemudian semua apa yang turun dari langit juga Allah ketahui, baik itu hujan (bahkan setiap tetasan hujuan) atau malaikat. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala juga Maha Tahu tentang apa yang naik ke langit, seperti amal saleh seseorang yang diantar oleh malaikat ke langit untuk dilaporkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini menujukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu segalanya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Maksud dari “Dia bersama kamu di mana saja kamu berada” adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersama kita dengan ilmu-Nya, adapun Dzat Allah tidak bersama kita di mana saja karena Dzat Allah berada di atas ‘Arsy. Hal ini sama seperti perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Musa dan Harun. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَا رَبَّنَا إِنَّنَا نَخَافُ أَنْ يَفْرُطَ عَلَيْنَا أَوْ أَنْ يَطْغَى، قَالَ لَا تَخَافَا إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَى، فَأْتِيَاهُ فَقُولَا إِنَّا رَسُولَا رَبِّكَ فَأَرْسِلْ مَعَنَا بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا تُعَذِّبْهُمْ قَدْ جِئْنَاكَ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكَ وَالسَّلَامُ عَلَى مَنِ اتَّبَعَ الْهُدَى
“Keduanya berkata, ‘Ya Tuhan kami, sungguh, kami khawatir dia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampaui batas’. Dia (Allah) berfirman, ‘Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku bersama kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. Maka pergilah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dan katakanlah, ‘Sungguh, kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama kami dan janganlah engkau menyiksa mereka. Sungguh, kami datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk’.” (QS. Thaha : 45-47)
Allah Subhanahu wa ta’ala berkata kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam bahwa Dia bersama mereka. Akan tetapi apakah bersama disitu maksudnya Dzat Allah? Tentu tidak, akan tetapi maksud dari Allah bersama mereka adalah Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa mendengar dan melihat mereka, yaitu Allah senantiasa mengawasi mereka secara khusus untuk menolong mereka berdua.
Oleh karena itu, jangan kemudian kebersamaan Allah dengan makhluknya dalam ayat ini ditafsirkan dengan kebersamaan Dzat Allah seperti yang diyakini oleh Ahlul Bid’ah yang mengatakan bahwa Allah itu ada di mana-mana (seperti pemahaman sebagian Jahmiyah), bahkan sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa Allah bisa bersatu dengan makhluknya (seperti pemahaman al-Hululiyah atau al-Ittihaadiah). Sesungguhnya keyakinan seperti itu adalah bentuk kekufuran, dan yang benar adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersama kita dengan ilmu-Nya, adapun Dzat-Nya tidak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَهُ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ، يُولِجُ اللَّيْلَ فِي النَّهَارِ وَيُولِجُ النَّهَارَ فِي اللَّيْلِ وَهُوَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Milik-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dan hanya kepada Allah segala urusan dikembalikan. Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Al-Hadid : 5-6)
Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini menjelaskan di antara bentuk kekuasaan-Nya, yaitu Allah memasukkan malam ke dalam siang hingga menjadi terang, dan Allah pulalah yang memasukkan siang ke dalam malam hingga menjadi gelap gulita.
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan di antara bentuk kekuasaan-Nya, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menyebutkan,
وَهُوَ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”
Jika seseorang sabar, ikhlas, atau bahkan tawadhu, semuanya Allah Subhanahu wa ta’ala tahu. Demikian pula sebaliknya jika seseorang sombong, riya’, atau bahkan ujub, Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu akan hal itu. Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu dengan segala isi hati hamba-hamba-Nya. Apa pun yang kita sembunyikan dalam dada-dada kita itu semua diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Jika apa yang kita sembunyikan saja Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui, maka bagaimana lagi dengan apa yang dilihat oleh mata kita, apa yang didengar oleh telinga kita, dan apa yang diucapkan oleh lisan kita? Tentu hal-hal tersebut diketahui oleh Allah. Oleh karena itu, seseorang hendaknya berhati-hati karena apa saja yang kita lakukan akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ketahuilah bahwa yang dihisab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala bukan hanya apa yang kita lihat, apa yang kita dengar dan apa yang kita ucapkan, akan tetapi bahkan apa yang terbetik di dalam hati kita berupa kesombongan, ujub, riya’, keikhlasan, tawadhu, dan kesabaran juga akan dihisab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala karena Allah Maha Tahu. Maka dari itu, hendaknya seseorang tidak mengharapkan pujian dan pengakuan orang lain, karena jika keikhlasan seseorang itu murni maka Allah Maha Tahu, dan jika dia mengharapkan pengakuan orang pun Allah Maha Tahu apakah dia ikhlas atau tidak. Maka latihlah diri kita bahwa sejatinya amalan-amalan kita adalah muamalah kita dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga yang terpenting bagi kita adalah Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu dengan amalan kita, dan jangan sampai kita tersibukan dengan penilaian orang lain. Dan meninggalkan penilaian orang lain juga akan membuat kita tenang, karena kita hanya mencukupkan dengan penilain Allah yang Maha Tahu tentang isi hati kita.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah). Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al-Hadid : 7)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
“dan infakkanlah (di jalan Allah) sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah).”
Penggalan ayat ini merupakan isyarat bahwasanya harta yang dimiliki oleh seseorang itu hakikatnya bukan milikinya, karena dalam ayat ini Allah menyebutkan bahwa Allah yang memindahkan harta dari yang lain kepada seseorang dan harta tesebut suatu saat berpindah kepada yang lain.
Lafal مُسْتَخْلَفِينَ adalah isim mafúul dari اِسْتَخْلَفَ, yang artinya seseorang menjadi khalifah (penerus atau pengganti) dari yang sebelumnya. Sehingga makna nya adalah
يَخْلُفُ بَعْضٌ عَنْ بَعْضٍ، وَلاَ يَبْقَى لِأَحَدٍ
“Sebagian orang menerima harta dari orang sebelumnya (pemilik yang sebelumnya), dan diapun akan memindahkan harta tesebut kepada orang yang sesudahnya, sehingga harta tersebut tidak akan menetap pada seseorang” ([12])
Kita sangat paham bahwa harta yang ada pada diri kita itu pada awalnya bukan milik kita. Contohnya seperti seseorang yang mendapat warisan. Sebelum harta warisan itu menjadi miliknya, harta tersebut adalah miliki kakeknya, lalu kemudian harta tersebut berpindah kepada bapaknya, lalu kemudian harta tersebut berpindah kepada dirinya, dan akan tiba masa dimana harta tersebut akan berpindah darinya kepada anaknya (ahli warisnya). Demikian juga misalnya barang yang kita miliki, sebelumnya adalah dimiliki oleh orang lain, lalu kita membelinya, sehingga kitapun menguasainya. Suatu saat harta tersebut kita jual atau kita hadiahkan atau kita wariskan kepada orang lain, atau akan rusak sehingga tidak kita kuasai lagi. Maka ini menunjukkan bahwa harta yang dimiliki oleh seseorang itu bukanlah miliknya yang sesungguhnya, karena harta itu berpindah-pindah dari satu tangan ke tangan yang lain. Maka dengan penguasaan yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada seseorang terhadap harta, sejatinya Allah Subhanahu wa ta’ala ingin melihat bagaimana si A, si B, atau si C dalam menghadapi harta tersebut.
Intinya, ini adalah isyarat bahwasanya harta yang kita miliki pada hakikatnya bukan milik kita, melainkan harta tersebut hanya sekadar dititipkan oleh Allah untuk Allah melihat bagaimana kita menyikapi harta tersebut.
Ibnu ‘Athiyyah dalam tafsirnya menyebutkan sebuah riwayat tentang orang Arab Badui. Disebutkan bahwa orang Arab Badui tersebut sedang berjalan membawa unta-untanya. Ketika dia bertemu dengan seseorang, maka orang tersebut bertanya kepadanya,
يَا أَعْرَابِي، لِمَنْ هَذِهِ الإِبِلُ؟ فَقَالَ: هِيَ للهِ عِنْدِي
“Wahai orang Arab Badui, milik siapa unta-unta ini?” Orang Arab Badui tersebut berkata, ‘Unta-unta ini milik Allah yang ada padaku’.”([13])
Perkataan orang Arab Badui ini sangat tepat, dia menunjukkan bahwa unta-unta tersebut adalah milik Allah yang diamanahkan kepadanya. Demikian pula dalam hadits disebutkan, dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu dia berkata,
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الحَاشِيَةِ، فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً، حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَذْبَتِهِ، ثُمَّ قَالَ: مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ، فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ، ثُمَّ «أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ
“Aku pernah berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang ketika itu Beliau mengenakan selendang yang tebal dan kasar buatan Najran. Kemudian seorang Arab Badui datang lalu menarik (selendang) Beliau dengan tarikan yang keras hingga aku melihat permukaan pundak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berbekas akibat tarikan yang keras itu. Lalu dia berkata, ‘Perintahkanlah, agar aku diberikan harta Allah yang ada padamu’. Kemudian Beliau memandang kepada orang Arab Badui itu dan tertawa Lalu Beliau memerintahkan agar memberinya.”([14])
Maka seseorang ketika memiliki mobil, rumah, dan harta lainnya, hendaknya ia menyadari bahwa harta itu miliki Allah, namun Allah mengamanahkannya kepadanya.
Al-Qurthubi berkata :
(مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ) دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ أَصْلَ الْمُلْكِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ، وَأَنَّ الْعَبْدَ لَيْسَ لَهُ فِيهِ إِلَّا التَّصَرُّفُ الَّذِي يُرْضِي اللَّهَ فَيُثِيبُهُ عَلَى ذَلِكَ بِالْجَنَّةِ… وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهَا لَيْسَتْ بِأَمْوَالِكُمْ فِي الْحَقِيقَةِ، وَمَا أَنْتُمْ فِيهَا إِلَّا بِمَنْزِلَةِ النُّوَّابِ وَالْوُكَلَاءِ، فَاغْتَنِمُوا الْفُرْصَةَ فِيهَا بِإِقَامَةِ الْحَقِّ قَبْلَ أَنْ تُزَالَ عَنْكُمْ إِلَى مَنْ بَعْدَكُمْ
“Firman Allah (sebagian dari harta yang Dia telah menjadikan kamu sebagai penguasanya (amanah)) merupakan dalil bahwa asal pemilik harta adalah Allah dan bahwsanya hamba tidak ada haknya pada harta kecuali hanya mengolahnya dengan pengolahan yang diridhoi oleh Allah maka Allah akan membalasnya dengan surga….Dan ini menunjukan bahwa harta bukanlah milik kalian secara hakikatnya, dan tidaklah kalian terhadap harta tersebut kecuali kedudukannya seperti para wakil atau pemegang amanah. Maka gunakanlah kesempatan untuk mengolah harta tersebut dengan benar sebelum harta tersebut diambil dari kalian dan dipindahkan kepada orang setelah kalian” ([15])
Di antara bukti kecil bahwa harta yang ada pada diri kita bukanlah milik kita adalah terkadang kita tidak tahu dimana harta kita yang hilang. Jika sekiranya kita pemilik dan penguasa harta tersebut maka seharusnya kita tahu dimana keberadaan harta tersebut, akan tetapi seringnya kita tidak tahu dan lupa ketika harta itu hilang atau disembunyikan.
Di antara bukti lain adalah, ketika kita meninggal dunia maka harta yang sebelumnya ada pada kita kemudian dibagi sesuai dengan aturan Allah (hukum waris), karena Dialah pemilik yang sesungguhnya. Jika sekiranya benar harta tersebut adalah kita adalah milik kita, maka bisa dengan hak kita mengatur bagaimana pembagiannya. Akan tetapi kenyataannya tidak boleh seseorang mengatur pembagian harta tersebut dengan sesuai kehendaknya, melainkan yang berhak mengatur pembagian harta tersebut adalah sang pemilik asli yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ini semua menunjukkan bahwa harta yang ada pada kita hakikatnya bukan milik kita, melainkan milik Allah Subhanahu wa ta’ala yang kebetulan diamanahkan kepada kita. Dan yang mengamanahkan harta tersebut akan menilai bagaimana kita menyikapi amanah tersebut. Maka dari itu, hendaknya kita berhati-hati, karena semakin banyak harta yang kita miliki maka akan semakin banyak amanah yang akan kita pertanggungjawabkan.
Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
يَقُولُ ابْنُ آدَمَ: مَالِي، مَالِي، قَالَ: وَهَلْ لَكَ، يَا ابْنَ آدَمَ مِنْ مَالِكَ إِلَّا مَا أَكَلْتَ فَأَفْنَيْتَ، أَوْ لَبِسْتَ فَأَبْلَيْتَ، أَوْ تَصَدَّقْتَ فَأَمْضَيْتَ؟
“Anak cucu Adam berkata: ‘Hartaku, hartaku’. Beliau kembali berkata, ‘Bukankah sesungguhnya hartamu wahai anak cucu Adam tidak lain adalah yang kau makan lalu kau habiskan, yang kau kenakan lalu kau usangkan atau yang kau sedekahkan lalu kau tetapkan pahala sedekahnya?.”([16])
Maka dari itu setiap kita hendaknya berusaha untuk mengalah harta yang Allah amanahkan kepada kita dengan, dan berinfak dengan harta tersebut, karena semuanya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَالَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menginfakkan (hartanya di jalan Allah) memperoleh pahala yang besar.”
Banyak sekali di dalam Alquran ayat-ayat yang memerintahkan seseorang untuk berinfak. Tentunya ini menunjukkan akan keutamaan dari berinfak dan bersedekah. Oleh karena itu, ayat ini mengisyaratkan bahwa dianjurkan seseorang yang beriman untuk bekerja agar dia bisa berinfak, karena kelaziman dari ayat-ayat tentang berinfak mengisyaratkan agar seorang mukmin berusaha menjadi orang yang berada, karena tidak mungkin seseorang bisa berinfak sementara dia tidak memiliki harta yang bisa diinfakkan. Oleh karenanya ini juga menunjukkan bahwa orang kaya itu mulia selama mereka menginfakkan hartanya. Jangan sampai kemudian kita salah paham dengan menyangka bahwa orang kaya itu tidak mulia. Bukankah tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pertama kali dakwah, Allah Subhanahu wa ta’ala beri taufik sehingga beliau berteman dengan orang-orang kaya? Di antaranya adalah istrinya yaitu Khadijah radhiallahu ‘anha, kemudian berteman dengan Abu Baka Ash-Shiddiq, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Abdurrahman bin ‘Auf radhiallahu ‘anhuma yang semuanya dari kalangan orang-orang kaya raya. Maka orang kaya tidaklah tercela selama dia tidak sekadar menumpukkan harta, akan tetapi juga diinfakkan. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ: رَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا، فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الحَقِّ، وَرَجُلٍ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً، فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak boleh iri (dengki) kecuali kepada dua orang. Yaitu kepada seorang yang Allah berikan kepadanya harta lalu dia menguasainya dan membelanjakannya di jalan yang benar dan seorang yang Allah berikan ilmu lalu dia melaksanakannya dan mengajarkannya (kepada orang lain).”([17])
Berinfak sejatinya bukanlah suatu perkara yang kecil, karena yang namanya cinta terhadap harta itu selalu ada, sehingga berinfak itu menjadi tidak mudah. Oleh karenanya kita katakan bahwa orang yang rajin berinfak itu adalah orang yang mulia.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا لَكُمْ لَا تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالرَّسُولُ يَدْعُوكُمْ لِتُؤْمِنُوا بِرَبِّكُمْ وَقَدْ أَخَذَ مِيثَاقَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah, padahal Rasul mengajak kamu beriman kepada Tuhanmu? Dan Dia telah mengambil janji (setia)mu, jika kamu orang-orang mukmin.” (QS. Al-Hadid : 8)
Sebagian Ahli tafsir mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengambil janji kepada manusia tatkala masih berada di dalam sulbi Adam([18]). Oleh karena itu, setiap orang yang lahir sebenarnya memiliki fitrah untuk beriman kepada Tuhan, sehingga dia harus mencari sesuatu untuk dia ibadahi. Dan fitrah tersebut adalah dampak dari perjanjian yang Allah Subhanahu wa ta’ala ambil tatkala itu, meskipun seseorang tidak mengingat bahwa Allah pernah mengambil janji terhadapnya.
Maka ayat ini merupakan ajakan untuk beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, bahwa sesungguhnya Allah telah mengambil janji-janji di antara kita, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah menyeru untuk beriman.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ عَلَى عَبْدِهِ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dialah yang menurunkan ayat-ayat yang terang (Alquran) kepada hamba-Nya (Muhammad) untuk mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya. Dan sungguh, terhadap kamu Allah Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid : 9)
Ayat ini menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan Alquran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Dan hal ini dibenarkan sebagaimana dalam pembahasan sirah, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak diutus, maka beliau berkata,
إِنَّ اللهَ نَظَرَ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ، فَمَقَتَهُمْ عَرَبَهُمْ وَعَجَمَهُمْ، إِلَّا بَقَايَا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
“Sesungguhnya Allah memandang penduduk bumi lalu Allah membenci mereka, Arab maupun ‘ajam, kecuali sisa-sisa dari ahli kitab.”([19])
Ini menunjukkan bahwa disaat rusaknya orang-orang di bumi, baik Romawi, Persia, maupun India, semuanya berada dalam kegelapan. Maka ketika itu Allah Subhanahu wa ta’ala kirimkan cahaya yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau diutus untuk mengajarkan orang untuk bertauhid kepada Allah, berakhlak dan beradab terhadap orang lain.
Pada akhir ayat ini yaitu firmanNya وَإِنَّ اللَّهَ بِكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (Dan sungguh, terhadap kamu Allah Maha Penyantun, Maha Penyayang) Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan menurunkan al-Qurán kepadanya karena Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Penyantun dan Maha Penyayang bagi mereka. Oleh karenanya, di antara konsekuensi sifat rahmat Allah adalah Dia menurunkan Alquran, sebab dalam surah Ar-Rahman Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ، عَلَّمَ الْقُرْآنَ
“(Allah) Yang Maha Pengasih, Yang telah mengajarkan Alquran.” (QS. Ar-Rahman : 1-2)
Oleh karena itu, penulis sering mengingatkan bahwa masih banyak di antara kita yang malas membaca Alquran. Padahal dahulu bahkan sekarang masih banyak di antara kita yang sangat bersemangat ketika membaca novel, bahkan sebagian berusaha agar bisa menceritakannya kepada yang lain. bahkan saking semangatnya membaca novel, sebagian ada yang menunggu serial demi serial buku novel tersebut. Akhirnya sebagian kita lebih semangat membaca novel daripada membaca Alquran, padahal Alquran adalah firman Tuhan pencipta kita. Maka seharusnya pada Alquranlah terletak kebahagiaan kita, akan tetapi sebagian kita tidak memperhatikannya. Memang benar bahwa memabaca novel juga akan mendatangkan kesenangan, akan tetapi kesenangan itu hanya sementara, bahkan bisa jadi hati belum tentu bahagia dengan itu. Maka dari itu, membaca Alquran adalah jalan untuk kita bahagia. Hanya saja yang menjadi masalah kemudian adalah kita sudah malas membaca Alquran, maka jika membacanya saja kita malas, bagaimana lagi kita bisa memahami makna-makna yang terkandung di dalam Alquran? Padahal Alquran harus dipelajari dan dipahami isinya, karena Alquran adalah nikmat. Oleh karena itu, hendaknya seseorang merasakan bentuk kasih sayang Allah dengan berusaha untuk mempelajari dan memahami isi Alquran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah, padahal Allah yang mewariskan semua apa yang ada langit dan bumi? Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (surga). Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hadid : 10)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا لَكُمْ أَلَّا تُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلِلَّهِ مِيرَاثُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Dan mengapa kamu tidak menginfakkan hartamu di jalan Allah, padahal Allah yang mewariskan semua apa yang ada langit dan bumi?”
Artinya adalah apa yang ada di langit dan di bumi akan kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau langit dan bumi akan kembali kepada Allah, maka mereka juga akan dikembalikan kepada Allah. Secara sederhana, penggalan ayat ini bermakna “Mengapa kalian tidak berinfak di jalan Allah sementara kalian akan meninggal dunia?”. Artinya kalian tidak akan hidup selamanya, dan harta tersebut juga tidak akan menemani di dalam kubur. Bahkan ketika kalian sudah tua juga harta tersebut tidak semuanya bisa dinikmati. Maka mengapa mereka tidak berinfak di jalan Allah, sementara setiap orang butuh dengan persiapan untuk menghadapi hari akhirat?
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَا يَسْتَوِي مِنْكُمْ مَنْ أَنْفَقَ مِنْ قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ أُولَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنْفَقُوا مِنْ بَعْدُ وَقَاتَلُوا
“Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu.”
Kata الْفَتْحِ selalu khilaf di kalangan para ulama, apakah maksudnya Fathu Hudaibiyah([20]) atau Fathu Makkah. Demikian pula dalam ayat ini, para ulama khilaf tentang yang mana yang dimaksud dengan الْفَتْحِ. Akan tetapi yang benar الْفَتْحِ adalah Fathu Makkah.
Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Adil. Allah Subhanahu wa ta’ala membedakan antara perintis dengan orang yang datang setelahnya. Peristiwa Fathu Makkah terjadi pada tahun 8 H. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan Mekkah pada bulan Ramadhan, maka seluruh kabilah tunduk kepada Islam, dan akhirnya mulailah banyak orang yang berinfak dan banyak yang ikut berperang. Akan tetapi sebelum itu, Islam dalam kondisi yang sangat berat, terjadi banyak peperangan. Antara orang-orang yang berjuang sebelum Fathu Makkah dan orang-orang yang muncul setelah Fathu Makkah semuanya baik, bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan kepada mereka semua balasan surga, hanya saja derajat antara keduanya berbeda. Allah Maha Adil, karena orang-orang sebelum Fathu Makkah adalah para perintis, adapun orang-orang setelah Fathu Makkah juga tetap berjuang namun disertai merasakan hasil perjuangan orang-orang sebelum Fathu Makkah. Oleh karenanya perintis lebih unggul di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala daripada orang yang melanjutkan.
Lihatlah antara Khalid Ibnul Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf. Kalau kita melihat dari jasa, maka boleh kita katakan bahwa Khalid bin Walid lebih unggul daripada Abdurrahman bin ‘Auf. Khalid bin Walid adalah panglima perang yang tidak pernah kalah, betapa banyak peperangan yang dia ikuti selalu menang. Bahkan karena saking selalu menang pasukan Khalid bin Walid, di zaman ‘Umar bin Khattab melarang Khalid menjadi panglima, karena takut tawakal kaum muslimin terganggu dengan ungkapan-ungkapan di antara kaum muslimin bahwa jika ada Khalid bin Walid maka pasti akan menang. Lantas bagaimana dengan Abdurrahman bin ‘Auf? Jasa Abdurrahman bin ‘Auf adalah sedekah di awal-awal Islam, karena dia termasuk dari orang-orang yang pertama masuk Islam. Akan tetapi suatu ketika terjadi pertikaian antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, sehingga akhirnya Khalid bin Walid mencela Abdurrahman bin ‘Auf. Maka ketika hal itu diketahui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka marahlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Khalid bin Walid dan kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Janganlah kalian mencaci maki para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, seandainya seseorang menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tidak akan dapat menandingi satu mud atau setengahnya dari apa yang telah diinfakkan para sahabatku.”([21])
Ini adalah perumpamaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam buat antara Khalid bin Walid dan Abdurrahman bin ‘Auf, maka bagaimana lagi jika dibandingkan dengan orang-orang zaman sekarang? Dan tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan demikian melainkan karena Abdurrahman bin ‘Auf adalah perintis di antara orang-orang yang ikut berjuang di awal-awal Islam.
Demikian pula ketika terjadi keributan antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma. Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memuji Abu Bakar,
إِنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي إِلَيْكُمْ فَقُلْتُمْ كَذَبْتَ، وَقَالَ أَبُو بَكْرٍ صَدَقَ، وَوَاسَانِي بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ، فَهَلْ أَنْتُمْ تَارِكُوا لِي صَاحِبِي، مَرَّتَيْنِ، فَمَا أُوذِيَ بَعْدَهَا
“Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian namun kalian mengatakan; ‘Kamu pendusta’, sedangkan Abu Bakar berkata, ‘Dia orang yang jujur’. Dan dia berjuang mengorbankan dirinya dan hartanya. Maka tinggalkan gangguan terhadap sahabatku karena aku.” Abu Darda’ berkata, ‘Beliau mengulanginya dua kali, maka sejak saat itu Abu Bakar tidak diganggu lagi’.”([22])
Dan dalam riwayat yang lain, dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا نَفَعَنِي مَالٌ قَطُّ، مَا نَفَعَنِي مَالُ أَبِي بَكْرٍ، قَالَ: فَبَكَى أَبُو بَكْرٍ، وَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هَلْ أَنَا وَمَالِي إِلَّا لَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ
“Tidak ada harta yang dapat memberiku manfaat sebagaimana bermanfaatnya harta Abu Bakar kepadaku.” Maka Abu Bakar menangis dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, Tidaklah aku dan juga hartaku adalah milikmu’.”([23])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menjelaskan bahwa harta Abu Bakar radhiallahu ‘anhu adalah harta yang paling bermanfaat karena dikeluarkan tatkala masa merintis.
Oleh karena itu, jika di zaman kita melihat ada orang yang berusaha membangun sesuatu, maka bantulah di awal-awal, karena infak yang pertama tidak sama dengan infak yang belakangan. Semuanya mendapat pahala, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Adil dalam memberi balasan.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (surga). Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”
Yang dimaksud dengan Al-Husna dalam penggalan ayat ini adalah surga. Oleh karenanya Ibnu Hazm rahimahullah berdalil dengan ayat ini bahwa semua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk surga. Beliau berkata :
ثمَّ نَقْطَعُ عَلَى أَن كُلَّ مَنْ صَحِبَ رَسُولَ الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم بِنِيَّةٍ صَادِقَةٍ وَلَوْ سَاعَةً فَإِنَّهُ مِنْ أَهْلِ الْجنَّةِ لَا يدْخل النَّار لِتَعْذِيْبٍ إِلَّا أَنَّهُمْ لَا يُلْحَقُوْنَ بِمَنْ أَسْلَمَ قَبْلَ الْفَتْحِ
“Kemudian kami memastikan bahwasanya semua yang bersahabat dengan Rasulullah shallallahu álaihi wasallam dengan niat yang benar meskipun hanya sesaat maka ia termasuk penghuni surga, tidak masuk neraka untuk diadzab. Hanya saja mereka tidak disejajarkan dengan orang-orang yang masuk Islam sebelum Fathu Mekah” ([24])
Ada sahabat-sahabat yang dijamin masuk surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara ta’yin (secara person). Di antaranya adalah para sahabat yang ikut perang Badr, mereka dijamin masuk surga. Sampai-sampai ketika Hathib bin Abi Balta’ah melakukan kesalahan, dan Umar bin Khattab marah dan ingin memenggal lehernya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا، وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ: اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
“Sungguh dia adalah termasuk orang yang ikut perang Badr. Tahukah kamu, bahwa Allah sudah membebaskan para pejuang perang Badr, dimana Dia berfirman: ‘Berbuatlah sesuka kalian, sungguh Aku telah mengampuni kalian’.”([25])
Meskipun Hathib bin Abi Balta’ah salah, akan tetapi kesalahannya tersebut tidak ada bandingannya dengan pahala perang Badrnya. Oleh karenanya para sahabat yang ikut perang Badr dijamin masuk surga.
Di antara yang dijamin masuk surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah para sahabat yang berjanji dalam perjanjian Hudaibiyah. Mereka adalah orang-orang yang siap berjuang untuk menemani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampai titik darah penghabisan. Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang mereka,
لَا يَدْخُلُ النَّارَ، إِنْ شَاءَ اللهُ، مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ، الَّذِينَ بَايَعُوا تَحْتَهَا
“Insya Allah tidak akan masuk ke dalam neraka seorang pun dari orang-orang yang turut serta berbaiat di bawah pohon (ridwan).”([26])
Tatkala itu sekitar 1400 sahabat berbaiat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mengatakan bahwa semuanya masuk surga. Hanya saja ada satu orang dari mereka yang munafik, sehingga orang tersebut dikecualikan.
Di antara yang dijamin surga oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Bilal, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar terompah Bilal di surga. Demikian pula dengan sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَبُو بَكْرٍ فِي الْجَنَّةِ، وَعُمَرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَلِيٌّ فِي الْجَنَّةِ، وَعُثْمَانُ فِي الْجَنَّةِ، وَطَلْحَةُ فِي الْجَنَّةِ، وَالزُّبَيْرُ فِي الْجَنَّةِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعْدُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ فِي الْجَنَّةِ، وَسَعِيدُ بْنُ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ فِي الْجَنَّةِ، وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فِي الْجَنَّةِ
“Abu Bakar di surga, Umar di surga, ‘Ali di Surga, ‘Utsman di surga, Thalhah di surga, Zubair di surga, Abdurrahman bin ‘Auf di surga, Sa’d bin Abi Waqqash di surga, Sa’id bin Zaid bin ‘Amru bin Nufail di surga dan Abu ‘Ubaidah di surga.”([27])
Di antaranya pula Mu’awiyah dijamin masuk surga. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ أُمَّتِي يَغْزُونَ البَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا
“Pasukan dari ummatku yang pertama kali akan berperang dengan mengarungi lautan pasti akan diberi pahala surga.”([28])
Dan disebutkan bahwa pasukan perang yang pertama kali melewati lautan dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Ini di antara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan secara ta’yin para sahabat yang masuk surga. Lantas bagaimana dengan para sahabat yang lain? Khilaf di kalangan para ulama akan hal ini. Sebagian mengatakan bahwa para sahabat yang tidak disebutkan maka dikatakan mereka masuk surga secara umum. Akan tetapi sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Hazm menyebutkan bahwa setiap sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk surga dengan membawakan dalil ayat ini([29]),
وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik (surga). Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”
Artinya para sahabat baik yang beriman sebelum atau sesudah Fathu Makkah, yang berinfak sebelum atau sesudah Fathu Makkah, berperang sebelum atau sesudah Fathu Makkah, semuanya mendapatkan surga.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Barangsiapa meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda untuknya, dan baginya pahala yang mulia.” (QS. Al-Hadid : 11)
Sebagaimana orang yang memberi utang maka pasti dia berharap untuk dikembalikan suatu saat. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan bahasa berinfak dengan istilah pinjaman. Di antara faedah Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan istilah tersebut adalah pinjaman antara lain,
Pertama, yang meminjam adalah Dzat Yang Maha Baik kepada kita, sehingga kita tidak perlu ragu-ragu untuk memberikan pinjaman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Logika sederhananya, ketika kita memiliki teman yang selalu membantu dalam segala urusan, namun ketika dia butuh pinjaman maka tentu kita akan meminjamkannya karena banyaknya jasa dia terhadap kita. Maka demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia telah memberikan kita berbagai kenikmatan, maka tentu kita juga akan memberikan pinjaman kepada Allah, meskipun asalnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan harta kita. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan infak kita dengan pinjaman agar kita termotivasi untuk berinfak.
Kedua, pinjaman yang diberikan tersebut pasti akan kembali karena yang meminjam adalah Dzat Yang Maha Kaya. Contoh sederhana, ketika ada penjual es keliling yang ingin meminjam uang kepada kita, maka pasti kita akan berpikir berkali-kali untuk memberikan pinjaman karena khawatir dia tidak bisa mengembalikan pinjaman tersebut. Akan tetapi ketika misalnya ada orang yang kaya raya yang kebetulan lupa membawa dompet, kemudian pinjam uang kepada kita untuk transportasi atau yang lainnya, maka pasti kita akan berikan pinjaman karena kita yakin bahwa pinjaman tersebut akan dikembalikan, karena ia adalah adalah orang kaya dan memiliki banyak aset. Maka ketika kita tahu bahwa yang meminjam adalah Allah Subhanahu wa ta’ala Yang Maha Kaya, mengapa kita ragu untuk memberikan pinjaman? Padahal kalau Allah yang meminjam maka pasti akan dikembalikan, bahkan pengembaliannya pun pasti lebih. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta.”([30])
Akan tetapi sekali lagi perlu diingat bahwa pada hakikatnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh dengan pinjaman (infak) tersebut, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan infak dengan pinjaman agar kita termotivasi untuk berinfak.
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebut syarat pinjaman yang kita berikan adalah قَرْضًا حَسَنًا (pinjaman yang baik). Apa makna pinjaman yang baik itu? Imam Al-Qurthubi menyebutkan tujuh ciri-ciri pinjaman yang baik tersebut di antaranya,
- Tidak meminjamkan pinjaman yang buruk.
Yaitu jangan seseorang memberikan kepada saudaranya dari hartanya yang buruk seperti memberikan barang yang telah rusak, atau memberikan makanan yang sebentar lagi akan basi. Akan tetapi jika seseorang bersedekah hendaknya dia memberikan yang terbaik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ
“Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan.” (QS. Al-Baqarah : 267)
- Bersedekah ketika kondisi sehat
Hendaknya seseorang bersedekah tatkala dia sehat dan masih ingin hidup panjang, bukan hanya ketika dia sudah hendak meninggal dunia. Oleh karenanya ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang sedekah yang paling utama, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ تَخْشَى الفَقْرَ، وَتَأْمُلُ الغِنَى، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ الحُلْقُومَ، قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا، وَلِفُلاَنٍ كَذَا وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ
“Bersedekah ketika kamu dalam keadaan sehat dan ingin harta tersebut, takut menjadi fakir dan berangan-angan jadi orang kaya. Maka janganlah kamu menunda-nundanya hingga tiba ketika nyawamu berada di tenggorakanmu. Lalu kamu berkata, ini untuk si fulan dan ini untuk si fulan. Padahal harta itu memang akan menjadi milik si fulan.”([31])
- Menyembunyikan sedekah
Menyembunyikan sedekah dan tidak cerita kepada siapa pun adalah di antara ciri pinjaman (infak) yang baik. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu dan Allah akan menghapus sebagian kesalahan-kesalahanmu. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Baqarah : 271)
Menyembunyikan sedekah itu jauh lebih baik daripada harus menampakkan. Namun tetapi jika menampakkan sedekah itu memiliki maslahat yang lebih besar daripada menyembunyikannya, maka tidak mengapa untuk ditampakkan. Akan tetapi hukum asal sedekah yang dikeluarkan itu hendaknya disembunyikan, karena semakin orang menampakkan sedekahnya meskipun ikhlas, maka tetap saja akan berkurang pahala yang akan dia dapatkan.
- Jangan mengungkit-ungkit pemberian
Pinjaman yang baik adalah pinjaman yang tidak diungkit-ungkit, apalagi sampai menyakiti hati orang yang diberi. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لَا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena ria (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS. Al-Baqarah : 264)
Maka seseorang yang berinfak jangan sampai mengungkit-ungkit pemberiannya, karena bisa jadi dengan mengungkit-ungkit sedekah bisa membatalkan pahala sedekahnya.
- Jangan menganggap apa yang dikeluarkan itu telah banyak
Yang dimanakan pinjaman yang baik adalah seseorang tidak menganggap apa yang dikeluarkannya itu telah banyak. Dan hal seperti itu juga perlu untuk diterapkan dalam seluruh bentuk amalan saleh. Jangan seseorang merasa shalatnya telah banyak, jangan merasa jasanya dalam Islam telah banyak, dan terlebih jangan merasa harta yang telah dikeluarkan itu telah banyak apalagi cukup. Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa seseorang tidak boleh menganggap apa yang dikeluarkannya itu banyak karena pada hakikatnya dunia ini sedikit dan tidak ada yang besar. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
لَوْ كَانَتِ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ
“Seandainya dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang-orang kafir walaupun hanya seteguk air.”([32])
- Hendaknya seseorang bersedekah dari harta yang paling dia cintai
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui.” (QS. Ali-‘Imran : 92)
Jika sekiranya seseorang suka suatu makanan tertentu, maka makanan itulah yang dia berikan kepada tetangganya atau orang lain. Disebutkan bahwa ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang membawa buah anggur yang sangat dia sukai. Tiba-tiba ada orang yang meminta kepadanya karena kelaparan. Maka karena dia ingin mengamalkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini, maka akhirnya dia memberikan anggur tersebut, padahal anggur tersebut sangat dia inginkan ketika itu.
Oleh karena itu, ketika kita memiliki sesuatu yang menurut kita itu kita cintai, maka kita seharusnya menginfakkan sesuatu tersebut di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala.
- Berusaha memberikan pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang banyak
Tentunya semakin banyak infak yang seseorang keluarkan tersebut maka akan semakin baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الرِّقَابِ أَغْلَاهَا ثَمَنًا وَأَنْفَسُهَا عِنْدَ أَهْلِهَا
“Sebaik-baik pembebasan (memerdekakan) budak adalah yang paling tinggi harganya dan yang paling berharga di hati tuannya.” (Muttafaqun ‘alaih)([33])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ يَسْعَى نُورُهُمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ بُشْرَاكُمُ الْيَوْمَ جَنَّاتٌ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Pada hari engkau akan melihat orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka bersinar di depan dan di samping kanan mereka, (dikatakan kepada mereka), ‘Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Demikian itulah kemenangan yang agung’.” (QS. Al-Hadid : 12)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa pada hari kiamat, orang-orang beriman akan memegang cahaya yang diberikan kepada mereka dengan tangan kanan mereka sehingga mereka bisa mengatur cahaya tersebut, dan sehingga mereka bisa melangkah di akhirat yang gelap gulita dengan mudah, terutama tatkala melewati sirath.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala kabarkan bahwa mereka akan kekal di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Tentunya berbeda dengan dunia yang fana ini, segalanya seperti rumah, harta benda, dan yang lainnya akan sirna dengan seiringnya waktu. Bahkan kalau sekiranya bukan dunia ini yang sirna, maka kita yang akan sirna terlebih dahulu sebelum dunia tersebut. Adapun di surga semuanya akan abadi.
Tentunya orang-orang yang masuk surga itulah yang mendapatkan kemenangan yang agung. Terkadang mungkin di dunia kita sering bertanya tentang siapa yang menang dalam suatu perlombaan, akan tetapi kita katakan bahwa kemenangan yang sesungguhnya adalah yang menang di akhirat, dan yang sukses sesungguhnya adalah yang sukses di akhirat. Oleh karenanya mungkin kita di dunia tidak menjadi orang yang menang dengan segala perkara yang ada di dunia, akan tetapi seharusnya itu tidak membuat kita bersedih yang berlebihan, karena kekalahan yang perlu untuk di khawatirkan adalah kekalahan di akhirat, karena konsekuensinya adalah neraka Jahannam. Maka siapa yang bisa meraih kemenangan di akhirat mala dia adalah pemenang yang sesungguhnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ لِلَّذِينَ آمَنُوا انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ قِيلَ ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ
“Pada hari itu orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Tunggulah kami, kami ingin mengambil cahayamu’. (Kepada mereka) dikatakan, ‘Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)’. Lalu di antara mereka dipasang dinding (pemisah) yang berpintu. Di sebelah dalam ada rahmat dan di luarnya hanya ada azab.” (QS. Al-Hadid : 13)
Di antara tahapan-tahapan yang akan dilalui oleh manusia di padang mahsyar adalah adanya kegelapan sebelum manusia melintasi sirath. Maka saat itu manusia secara umum terbagi menjadi dua, yaitu orang Islam dan orang-orang kafir. Adapun orang-orang kafir, mereka akan dimasukkan langsung ke dalam neraka tanpa melewati sirath, maka tinggallah tersisa orang-orang Islam. Setelah itu orang-orang Islam terbagi menjadi dua, yaitu orang-orang mukmin dan orang-orang munafik (karena orang-orang munafiq menampakan ke-Islaman tatkala di dunia), mereka ditugaskan untuk melewati sirath. Dalam kondisi gelap tersebut, Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan cahaya agar mereka bisa melewati sirath. Sebagian ulama berpendapat bahwa orang-orang munafik diberi cahaya, namun kemudian diredupkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak lain dan tidak bukan karena dahulu di dunia mereka hendak menipu Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka.” (QS. An-Nisa’ : 142)
Oleh karenanya ketika orang-orang beriman melihat cahaya orang-orang munafik diredupkan, mereka pun berdoa,
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sungguh Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Tahrim : 8)
Tatkala cahaya orang-orang munafik diredupkan, disaat itulah mereka memanggil orang-orang beriman untuk memberikan cahaya kepada mereka. Mereka orang-orang munafik berkata,
انْظُرُونَا نَقْتَبِسْ مِنْ نُورِكُمْ
“Tunggulah kami, kami ingin mengambil cahayamu.”
Akan tetapi dikatakan kepada mereka,
ارْجِعُوا وَرَاءَكُمْ فَالْتَمِسُوا نُورًا
“Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).”
Sebagian ulama mengatakan bahwa perkataan ini adalah perkataan orang-orang beriman kepada orang-orang kafir, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa ini adalah perkataan malaikat kepada orang-orang kafir.
Maka setelah itu Allah Subhanahu wa ta’ala membentangkan tembok pemisah di antara orang-orang beriman dan orang-orang munafik yang memiliki sebuah pintu. Bagian orang-orang beriman diberikan rahmat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan bagian orang-orang munafik adalah azab sehingga akhirnya akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُنَادُونَهُمْ أَلَمْ نَكُنْ مَعَكُمْ قَالُوا بَلَى وَلَكِنَّكُمْ فَتَنْتُمْ أَنْفُسَكُمْ وَتَرَبَّصْتُمْ وَارْتَبْتُمْ وَغَرَّتْكُمُ الْأَمَانِيُّ حَتَّى جَاءَ أَمْرُ اللَّهِ وَغَرَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ، فَالْيَوْمَ لَا يُؤْخَذُ مِنْكُمْ فِدْيَةٌ وَلَا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا مَأْوَاكُمُ النَّارُ هِيَ مَوْلَاكُمْ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Orang-orang munafik memanggil orang-orang mukmin, ‘Bukankah kami dahulu bersama kamu?’ Mereka menjawab, ‘Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri, dan hanya menunggu, meragukan (janji Allah) dan ditipu oleh angan-angan kosong sampai datang ketetapan Allah, dan penipu (syaithan) datang memperdaya kamu tentang Allah. Maka pada hari ini tidak akan diterima tebusan dari kamu maupun dari orang-orang kafir. Tempat kamu di neraka. Itulah tempat berlindungmu, dan itulah seburuk-buruk tempat kembali’.” (QS. Al-Hadid : 14-15)
Meskipun orang-orang munafik telah mendapatkan apa yang Allah sebutkan pada ayat sebelumnya, mereka tidak berputus asa untuk mendapatkan cahaya agar bisa melewati sirath. Maka akhirnya orang-orang munafik berteriak kepada orang-orang beriman mengingatkan bahwa dahulu mereka dahulu di dunia berada di tengah-tengah mereka (orang-orang beriman).
Maka orang-orang beriman membenarkan hal itu namun dengan pencelaan terhadap mereka. Orang-orang beriman menyebutkan bahwa dahulu memang orang-orang munafik bersama mereka, akan tetapi orang-orang munafik itu mencelakakan diri mereka sendiri, mereka menunggu keburukan menimpa kaum muslimin dan gembira ketika kaum muslimin dicampakkan, bahkan mereka berangan-angan akan kehancuran kaum muslimin. Kemudian orang-orang beriman menegaskan bahwa pada hari itu orang-orang munafik tidak dapat menebus diri mereka. Orang-orang munafik tidak dapat menebus diri mereka dengan harta karena mereka tidak lagi memiliki harta, mereka tidak dapat menebus diri mereka dengan amal saleh mereka karena amal saleh mereka hancur karena kemunafikan mereka, bahkan mereka tidak bisa menebus diri mereka dengan orang lain. Maka ketahuilah bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa menebus diri mereka pada hari itu, bahkan orang kafir sekali pun. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman juga berfirman,
يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِي مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيهِ، وَصَاحِبَتِهِ وَأَخِيهِ، وَفَصِيلَتِهِ الَّتِي تُؤْوِيهِ، وَمَنْ فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ يُنْجِيهِ
“Pada hari itu, orang yang berdosa (kafir) ingin sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan keluarga yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di bumi seluruhnya, kemudian mengharapkan (tebusan) itu dapat menyelamatkannya.” (QS. Al-Ma’arij : 11-14)
Sebagian ulama mengatakan bahwa saking begitu dahsyatnya pada hari tersebut, sampai-sampai orang-orang kafir tidak lagi memiliki akal yang waras, sehingga rela mengorbankan keluarga dan kerabatnya demi menyelamatkan dirinya. Akan tetapi, baik orang-orang munafik ataupun orang-orang kafir tempat kembali mereka adalah neraka Jahannam, dan sesungguhnya itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al-Hadid : 16)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya kita tidak boleh meniru orang-orang Ahli Kitab, yang mereka jauh dari Taurat maupun Injil, sehingga membuat hati mereka keras. Ahli Kitab sangat jauh dari mempelajari kitab-kitab mereka, bahkan jika mereka mempelajari kitab-kitab mereka maka mereka tidak mengamalkan isi kitab mereka. Artinya mereka tidak pernah tunduk kepada kitab-kita mereka sehingga membuat hati-hati mereka menjadi keras.
Hal ini menunjukkan bahwa iman itu perlu untuk diperbarui. Kalau jika sekiranya seseorang jauh dari Alquran atau jauh dari majelis-majelis ilmu, maka pasti hatinya akan menjadi keras. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
إِنَّ الْإِيمَانَ لَيَخْلَقُ فِي جَوْفِ أَحَدِكُمْ كَمَا يَخْلَقُ الثَّوْبُ، فَاسْأَلُوا اللَّهَ أَنْ يُجَدِّدَ الْإِيمَانَ فِي قُلُوبِكُمْ
“Sesungguhnya iman itu menjadi usang di dalam dada-dada kalian sebagaimana baju yang akan menjadi usang. Maka mintalah kepada Allah agar Dia memperbarui iman di dalam hati kalian.”([34])
Maka hendaknya kita senantiasa meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar Dia memperbarui iman kita dan menambah ketakwaan kita dengan mengingat dan membaca ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala. Jangan kemudian kita menjadi seperti orang-orang Ahli Kitab yang mereka jauh dari kitab-kitab mereka sehingga membuat hati-hati mereka menjadi keras.
Imam Al-Qurthubi menyebutkan bahwa ayat ini merupakan sebab sadarnya dua orang, yaitu Fudhail bin ‘Iyadh dan Ibnul Mubarak.([35]) Fudhail bin ‘Iyadh disebutkan bahwa dahulu dia adalah seorang perampok. Tatkala dia akan merampok, dia mendengar dari rumah yang hendak dia rampok melantunkan ayat ini, maka akhirnya dia sadar dan pulang ke rumahnya. Adapun Ibnul Mubarak disebutkan bahwa dahulu dia adalah orang yang senang bermain alat musik. Bahkan bermain alat musik seperti gitar atau kecapi adalah hobi beliau. Akan tetapi tatkala beliau mendengarkan ayat ini, maka beliau meninggalkan alat musik tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يُحْيِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Ketahuilah bahwa Allah yang menghidupkan bumi setelah matinya (kering). Sungguh, telah Kami jelaskan kepadamu tanda-tanda (kebesaran Kami) agar kamu mengerti.” (QS. Al-Hadid : 17)
Ayat ini merupakan taqrib (pendekatan) terhadap hati-hati manusia. Kalau sekiranya bumi yang kering lalu kemudian dibasahi dengan hujan bisa menjadi hijau kembali, maka demikian pula hati-hati manusia, meskipun sudah mati dan rusak atau keras, bukan berarti tidak bisa menjadi hidup dan lembut kembali. Tentu hati yang keras atau bahkan mati bisa kembali hidup dan lembut jika senantiasa disirami dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau bumi yang mati saja bisa tumbuh, apalagi hanya hati kita. Maka hendaknya kita senantiasa menyirami hati-hati kita dengan ayat-ayat Alquran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, akan dilipatgandakan (balasannya) bagi mereka; dan mereka akan mendapat pahala yang mulia.” (QS. Al-Hadid : 18)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala kembali memuji orang-orang yang gemar untuk berinfak. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala memuji secara khusus dengan mengatakan,
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ
“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan.”
Ini menunjukkan bahwa bukan hanya laki-laki yang dianjurkan untuk bersedekah, akan tetapi wanita juga dianjurkan bersedekah, karena Allah Subhanahu wa ta’ala memuji dalam ayat ini secara langsung baik kepada laki-laki maupun perempuan. Maka hendaknya para wanita hendaknya juga bersedekah, terlebih lagi jika wanita-wanita tersebut diizinkan oleh suami-suami mereka untuk bersedekah, karena betapa banyak seorang suami pelit disebabkan karena istrinya, dimana istrinya mengajarkan untuk tidak dermawan baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebaliknya betapa banyak suami menjadi dermawan karena motivasi istrinya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ لَهُمْ أَجْرُهُمْ وَنُورُهُمْ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, mereka itu orang-orang yang tulus hatinya (cinta kebenaran) dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni-penghuni neraka.” (QS. Al-Hadid : 19)
Para ulama menyebutkan bahwa pada penggalan ayat ini,
أُولَئِكَ هُمُ الصِّدِّيقُونَ وَالشُّهَدَاءُ عِنْدَ رَبِّهِمْ
“Mereka itu orang-orang yang tulus hatinya (cinta kebenaran) dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka.”
Terdapat dua model bacaan. Sebagian ada yang menggabungkan antara Ash-Shiddiqun dan Asy-Syuhada, dan sebagian ada yang memisah antara Ash-Shiddiqun dan Asy-Syuhada. Oleh karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa terdapat beberapa derajat orang-orang yang beriman, pertama adalah para Nabi, kedua adalah Ash-Shiddiqun, ketiga adalah Asy-Syuhada, keempat adalah Ash-Shalihun (orang-orang saleh). Sehingga para ulama yang membedakan antara Ash-Shiddiqun dan Asy-Syuhada berpendapat bahwa masing-masing mendapatkan cahaya yang khusus dari Allah Subhanahu wa ta’ala, yang membuat mereka berbeda. Dan demikianlah keadaan seseorang kelak tatkala melintasi sirath, cahaya antara yang satu dengan yang lainnya akan berbeda-beda, sehingga ada yang cahayanya seperti sebesar gunung dan ada pula yang cahayanya seperti pohon kurma, bahkan ada yang cahayanya sangat kecil di jempol mereka yang kadang menyala dan kadang redup. Oleh karena perbedaan besar kecilnya cahaya yang dimiliki seseorang di akhirat tatkala hendak melewati sirath, maka berbeda pula kecepatan masing-masing di antara orang yang beriman dalam melewati sirath. Ada yang melewati sirath seperti cahaya kilat, ada yang melewati sirath seperti angin yang bertiup dengan kencang, ada yang melewati sirath seperti kuda yang berlari cepat, ada yang melewati sirath seperti berjalannya unta, dan bahkan ada yang melewati sirath dengan merangkak menuju surga. Adapun nasib orang-orang kafir, mereka jelas akan dimasukkan dalam neraka Jahannam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid : 20)
Ayat ini disebutkan setelah Allah menyebutkan motivasi untuk bersedekah pada ayat ke-18 sampai ayat ke-19, dan untuk menekankan hal tersebut maka Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang hakikat dunia agar setiap orang tidak pelit untuk bersedekah.
Tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa hakikat dunia seperti permainan, senda gurau, perhiasan, berbangga-bangga, dan berlomba dalam hal terbanyak, para ulama menyebutkan bahwa ini adalah lima tahapan yang dilalui oleh kebanyakan manusia([36]). Permainan itu ibarat manusia masih di masa kanak-kanak yang mereka kerjanya kebanyakan hanya bermain. Kemudian senda gurau adalah masa dimana seseorang mulai beranjak remaja, maka kerjaannya kebanyakan bersenda gurau. Kemudian perhiasan adalah ibarat masa seseorang sudah beranjak dewasa, dimana mereka sudah mulai memperhatikan penampilan. Kemudian berbangga-bangga adalah masa dimana seseorang yang berusia 40 tahun lebih mulai berbangga-bangga dengan apa yang telah dia capai. Kemudian berlomba memperbanyak sesuatu adalah ibarat usia orang dimana dia mulai menghitung-hitung harta dan anak-anak yang banyak. Akan tetapi dari ayat ini pula Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa masa-masa tersebut akan hilang seperti keringnya tanaman yang dahulu hijau kemudian kering dan hancur.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan.”
Demikianlah kehidupan dunia, hakikatnya hanyalah permainan, dan yang namanya permainan selalu berakhir dengan cepat. Betapa banyak orang yang tertawa di siang hari, akan tetapi ternyata malam hari dia masuk ke dalam kubur. Berbangga dan berlomba dalam memperbanyak harta adalah di antara bumbu majelis kebanyakan orang di zaman sekarang yang dimana pembicaraan mereka kebanyakan hanyalah tentang berbangga-bangga dengan harta yang mereka miliki. Namun demikianlah kehidupan di dunia, isinya hanya bangga-banggaan, dan saling berlomba untuk memiliki paling banyak daripada yang lainnya, baik dari sisi harta dan keturunan.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا
“(dunia itu) seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani, kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.”
Kata الْكُفَّارَ dalam penggalan ayat ini memiliki dua makna. Pertama, الْكُفَّارَ maknanya adalah para petani, yaitu dunia ibarat hujan yang membuat para petani senang karena dapat membuat tanaman-tanaman berbunga, akan tetapi kemudian tanaman tersebut menjadi kering, lalu kemudian hancur lebur. Kedua, الْكُفَّارَ maknanya adalah orang-orang kafir, yaitu dunia membuat mereka senang dan terpesona dengan segala perhiasan-perhiasan di dunia ini. Adapun orang-orang mukmin tidak boleh terpesona dengan dunia, karena sifat tersebut hanyalah milik orang-orang kafir. Ingatlah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengajarkan kepada umatnya sebuah doa, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdosa,
اللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلَّا عَيْشُ الآخِرَة
“Ya Allah, tidak ada kehidupan yang sesungguhnya melainkan kehidupan akhirat.”([37])
Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah mengambil istinbat dari hadits ini dengan mengatakan bahwa jika seorang mukmin sedang dirundung kesusahan, atau melihat sesuatu yang menakjubkan dari perkara dunia maka hendaknya dia mengucapkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini. Ketahuilah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan perkataan dalam hadits ini yaitu tatkala perang Khandaq, ketika itu para sahabat hendak diserang oleh 10.000 orang, kemudian mereka dalam keadaan lapar dan musim dingin, kemudian mereka juga bekerja untuk menggali parit, maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat para sahabat dalam kondisi sulit tersebut, beliau kemudian mengucapkan doa ini. Maka ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini merupakan hiburan buat siapa saja yang sedang dalam kesulitan, bahkan tatkala melihat sesuatu yang menakjubkan dari perkara-perkara dunia.
Intinya, demikianlah hakikat dunia, awalnya akan membuat kita senang, akan tetapi kemudian akan kering seperti mengeringnya tanaman, lalu kemudian hancur lebur. Oleh karena itu, janganlah seseorang teperdaya dengan kehidupan di dunia, karena yang lebih penting baginya adalah mengusahakan untuk kebaikan hidup di akhirat (surga).
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ
“Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.”
Artinya orang-orang beriman diberikan pilihan untuk keadaan mereka di akhirat kelak. Maka ketika orang-orang beriman salah dalam bersikap maka dia bisa dimasukkan ke dalam neraka, adapun jika benar dalam bersikap maka dia akan mendapatkan keridhaan Allah Subhanahu wa ta’ala berupa surga.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Dan kehidupan dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”
Terkadang ada orang yang menyangka bahwa dia akan hidup lama bahkan merasa bahwa akan hidup selamanya, akan tetapi ternyata tiba-tiba dia kemudian meninggal dunia. Benarlah syair yang menyebutkan,
وَكَمْ مِنْ فَتًى أَمْسَى وَأَصْبَحَ ضَاحِكًا … وَقَدْ أُدْخِلَتْ أَجْسَادُهُمْ ظُلْمَةَ الْقَبْرِ
“Betapa banyak pemuda di sore dan siang hari ia tertawa, ternyata jasad-jasad mereka telah dimasukkan dalam gelapnya kubur (di malam hari).”
Demikianlah, betapa banyak kita melihat orang yang bahkan sudah tua namun masih terus tenggelam dalam memperbanyak harta padahal dia telah tergolong orang yang kaya raya.
Namun perlu diperhatikan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan harta dengan perbendaharaan yang menipu sebagaimana ibarat tanaman yang kuning (kering) kemudian hancur ini berkaitan dengan harta-harta yang murni untuk duniawi, sehingga apabila seseorang mengolah harta untuk akhirat maka tidak dikatakan sebagai harta yang menipu. Bahkan harta-harta yang dikelola untuk akhirat akan menjadi pahala yang akan kekal di akhirat, dan bahkan terkadang Allah Subhanahu wa ta’ala menambah harta tersebut dengan keberkahan dari-Nya. Oleh karena itu, jika harta yang dimiliki oleh seseorang dikelola dan diniatkan untuk akhirat maka harta tersebut tidak dikatakan sebagai harta yang menipu, karena ia tidak tertipu dengan harta tersebut, bahkan justru dia telah meletakkan harta pada tempatnya yang tepat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid : 21)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Berlomba-lombalah kamu untuk mendapatkan ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi.”
Ini merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya, dimana Allah berfirman :
وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ
“Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.”
Yaitu setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang hakikat dunia dan pilihan bagi kaum mukminin untuk meraih ampunan dan keridhaan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tidak ada cara lain menuju hal itu kecuali dia bersegera menuju ampunan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maksudnya adalah seseorang berusaha untuk bersegera dan bersemangat melakukan sebab-sebab yang bisa mengantarkannya kepada ampunan Allah Subhanahu wa ta’ala yaitu dengan bersegera dalam beramal shalih. Oleh karena itu, ayat-ayat yang berisi tentang anjuran motivasi untuk beramal saleh maka semuanya datang dalam bentuk anjuran untuk disegerakan. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali-‘Imran : 133)
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah : 148)
وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ
“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al-Muthaffifin : 26)
Intinya banyak ayat-ayat dalam Alquran yang ketika berbicara tentang motivasi beribadah maka akan datang dengan konteks “segera”. Oleh karena itu, dalam kehidupan ini kita sedang bersaing antara yang satu dengan yang lainnya dalam hal menuju akhirat Allah Subhanahu wa ta’ala. Ketahuilah bahwa disamping kita bersaing dalam hal menuju akhirat, umur kita juga terus berpacu, sebagaimana perkataan penyair,
وَقُوَّتِي ضَعُفَتْ وَالْمَوْتُ يَطْلُبُنِي
“Kekuatanku semakin melemah, sementara kematian terus mengejarku.”
Oleh karena itu, kita harus berlomba-lomba karena kita tidak tahu kapan ajal kita menjemput.
Bersegera kepada ampunan Allah dalam penggalan ayat ini bukan bermaksud menyuruh kita untuk sekadar bertaubat, akan tetapi ayat ini bermaksud menyuruh kita untuk bersegera dalam melakukan sebab-sebab yang bisa membuat kita meraih ampunan Allah. Di antara sebab-sebab yang bisa mendatangkan ampunan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah amal saleh, dan di antara amal saleh adalah bertaubat.
Setelah itu, Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan untuk bersegera menuju surga Allah yang luasnya seluas langit dan bumi yang tentunya untuk meraihnya hanya dengan melakukan banyak amal saleh. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, dia berkata,
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُومُوا إِلَى جَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ، قَالَ: يَقُولُ عُمَيْرُ بْنُ الْحُمَامِ الْأَنْصَارِيُّ: يَا رَسُولَ اللهِ، جَنَّةٌ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: بَخٍ بَخٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا يَحْمِلُكَ عَلَى قَوْلِكَ بَخٍ بَخٍ؟ قَالَ: لَا وَاللهِ يَا رَسُولَ اللهِ، إِلَّا رَجَاءَةَ أَنْ أَكُونَ مِنْ أَهْلِهَا، قَالَ: فَإِنَّكَ مِنْ أَهْلِهَا، فَأَخْرَجَ تَمَرَاتٍ مِنْ قَرَنِهِ، فَجَعَلَ يَأْكُلُ مِنْهُنَّ، ثُمَّ قَالَ: لَئِنْ أَنَا حَيِيتُ حَتَّى آكُلَ تَمَرَاتِي هَذِهِ إِنَّهَا لَحَيَاةٌ طَوِيلَةٌ، قَالَ: فَرَمَى بِمَا كَانَ مَعَهُ مِنَ التَّمْرِ، ثُمَّ قَاتَلَهُمْ حَتَّى قُتِلَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Majulah kalian ke surga, yang luasnya seluas langit dan bumi’. Anas berkata, ‘Tiba-tiba ‘Umair bin Al-Humam Al- Anshari berkata, ‘Ya Rasulullah, surga yang luasnya seluas langit dan bumi?’ Beliau menjawab: ‘Ya’. ‘Umair berkata, ‘Wah, wah’. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Mengapa kamu mengatakan wah…wah?’. ‘Umair menjawab, ‘Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, saya berharap semoga saya menjadi penghuninya’. Beliau bersabda: ‘Ya, sesungguhnya kamu termasuk dari penghuninya’. Kemudian dia mengeluarkan kurma dari dalam sakunya dan memakannya sebagian. Sesudah itu dia berkata, ‘Sungguh kehidupan yang lama bagiku, seandainya aku menghabiskan kurmaku ini’. Anas berkata, ‘Maka kurma yang masih tersisa di tangannya ia lemparkan begitu saja kemudian dia bertempur hingga akhirnya gugur’.”([38])
Lihatlah bagaimana semangat para sahabat yang bersegera kepada kebaikan. Oleh karena itu penulis menasihati diri dan saudaraku sekalian bahwa jika ada terbetik dalam diri kita suatu kebaikan dan kita sadar bahwa diri kita mampu melakukannya, maka lakukanlah dan jangan pernah ditunda. Jika sekiranya terbetik di dalam diri kita ingin shalat dhuha, ingin shalat sunnah, atau ibadah-ibadah lainnya maka segera lakukan, karena itu adalah di antara hidayah yang Allah berikan kepada kita untuk segera melakukan amal saleh. Jangan biasakan menunda kebaikan yang terbetik dalam benak kita dan kerjakanlah selama kita bisa mengerjakannya langsung, karena bisa jadi lima menit setelah itu akan hilang niat untuk melakukan amal kebaikan tersebut, sehingga menunjukkan bahwa hidayah tersebut telah dicabut oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya sebagia salaf menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud bersegera adalah bersegera menuju saf pertama dalam shalat berjamaah, atau bersegera menuju tempat shalat agar bisa mendapatkan takbiratul ihram bersama imam.
Pada penggalan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan bahwa luas surga itu seluas langit dan bumi. Dalam bahasa Arab, terdapat kata عَرْضٌ yang artinya lebar, dan ada pula طُول yang artinya panjang. Sebagian ulama mengatakan bahwa penggunaan kata عَرْضٌ dalam menjelaskan luasnya surga menunjukkan bahwasanya surga itu lebih luas daripada langit dan bumi, karena Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengabarkan lebar surga yang luasnya seluas langit dan bumi, sedangkan kita tahu pada sesuatu ada panjang dan lebar, dan sisi panjang selalu lebih panjang daripada sisi lebar. Sementara dalam ayat ini hanya disebutkan lebarnya, tentu panjangnya lebih lagi.
Setelah itu, para ulama juga khilaf tentang apa maksud surga dalam penggalan ayat ini. Para ulama khilaf bahwa apakah surga dengan luas seluas langit dan bumi tersebut diperuntukkan untuk seluruh manusia atau hanya untuk satu orang. Akan tetapi intinya, meskipun surga yang luasnya seluas langit dan bumi tersebut diperuntukkan untuk seluruh manusia, maka itu sudah sangat luas. Karena kita tahu bahwa langit sangatlah luas, sampai-sampai kita tidak tahu di mana ujung dan pangkalnya.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya.”
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini menunjukkan bahwa surga tersebut telah ada, karena Allah menyebutkan bahwa surga tersebut “disediakan”. Inilah akidah Ahlussunnah wal Jama’ah bahwasanya surga itu telah ada dan sudah disiapkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan banyak dalil yang mendukung akan hal ini baik dari Alquran maupun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, tentunya kabar ini membuat kita lebih semangat dalam beribadah karena meyakini bahwa surga itu telah ada([39]).
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Itulah karunia Allah, yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Orang yang diberi karunia untuk bisa bertakwa, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya hingga dia masuk surga, itu semua adalah karunia dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
مَا مِنْ أَحَدٍ يُدْخِلُهُ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، فَقِيلَ: وَلَا أَنْتَ؟ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: وَلَا أَنَا، إِلَّا أَنْ يَتَغَمَّدَنِي رَبِّي بِرَحْمَةٍ
“Tidak ada seorang pun yang dimasukkan surga oleh amalnya”. Dikatakan, ‘Tidak juga engkau wahai Rasulullah?’. Beliau menjawab: ‘Tidak juga aku, kecuali bila Rabbku melimpahkan rahmat-Nya kepadaku’.”([40])
Para ulama menjelaskan bahwasanya amal yang kita lakukan selama di dunia ini tidak cukup untuk membayar surga. Hal ini dikarenakan surga memiliki kenikmatan abadi dan sempurna, maka tidak mungkin kita bisa membayarnya dengan amalan yang sangat sedikit, bahkan dengan amalan kita yang banyak dibangun di atas sifat malas-malasan. Oleh karena itu, yang benar adalah dengan sebab amalan yang kita lakukan selama di dunia kita bisa meraih rahmat Allah, sehingga dengan rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala itulah kita bisa masuk surga. Oleh karenanya meskipun amalan kita pada hakikatnya tidak bisa kita gunakan untuk membayar surga, akan tetapi kita tetap harus melakukan amal-amal saleh, karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Masuklah ke dalam surga karena amalan yang kalian telah kerjakan.” (QS. An-Nahl : 32)
Maka kita senantiasa berdoa agar kita termasuk orang-orang yang dikehendaki oleh-Nya untuk masuk ke dalam surga.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ، لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhil Mahfudzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid : 22-23)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang musibah yang menimpa seseorang di dunia ini. Ketahuilah bahwa kehidupan di dunia tidak akan selalu menyenangkan, suatu waktu seseorang akan merasakan sesuatu yang menyedihkan dari kehidupan ini. Siapa pun orang di dunia ini pasti pernah merasakan kesedihan dan kesenangan di dunia ini, tidak ada seorang pun yang murni merasakan kesenangan semata dalam kehidupannya, karena kesedihan dan ketakutan tidak lagi akan dirasakan oleh seseorang ketika dia telah berada di surga. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ لَا خَوْفٌ عَلَيْكُمْ وَلَا أَنْتُمْ تَحْزَنُونَ
“Masuklah kamu ke dalam surga. Tidak ada rasa takut padamu dan kamu tidak pula akan bersedih hati.” (QS. Al-A’raf : 49)
Maka siapa pun dia, baik raja, presiden, menteri, da’i, bahkan para Nabi, selama mereka hidup di dunia pasti akan mengalami kesedihan, kekhawatiran, dan ketakutan.
Oleh karena itu, ayat ini menjelaskan tentang bagaimana cara kita menyikapi musibah yang menimpa diri kita.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauhil Mahfudzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa seluruh musibah yang menimpa bumi seperti gempa bumi; banjir; atau kekeringan, dan seluruh musibah yang menimpa diri kita sendiri seperti sakit; cacat; atau musibah terkait anak dan istri, semuanya telah Allah tuliskan di al-Lauhul Mahfudzh sebelum Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan musibah tersebut, dan hal tersebut sangat mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, ayat ini berbicara tentang iman kepada takdir, bahwasanya semua apa yang terjadi itu telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak ada satu musibah pun yang menimpa diri kita, harta kita, dan keluarga kita kecuali hal tersebut telah tercatat di Lauhil Mahfudzh.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ
“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.”
Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya segala musibah yang menimpa diri kita telah tercatat di al-Lauhul Mahfudzh tujuannya adalah agar kita tidak terlalu bersedih terhadap apa yang luput dari diri kita karena menyadari bahwa itu semua telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya dalam sebuah riwayat disebutkan,
وَتَعْلَمَ أَنَّ مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ
“Dan ketahuilah engkau bahwa apa saja yang ditakdirkan menjadi bagianmu tidak akan lepas darimu.”([41])
Meskipun semua orang sedunia ini bersatu padu untuk berusaha melepaskan diri kita dari apa yang telah ditakdirkan, ketahuilah bahwa kita tidak akan bisa lolos dari takdir tersebut. Oleh karenanya inilah diantara yang menghibur hati kita, tatkala kita ditimpa musibah maka kita akan tenang karena meyakini bahwa ini adalah takdir Allah Subhanahu wa ta’ala.
Selain agar kita tidak terlalu bersedih, juga agar kita tidak terlalu bangga hingga menyombongkan diri terhadap apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada kita. Sesungguhnya apa yang kita dapatkan dari segi fisik, harta, atau kecerdasan, semuanya telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka jangan kita sombong.
Tidak terlalu bersedih dan tidak terlalu berbangga diri terhadap apa yang menimpa diri kita adalah buah utama dari beriman kepada takdir, yaitu dengan beriman kepada takdir Allah Subhanahu wa ta’ala akan membuat hidup kita lebih nyaman, karena kita yakin semuanya telah dituliskan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karena semua telah ditakdirkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka ketika kita mendapatkan musibah maka hendaknya kita bersabar, dan ketika kita mendapatkan kenikmatan maka jangan kita sombong dengan mengatakan bahwa hal tersebut karena usaha kita, karena semuanya itu pada hakikatnya dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu, ketika kita merenungkan diri kita, kita tahu bahwa masih banyak orang yang lebih cerdas daripada kita, akan tetapi tidak semua dari orang pintar tersebut mendapat hidayah untuk datang dan tertarik mendengar pengajian dalam majelis ilmu. Maka jangan kita menganggap bahwa hidayah yang kita dapatkan ini merupakan buah dari kecerdasan atau kebaikan kita. Lihatlah Abu Thalib, siapa yang lebih baik dan sayang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam daripada dia? Akan tetapi sayangnya dia tidak mendapatkan hidayah, padahal sebab-sebab untuk dapat hidayah sangatlah besar.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Pada dasarnya kata مُخْتَالٍ dan فَخُورٍ sama maknanya, yaitu sombong dan angkuh. Akan tetapi sebagian ulama berusaha menjelaskan perbedaan dari kedua kata tersebut. Di antara yang berusaha menjelaskannya adalah Imam Al-Qurthubi rahimahullah, beliau mengatakan,
الْمُخْتَالُ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى نَفْسِهِ بِعَيْنِ الِافْتِخَارِ، وَالْفَخُورُ الَّذِي يَنْظُرُ إِلَى النَّاسِ بِعَيْنِ الِاحْتِقَارِ
“Al-Mukhtal adalah seseorang yang melihat dirinya sendiri dengan pandangan kesombongan (takjub). Adapun Al-Fakhur adalah melihat kepada orang lain dengan pandangan yang meremehkan.”([42])
Biasanya sifat Al-Mukhtal dan Al-Fakhur saling melengkapi jika salah satunya ada pada diri seseorang, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala membedakan dua sifat ini. Oleh karenanya hendaknya seseorang menghindari sifat ini karena Allah Subhanahu wa ta’ala membenci (tidak suka) terhadap orang yang memiliki sifat ini, baik salah satunya atau bahkan keduanya.
Ibnu Áthiyyah berkata :
وقوله تعالى: وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتالٍ فَخُورٍ يدل على أن الفرح المنهي عنه إنما هو ما أدى إلى الاختيال، والفخر بنعم الله المقترن بالشكر والتواضع فأمر لا يستطيع أحد دفعه عن نفسه ولا حرج فيه
“Firman Allah “Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.” Menunjukan bahwa kegembiraan yang dilarang adalah kegembiraan yang mengantarkan kepada kesombongan. Adapun bangga/gembira dengan karunia/nikmat Allah yang disertai sikap bersyukur dan tawadhu maka merupakan perkara yang tidak seorangpun mampu untuk menghindarinya, dan hal ini tidak mengapa” ([43])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir. Barangsiapa berpaling (dari perintah-perintah Allah), maka sesungguhnya Allah, Dia Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS. Al-Hadid : 24)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
الَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ
“Yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir.”
Pada penggalan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan di antara ciri-ciri orang yang memiliki sifat Al-Mukhtal dan Al-Fakhur. Di antara ciri-ciri mereka adalah pelit dan memerintahkan orang lain untuk berbuat pelit. Para ulama menyebutkan bahwa ini adalah di antara sifat orang-orang munafik karena Allah Subhanahu wa ta’ala menyifati mereka dengan sifat pelit. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggam tangannya (kikir). Mereka telah melupakan kepada Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah : 67)
هُمُ الَّذِينَ يَقُولُونَ لَا تُنْفِقُوا عَلَى مَنْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ حَتَّى يَنْفَضُّوا وَلِلَّهِ خَزَائِنُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَفْقَهُونَ
“Mereka (orang-orang munafik) yang berkata (kepada orang-orang Ansar), ‘Janganlah kamu bersedekah kepada orang-orang (Muhajirin) yang ada di sisi Rasulullah sampai mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)’. Padahal milik Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami.” (QS. Al-Munafiqun : 7)
Ini menunjukkan bahwa orang-orang munafik itu pelit dan memerintahkan orang untuk berbuat pelit.
Demikianlah orang yang memiliki sifat pelit. Terkadang mungkin kita dapati ada orang yang mengajak orang lain untuk berinfak, akan tetapi dirinya enggan untuk berinfak. Namun terkadang ada orang yang pelit tidak suka jika melihat ada orang yang dermawan, karena jika dia tidak dermawan seperti orang tersebut maka dia akan merasa dirinya terhina, sehingga dia ingin agar orang lain pelit seperti dirinya dengan menyeru agar orang-orang tidak berinfak.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
“Barangsiapa berpaling (dari perintah-perintah Allah), maka sesungguhnya Allah, Dia Mahakaya, Maha Terpuji.”
Yaitu maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh kepada siapa pun, dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh kepada infak yang kita keluarkan, karena sesungguhnya infak yang kita keluarkan itu adalah untuk diri kita sendiri. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Terpuji dengan kesempurnaan kekayaan-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala menggabungkan antara dua sifatnya ini yaitu Maha Kaya dan Maha Terpuji. Berbeda dengan manusia, terkadang ada orang yang dipuji akan tetapi dia adalah orang yang miskin, dimana dia dipuji karena akhlaknya yang baik, hanya saja dia tidak kaya. Dan sebaliknya ada pula orang yang kaya namun tidak terpuji, dimana kekayaannya membuat dia angkuh dan merendahkan orang lain sehingga dia tidak dikatakan terpuji. Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia Maha Kaya sekaligus Maha Terpuji.
Terkait ayat ini, Imam Al-Qurthubi rahimahullah memiliki perkataan yang indah terkait perbedaan antara orang yang pelit dan orang yang dermawan. Hal ini penting untuk kita ketahui agar kita bisa menilai diri kita, apakah kita termasuk orang yang pelit atau orang yang dermawan. Imam Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ada dua perbedaan antara orang yang pelit dan orang yang dermawan. Al-Qurthubi mengatakan,
أَحَدُهُمَا أَنَّ الْبَخِيلَ الَّذِي يَلْتَذُّ بِالْإِمْسَاكِ. وَالسَّخِيُّ الَّذِي يَلْتَذُّ بِالْإِعْطَاءِ. الثَّانِي- أَنَّ الْبَخِيلَ الَّذِي يُعْطِي عِنْدَ السُّؤَالِ، وَالسَّخِيُّ الَّذِي يُعْطِي بِغَيْرِ سُؤَالٍ
“Pertama: orang pelit adalah orang yang merasa lezat dengan menahan hartanya, sedangkan orang yang dermawan adalah orang yang merasa lezat dengan memberi. Kedua, orang pelit adalah orang yang memberi ketika diminta, adapun orang yang dermawan adalah orang yang memberi tanpa diminta.”([44])
Maka kita telah bisa mengukur diri kita, apakah kita orang yang pelit atau orang yang dermawan. Jika kita adalah orang yang merasa senang ketika bisa menahan harta kita untuk berinfak, atau kita memberi namun baru memberi kalau orang yang kita beri terus-terusan meminta kepada kita, maka sejatinya kita adalah orang yang pelit. Adapun jika kita adalah orang yang senang ketika bisa memberi, dan tidak menunggu dimintai ketika memberi, maka semoga itu tanda bahwa kita adalah orang yang dermawan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan, hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa.” (QS. Al-Hadid : 25)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil.”
Pada penggalan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa Dia mengutus para rasul dengan bukti yang nyata (mukjizat), kitab yang berisi firman Allah, dan barometer untuk mengukur keadilan di antara manusia. Dan pada ayat-ayat selanjutnya Allah Subhanahu wa ta’ala akan menyebutkan bahwa di antara rasul-rasul tersebut adalah Nabi Isa ‘alaihissalam. Hal ini disebabkan karena Nabi Isa ‘alaihissalam memiliki kitab suci, dan ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang Rasul sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala jelaskan ciri-cirinya dalam ayat ini. Oleh karenanya Nabi Isa ‘alaihissalam dan Nabi-Nabi yang lain tidak memiliki perbedaan, semuanya sama-sama diutus dan sama-sama memiliki kitab suci. Maka seharusnya ini menjadi pertanyaan kepada orang-orang Nasrani bahwa mengapa mereka menjadikan Nabi Isa ‘alaihissalam sebagai Tuhan, sedangkan tidak menganggap Tuhan para Nabi-Nabi yang lain? Kalau sekiranya Nabi Isa ‘alaihissalam adalah Tuhan, maka seharusnya dia tidak perlu membawa kitab, melainkan cukup berbicara langsung kalau dia memang Tuhan. Akan tetapi faktanya Nabi Isa ‘alaihissalam membawa kitab yang merupakan ciri seorang Rasul.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيدَ فِيهِ بَأْسٌ شَدِيدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan, hebat dan banyak manfaat bagi manusia.”
Di antara nikmat-nikmat yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada hamba-hamba-Nya adalah besi. Pada besi tersebut terdapat kekuatan yang kuat yang dapat dijadikan alat tempur, tameng, pedang, dan berbagai macam lainnya bisa diciptakan dari besi yang tentunya memiliki manfaat yang banyak bagi manusia.
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa ini adalah sebuah isyarat bahwa anugerah yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada kita harus kita gunakan untuk akhirat (kejayaan Islam). Umat Islam seharusnya tidak menjadi umat yang terbelakang, karena meskipun Allah Subhanahu wa ta’ala hanya menyebutkan satu nikmat yaitu berupa besi, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menginginkan agar kita menggunakan anugerah tersebut dalam perkara-perkara yang baik. Dan fakta kecil menunjukkan bahwa kebanyakan orang-orang kafir yang berkreasi dan kita orang-orang Islam hanya menonton. Padahal seharusnya kita umat Islam juga memiliki kemampuan untuk berkreasi menciptakan alat-alat canggih yang bisa kita gunakan untuk dunia dan akhirat kita. Oleh karena itu, seharusnya secara teknologi kita tidak boleh kalah dari orang-orang kafir. Hal ini perlu untuk kita tekankan karena sebagian orang ingin mengesankan bahwa Islam seakan-akan memperlambat kemajuan. Tentunya anggapan ini tidak benar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ
“Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian.”([45])
Ini menunjukkan bahwa masalah dunia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bebaskan untuk kita umat Islam berkreasi. Demikian pula dalam banyak ayat di surah ini yang memerintahkan untuk berinfak, ini menunjukkan bahwa seorang muslim harus punya harta untuk dia bisa berinfak. Sungguh tidak ada kaitannya antara menjadi orang Islam dengan kemunduran teknologi. Siapa pun kita bisa menjadi professor atau bahkan orang yang paling pintar, yang penting harus diketahui bahwa Islam itu mengajarkan setiap orang akhlak untuk tidak sombong, dan nikmat tersebut harus diarahkan kepada kebaikan. Oleh karena itu, umat Islam harus kreatif dan tentunya memiliki ilmu untuk bisa memanfaatkan anugerah yang Allah berikan, di antaranya berupa besi yang bisa digunakan untuk kemajuan teknologi.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ
“Dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak ada yang melihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”
Pada penggalan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala lebih mempertegas lagi bahwa di antara nikmat yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan berupa besi harus digunakan untuk menolong agama Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya meskipun tidak ada yang melihatnya. Sesungguhnya banyak hal dari teknologi yang bisa kita gunakan untuk menolong agama Allah Subhanahu wa ta’ala, meskipun tidak ada yang mengetahuinya, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui. Dan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan di antara sifat-sifat-Nya yang menunjukkan bahwa pada hakikatnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak butuh pertolongan kita, akan tetapi pertolongan kita terhadap agama Allah itu akan kembali kepada diri kita masing-masing. Ketahuilah bahwa jika sekiranya tidak ada satu orang pun di atas muka bumi ini yang tidak menegakkan shalat, maka hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, karena hal itu tidak akan mengurangi kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا وَإِبْرَاهِيمَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ فَمِنْهُمْ مُهْتَدٍ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami berikan kenabian dan kitab (wahyu) kepada keturunan keduanya, di antara mereka ada yang menerima petunjuk dan banyak di antara mereka yang fasik.” (QS. Al-Hadid : 26)
Nabi Nuh ‘alaihissalam merupakan seorang Rasul yang pertama dari para Nabi. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa antara Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim ‘alaihimassalam dijadikan keturunan dari keduanya Nabi-Nabi yang membawa kita suci.
Mengapa Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim ‘alaihimassalam disebutkan secara spesial? Hal itu dikarenakan Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah Abul Basyar Ats-Tsani (Nenek moyang kedua). Artinya seluruh manusia yang ada saat ini adalah keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam. Sebagaimana telah disebutkan bahwa ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan bencana kepada kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, maka yang tersisa dari manusia hanya kurang lebih delapan puluh orang. Dan disebutkan bahwa yang memiliki keturunan setelah itu adalah keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam yaitu Saam, Haam, dan Yaafits, adapun yang lainnya keturunannya terputus. Oleh karena itu seluruh manusia termasuk para Nabi-Nabi setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam merupakan keturunan dari tiga orang anak Nabi Nuh ‘alaihissalam. Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam juga disebutkan karena seluruh Nabi setelahnya merupakan keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, baik dari silsilah Nabi-Nabi Bani Israil, maupun Nabi dari silsilah Nabi Ismail ‘alaihissalam. Inilah keistimewaan dua Nabi ini sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan keduanya secara khusus.
Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa dari keturunan keduanya ada yang mendapat petunjuk, dan banyak yang tidak beriman kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Kemudian Kami susulkan rasul-rasul Kami mengikuti jejak mereka dan Kami susulkan (pula) Isa putra Maryam; Dan Kami berikan Injil kepadanya dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya. Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridhaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya. Maka kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya, dan banyak di antara mereka yang fasik.” (QS. Al-Hadid : 27)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ثُمَّ قَفَّيْنَا عَلَى آثَارِهِمْ بِرُسُلِنَا وَقَفَّيْنَا بِعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ
“Kemudian Kami susulkan rasul-rasul Kami mengikuti jejak mereka dan Kami susulkan (pula) Isa putra Maryam.”
Setelah Nabi Nuh dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam terdapat Nabi-Nabi yang lain, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan secara khusus Nabi Isa ‘alaihissalam karena dia merupakan Nabi terakhir dari Bani Israil. Sebagian ulama seperti Thahir Ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa jarak antara Nabi Isa ‘alaihissalam dan Nabi sebelumnya yaitu Yunus bin Matta yang tinggal di Niinawa-Irak adalah sekitar delapan abad.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَآتَيْنَاهُ الْإِنْجِيلَ وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً
“Dan Kami berikan Injil kepadanya dan Kami jadikan rasa santun dan kasih sayang dalam hati orang-orang yang mengikutinya.”
Pemberian Injil oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Isa ‘alaihissalam menunjukkan bahwa dia adalah seorang Nabi dan bukan Tuhan, karena kalau sekiranya dia adalah Tuhan maka seharusnya dia tidak perlu membawa kitab suci, melainkan cukup berbicara langsung. Akan tetapi karena dia adalah seorang Nabi, maka Nabi Isa ‘alaihissalam membawa risalah dari yang mengutusnya, dan untuk menunjukkan bahwa dia adalah utusan.
Di antara karunia Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Isa ‘alaihissalam adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan ra’fah dan rahmah pada hati-hati orang yang mengikutinya. Jika di artikan perkata ke dalam bahasa Indonesia, ra’fah dan rahmah sama-sama berarti kasih sayang dan kelembutan. Akan tetapi para ulama membedakannya dengan mengatakan bahwa رَأْفَةً adalah sikap ingin agar orang lain terhindar dari keburukan, adapun رَحْمَةً adalah rahmah yang bersifat umum yaitu ingin agar orang lain mendapat kebahagiaan dan kenikmatan. Artinya, ra’fah merupakan bagian dari rahmah, hanya saja ra’fah merupakan rahmah yang khusus, yaitu berkaitan dengan sikap tidak ingin orang lain terkena keburukan.
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa pengikut Nabi Isa ‘alaihissalam diberikan hati yang ra’fah dan rahmah karena hati-hati orang Yahudi menjadi keras karena saking lamanya mereka berada di dalam kesesatan. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat-ayat sebelumnya,
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.” (QS. Al-Hadid : 16)
Artinya dalam waktu yang sangat lama orang-orang Yahudi tidak mempelajari Taurat sehingga hati mereka semakin keras dari waktu ke waktu. Bahkan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً
“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras.” (QS. Al-Baqarah : 74)
Maka ketika hati mereka keras seperti batu, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mengutus Nabi Isa ‘alaihissalam untuk melembutkan hati Bani Israil. Maka yang mengikuti Nabi Isa ‘alaihissalam dijadikan hatinya ra’fah dan rahmah.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
“Mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka (yang Kami wajibkan hanyalah) mencari keridhaan Allah, tetapi tidak mereka pelihara dengan semestinya.”
Rahbaniyyah adalah sikap menyendiri, menjauhkan diri dari masyarakat, tidak menikah, dan tidak bergaul dengan masyarakat karena khawatir terjerumus ke dalam kemaksiatan. Sikap ini adalah sikap yang dilakukan oleh rahib-rahib (pendeta) Nasrani, mereka ingin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta’ala namun mereka membuat bid’ah yang namanya rahbaniyyah, padahal sikap tersebut tidak pernah Allah Subhanahu wa ta’ala wajibkan kepada mereka.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala menyuruh mereka untuk menikah, bahkan para Rasul juga diperintahkan untuk menikah dan memiliki anak, karena di antara nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada para Rasul adalah pasangan dan anak-anak. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
“Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad) dan Kami berikan kepada mereka istri-istri dan keturunan.” (QS. Ar-Ra’d : 38)
Maka apakah mereka para pendeta ingin melampaui keimanan para Rasul padahal para Rasul sendiri diperintahkan untuk menikah? Akan tetapi demikianlah, dengan ide mereka tersebut yang ingin dekat kepada Allah, mereka menganggap istri dan anak-anak adalah penghalang dari kedekatan kepada Allah, mereka menganggap bahwa pergaulan hanya akan menjerumuskan ke dalam maksiat, maka mereka membuat bid’ah yang namanya rahbaniyyah. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam ayat ini bahwa sikap mereka itu adalah sikap yang diada-adakan, karena mereka tidak pernah diperintahkan melakukannya meskipun untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu orang-orang Nasrani disebut sebagai orang yang sesat, sebagaimana ayat yang senantiasa yang kita baca dalam shalat,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ، صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya. Bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat.”
Yang dimaksud orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi, yang mereka memiliki ilmu namun ilmu tersebut tidak diamalkan. Adapun orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani karena mereka beramal tanpa ilmu.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَآتَيْنَا الَّذِينَ آمَنُوا مِنْهُمْ أَجْرَهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Maka kepada orang-orang yang beriman di antara mereka Kami berikan pahalanya, dan banyak di antara mereka yang fasik.”
Yaitu maksudnya adalah pengikut Nabi Isa ‘alaihissalam terbagi menjadi dua, yaitu ada yang beriman dan banyak yang fasik (tidak beriman).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya (Muhammad), niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan cahaya untukmu yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan serta Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hadid : 28)
Banyak Ahli Tafsir membawakan bahwa ayat ini ditujukan kepada Ahli Kitab, yaitu mereka diperintahkan untuk beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya mereka telah beriman kepada Nabi Musa dan Nabi Isa ‘alaihissalam, maka menjadi kewajiban bagi mereka selanjutnya adalah beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karena itu, orang-orang Yahudi dan Nasrani yang tidak beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka tempat mereka adalah neraka Jahannam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ، وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang dari umat ini baik Yahudi dan Nasrani mendengar tentangku, kemudian dia meninggal dan tidak beriman dengan agama yang aku diutus dengannya, kecuali dia pasti termasuk penghuni neraka.”([46])
Maka wajib bagi mereka orang-orang Yahudi dan Nasrani beriman kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam setelah datangnya Islam.
Adapun ganjaran yang mereka dapatkan jika mereka beriman, di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan dua kali lipat dari rahmat-Nya, yaitu mereka mendapatkan ganjaran pahala atas ke-Yahudian dan Ke-Nasranian mereka, setelah itu mereka juga akan mendapat pahala dengan keislaman mereka jika mereka beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِئَلَّا يَعْلَمَ أَهْلُ الْكِتَابِ أَلَّا يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَأَنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
“Agar Ahli Kitab mengetahui bahwa sedikit pun mereka tidak akan mendapat karunia Allah (jika mereka tidak beriman kepada Muhammad), dan bahwa karunia itu ada di tangan Allah, Dia memberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Hadid : 29)
Yaitu karunia Allah Subhanahu wa ta’ala berupa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan bangsa Arab adalah hak Allah Subhanahu wa ta’ala dalam menetapkannya, dan bukan hak orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka ingin Nabi terakhir adalah dari kalangan Bani Israil. Oleh karena itu dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa mereka orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak dapat mengatur karunia Allah, karena yang menentukan karunia-Nya diberikan kepada siapa itu adalah hak Allah Subhanahu wa ta’ala.
Oleh karena itu terdapat buku yang sangat indah dengan judul رَبِحْتُ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْسَرِ الْمَسِيْحَ عَلَيْهِمَا السَلاَمُ “Aku beruntung beriman kepada Muhammad dan aku tidak kehilangan ‘Isa” ([47]). Buku ini ditulis untuk orang-orang Nasrani, bahwa apa yang membuat mereka susah beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya jika mereka beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mereka akan mendapat dua keuntungan dari beriman kepada Nabi Isa ‘alaihissalam dan keuntungan dari beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya tidak ada kelaziman bahwa beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berarti kafir terhadap Nabi Isa ‘alaihissalam, padahal kita bisa menggabungkan keimanan terhadap keduanya.
([1]) Surah-surah Al-Musabbihat adalah surah yang dibuka dengan lafal tasbih kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
([2]) HR. Ibnu Majah no. 5057, derajat hadistnya dha’if
([3]) Lihat Mirqoot al-Mafaatiih, Mulla Áli al-Qoori 4/1480
([4]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir, Ibnu Ásyuur 27/354
([5]) Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah di Majmuu’ al-Fatawaa 8/8 dan Minhaaj As-Sunnah an-Nabawiyah 1/350
([8]) Beliau adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi, pengarang kitab Ihya’ ‘Ulumuddin
([9]) Al-Ghazali mengkhususkan kepada Ibnu Sina dan Al-Farabi
([10]) Ibnu Sina memiliki syubhat-syhubat yang lain, dan syubhat-syubhat tersebut telah penulis sebutkan dan penulis bantah di Tesis penulis yang berjudul أَجْوِبَةُ شَيْخِ الإِسْلاَمِ اِبْنِ تَيْمِيَّةَ عَنِ الشُّبْهَاتِ التَّفْصِيْلِيَّةِ لِلْمُعَطِّلَةِ فِي الصِّفَاتِ الذَّاتِيَّةِ “Jawaban-jawaban Ibnu Taimiyyah atas syubhat-syubhat terperinci para penolak sifat yang berkaitan dengan sifat-sifat Dzatiah Allah”
([12]) Baahir al-Burhaan fi Maáani Musykilaat al-Qurán, Mahmuud bin Abil Hasan an-Naisaburi al-Ghoznawi 3/1466
([13]) Al-Muharrar Al-Wajiz 5/258
([15]) Tafsir al-Qurthubi 17/238
([18]) Tafsir al-Qurthubi 17/238
([20]) Perjanjian Hudaibiyah disebut dengan Fath karena dibalik perjanjian tersebut banyak kebaikan bagi kaum muslimin
([24]) Al-Foshol fi al-Milal wa an-Nihal wa al-Ahwaa’ 4/116
([27]) HR. Ahmad no. 1675, dan diriwayatkan pula oleh At-Tirmidzi dan yang lainnya
([29]) Sebagaimana telah lalu penukilan perkataan Ibnu Hazm di Al-Foshol fi al-Milal wa an-Nihal wa al-Ahwaa’ 4/116
Sabda Nabi وَقَدْ كَانَ لِفُلاَنٍ (harta itu memang milik si fulan) ada dua pendapat :
Pertama : Maksudnya si fulan adalah ahli warisnya, yaitu mau tidak mau harta tersebut akan berpindah ke ahli warisnya, sehingga jika orang yang akan meninggal mewashiatkan hartanya kepada orang lain yang mengakibatkan mudhorot kepada ahli warisnya maka washiatnya tersebut tidak berlaku. (Dan ini pendapat al-Khottobi di Maáalim as-Sunan 4/85)
Kedua: Maksudnya harta tersebut telah tercatat menjadi milik si fulan di al-Lauh al-Mahfuudz (Lihat Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 7/124 dan Fathul Baari 5/374)
([32]) HR. At-Tirmidzi no. 2320
([33]) HR. Bukhari no. 2518 dan HR. Muslim no. 84
([34]) HR. Al-Hakim no. 5 dalam Al-Mustadrak
([35]) Tafsir Al-Qurthubi 17/250-215
([36]) Lihat at-Tahriir wa at-Tanwiir, Ibnu Ásyuur 27/401
([39]) Sebagai perumpamaan sederhana, tentu seorang pegawai lebih semangat bekerja jika bosnya berkata, “Saya sudah membangunkan rumah bagimu, dengan sifat-sifat begini dan begitu….kalau kamu bekerja dengan baik maka saya akan serahkan kuncinya kepadamu”. Lain halnya jika bosnya berkata, “Kalau kamu bekerja dengan baik maka saya akan membangunkan rumah bagimu”
([42]) Tafsir Al-Qurthubi 17/259
([43]) Al-Muharro al-Wajiiz 5/268
([44]) Tafsir Al-Qurthubi 17/259
([47]) Yaitu buku karya Ibrahim bin Abdirrahman ad-Dumaiji dan juga dengan judul buku yang sama ditulis oleh Dr Abdul Mu’thi ad-Dilaalati