Tafsir Surah At-Taghobun
Surah at-Taghobun adalah salah satu dari surah-surah al-Musabbihat, dan surah-surah al-musabbihat adalah surah-surah yang diawali, dengan سَبَّحَ atau يُسَبِّحُ dan jumlah keseluruhannya ada 5 surah, adapun yang diawali dengan fi’il madhi سَبَّحَ ada 3 surah yaitu surah al-hadid, yaitu firman-Nya:
{سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
“Telah bertasbih kepada Allah semua yang berada di langit dan yang berada di bumi (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hadid: 1)
Kemudian surah al-Hasyr,
{سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hasyr: 1)
Lalu surah ash-Shaff,
{سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
“Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. As-Shaf: 1)
Dan adapun surah-surah yang diawali dengan fi’il mudhari’ يُسَبِّحُ ada 2 surah yaitu surah al-jumu’ah,
{يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ}
“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. Al-Jumu’ah: 1
Kemudian surah at-taghobun,
{يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi; hanya Allah lah yang mempunyai semua kerajaan dan semua pujian, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taghobun: 1)
Semua surah-surah ini disebut dengan surah-surah al-Musabbihat. Dan ada dua surah lainnya yang dibuka dengan kalimat tasbih, yaitu surah al-Isra:
{سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ}
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra: 1)
Kemudian juga surah al-A’la yang diawali dengan kalimat tasbih dalam bentuk fi’il amr (Kata kerja perintah),
{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى}
“Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi” (QS. Al-A’la: 1)
Jadi di dalam al-Quran surah-surah yang diawali dengan kalimat tasbih totalnya ada tujuh surah, namun yang dikenal dengan surah-surah al-musabbihat hanya ada lima surah, yaitu surah-surah yang diawali dengan سَبَّحَ atau يُسَبِّحُ ([1]).
Allah subhanahu wa ta’ala membuka surah-surah ini dengan kalimat tasbih untuk menunjukkan akan betapa agungnya tasbih kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena tasbih artinya mensucikan Allah subhanahu wa ta’ala dari segala kekurangan juga aib. Karena Allah subhanahu wa ta’ala maha sempurna yang tidak ada kekurangan atau pun aib sama sekali. Tasbih (mensucikan Allah subhanahu wa ta’ala) adalah tujuan dari dakwah para Rasul, karena dakwah para Rasul adalah mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dan menjauhkan kesyirikan, karena semua bentuk kesyirikan adalah bentuk tidak mentasbihkan/mensucikan Allah subhanahu wa ta’ala. Tatkala orang-orang kafir mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala punya anak berarti dia tidak mensucikan Allah subhanahu wa ta’ala, begitu juga seseorang mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki anak wanita sebagaimana orang-orang musyrik mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki anak wanita yaitu para malaikat, maka ini adalah bentuk tidak mensucikan Allah subhanahu wa ta’ala, dan perkataan mereka bahwa Allah subhanahu wa ta’ala istirahat pada hari ke tujuh setelah menciptakan langit dan bumi maka ini juga termasuk bentuk tidak mensucikan Allah subhanahu wa ta’ala, dan bentuk-bentuk lainnya seperti menyembah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Semua bentuk kesyirikan adalah lawan dari bentuk tasbih atau mensucikan Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman ketika mensucikan diri-Nya dari bentuk kesyirikan,
أَتَىٰ أَمْرُ اللَّهِ فَلَا تَسْتَعْجِلُوهُ ۚ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Telah pasti datangnya ketetapan Allah maka janganlah kalian meminta agar disegerakan (datang)nya. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. An-Nahl: 1)
Oleh karenanya tasbih adalah intisari dari dakwahnya para Rasul, dan tasbih sama saja dengan mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ulama apakah surah at-taghobun, makkiyyah atau madaniyyah? Penyebab perbedaan pendapat ini adalah dikarenakan terdapat satu ayat di dalam surah ini yaitu,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka; dan jika kalian maafkan dan kalian santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” QS. At-Taghobun: 14
Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat Ibnu Abbas:
وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ هَذِهِ الآيَةِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ} قَالَ: «هَؤُلَاءِ رِجَالٌ أَسْلَمُوا مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ وَأَرَادُوا أَنْ يَأْتُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَبَى أَزْوَاجُهُمْ وَأَوْلَادُهُمْ أَنْ يَدَعُوهُمْ أَنْ يَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَوْا النَّاسَ قَدْ فَقُهُوا فِي الدِّينِ هَمُّوا أَنْ يُعَاقِبُوهُمْ»، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ} [التغابن: 14] الآيَةَ:: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ”
“beliau ditanya oleh seorang laki-laki mengenai ayat ini: {Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka} (QS. Attaghabun: 14), beliau menjawab: mereka adalah para lelaki penduduk Makkah yang telah masuk Islam, dan ingin menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun istri-istri dan anak-anak mereka enggan jika mereka ditinggalkan untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Ketika mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam , mereka melihat orang-orang (yang telah datang lebih dahulu) sungguh telah memahami agama, sehingga mereka berniat ingin menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, maka turunlah ayat ini: {Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka} (QS. Attaghabun 14).” ([2])
Sebab turunnya ayat ini menunjukkan bahwa turunnya surah ini setelah hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke kota Madinah, dan menyebabkan kebanyakan para ulama menganggap bahwa surah at-taghobun adalah surah madaniyyah. Namun sebagian ulama yang lain seperti riwayat dari Ibnu Abbas dan Atho bin Yasar mengatakan bahwa surah ini adalah surah makkiyyah([3]), mengapa dikatakan surah ini surah makkiyyah? Karena nuansa yang ada dalam surah ini bercerita tentang keimanan kepada hari akhir dan hari kebangkitan, dan ini semua tidak cocok kepada audience kaum mukminin, akan tetapi lebih cocok kepada audience orang-orang yang kafir Quraisy yang mereka mengingkari hari kebangkitan. Sehingga nuansa dan topik yang ada dalam surah at-taghobun bercerita tentang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, beriman kepada Rasul-Nya, dan beriman kepada hari kiamat, dan ini semuanya adalah ciri-ciri surah makkiyyah. Karenanya sebagian ulama mengatakan bahwa surah at-taghobun adalah surah makkiyyah kecuali ayat ke 14 karena ayat tersebut madaniyyah, dan ini sangat mungkin terjadi di dalam al-quran terdapat sebuah surah yang tidak turun secara sekaligus satu surah, terkadang turun sebagian ayat-ayatnya dalam suatu kondisi dan sisanya turun dalam kondisi yang lain. Dan penulis lebih memilih kepada pendapat yang mengatakan bahwa surah at-taghobun adalah surah makkiyyah dilihat dari nuansa isi surah tersebut yang bercerita tentang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, beriman kepada Rasul-Nya, dan beriman kepada hari kiamat, kecuali ayat ke 14 dari surah ini yang ayat tersebut adalah ayat madaniyyah. Wallahu ta’ala a’lam bis shawab.
At-Taghobun adalah salah satu dari nama-nama hari kiamat([4]), dan hari kiamat memiliki nama-nama yang sangat banyak yang setiap masing-masing namanya menunjukkan akan sifat hari tersebut, contohnya hari kiamat disebut dengan Yaumul Mahsyar dinamakan demikian karena para manusia dibangkitkan di padang mahsyar, disebut dengan Yaumul Ba’ts dinamakan demikian karena para manusia dibangkitkan dari kuburnya, dan disebut dengan as-Shookhkhoh dinamakan demikian karena pada hari tersebut terdapat suara yang sangat keras yang memekikkan telinga, disebut dengan at-Thoommah dinamakan demikian karena pada hari itu terdapat malapetaka yang sangat besar dimana tidak ada seorang pun yang bisa menghindarinya, disebut dengan Yaumul Qiyamah dinamakan demikian karena pada hari tersebut para manusia semuanya berdiri dan tidak ada satu pun yang duduk dalam keadaan menanti kedatangan Allah subhanahu wa ta’ala dalam waktu 50.000 tahun, disebut dengan as-Saa’ah dan dinamakan demikian karena hari tersebut datangnya tiba-tiba dan tidak ada seorang pun yang menduga akan datangnya hari tersebut yang datang secara tiba-tiba, disebut dengan al-Qori’ah dinamakan demikian karena hari tersebut sangat menakutkan sehingga rasa sakit tersebut menusuk hati setiap orang yang menghadapi hari tersebut, dan banyak lagi nama yang lainnya yang banyaknya nama-nama ini menunjukkan akan dahsyatnya hari tersebut. Dan di antara nama-nama tersebut adalah at-Taghobun. Apa yang dimaksud dengan at-taghobun? At-taghobun diambil dari kata الْغَبْنُ yang secara bahasa diartikan dengan kekurangan([5]), kerugian([6]), tidak mendapatkan bagian/kesempatan yang terluputkan([7]), dan terperdaya. Adapun dalam mu’amalah contohnya: jika ada seseorang membeli barang dengan harga 100 juta, ternyata harga barang tersebut dipasaran harganya hanya 50 juta maka orang tersebut dinamakan مَغْبُوْن (orang yang terperdaya), karena seharusnya orang tersebut dengan uang 100 juta bisa membeli dua barang tersebut, akan tetapi orang tersebut terperdaya dan dia hanya mendapatkan satu saja. Atau termasuk contoh مَغْبُوْن (orang yang terperdaya) adalah ketika ada suatu barang dengan harga 100 juta namun orang tersebut ragu dan akhirnya tidak membeli barang tersebut, namun ketika tahu ternyata barang tersebut nilainya sangat tinggi akan tetapi ternyata barang tersebut sudah dibeli oleh orang lain, dan orang tersebut hanya bisa berkata dalam hatinya: saya telah rugi karena tidak membeli barang tersebut, harusnya saya beli namun tidak jadi saya beli. Dan ini semua dalam mu’amalah dinamakan ghabn. Dan sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
” نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالفَرَاغُ ”
“Ada dua nikmat yang banyak manusia terperdaya dalam keduanya, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” ([8])
Maksud dari مَغْبُونٌ فِيهِمَا (terperdaya dalam keduanya) adalah dia tidak bisa menggunakan kesempatan yang baik dalam kesehatan dan waktu luang untuk bisa beraktifitas dengan baik, waktu luangnya dia buang pada perkara-perkara yang tidak bermanfaat dan kesehatannya tidak dia gunakan untuk beramal shalih, maka dalam keadaan ini dia telah terperdaya dan rugi. Jadi dalam bahasa arab ghabn artinya rugi yang kerugian tersebut akhirnya mendatangkan penyesalan yang dalam. Lalu mengapa hari kiamat disebut dengan at-taghobun? At-taghobun berasal dari wazan تَفَاعَلَ yang seakan-akan dari dua sisi atau dua pihak saling merugikan satu dengan yang lainnya. Namun para ulama mengatakan bahwa hari kiamat dinamakan dengan at-taghobun karena banyak sekali kerugian di hari tersebut yang dirasakan oleh orang-orang pada hari tersebut. Kita bisa klasifikasikan ghobn/kerugian pada hari kiamat tersebut dengan 3 tingkatan([9]):
Pertama: kerugian dalam keimanan, yaitu orang-orang kafir yang merasa rugi pada hari kiamat ketika melihat orang-orang yang beriman mendapatkan surga yang sangat indah, yang begitu luas, dan yang penuh dengan kenikmatan. Maka pada hari tersebut mereka benar-benar merasa rugi karena sebenarnya surga tersebut bisa mereka peroleh dengan hanya beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya dan beramal shalih, akan tetapi mereka tidak beriman, maka mereka benar-benar merasa rugi saat itu. Seharusnya kenikmatan yang luar biasa tersebut yang bisa dibayar/ditebus dengan sesuatu yang sedikit, dan kenikmatan tersebut seharusnya bisa mereka peroleh, akan tetapi kenikmatan yang luar biasa tersebut tidak mereka bayar ketika mereka di dunia, mereka tidak mau beriman, dan mereka lebih mendahulukan kelezatan yang sedikit. Hingga dikatakan mereka mengalami ghobn/kerugian karena sebenarnya mereka mampu untuk mendapatkan surga tersebut akan tetapi mereka lebih mendahulukan kelezatan yang sedikit yang bersifat sementara, dan akhirnya mereka mendapatkan kerugian, dimana mereka terluputkan dari meraih kelezatan dan kenikmatan yang abadi dan sempurna. Maka dari sisi itulah mereka dikatakan rugi yang kerugian tersebut diiringi dengan penyesalan yang sangat dalam, akan tetapi penyesalan tersebut tidak bisa memberikan manfaat untuk mereka sama sekali di akhirat.
Kedua: kerugian dalam ketaatan, dan ini dialami oleh orang-orang yang beriman, karena setiap orang yang beriman pada hari kiamat akan menyesal, hal ini disebabkan kurangnya ketaatan yang mereka lakukan di dunia sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan dalam surah al-fajr,
يَقُوْلُ يٰلَيْتَنِيْ قَدَّمْتُ لِحَيَاتِيْۚ
“Dia berkata, “Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini.” QS. Al-Fajr: 24
Para ulama berkata bahwasanya yang menyesal bukan hanya orang-orang yang diadzab tetapi termasuk juga orang mukmin, dia merasa ibadah-ibadah yang dia kerjakan kurang banyak.
Ibnu Katsir berkata -:
يَقُولُ يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي: يَعْنِي يَنْدَمُ عَلَى مَا كَانَ سَلَفَ مِنْهُ مِنَ الْمَعَاصِي -إِنْ كَانَ عَاصِيًا-وَيَوَدُّ لَوْ كَانَ ازْدَادَ مِنَ الطَّاعَاتِ -إِنْ كَانَ طَائِعًا
“Firman Allah : (Dia mengatakan, ‘Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (kebajikan) untuk hidupku ini’) yaitu dia menyesal atas apa yang dulu ia kerjakan (di dunia), kalau ia seorang pelaku maksiat maka ia menyesali kemaksiatan-kemaksiatan yang pernah ia lakukan. Jika ia seorang yang ta’at maka ia berangan-angan kalau seandainya ia menambah ketaatannya” ([10])
Muhammad bin Abi Úmairoh radhiallahu ánhu berkata :
لَوْ أَنَّ عَبْدًا خَرَّ عَلَى وَجْهِهِ مِنْ يَوْمِ وُلِدَ، إِلَى أَنْ يَمُوتَ هَرَمًا فِي طَاعَةِ اللهِ، لَحَقَّرَهُ ذَلِكَ الْيَوْمَ، وَلَوَدَّ أَنَّهُ رُدَّ إِلَى الدُّنْيَا كَيْمَا يَزْدَادَ مِنَ الْأَجْرِ وَالثَّوَابِ
“Jika seorang hamba tersungkur di atas wajahnya sejak lahir hingga meninggal karena menghabiskan waktu dalam ketaatan kepada Allah maka pada hari itu ia akan merasa sedikit amal perbuatannya, dan sungguh ia akan berangan-angan seandainya ia dikembalikan lagi ke dunia agar ia bisa menambah pahala dan ganjaran” ([11])
Orang yang beriman tersebut sudah melakukan amal shalih, namun ketika di akhirat dia sadar bahwasanya amalnya tersebut terasa kurang banyak. Dia sudah berbakti kepada kedua orang tuanya namun dia masih merasa kurang, dia sudah melakukan shalat malam namun dia merasa kurang dan berkata kepada dirinya, “Mengapa aku tidak melakukan shalat malam lebih banyak?”. Dia sudah membaca al-Quran namun merasa kurang karena dia merasa masih ada waktu-waktu yang dia buang, dan seandainya dia beramal shalih lebih banyak tentu derajat dan pahala dia lebih tinggi dan lebih banyak. Maka pada saat itu dia merasa menyesal dan merasa rugi padahal dia sudah beruntung mendapatkan surga, akan tetapi dia masih merasa rugi karena dia tidak mendapatkan yang lebih banyak dari apa yang telah ia dapatkan. Maka inilah jenis kedua yaitu ghabn fi at-Tho’ah, yaitu menyesal karena dahulu ia tidak maksimal dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala sehingga terluput darinya kebaikan-kebaikan yang sangat banyak yang seharusnya ia dapatkan di akhirat.
Ketiga: Ghabn fil infaq, yaitu kerugian yang dirasakan oleh orang-orang yang kurang dalam infaknya karena dia merasa bahwa dia ketika di dunia merasa kurang banyak dalam berinfak, berinfak terhadap orang tua masih perhitungan, untuk keluarganya, anaknya, istrinya masih perhitungan, berinfak untuk membangun masjid masih perhitungan padahal dia memiliki harta yang lebih dari cukup, namun ketika ia keluarkan untuk berinfak dia masih perhitungan, dan ia pun menyesal karena infak yang sedikit ketika dia keluarkan tatkala di dunia ternyata Allah subhanahu wa ta’ala akan ganti tatkala di akhirat dengan sesuatu yang lebih banyak yang tidak ada bandingannya, maka pada hari kiamat itu dia merasa bahwa dia adalah مَغْبُون rugi, orang yang menyesal karena dia tatkala di dunia dia berinfak hanya sedikit.
Kaitan surat ini dengan surat sebelumnya yaitu surat al-munafiqun adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh sebagian ahli tafsir seperti Al-Alusi dalam kitab tafsirnya ruuhul ma’aani([12]) dia mengatakan bahwa kaitan antara surah at-taghobun dengan surah al-munafiqun karena di surah al-munafiqun Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), “Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematiannya telah datang. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Munafiqun: 9-11)
Di akhir ayat dari surah al-munafiqun Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang penyesalan seseorang yang di dunia tidak sempat untuk berinfak atau lalai dari berinfak karena tersibukkan dengan hartanya dan tersibukkan dengan anak-anaknya maka lalu dia menyesal dan Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan diantara bentuk penyesalan yang dia rasakan adalah ketika hari kiamat dia akan merasakan al-ghabn yaitu kerugian yang besar, telah luput darinya kesempatan yang banyak yang kesempatan tersebut seharusnya bisa dia dapatkan namun dia lalaikan selama dia hidup di dunia, dan inilah kaitannya antara surah at-taghobun dengan surah sebelumnya yaitu surah al-munafiqun.
Intinya surah ini dinamakan dengan surah at-taghobun untuk menjelaskan betapa banyak penyesalan-penyesalan yang dirasakan pada hari kiamat, entah itu penyesalan-penyesalan dari orang-orang kafir ataupun penyesalan-penyesalan dari orang-orang yang beriman, bahkan penyesalan-penyesalan yang berasal dari orang-orang yang berinfak karena mereka ketika di akhirat menyadari bahwa infak yang mereka keluarkan tatkala di dunia masih kurang dan seandainya dia berinfak di dunia dengan infak yang lebih banyak tentu pahala yang didapatkan ketika di akhirat jauh lebih besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ}
“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah; milik-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya (pula) segala puji; dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taghobun: 1)
يُسَبِّحُ artinya senantiasa bertasbih, dalam bahasa arab يُسَبِّحُ disebut dengan fi’il mudhari, yang dalam bahasa inggris artinya present tense, yang intinya kata ini menunjukkan sedang bertasbih yang berada di langit dan di bumi, dan ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala maha suci kapan pun, di mana pun, dan dalam kondisi apa pun Allah subhanahu wa ta’ala tetap maha suci, maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak boleh disekutukan, tidak boleh ada aib pada diri Allah subhanahu wa ta’ala, dan juga tidak disandangkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala kekurangan apa pun, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
سُبْحَانَهُ وَتَعَالَىٰ عَمَّا يُشْرِكُونَ
“Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan.” QS. An-Nahl: 1
Pada ayat pertama dari surah at-taghobun ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi senantiasa bertasbih kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini merupakan bantahan kepada kesyirikan yang terus berjalan di alam semesta ini yang menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala dengan berbagai macam bentuk, sehingga dalam ayat ini menjelaskan bahwa seluruh makhluk-Nya yang dilangit dan di bumi mensucikannya dengan bentuk fi’il mudhari’ untuk menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa disucikan.
Setelah itu Allah menjelaskan sebab-sebab kenapa Dia harus disucikan, diantaranya
Pertama : Segala sesuatu adalah milik Allah. Karenanya Allah berfirman :
{لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ}
“milik-Nya semua kerajaan dan bagi-Nya (pula) segala puji”
Ini semua benar bahwasanya seluruh yang ada di alam semesta ini milik Allah subhanahu wa ta’ala, dan kepemilikan yang sesungguhnya hanyalah milik Allah subhanahu wa ta’ala([13]), adapun kepemilikan manusia sifatnya hanya sementara, dan kepemilikannya akan berpindah ke tangan orang lain entah itu dengan meninggalnya dia atau dengan cara direbut oleh orang lain, adapun kepemilikan Allah subhanahu wa ta’ala adalah kepemilikan yang sesungguhnya. Kemudian firman-Nya “pujian yang sesungguhnya hanya milik Allah subhanahu wa ta’ala”, adapun makhluk mereka dipuji disebabkan kebaikan Allah subhanahu wa ta’ala yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada makhluk tersebut, dan kebanyakan makhluk dipuji dari satu sisi namun dia dicela dari sisi yang lain karena tidak ada makhluk yang sempurna, maka tidak ada satu makhluk pun yang selalu dipuji, terkadang dia dicela dari satu sisi dan dipuji dari satu sisi karena ada kekurangan yang melekat pada dirinya. Kalaupun mereka banyak dipuji karena banyaknya kesempurnaan yang ada pada dirinya maka hakikatnya kesempurnaan tersebut Allah subhanahu wa ta’ala yang memberikannya jadi pujian tersebut kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kedua : Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala yang maha meliputi segala sesuatu, dan ini semua menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala harus ditasbih/disucikan dari segala bentuk kesyirikan, hal ini dikarenakan karena Allah subhanahu wa ta’ala maha kuasa atas segala sesuatu, maka Dia satu-satunya yang berhak untuk disembah bukan yang lainnya([14]). Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang salah satu bentuk kekuasaan-Nya di dalam ayat berikutnya,
Ketiga : Allah yang menciptakan seluruh manusia.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ} [التغابن: 2]
“Dialah yang menciptakan kalian, lalu di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian (juga) ada yang mukmin. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. At-Taghobun: 2)
Perlu diketahui bahwa kita semua adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, dan Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan segalanya. Diantara manusia ada yang ditakdirkan menjadi kafir dan diantara manusia ada yang ditakdirkan beriman([15]). Semuanya dalam kekuasaan Allah subhanahu wa ta’ala dan semuanya dalam ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Ayat ini berbicara tentang beriman kepada takdir, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
” إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا، ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ، ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ، وَيُقَالُ لَهُ: اكْتُبْ عَمَلَهُ، وَرِزْقَهُ، وَأَجَلَهُ، وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ، ثُمَّ يُنْفَخُ فِيهِ الرُّوحُ، فَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كِتَابُهُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ، وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ إِلَّا ذِرَاعٌ، فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الكِتَابُ، فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الجَنَّةِ ”
“Sesungguhnya kalian dikumpulkan penciptaannya pada perut(rahim) ibunya berupa cairan mani selama 40 hari, kemudian berubah menjadi gumpalan darah selama 40 hari, lalu berubah menjadi segumpal daging selama 40 hari. Kemudian diutuslah malaikat lalu meniupkan ruh padanya dan ia(malaikat) diperintah dengan 4 perkara yaitu untuk menuliskan rizkinya, ajalnya, amalannya dan termasuk celaka atau bahagia. Demi Allah Yang tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia, sungguh salah seorang diantara kalian beramal dwngan amalan penduduk surga sampai antara dia dengan surga hanya satu hasta namun kitab telah mendahuluinya maka ia pun beramal dengan amalan penduduk neraka maka ia pun masuk ke dalamnya. Dan sungguh sebagian diantara kalian ada yang beramal dengan amalan penduduk neraka sampai antara dia dan neraka hanya satu hasta saja namun kitab telah mendahuluinya maka ia pun beramal dengan amalan penduduk surga lalu masuk ke dalamnya.” ([16])
Maka dalam hadits ini dijelaskan bahwa segala sesuatu yang ada pada diri seseorang semuanya telah ditentukan, dan kita semua wajib untuk beriman kepada takdir bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat siapa yang berhak masuk surga dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mencatat siapa yang berhak untuk masuk neraka, akan tetapi itu semua adalah rahasia Allah subhanahu wa ta’ala. Rahasia ini tidak ada yang pernah mengetahuinya dan yang mengetahuinya hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ
“Dialah yang menciptakan kalian, lalu di antara kalian ada yang kafir dan di antara kalian (juga) ada yang mukmin.”
Masalah takdir adalah permasalahan yang membutuhkan pembahasan tersendiri, akan tetapi intinya terkadang kita harus tunduk terhadap sesuatu yang logika kita terkadang tidak sampai, dan kita dituntut untuk melakukan amalan shalih karena kita tidak dapat mengetahui bagaimana takdir kita. Betapa banyak pertanyaan yang ditanyakan kepada penulis: “Ustadz, jika saya ditakdirkan masuk neraka maka untuk apa saya beramal shalih?”, Maka jawabannya: “ Jika kamu telah mengetahui bahwasanya namamu di lauh mahfuz berada di golongan penduduk neraka maka tidak perlu lagi untuk beramal shalih, akan tetapi permasalahannya kamu tidak akan pernah mengetahuinya, kecuali kamu naik ke lauh mahfuz dan melihat dan ternyata benar kamu mendapati namamu berada pada kelompok ahli neraka maka tidak perlu lagi untuk beramal shalih. Karena percuma kau beramal shalih maka tetap akan masuk neraka”.
Yang perlu kita ketahui bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala telah menakdirkan ada penghuni surga dan penghuni neraka, dan dikarenakan kita tidak mengetahui kita berada dalam kelompok yang mana maka hendaknya kita beramal shalih. Allah subhanahu wa ta’ala hanya memberikan petunjuk bahwa jika kita ingin untuk masuk surga maka hendaknya beramal shalih. Tidak ada yang memaksa kita, kita sangat sadar bahwasanya kita bisa memilih apa yang ingin kita lakukan. Misalnya jika azan dikumandangkan, maka kita sadar bahwa dihadapan kita ada dua pilihan, pergi untuk shalat di masjid atau shalat di rumah saja. Kita bisa memilih salah satu dari dua pilihan tersebut tanpa ada paksaan sama sekali. Kitapun dapat mengetahui kapan kita terpaksa untuk mengerjakan sesuatu, contohnya jika mengalami sakit sehingga tangan kita tidak bisa kita kontrol gerakannya, maka ini adalah gerakan yang terpaksa, dan tidak ada hukumnya bagi gerakan terpaksa karena dia tidak bisa apa-apa. Berbeda dengan seseorang ketika diperintahkan oleh orang lain untuk mengangkat kaki kanannya, maka dia bisa melakukannya bisa juga untuk tidak melakukannya, maka dia bisa mengendalikan kaki kanannya. Namun ketika dia sudah mengangkat kaki kanannya kemudian diperintahkan kembali untuk mengangkat kaki kirinya maka tentunya dia tidak bisa, ini menunjukkan saat itu dia tidak bisa mengendalikan kaki kirinya. Dari contoh ini menunjukkan bahwa ada perbuatan yang terpaksa dan ada perbuatan yang tidak terpaksa, ada gerakan yang bisa kontrol dan ada gerakan yang diluar kendali kita. Dan dalam kehidupan kita ini maka semua yang dihukumi oleh Allah subhanahu wa ta’ala adalah semua perbuatan yang bisa kita pilih, maka tidak bisa seseorang nanti pada hari kiamat berkata: “Ya Allah, sesungguhnya saya masuk neraka karena terpaksa”, maka ini pernyataan yang sangat keliru, karena tidak ada bentuk keterpaksaannya sama sekali, karena ketika di dunia diberikan pilihan untuk melakukan sesuatu atau tidaknya. Ini adalah permasalahan takdir yang cukup bagi kita untuk beriman bahwasanya semuanya telah ditakdirkan, penghuni surga telah ditakdirkan dan penghuni neraka sudah ditakdirkan. Dan semua ini adalah rahasia Allah subhanahu wa ta’ala yang tidak ada seorang pun yang mengetahuinya. Tugas kita hanyalah beramal shalih, jika ingin masuk surga maka tinggal beramal shalih, dan jika ingin masuk neraka tinggal bemaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan maka Allah subhanahu wa ta’ala melihatnya, tidak ada sedikit pun yang luput dari penglihatan Allah subhanahu wa ta’ala.
Keempat : Allah yang menciptakan langit dan bumi.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ بِالْحَقِّ وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ}
“Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar, Dia membentuk rupa kalian lalu memperbagus rupa kalian, dan kepada-Nya tempat kembali.” (QS. At-Taghobun: 3)
Setelah Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa di antara kekuasan Allah subhanahu wa ta’ala adalah menciptakan manusia dan juga menjelaskan bahwasanya manusia itu mukallaf (yaitu dibebani untuk menjalankan syariat), lalu Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan di antara kekuasaan-Nya yang lain yaitu menciptakan langit dan bumi.
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwasanya Dia menciptakan langit dan bumi بِالْحَقِّ dengan kebenaran. Para ulama menafsirkan maksud dari بِالْحَقِّ adalah bukan hanya sekedar perbuatan iseng dan sia-sia tanpa ada tujuan, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan langit dan bumi dengan ada tujuan yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki, serta ada hikmah yang agung([17]) yang Allah subhanahu wa ta’ala kehendaki. Diantaranya adalah untuk menguji manusia, Allah menciptakan langit dan bumi untuk sarana yang mereka tempati kemudian Allah subhanahu wa ta’ala uji mereka apakah beriman atau tidak.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَصَوَّرَكُمْ فَأَحْسَنَ صُوَرَكُمْ
“Dia membentuk rupa kalian lalu memperbagus rupa kalian”
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dengan bentuk yang paling indah, dan benar bahwa manusia adalah makhluk yang terindah. Dibandingkan dengan makhluk apa pun maka manusia adalah makhluk yang terindah, tidak ada manusia yang berangan-angan menjadi hewan. Walaupun seseorang kagum tatkala melihat indahnya bentuk hewan, ia tidak akan pernah berkeinginan untuk berubah bentuknya menjadi bentuk hewan tersebut. Contohnya jika ada seseorang yang berkata, “Masya Allah jerapah ini begitu indah”, maka meskipun orang tersebut yang mengatakan hal demikian ketika kagum dengan bentuk ciptaan jerapah, namun dia tidak berangan-angan untuk menjadi jerapah. Begitu juga ketika ada yang mengatakan bahwa singa gagah maka ketika dia takjub akan gagahnya singa dia tidak bercita-cita untuk menjadi singa. Karenanya semua orang menyadari bahwa bentuk terindah adalah manusia, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْاِنْسَانَ فِيْٓ اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍۖ
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” QS. At-Tin 4
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa diri-Nya telah menciptakan manusia dengan bentuk yang paling indah, maka tidak ada satu manusia pun yang berangan-angan untuk menjadi makhluk yang lain. Kita juga dapati banyak orang-orang berimajinasi terhadap bentuk-bentuk selain bentuk manusia norma, seperti bentuk alien atau bentuk-bentuk lainnya, akan tetapi kita dapati semua itu bentuknya buruk. Yang paling sempurna adalah bentuk manusia yang kita lihat seperti sekarang ini. Namun walaupun bentuk manusia itu indah akan tetapi bentuk keindahannya bertingkat-tingkat, ada yang sangat tampan dan ada yang biasa saja, dan ada yang sangat cantik, dan ada yang cantik dan ada yang biasa, dan semua manusia adalah makhluk terindah dibandingkan makhluk yang lain.
Disebutkan sebuah kisah yang dibawakan oleh sebagian ulama tafsir yaitu yang diriwayatkan oleh al-Qadhi Al-Muhsin dari ayahnya,
كَانَ عِيسَى بْنُ مُوسَى الْهَاشِمِيُّ يُحِبُّ زَوْجَهُ حُبًّا شَدِيدًا قَالَ لَهَا يَوْمًا: أَنْتِ طَالِقٌ ثَلَاثًا إنْ لَمْ تَكُونِي أَحْسَنَ مِنْ الْقَمَرِ، فَنَهَضَتْ وَاحْتَجَبَتْ عَنْهُ، وَقَالَتْ: طَلَّقَنِي. وَبَاتَ بِلَيْلَةٍ عَظِيمَةٍ. وَلَمَّا أَصْبَحَ غَدًا إلَى دَارِ الْمَنْصُورِ، فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ [وَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، إنْ تَمَّ عَلَيَّ طَلَاقُهَا تَصَلَّفَتْ نَفْسِي غَمًّا، وَكَانَ الْمَوْتُ أَحَبَّ إلَيَّ مِنْ الْحَيَاةِ]؛ وَأَظْهَرَ لِلْمَنْصُورِ جَزَعًا عَظِيمًا، فَاسْتَحْضَرَ الْفُقَهَاءَ، وَاسْتَفْتَاهُمْ، فَقَالَ جَمِيعُ مَنْ حَضَرَ: قَدْ طَلُقَتْ، إلَّا رَجُلًا وَاحِدًا مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ، فَإِنَّهُ كَانَ سَاكِتًا، فَقَالَ لَهُ الْمَنْصُورُ: مَالَك لَا تَتَكَلَّمُ؟ فَقَالَ لَهُ الرَّجُلُ: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. {وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ} [التين: 1] {وَطُورِ سِينِينَ – وَهَذَا الْبَلَدِ الأَمِينِ} [التين: 2 – 3] {لَقَدْ خَلَقْنَا الإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ} [التين: 4] يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، الْإِنْسَانُ أَحْسَنُ الْأَشْيَاءِ، وَلَا شَيْءَ أَحْسَنُ مِنْهُ [فَقَالَ الْمَنْصُورُ لِعِيسَى بْنِ مُوسَى: الْأَمْرُ كَمَا قَالَ؛ فَأَقْبِلْ عَلَى زَوْجِك]، فَأَرْسَلَ أَبُو جَعْفَرٍ الْمَنْصُورُ إلَى زَوْجِهِ أَنْ أَطِيعِي زَوْجَك، وَلَا تَعْصِيهِ، فَمَا طَلَّقَك.
“Bahwa ‘Isa bin Musa Al-Hasyimy sangat mencintai istrinya, ia pun berkata, ‘Kamu saya talak 3 kali kalau kamu tidak lebih cantik dari rembulan’. Maka istrinya pun bangkit dan menjauh darinya dan berkata, ‘Sungguh dia telah menalakku’. Ia melalui malam tersebut dengan perasaan yang gundah gulana. Keesokan harinya di waktu pagi ia pun pergi menuju rumah Al-Manshur lalu menceritakan kisahnya, dan berkata, “Wahai amirul mukminin, jika benar telah jatuh talak maka diriku benar-benar tertimpa kesedihan, dan aku lebih suka kematian dari pada kehidupan”. Ia memperlihatan kesedihan yang sangat kepada Al-Manshur. Al-Manshur pun menghadirkan para ulama fikih dan meminta fatwa mereka, dan semua yang hadir mengatakan: “Istrinya telah ditalak”, kecuali satu orang dari murid Abu Hanifah yang dari tadi dia hanya diam, maka Al-Manshur bertanya kepadanya, “Mengapa kamu tidak berbicara?” Maka lelaki tersebut menjawab (sambil membaca firman Allah subhanahu wa ta’ala): “bismillahirrahmanirrahim, demi buah tin dan zaitun, dan demi gunung sinai, dan demi kota (Makkah) yang aman ini, sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tin 1-4)”, wahai Amirul Mukminin, manusia adalah makhluk yang paling indah, dan tidak ada sesuatu pun yang lebih indah darinya”, maka Al-Manshur pun berkata kepada Isa bin Musa, “Perkaranya sebagaimana yang dia katakan, temuilah istrimu”, lalu Al-Manshur mengutus utusan kepada istrinya seraya berakta, “Taatlah suamimu, janganlah engkau membangkang kepadanya, karena sesungguhany suamimu tidak menceraikanmu” ([18])
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“dan kepada-Nya tempat kembali.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya semua manusia akan dikembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan semuanya akan dibangkitkan, dan akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kelima : Allah mengetahui segala sesuatu
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَيَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ}
“Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. At-Taghobun: 4)
Setelah Allah subhanahu wa ta’ala selesai menjelaskan kekuasaan-Nya yang maha meliputi segala sesuatu, maka dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang sifat ilmunya yang maha sempurna.
Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat ilmu yang sempurna yang meliputi segala sesuatu, dan Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan yang ada di bumi. Jika Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu tersebut, maka apa yang dibisik-bisikan pun Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya, sehingga sesuatu yang dibisik-bisikkan dan yang ditampakkan semuanya tidak ada bedanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui isi hati manusia, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ
“Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati.”
Dan kita harus yakin bahwasanya segala sesuatu yang terbetik dan tersembunyi dalam hati kita entah itu sesuatu yang baik maupun buruk maka Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya. Ketika kita tawadhu’ maka Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya, ketika kita mengikhlaskan niat kita maka Allah subhanahu wa ta’ala juga mengetahuinya, dan ketika kita berniat baik maka Allah subhanahu wa ta’ala juga mengetahuinya. Sebaliknya jika kita berniat buruk, seperti sombong maka Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya, jika kita riya’ ingin dipuji ketika melakukan amalan walaupun kita sembunyikan dalam relung hati yang paling dalam maka Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya. Ketika kita merendahkan seseorang walaupun orang yang direndahkan tidak mengetahuinya dan kita sembunyikan, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa kita merendahkan orang lain. Oleh karena itu hendaknya seseorang hati-hati karena yang dinilai oleh Allah subhanahu wa ta’ala bukan hanya yang tampak yang diucapkan, bukan cuma hanya yang tampak yang ia kerjakan, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman “Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati”. Ayat ini juga sekaligus membuat seorang muslim bahagia, karena ketika dia telah melakukan sebuah amalan dengan ikhlas walaupun orang-orang lain berkomentar dengan komentar apa pun maka dia tidak peduli, karena dia yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa ia telah ikhlas. Demikian juga ketika dia melakukan kebaikan atau mendakwahkan kebaikan namun orang lain berkata bahwa dia telah melakukan keburukan dan menilainya adalah orang yang berbahaya, maka dia akan tetap tenang karena dia yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakannya mengetahui isi hatinya dan juga Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa ia melakukan hal tersebut dengan niat baik.
Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui segala sesuatu, dan ini adalah kelaziman dari sifat Allah subhanahu wa ta’ala yang maha menciptakan. Hal ini dikarenakan Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan maka Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui terhadap apa yang diciptakannya, dan ini adalah suatu konsekuensi yang sangat logis, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
اَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَۗ
“Apakah (pantas) Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui apa yang telah diciptakan?” QS. Al-Mulk: 14
Kita perhatikan bahwa tumbuhan yang berada di hutan, maka semuanya itu adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga tidak ada satu daun pun yang berguguran kecuali Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya, karena Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan daun tersebut. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” QS. Al-An’am: 59
Maka diri kita semuanya yang menciptakannya adalah Allah subhanahu wa ta’ala, Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan kita, menciptakan dada kita, isi dada kita, gerak-gerik hati kita. Karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui semuanya karena Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan kita, sehingga Dia lebih mengetahui tentang apa yang Dia ciptakan, Dia lebih tahu tentang diri kita dari pada kita sendiri. Ada sebuah cerita lucu di dalam sebuah kelas, ada seorang guru yang berpemahaman atheis dan ingin menamkan atheis kepada murid-muridnya, maka iapun berkata kepada murid-muridnya: “Jika tuhan bisa menciptakan maka saya juga bisa menciptakan”, lalu muridnya pun bertanya: “pak guru! bagaimana caramu menciptakan?” lalu dia menjawab: “lihatlah toples ini, di dalamnya telah saya isi daging saja, tidak ada yang lainnya, maka besok saya akan menciptakan ulat dari daging ini”, setelah beberapa hari daging tersebut membusuk lalu muncullah ulat-ulat dari daging tersebut, lalu guru tersebut memperlihatkan isi toples tersebut di hadapan murid-muridnya dan berkata: lihatlah saya telah menciptakan ulat di dalam toples ini, karena kemarin isinya hanya daging saja namun sekarang kita lihat di dalamnya terdapat ulat-ulat”, lalu berkatalah seorang murid yang cerdas, “Wahai pak guru, jika kamu yang menciptakan ulat-ulat tersebut, maka sebutkanlah kepada kami berapa jumlah ulat-ulat tersebut dan berapa jumlah jantan dan betinanya?”. Mendengar pertanyaan tersebut sang guru hanya terdiam tidak bisa menjawab dan mati kut. Ini menunjukkan bahwa ulat tersebut bukan guru tersebut yang menciptakan, seandainya ulat tersebut yang menciptakannya adalah sang guru, tentu dia akan tahu apa yang telah dia ciptakan. Maka dari sini kita harus yakin bahwa Allah subhanahu wa ta’ala yang telah menciptakan kita maka Allah subhanahu wa ta’ala lebih tahu isi hati kita. Ini adalah suatu yang pasti, maka jika kita sudah berbuat ikhlas dan berbuat suatu perbuatan yang baik maka kita tidak perlu bersedih dengan omongan-omongan orang, karena Allah subhanahu wa ta’ala sudah tahu tentang hati kita. Begitu juga hendaknya kita berhati-hati ketika kita berbuat sombong dan riya walaupun kita menyembunyikannya dan menampakkannya seakan-akan tawadu’ padahal kita ingin dipuji maka Allah subhanahu wa ta’ala tahu bahwa kita sombong dan riya’, karena Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui isi hati manusia.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ فَذَاقُوا وَبَالَ أَمْرِهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ}
“Apakah belum sampai kepada kalian (orang-orang kafir) berita orang-orang kafir dahulu? Maka mereka telah merasakan akibat buruk dari perbuatannya dan mereka memperoleh azab yang pedih.” (QS. At-Taghobun: 5)
Ayat ini merupakan peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada kaum Quraisy, dan ayat ini mendukung bahwa surah at-taghobun adalah surah makkiyyah karena audiencenya berkaitan dengan orang-orang kafir Makkah. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan tentang kaum-kaum kafir sebelum mereka yaitu berita tentang orang-orang kafir dari kaum nabi Nuh, Fir’aun dan kaumnya, Tsamud, ‘Ad yang semuanya Allah subhanahu wa ta’ala binasakan, maka Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan berita kebinasaan mereka kepada kaum kafir Quraisy yang mereka juga mengetahui tentang berita tersebut, dimana kaum sebelum mereka telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan mereka.
وَبَالَ artinya شِدَّة ([19])maksudnya kaum sebelum mereka telah merasakan adzab yang keras dan pedih, makanya hujan yang keras/deras dalam bahasa Arab disebut dengan وَابِل, sehingga dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan فَذَاقُوا وَبَالَ أَمْرِهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ “Maka mereka telah merasakan dahsyatnya adzab akibat perbuatan mereka”. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya mereka juga mendapatkan adzab yang pedih, adapun penyebab mereka mendapatkan adzab yang pedih adalah sebagaimana yang firmankan pada ayat berikutnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{ذَلِكَ بِأَنَّهُ كَانَتْ تَّأْتِيهِمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالُوا أَبَشَرٌ يَهْدُونَنَا فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوْا وَاسْتَغْنَى اللَّهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَمِيدٌ} [التغابن: 6]
“Yang demikian itu karena sesungguhnya ketika rasul-rasul datang kepada mereka (membawa) keterangan-keterangan lalu mereka berkata, “Apakah (pantas) manusia yang memberi petunjuk kepada kami?” Lalu mereka ingkar dan berpaling; padahal Allah tidak memerlukan (mereka). Dan Allah Maha kaya, Maha Terpuji.” (QS. At-Taghobun: 6)
Ayat ini menjelaskan alasan kaum terdahulu diadzab yaitu kaum Nuh, kaum Hud, Kaum Shalih, kaum Fir’aun, kaum Musa yaitu karena telah datang kepada mereka para Rasul mendakwahkan kepada mereka untuk mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dengan bukti-bukti yang banyak, dengan mukjizat-mukjizat yang ada pada para nabi. Jadi bukan hanya dengan penjelasan-penjelasan yang jelas saja, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menguatkannya dengan mendatangkan mukjizat-mukjizat akan tetapi mereka tetap tidak mau beriman bahkan mereka berkata أَبَشَرٌ يَهْدُونَنَا “Apakah (pantas) manusia yang memberi petunjuk kepada kami?”, seakan-akan mereka berkata mengapa tidak malaikat saja yang menjadi rasul yang kemudian memberi kami peringatan, mengapa harus manusia seperti kami yang menjadi utusan Allah([20]), dan mengapa kami yang berjumlah banyak harus mengikuti satu orang, dan mengapa harus dia yang dipilih dan bukan kami”, dan ungkapan-ungkapan ini sering mereka ucapkan seperti dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَقَالُوا أَبَشَرًا مِنَّا وَاحِدًا نَتَّبِعُهُ إِنَّا إِذًا لَفِي ضَلَالٍ وَسُعُرٍ
Maka mereka berkata: “Bagaimana kita akan mengikuti seorang manusia (biasa) di antara kita?” Sesungguhnya kalau kita begitu benar-benar berada dalam keadaan sesat dan gila”. QS. Al-Qomar: 24
Yang mana mereka tidak mau mengikuti para nabi, bahkan mereka menuduh para nabi seperti nabi Nuh, Shalih dan Hud bahwasanya mereka adalah orang-orang miskin yang tidak memiliki harta dan kekuasaan, sehingga mereka mencari kekuasaan dengan cara mengaku-ngaku sebagai nabi atau utusan Allah agar mereka mempunyai pengikut. Akhirnya Allah menjelaskan keadaan mereka فَكَفَرُوا وَتَوَلَّوْا yaitu mereka kafir dan berpaling. Lihatlah ketika berpaling dari ajaran nabi mereka malah menyembah batu, berhala, atau pohon([21]). Sungguh ini sangat aneh, otak mereka tidak bisa menerima untuk mengikuti ajaran para rasul namun otak mereka bisa menerima untuk menyembah berhala, otak mereka tidak bisa menerima agama Islam namun otak mereka bisa menerima jika sapi menjadi tuhan, dan itulah keadaan orang-orang musyrik dan ini menunjukkan betapa mahalnya hidayah, padahal mereka memiliki otak yang cerdas akan tetapi mereka tidak mau menerima ajaran nabi Muhammad dan tidak mau menerima Islam namun mereka mau menyembah manusia seperti mereka yang menyembah nabi Isa. Otak mereka tidak menerima ajaran Islam yang begitu indah namun mereka menerima untuk menyembah tuhan yang terbuat dari dengan berbagai macam bentuknya, dan inilah menunjukkan betapa berharganya hidayah. Dan keadaan ini juga sama didapati pada kaum musyrikin Quraisy mereka tidak menerima jika Muhammad adalah utusan Allah subhanahu wa ta’ala namun mereka menerima untuk menyembah berhala. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwasanya Dia tidak butuh mereka karena Allah subhanahu wa ta’ala maha kaya, jika mereka tidak mau menyembah Allah subhanahu wa ta’ala maka tidak masalah, dan jika mereka menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala juga tidak masalah, maka Allah subhanahu wa ta’ala membinasakan mereka, dan Allah subhanahu wa ta’ala maha terpuji walaupun banyak yang menyekutukannya akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala tetap maha terpuji.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ}
“Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan. Katakanlah (Muhammad), “Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kalian kerjakan.” Dan yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. At-Taghobun: 7)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang perkataan orang-orang kafir Quraisy yang mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah dibangkitkan, sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
قَالَ مَنْ يُحْيِي الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” QS. Yasin: 78
Yang akal pendek mereka mengatakan bahwa semua ini tidaklah masuk akal, oleh karenanya dalam ayat ini mereka berkata أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا “mereka tidak akan dibangkitkan”. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk mengatakan kepada mereka قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ “Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kalian kerjakan.” Dan yang demikian itu mudah bagi Allah” dalam ayat ini menjelaskan tentang bantahan kepada mereka bahwa justru sebaliknya mereka akan dibangkitkan, bahkan bukan hanya dibangkitkan akan tetapi mereka juga akan dikabarkan tentang apa yang telah mereka kerjakan di dunia kemudian dimintai pertanggung jawaban atas semua itu, dan semua itu bagi Allah subhanahu wa ta’ala sangatlah mudah.
Ayat-ayat tentang Allah subhanahu wa ta’ala mudah untuk membangkitkan sangatlah banyak dan ini semua sudah penulis bahas dalam surah Qaf dan Mursalat yang intinya Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan manusia maka untuk membangkitkannya kembali sangatlah mudah, karena manusia yang asalnya tidak ada kemudian Allah subhanahu wa ta’ala jadikan ada itu sangat mudah bagi-Nya maka apalagi membangkitkan sesuatu yang dari tulang-tulang maka itu sangat lebih mudah bagi-Nya sehingga Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ “Tidak demikian, demi Tuhanku, kamu pasti dibangkitkan, kemudian diberitakan semua yang telah kalian kerjakan”. Adapun jika dihitung berdasarkan ukuran kemampuan manusia maka tidak ada manusia yang mampu, seandainya orang-orang seisi dunia berkumpul walapun semuanya profesor untuk menghidupkan seorang yang sudah mati atau mengembalikan ruh yang telah keluar maka mereka semua tidak akan mampu, lalu bagaimana lagi dengan yang sudah menjadi tulang, telah melebur menjadi tanah maka mereka lebih tidak mampu lagi, adapun bagi Allah subhanahu wa ta’ala maka semua itu sangatlah mudah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالنُّورِ الَّذِي أَنْزَلْنَا وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}
“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada cahaya (Al-Qur’an) yang telah Kami turunkan. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. At-Taghobun: 8)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa manusia jika telah mengetahui bahwa mereka akan dibangkitkan dan diminta pertanggung jawabannya maka hendaknya mereka beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, hendaknya mereka beriman kepada Rasul-Nya, dan hendaknya mereka beriman kepada cahaya yang Allah subhanahu wa ta’ala turunkan yaitu maksudnya adalah Al-Quran([22]).
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyifati Al-Quran dengan cahaya dikarenakan Al-Quran بَيِّنٌ بِذَاتِهِ و مُبَيّنٌ لِغَيْرِهِ (al-Qur’an sendiri jelas dan al-Qur’an adalah penjelas bagi yang lainnya). Yaitu secara dzatnya al-Qur’an itu jelas sebagaimana cahaya dan dia memberi penerangan kepada yang lainnya. Al-Quran disifati dengan cahaya karena dengan cahaya tersebut kita bisa berjalan di dalam kegelapan. Ini adalah gambaran bahwasanya dunia ini penuh dengan kegelapan, banyaknya kemaksiatan, banyaknya syubhat, dan banyak pemikiran yang menyimpang. Maka kita butuh dengan cahaya yang bisa menerangi di tengah kegelapan yang gelap gulit. Tidak ada jalan yang menjadi terang dan jelas kecuali dengan Al-Quran. Jika ada seseorang mencari cahaya selain Al-Quran maka dia akan tersesat. Karena tidak ada cahaya kecuali cahaya Al-Quran dan tidak ada petunjuk kecuali petunjuk Al-Quran. Jangankan teori-teori, bahkan kitab suci umat lain tidak boleh dibaca jika ingin mencari cahaya dan petunjuk, sebagaimana yang dikisahkan dalam kisah Umar bin al-Khotthob yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah,
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ، فَقَرَأَهُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَغَضِبَ، وَقَالَ: «أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ الْخَطَّابِ؟ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ نَقِيَّةً»
“bahwasanya ‘Umar bin khatab menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa tulisan yang dia dapatkan dari Ahli Kitab, lalu dia membacakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Nabi Shallallah ‘alaihi wa sallam marah dan bersabda: “Apakah engkau merasa ragu, wahai Umar bin Khaththab? Demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh saya datang kepada kalian dengan membawa agama yang putih bersih.” ([23])
Hadits ini menunjukkan haramnya seorang muslim mencari petunjuk dengan selain al-Quran, adapun jika seseorang membacanya dalam rangka untuk menjelaskan bahwa ada kesamaan isinya dengan Al-Quran, atau untuk menjelaskan bahwa di dalamnya ada penyimpangan maka ini hukumnya boleh. Adapun membaca kitab suci lain untuk mencari hidayah maka haram hukumnya, cukup al-Quran sebagai kitab yang memberikan petunjuk, tidak perlu Taurat, Injil, filsafat siapa pun, dan yang lainnya.
Perbedaan Khobir Dan ‘Alim
Al-‘Aliim artinya Allah maha mengetahui segalanya baik yang besar maupun yang kecil dan detail, adapun Al-Khobiir khusus untuk ilmu terhadap hal-hal yang detail([24]). Jadi Allah adalah al-Khobir yang mengetahui hal-hal yang diperbuat oleh seseorang yang orang lain tidak mengetahuinya, atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, atau dilakukan di tengah kegelapan. Setiap lafal yang diucapkan maka Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya secara detail dan tercatat secara detail. Setiap lirikan mata yang dilepaskan semua itu tercatat dengan detail. Allah berfirman tentang pandangan seseorang,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” QS. An-Nur: 30
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Allah mengetahui secara detail setiap lirikan manusia, dan Allah subhanahu wa ta’ala tentu akan catat setiap lirikan tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَوْمَ يَجْمَعُكُمْ لِيَوْمِ الْجَمْعِ ذَلِكَ يَوْمُ التَّغَابُنِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ}
“(Ingatlah) pada hari (ketika) Allah mengumpulkan kamu pada hari berhimpun, itulah hari pengungkapan kesalahan-kesalahan. Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan kebajikan niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taghobun: 9)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kembali tentang kondisi hari kiamat yang mana pada hari itu semua orang dikumpulkan dari awal sampai akhir, dari zaman nabi Adam ‘alaihis salam sampai orang terakhir yang hidup ketika menjelang hari kiamat, semuanya dikumpulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada yang terlewatkan seorang pun, semuanya dibangkitkan kembali, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُلْ إِنَّ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ لَمَجْمُوعُونَ إِلَىٰ مِيقَٰتِ يَوْمٍ مَّعْلُومٍ
“Katakanlah: “Sesungguhnya orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang terakhir, benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang telah ditentukan.” (QS. Al-Waqi’ah: 49-50)
Kapan manusia dikumpulkan? Mereka semua dikumpulkan ketika hari at-Taghobun, yaitu di hari banyaknya manusia merasa rugi pada hari tersebut. Orang-orang kafir merasa rugi karena selama ini mereka tidak beriman sehingga ketika hari kiamat mereka merasa rugi, yaitu ketika melihat orang-orang yang beriman masuk surga dan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan mereka. Seandainya orang-orang kafir ketika di dunia mengorbankan sesuatu yang sedikit maka mereka tentunya akan mendapatkan kenikmatan yang abadi. DI akhirat mereka merasa rugi karena mereka dahulu di dunia lebih mendahulukan kelezatan yang sedikit yang cepat habis dari kelezatan yang abadi. Orang-orang beriman juga merasa rugi karena ketaatan mereka kurang dan mereka menyesal karena mereka dahulu di dunia iman dan ketaatan mereka tidak mereka tambah dan mereka tidak giat dalam beribadah dan masih bermalas-malasan, dan banyak waktu yang mereka buang.
Apalagi di zaman sekarang seseorang terlalu banyak melihat media sosial yang ketika dia melihat berita sampah dia ikut komentar dengan komentar yang tanpa ilmu, dan banyak menyebarkan berita yang tidak jelas kebenarannya, juga membaca analisa orang-orang yang bodoh, dan banyak lagi yang lainnya yang menyebabkan banyak waktunya terbuang begitu saja, dan pada hari kiamat nanti kita semua akan menyesal dan kita semua akan merasakannya yaitu pada hari taghobun di hari semua orang akan menyesal. Dan juga orang yang berinfak juga akan menyesal pada hari kiamat karena infaknya kurang ketika di dunia.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَيَعْمَلْ صَالِحًا يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan kebajikan niscaya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”
Seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan jika kita tidak ingin menjadi orang yang maghbun (orang yang rugi) di akhirat maka hendaknya kita beriman dan beramal shalih yang menyebabkan masuk ke dalam surga yang di dalamnya terdapat taman-taman yang indah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, serta kekal di dalamnya selama-lamanya. Maka apa arti hidup kita di dunia dibandingkan dengan kehidupan akhirat, karena hidup di dunia ini cuma sebentar, 60-70 tahun lalu kemudian kita akan diwafatkan, bahkan ada yang hidupnya tidak sampai 60 tahun, hanya 50 tahun sudah kena serangan jantung, dan ada yang usianya baru 30 tahunan meninggal karena kecelakaan, dan ini seperti yang dikatakan oleh seorang penyair,
وَمَنْ لَمْ يَمُتْ بِالسَّيْفِ مَاتَ بِغَيْرِهِ … تَنَوَّعَتِ الْأَسْبَابُ وَالدَّاءُ وَاحِدُ
“Barangsiapa yang tidak mati karena pedang maka dia akan mati dengan sebab yang lain, sebab-sebab bermacam-macam akan tetapi kematian satu.” ([25])
Maka kita dapati banyak orang yang meninggal dengan sebab-sebab yang berbeda, dan kehidupan kita di dunia ini hanya sebentar jika dibandingkan dengan akhirat yang kekal abadi, maka jangan sampai kita salah dalam bersikap karena setiap detik yang kita lewati di dunia ini akan menjadi penentu bagaimana tingkatan kita nanti tatkala di akhirat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ خَالِدِينَ فِيهَا وَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
“Dan orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Taghobun: 10)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tempat kembali sesungguhnya bagi orang-orang yang kafir dan mengingkari ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala adalah neraka, adapun dunia dan alam barzakh hanyalah tempat singgah sementara.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
“Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghobun: 11)
Dalam ayat ini terdapat penyemangat untuk orang-orang yang beriman agar mereka lebih bersabar dalam menghadapi ujian di dunia ini bahwasanya tidak ada satu ujian pun yang menimpa seseorang kecuali atas izin dan kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, namun bagaimana seharusnya sikap orang yang beriman terhadap ujian ini? Allah subhanahu wa ta’ala berfirman وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ “barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya”, yaitu barang siapa beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan dia menerima takdir Allah subhanahu wa ta’ala dan bersabar maka Allah subhanahu wa ta’ala akan berikan hidayah kepadanya, dan ini adalah sikap orang yang beriman. Tatkala seseorang mendapatkan ujian maka Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui tentang musibah tersebut, mengetahui bahwa musibah tersebut menimpa seseorang, mengetahui sikap orang tersebut terhadap musibah yang dia alami, dan juga Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui isi hati seorang hamba yang terkena musibah apakah dia sabar atau tidak, jika dia bersabar maka ada balasannya, dan jika tidak bersabar juga ada balasannya. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ “barangsiapa beriman kepada Allah” dan ini berkaitan dengan hati yaitu di bersabar يَهْدِ قَلْبَهُ “niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya”. Syaikh As-Sa’di berkata ketika menjelaskan ayat ini: “Ini adalah balasan terbaik bagi orang yang sabar yaitu hatinya diberikan hidayah, sehingga ketika hatinya diberi hidayah Allah subhanahu wa ta’ala akan berikan dia kebahagiaan dan dia akan menghadapi ujian hidup dengan ketenangan, namun sebaliknya ketika seseorang mendapatkan musibah lalu dia marah itu adalah adzab yang disegerakan sebelum adzab akhirat”([26]).
Kondisi seseorang yang tidak menerima ketika terkena musibah sesungguhnya merupakan penderitaan yang luar biasa, yang kemudian menyebabkan dia marah dan mengamuk dan terus dalam kondisi seperti itu, maka ini adalah adzab yang Allah subhanahu wa ta’ala segerakan untuknya di dunia. Adapun orang yang beriman maka tidak bersikap demikian, dia bersabar ketika mendapatkan ujian sehingga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hidayah kepada hatinya dan dia pun kokoh dalam menghadapi segala ujian dan Allah subhanahu wa ta’ala pun akan membalas atas hatinya yang sabar tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَإِنَّمَا عَلَى رَسُولِنَا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ}
“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul. Jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanah Allah) dengan terang.” (QS. At-Taghobun: 12)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa tugas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah menyampaikan saja, sebagaimana yang firmankan dalam surah yang lain,
وَإِنْ مَا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِي نَعِدُهُمْ أَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ
“Dan jika Kami perlihatkan kepadamu sebahagian (siksa) yang Kami ancamkan kepada mereka atau Kami wafatkan kamu (hal itu tidak penting bagimu) karena sesungguhnya tugasmu hanya menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka.” QS. Ar-Ra’d: 40
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan dengan cara yang terbaik dan selembut-lembutnya, maka jika orang-orang kafir tidak beriman maka tidak masalah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak harus membuat mereka beriman. Dan ini sangat penting untuk diketahui oleh seorang da’i, bahwa tugas kita hanya menyampaikan, tapi perlu diingat, ketika menyampaikan maka hendaknya kita menyampaikan dengan selembut-lembutnya, sebaik-baiknya, dan dengan sejelas-jelasnya dengan membawakan dalil-dalil entah itu dalil dari Al-Quran, hadits, atau dalil secara logika. Namun jika orang yang didakwahi tidak mau beriman maka tidak mengapa, karena seorang da’i tidak lebih hebat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena beliau yang seorang nabi saja tidak bisa memberi hidayah kepada pamannya Abu Thalib yang dia adalah orang yang paling Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sayangi. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersedih ketika keluarganya dari kaum Quraisy tidak mau beriman sehingga Allah subhanahu wa ta’ala tegur dengan firmannya,
وَاصْبِرْ وَمَا صَبْرُكَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ وَلَا تَحْزَنْ عَلَيْهِمْ وَلَا تَكُ فِي ضَيْقٍ مِمَّا يَمْكُرُونَ
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” QS. An-Nahl: 127
Dan juga firman Allah subhanahu wa ta’ala
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ فَمَا أَنْتَ بِمَلُومٍ
“Maka berpalinglah kamu dari mereka dan kamu sekali-kali tidak tercela.” QS. Adz-Dzariyat: 54
Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lah tercela dikarenakan mereka tidak mau beriman, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalahnya. Dan ini merupakan hiburan bagi para da’i, mungkin dia sedih tatkala dia menyampaikan orang-orang tidak beriman dan tidak percaya, namun perlu diingat bahwa dia tidak lebih hebat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika nabi saja tidak bisa memberi hidayah kepada orang lain maka apalagi dia, maka tugasnya hanyalah menyampaikan dengan cara yang terbaik.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ}
“(Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Dan hendaklah orang-orang mukmin bertawakal kepada Allah.” (QS. At-Taghobun: 13)
Jika kita mengetahui bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala yang menciptakan langit dan bumi, bahkan Allah yang menciptakan kita dan Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui atas segala sesuatu maka jika bukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala kita bertawakkal maka kepada siapa lagi? Hendaknya kita bertawakkal kepada Dzat tersebut yang maha kuasa dan maha mengetahui yaitu Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka; dan jika kalian maafkan dan kalian santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taghobun: 14)
Dalam ayat Allah subhanahu wa ta’ala memperingatkan kita bahwa ada di antara keluarga kita di antaranya istri-istri dan anak-anak kita yang bisa menghalangi kita dari beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan menghalangi kita dari menjalani ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa ada diantara istri-istri dan anak-anak kita ada yang menjadi musuh bagi kita, dan musuh adalah seseorang yang menginginkan untuk menimpakan keburukan kepada yang lainnya, dan Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan disini sebagian مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ “dari sebagian istri-istri kalian dan anak-anak kalian” jadi tidak semua istri-istri dan anak-anak itu buruk, karena ada diantara mereka yang baik. Termasuk contoh istri yang baik adalah sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan, dari Tsauban, ia berkata:
لَمَّا نَزَلَ فِي الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ مَا نَزَلَ قَالُوا: فَأَيَّ الْمَالِ نَتَّخِذُ؟ قَالَ عُمَرُ: أَنَا أَعْلَمُ ذَلِكَ لَكُمْ. قَالَ: فَأَوْضَعَ عَلَى بَعِيرٍ فَأَدْرَكَهُ، وَأَنَا فِي أَثَرِهِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيَّ الْمَالِ نَتَّخِذُ؟ قَالَ: ” لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً تُعِينُهُ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ ”
“Tatkala turun ayat yang berkaitan dengan masalah perak dan emas, para sahabat bertanya, “Lantas harta apa yang kita ambil?” Umar berkata: “Aku akan memberitahukan kepada kalian masalah itu.” Umar lantas naik ke atas untanya dan menemui beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara aku mengikuti di belakangnya. Umar bertanya; “wahai Rasulullah, harta apa yang boleh kita ambil?” Beliau menjawab: “Hendaknya salah seorang dari kalian menjadikan hatinya sebagai hati yang bersyukur, lisan yang berdzikir dan istri yang menolongnya dalam urusan akhiratnya.” ([27])
Hadits ini menunjukkan bahwa salah satu bentuk kenikmatan adalah ketika memiliki istri yang senantiasa mengingatkan suaminya tentang perkara akhirat, sering memotivasi dia untuk senantiasa berinfak, mengingatkan untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, membangunkan dia untuk shalat subuh, dan membangunkan dia untuk shalat malam. Akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala juga mengingatkan bahwa diantara istri-istri terdapat musuh bagi suaminya yang selalu membuat masalah, yang menghalangi suaminya dari berbuat kebaikan, ketika ingin berbuat baik kepada orang tua dihalang-halangi, ingin berbuat baik terhadap kerabat dihalang-halangi, dia yang mengajarkan suaminya menjadi pelit, mengajarkan suaminya untuk terus memikirkan dunia, bahkan mengajarkan suaminya untuk berhutang demi memiliki perhiasan dunia, dan yang lainnya. Istri seperti ini dialah musuh bagi suaminya yang menginginkan keburukan kepada suaminya. Demikian juga anak-anak sebagaimana yang diriwayatkan dari Ya’la al-‘Amiri,
جَاءَ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ يَسْعَيَانِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَضَمَّهُمَا إِلَيْهِ وَقَالَ: «إِنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ»
“datang Al-Hasan dan Al-Husain berjalan menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merangkul meraka berdua dan bersabda: sesungguhnya anak membuat orang menjadi pelit dan penakut.” ([28])
Dalam hadits ini disebutkan bahwa anak menjadi sebab seseorang menjadi pelit dan penakut, ketika dia mau berinfak lalu dia memikirkan anak-anaknya akhirnya membuatnya tidak jadi berinfak, dan ketika dia ingin berjihad lalu dia memikirkan anak-anaknya lalu berpikir jika dia meninggal maka siapa yang akan mengurus anak-anaknya? Akhirnya membuatnya tidak jadi berjihad. Bahkan anak-anak bisa membuat seseorang terjerumus ke dalam kemaksiatan ketika anaknya banyak keinginan, ingin ini dan ingin itu lalu dia menuruti semua keinginan anaknya akhirnya dia terjerumus ke dalam kemaksiatan, contohnya ketika anaknya ingin menonton di bioskop, demi menyenangkan anaknya dia mengikutinya. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan untuk berhati-hati فَاحْذَرُوهُمْ “maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka”, karena sebagian orang mengatakan bahwa ini seperti musuh dalam selimut yaitu musuh yang tidak disadari, rasa cinta terhadap istri dan anak-anak dengan rasa cinta yang berlebihan sehingga membuatnya tidak bisa menimbang dengan timbangan syar’i, akhirnya dia menuruti semua keinginan istri-istri dan anak-anaknya dan dia terjerumus ke dalam kemaksiatan tanpa dia sadari. Seperti yang dijelaskan oleh penulis bahwa sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas,
وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ هَذِهِ الآيَةِ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ} قَالَ: «هَؤُلَاءِ رِجَالٌ أَسْلَمُوا مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ وَأَرَادُوا أَنْ يَأْتُوا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَبَى أَزْوَاجُهُمْ وَأَوْلَادُهُمْ أَنْ يَدَعُوهُمْ أَنْ يَأْتُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَوْا النَّاسَ قَدْ فَقُهُوا فِي الدِّينِ هَمُّوا أَنْ يُعَاقِبُوهُمْ»، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ} [التغابن: 14] الآيَةَ:: هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ”
Ibnu ‘Abbas ditanya oleh seorang laki-laki mengenai ayat ini: {Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka} (QS. Attaghabun: 14), beliau menjawab: mereka adalah para lelaki penduduk Makkah yang telah masuk Islam, dan ingin menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , namun istri-istri dan anak-anak mereka enggan jika mereka ditinggalkan untuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Ketika mereka mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam , mereka melihat orang-orang (yang telah datang lebih dahulu) sungguh telah memahami agama, sehingga mereka berniat ingin menghukum istri-istri dan anak-anak mereka, maka turunlah ayat ini: {Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka} (QS. Attaghabun 14).”([29])
Dan ini bukan hanya untuk para istri saja, namun para suami juga bisa menjadi musuh bagi para istri jika mereka menghalangi istri-istri mereka dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. ([30])
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“dan jika kalian maafkan dan kalian santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ini merupakan arahan ilahi yang indah, karena dalam ayat ini menjelaskan bahwa meskipun di antara istri-istri dan anak-anak ada yang merupakan musuh dan kita diperintahkan untuk waspada dan hati-hati, namun bukan berarti lantas kita menjadi pelit dan marah terhadap istri dan anak-anak, karena bagaimanapun mereka adalah istri-istri dan anak-anak kita. Allah subhanahu wa ta’ala memberi arahan dan bimbingan dengan firman-Nya وَإِنْ تَعْفُوا “dan jika kalian maafkan”, وَتَصْفَحُوا “dan kalian berlapang dada” yaitu melapangkan dada tanpa perlu mencela namun cukup dinasihati, karena ketika mereka salah maka hakikatnya sang suami juga salah karena terlalu mengikuti kemauan mereka, وَتَغْفِرُوا “kalian menutupi” yaitu menutupi kesalahan mereka([31]), tidak perlu bercerita kepada orang lain sebab dia tidak bisa melalukan ketaatan karena disebabkan istri-istri dan anak-anaknya, karena kesalahan mereka bukanlah untuk diceritakan kepada orang lain, maka disini Allah subhanahu wa ta’ala memberikan solusi وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا “dan jika kalian maafkan dan kalian tidak mencela, serta menutupi (kesalahan mereka)”. Mengapa suami dilarang untuk memarahi istri-istri dan anak-anaknya yang telah membuatnya lalai dari ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala?, hal ini dikarenakan bagaimanapun juga mereka adalah istri-istri dan anak-anaknya, dan bukanlah orang lain, yang mana mereka adalah kecintaannya, yang memiliki jasa baik lainnya, memberikan kebahagiaan kepadanya. Karenanya dilarang untuk mencela dan memarahi mereka atau menghukum mereka. Uslub/metode ini disebut dalam istilah tafsir dengan الاِحْتِرَاس, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala mendatangkan suatu pernyataan untuk menepis prasangka yang keliru (yang mungkin muncul) terhadap pernyataan yang sebelumnya. Dalam hal ini ketika Allah berfirman إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ “Sesungguhnya di antara istri-istri kalian dan anak-anak kalian ada yang menjadi musuh bagi kalian, maka berhati-hatilah kalian terhadap mereka”, maka ketika ada seseorang yang membaca ayat ini kawatir ia salah paham, dan menyangka harus menghukum anak dan istrinya yang menyebabkannya lalai. Maka untuk menepis kemungkinan persangkaan ini maka Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan setelahnya وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا “dan jika kalian maafkan dan kalian tidak mencela, serta menutupi (kesalahan mereka)”. Ini menunjukkan untuk kita tetap harus sayang kepada istri-istri dan anak-anak kita meskipun dalam kondisi mereka jelas-jelas salah, entah karena menjerumuskan kita sehingga menjadi pelit, atau menghalangi kita dari menuntut ilmu, atau menyebabkan kita kurang berbakti kepada orang tua, dan lain-lain, namun kita tetap dilarang untuk memarahi mereka, mencela mereka, dan mengumbar aib mereka. Apalagi jika kesalahan mereka hanya berupa kesalahan yang ringan maka lebih dilarang lagi bagi kita untuk memarahi mereka, mencela mereka, dan mengumbar aib mereka. Dan jika seorang suami sudah melakukan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala perintahkan yaitu وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا “dan jika kalian maafkan dan kalian tidak mencela, serta menutupi (kesalahan mereka)” maka balasannya adalah فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Maksudnya adalah اَلْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ “balasan sesuai dengan amal”, sebagaimana kalian mengampuni istri-istri dan anak-anak kalian maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuni kalian. Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak memberikan janji-janji yang lain dan Allah subhanahu wa ta’ala hanya memberikan janji akhirat, yaitu ketika seorang suami memaafkan istri-istri dan anak-anaknya, menasihati mereka, tidak mencela mereka, dan tidak membongkar aib mereka maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mengampuninya, dan ini yang paling diharapkan oleh seorang hamba di akhirat, yaitu diampuni dosa-dosanya. Dan itu bisa ia raih dengan mengampuni istri-istri dan anak-anaknya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ}
“Sesungguhnya harta kalian dan anak-anak kalian hanyalah cobaan (bagi kalian), dan di sisi Allah pahala yang besar.” (QS. At-Taghobun: 15)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kembali bahwa harta-harta dan anak-anak adalah ujian bagi seorang hamba, dan kecintaan seseorang terhadap harta-harta dan anak-anak pada dasarnya adalah suatu yang wajar, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” QS. Al-Kahfi: 46
Maka kita lihat seseorang ketika memiliki anak maka dia akan bahagia dengan anak-anaknya, begitu juga kita lihat seseorang ketika memiliki harta yang banyak maka dia akan bahagia dengan hartanya, akan tetapi perlu diingat bahwa harta-harta dan anak-anak adalah ujian, semuanya adalah amanah dari Allah subhanahu wa ta’ala untuk menguji seseorang. Maka hati-hati jangan sampai hal tersebut membuat seseorang menjadi jauh dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
“dan di sisi Allah pahala yang besar.”
Maka seseorang harus bisa menghadapi ujian tersebut, menunaikan amanah tersebut, yaitu dengan membina anak-anaknya dengan baik, begitu pula dengan hartanya maka handaknya ia mengaturnya dengan baik. Maka jika seseorang telah melakukan hal tersebut dia akan mendapatkan ganjaran yang besar di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Dan barang-siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. At-Taghobun: 16)
Dalam ayat ini memerintahkan hamba-Nya secara umum untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala semampunya, di antaranya adalah ketika mengurus anak-anak dan istri-istrinya serta dalam pengaturan pengeluaran hartanya, maka dia harus berusaha untuk mengatur dan mengurus itu semua semampunya([32]). Bukan berarti ketika Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan seorang hamba untuk bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala maka dia harus menjadikan anak-anak dan istri-istrinya menjadi orang yang shalih, sebab ini belum tentu bisa dilakukan oleh seseorang, akan tetapi tugas seorang hamba adalah berusaha semaksimal mungkin dalam mendidik mereka, menasihati mereka dengan penuh kesabaran, dan dengan bertahap. Namun kebanyakan orang kita dapati tidak sabar dalam mendidik sehingga dia tidak berhasil mendidik anak-anak dan istri-istrinya, bahkan terkadang seseorang bisa sabar kepada orang lain namun dia tidak bisa bersabar terhadap anak-anak dan istri-istrinya. Maka hendaknya seseorang harus memiliki banyak tabungan kesabaran dalam menghadapi anak-anak dan istri-istrinya, apalagi istrinya lebih dari satu maka dia harus lebih banyak lagi memiliki tabungan kesabaran. Penulis pernah berjumpa dengan praktisi poligami dan dia berkata: “Ustadz, jika anda ingin berpoligami maka hendaknya memiliki tabungan sabar yang banyak, jika tidak memilikinya maka akan hancur”. Kita dapati memang terhadap 1 istri saja harus memiliki tabungan sabar yang banyak apalagi jika istri lebih dari 1 maka harus lebih memiliki tabungan kesabaran yang lebih banyak lagi.
Dalam ayat ini juga menyebutkan akan pentingnya berinfak, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman وَأَطِيعُوا “taatlah kalian” yaitu dengan berbagai macam ketaatan, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan secara khusus dari jenis-jenis ketaatan tersebut dengan firman-Nya وَأَنْفِقُوا “dan berinfaklah kalian”([33]), dan tidaklah Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan infak secara khusus dari sekian banyak ketaatan kecuali menunjukkan bahwa infak adalah salah satu jenis ketaatan yang luar biasa. Banyak sekali didapati di dalam Al-Quran perintah untuk berinfak, dan ini menunjukkan bahwasanya kita harus berkorban dengan harta kita, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ»
“Sedekah itu bukti” ([34])
Dalam hadits ini disebutkan bahwa sedekah adalah bukti, yaitu bukti bahwasanya seseorang telah beriman dengan cara berinfak. Lagi pula untuk apa seseorang menyimpan hartanya banyak banyak? karena ketika dia meninggal dia tidak dapat membawa hartanya. Namun bukan berarti kita harus menginfakkan seluruh harta kita, akan tetapi kita diperintahkan untuk menginfakkan sebagian saja dari harta kita di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, dan ini adalah kebaikan untuk diri kita sehingga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman خَيْرًا لِأَنفُسِكُمْ “(itu) lebih baik untuk kalian”, maksudnya apa yang kalian infakkan bukan untuk Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi infak kalian untuk menjadi bekal kalian di akhirat nanti.
Lain halnya jika kalian meninggal lantas kepemilikan harta kalian berpindah ke ahli waris, sehingga jika ahli waris yang berinfak maka pahalanya adalah untuk ahli warisnya, karena harta bukan lagi miliknya tapi milik ahli warisnya. Lain halnya jika ketika dia masih hidup dia yang berinfak, maka pahalanya tidak akan berpindah tangan dan itu akan menjadi miliknya sendiri.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan barang-siapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Ayat ini menunjukkan bahwasanya asal sifat manusia adalah ingin selalu memegang hartanya dan tidak ingin melepaskannya dari tangannya([35]), karenanya untuk bisa berinfak seseorang harus melatihnya sedikit demi sedikit. Jika tidak dilatih maka tidak mungkin dia bisa berinfak, karena dalam berinfak dia harus melawan rasa pelitnya, dan setiap orang mempunyai rasa pelit yang harus dia lawan, jika dia tidak melawannya maka dia tidak bisa untuk berinfak sehingga dia akan terus hidup dengan penuh rasa pelit dan dia akan meninggal dalam keadaan pelit.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
“Jika kalian meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipat gandakan (balasan) untuk kalian dan mengampuni kalian. Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun. Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana” (QS. At-Taghobun: 17-18)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menamakan infak yang dikeluarkan oleh kita sebagai pinjaman, seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala meminjam kepada kita([36]), dan kita harus yakin jika Allah subhanahu wa ta’ala meminjam harta kepada kita pasti akan dikembalikan karena Allah subhanahu wa ta’ala maha kaya. Apa yang kita keluarkan untuk berinfak maka akan dihitung/dianggap pinjaman oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyelisihi janji maka pinjaman tersebut pasti Allah subhanahu wa ta’ala bayar. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala tidak membalas sebagaimana apa yang kita keluarkan akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala akan membalasnya dengan berlipat ganda dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman يُضَاعِفْهُ لَكُمْ “niscaya Dia melipat gandakan (balasan) untuk kalian”. Karenanya penulis sering menyampaikan: “Jika anda menyimpan uang di Allah subhanahu wa ta’ala maka balasannya riba, dan ini adalah riba yang halal”, bahkan bukan hanya dilipat gandakan, akan tetapi dosa kita akan diampuni dengan sebab infak kita.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ
“Dan Allah Maha Mensyukuri, Maha Penyantun.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala berterima kasih, padahal tidak ada jasa sedikitpun dari seorang hamba terhadap Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala memposisikan diri-Nya sebagai yang meminjam harta kepada hamba-Nya sehingga hamba memiliki jasa, seakan-akan demikian, padahal hakikatnya seorang hamba tidak memiliki jasa apapun kepada Allah subhanahu wa ta’ala, karena hakikatnya ketika seorang hamba beramal shalih maka itu semua kembali untuk hamba itu sendiri, dan juga yang membuat seorang hamba beramal shalih adalah Allah subhanahu wa ta’ala, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwasa diri-Nya maha berterimakasih.
_________________________________________________________
([1]) Lihat: al-Lubab fii ‘Uluumil Kitaab 18/452
([2]) HR. At-tirmidzi no. 3317 dan ia berkata: hadits ini adalah hadits hasan shahih, begitu juga hadits ini dihasankan oleh Al-Albani.
([3]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/314
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/136
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/136
([6]) Lihat: Tafsir At-Tahrir wat Tanwir 28/275
([7]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/319
([9]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/319, Tafsir Al-Qurthubi 18/137
([10]) Tafsir Ibnu Katsir 8/389
([11]) Atsar riwayat al-Imam Ahmad dalam musnadnya no 17650 dengan sanad yang shahih
([12]) Lihat: Tafsir al-Alusi 14/314
([13]) Lihat: At-Tahrir wat-Tanwir 28/261
([14]) Lihat: At-Tahrir wat-Tanwir 28/261
([15]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi 18/133
([16]) HR. Bukhori no. 3208 dan Muslim no. 2643
([17]) Lihat: Tafsir Al-Alusi 14/316
([18]) Lihat: Ahkamul Quran 4/415
([19]) Lihat: Fathul Qadir 5/281
([20]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi 18/135
([21]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy ha; 866
([22]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/273
([23]) HR. Ahmad no. 15156, dan hadits ini dikatakan sanadnya lemah karena lemahnya Mujalid Ibnu Sa’id, walaupun sanadnya lemah namun hadits ini dihasankan oleh al-Albani sebagaimana yang beliau jelaskan panjang lebar dalam kitabnya Irwa-ul ghalil 6/34-38
([24]) Lihat: As-Showa’iqul Mursalah 2/492, at-Tahrir wat-Tanwir 22/310, dan Tafsir As-Sa’di hal: 945
([25]) Penyair ini bernama Ibnu Nabatah, lihat: Wafayaatul A’yaan: 3/193
([26]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal: 867
([27]) HR. Ahmad no. 22437, dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth hadits ini hasan lighoirih
([28]) HR. Ibnu Majah no. 3666, dan hadits ini dishohihkan oleh Al-Albani
([29]) HR. At-tirmidzi no. 3317 dan ia berkata, “Hadits ini adalah hadits hasan shahih”, dan hadits ini dihasankan oleh Al-Albani.
([30]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/142
([31]) Lihat: At-Tahrir- wat-Tanwir 28/285
([32]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/287
([33]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/287