Tafsir Surah At-Tahrim
Surah At-Tharim adalah surah Madaniyah menurut jumhur ulama. Bahkan sebagian ulama seperti Al-Qurthubi rahimahullah mengatakan bahwa Ahli Tafsir ijma’ menyebutkan bahwa surah At-Tharim merupakan surah Madaniyah([1]). Artinya surah ini adalah surah yang turun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah. Ada pendapat yang menyebutkan bahwa pada ayat kesepuluh dalam surah At-Tahrim adalah Makkiyah, akan tetapi yang lebih benar adalah semua ayat-ayat dalam surah At-Tahrim merupakan ayat-ayat Madaniyah. Wallahu a’lam bishshawab. Sebagian ulama berpendapat bahwasanya surah At-Tahrim turun setelah surah Al-Hujurat dan sebelum surah Al-Jumu’ah.
Surah At-Tahrim memiliki beberapa nama yang disebutkan oleh para Ahli Tafsir di antaranya adalah surah At-Tahrim. Di antaranya juga disebut dengan surah Al-Limatuharrim, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu?” (QS. At-Tahrim : 1)
Sebagian ulama juga menyebutkan di antara namanya adalah surah An-Nabiy, karena dibuka dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ
“Wahai Nabi.” (QS. At-Tahrim : 1)
Inilah di antara beberapa nama surah At-Tahrim yang disebutkan oleh sebagian Ahli Tafsir([2]).
Sebab Nuzul
Terdapat beberapa riwayat yang menyebutkan tentang sebab nuzul dari surah At-Tahrim. Akan tetapi pendapat yang paling kuat dan dengan sanad yang paling sahih hanya dua sebab, yaitu pertama karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan madu baginya untuk menyenangkan para istrinya, dan yang kedua adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan untuk menggauli budaknya yaitu Mariah Al-Qibthiyyah.
- Sebab nuzul pertama : Nabi mengharamkan madu untuknya
Dalam hadits sahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dan yang lainnya disebutkan, dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَمْكُثُ عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَيَشْرَبُ عِنْدَهَا عَسَلًا، فَتَوَاصَيْتُ أَنَا وَحَفْصَةُ: أَنَّ أَيَّتَنَا دَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلْتَقُلْ: إِنِّي أَجِدُ مِنْكَ رِيحَ مَغَافِيرَ، أَكَلْتَ مَغَافِيرَ، فَدَخَلَ عَلَى إِحْدَاهُمَا، فَقَالَتْ لَهُ ذَلِكَ، فَقَالَ: لاَ، بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَلَنْ أَعُودَ لَهُ، فَنَزَلَتْ: يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ – إِلَى – إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ، لِعَائِشَةَ وَحَفْصَةَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah singgah di rumah Zainab binti Jahsy dan beliau juga minum madu di situ. Lalu aku dan Hafshah saling berpesan, bahwa siapa saja di antara kita yang ditemui oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendaklah ia berkata, ‘Sesungguhnya aku mendapatkan bau maghafir. Apakah Anda telah makan maghafir?’. Akhirnya beliau pun masuk menemui salah seorang dari keduanya dan ia mengungkapkan kalimat itu pada beliau. Akhirnya beliau bersabda: ‘Tidak, akan tetapi aku hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan mengulanginya lagi’. Maka turunlah ayat, ‘Wahai Nabi, kenapa kamu mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah’, hingga firman-Nya ‘Jika kalian berdua bertaubat’ yakni kepada Aisyah dan Hafshah.”([3])
Yang menceritakan kisah ini adalah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Beliau menceritakan tentang kecemburuannya terhadap Zainab binti Jahsy, akan tetapi karena ini adalah ilmu maka beliau harus menyampaikan hal ini. Dan hal seperti ini juga sering disampaikan oleh beliau, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha menyebutkan beberapa kesalahan yang berkaitan dengan dirinya, beliau tidak menyembunikannya akan tetapi bahkan beliau tetap ceritakan, karena ini merupakan ilmu dan pelajaran bagi kaum muslimin.
Maghafir adalah sejenis tumbuhan yang memiliki rasa yang enak, namun bau yang dikeluarkannya sangat tidak enak, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seseorang yang tidak suka tercium dari tubuh atau mulutnya bau yang tidak enak. Aisyah berkata :
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْتَدُّ عَلَيْهِ أَنْ يُوجَدَ مِنْهُ الرِّيحُ
“Adalah Rasulullah shallallahu álaihi wasallam merasa berat (sangat tidak suka) jika tercium darinya bau yang tidak enak” ([4])
Oleh karenanya dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha beliau berkata,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ بَدَأَ بِالسِّوَاكِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila masuk rumahnya, maka beliau memulainya dengan bersiwak.”([5])
Ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sangat perhatian dengan kebersihan, sampai-sampai beliau tidak ingin ada aroma yang tidak baik tatkala bertemu dengan istri-istrinya. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak suka jika memiliki istri yang tidak perhatian dengan hal seperti ini. Dan dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menikahi seorang wanita, beliau mengirim Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha untuk mengecek wanita tersebut apakah pantas menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha,
شُمِّي عَوَارِضَهَا، وَانْظُرِي إِلَى عُرْقُوبَيْهَا
“Ciumlah bau mulutnya dan amatilah tulang tumitnya.”([6])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan hal ini kepada Ummu Salamah karena tentunya agar ada kebahagiaan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala memiliki istri yang menjaga kebersihan. Oleh karenanya penulis ingatkan kepada para Ikhwan dan akhwat agar senantiasa menjaga kebersihannya terlebih kepada pasangannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak senang jika istri-istrinya mencium bau yang tidak enak dari tubuhnya.
Disebutkan bahwa setelah ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma bersepakat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terlebih dahulu masuk ke rumah Hafshah. Tatkala beliau masuk, maka Hafshah mengatakan apa yang telah menjadi kesepakatan antara dia dan ‘Aisyah. Maka karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ingin menyenangkan istrinya Hafshah, maka beliau mengatakan,
لاَ، بَلْ شَرِبْتُ عَسَلًا عِنْدَ زَيْنَبَ بِنْتِ جَحْشٍ، وَلَنْ أَعُودَ لَهُ
“Tidak, akan tetapi aku hanya minum madu di tempat Zainab binti Jahsy, dan aku tidak akan mengulanginya lagi.”
Maka setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Hafshah untuk tidak memberitahukan hal ini kepada ‘Aisyah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak ingin ‘Aisyah marah atau cemburu.
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hal demikian kepada Hafshah, maka turunlah surah At-Tahrim ini sebagai teguran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengharamkan madu untuk dirinya. Inilah di antara sebab nuzul yang disebutkan oleh para ulama tentang sebab turun surah At-Tahrim([7]).
- Sebab kedua : Nabi mengharamkan Mariyah Al-Qibthiyyah untuk dirinya
Di antara sebab nuzul surah At-Tahrim yang disebutkan para ulama adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan bagi dirinya Mariyah untuk digauli. Riwayat yang menyebutkan sebab nuzul ini pada dasarnya tidak lebih sahih dari sebab nuzul yang pertama, akan tetapi riwayat ini disahihkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dan Dhiya’ Al-Maqdisi([8]).
Disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke rumah Hafshah, akan tetapi ternyata Hafshah tidak di rumah dan sedang pergi bersilaturahmi ke rumah bapaknya yaitu Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tahu rumah tersebut kosong, maka beliau memanggil budaknya Mariyah Al-Qibthiyyah. Mariyah Al-Qibthiyyah adalah seorang budak yang dihadiahkan oleh al-Muqowqis raja di Mesir kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Mariyah Al-Qibthiyyah inilah lahir anak laki-laki Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yaitu Ibrahim, yang kemudian meninggal di pangkuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang masih dalam masa menyusui, dan membuat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menangis dan berkata,
إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
“Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan sungguh kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim pastilah bersedih.”([9])
Intinya waktu itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil budaknya Mariyah, kemudian menggaulinya di rumah Hafshah. Maka tatkala Hafshah mengetahui hal itu, dia pun marah dan berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَا نَبِيَّ اللَّهِ، لَقَدْ جِئْتَ إليَّ شَيْئًا مَا جِئْتَ إِلَى أَحَدٍ مِنْ أَزْوَاجِكَ، فِي يَوْمِي، وَفِي دَوْرِي، وَعَلَى فِرَاشِي. قَالَ: أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أُحَرِّمَهَا فَلَا أَقْرَبَهَا؟ قَالَتْ: بَلَى. فحَرَّمها وَقَالَ: لَا تَذْكُرِي ذَلِكَ لِأَحَدٍ
“Wahai Nabi Allah, sesungguhnya engkau telah melakukan terhadapku suatu perbuatan yang belum pernah engkau lakukan terhadap seorang pun dari istri-istrimu. Engkau melakukannya di hari giliranku, dan di rumahku, dan di atas tempat tidurku.” Maka Nabi menjawab, ‘Puaskah engkau bila aku mengharamkannya atas diriku dan aku tidak akan mendekatinya lagi?’ Hafsah menjawab, ‘Baiklah’. Maka Nabi pun mengharamkan dirinya untuk menggauli Mariyah, dan beliau bersabda, ‘Tetapi jangan kamu ceritakan hal ini kepada siapa pun (‘Aisyah)’.”([10])
Akan tetapi ternyata Hafshah menceritakan hal tersebut kepada ‘Aisyah, maka setelah itu turunlah beberapa ayat dari surah At-Tahrim.
Maka sebab manakah yang paling kuat di antara dua sebab nuzul di atas? Para ulama menyebutkan bahwa jika dari sisi sanad, maka lebih kuat sebab nuzul pertama, yaitu tentang pengharaman madu. Akan tetapi dari sisi makna maka lebih kuat sebab nuzul yang kedua, yaitu tentang pengharaman Mariyah. Karena pengharaman madu menunjukkan bahwa itu untuk diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri, yaitu karena Nabi tidak suka tercium bau tidak enak dari dirinya. Sedangkan pengharaman Mariyah adalah untuk menyenangkan istri-istrinya. Dan ayat menyebutkan تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ “engkau ingin mencari keridhaan istri-istrimu”. Oleh karenanya tatkala Ibnu Katsir rahimahullah membawakan asbabun nuzul surah ini, sebab yang pertama beliau sebutkan adalah kisah tentang pengharaman Mariyah, sehingga seakan-akan menunjukkan bahwa beliau lebih condong kepada sebab nuzul yang kedua, yaitu surah ini turun berkaitan dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mengharamkan Mariyah Al-Qibthiyyah untuk digauli lagi([11]).
========
Surah At-Tahrim merupakan surah yang penting bagi kita yang telah berumah tangga, terutama bagi mereka yang berpoligami. Karena surah ini juga berkaitan dengan muamalah seseorang dalam berumah tangga. Yaitu bahwasanya bagaimanapun kehidupan rumah tangga seseorang, pasti ada yang namanya problematika rumah tangga. Dalam rumah tangga tetap ada yang namanya kecemburuan ataupun keributan kecil. Hanya saja rumah tangga yang baik adalah rumah tangga yang problematikanya hanya datang sesekali dan tidak sering. Adapun jika ada rumah tangga yang dalam setiap pekan atau bahkan hari terdapat problematika antara suami istri, maka kita katakan bahwa rumah tangga tersebut tidak sehat. Ketahuilah bahwa orang yang paling bahagia adalah orang yang bahagia di rumahnya. Boleh seseorang bahagia di luar, akan tetapi jika dia tidak menemukan kebahagiaan dalam rumahnya, maka sejatinya dia tidak bahagia. Maka ketika seseorang menyadari bahwa dia tidak bahagia dalam kehidupan rumah tangganya, maka dia harus merubah pola muamalah antara dia dengan pasangannya, dan bekerja sama dalam meraih kebahagiaan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai Nabi, mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu? Engkau ingin mencari keridhaan istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Tahrim : 1)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ
“Wahai Nabi.”
Ini menunjukkan bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan panggilan yang sangat halus. Dan kata ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala sedang mentarbiah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sedang memperhatikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Allah sedang menegur ketika beliau salah. Adapun jika Allah menggunakan kata يَاأَيُّهَا الرَّسُوْل, maka kebanyakan firman Allah tersebut berkaitan dengan perintah-perintah dan hukum-hukum.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لِمَ تُحَرِّمُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكَ
“Mengapa engkau mengharamkan apa yang dihalalkan Allah bagimu?”
Penggalan ayat ini tidak berkaitan tentang merubah hukum syariát berupa pengharaman apa yang yang dihalakan oleh Allah bagi umat Nabi shallallahu álaihi wasallam, atau sebaliknya, karena pada dasarnya memang hal tersebut tidak boleh([12]). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki hak untuk menghalalkan atau mengharamkan kecuali dengan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan kita tahu bahwa madu adalah halal untuk umat Nabi, dan tidak mungkin Nabi mengharamkan madu kepada umatnya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik?’ Katakanlah, ‘Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat’. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf : 32)
Akan tetapi penggalan ayat surah at-Tahriim ini berkaitan dengan diri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri dan bukan kepada umat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang Nabi Ya’qub ‘alaihissalam,
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ
“Semua makanan itu halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) atas dirinya sebelum Taurat diturunkan.” (QS. Ali-‘Imran : 93)
Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan menggauli budaknya Mariyah Al-Qibthiyyah untuk dirinya atau mengharamkan madu untuk dirinya sendiri.
Seseorang tidak boleh mengharamkan sesuatu yang halal baginya, karena menikmati sesuatu yang Allah halahkan itu menunjukkan bahwa kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan menunjukkan bahwa kita butuh terhadap pemberian Allah tersebut. Maka ketika seseorang mengharamkan sesuatu yang dihalalkan, seakan-akan menunjukkan bahwa dia tidak butuh dengan nikmat tersebut, padahal hal tersebut bertentangan dengan sifat syukur([13]). Oleh karenanya tidak boleh seseorang mengharamkan apa yang telah menjadi halal baginya. Seseorang boleh mengatur mana saja yang dia pilih untuk dirinya dari nikmat Allah, akan tetapi jika sampai pada mengharamkan untuk dirinya maka tidak boleh dia lakukan kecuali untuk meraih sebuah kemaslahatan yang besar. Oleh karena itu Allah Subhanahu wa ta’ala menegur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ayat ini.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
تَبْتَغِي مَرْضَاتَ أَزْوَاجِكَ
“Engkau ingin mencari keridhaan istri-istrimu?”
Perlu untuk diperhatikan bahwa ayat ini tidaklah melarang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mencari keridhaan istrinya-istrinya. Bahkan ayat ini menunjukkan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang selalu berusaha untuk menyenangkan dan mencari keridhaan istri-istrinya, dan dalil akan hal ini sangat banyak. Dan karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka dengan cara yang baik (patut).” (QS. An-Nisa’ : 19)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga telah bersabda,
خَيرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Orang yang paling baik di antara kalian adalah orang yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling terbaik terhadap istriku.”([14])
Oleh karenanya penulis sering sampaikan bahwa apabila kita murah senyum kepada orang lain, mudah memaafkan orang lain, maka sikap itu lebih utama kita berikan kepada istri kita. Kalau kita senang menyenangkan orang lain, maka lebih utama lagi menyenangkan hati istri, dan pahalanya tentu jauh lebih besar karena hal ini menjadi barometer keimanan seseorang sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini.
Maka dari itu, hendaknya di antara kita selalu berusaha untuk membuat istrinya merasa senang, mudah memaafkan jika istri melakukan kesalahan. Lihatlah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala seseorang bertanya kepada beliau,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، كَمْ أَعْفُو عَنِ الخَادِمِ؟ فَقَالَ: كُلَّ يَوْمٍ سَبْعِينَ مَرَّةً
“Wahai Rasulullah, berapa kalikah aku harus memaafkan pembantu?” Nabi menjawab, ‘Maafkan sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari’.”([15])
Kalau pembantu saja perlu untuk dimaafkan sebanyak tujuh puluh kali, maka tentu lebih utama lagi untuk kita maafkan adalah istri kita yang telah banyak berjasa kepada kita.
Intinya, ayat ini tidak diturunkan untuk melarang seseorang untuk mencari keridhaan istrinya. Akan tetapi ayat ini menegur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau mencari keridhaan istrinya dengan cara yang salah, yaitu dengan mengharamkan budak wanitanya untuk digauli atau madu, padahal hal itu adalah halal bagi beliau.
Oleh karenanya tatkala seorang suami atau istri yang berusaha meraih keridhaan pasangannya, maka hendaknya tidak melakukannya dengan cara yang diharamkan. Kalau seorang suami misalnya menyuruh istrinya untuk keluar rumah dengan membuka auratnya, dan itu menyenangkan hati sang suami, maka tetap sang istri tidak boleh mengikuti permintaan sang suami. Demikian pula misalnya jika seorang istri melarang suaminya untuk mengunjungi orang tuanya untuk menyenangkan hati sang istri, maka suami tidak boleh mengikuti permintaan tersebut karena hukumnya haram. Oleh karenanya jangan sampai kita berusaha mencari keridhaan pasangan kita dengan cara yang diharamkan oleh syariat, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala karena mengharamkan apa yang telah Allah halalkan baginya.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Artinya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah dimaafkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kesalahan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terkait mengharamkan Mariyah atau madu baginya telah dimaafkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan penggalan ayat ini menunjukkan bahwa beliau telah dimaafkan oleh Allah sebelum beliau meminta maaf. Hanya saja Allah Subhanahu wa ta’ala tetap menyebutkan teguran tersebut sebagai teguran bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan pelajaran bagi umat beliau. Dan hal ini sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala beriman dalam ayat yang lain,
عَفَا اللَّهُ عَنْكَ لِمَ أَذِنْتَ لَهُمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَتَعْلَمَ الْكَاذِبِينَ
“Allah memaafkanmu (Muhammad). Mengapa engkau memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar-benar (berhalangan) dan sebelum engkau mengetahui orang-orang yang berdusta?” (QS. At-Taubah : 42)
Dalam ayat ini Allah menegur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi beliau telah dimaafkan. Maka sama halnya dengan ayat pertama dari surah At-Tahrim ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menutup ayat ini memberikan pemaafan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan tegur kesalahan beliau.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu, dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. At-Tahrim : 2)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قَدْ فَرَضَ اللَّهُ لَكُمْ تَحِلَّةَ أَيْمَانِكُمْ
“Sungguh, Allah telah mewajibkan kepadamu membebaskan diri dari sumpahmu.”
Sebagaimana telah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak meminum madu atau tidak menggauli budaknya lagi. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membatalkan sumpah dan membayar kafarat. Dan ini merupakan sunnah bahwa jika seseorang telah bersumpah, kemudian dia melihat sesuatu yang lebih bermaslahat, maka dia tinggalkan sumpah tersebut. Dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنِّي وَاللَّهِ لاَ أَحْلِفُ عَلَى يَمِينٍ، فَأَرَى غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَتَيْتُ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ وَتَحَلَّلْتُهَا
“Sesungguhnya aku, demi Allah tidak melakukan suatu sumpah kemudian aku melihat selainnya ada yang lebih baik, melainkan akan aku lakukan yang lebih baik dan kubayar kafarat sumpahku.”([16])
Dan sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala tentang kafarat dari sumpah,
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak disengaja (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafaratnya (denda pelanggaran sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian atau memerdekakan seorang hamba sahaya. Barangsiapa tidak mampu melakukannya, maka (kafaratnya) berpuasalah tiga hari. Itulah kafarat sumpah-sumpahmu apabila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan hukum-hukum-Nya kepadamu agar kamu bersyukur (kepada-Nya).” (QS. Al-Maidah : 89)
Oleh karena itu, ketika kita telah bersumpah dan kemudian kita melihat ada hal yang lebih baik, maka jangan ragu untuk tinggalkan sumpah tersebut, lalu kemudian mengerjakan hal yang lebih baik itu, lalu membayar kafarat sumpah tersebut. Dan ini pulalah yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam ayat ini.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ مَوْلَاكُمْ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ
“Dan Allah adalah pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui tentang apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala perintahkan, lebih tahu mana yang lebih maslahat bagi hamba-Nya, dan Allah Subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui mana dari kesalahan hamba-Nya yang mesti diperbaiki.
Para ulama menyebutkan bahwa kisah ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berijtihad untuk menyenangkan hati istri-istrinya. Dan ini dibangun di atas ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau memandang bahwasanya keharmonisan rumah tangga sangat penting meskipun ada yang harus dikorbankan. Di antara yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam korbankan adalah untuk tidak minum madu, padahal beliau sangat suka dengan madu. Bahkan lebih parah dari itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkorban untuk tidak menggauli Mariyah padahal itu adalah budaknya yang halal baginya. Ini semua menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan demi menjaga keharmonisan rumah tangga. Oleh karenanya ini menunjukkan bahwa keharmonisan rumah tangga sangat besar nilainya di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi ijtihad yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lakukan ternyata keliru sehingga ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Nabi beberapa kali melakukan kesalahan Nabi namun langsung ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Ini menunjukkan konsekuensi kemaksuman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu ketika beliau melakukan kesalahan maka langsung ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak seperti kita yang tatkala melakukan kesalahan seringnya tidak ditegur, baik karena orang-orang segan atau yang lainnya, hanya saja terkadang belum ditegur namun tiba-tiba sudah terkena musibah.
Kisah ini menunjukan bahwa hendaknya kita menjauhi sebisa mungkin segala hal yang bisa mendatangkan kegaduhan dalam rumah tangga. Bahkan hindarilah melakukan sesuatu di media sosial yang bisa mengundang orang lain bertanya tentang apa yang terjadi dalam rumah tangga kita. Karena terkadang tatkala pasangan kita mengetahui hal itu, justru menambah kegaduhan lagi terhadap masalah yang telah ada. Dan hendaknya suami maupun istri memikirkan terlebih dahulu tentang apa yang akan dia lakukan dan ucapkan. Hendaknya senantiasa menimbang apakah perbuatan dan perkataan tersebut bisa membuat pasangan tersinggung dan marah atau tidak, bermanfaat atau tidak, dan yang lainnya. Bahkan jika harus menasihati pasangan satu sama lain hendaknya juga dengan cara yang baik. Lihatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sampai mengharamkan sesuatu yang halal baginya hanya untuk menyenangkan istrinya Hafshah. Maka dari itu, tinggalkanlah segala hal yang bisa mendatangkan keributan, perdebatan, dan ketidakharmonisan dalam rumah tangga karena Allah Subhanahu wa ta’ala, karena keharmonisan dalam rumah tangga sangatlah dituntut dalam syariat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ
“Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya. Lalu dia menceritakan peristiwa itu dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi) memberitahukan sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain. Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya, dia bertanya, ‘Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui Maha teliti’.” (QS. At-Tahrim : 3)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ
“Dan ingatlah ketika secara rahasia Nabi membicarakan suatu peristiwa kepada salah seorang istrinya. Lalu dia menceritakan peristiwa itu.”
Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan siapa nama istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dimaksud dalam ayat ini. Akan tetapi dari hadits tentang sebab nuzul surah ini kita ketahui bawa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut adalah Hafshah. Dan rahasia yang dimaksud adalah rahasia untuk tidak mengabarkan kepada ‘Aisyah tentang madu atau Mariyah Al-Qibthiyyah. Akan tetapi disebutkan bahwa Hafshah kemudian menceritakan hal tersebut kepada ‘Aisyah. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan nama istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dimaksud menunjukkan bahwa tidak penting bagi kita untuk mengetahui siapa istri Nabi yang dimaksud, yang terpenting adalah kisah ini memberikan pelajaran bagi kita semua. Namun tetap saja ini menunjukkan bagaimana agungnya ibunda ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, yang tetap menyampaikan ilmu dan syariat meskipun berkaitan dengan kesalahan dirinya. Padahal kebanyakan orang tatkala punya kesalahan selalu berusaha untuk menutup sebaik-baiknya meskipun itu berkaitan dengan ilmu.
Para ulama dalam buku-buku tafsir mereka menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memberitahukan rahasia kepada istrinya Hafshah adalah benar. Dan memang orang yang paling tepat untuk seorang suami sampaikan rahasia adalah kepada istri. Dan siapa lagi yang mau kita percayai kalau bukan pasangan hidup kita? Dan ketahuilah bahwa istri akan merasa dihargai ketika seorang suami menjadikan istrinya tersebut sebagai tempat menyimpan rahasianya. Oleh karenanya itu, hendaknya kita mengusahakan agar istri kita menjadi teman terdekat kita yang sering diajak berbicara. Karena jika kita belum nikmat mengobrol dengan istri daripada dengan kawan-kawan maka sejatinya kita belum bahagia.
Namun ternyata Hafshah tidak kuat menyimpan rahasia yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sampaikan sendiri, sehingga dia menceritakan rahasia itu kepada ‘Aisyah yang juga merupakan sahabatnya. Dan ini adalah kesalahan Hafshah, karena pada riwayat yang telah disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk memberitahukan hal tersebut kepada siapa pun.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ
“Dan Allah memberitahukan peristiwa itu kepadanya (Nabi), lalu (Nabi) memberitahukan sebagian dan menyembunyikan sebagian yang lain.”
Ketika Hafshah melanggar perjanjiannya antara dia dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak menceritakan rahasia tersebut kepada siapa pun, ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala membongkar kejadian itu dengan memberitahukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apa yang Hafshah ceritakan kepada ‘Aisyah. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan klarifikasi hal tersebut kepada Hafshah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan sebagian yang Allah kabarkan dan menyembunyikan sebagian yang lain. Dan para ulama menyebutkan bahwa ini menunjukkan sikap bijak dan mulianya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu beliau menegur suatu kesalahan tanpa harus membongkar seluruhnya. Dan hal seperti ini sangat penting dalam kehidupan berumah tangga. Jangan sampai seseorang memiliki catatan kesalahan-kesalahan istrinya, lalu kemudian mengungkapkannya satu-persatu. Ketahuilah bahwa mendidik istri tidak tepat dengan seperti itu. Cukuplah sebutkan beberapa kesalahan saja, bahkan jika kita bisa melupakan kesalahannya maka itu lebih baik. Karena mengingat-ingat kesalahan bukanlah ciri orang yang baik. Dan demikian pula untuk para istri, ingatlah bahwa jika sang suami melakukan kesalahan maka tidak mengapa untuk dinasihati, akan tetapi tidak harus membongkar seluruh kesalahan-kesalahannya.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا نَبَّأَهَا بِهِ قَالَتْ مَنْ أَنْبَأَكَ هَذَا قَالَ نَبَّأَنِيَ الْعَلِيمُ الْخَبِيرُ
“Maka ketika dia (Nabi) memberitahukan pembicaraan itu kepadanya, dia bertanya, ‘Siapa yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?’ Nabi menjawab, ‘Yang memberitahukan kepadaku adalah Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha teliti’.”
Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan kepada Hafsah bahwa beliau tahu kalau Hafshah telah menceritakan rahasia tersebut kepada ‘Aisyah, maka Hafshah heran. Hafshah bertanya-tanya bahwa siapa yang memberitahukan hal tersebut, karena menurutnya tidak mungkin ‘Aisyah yang menceritakannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan bahwa Allah Al-Khabiir dan Al-‘Aliim yang memberitahukannya. Dan kita tahu bahwa Al-‘Aliim adalah Allah mengetahui segalanya, dan Al-Khabiir adalah Allah mengetahui suatu perkara sampai pada yang terdetail seperti rahasia yang manusia sembunyikan.
Oleh karena itu, hendaknya seorang istri bisa menjaga rahasia yang suami sampaikan kepadanya. Bahkan meskipun sang suami tidak mengatakan bahwa hal tersebut adalah rahasia, namun Anda para istri merasa bahwa hal tersebut harus disembunyikan maka jangan ceritakan kepada siapa pun. Karena termasuk kesalahan besar ketika seorang istri membongkar rahasia yang diamanahkan oleh sang suami, sebagaimana yang dilakukan oleh Hafshah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran). Dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh Allah menjadi pelindungnya, dan Jibril, dan orang-orang saleh dari kaum mukminin, dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya.” (QS. At-Tahrim : 4)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنْ تَتُوبَا إِلَى اللَّهِ فَقَدْ صَغَتْ قُلُوبُكُمَا
“Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sungguh hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran).”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak marah kepada Hafshah, akan tetapi beliau hanya menegurnya. Dan dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala juga tidak memerintahkan untuk Hafshah dan ‘Aisyah bertaubat dari dosa mereka tersebut, akan tetapi Allah memberikan penawaran bagi mereka untuk bertaubat. Sebagian ulama menyebutkan bahwa hal ini dikarenakan kesalahan yang terjadi antara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan Hafshah dan ‘Aisyah adalah karena kecemburuan. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menghadapi istri-istrinya dengan tegas.
Demikianlah wanita, meskipun dia sangat salehah, namun tatkala dia cemburu maka akan hilang kontrol. Contoh lain dalam hal seperti ini adalah kisah Sarah, istri Nabi Ibrahim ‘alaihissalam yang cemburu kepada Hajar. Sarah adalah wanita yang salehah, bahkan sebelumnya tidak ada yang beriman kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam kecuali dia. Dan tidak ada yang meragukan kesalehan Sarah ketika itu. Akan tetapi tatkala dia cemburu kepada Hajar, dia berniat untuk melukai Hajar, sehingga Nabi Ibrahim ‘alaihissalam diperintahkan untuk membawa Hajar pergi ke kota Mekkah. Meskipun Sarah cemburu dan berniat melukai Hajar([17]), namun tidak disebutkan bahwa beliau marah kepada Sarah. Ini menunjukkan bahwa kalau kesalahan berkaitan kecemburuan maka Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak marah([18]).
Oleh karena itu, seorang suami harus paham bahwa jika kesalahan seorang istri disebabkan karena kecemburuan, maka hendaknya seorang suami bisa lebih mudah untuk memaafkan dan mengalah. Karena hakikatnya istri melakukan kesalahan tersebut karena saking cintanya kepada sang suami. Maka bagaimana mungkin kita seorang suami bisa menyalahkan istri kita yang berbuat kesalahan disebabkan karena saking cintanya kepada kita? Ingatlah kisah tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang di rumah dan menjamu para sahabat, tiba-tiba datang seseorang yang membawa makanan dari istri yang lain untuk beliau. Mengetahui hal itu, ‘Aisyah kemudian marah dan memukul tangan orang tersebut hingga makanan tumpah dan bersama dengan piringnya. Akan tetapi tatkala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak marah, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi uzur dengan berkata kepada para sahabat yang hadir,
غَارَتْ أُمُّكُمْ
“Ibu kalian sedang cemburu.”([19])
Oleh karena itu, istri yang berbuat salah karena kecemburuan adalah hal yang wajar, karena demikianlah sifat wanita yang cinta kepada suaminya. Karena istri yang tidak cemburu dapat dipastikan dia tidak cinta.
Akan tetapi perlu untuk diperhatikan bahwa meskipun hukum asal seorang laki-laki harus berlapang dada atas kesalahan istrinya yang cemburu, akan tetapi jika kecemburuan tersebut berlebihan sampai menzalimi yang lain maka hal ini tidak termasuk dalam kewajaran dan tidak diperbolehkan. Sebagaimana Hafshah yang karena saking cemburunya membongkar rahasia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada ‘Aisyah. Dan sebagaimana juga kisah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang menceritakan tentang kecemburuannya terhadap Shofiah dengan mengatakan,
حَسْبُكَ مِنْ صَفِيَّةَ كَذَا وَكَذَا، قَالَ غَيْرُ مُسَدَّدٍ: تَعْنِي قَصِيرَةً، فَقَالَ: لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Cukuplah Shofiah bagimu seperti ini dan seperti ini -yakni pendek-.” Beliau lalu bersabda, ‘Sungguh engkau telah mengatakan suatu kalimat (yang busuk), sekiranya itu dicampur dengan air laut maka ia akan dapat menjadikannya berubah’.”([20])
Hadits ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah terlalu berlebihan dalam kecemburuannya sehingga terjerumus dalam menzalimi orang lain, yaitu menggibahi Shofiah. Maka jika seorang suami mendapati situasi seperti ini, maka dia harus tegas sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika menegur ‘Aisyah. Dan juga sebagaimana kisah tentang surah ini, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menegur Hafshah yang telah berbuat kesalahan setelah ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kalau kita melihat pada kisah Mariyah, maka yang melakukan kesalahan adalah Hafshah. Akan tetapi pada penggalan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk keduanya untuk bertaubat, yaitu baik Hafshah maupun ‘Aisyah. Hal ini dikarenakan bahwa meskipun ‘Aisyah hanya menerima rahasia, seharusnya dia sebagai istri yang salehah melarang Hafshah untuk menceritakan rahasia tersebut, atau melaporkan Hafshah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi tatkala ‘Aisyah radhiallahu ‘anha hanya berdiam diri dan ikut mendengarkan rahasia yang dibongkar oleh Hafshah, maka dia juga dikatakan bersalah sehingga keduanya (Hafshah dan ‘Aisyah) diperintahkan untuk bertaubat.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِنْ تَظَاهَرَا عَلَيْهِ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ مَوْلَاهُ وَجِبْرِيلُ وَصَالِحُ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمَلَائِكَةُ بَعْدَ ذَلِكَ ظَهِيرٌ
“Dan jika kamu berdua saling bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sungguh Allah menjadi pelindungnya, dan Jibril, dan orang-orang saleh dari kaum mukminin, dan selain itu malaikat-malaikat adalah penolongnya.”
Ini menunjukkan bagaimana perhatian Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena Dia akan menjadi penolong bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika istri-istri beliau menyusahkannya. Tidak hanya itu, malaikat Jibril juga Allah Subhanahu wa ta’ala akan utus untuk membantu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian orang-orang saleh dari kaum mukminin juga akan menjadi penolong bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan sebagian ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud orang saleh dari kaum mukminin adalah Abu Bakar dan ‘Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhuma. Artinya jika sekiranya Hafshah dan ‘Aisyah menyusahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Allah akan menjadikan ayah mereka untuk menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak akan membela mereka. Dan memang benar bahwa akhirnya ‘Umar bin Khattab marah kepada Hafshah dan Abu Bakar marah kepada ‘Aisyah karena keduanya berbuat masalah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Selain dari mereka, Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan bahwa para malaikat juga akan diutus untuk menolong Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala, jika Dia telah mencintai seseorang, maka semua akan menolong orang tersebut. Sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan dalam sebuah hadits,
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ، فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ، فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ: إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ، ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ القَبُولُ فِي أَهْلِ الأَرْضِ
“Apabila Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menyeru Jibril ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia’, Maka Jibril pun mencintai orang tersebut. Lalu Jibril menyeru kepada penghuni langit (seraya berkata) ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah fulan’, maka penduduk langit pun mencintai orang tersebut hingga akhirnya ditetapkan bagi fulan untuk diterima di bumi.”([21])
Maka tidak heran ketika Allah Subhanahu wa ta’ala telah mencintai orang yang saleh, maka para malaikat akan membantu dan mendoakan orang tersebut, dan orang yang paling saleh adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
“Jika dia (Nabi) menceraikan kalian, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (QS. At-Tahrim : 5)
Perkara yang paling ditakuti oleh para wanita adalah dicerai, meskipun terkadang banyak wanita yang menantang suaminya untuk menceraikannya. Terkadang wanita yang minta untuk dicerai tidak memikirkan bagaimana penderitaan yang akan dia alami setelahnya. Maka dari itu laki-laki hendaknya tidak bermudah-mudahan dalam mencerai, dan wanita tidak bermudah-mudahan untuk meminta cerai. Jika seorang suami ditantang oleh istrinya untuk menceraikannya maka janganlah terpancing dan terprovokasi, tapi hendaknya menyadari memang wanita mereka lemah dalam hal ini, lebih mendahulukan perasaan dari pada logika dan akal sehatnya.
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan kepada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa jika sekiranya mereka terus melakukan kesalahan itu sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menceraikan mereka, maka Allah akan menggantikan mereka dengan wanita yang lebih baik daripada mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa wanita tersebut memiliki sifat yang banyak. Sifat wanita tersebut antara lain, wanita-wanita muslimah, wanita yang beriman, yang taat, yang senantiasa bertaubat, yang senantiasa beribadah kepada Allah, yang rajin berpuasa, baik dari janda atau yang gadis. Artinya sifat yang Allah sebutkan akan terkumpul pada wanita yang Allah akan berikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai ganti jika dia menceraikan istri-istri beliau.
Pada ayat ini ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (yang janda dan yang gadis/perawan), Allah Subhanahu wa ta’ala mendahulukan penyebutan janda daripada gadis. Sebagian ulama mengatakan beberapa sebab; sebab pertama bahwa hal ini dikarenakan kebanyakan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah janda, sedangkan yang gadis hanyalah ‘Aisyah radhiallahu ‘anha; sebab kedua bahwa janda terkadang lebih perhatian kepada suaminya karena telah memiliki pengalaman dalam berumah tangga, dan lebih pandai dalam melayani suaminya, berbeda dengan seorang gadis yang mungkin masih dalam tahap belajar. Tentunya ada kelebihan dan kekurangan masing-masing baik bagi janda maupun gadis, hanya saja Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini mendahulukan penyebutan janda daripada gadis([22]).
Setelah ayat ini turun, maka istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terutama ‘Aisyah radhiallahu ‘anha segera menjalankan perintah Allah Subhanahu wa ta’ala ini, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menceraikan mereka. Para ulama menjadikan kisah ini sebagai dalil bahwasanya tidak ada yang lebih baik daripada istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena jika ada yang lebih baik dari istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka pasti Allah Subhanahu wa ta’ala pilihkan wanita tersebut untuk menjadi istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menceraikan mereka, sehingga menunjukkan bahwa mereka adalah istri-istri yang sangat salehah. Dan ini menunjukkan bahwa sifat-sifat yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat ini terdapat pada diri ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma.
Selain itu, kisah ini juga menjadi dalil bahwasanya wanita yang salehah juga bisa melakukan kesalahan, baik dalam bersikap atau berkata, terutama pada hal yang berkaitan dengan kecemburuan. Maka jika sekiranya istri kita lepas kontrol karena kecemburuan, maka hal itu wajar dan bukan barometer bahwa dia tidak bertakwa. Hanya saja wanita tatkala cemburu memang seringnya lepas dari kontrol yang seharusnya. Oleh karena itu, hendaknya kita seorang suami bisa lebih sabar dalam menghadapi istri kita.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim : 6)
Ayat ini merupakan paragraf baru dalam surah ini. Namun tentunya ayat ini masih berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menjelaskan tentang bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala menegur kedua istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang melakukan kesalahan yaitu ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma. Sehingga ini menunjukkan bahwa nasihat yang disampaikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga merupakan nasihat bagi kaum mukminin secara umum, karena setelah Allah berbicara tentang keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah kemudian melanjutkan firman-Nya dengan memanggil orang-orang yang beriman.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Kata قُوا dalam penggalan ayat ini bermakna wiqayah (penghalang) antara seseorang dengan neraka, sehingga ini menegaskan agar seorang menjaga diri dan keluarganya dari api neraka. Dan hal ini merupakan dalil bahwasanya para suami (laki-laki) tidak boleh egois dan mementingkan diri sendiri. Karena dalam ayat ini Allah tidak memerintahkan untuk menjaga diri sendiri dari api neraka, akan tetapi Allah menambahkan kata وَأَهْلِيكُمْ (keluarga kalian) untuk juga dijaga dari api neraka. Maka tidak boleh kemudian seseorang suami bersikap egois dengan mengatakan “Kalau istri saya masuk neraka tidak menjadi sebuah masalah, yang penting saya masuk surga. Karena di surga akan ada bidadari yang menggantinya”. Akan tetapi wajib bagi seorang suami untuk menghalangi istri dan anak-anaknya dari neraka Jahannam.([23])
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak memerintahkan seseorang untuk menjaga diri dan keluarganya dari maksiat, akan tetapi Allah langsung memerintahkan untuk menjaga diri dan keluarga dari neraka. Sebagian ulama menjelaskan bahwa hal ini dikarenakan maksiat sudah pasti mengantarkan kepada neraka Jahannam. sehingga seseorang harus menjaga diri dan keluarganya dari maksiat yang akan mengantarkan seseorang ke neraka Jahannam.
Dalam ayat ini juga Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa sebelum seseorang mencegah orang lain dari neraka Jahannam, hendaknya dia mencegah istri dan anak-anaknya terlebih dahulu([24]). Karena bisa jadi kemaksiatan tersebut terjadi di dalam rumahnya sendiri, atau bisa jadi dia telah mendatangkan alat-alat yang mendatangkan kemungkaran di dalam rumahnya, atau bisa jadi dia telah mengajarkan anak-anaknya kemungkaran tanpa disadari. Contoh kecil adalah seorang suami istri yang sedang menonton sinetron di depan anak-anaknya, maka secara tidak langsung dia telah mengajarkan anak-anaknya untuk menonton sinetron, dan lama-kelamaan bisa bertambah parah dengan menonton bioskop. Demikianlah, terkadang seorang suami atau ayah juga bisa mengajarkan istri dan anak-anak ajaran yang bisa memasukkan mereka ke dalam neraka Jahannam. Maka dengan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa sebelum seseorang mencegah orang lain (diluar keluarganya) dari neraka Jahannam, maka perhatikanlah anak dan istri terlebih dahulu, karena jangan sampai orang lain dia selamatkan sementara istri dan anak-anak yang dicintai justru dia menjerumuskan ke dalam neraka Jahannam.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“(neraka) yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”
Setelah Allah mengingatkan untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka, Allah kemudian mengingatkan tentang bahaya neraka tersebut. Dan yang pertama Allah sebutkan tentang hal yang mengerikan dari neraka adalah bahan bakarnya yang terdiri atas manusia dan batu.
Kita sudah pasti tahu tentang bahan bakar secara umum yang di antaranya adalah kayu. Akan tetapi ternyata di dalam neraka Allah mengabarkan bahwa bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tatkala batu menjadi bahan bakar maka dia akan menjadi sangat panas, dan batu tersebut juga akan menempel pada tubuh-tubuh manusia yang masuk ke dalam neraka. Tentunya ini menambah kepedihan penghuni neraka, karena selain api yang menyerangnya, ternyata panas batu tersebut juga menempel di kulitnya, sementara batu tersebut lebih panas daripada hanya sekadar nyala api. Adapun manusia di neraka sebagai bahan bakar maksudnya adalah selain mereka dibakar, ternyata mereka juga membakar apa yang ada di sekelilingnya. Tentunya ini adalah bentuk kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
إِنَّكُمْ وَمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ حَصَبُ جَهَنَّمَ أَنْتُمْ لَهَا وَارِدُونَ
“Sungguh, kamu (orang kafir) dan apa yang kamu sembah selain Allah adalah bahan bakar Jahanam. Kamu pasti masuk ke dalamnya.” (QS. Al-Anbiya’ : 98)([25])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
“Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan pedihnya neraka Jahannam dari sisi siksaannya, ternyata Allah juga sebutkan mengerikannya neraka dari sisi penjaganya.
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa malaikat yang menjaga neraka Jahannam memiliki sifat yang keras dan kasar. Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa غِلَاظٌ (kasar) maksudnya adalah perkataan mereka kasar, sedangkan شِدَادٌ (keras) maksudnya adalah sikap mereka yang keras. Artinya adalah malaikat tersebut disifati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dengan sifat berakhlak yang buruk dan bersikap keras bagi penduduk neraka Jahannam.
Kemudian dalam ayat ini pula Allah Subhanahu wa ta’ala memuji para malaikat penjaga neraka tersebut. Di antara pujian Allah adalah bahwa mereka tidak pernah bermaksiat terhadap perintah Allah dan melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah([26]). Artinya, tatkala malaikat tersebut ditugaskan untuk menyiksa penghuni neraka Jahannam, maka tidak mungkin malaikat tersebut menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan mustahil pula penghuni neraka mampu untuk merayu atau melakukan negosiasi kepada para malaikat yang menjaga untuk memberi keringanan. Karena malaikat telah disifati oleh Allah dengan sifat pasti melakukan perintah Allah untuk menyiksa penghuni neraka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Wahai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini. Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Tahrim : 7)
Ayat ini tidak berkaitan dengan orang-orang kafir Quraisy yang masih hidup, akan tetapi ayat-ayat ini masih berkaitan dengan tentang penghuni neraka Jahannam.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ
“Wahai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan alasan pada hari ini.”
Para ulama mengatakan bahwa kelaziman dari ayat ini menunjukan bahwa orang-orang kafir kelak di neraka Jahannam akan mengemukakan uzur-uzur mereka. Mereka akan mengatakan, “Ya Allah, kami dahulu begini karena begini dan begitu, maka ampunilah kami”. Intinya mereka meminta uzur kepada Allah dengan menyebutkan uzur-uzur mereka agar Allah Subhanahu wa ta’ala mengurangi siksaan mereka dan memaafkan mereka. Akan tetapi dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala dengan tegas mengatakan kepada mereka bahwa Allah tidak akan menerima segala uzur-uzur mereka.([27])
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang telah kamu kerjakan.”
Perlu untuk kita perhatikan, bahwa perkataan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada orang kafir ini berbeda dengan perkataan Allah kepada penghuni surga. Tatkala Allah berkata kepada penghuni surga, maka Allah mengatakan,
ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Masuklah ke dalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. An-Nahl : 32)
Adapun ketika berkata kepada penghuni neraka maka Allah akan menggunakan kalimat seperti ayat ini,
إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya kamu hanya diberi balasan menurut apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Tahrim : 7)
Para ulama menyebutkan perbedaan antara perkataan Allah kepada penghuni neraka dan penghuni surga. Perbedaannya terletak pada huruf بِ yang ada pada perkataan kepada penghuni surga dan tidak adanya huruf بِ pada perkataan kepada penghuni neraka. Para ulama menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan huruf بِ pada kata بِمَا untuk penghuni surga artinya adalah amalan seseorang di dunia tidak akan sebanding dengan surga yang Allah berikan. Bagaimana mungkin bisa sebanding, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat sebelum subuh lebih baik daripada dunia dan seisinya.”([28])
Seseorang hanya shalat dua rakaat sebelum subuh, namun mungkin dikerjakan kurang dari lima menit, ternyata bisa mendapat ganjaran yang ganjaran tersebut lebih baik daripada dunia dan seisinya. Maka ini jelas menunjukkan bahwa ganjaran di surga tidak ada bandingannya dengan sedikit amalan yang dilakukan. Dan ini artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memasukkan manusia ke dalam surga dengan karunia Allah. Adapun tatkala berbicara tentang penghuni neraka Jahannam, Allah tidak menggunakan huruf ب pada kata ما. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak menambah siksaan bagi penghuni neraka Jahannam, melainkan balasan berupa siksaan tersebut sesuai dengan apa yang dikerjakan. Dan ini artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala membalas perbuatan penghuni neraka dengan keadilan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.” (QS. At-Tahrim : 8)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
“Wahai orang-orang yang beriman, Bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.”
Apa yang dimaksud dengan taubat An-Nashuha? Kata نَصُوحًا diambil dari kata نَصُح yang artinya adalah nasihat, akan tetapi kenyataannya kata نَصُح memiliki lebih banyak makna daripada hanya sekedar makna nasihat. Terdapat khilaf di kalangan para ulama tentang makna ini. Imam Al-Qurthubi menyebutkan terdapat dua puluh tiga pendapat tentang makna Taubatan Nashuha.([29]) Sebagian ulama menyebutkan bahwa Nashuha adalah sifat mubalaghah, yaitu orang yang suka menasihati maka dikatakan sebagai نَاصِح atau نَصُوْح yang artinya selalu menasihati. Sehingga makna ayat ini adalah seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk orang-orang beriman bertaubat dengan taubat yang sangat menasihati. Lalu apa yang dimaksud dengan taubat yang menasihati? Terdapat beberapa pendapat yang menjelaskannya.
- تَوْبَةٌ تَنْصَحُونَ بِهَا أَنْفُسَكُمْ : Bertaubat dengan taubat yang menasihati diri kalian sendiri.”
Bagaimana cara bertaubat dengan taubat yang menasihati diri? Yaitu dengan tidak mengulangi kembali kesalahan tersebut. Oleh karenanya sebagian salaf menafsirkan bahwa Taubatan Nashuha adalah seseorang yang tidak akan kembali mengulangi kesalahannya ketika telah bertaubat, sebagaimana air susu tatkala telah keluar dari putingnya maka tidak bisa masuk kembali. Artinya, di antara makna taubat adalah seseorang hijrah total dalam meninggalkan maksiat dan tidak kembali lagi untuk selama-lamanya.
- نَصَاحَة الثَّوْب أي خِيَاطَة : Menjahit baju yang bolong-bolong
Maksudnya adalah tatkala seseorang bertaubat maka dia kemudian memperbaiki dirinya, mulai merajut kekurangan-kekurangannya. Dan yang namanya seseorang yang bertaubat belum tentu dia bisa langsung meninggalkan secara total, akan tetapi dia mulai memperbaiki dirinya, ibarat merajut baju yang sobek tahap demi setahap hingga mencapai kesempurnaan. Artinya orang yang bertaubat dengan taubat An-Nashuha adalah orang yang senantiasa terus berjalan maju menuju Allah Subhanahu wa ta’ala.
- تَوْبَةً تَنْصَحُونَ بِهَا غَيْرَكٌمْ : Bertaubat dengan taubat yang menasihati orang lain
Artinya adalah tatkala seseorang telah bertaubat, maka dia tidak mencukupkan taubat itu untuk dirinya, melainkan dia kemudian mulai menasihati dan mengajak orang lain untuk hijrah dan bertaubat sebagaimana dirinya yang telah melakukannya.([30])
Inilah di antara beberapa makna-makna yang disebutkan oleh para ulama tentang makna Taubatan Nashuha. Akan tetapi sebagaimana telah disebutkan terdapat makna-makna yang lain sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Qurthubi, di antara maknanya adalah seseorang yang bertaubat namun dia tidak percaya diri bahwa taubatnya diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga dia berada di antara kondisi takut dan raja’ kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([31]). Intinya para ulama khilaf tentang makna ini.
Meskipun para ulama khilaf tentang makna Taubatan Nashuha, mereka telah sepakat tatkala menyebutkan syarat-syarat taubat. Di antara syarat taubat adalah apa yang telah disebutkan oleh imam An-Nawawi rahimahullah,
- Meninggalkan dosa
- Menyesali dosa yang telah diperbuat
- Bertekad untuk tidak mengulangi dosa tersebut([32])
Tatkala seseorang telah terkumpul pada dirinya tiga syarat ini, maka dia telah dikatakan bertaubat. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
النَّدَمُ تَوْبَةٌ
“Penyesalan adalah taubat.”([33])
Sebagian ulama juga ada yang berpendapat bahwa نَصُح dalam bahasa Arab maknanya juga berasal dari kata خَالِص (ikhlas) yang artinya murni. Adapun yang dimaksud taubat yang murni adalah taubat yang apabila seseorang melakukannya maka dia melakukannya karena Allah dan mengharap wajah-Nya, bukan karena takut akan kemudharatan yang berkaitan dengan badannya, harga dirinya, hartanya, dan yang lainnya([34]). Contohnya adalah jika ada seseorang yang bertaubat dari zina karena takut terkena penyakit AIDS, maka dia tidak dikatakan telah bertaubat, karena taubatnya tidak ikhlas karena Allah. Contohnya lagi adalah orang yang berhenti merokok karena mengetahui bahwa paru-parunya mulai bermasalah, maka orang seperti ini tidak dikatakan bertaubat dari rokok. Contohnya lagi orang yang berhenti dari riba karena melihat teman-temannya yang lain telah resign, dan malu terhadap orang-orang jika dia masih melakukan praktik riba, maka orang seperti ini tidak dikatakan dia bertaubat dari riba. Ini semua contoh orang-orang yang bertaubat bukan karena Allah, akan tetapi karena takut diejek oleh orang lain, atau karena berkaitan dengan kemudharatannya tubuhnya. Oleh karenanya hendaknya seseorang berhati-hati, tatkala dia bertaubat maka dia harus menjaga keikhlasannya dalam bertaubat. Jangan sampai kemudian dia memamerkan taubatnya tersebut, karena dikhawatirkan bisa merusak keikhlasan. Sementara jika seseorang bertaubat bukan semata-mata karena Allah, maka sudah pasti taubatnya tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ
“Mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu.”
Pada penggalan ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata عَسَى yang artinya “Mudah-mudahan”. Sehingga dari sini para ulama khilaf bahwa apakah taubatnya orang-orang yang beriman pasti diterima? Karena berbeda tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang taubatnya orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ
“Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu, ‘Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu’.” (QS. Al-Anfal : 38)
Dari ayat ini para ulama sepakat mengatakan bahwa ketika orang kafir bertaubat dari kekufuran mereka, maka pasti diterima dan langsung diampuni dosa mereka yang telah lalu. Sementara bagi orang-orang yang beriman, para ulama khilaf apakah taubatnya diterima atau tidak. Sebagian mengatakan bahwa taubat seseorang yang beriman tidak pasti diterima dan tidak wajib bagi Allah untuk menerima taubatnya([35]). Dasarnya adalah ayat ini, dimana Allah menggunakan kata “Mudah-mudahan”. Demikian pula dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قُلْ يَاعِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri. Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang’.” (QS. Az-Zumar : 53)
Pada ayat ini pun tidak ada pemastian bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala akan menerima taubat dan mengampuni dosa, sehingga seakan-akan orang-orang beriman status taubatnya digantung.
Maka apakah benar taubat seorang mukmin tidak pasti diterima oleh Allah? Pendapat yang benar adalah jika seseorang bertaubat dan sudah memenuhi persyaratan taubat, maka pasti taubatnya akan diterima oleh Allah Subhanahu wa ta’ala karena Allah adalah Dzat yang tidak pernah mengingkari janji([36]), sementara dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ
“Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat hamba-hamba-Nya?” (QS. At-Taubah : 104)
وَهُوَ الَّذِي يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَعْفُو عَنِ السَّيِّئَاتِ وَيَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
“Dan Dialah yang menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan kesalahan-kesalahan dan mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Asy-Syura : 25)
Dan terlalu banyak Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat-Nya التَّوَّاب (Yang Maha Penerima Taubat) dan غَفُوْر (Maha Mengampuni). Demikian pula dalam hadits-hadits, banyak sekali yang menunjukkan bahwa Allah itu Maha Menerima taubat hamba-hamba-Nya.
Lantas mengapa dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata عَسَى (mudah-mudahan)? Sebab pertama, yaitu sebagai isyarat bahwasanya mengampuni dosa seorang hamba bukanlah kewajiban Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi jika Allah mengampuni seorang hamba maka itu merupakan karunia dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebab kedua, yaitu sebagai isyarat bagi agar para hamba tidak merasa ujub dan percaya diri, dan agar seseorang senantiasa berada di antara khauf (takut) dan raja’ (berharap).([37])
Tentunya meskipun Allah menggunakan kata عَسَى, akan tetapi pasti Allah tetap akan mengampuni hamba-hamba-Nya yang bertaubat. Hanya saja yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita telah memenuhi syarat taubat? Karena Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Madarij As-Salikin menyebutkan bahwasanya seseorang yang beriman tidak bisa memastikan dirinya bahwa taubatnya pasti diterima, karena dia sendiri belum tentu bisa memastikan bahwa dia telah memenuhi syarat taubat. ([38])
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ
“Dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.”
Orang yang bertaubat kepada Allah dengan Taubatan Nashuha, maka dia akan diampuni dosanya dan dimasukkan ke dalam surga. Ini menunjukkan tentang luasnya rahmat Allah Subhanahu wa ta’ala bagi hamba-hamba-Nya.
Betapa sering seorang anak bermasalah kepada ibunya, kemudian anak tersebut meminta maaf, akan tetapi ibunya tidak memaafkan anaknya meskipun dia sangat sayang kepadanya. Dan betapa sering seorang anak harus mendapatkan marah dari orang tuanya, harus melakukan perjalanan yang panjang, bahkan harus diusir terlebih dahulu untuk bisa mendapatkan maaf dari orang tuanya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala tidak demikian, seorang hamba yang bermaksiat kepada-Nya, kemudian dia menangis meminta ampun kepada-Nya, maka pasti Allah akan terima taubatnya. Seorang hamba tidak perlu merangkai kata-kata yang indah, yang penting selama kata-kata tersebut keluar secara natural dari hatinya yang paling dalam, dan bangun di malam hari menangis kepada Allah, maka niscaya Allah akan ampuni. Ini menunjukkan bahwa Allah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih sayang kepada diri-diri kita daripada seorang ibu kepada anaknya. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak hanya sekadar mengampuni dosa hamba-hamba-Nya yang bertaubat, akan tetapi Allah memberikan balasan lebih yaitu berupa surga. Adakah manusia yang seperti itu? Yang tatkala kita meminta maaf maka akan dimaafkan dan diberi sebagian dari hartanya? Tentu tidak ada, maka siapa yang lebih baik daripada Allah Subhanahu wa ta’ala?
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ لَا يُخْزِي اللَّهُ النَّبِيَّ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ
“Pada hari ketika Allah tidak akan menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengannya.”
Nabi yang dimaksud dalam penggalan ayat ini adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada hari itu (kiamat), Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang yang beriman bersama beliau akan dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau kita membaca zahir ayat ini, yang pertama kali terbetik dalam benak kita tentang orang yang beriman bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah para sahabat, karena yang beriman bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau hidup adalah para sahabat. Oleh karenanya sebagian ulama seperti Thahir Ibnu ‘Asyur menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa para sahabat pasti akan masuk surga karena Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa orang yang beriman bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan dihinakan pada hari itu. Tentunya orang-orang beriman secara umum akan dimuliakan pada hari tersebut, dimana pada hari itu adalah hari yang Allah Subhanahu wa ta’ala banyak menghinakan manusia.([39])
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
نُورُهُمْ يَسْعَى بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَبِأَيْمَانِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu’.”
Kenapa tidak disebutkan bahwa cahaya tersebut memancar dari sebelah kiri dan belakang? Sebagian ulama menjelaskan bahwa penyebutan di depan agar orang yang beriman bisa melihat indahnya cahaya tersebut, adapun di sebelah kanan mereka agar mereka bisa mengatur cahaya tersebut sebagaimana kebiasaan manusia yang memegang sesuatu dengan tangan kanannya. Cahaya tersebut akan muncul di hadapan dan di samping kanan orang-orang beriman untuk membimbing mereka melewati sirath pada hari kiamat kelak([40]), karena pada hari itu adalah hari yang sangat gelap, sehingga barangsiapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala maka dia akan terjerumus ke dalam neraka Jahannam.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwasanya di atas neraka Jahannam diletakkan sirath (jembatan yang sangat tipis dan sangat tajam). Maka barangsiapa yang bisa melewati sirath tersebut maka dia akan masuk surga, dan yang tidak dapat melewatinya maka akan terjatuh ke dalam neraka Jahannam. Adapun orang-orang kafir yang tidak beriman maka mereka tidak akan melewati sirath , akan tetapi mereka langsung dilemparkan ke neraka Jahannam. Yang akan melewati sirath hanya dua model manusia, yaitu kaum mukminin dan orang-orang munafik yang mengaku Islam.
Sebelum manusia sampai dan melewati sirath, maka akan terjadi dzulmah (kegelapan). Dan neraka yang berada di bawah sirath itu apinya berwarna hitam karena saking panasnya, sehingga api neraka tidak menjadikan sirath terang, melainkan tetap gelap. Maka orang yang tidak memiliki cahaya pada hari itu pastinya akan mudah terjatuh ke dalam neraka Jahannam saat melintasi sirath. Adapun orang yang memiliki cahaya yang besar, maka dia akan mudah melewati sirath.
Sebelum mereka melewati sirath, kaum mukminin maupun orang-orang munafik akhirnya diberi cahaya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan orang-orang munafik sangat senang pada hari tersebut. Akan tetapi tiba-tiba cahaya orang-orang munafik tersebut diredupkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Ternyata hal itu dilihat oleh orang-orang yang beriman. Tatkala mereka melihat hal tersebut, akhirnya mereka kemudian khawatir dengan diri mereka, padahal mereka telah memegang cahaya namun mereka tetap tidak percaya diri. Maka pada hari itu orang-orang beriman berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana dalam ayat ini,
رَبَّنَا أَتْمِمْ لَنَا نُورَنَا وَاغْفِرْ لَنَا إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ya Tuhan kami, sempurnakanlah untuk kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sungguh, Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Orang-orang mukmin meminta kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar Allah tidak memadamkan cahaya yang mereka dapatkan sebagaimana orang-orang munafik([41]). Bahkan yang luar biasa adalah orang-orang mukmin pada saat genting tersebut ingat dengan dosa-dosa mereka, sehingga mereka juga meminta ampun kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka sangat menyadari bahwa dosa-dosa merekalah yang menyebabkan cahaya mereka bisa redup. Adapun mereka mengatakan “Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu”, artinya mereka meyakini bahwa pada hari itu yang berlaku hanyalah hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan Allah Subhanahu wa ta’ala. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala Mahakuasa untuk membesarkan cahaya mereka, Allah Mahakuasa untuk mengampuni dosa-dosa mereka, Allah Mahakuasa untuk memudahkan mereka melewati sirath, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu pada hari tidak ada yang memiliki kuasa selain Allah Subhanahu wa ta’ala([42]).
Sungguh ini menunjukkan bahwa tidak ada yang mudah pada hari kiamat, dan setiap tahapan demi tahapan dilalui oleh manusia dengan ketakutan, terutama pada tahapan terakhir yaitu sirath yang merupakan penentuan seseorang masuk surga atau tidak. Bahkan para Nabi tidak memiliki perkataan pada hari itu kecuali tiga kata, mereka mengatakan,
اللَّهُمَّ سَلِّمْ سَلِّمْ
“Ya Allah, selamatkanlah, selamatkanlah.”([43])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Wahai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. At-Tahrim : 9)
Berjihad (berperang) melawan orang-orang kafir adalah dengan menggunakan pedang. Akan tetapi jika tidak ada peperangan dengan pedang, dan tidak semua waktu bisa terjadi perang dengan pedang, maka saat itu berjihad melawan orang-orang kafir adalah dengan perkataan, pena, tulisan, dan dakwah. Dan peperangan melawan orang kafir ini akan terus tegak hingga hari kiamat.
Adapun jihad dengan orang-orang munafik tidak menggunakan pedang, karena telah jelas mereka adalah golongan orang yang tidak boleh dibunuh karena keislaman mereka secara dzohir. Akan tetapi yang dimaksud jihad melawan orang-orang munafik adalah dengan ilmu. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan perjuangan ilmu dengan jihad([44]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا تُطِعِ الْكَافِرِينَ وَجَاهِدْهُمْ بِهِ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (Alquran) dengan (semangat) perjuangan yang besar.” (QS. Al-Furqan : 52)
Maka dari itu, janganlah seseorang memandang bahwa yang namanya jihad hanyalah dengan pedang. Kita tidak mengatakan bahwa jihad dengan pedang itu tidak ada, jihad dengan pedang itu ada namun tidak setiap saat bisa dilakukan. Adapun jihad dengan dakwah, tulisan dan perkataan, setiap saat bisa dilakukan. Dan jihad terhadap orang-orang munafik hanyalah jihad dengan ilmu (dakwah, tulisan, dan perkataan). Adapun sebab mengapa orang-orang munafik hanya diperangi dengan ilmu adalah karena mereka seringnya membuat keonaran dalam dunia Islam, selalu ingin kehancuran bagi kaum muslimin serta membela orang-orang kafir, selalu menyebarkan syubhat dan kerancuan dalam beribadah, maka hal tersebut harus dibantah dengan ilmu, sehingga membantah mereka adalah jihad.
Kita harus mengakui bahwa jihad yang paling bermanfaat saat ini -dimana kondisi kaum muslimin lemah dan bercerai berai- adalah jihad dengan ilmu (tulisan dan dakwah). Betapa banyak orang-orang kafir yang masuk Islam di negara-negara kafir bukan dengan pedang (perang), melainkan dengan ilmu yang mereka dapatkan dari pencarian mereka tentang Islam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah, dan dikatakan (kepada kedua istri itu), ‘Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (QS. At-Tahrim : 10)
Pada ayat ini, firman Allah Subhanahu wa ta’ala memasuki paragraf baru yang berbicara tentang permisalan yang Allah buat untuk orang-orang kafir dan orang-orang yang beriman. Allah membuka paragraf baru ini dengan perumpamaan orang-orang kafir, yaitu seperti istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth ‘alaihimassalam yang keduanya kafir.
Allah mengingatkan orang-orang kafir tentang perumpamaan yang berkaitan dengan mereka, yaitu istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth ‘alaihissalam. Sesungguhnya istri Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam berada dalam pengawasan dua orang suami (hamba) yang saleh. Artinya kedua wanita tersebut berada dalam keluarga yang baik, sehingga sangat mungkin bagi kedua wanita tersebut untuk mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat dari suami-suami mereka. Akan tetapi kedua wanita tersebut berkhianat. Istri Nabi Nuh ‘alaihissalam berkhianat kepada suaminya, bahkan di antara perkataannya kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah “orang gila”. Demikian pula istri Nabi Luth ‘alaihissalam yang berkhianat dengan menunjukkan kepada kaum Nabi Luth ‘alaihissalam tentang tamu yang datang ke rumah Nabi Luth ‘alaihissalam yang berwajah tampan, dan mengajak mereka untuk melakukan homoseksual kepada tamu-tamu Nabi Luth ‘alaihissalam yang merupakan jelmaan dari para Malaikat.
Maka dengan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala ingin agar orang-orang kafir Quraisy memperhatikan bahwa mereka itu memiliki hubungan kerabat yang sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka sangat mudah mengambil kebaikan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan beliau pun siap memberikan kepada mereka kebaikan yang dapat mengantarkan mereka kepada kebaikan di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi ternyata mereka tidak mau memanfaatkan hal tersebut dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahkan mereka berkhianat dengan tidak beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana khianatnya istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth ‘alaihimassalam. Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan kepada orang-orang kafir Quraisy bahwasanya Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam tidak dapat menyelamatkan istri-istri mereka meskipun dengan hubungan kekerabatan yang sangat dekat, bahkan Allah mengatakan kepada istri-istri mereka ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ (Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)) untuk masuk ke dalam neraka bersama orang-orang kafir yang lain, karena status mereka sama sebagaimana orang kafir pada umumnya. Sehingga seharusnya orang-orang kafir Quraisy memperhatikan hal ini, bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga tidak dapat membantu mereka di akhirat sama sekali jika mereka tidak beriman kepada-Nya. ([45])
Sebagian ulama mengatakan bahwa dalam ayat ini terdapat sindiran kepada ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma yang telah melakukan kesalahan sebagaimana telah disebutkan di awal-awal surah ini, yaitu jika ‘Aisyah dan Hafshah tidak beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan melakukan pelanggaran, maka tidak bermanfaat pula status mereka sebagai istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam([46]). Oleh karena itu, penulis juga ingatkan bagi para istri bahwa jangan berharap kepada suami Anda dengan mengatakan “yang penting suami saya saleh dan rajin ibadah” atau “yang penting suami saya ustaz”. Ketahuilah bahwa meskipun suami Anda sangat saleh akan tetapi Anda sendiri tidak beriman dan penuh dengan maksiat terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tidak akan bermanfaat suami Anda sama sekali. Kalau ‘Aisyah dan Hafshah radhiallahu ‘anhuma tidak dapat ditolong oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tentu suami Anda juga tidak dapat menolong Anda di akhirat, karena hukum asalnya seseorang akan diselamatkan oleh amalnya sendiri. Adapun perkara syafaat adalah perkara belakangan, itupun jika Allah Subhanahu wa ta’ala mengizinkan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ آمَنُوا امْرَأَتَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, istri Fir‘aun, ketika dia berkata, ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim’.” (QS. At-Tahrim : 11)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang perumpamaan bagi orang-orang kafir, Allah kemudian menyebutkan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman. Perumpamaan yang pertama Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan adalah Asiah binti Muzahim, istri Fir’aun.
Ketika Asiah binti Muzahim berkata,
رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”
Terdapat dua pendapat di kalangan Ahli Tafsir tentang kata عِنْدَكَ (di sisi-Mu) dalam ayat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa maksudnya adalah Asiah binti Muzahim meminta dibangunkan istana di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Pendapat kedua mengatakan bahwa maksudnya adalah Asiah binti Muzahim meminta agar dia yang berada di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala dan bukan istana. kedua penafsiran ini tidak bertentangan sama sekali. Intinya Asiah Binti Muzahim ingin agar dia dekat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, kalau bukan dia yang dekat dengan Allah, maka setidaknya istananya yang dekat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala([47]). Lantas mengapa Asiah binti Muzahim mengatakan demikian? Para Ahli Tafsir menyebutkan bahwa sebabnya adalah dia telah diiming-imingi oleh Firáun dengan istana yang sangat megah di dunia asalkan dia kufur kepada Nabi Musa ‘alaihissalam([48]). Bagi wanita yang menginginkan dunia, kira-kira siapa yang tidak bangga memiliki suami seperti Fir’aun? Orang yang terkaya dan tergagah tatkala itu, bahkan dia adalah rajanya para raja dunia tatkala itu. Apa yang Fir’aun katakan akan dikerjakan, dan apa yang dia perintahkan maka akan dilaksanakan. Keputusan berada di tangannya, dan semua orang takut kepadanya, sampai-sampai dia merasa bahwa dirinya adalah Tuhan. Akan tetapi ternyata Asiah binti Muzahim, istri Fir’aun tersebut beriman kepada Nabi Musa ‘alaihissalam. Sehingga akhirnya dia dirayu oleh Fir’aun dengan istana yang sangat megah. Namun Asiah binti Muzahim rela meninggalkan seluruh kenikmatan dunia untuk meraih kenikmatan yang abadi di akhirat. Maka tatkala itulah dia berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala,
رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu sebuah rumah dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.”
Sebagian pendapat menyebutkan bahwa Asiah Binti Muzahim menyebutkan perkataan ini tatkala dia mempertahankan keimanannya saat disiksa oleh Fir’aun. Disebutkan bahwa Asiah binti Muzahim disiksa dengan diikatkan tali pada tangan dan kakinya, lalu tali-tali tersebut ditarik ke semua sisi sehingga tangan dan kakinya meregang. Maka tatkala ruh akan dicabut oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka dia mengucapkan doa tersebut, sehingga Allah menyelamatkannya([49]). Sebagian pendapat yang lain menyebutkan bahwa Asiah disiksa dengan dilemparkan ke dalam minyak yang sangat panas, lalu saat itulah dia mengucapkan doa tersebut.
Intinya Asiah binti Muzahim adalah contoh seorang mukminah yang meninggalkan dunia karena Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga Allah menggantikan baginya berupa istana di surga.
Perhatikanlah, pada ayat sebelumnya Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan dua Nabi yang istri mereka kafir, akan tetapi dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala bercerita tentang Fir’aun yang istrinya mukmin. Subhanallah, ini menunjukkan bahwa hidayah di tangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Lihatlah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalam, tentunya mereka sayang kepada istri-istri mereka, dan tentunya mereka juga mendakwahi istri-istri mereka, akan tetapi ternyata kedua-duanya tidak beriman sementara sebab hidayah sudah sangat luar biasa. Sebaliknya Asiah binti Muzahim istri Fir’aun, yang sebab kerusakan dan kesesatan serta kekufuran berada di sekitarnya, akan tetapi ternyata dia beriman ditengah-tengah kekufuran. Oleh karenanya dari sini kita tahu bahwa hidayah itu mahal. Kalau kita merasa telah mendapatkan hidayah, maka perbanyak syukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena tidak semua orang diberikan hidayah oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
“Dan Maryam putri Imran yang memelihara (menjaga) kemaluannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat-kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang-orang yang taat.” (QS. At-Tahrim : 12)
Perumpamaan kedua bagi orang-orang beriman yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan adalah Maryam binti Imran. Sebagian ulama seperti Al-Alusi dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Maryam binti Imran yang tidak bersuami ini merupakan model ketiga dari perumpamaan yang Allah sebutkan dalam surah ini sebagai hiburan bagi sebagian para wanita yang tidak memiliki suami. Ayat ini menjadi hiburan bahwasanya mereka wanita-wanita yang tidak bersuami juga bisa menjadi wanita-wanita yang salehah dan mulia di sisi Allah. Demikian juga hiburan bagi para janda yang ditinggal oleh suami-suami mereka, baik karena cerai ataupun karena ditinggal mati, bahwa tanpa seorang suami pun mereka juga dapat menjadi wanita yang salehah.([50])
Di antara keistimewaan Maryam adalah apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala sering ulang-ulang dalam beberapa ayat, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentangnya,
الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا
“Yang memelihara (menjaga) kemaluannya.” (QS. Al-Anbiya’ : 91)
Maryam dikenal sebagai wanita yang selalu menjauh dari laki-laki yang tidak halal baginya. Lihatlah bagaimana kisah tatkala Maryam didatangi oleh Jibril ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا، فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا، قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيًّا، قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا، قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا، قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ آيَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِنَّا وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (Muhammad) kisah Maryam di dalam Kitab (Alquran), ketika dia mengasingkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (Baitul Maqdis), lalu dia memasang tabir (yang melindunginya) dari mereka. Lalu Kami mengutus ruh Kami (Jibril) kepadanya, maka dia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. Dia (Maryam) berkata, ‘Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa’. Jibril berkata, ‘Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu, untuk menyampaikan anugerah kepadamu seorang anak laki-laki yang suci’. Dia Maryam berkata, ‘Bagaimana mungkin aku mempunyai anak laki-laki, padahal tidak pernah ada orang (laki-laki) yang menyentuhku dan aku bukan seorang pezina’. Jibril berkata, ‘Demikianlah Tuhanmu berfirman: Hal itu mudah bagi-Ku, dan agar Kami menjadikannya suatu tanda (kebesaran Allah) bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami, dan hal itu adalah suatu urusan yang (sudah) diputuskan’.” (QS. Maryam : 16-21)
Ketika Maryam sedang beribadah kepada Allah, ternyata Allah mengirim Jibril dengan menjelma sebagai laki-laki yang sangat tampan. Tatkala Maryam melihat malaikat Jibril, dan dia tidak tahu bahwa laki-laki yang dia lihat adalah Jibril, maka Maryam takut dan langsung berlindung kepada Allah agar dia diselamatkan dari laki-laki tersebut. Tidak seperti sebagian wanita zaman sekarang yang ketika bertemu laki-laki yang tidak halal baginya, justru dia yang memulai pembicaraan dengan bertanya kepada laki-laki tersebut. Bahkan ada sebagian wanita yang justru lebih dahulu menggoda laki-laki, sampai-sampai laki-laki tersebut tertunduk malu. Wahai para wanita, jika Anda ingin masuk surga dan menjadi wanita salehah, jagalah kemaluan Anda dan jangan sembarang berbicara dengan laki-laki lain, apa lagi sampai menjalin hubungan yang tidak jelas terhadap laki-laki yang tidak halal bagi Anda. Ingatlah bahwa sekarang zaman fitnah, semua orang bisa bernostalgia dengan masa lalunya dan betapa sering fitnah sering bermula dari hal tersebut. Bahkan di zaman sekarang semua orang bisa menjalin hubungan yang haram dengan mudah dan tanpa ketahuan orang lain. Maka dari itu hendaknya seorang wanita berhati-hati terhadap hal-hal yang bisa menimbulkan fitnah baginya seperti media sosial, dan jangan menjalin hubungan dengan laki-laki manapun yang tidak halal baginya baik di dunia maya (media sosial) maupun di dunia nyata.
Asiah binti Muzahim dan Maryam binti Imran adalah dua wanita spesial yang Allah jadikan perumpamaan bagi orang-orang beriman. Dan dalam Shahih Al-Bukhari disebutkan, dari Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كَمَلَ مِنَ الرِّجَالِ كَثِيرٌ، وَلَمْ يَكْمُلْ مِنَ النِّسَاءِ: إِلَّا آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ، وَمَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ، وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
“Manusia (laki-laki) yang sempurna dari kalangan laki-laki banyak, dan tidak banyak manusia yang sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiah istrinya Fir’aun dan Maryam binti Imran. Dan keistimewaan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha dibandingkan wanita-wanita lain adalah bagaikan keistimewaan makanan tsarid([51]) terhadap makanan yang lain.”([52])
Pada hadits ini juga terdapat keutamaan ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu dibandingkan wanita yang lain, yaitu ibarat makanan Tsarid. Para ulama mengatakan bahwa Tsarid merupakan makanan yang mencampurkan antara kelezatan dan gizi, serta mudah untuk ditelan dan dicerna. Demikianlah perumpamaan akan keutamaan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, artinya dia adalah wanita yang salehah, cerdas, mudah diajak berbicara dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mampu berbicara dengan baik, sehingga sangat dicintai oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.([53])
________________________________________________________________
([1]) Lihat Tafsir Al Qurthuby 18/177.
([2]) Lihat At Tahrir wa At Tanwir 28/343.
([4]) HR Al-Bukhari no 6972 dan Muslim no 1474
([6]) HR. Ahmad no. 13424 disahihkan oleh Syeikh Al-Albany.
([7]) Lihat At Tahrir wa At Tanwir 28/344.
([8]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/159; Al Mukhtaroh karya Dhiya’ Al-Maqdisi no.189.
([10]) Tafsir Ibnu Katsir 8/159
([11]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/158.
([12]) At Tahrir wa At Tanwir 28/344.
([13]) Lihat At-Tahrir wa At- Tanwir 28/347.
([14]) HR. At -Tirmidzi no. 3895 disahihkan oleh Syeikh Al-Albany.
([15]) HR. At-Tirmidzi no. 1949 disahihkan oleh Syeikh Al-Albany.
([17]) Lihat Fathul Baari 6/400
([18]) Lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Baari 9/325
([20]) HR. Abu Daud no. 4875 disahihkan oleh Syeikh Al-Albany
([22]) Lihat At-Tahrir wa At Tanwir 28/362.
([23]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/194
([24]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/195
([25]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/365
([26]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/196
([27]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/197
([29]) Tafsir Al-Qurthubiy 18/197
([30]) Tafsir Al-Qurthubiy 18/198
([31]) Tafsir Al-Qurthubiy 18/197
([32]) Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 17/59
([33]) HR. Ibnu Majah no. 4252
([34]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/368
([35]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/369
([36]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/369
([37]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/369
([38]) Madarijus Salikin Li Ibnu Al-Qayyim 1/316
([39]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/370
([40]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/371
([41]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/201
([42]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/371
([44]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/201
([45]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/202
([46]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/374
([47]) Lihat: Tafsir Al-Alusiy 14/357
([48]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/377
([49]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/203
([50]) Tafsir Al-Alusiy 14/358
([51]) Tsarid merupakan makanan favorit di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tsarid merupakan makanan yang terbuat dari daging berkuah yang kemudian dicampur dengan roti