Tafsir Surah Al-Mumtahanah
Surah Al-Mumtahanah adalah surah Madaniyyah([1]), dan surah ini memiliki nama-nama yang banyak, di antara nama-namanya adalah:
Pertama: al-mumtahinah (dengan mengkasrah huruf ha) yang artinya “penguji”. Dinamakan demikian karena dalam surah ini terdapat ayat yang menjelaskan tentang ujian kepada wanita-wanita yang berhijrah dari Makkah ke Madinah, yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepada kalian, maka hendaklah kalian uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kalian telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagi kalian menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kalian minta kembali mahar yang telah kalian berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 10)
Yang kemudian para ulama menjelaskan bahwa ayat tersebut adalah ayat ujian «الْمُمْتَحِنَة» yang kemudian surah ini dinamakan dengannya.
Kedua: sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Hajar mengatakan bahwa yang masyhur adalah surah al-mumtahanah (dengan memfathah huruf ha) yang artinya “wanita yang diuji”, yang maksudnya adalah wanita yang diuji tentang keimanannya.
Ketiga: disebutkan dalam kitab Al-Itqan bahwasanya surah tersebut juga dinamakan dengan surah al-imtihan dan surah al-mawaddah. ([2])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia sehingga kalian sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepada kalian. Mereka mengusir Rasul dan kalian sendiri karena kalian beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kalian benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kalian memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang, dan Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian tampakkan. Dan barang siapa di antara kalian yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Sebab turunnya ayat ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abu Thalib, ia berkata:
بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَالزُّبَيْرَ وَالْمِقْدَادَ فَقَالَ: (ائْتُوا رَوْضَةَ خَاخٍ فَإِنَّ بِهَا ظَعِينَةً مَعَهَا كِتَابٌ فَخُذُوهُ مِنْهَا) فَانْطَلَقْنَا تَعَادَى بِنَا خَيْلُنَا، فَإِذَا نَحْنُ بِالْمَرْأَةِ، فَقُلْنَا: أَخْرِجِي الْكِتَابَ، فَقَالَتْ: مَا مَعِي كِتَابٌ. فَقُلْنَا: لَتُخْرِجِنَّ الْكِتَابَ أَوْ لَتُلْقِيَنَّ الثِّيَابَ، فَأَخْرَجَتْهُ مِنْ عِقَاصِهَا. فَأَتَيْنَا بِهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا فِيهِ: مِنْ حَاطِبِ بْنِ أَبِي بَلْتَعَةَ … إِلَى نَاسٍ مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ يُخْبِرُهُمْ بِبَعْضِ أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (يَا حَاطِبُ مَا هَذَا؟ قَالَ لَا تَعْجَلْ عَلَيَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي كُنْتُ امْرَأً مُلْصَقًا فِي قُرَيْشٍ قَالَ سُفْيَانُ: كَانَ حَلِيفًا لَهُمْ، وَلَمْ يَكُنْ مِنْ أَنْفُسِهَا وَكَانَ مِمَّنْ كَانَ مَعَكَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ لَهُمْ قَرَابَاتٌ يَحْمُونَ بِهَا أَهْلِيهِمْ، فَأَحْبَبْتُ إِذْ فَاتَنِي ذَلِكَ مِنَ النَّسَبِ فِيهِمْ أَنْ أَتَّخِذَ فِيهِمْ يَدًا يَحْمُونَ بِهَا قَرَابَتِي، وَلَمْ أَفْعَلْهُ كُفْرًا وَلَا ارْتِدَادًا عَنْ دِينِي، وَلَا رِضًا بِالْكُفْرِ بَعْدَ الْإِسْلَامِ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (صَدَقَ). فَقَالَ عُمَرُ: دَعْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ أَضْرِبْ عُنُقَ هَذَا الْمُنَافِقِ. فَقَالَ: (إِنَّهُ قَدْ شَهِدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ) فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِياءَ. قِيلَ: اسْمُ الْمَرْأَةِ سَارَّةُ مِنْ مَوَالِي قُرَيْشٍ. وَكَانَ فِي الْكِتَابِ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ تَوَجَّهَ إِلَيْكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ، وَأُقْسِمُ بِاللَّهِ لَوْ لَمْ يَسِرْ إِلَيْكُمْ إِلَّا وَحْدَهُ لَأَظْفَرَهُ اللَّهُ بِكُمْ، وَأَنْجَزَ لَهُ مَوْعِدَهُ فِيكُمْ، فَإِنَّ اللَّهَ وَلِيُّهُ وَنَاصِرُهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus kami yaitu aku, Az-Zubair, dan Al-Miqdad, beliau berkata, “Datangilah Raudhata Khokh([3]), di sana ada seorang wanita yang membawa sebuah surat maka ambillah surat tersebut darinya”. Ali berkata: kami pun berangkat menunggangi kuda, tiba-tiba kami bertemu wanita tersebut, kami pun berkata: ‘Keluarkan surat!”, wanita tersebut menjawab, ‘Tidak ada surat bersamaku’. Maka kami pun berkata: “Hendaknya kamu keluarkan surat tersebut atau kami akan menelanjangimu!”. Maka dia pun mengeluarkan dari kepangannya. Lalu kami membawa surat tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ternyata itu surat dari Hatib bin Abi Balta’ah yang di dalamnya ditujukan kepada kaum musyrikin penduduk Makkah bahwa dia memberikan kabar kepada mereka rencana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Hatib, “Wahai Hatib! Apa ini?”([4]) Dia pun menjawab: janganlah engkau tergesa-gesa dalam menilaiku wahai Rasulullah, aku dahulu adalah orang yang bukan dari Quraisy namun aku tinggal bersama mereka seakan-akan aku satu suku dengan mereka([5]), berbeda dengan orang-orang muhajirin yang bersamamu yang mereka memiliki kerabat-kerabat yang melindungi keluarga mereka, dan ketika aku tidak memiliki nasab dari mereka aku menyukai untuk membantu mereka agar mereka melindungi kerabatku, dan aku tidak melakukannya karena kekufuran atau murtad dari agamaku, dan bukan juga karena ridha dengan kekufuran”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Dia benar”, maka ‘Umar berkata, “Wahai Rasulullah biarkan aku memenggal kepala orang munafik ini”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya dia (Hatib) pernah ikut perang Badar, tidakkah engkau tahu, bisa jadi Allah subhanahu wa ta’ala telah melihat para peserta perang Badar dan berfirman: lakukanlah apa yang kalian kehendaki sungguh aku telah mengampuni dosa-dosa kalian”. Maka turunkan ayat {Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia}.” ([6])
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ‘Umar menangis setelah mendengar jawaban Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang peserta perang Badar([7]). Di sini yang perlu kita perhatikan bahwa Hatib bin Abi Balta’ah diampuni dosa-dosanya karena dia pernang mengikuti perang Badar, padahal perang Badar terjadi pada tahun 2 H sedangkan fathu Makkah terjadi pada tahun 8 H, jadi 6 tahun setelah perang Badar dia melakukan dosa besar yaitu dia membongkar rahasia kaum muslimin kepada orang musyrikin namun dosa-dosanya diampuni oleh Allah subhanahu wa ta’ala, hal ini dikarenakan pahala yang pernah dia lakukan pada perang Badar sangat istimewa sehingga meleburkan dosa-dosa yang ia lakukan setelah perang Badr. Orang yang pernah ikut perang Badar maka akan di nisbatkan kepada dia menjadi al-Badry, berbeda dengan perang yang lain tidak ada nisbat perang tersebut kepada pesertanya seperti perang Uhud maka tidak ada nisbat uhudy kepada pesertanya, begitu juga perang khondaq tidak ada nisbat khondaqy kepada pesertanya, begitu juga perang khoibar tidak ada nisbat khoibary kepada pesertanya, dan juga perang-perang yang lainnya. Hal ini dikarenakan perang Badar adalah perang yang sangat istimewa yang disebut juga dengan yaumul furqon (hari pembeda), perang pertama yang besar antara kaum muslimin dengan orang-orang musyrik maka peserta perang Badar adalah orang-orang yang istimewa di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya di antara aqidah ahlus sunnah adalah terdapat hal-hal yang bisa menghapuskan dosa-dosa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyebutkan sekitar 10 sebab dihapuskannya dosa-dosa, salah satunya adalah tobat([8]), namun terhapusnya dosa-dosa bukan hanya tobat saja akan tetapi ada sebab-sebab yang lain di antaranya yaitu الْحَسَنَاتُ الْمَاحِيَةُ amalan-amalan saleh yang bisa menghapuskan dosa-dosa, maka semakin banyak orang melakukan amalan saleh maka itu bisa saja menghapuskan dosa-dosa meskipun tanpa tobat, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan
{وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِنَ اللَّيْلِ إنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ}
“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.” QS. Hud: 114
Dan juga sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan,
«مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ، وَلَمْ يَفْسُقْ، رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ»
“Siapa yang haji dan tidak berkata kotor dan berbuat fasik, maka akan kembali seperti hari dilahirkan dari ibunya.” ([9])
Dan banyak hadits-hadits lainnya yang menjelaskan bahwa amalan saleh bisa menghapuskan dosa walaupun dia tidak bertobat, hal ini dikarenakan tobat adalah sebab dihapuskanya dosa maka begitu juga amalan saleh adalah sebab dihapusnya dosa. Oleh karenanya para ulama mengibaratkan amalan saleh seperti air dan mengibaratkan dosa seperti najis, kalau seandainya air sangat banyak maka najis tersebut tidak akan mempengaruhi kesucian air, sebagaimana yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
«إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ»
“jika air sudah mencapai 2 qullah (volume yang banyak sekitar 200 liter) maka tidak akan membawa najis.” ([10])
Maksudnya jika ada najis yang datang sedikit-sedikit maka akan tidak mempengaruhi kesucian air yang banyak. Maka bisa kita bayangkan, Hatib bin Abi Balta’ah telah melakukan dosa besar, akan tetapi karena agungnya amal saleh dalam perang Badar, maka doa tersebut tidak dianggap oleh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan para peserta perang Badar dijamin surga, karena dalam riwayat di atas disebutkan firman Allah subhanahu wa ta’ala اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ “lakukanlah apa yang kalian kehendaki sungguh aku telah mengampuni dosa-dosa kalian”, mendengar pernyataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut ‘Umar pun menangis, para ulama mengatakan bahwa ‘Umar menangis karena dia juga ikut perang Badar maka dia pun berharap mendapatkan kemuliaan dari perang Badar, apabila Hatib yang telah melakukan dosa besar saja dimaafkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, maka apalagi Umar, tentu ia lebih berhadap diampuni oleh Allah.
Dalam ayat pertama ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan “wahai orang-orang yang beriman” dan ayat ini turun untuk menegur Hatib bin Abi Balta’ah karena dia telah melakukan dosa besar akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala masih menamakannya sebagai orang yang beriman, dan Hatib bahagia dengan teguran ini karena Allah subhanahu wa ta’ala masih menamakannya sebagai orang yang beriman. ([11])
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
“Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai teman-teman setia”
Tidak pantas orang-orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala membantu orang-orang yang kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, bukan sekedar kafir akan tapi musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala, bahkan mereka juga musuh-musuh kalian. Dan dalam ayat ini juga Allah subhanahu wa ta’ala menegur orang-orang beriman untuk menjadikan musuh-musuh Allah dan musuh-musuh orang-orang yang beriman sebagai teman dekat dengan memberikan berita-berita kepada mereka karena rasa cinta kepada mereka. Sebagian Ulama seperti Thahir bin ‘Asyur mengatakan تُلْقُونَ berasal dari kata الْإِلْقَاءُ yaitu melempar, maksudnya isyarat bahwasanya jangan kalian melempar berita kepada orang-orang kafir musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala yang kalian tidak renungkan apa dampak buruk seandainya kabar tersebut diketahui oleh mereka([12]), oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan istilah تُلْقُونَ (melemparkan) yaitu mereka mengucapkan, mengutarakan, atau menulis tanpa direnungkan terlebih dahulu dampak akibat yang buruk, yang hal tersebut hanya dilakukan sekedar karena rasa cinta kepada mereka.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ
“padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepada kalian. Mereka mengusir Rasul dan kalian”
Dan bagaimana mungkin kalian bisa memberikan berita kepada mereka sementara mereka telah mengingkari kepada ayat-ayat yang telah Aku turunkan yang datang kepada kalian berupa kebenaran dan semuanya mereka ingkari. Bahkan lebih dari itu, Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ “Mereka mengusir Rasul dan kalian”, dan يُخْرِجُونَ i’rabnya adalah sebagai jumlah haaliyah dari dhomir yang berada dalam kata كَفَرُوا yaitu wawul jama’ah, yaitu mereka telah kafir kepada kebenaran yang turun kepada kalian bahkan bukan hanya sebatas kafir saja namun mereka juga mengusir utusan-Ku yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga kalian. Dan sebagian ulama mengatakan bahwa يُخْرِجُونَ “pengusiran” tersebut menggunakan fi’il mudhari’ agar nampak seakan-akan pengusiran tersebut masih hangat padahal sudah terjadi 8 tahun yang lalu namun Allah subhanahu wa ta’ala tidak menggunakan fi’il madhi dengan mengatakan أَخْرَجُوْا الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ (telah mengusir Rasul dan kalian) akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan fi’l mudhari’ (kata kerja untuk menunjukkan waktu yang sedang terjadi) yang fungsinya dikatakan oleh para ulama agar perkara tersebut hadir kembali diingatan orang-orang yang beriman bahwasanya orang-orang kafir yang mereka bantu adalah orang-orang yang sangat jahat dan jangan sampai perkara tersebut dilupakan([13]) yaitu mereka telah kafir, mencoba membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengusir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kalian dan juga mereka pernah mencoba membunuh kalian maka bagaimana mungkin tiba-tiba kalian memberikan sebuah berita kepada mereka yang dapat membehayakan kaum muslimin ?!.
Kemudian friman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ
“karena kalian beriman kepada Allah, Tuhanmu.”
Dalam firman-Nya ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kaum muslimin sebab mereka diusir, tidak ada sebab lain kecuali karena kalian beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala([14]). Dan demikian yang sekarang terjadi di mana-mana jika ada orang-orang Islam dimusuhi tidak ada sebab yang lain melainkan karena mereka beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana yang Allah firmankan dalam ayat lain,
وَمَا نَقَمُوا مِنْهُمْ إِلَّا أَنْ يُؤْمِنُوا بِاللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji” al-Buruj: 8
Dan inilah sebab utama kaum muslimin disiksa dan diusir, adapun alasan penyebutan kaum muslimin dengan teroris atau radikal maka itu hanya sekedar bumbu-bumbu yang mereka berikan. Inti sebenarnya adalah karena kaum muslimin beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan karena mereka bertauhid, sementara mereka yang lain adalah musyrikin, itu saja sebabnya. Oleh karenanya kita dapati mengapa kaum muslimin dimusuhi di Cina atau Amerika tidak lain dikarenakan mereka beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dan penulis pernah suatu saat ketika ditelepon oleh kawan di Amerika tiba-tiba ada orang datang lalu menembak orang Islam tanpa sebab, dan juga seperti kejadian kemarin di Selandia Baru ketika kaum muslimin sedang shalat lalu mereka ditembaki tanpa sebab. Kaum muslimin tidak mengganggu orang atau membunuh orang, dan mereka sibuk beribadah bahkan mereka berakhlak mulia, dan mereka ditembaki di Masjid hanya karena mereka bertauhid, itu intinya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki masalah di Makkah, beliau tidak mengganggu mereka, tidak mengambil harta mereka, dan beliau hanya mengingatkan kaum Quraisy agar mereka tidak berbuat syirik. Sehingga dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman bahwa mereka diusir karena beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan mereka orang-orang-orang yang mengusir kalian adalah musuh-musuh Allah, maka apakah pantas bagi orang yang beriman untuk menjadikan musuh-musuh Allah sebagai wali-wali orang-orang yang beriman?
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي تُسِرُّونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
“Jika kalian benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kalian memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang”
Dalam firman-Nya ini Allah subhanahu wa ta’ala memberikan syarat, bahwasanya jika kalian selama ini berjihad karena-Ku dan mengharapkan keridhoan-Ku, lalu apakah pantas jika kalian selama ini berjihad karena-Ku dan mengharapkan keridhoan-Ku lantas kalian menjadikan musuh-musuh-Ku sebagai wali-wali kalian([15])? Kemudian kalian berbisik-bisik menyampaikan berita karena rasa cinta kepada mereka.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ وَمَنْ يَفْعَلْهُ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
“dan Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian tampakkan Dan barang siapa di antara kalian yang melakukannya, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”
Bagaimana mungkin kalian bisa berbisik-bisik dengan menulis surat atau berbisik-bisik kepada mereka menyebarkan rahasia padahal kalian mengetahui bahwa Aku mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian tampakkan, maka bisik-bisik tersebut tidak ada faedahnya. Seakan-akan dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Wahai Hatib apakah kau ragu jika kau menulis surat secara sembunyi-sembunyi bahwa hal tersebut tidak akan diketahui? padahal Aku maha mengetahui apa yang kau sembunyikan dan yang kau tampakkan dan keduanya tidak ada bedanya bagi-Ku”. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman وَأَنَا أَعْلَمُ بِمَا أَخْفَيْتُمْ وَمَا أَعْلَنْتُمْ “dan Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian tampakkan”, mengapa Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan “yang kalian tampakkan”, bukankah jika Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui yang disembunyikan maka yang ditampakkan akan jelas lebih tahu?. Para ulama menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan “dan Aku lebih mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian tampakkan” karena yang disembunyikan dan yang ditampakkan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala sama tidak ada bedanya([16]), jika kalian berbicara dengan bisik-bisik maupun dengan jelas maka keduanya bagi Allah subhanahu wa ta’ala sama karena Allah subhanahu wa ta’ala maha tahu. Maka yang melakukan hal tersebut dia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Al-Qurthubi berkata,
وَهَذَا كُلُّهُ مُعَاتَبَةٌ لِحَاطِبٍ. وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى فَضْلِهِ وَكَرَامَتِهِ وَنَصِيحَتِهِ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصِدْقِ إِيمَانِهِ، فَإِنَّ الْمُعَاتَبَةَ لَا تَكُونُ إِلَّا مِنْ مُحِبٍّ لِحَبِيبِهِ
“ini semuanya adalah teguran untuk Hatib, dan ini menunjukkan akan keutamaannya, kemuliannya, nasehat untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kebenaran imannya. Karena teguran tidaklah datang kecuali dari orang yang mencintai kepada yang dicintainya.” ([17])
Hal ini dikarenakan seandainya Hatib bukanlah siapa-siapa di sisi Allah subhanahu wa ta’ala maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menegurnya dengan ayat-ayat yang panjang ini dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan peduli dengannya, dan tatkala Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan tujuh ayat tentang Hatib maka menunjukkan bahwasanya dia adalah orang yang mulia, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menurunkan tujuh ayat untuk menegur Hatib bin Abi Balta’ah. Dari kisah ini kita harus selalu berpikiran positif jika ada orang yang menegur kita, karena ini menunjukkan bahwasanya orang yang menegur adalah orang yang sayang kepada kita. Dan ini juga seperti suami yang menegur istrinya ini menunjukkan bahwa dia sayang kepada istrinya, karena jika dia tidak sayang maka dia tidak akan peduli dan tak acuh terhadap segala apa yang dilakukannya, maka jika ada seseorang menegur anak atau istrinya ini menunjukkan rasa sayang dan rasa pedulinyanya terhadap anak dan istrinya walaupun mungkin terkadang cara menegurnya kurang bagus.
Surah Al-Mumtahanah ini fokus membahas tentang diharamkannya berloyal kepada orang-orang kafir, menolong mereka, atau mencintai mereka karena agama mereka, maka ini tidak diperbolehkan. Oleh karenanya banyak ayat-ayat yang menjelaskan seperti ayat ini,
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ ۖ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً ۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ ۗ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kalian terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(kalian).” QS. Ali Imran: 28
Dan firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaan kalian orang-orang yang, di luar kalangan kalian (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagi kalian. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kalian. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepada kalian ayat-ayat (Kami), jika kalian memahaminya.” QS. Ali Imran: 118
Dan firman-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(kalian); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” QS. Al-Maidah:51
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ}
“Jika mereka menangkap kalian, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagi kalian lalu melepaskan tangan dan lidahnya kepada kalian untuk menyakiti dan mereka ingin agar kalian (kembali) kafir.” (QS. Al-Mumtahanah: 2)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan tegurannya kepada Hatib, bahwa jika mereka orang-orang kafir Quraisy di Makkah yang kau bantu wahai Hatib tersebut ternyata menangkap kalian kaum mukminin setelah kalian bantu mereka, kemudian terjadi peperangan kemudian mereka menawan kalian apakah mereka akan menjadi sahabat? Tidak, akan tetapi mereka akan menjadi musuh bagi kalian yang memerangi kalian, bahkan bukan hanya sampai di situ, mereka juga akan membentangkan tangan mereka untuk membunuh kalian dan mereka juga akan melepaskan lisan mereka untuk mencaci kalian, juga bahkan mereka berangan-angan agar kalian kafir. Jadi seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala menegur Hatib dan yang semisalnya: “percuma kalian membantu mereka, apakah kalian dengan membantu mereka kemudian mereka menjadi beriman atau kawan dikemudian hari? Maka jawabannya: tidak. Dan jika mereka memiliki kesempatan atas kalian setelah dibantu oleh kalian maka mereka akan berbuat sesuatu yang buruk atas kalian, mereka akan membunuh kalian, mereka akan memukul kalian, mereka akan memenjarakan kalian, mereka akan mencaci maki kalian, dan segala keburukan yang bisa mereka lakukan pasti mereka akan lakukan. Oleh karenanya tidak perlu kalian membantu musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-Alusi rahimahullah ta’ala berkata mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ “dan mereka ingin agar kalian (kembali) kafir”, bahwasanya orang-orang kafir ingin mengumpulkan 2 kemudaratan: kemudaratan duniawi dan kemudaratan ukhrawi kepada kalian ([18]), mereka ingin kalian kafir seperti mereka dan mereka ingin membunuh, menghantam, dan mencaci maki kalian, maka terkumpul di dalamnya 2 kemudaratan karena mereka dendam kepada kalian. Dan ini tidak semudah apa yang dibayangkan Hatib, apakah dengan dia membantu mereka maka perkaranya akan selesai dan mereka akan menjadi baik? Tidak, ini adalah dendam yang berkepanjangan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur kesyirikan mereka, menjelaskan kesesatan nenek moyang leluhur mereka, dan mencaci maki tuhan-tuhan mereka, dan mereka tidak akan lupa begitu saja dengan diberi surat lalu urusannya selesai. Jadi dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya jika mereka berhasil menangkap kalian maka mereka akan memukuli kalian, membunuh kalian, mencaci maki kalian, dan bahkan mereka berharap kalian kafir dan sebelum kalian ditangkap pun mereka sudah mengharapkan agar kalian kafir([19]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ}
“Kaum kerabat kalian dan anak-anak kalian tidak akan bermanfaat bagi kalian pada hari Kiamat. Dia akan memisahkan antara kalian. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Mumtahanah: 3)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Hatib ingin menolong kerabat-kerabatnya, menolong ibunya, saudara-saudaranya, dan sekutu-sekutunya yang musyrik maka Allah subhanahu wa ta’ala jelaskan bahwasanya semua itu percuma saja karena rahim-rahim kalian, ibu kalian, anak-anak kalian, dan saudara-saudara kalian tidak akan bermanfaat bagi kalian jika mereka kafir pada hari kiamat kelak([20]), disebutkan alasannya dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ “Dia akan memisahkan antara kalian” dan dalam sebagian qiraah dibaca dengan يُفَصِّلُ بَيْنَكُمْ dan dalam sebagian qiraah yang lain يُفْصَلُ بَيْنَكُمْ dan dalam sebagian qiraah yang lain يُفَصَّلُ بَيْنَكُمْ ([21]),yang intinya Allah subhanahu wa ta’ala akan memisahkan kalian kelak pada hari kiamat. Mereka tidak akan menolong kalian dan mereka akan terpisah pada hari yang sangat mengerikan dimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ اَخِيْهِۙ وَاُمِّه وَاَبِيْهِۙ وَصَاحِبَتِه وَبَنِيْهِۗ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَىِٕذٍ شَأْنٌ يُّغْنِيْهِۗ
“pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” QS. ‘Abasa: 34-37
Jadi percuma kalau kalian menolong mereka jika mereka kafir, tidak ada manfaatnya sama sekali. Sehingga di dunia tidak ada manfaatnya dan di akhirat juga tidak ada manfaatnya. Dan ini semua adalah teguran agar bisa dipikirkan oleh Hatib bin Abi Balta’ah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ}
“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja,” kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya, ”Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagi kalian, namun aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadap kalian.” (Ibrahim berkata), “Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkau kami bertawakal dan hanya kepada Engkau kami bertobat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Dalam ayat ini memberikan contoh dengan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam agar Hatib bisa mencontohinya, yang di antara contoh keteladanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dia berlepas diri daripada kesyirikan dan pelakunya([22]), bahkan secara terang-terangan mengatakan kepada kaumnya mereka telah berbuat syirik walaupun di antara kaumnya ada ayahnya namun tidak ia pedulikan. Dan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dikenal oleh semua orang, orang-orang Yahudi mereka mengenal Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dan mengaku-ngaku bahwasanya mereka adalah keturunannya, orang-orang nasrani juga demikian, mereka mengenal Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, semua Bani Israil adalah keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, demikian juga orang Quraisy semuanya keturunan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam karena orang Quraisy semuanya keturunan Isma’il bin Ibrahim. Jadi semua tokoh-tokoh terkenal kaum Quraisy adalah keturunan nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim sangat terkenal sampai sebagian ulama seperti At-Thahir bin ‘Asyur mengatakan Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam terkenal sampai di India sampai konon katanya dewa Brahma diambil dari nama Ibrahim([23]). Intinya sosok Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam adalah sosok yang terkenal di semua kalangan dari Yahudi, Nasrani, dan Quraisy maka Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan sosok Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam karena dikenal oleh orang-orang Quraisy.
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa terdapat suri teladan pada diri Ibrahim dan orang yang bersamanya, dan ada 2 pendapat di kalangan ulama tentang orang yang bersama Ibrahim:
Pertama: adalah orang yang beriman bersamanya yaitu Sarah dan Nabi Luth keponakan dari Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, jadi berdasarkan penafsiran ini menjelaskan bahwa terdapat teladan yang baik pada diri Ibrahim, Sarah, dan Nabi Luth([24]). Yaitu teladan ketika mereka berkata: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari apa yang kalian sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran) kalian dan telah nyata antara kami dan kalian ada permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kalian beriman kepada Allah saja”, dan inilah pendapat pertama yang berpendapat bahwa yang mengatakan kalimat di atas adalah Ibrahim, Sarah, dan Luth, karena yang beriman hanya 3 orang itu. Bahkan ketika Nabi Ibrahim dan Sarah melewati negeri Mesir dia berkata kepada Sarah: “wahai Sarah, tidak ada yang beriman kecuali saya dan engkau saja di negeri Mesir ini”.
Kedua: dan ini adalah pendapat yang dijelaskan oleh Ath-Thobari bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang bersama Nabi Ibrahim” adalah para nabi yang lain([25]), jadi bukan hanya Ibrahim saja yang seperti ini, akan tetapi nabi-nabi yang lain juga sama seperti ini. Hal ini dikarenakan Nabi Ibrahim sendirian ketika mengucapkan kalimat di atas, tidak mungkin Sarah yang seorang wanita ikut mengatakan kalimat tersebut, jadi yang berlepas diri hanya Ibrahim, dan kisahnya ketika beliau di tangkap untuk dibakar hanya dia sendiri tanpa ada Sarah dan Luth, ini menunjukkan dia sendiri ketika berhadapan dengan kaumnya, dan seluruh penduduk satu negara saat itu semuanya kafir, hanya beliau yang beriman. Bahkan dalam sebagian Ahli sejarah mengatakan bahwa Ibrahim setelah diusir dari negerinya dia pergi ke Syam lalu dia menikah dengan Sarah, dan ketika terjadi dialog antara dirinya dengan raja Namrud di daerah Iraq, maka tatkala itu dia belum berjumpa dengan Sarah, dan dia saat itu seorang diri yang beriman, oleh karena itu firman Allah subhanahu wa ta’ala وَالَّذِينَ مَعَهُ “dan orang-orang yang bersamanya” maksudnya adalah para nabi selain Ibrahim, dan pendapat Ath-Thabary ini cukup kuat.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
كَفَرْنَا بِكُمْ
“kami telah kafir kepada kalian”
Maksudnya adalah kami kafir (mengingkari) terhadap sesembahan kalian dan juga amal perbuatan kalian yaitu kesyirikan. ([26])
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ
“kecuali perkataan Ibrahim kepada ayahnya, ”Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu, namun aku sama sekali tidak dapat menolak (siksaan) Allah terhadapmu.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan pengecualian dari mengikuti nabi Ibrahim yaitu perkataannya tentang ayahnya لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ “Sungguh, aku akan memohonkan ampunan bagimu”, jadi nabi Ibrahim pernah berjanji untuk memohonkan ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk ayahnya, dan kisah ini sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
قَالَ أَرَاغِبٌ أَنْتَ عَنْ آلِهَتِي يَا إِبْرَاهِيمُ ۖ لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لَأَرْجُمَنَّكَ ۖ وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
“Berkata bapaknya: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama.” QS. Maryam: 46
Dan ketika nabi Ibrahim meninggalkan ayahnya dia berkata,
قَالَ سَلَامٌ عَلَيْكَ ۖ سَأَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّي ۖ إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
“Berkata Ibrahim: “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” QS. Maryam: 47
Oleh karenanya di antara doa nabi Ibrahim sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Quran,
وَاغْفِرْ لِأَبِي إِنَّهُ كَانَ مِنَ الضَّالِّينَ
“dan ampunilah bapakku, karena sesungguhnya ia adalah termasuk golongan orang-orang yang sesat” QS. Asy-Syu’aro: 86
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah alasan mengapa nabi Ibrahim memintakan ampunan untuk ayahnya,
Pertama: sebagian ulama mengatakan bahwa nabi Ibrahim tidak mengetahui bahwasanya memohonkan ampunan untuk orang-orang musyrik itu tidak diperbolehkan, karena dia tidak mengetahui hukumnya maka dia pun memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengampuni ayahnya yang musyrik.
Kedua: sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa maksud dari memohonkan ampunan untuk ayahnya adalah memohon kepada Allah subhanahu wa ta’ala agar memberikan taufik kepada ayahnya agar dia masuk Islam([27]), namun ini adalah pendapat yang kurang kuat.
Ketiga: dan ini adalah penadapat yang dipilih oleh sebagian ahli tafsir seperti Al-Qurthubi, yaitu Ibrahim menyangka bahwa ayahnya adalah muslim dan ternyata tidak([28]). Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surah at-taubah,
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ ۚ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” QS. At-Taubah: 114
Yang ayat ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwasanya nabi Ibrahim menyangka ayahnya akan masuk Islam oleh karenanya dia memohonkan ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan setelah tampak jelas bahwa ayahnya terus-menerus kafir dan mati dalam keadaan kafir maka Ibrahim berlepas diri. Dari sini Al-Qurthubi mengatakan jika seseorang meninggal dunia dan kita menduga bahwasanya dia Islam maka kita boleh untuk mendoakannya([29]), dan kita tidak boleh medoakan jika kita mengetahui kalau dia meninggal dalam keadaan musyrik.
Pendapat yang benar tentang alasan nabi Ibrahim mendoakan untuk ayahnya adalah dikarenakan nabi Ibrahim tidak mengetahui bahwasanya hal tersebut dilarang, dan setelah Allah subhanahu wa ta’ala menegurnya maka nabi Ibrahim tidak mau lagi untuk memohonkan ampunan untuk ayahnya.
Dari kisah ini kita dapati bahwa sebagian nabi diuji dengan orang-orang yang mereka cintai, nabi Ibrahim ketika ayahnya kafir tentu dia tidak senang bahkan dia berulang-ulang dan memohonkan ampunan untuk ayahnya. Namun apa boleh buat, dia mati dalam keadaan kafir. Dan banyak nabi-nabi yang lain yang diuji seperti nabi Ibrahim, seperti nabi Nuh yang istri dan anaknya kafir, nabi Luth istrinya kafir, nabi Muhammad ayah dan ibunya juga kafir (menurut pendapat jumhur ulama), dan yang lainnya. Dan sering kali penulis ditanya dengan pertanyaan yang sangat menyedihkan yaitu pertanyaan bolehkah bagi seorang anak mendoakan orang tuanya dan memohonkan ampunan yang meninggal dalam keadaan musyrik? Dan jawabannya “tidak boleh”, dan bukan hanya anda yang sedih. Bahkan sebagian nabi-nabi diuji dengan ujian seperti ini namun mereka tetap mendahulukan keridhoan Allah subhanahu wa ta’ala.
Ada sebuah faedah yang disebutkan oleh ulama Syafi’iyyah dalam kitab fikih mereka bagaimana jika ragu tentang seseorang dia meninggal dalam keadaan muslim atau musyrik maka bolehkah kita mendoakan mereka, maka jika ragu boleh untuk mendoakannya dengan memberikan tambahan اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ إنْ كَانَ مُسْلِمًا “ya Allah ampunilah dia jika dia seorang muslim”, dan ini dibawakan oleh ulama Syafi’iyyah ketika membahas tentang shalat jenazah, bagaimana tata cara shalat jenazah jika bercampur antara mayat muslim dan kafir dan tidak bisa dibedakan, dan ada dua cara dalam menghadapi mayat-mayat yang tersebut:
Pertama: mereka menyalatkan semuanya dan doanya mereka niatkan khusus untuk orang-orang yang beriman.
Kedua: dishalatkan satu-satu, namun setiap kali shalat ketika dia ragu mayat tersebut muslim atau bukan maka dia mendoakannya dengan اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ إنْ كَانَ مُسْلِمًا “ya Allah ampunilah dia jika dia seorang muslim”. ([30])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir. Dan ampunilah kami, ya Tuhan kami. Sesungguhnya Engkau yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah: 5)
Maksud dari firman Allah subhanahu wa ta’ala رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا “janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi orang-orang kafir” adalah jangan sampai kita salah berbuat atau jangan sampai kita kalah sehingga membuat orang-orang kafir semakin kokoh dalam beragama mereka. Jadi dalam ayat ini nabi Ibrahim berdoa adar dirinya tidak dikuasai oleh orang-orang kafir sehingga mereka semakin yakin dengan agama mereka([31]). Maka kita pun demikian untuk senantiasa berdoa agar tidak menjadi fitnah bagi orang-orang kafir, bisa jadi kita menjadi fitnah bagi orang-orang kafir karena akhlak kita yang buruk atau melakukan hal yang buruk yang menyebabkan kekeliruan pada orang-orang kafir terhadap pandangan mereka tentang agama kita sehingga mereka semakin tegar di atas agama mereka dan membenci agama kita.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيهِمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآَخِرَ وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ}
“Sungguh, pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) terdapat suri teladan yang baik bagi kalian; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian, dan barangsiapa berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahakaya, Maha Terpuji.” (QS. Al-Mumtahanah: 6)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya dirinya maha kaya, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak butuh terhadap ibadah kita, karena kita beribadah untuk diri kita sendiri, sebagaimnaa firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَقَدْ آتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” QS. Luqman: 12
Jangan sampai terbayangkan oleh kita kalau Allah subhanahu wa ta’ala butuh terhadap shalat kita, pengajian kita, atau sedekah kita, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak butuh sama sekali, berdasarkan yang dijelaskan pada ayat di atas dan juga sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ ۖ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا ۚ فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا
“Jika kalian berbuat baik (berarti) kalian berbuat baik bagi diri kalian sendiri dan jika kalian berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi diri kalian sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kalian dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuh kalian memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” QS. Al-Isra: 7
Maka ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala tidak membutuhkan terhadap ibadah kita sama sekali, dan ibadah kita sejatinya untuk diri kita sendiri, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam hadits qudsy,
«يَا عِبَادِي إِنِّي حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِي، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلَا تَظَالَمُوا، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ ضَالٌّ إِلَّا مَنْ هَدَيْتُهُ، فَاسْتَهْدُونِي أَهْدِكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ جَائِعٌ، إِلَّا مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُونِي أُطْعِمْكُمْ، يَا عِبَادِي كُلُّكُمْ عَارٍ، إِلَّا مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُونِي أَكْسُكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا، فَاسْتَغْفِرُونِي أَغْفِرْ لَكُمْ، يَا عِبَادِي إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي، فَتَنْفَعُونِي، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، مَا زَادَ ذَلِكَ فِي مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا، يَا عِبَادِي لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُونِي فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مَسْأَلَتَهُ، مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِمَّا عِنْدِي إِلَّا كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ، يَا عِبَادِي إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيهَا لَكُمْ، ثُمَّ أُوَفِّيكُمْ إِيَّاهَا، فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا، فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ، فَلَا يَلُومَنَّ إِلَّا نَفْسَهُ»
“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku menjadikan kezaliman itu haram di antara kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi. Wahai hamba-Ku, kalian semua sesat kecuali orang yang telah Kami beri petunjuk, maka hendaklah kalian minta petunjuk kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua adalah orang yang lapar, kecuali orang yang Aku beri makan, maka hendaklah kalian minta makan kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, kalian semua asalnya telanjang, kecuali yang telah Aku beri pakaian, maka hendaklah kalian minta pakaian kepada-Ku, pasti Aku memberinya. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian tidak akan dapat membahayakan-Ku dan kalian tak akan dapat memberikan manfaat kepada-Ku. Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir kalian, dari kalangan manusia dan jin, mereka semua hatinya seperti orang yang paling maka tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, dari kalangan manusia dan jin, mereka itu semua hatinya seperti orang yang paling jahat maka tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga. Wahai hamba-Ku, jika orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin yang tinggal di bumi ini meminta kepada-Ku, lalu Aku memenuhi seluruh permintaan mereka, tidaklah hal itu mengurangi apa yang ada pada-Ku, kecuali sebagaimana sebatang jarum yang dimasukkan ke laut. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya inilah amal perbuatan kalian. Aku catat semuanya untuk kalian, kemudian Kami akan membalasnya. Maka barang siapa yang mendapatkan kebaikan, hendaklah bersyukur kepada Allah dan barang siapa mendapatkan selain dari itu, maka janganlah sekali-kali ia menyalahkan kecuali dirinya sendiri”. ([32])
Jadi kita harus yakin bahwasanya kita beribadah untuk diri kita sendiri, bukan untuk Allah subhanahu wa ta’ala, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan وَمَن يَتَوَلَّ فَإِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ “dan barangsiapa berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dialah Yang Mahakaya, Maha Terpuji”, dan Allah subhanahu wa ta’ala tetap maha terpuji walau pun banyak hambanya yang kafir.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{عَسَى اللَّهُ أَنْ يَجْعَلَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الَّذِينَ عَادَيْتُمْ مِنْهُمْ مَوَدَّةً وَاللَّهُ قَدِيرٌ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
“Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang di antara kalian dengan orang-orang yang pernah kalian musuhi di antara mereka. Allah Mahakuasa. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah: 7)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala mengetahui bahwa Hatib merasa berat untuk membenci orang-orang yang dicintai berupa kerabat-kerabatnya karena mereka kafir dan karena mereka adalah musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala, maka dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memberikan hiburan kepadanya bahwa kalian tetaplah untuk bermusuhan dengan mereka, namun bisa jadi pada suatu hari orang yang kalian musuhi menjadi orang yang saling mencintai di antara kalian([33]), maksudnya suatu hari nanti mereka bisa saja menjadi orang-orang yang masuk Islam. Dan Allah subhanahu wa ta’ala maha kuasa, Allah subhanahu wa ta’ala maha membolak-balikkan hati manusia, dan Allah subhanahu wa ta’ala maha pengampun dan penyayang. Dan disebutkan oleh sebagian ahli tafsir di antara contohnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Ramlah Ummu Habibah bintu Abu Sofyan, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi banyak wanita dan setiap wanita yang dinikahi selalu ada hikmah dibaliknya, di antaranya pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Ramlah bintu Abu Sofyan. Abu Sofyan tatkala itu adalah gembongnya orang-orang kafir, setelah Abu Jahal tewas dialah uamg menjadi pemimpin. Dan ternyata putrinya menikah dengan musuh besarnya yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akhirnya lama-lama diapun masuk Islam([34]). Jadi bisa jadi orang yang bermusuhan dengan kalian suatu hari nanti menjadi orang yang mencintai kalian. Intinya kita selama hidup di dunia hanya tinggal menjalankan syariat, kalau ada musuh-musuh Allah subhanahu wa ta’ala maka tidak boleh kita menunjukkan kecintaan dan rasa loyal kita kepada mereka, namun meskipun demikian bisa jadi suatu saat mereka masuk Islam kalau kalian terus berdakwah kepada mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ayat ini menjelaskan bahwasanya orang-orang kafir itu bermacam-macam. Diantara mereka ada yang menjadi musuh agama islam dan kaum muslimin, bahkan ada yang mengambil tindakan fisik dengan mengusir mereka sebagaimana yang telah disebutkan pada permulaan ayat dari surat ini,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan musuh-Ku dan musuhmu sebagai teman-teman setia sehingga kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal mereka telah ingkar kepada kebenaran yang disampaikan kepadamu. Mereka mengusir Rasul dan kamu sendiri karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Melalui ayat ini Allah menjelaskan tentang orang-orang kafir yang menjadi musuh Allah. Dan mereka ini merupakan orang kafir model pertama yang kita terkadang ber- wala’ (loyal) kepada mereka. Adapun orang kafir model kedua adalah mereka bukan termasuk orang kafir harbiy, tidak memusuhi ataupun mengusir kaum muslimin. Maka, tidak mengapa bagi kaum muslimin untuk berbuat baik kepada mereka.
Karenanya, pada zaman Nabi ada orang-orang kafir yang bersekutu dengan beliau. Seperti kaum musyrikin dari Kabilah Khuza’ah, mereka bersekutu dengan Nabi. Mereka bersepakat untuk tidak membantu seorangpun yang menyerang kaum muslimin. Bahkan, mereka ingin agar kaum muslimin mengalahkan Quraisy. Padahal, kabilah Khuza’ah merupakan orang-orang kafir. Selain kabilah Khuza’ah ada juga kabilah yang lain, yaitu kabilah Bani Al-Harits bin Ka’ab dan Kabilah Muzainah. Ini adalah tiga kabilah kaum musyrikin. Akan tetapi mereka bersekutu dan condong kepada kaum muslimin, karena mereka tidak suka dengan orang-orang Quraisy. Maka, Allah tidak melarang Nabi, para sahabat dan kaum muslimin untuk berbuat baik kepada kabilah-kabilah ini. Dikarenakan mereka tidak memusuhi dan mengusir kaum muslimin dari negeri mereka. ([35])
Disebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah berkaitan dengan kisah ibu Asma’ binti Abu Bakr yang bernama Qutailah. Dia dinikahi oleh Abu Bakr di zaman jahiliyyah, kemudian diceraikannya. Dan dari pernikahan tersebut Abu Bakr memiliki seorang putri yaitu Asma’ binti Abu Bakr. Dia dicerai dalam keadaan musyrik dan terus musyrik sampai pada tahun 6 hijriyah. Yaitu ketika terjadi Sulhul Hudaibiyyah (Perjanjian Hudaibiyyah) yang merupakan masa kedamaian dan gencatan senjata selama sepuluh tahun. Kemudian, masa tersebut berakhir dengan pengkhianatan orang-orang Quraisy, karena mereka menyerang sekutu kaum muslimin, yaitu kabilah Khuza’ah. Akhirnya, dari kejadian tersebut Nabi menyerang mereka. Intinya, pada masa perdamaian tersebut, kaum muslimin dan kaum musyrikin boleh saling berinteraksi. Orang-orang kafir Makkah boleh memasuki kota Madinah. Begitu juga sebaliknya dengan kaum muslimin Madinah boleh memasuki kota Makkah. Pada saat itu, Qutailah datang menuju kota Madinah hendak bertemu dengan Asma’ binti Abu Bakr dengan membawa hadiah dan berbuat baik kepada putrinya, bahkan disebutkan bahwa Qutailah membawakan cincin atau emas yang akan diberikan kepada putrinya. Awalnya, Asma’ binti Abu Bakr tidak ingin menerimanya, dikarenakan ibunya adalah orang musyrik. Maka, dia bertanya kepada Nabi, “Bolehkah aku menyambung silaturahim dengan ibuku ini?” Kemudian Nabi bersabda,
نَعَمْ، صِلِي أُمَّكِ
“Sambunglah silaturahim dengan ibumu.”([36])
Setelah itu turunlah firman Allah ini([37]),
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat ini sekaligus menjadi dalil bahwa tidak mengapa bagi seorang muslim berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi agama islam dan kaum muslimin.([38])
Kemudian firman Allah,
وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Kata القِسْط menurut para ahli tafsir menafsirkan bahwa kalian tidak dilarang untuk berbuat adil kepada mereka. Adapun sebagian ulama lain menafsirkan bahwa kalian tidak mengapa memberikan قِسْطًا مِنَ المَال yaitu sebagian harta kalian kepada orang-orang kafir([39]). Artinya tidak mengapa bagi seorang muslim memberikan sebagian hartanya kepada orang-orang kafir yang baik. Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil. Jika mereka berbuat baik kepada kita, maka kita balas mereka dengan kebaikan pula. Tidak ada masalahnya kita memberikan hadiah kepada mereka, selama mereka bukan orang-orang kafir harbiy yang memusuhi atau menyerang agama Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَى إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu dalam urusan agama dan mengusir kamu dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Mumtahanah : 9)
Allah melarang kaum muslimin untuk ber-wala’ kepada orang-orang kafir dan menjadikan mereka sebagai kawan maupun penolong. Artinya hal yang dilarang kepada kaum muslimin adalah berloyal kepada orang-orang kafir yang memusuhi islam dan kaum muslimin([40]). Adapun orang-orang kafir yang baik yang tidak memusuhi, bahkan terkadang membantu kaum muslimin. Maka, tidak mengapa untuk berbuat baik kepada mereka. Yang demikian itu terjadi pada zaman Nabi, seperti Bani Khuza’ah, Bani Al-Harits dan Bani Muzainah. Mereka membantu kaum muslimin pada masa itu. Karenanya, jika ada orang-orang kafir yang membantu kita, maka hendaknya kita membantu mereka. Sebagaimana Rasulullah dahulu pernah dibantu oleh raja Najasyi, tatkala beliau menyuruh para sahabat untuk hijrah menuju Habasyah. Saat itu, Najasyi adalah seorang musyrik beragama nasrani, kemudian masuk islam.
Maka dari itu, tidak mengapa bagi kita untuk berbuat baik kepada orang kafir yang telah berbuat baik kepada kita. Mungkin ada diantara sahabat kita yang kafir tapi selalu berbuat baik kepada kita, maka tidak mengapa kita menjalin hubungan dengan mereka. Selama dia berbuat baik dan tidak memusuhi agama kita, maka kita balas dengan perbuatan yang baik pula.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tahun 6 hijriyah terjadi Perjanjian Hudaibiyah. Diantara kesepakatan antara Nabi dengan Suhail bin ‘Amr dalam perjanjian tersebut adalah barang siapa yang lari dari Makkah menuju Madinah, maka harus dikembalikan ke Makkah. Dan barang siapa yang lari dari Madinah menuju Makkah, maka harus dibiarkan([41]). Inilah salah satu point yang membuat para sahabat tidak menyetujuinya pada waktu itu. Karena hal itu menunjukkan bahwa setiap orang yang kabur dari Makkah menuju ke Madinah, harus dipulangkan ke Makkah. Dan setiap orang yang kabur dari Madinah menuju Makkah, tidak boleh dipulangkan. Artinya, orang-orang kafir ingin menang sendiri (banyak mendapatkan keuntungan)di dalam perjanjian tersebut.
Sebelum perjanjian tersebut ditanda tangani, datanglah Abu Jandal bin Suhail bin Amr. Abu Jandal adalah putra dari Suhail bin Amr yang kabur dari Makkah dalam keadaan kedua kakinya terbelenggu. Maka, ayahnya pun menahannya. Dia adalah orang pertama yang melarikan diri dari Makkah, namun karena perjanjian tersebut dia diperintahkan untuk kembali ke Makkah. Inilah yang membuat para sahabat tidak menerima keputusan tersebut dan berharap Nabi merubah pendapat beliau. Apalagi mereka dalam kondisi ihram. Namun, karena perjanjian tersebut telah disepakati, akhirnya mereka diperintahkan untuk pulang ke Madinah sehingga timbul sedikit kegaduhan diantara mereka. Singkat cerita, akhirnya semua para sahabat setuju dengan ketidakseimbangan pada perjanjian tersebut.
Yang menjadi masalah adalah ketika Nabi sudah kembali menuju Madinah ada beberapa orang wanita yang kabur dari Makkah menuju Madinah. Diantaranya adalah Subai’ah binti Al-Harits, dia lari dari suaminya yang bernama Shaifiyyu bin Ar-Rahib yang berada di Makkah. Ummu Kultsum binti ‘Uqbah bin Abu Mu’aith yang lari dari suaminya, yaitu ‘Amr bin Al-‘Ash yang waktu itu masih kafir mengejar istrinya dan memerintahkannya untuk kembali ke Makkah. Dan Umaimah binti Bisyr yang kabur dari suaminya, Tsabit bin Asy-Syamrah. ([42])
Tindakan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam menghadapi permasalahan ini terdapat khilaf di kalangan para ulama. Pertama, ada yang mengatakan bahwa Nabi menerima mereka. Karena yang berlaku dalam perjanjian Hudaibiyyah hanyalah kaum laki-laki yang kabur dari Makkah, adapun kaum perempuan tidak tercatat dalam perjanjian tersebut. Pendapat kedua, menurut para ahli tafsir bahwa yang disebutkan di dalam perjanjian Hudaibiyyah baik laki-laki maupun perempuan yang kabur dari Makkah menuju Madinah harus dikembalikan. Akan tetapi Allah me-mansukh-kan aturan tersebut([43]). Karena kondisi para wanita yang memberatkan, apabila mereka dikembalikan akan menimbulkan sesuatu yang membahayakan. Karena itulah, Nabi pun menerima mereka. Akan tetapi, Allah memerintahkan agar kaum perempuan yang kabur tersebut agar diuji terlebih dahulu. Apakah mereka benar-benar beriman?
فَامْتَحِنُوهُنَّ
“maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka.”
Kata المِحْنَة bermakna ujian. Para ulama berbeda pendapat mengenai apa ujian tersebut?. Diantaranya apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwasanya Nabi bertanya kepada mereka, “Apakah kalian beriman atau tidak? ucapkanlah Asy-hadu an laa ilaa ha illa Allah wa asyhadu anna muhammadan rasulullah” Jika mereka mengucapkan demikian, maka Nabi akan melindungi mereka([44]). Pendapat yang kedua, Nabi bertanya kepada mereka atau beliau memerintahkan salah seorang sahabat seperti Umar bin Al-Khaththab untuk bertanya kepada mereka, “Kalian lari dari Makkah menuju Madinah apakah karena beriman kepada Allah dan RasulNya ataukah karena perkara duniawi?” Jika ternyata disebabkan perkara duniawi, maka mereka diperintahkan untuk pulang ke Makkah. Karena perintah Allah kepada Nabi untuk menguji mereka. Dan ternyata setelah diuji, menunjukkan bahwa mereka adalah wanita-wanita yang beriman([45]).
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ
“Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman.”
Artinya jika kalian sudah mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman sebelum mereka diuji, maka tidak perlu diuji lagi([46]). Artinya sebelum mereka kabur dari kota Makkah ke kota Madinah telah diketahui keislaman dan keimanan mereka, maka tidak perlu diuji. Yang perlu diuji adalah mereka yang diragukan keimanannya. Apakah mereka lari menuju Madinah karena Allah dan Rasul-Nya atau karena perkara duniawi.
فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ
“Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka)”
Jika kalian tahu mereka adalah orang-orang yang beriman, maka janganlah kalian kembalikan kepada suami-suami mereka, karena hal itu akan membahayakan bagi mereka.
لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ
“Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu.”
Dan Allah menekankan lagi,
وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
“Dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.”
Dari ayat ini janganlah dipahami bahwa pengharaman ini hanya berlaku kalau istri tinggal di Makkah. Namun, jika dia dan suaminya ikut tinggal di Madinah menjadi halal. Tidaklah demikian. Maka dari itu, Allah menekankan bahwa keduanya adalah haram. Meskipun suami dan istri tinggal di Makkah atau di Madinah, hukumnya tetap haram. Karenanya, Allah menjelaskan bahwa “Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka.” Artinya sang wanita haram untuk suaminya. Dan sang suamipun haram pula untuk istrinya. Maka permasalahannya bukan karena perbedaan tempat tinggal. Akan tetapi, karena masalah perbedaan agama.([47])
Namun, Allah bersikap adil sebagaimana disebutkan di dalam firman-Nya,
وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا
“Dan berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan.”
Hendaknya perlu diingat, tatkala kaum mukminin menerima kaum wanita beriman yang kabur dari suami-suami mereka yang kafir. Sebagai bentuk keadilan, mereka pasti akan menuntut kepada kaum muslimin. Maka, Nabi dan kaum muslimin mengganti mahar atau biaya pernikahan yang dulu mereka bayarkan kepada istri-istri mereka.([48])
وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Dan tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.”
Wanita-wanita yang sudah terpisah dari suaminya yang kafir boleh dinikahi oleh kaum muslimin dengan syarat memberikan mahar kepada mereka sebagaimana akad pernikahan baru([49]). Oleh karenanya, para wanita yang kabur tersebut dinikahi oleh para sahabat. Contohnya adalah Subai’ah Al-Aslamiyah akhirnya dinikahi oleh Umar bin khaththab. Ummu Kultsum binti ‘Uqbah binti Abu Mu’aith dinikahi oleh Zaid bin Haritsah dan Umaimah binti Bisyr yang lari dari suaminya, Tsabit bin Asy-Syamrah, akhirnya dinikahi oleh Sahl bin Hunaif.
Maka penulis jika membaca sejarah Nabi dan para sahabat hampir tidak ada janda yang jomblo. Setiap kali ada janda, maka langsung dinikahi oleh para sahabat. Karena mereka mempunyai kepekaan yang sangat besar dalam tolong menolong kepada sesama. Apalagi yang meninggal dunia adalah teman mereka sendiri, maka istrinya akan ditolong oleh sahabat-sahabatnya yang masih hidup. dikarenakan mereka memiliki perhatian kepada para janda. Sebenarnya orang-orang pada zaman sekarang juga mempunyai perhatian kepada para janda, hanya saja mereka penakut. Jadi, para sahabat yang menolong para janda dengan menikahinya, bukan hanya karena sekedar kesenangan belaka. Akan tetapi, karena mengingat jasa para sahabat yang telah meninggal, menolong sesama dan yang lainnya.
Setelah itu Allah berfirman,
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kalian minta kembali mahar yang telah kalian berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kalian. Dan Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
Kebalikan dari penjelasan sebelumnya, pada ayat ini Allah menjelaskan “dan kalian para lelaki yang beriman jangan berpegang dengan istri-istri yang kafir”. Kata العِصَم adalah bentuk jamak dari kata العِصْمَة dan الْكَوافِرjamak dari kata الْكَافِرة. Janganlah kalian berpegang teguh dengan عِصْمة الْكَوَافِرِ. Artinya Allah memerintahkan kepada para lelaki yang beriman untuk menceraikan istri-istri mereka yang masih kafir. Dan ini dipraktekkan oleh para sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khaththab yang masih memiliki dua istri di Makkah, sedangkan keduanya adalah musyrik. Maka tatkala turun ayat ini ‘Umar pun menceraikan mereka berdua([50]). Karena Allah telah melarangnya,
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.”
Ibnu Taimiyyah menyebutkan di dalam Majmu’ Al-Fatawa bahwa ada tiga ayat yang berkaitan dengan masalah pernikahan beda agama ini. Adapun urutan-urutannya sebagaimana berikut:
Pertama: Ayat yang ada di surah Al-Mumtahanah ini,
وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir.”
Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama termasuk kebiasaan kaum muslimin dahulu, hingga setelah perjanjian Hudaibiyyah. Oleh karenanya, Nabi menikahkan putri beliau, Zainab binti Muhammad dengan Abu Al-‘Ash bin Ar-Rabi’. ‘Umar juga menikah dengan wanita musyrik. Dan pernikahan beda agama seperti ini adalah hal yang biasa terjadi dan terus berlanjut hingga turunnya ayat ini.
Kedua: Firman Allah yang terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 221
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah: 221)
Surah al-baqarah ini berisi larangan menikahi wanita-wanita musyrik. Entah itu dari Yahudi, Nasrani, Majusi atau penyembah berhala. Pelarangan ini bersifat umum, hingga dia beriman. Begitu juga larangan menikahkan wanita yang beriman dengan laki-laki musyrik hingga lelaki tersebut beriman. Dan tidak mungkin ayat ini turun sebelum ayat yang terdapat pada surah Al-Mumtahanah. Karena seandainya ayat ini turun terlebih dahulu, tentunya tidak akan terjadi pernikahan beda agama. Ini menunjukkan bahwa urutan turunnya ayat yang menjelaskan pernikahan beda agama adalah surah Al-Mumtahanah dahulu, lalu Al-Baqarah dan terakhir surah Al-Maidah([51]).
Ketiga: yaitu Firman Allah yang terdapat pada surah Al-Maidah ayat 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.” (QS. Al-Maidah: 5)
Ternyata yang berlaku pada ayat ini adalah pemberian keringanan kepada orang-orang yang beriman dengan dibolehkannya menikahi wanita-wanita dari kalangan Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dengan syarat wanita tersebut adalah الْمُحْصَنَاتُ yaitu wanita yang menjaga diri, bukan pelaku zina. Ini semua menunjukkan bahwasanya wanita yang beriman dilarang untuk menikah dengan lelaki yang berbeda agama dan untuk lelaki yang beriman boleh baginya untuk menikahi wanita yang berbeda agama dengan syarat dia dari golongan ahli kitab yang menjaga dirinya.
Tentunya ada hikmah kenapa Allah melarang wanita yang beriman menikah dengan laki-laki yang berbeda agama. Karena, biasanya tabiat seorang wanita selalu mengikuti lelaki.
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri).” (QS. An-Nisa’ : 34)
Oleh karenanya Ibnu Katsir menafsirkan ayat tersebut bahwa laki-laki (suami) adalah raja-raja di dalam rumah, mereka yang harus mengatur wanita([52]). Apabila seorang suami adalah orang kafir sedangkan istrinya adalah wanita yang beriman, maka sangat mudah bagi wanita untuk menjadi kafir. Berbeda halnya tatkala seorang suami adalah orang yang beriman sedangkan istrinya adalah wanita ahli kitab. Maka, bisa jadi istrinya mampu dipengaruhi untuk masuk islam pada suatu saat. Atau bisa jadi dia memiliki kemampuan untuk mengatur anak-anaknya dan itu merupakan bentuk tugas sebagai seorang suami. Intinya Allah menghalalkan hal tersebut dengan banyak hikmah. Terutama pada zaman sekarang ini, banyak kaum lelaki muslim yang belajar atau bekerja di beberapa negeri kafir, sehingga apabila mereka terpaksa harus menikah dengan wanita-wanita nasrani atau yahudi, maka hal itu dibolehkan di dalam syariat. Daripada mereka terjerumus dalam perzinahan. Dan siapa tahu istri-istri mereka suatu saat masuk kepada agama islam. Dan kenyataannya memang banyak dari mereka yang masuk kepada agama Islam.
Penulis sering ditanya, “Apakah wanita yahudi dan nasrani pada zaman dahulu sama dengan zaman sekarang?” Jawabannya adalah “iya sama-sama kafir.” Tidak ada perbedaan diantara mereka. Karena dahulu mereka kafir, sekarangpun mereka juga kafir. Maka, hukum menikahinya pun sama. Namun, dengan syarat wanita tersebut bukan seorang pezina.
Pada kesempatan yang lain ada juga yang bertanya, “Bolehkah seorang lelaki mukmin menikah dengan seorang wanita nasrani?” Jawabannya adalah boleh. Akan tetapi, perbuatan itu disayangkan, dikarenakan banyak wanita muslimah yang belum menikah. Apalagi banyak juga wanita muslimah yang menjanda. Hendaknya dia jangan berspekulasi dan jangan mengambil resiko, apabila dia tidak bisa menjadi pemimpin di rumah, bahkan dia yang malah dipimpin, maka bagaimana dengan nasib anak-anaknya dan agama mereka pada suatu saat. Apakah istrinya akan mengikutinya? Atau sebaliknya dia yang mengikuti istrinya yang beragama nasrani? Apalagi sebagian orang mengambil tindakan dengan membagi dua anak-anak mereka, dengan menjadikan sebagian muslim dan sebagian yang lain nasrani. Hal inipun sudah terjadi pada sebagian orang. Dan bahkan, terjadi pada sebagian orang bahwa semua anak-anaknya menjadi kafir. Sang ayah tidak mampu berbuat apapun. Maka, hal itu akan berdampak buruk baginya. Oleh karenanya, tidak mengapa bagi seorang muslim menikahi wanita yahudi mapun nasrani, jika memang dia memiliki kekuatan dan kemampuan, dan hal itupun tidaklah dilarang di dalam syariat.
Masalah berikutnya adalah bagaimana jika:
- Suami dan istri adalah orang-orang kafir, lalu salah satu dari mereka masuk Islam.
- Atau sebaliknya keduanya beragama Islam, lalu salah satu dari mereka murtad. Apakah dengan sebab itu pernikahan mereka menjadi batal saat itu juga. Artinya mereka cerai atau terpisahkan secara otomatis ataukah tidak?
Jawabannya:
Apabila masalahnya adalah suami istri sama-sama kafir, kemudian keduanya masuk agama Islam. Dalam syariat islam, pernikahan yang dilakukan oleh orang-orang kafir dengan cara kekafiran atau menurut tradisi mereka sah, maka dianggap sah pula oleh syariat. Karenanya, apabila ada suami istri yang dahulu sama-sama kafir, lalu sama-sama masuk Islam. Maka tidak perlu memperbaharui pernikahan. Karena pernikahan mereka sah. Misalnya seperti seorang lelaki yang menikahi seorang wanita yang keduanya sama-sama beragama Nasrani atau Buddha atau agama lainnya. Entah mereka menikah dengan seorang wali maupun tidak, jika menurut agama mereka pernikahan tersebut sah, maka menurut agama Islam juga sah. Dan apabila mereka masuk Islam, maka mereka tidak perlu mengulangi lagi pernikahan mereka.
- Kemudian di dalam suatu kasus, apabila salah satu dari mereka, baik suami ataupun istri itu masuk agama Islam. Apakah yang terjadi? Apakah pernikahannya batal atau tidak? Ada khilaf dalam hal ini.
- Menurut sebagian ulama mengatakan bahwasanya pernikahan tersebut batal, apabila salah satu dari keduanya masuk agama Islam. Artinya dengan otomatis keduanya terceraikan.
- Menurut Imam Asy-Syafi’i, selama sang istri masih berada pada masa iddah. Maka pihak yang belum masuk islam disuruh masuk Islam. Jika dia masuk agama Islam, maka pernikahan tetap dilanjutkan. Misalnya ada sepasang suami istri yang kafir, kemudian sang istri masuk Islam, namun suaminya belum masuk Islam. Artinya mereka terceraikan. Akan tetapi, syariat memandang bahwa selama sang istri masih berada pada masa iddah([53]), maka dia boleh merayu suaminya untuk masuk agama Islam. Apabila suaminya masuk Islam di masa iddahnya tersebut, maka pernikahan tidak perlu diulangi. Akan tetapi, jika suaminya tidak mau masuk Islam hingga masa iddahnya selesai, maka mereka harus pisah. Dan wanita tersebut boleh dinikahi oleh kaum muslimin.
Dalam kasus tersebut berlaku apabila wanita tersebut sudah digauli oleh suaminya. Namun, jika wanita tersebut belum digauli oleh suaminya, maka tidak berlaku lagi masa iddah baginya.([54])
Banyak sekali dalil dalam masalah ini, diantaranya adalah jika yang memeluk agama Islam adalah sang suami terlebih dahulu, kemudian diikuti istrinya yaitu Abu Sufyan yang ketika masuk agama Islam pada tahun 8 hijriah, namun istrinya belum memeluk agam Islam. Namun, setelah beberapa waktu, akhirnya istrinya masuk agama Islam. Maka, mereka tidak perlu mengulangi pernikahan mereka. Pada masa itu mereka tidak dianggap telah cerai, karena sang istri telah memeluk Islam di masa iddahnya.
Adapun contohnya lain yang sebaliknya, yaitu jika yang memeluk agama Islam adalah sang istri terlebih dahulu, kemudian disusul oleh suaminya. Para ulama menyebutkan pernikahan antara Zainab dengan Abu Al-‘Ash. Zainab adalah putri Rasulullah yang telah memeluk agama Islam, namun suaminya saat itu belum masuk agama Islam. Dia memeluk agama Islam setelah beberapa waktu kemudian. Akan tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi menyuruh mereka untuk memulai dengan akad nikah yang baru. Ini menunjukkan bahwa selama di masa tersebut masih ada kesempatan untuk perbaikan, maka tidaklah mengapa.
- Kasus yang lain adalah apabila sepasang suami istri sama-sama muslim, kemudian salah satu dari keduanya murtad. Apakah otomatis terpisahkan? Hal ini pun terdapat khilaf yang sama sebagaimana dijelaskan pada point Yaitu ada pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan tersebut otomatis terputus. Ada juga yang mengatakan bahwa pernikahan itu tidak terputus. Karena harus menunggu masa iddah istri terlebih dahulu. Artinya salah satu dari mereka harus mengajak yang lain untuk masuk kepada agama Islam terlebih dahulu. Jika salah satu dari keduanya yang murtad kembali kepada agama Islam, maka pernikahan tersebut tetap dilanjutkan. Akan tetapi, jika tidak. Maka, pernikahan tersebut terputus.
Dan pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i. Wallahu a’lamu bishshawab berdasarkan dalil yang ada pada zaman sahabat dahulu yaitu pada kasus yang terjadi pada Abu Sufyan dan Zainab putri Rasulullah. Baik suami yang lebih dahulu masuk islam ataupun istrinya. Dan itu sama halnya dengan salah satu dari mereka yang murtad, maka hendaknya dirayu terlebih dahulu untuk memeluk agama Islam. Jika di masa iddah mereka kembali masuk islam, maka pernikahan tersebut dilanjutkan. Dan jika tidak, maka mereka dianggap terpisah.
Berkaitan dengan ayat ini, As-Sa’diy mengatakan bahwa apabila ada seorang istri dari orang kafir yang kabur kepada kaum muslimin karena beriman. Maka, Allah memerintahkan untuk membayar mahar yang telah dikeluarkan oleh suaminya yang masih kafir. Inilah bentuk sikap keadilan. Suaminya sudah rugi, karena istrinya kabur darinya. Dan sebagai bentuk perdamaian diantara mereka, maka digantilah maharnya. Barang siapa yang merusak pernikahan seseorang yang membuat keduanya terpisahkan, maka dia harus membayar ganti rugi.([55])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنْ فَاتَكُمْ شَيْءٌ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ إِلَى الْكُفَّارِ فَعَاقَبْتُمْ فَآتُوا الَّذِينَ ذَهَبَتْ أَزْوَاجُهُمْ مِثْلَ مَا أَنْفَقُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan jika ada sesuatu (pengembalian mahar) yang belum kalian selesaikan dari istri-istrimu yang lari kepada orang-orang kafir, lalu kalian dapat mengalahkan mereka maka berikanlah (dari harta rampasan) kepada orang-orang yang istrinya lari itu sebanyak mahar yang telah mereka berikan. Dan bertakwalah kalian kepada Allah yang kepada-Nya kalian beriman.” (QS. Al-Mumtahanah: 11)
Maksud dari ayat ini adalah sebaliknya dari ayat sebelumnya. Ada seorang wanita yang beriman kemudian murtad dan kabur dari Madinah menuju Makkah. Dia lari meninggalkan suaminya kepada orang-orang kafir. Tentunya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah,
وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا
“Dan hendaklah kamu minta kembali mahar yang telah kamu berikan; dan (jika suaminya tetap kafir) biarkan mereka meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman).” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Akhirnya kaum muslimin pergi ke Makkah meminta kembali mahar yang telah dibayarkan kepada istrinya yang telah lari ke Makkah. Jika mereka membayar, maka mereka telah berbuat keadilan. Namun, jika mereka tidak mau membayar, maka ada dua kondisi baginya, yaitu:
- Jika suatu saat kaum muslimin memerangi mereka, lalu mengalahkannya dan mengambil ghanimah dari mereka. Maka, ghanimah tersebut dipotong untuk diberikan kepada lelaki yang telah kehilangan maharnya.
- Jika tidak terjadi peperangan, maka pemerintah mengeluarkan sebagian hartanya untuk diberikan kepada lelaki tersebut.([56])
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي أَنْتُمْ بِهِ مُؤْمِنُونَ
“Dan bertakwalah kalian kepada Allah yang kepada-Nya kalian beriman.”
Maksudnya adalah janganlah memberikan dengan berlebih-lebihan dari harta ghanimah kepada laki-laki tersebut. Akan tetapi harus sesuai dengan ukuran mahar yang telah dia keluarkan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ عَلَى أَنْ لَا يُشْرِكْنَ بِاللَّهِ شَيْئًا وَلَا يَسْرِقْنَ وَلَا يَزْنِينَ وَلَا يَقْتُلْنَ أَوْلَادَهُنَّ وَلَا يَأْتِينَ بِبُهْتَانٍ يَفْتَرِينَهُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَأَرْجُلِهِنَّ وَلَا يَعْصِينَكَ فِي مَعْرُوفٍ فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Wahai Nabi! Apabila perempuan-perempuan yang mukmin datang kepadamu untuk mengadakan bai‘at (janji setia), bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Mumtahanah: 12)
Disebutkan bahwa ayat ini terjadi setelah perjanjian Hudaibiyah. Para wanita datang ingin membai’at Rasulullah. Maka, beliaupun membai’at mereka. Ketika membai’at, beliau tidak menyentuh tangan mereka -dan beliau sama sekali tidak pernah menyentuh tangan wanita lain-. Akan tetapi hanya dengan perkataan([57]). Diantara bai’at mereka adalah;
- Tidak akan berbuat syirik sama sekali.
- Tidak akan mencuri. Pada ayat ini sebagaimana dijelaskan oleh para ahli tafsir bahwa wanita-wanita yang berbai’at disebutkan sebagaimana kaum laki-laki juga berbai’at kepada Nabi. Dan diantara bai’at mereka adalah tidak mencuri yang tidak disebutkan dalam bai’at laki-laki. Hal itu disebabkan, karena pencurian yang dilakukan oleh para wanita lebih banyak dari pada pencurian yang dilakukan oleh para lelaki.
- Tidak berzina.
- Tidak membunuh anak-anak mereka.
- Tidak mendatangkan kedustaan yang mereka buat-buat di depan mereka. Ada ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Dan tidak pula mendatangkan kedustaan yang mereka lakukan diantara kedua kaki mereka. Maksudnya adalah dengan mengaku-ngaku bahwa anak yang dia bawa merupakan anak suaminya. Padahal, sejatinya anak tersebut adalah anak zina atau anak pungutan. Dan perbuatan ini hukumnya adalah haram dan termasuk dalam suatu kedustaan. Tidak boleh bagi seorang wanita mengambil anak -hasil zina misalnya-, kemudian dinisbatkan kepada suaminya yang sejatinya bukan ayah dari anak tersebut. Atau dia mengambil anak angkat kemudian dinisbatkan kepada suaminya yang sebenarnya bukan ayah kandung dari anak tersebut. Perbuatan ini tidak diperbolehkan di dalam syariat, demikian yang telah dijelaskan oleh kebanyakan ahli tafsir.
- Tidak bermaksiat kepada Nabi dalam perkara-perkara yang diperintahkan. Sebagian ahli tafsir menjelaskan maksudnya yaitu tidak boleh melakukan niyahah([58]). Karena Rasulullah melarang umatnya melakukan hal itu.([59])
Kemudian Allah berfirman,
فَبَايِعْهُنَّ وَاسْتَغْفِرْ لَهُنَّ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian jadikan orang-orang yang dimurkai Allah sebagai penolong kalian, sungguh, mereka telah putus asa terhadap akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur juga berputus asa.” (QS. Al-Mumtahanah: 13)
Ayat ini merupakan bentuk peringatan kepada orang-orang yang beriman agar mereka tidak ber-wala’, loyal, menolong atau menjadikan penolong bagi orang-orang kafir. Ada dua pendapat di kalangan ahli tafsir mengenai maksud dari قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِم.
- Pendapat pertama, mengatakan bahwa yang dimaksud adalah kaum yahudi. Karena Allah menjelaskan kaum tersebut dengan غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِم -yang dimurkai-. Pada ayat pertama dari surat ini telah dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah orang-orang musyrikin Makkah. Dan pada ayat ini Allah ingin menyatakan bahwa yang tidak boleh untuk diberikan loyalitas bukan hanya kaum musyrikin Makkah. Tetapi, juga kepada orang-orang yahudi; karena mereka memusuhi agama Allah. Artinya sebagaimana kalian tidak boleh memberikan loyalitas kepada orang-orang musyrikin Makkah, kalian juga tidak boleh loyal kepada orang-orang yahudi; karena mereka sama-sama dimurkai oleh Allah. Bahkan, orang-orang yahudi lebih buruk.
Diantara dalil yang menunjukkan bahwa pendapat ini lebih kuat adalah sebagaimana yang Allah jelaskan pada akhir ayat ini,
قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ
“Mereka (orang-orang Yahudi) telah putus asa terhadap akhirat sebagaimana orang-orang kafir (musyrik) yang telah berada dalam kubur juga berputus asa.”
Jadi, di dalam ayat ini disebutkan ada dua kaum yang berbeda. Karena Allah menyamakan kaum tersebut -orang-orang yahudi- dengan orang-orang musyrik. Apabila kaum yang disebutkan dalam ayat ini ditafsirkan dengan orang musyrik, maka kaum tersebut sama-sama orang musyrik, seakan-akan Allah mengatakan “Karena mereka (orang-orang musyrik) telah putus asa sebagaimana orang musyrik.” Bagaimana bisa sesuatu disamakan dengan dirinya sendiri? Maka yang dimaksud orang kafir tersebut adalah orang-orang Yahudi.
قَدْ يَئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ كَمَا يَئِسَ الْكُفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ
“Mereka telah putus asa terhadap akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur juga berputus asa.”
Penafsiran pertama, maksudnya adalah orang-orang Yahudi benar-benar telah sibuk dan tenggelam dengan dunia dan seperti itulah sejatinya kehidupan mereka di dunia ini.
يَوَدُّ أَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ
“Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun.” (QS. Al-Baqarah : 96)
Yang mereka pikirkan hanya dunia dan mereka berputus asa untuk mengingat akhirat.
Penafsiran kedua, maksudnya mereka sudah tahu bahwa mereka tidak akan mendapatkan pahala di akhirat, sebagaimana orang-orang kafir yang putus asa dari penghuni kubur yang tidak akan kembali lagi ke dunia.
- Pendapat kedua, mengatakan bahwa kaum yang dimaksud adalah orang-orang musyrik. Mereka tidak beriman kepada hari akhir dan telah berputus asa dari akhirat sebagaimana penghuni kubur mengetahui bahwa mereka tidak akan kembali lagi ke dunia. Bentuk tasybih (penyamaan) yang disebutkan dalam ayat ini adalah tasybih antara كُفَّار الأَحْيَاء (orang-orang kafir yang hidup) dengan كُفَّار الأَمْوَات (orang-orang kafir yang telah mati). Sesungguhnya orang-orang kafir yang masih hidup telah putus asa dari akhirat. Dan mereka yang mati mengetahui bahwa mereka tidak akan kembali ke dunia. ([60])
_________________________________________________________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby
([2]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/129
([3]) Tempat antara Makkah dan Madinah sekitar 12 mil dari kota Madinah
([4]) Membocorkan rahasia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin memerangi penduduk Makkah adalah suatu kesalahan yang jelas, ini adalah perkara yang genting dan sangat berbahaya, karena biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ingin melakukan perang beliau melakukan tauriyah (tidak terang-terangan contohnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya tentang daerah selatan ternyata beliau berjalan ke arah utara atau ketika beliau seakan-akan berjalan ke arah timur ternyata beliau berjalan ke arah barat) dan ini diperbolehkan dalam peperangan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«الحَرْبُ خَدْعَةٌ»
“Perang adalah tipuan” (HR. Bukhari no 3030)
Kecuali dalam perang Tabuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan terang-terangan bahwa beliau akan memerangi Romawi, adapun sisa peperangan yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak terang-terangan dan beliau selalu tauriyah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin memerangi kaum musyrikin Makkah secara tiba-tiba agar mereka tidak memiliki persiapan. Jika Hatib bin Abi Balta’ah menulis surat kepda mereka lalu ketahuan rencana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh mereka maka ini bahaya dan bisa jadi mereka akan mengumpulkan pasukan dan mempersiapkan senjata untuk menghadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hal ini mungkin tidak terpikirkan oleh Hatib bin Abi Balta’ah radhiallahu ‘anhu.
([5]) Karena dahulu suku-suku saling bersekutu, di antaranya suku Hatib bersekutu dengan suku Quraisy yang berada di Makkah
([6]) Tafsir Al-Qurthubi: 18/50
([7]) Tafsir Ath-Thobary 22/560
([8]) Lihat: Majmu’ Al-Fatawa 7/487
([10]) HR. Ad-Daruquthny no. 17
([11]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/52
([12]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/134
([13]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/135
([14]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/53
([15]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/53
([16]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/262
([17]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/54
([18]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/264
([19]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/263
([20]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/55
([21]) Lihat: Tafsir Al-Alusy: 14/263
([22]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/56
([23]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/143
([24]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/143
([25]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 22/566
([26]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/56
([27]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/265
([28]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/57
([29]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/57
([30]) Lihat: Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiin 2/118
([31]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/148
([33]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/150
([34]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/58
([35]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/152
([37]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/59
([38]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/323
([39]) Lihat: Ahkamul Qur’an Li Ibnu Al-‘Arabiy 4/228
([40]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/60
([41]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/61
([42]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/61
([43]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/62
([44]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/62
([45]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 28/156
([46]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/63
([47]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/63
([48]) Lihat: Ahkamul Qur’an Li Ibnu Al-‘Arabiy 4/230
([49]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/297
([50]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/65
([51]) Majmu’ Al-Fatawa Li Ibnu Taimiyyah 13/120
([52]) Tafsir Ibnu Katsir 2/292
([53]) Misalnya jika sang istri memiliki iddah tiga kali haid, maka dia memiliki masa tiga kali haid untuk merayu suaminya untuk masuk agama Islam.
([54]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/66
([55]) Tafsir As-Sa’diy hal.857
([56]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/69
([57]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/71
([58]) Niyahah adalah meratapi mayat. Karena ada sebagian wanita yang lemah imannya tatkala keluarganya meninggal dunia. Akhirnya dia meratapinya dengan berteriak-teriak atau dengan merobek-robek baju. Sebagaimana Nabi bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّة
“Bukan dari golongan kami, orang yang terkena musibah lalu menampar pipinya, merobek-robek bajunya dan berteriak sebagaimana perbuatan orang-orang jahiliyah.”(H.R. Muslim no.103)
Diantara bentuk niyahah adalah seperti yang telah disebutkan dalam hadits tersebut. Hukumnya adalah haram dan termasuk dosa besar.