Tafsir Surah Al-Mujadalah
Surat ini dinamakan dengan al-mujadalah berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
{قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ} [المجادلة: 1]
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mujadalah:1)
Surat ini dinamakan dengan Al-Mujadalah yaitu perbuatan dialog atau al-muhawaroh, dan dinamakan juga al-mujadilah yaitu berkaitan dengan wanita yang berdialog dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengeluhkan tentang suaminya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Surah al-mujaadalah adalah surah madaniyyah yang turun setelah Nabi berhijrah ke kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jumhur ulama mengatakan bahwa surah ini seluruhnya dari awal hingga akhir adalah madaniyyah dan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa sepuluh ayat pertama madaniyyah dan sisanya makkiyyah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ} [المجادلة: 1]
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al-Mujadalah:1)
Wanita yang mengadu kepada Nabi ini bernama Khaulah binti Tsa’labah dan suaminya bernama Aus bin ash-shamit saudaranya ‘ubadah bin ash-shamit radhiyallahu ta’ala ‘anhu.
Suatu hari di zaman kekhilafahan Umar bin Al-Khotthob radhiyallahu ‘anhu ketika beliau menjadi seorang kholifah/amirul mu’minin, disaat beliau sedang lewat bersama orang-orang dimana beliau menunggangi keledainya, tiba-tiba beliau diberhentikan oleh seorang wanita tua dengan waktu yang lama, dan wanita tua tersebut lalu menasihatinya, seraya berkata :
يَا عُمَرَ قَدْ كُنْتَ تُدْعَى عُمَيْرًا، ثُمَّ قِيلَ لَكَ عُمَرُ، ثُمَّ قِيلَ لَكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ، فَاتَّقِ اللَّهَ يَا عُمَرَ، فَإِنَّهُ مَنْ أَيْقَنَ بِالْمَوْتِ خَافَ الْفَوْتَ، وَمَنْ أَيْقَنَ بِالْحِسَابِ خَافَ الْعَذَابَ، وَهُوَ وَاقِفٌ يَسْمَعُ كَلَامَهَا، فَقِيلَ لَهُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَتَقِفُ لِهَذِهِ الْعَجُوزِ هَذَا الْوُقُوفَ؟ فَقَالَ: وَاللَّهِ لَوْ حَبَسَتْنِي مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ إِلَى آخِرِهِ لَا زِلْتُ إِلَّا لِلصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ، أَتَدْرُونَ من هذه العجوز؟ هي خولة بِنْتُ ثَعْلَبَةَ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَهَا مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتٍ، أَيَسْمَعُ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَوْلَهَا وَلَا يَسْمَعُهُ عُمَرُ؟
“Wahai umar dahulu engkau dipanggil ‘Umair (‘Umar yang kecil), lalu engkau dipanggil ‘Umar (ketika dewasa) dan sekarang engkau dipanggil dengan sebutan Amirul mu’minin, maka bertakwalah engkau wahai ‘Umar, sesungguhnya barang siapa yang yakin akan kematian maka dia akan khawatir akan luput dari kesempatan yang baik, dan barang siapa yang yakin dengan hisab maka dia takut dengan adzab”.
Dan ‘Umar tetap berhenti mendengar nasehat wanita tersebut (maka orang-orang heran dengan perbuatan ‘Umar) lalu mereka bertanya kepadanya,”Wahai amirul mu’minin apakah engkau berdiri lama menunggu wanita tua ini?”. Beliaupun menjawab, “Demi Allah, seandainya wanita ini menghentikan aku dari pagi sampai malam aku akan tetap berhenti bersamanya kecuali hanya untuk shalat lima waktu saja. Apakah kalian tahu siapa wanita ini? Dia adalah Khaulah binti Tsa’labah, Allah telah mendengar ucapannya dari atas langit ketujuh. Apakah Allah mendengar perkataannya sementara umar tidak mau mendengar perkataannya?” ([1])
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa Khaulah binti Tsa’labah mempunyai masalah masalah dengan suaminya. Karena suaminya telah menzhiharnya, dalam riwayat yang lain dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhaa, dia berkata:
تَبَارَكَ الَّذِي وَسِعَ سَمْعُهُ كُلَّ شَيْءٍ، إِنِّي لَأَسْمَعُ كَلَامَ خَوْلَةَ بِنْتِ ثَعْلَبَةَ وَيَخْفَى عَلَيَّ بَعْضُهُ، وَهِيَ تَشْتَكِي زَوْجَهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهِيَ تَقُولُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَكَلَ شَبَابِي، وَنَثَرْتُ لَهُ بَطْنِي، حَتَّى إِذَا كَبِرَتْ سِنِّي، وَانْقَطَعَ وَلَدِي، ظَاهَرَ مِنِّي، اللَّهُمَّ إِنِّي أَشْكُو إِلَيْكَ، فَمَا بَرِحَتْ حَتَّى نَزَلَ جِبْرَائِيلُ بِهَؤُلَاءِ الْآيَاتِ: {قَدْ سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى اللَّهِ} [المجادلة: 1] ”
“Maha Agung Allah subhanahu wa ta’ala yang pendengarannya meliputi segala sesuatu, sungguh aku mendengar perkataan/pembicaraan Khaulah binti Tsa’labah dan sebagian pembicaraannya aku tidak mendengar. Dia sedang mengadukan suaminya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah! Suamiku telah menghabiskan masa mudaku (aku sekarang sudah tua), dan aku telah mengeluarkan isi perutku untuknya (melahirkan banyak anak darinya) hingga ketika aku sudah tua dan aku tidak bisa melahirkan anak lagi untuknya, dan dia melakukan zhihar([2]) kepadaku. Ya Allah sesungguhnya aku mengadukan kepada-Mu”. Khaulah terus menerus demikian hingga Jibril turun membawa ayat-ayat tersebut {Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah}.” ([3])
Dalam lafaz yang lain dari ‘Aisyah, ia berkata:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَسِعَ سَمْعُهُ الْأَصْوَاتَ، لَقَدْ جَاءَتِ الْمُجَادِلَةُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تُكَلِّمُهُ وَأَنَا فِي نَاحِيَةِ الْبَيْتِ، مَا أَسْمَعُ مَا تَقُولُ: فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ:{قَدْ سَمِعَ اللهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا} [المجادلة: 1] ” إِلَى آخِرِ الْآيَةِ
“Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya meliputi segala suara, sungguh telah datang seorang wanita yang mengadu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajaknya bicara sedangkan aku saat itu berada di ujung rumah, tidak dapat mendengar apa yang ia katakan. Maka Allah menurunkan ayat: {sungguh Allah telah mendengar wanita yang berbicara (berdebat) denganmu tentang masalah suaminya}, hingga akhir ayat.” ([4])
‘Aisyah yang berada di dalam rumah tidak dapat mendengar perkataan wanita tersebut sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala yang berada jauh di atas langit ke tujuh dapat mendengar keluhan wanita tersebut.
Disebutkan dalam sebagian riwayat dari Ibnu Abbas yang menyebutkan sebab mengapa Aus menzhihar Khaulah:
وَكَانَتْ حَسَنَةَ الْجِسْمِ، فَرَآهَا زَوْجُهَا سَاجِدَةً فَنَظَرَ عَجِيزَتَهَا فَأَعْجَبَهُ أَمْرُهَا، فَلَمَّا انْصَرَفَتْ أَرَادَهَا فَأَبَتْ فَغَضِبَ عَلَيْهَا- قَالَ عُرْوَةُ: وَكَانَ امْرَأً بِهِ لَمَمٌ فَأَصَابَهُ بَعْضُ لَمَمِهِ فَقَالَ لَهَا: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي. وَكَانَ الْإِيلَاءُ وَالظِّهَارُ مِنَ الطَّلَاقِ فِي الْجَاهِلِيَّةِ، فَسَأَلَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لَهَا: (حَرُمْتِ عَلَيْهِ) فَقَالَتْ: وَاللَّهِ مَا ذَكَرَ طَلَاقًا
“Bahwasanya dia (Khaulah) memiliki tubuh yang indah, kemudian suaminya melihatnya dalam keadaan sujud dan dia melihat bokong/pantatnya lalu dia tertarik, ketika Khaulah selesai dari shalatnya maka dia mau menggaulinya namun istrinya (Khaulah) menolak. Sementara suaminya adalah seorang lelaki yang memiliki lamam ([5]), maka kumatlah penyakit lamam-nya, maka dia berkata: “Engkau seperti punggung ibuku”. Dahulu di zaman jahiliyyah iilaa’ dan zhihar termasuk talak, maka Khaulah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab, “Engkau haram baginya”. Khaulah pun berkata: demi Allah dia tidak menyebutkan talak (tidak mentalakku).” ([6])
Pada riwayat ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa memberi keputusan, karena Nabi hanya menjawab: (حَرُمْتِ عَلَيْهِ) “ُngkau haram baginya (tidak bisa digauli oleh suaminya)”. Beliau tidak memberikan jawaban bagaimana hukumnya, apakah dia telah ditalak atau tidak?
Dalam riwayat yang lain:
وَإِنَّ لِي صِبْيَةً صِغَارًا إِنْ ضَمَمْتُهُمْ إِلَيْهِ ضَاعُوا وَإِنْ ضَمَمْتُهُمْ إِلَيَّ جَاعُوا
“Dan sesungguhnya aku memiliki anak-anak yang masih kecil, jika aku membiarkan mereka bersama suamiku maka mereka akan terlantarkan, dan jika aku yang mengurusi mereka maka mereka akan lapar.” ([7])
Wanita tersebut mempertanyakan bagaimana nasibnya, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjawab, lalu dia mengeluhkan hal tersebut kepada Allah subhanahu wa ta’ala, ia berkata:
أَشْكُو إِلَى اللَّهِ فَاقَتِي وَوَحْدَتِي وَوَحْشَتِي وَفِرَاقَ زَوْجِي وَابْنَ عَمِّي وَقَدْ نَفَضْتُ لَهُ بَطْنِي….حَتَّى نَزَلَتْ عَلَيْهِ الْآيَةُ
“Aku mengadu kepada Allah tentang kesulitan diriku, tentang kesendirianku, tentang perpisahanku dengan suamiku, padahal dia adalah sepupuku, aku telah melahirkan banyak anak untuk suamiku….”, hingga turun ayat kepada beliau.” ([8])
Dalam riwayat lain:
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (ما أوحى إلي في هذا شيء) فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُوحِيَ إِلَيْكَ فِي كل شيء وَطُوِيَ عَنْكَ هَذَا؟! فَقَالَ: (هُوَ مَا قُلْتُ لَكِ) فَقَالَتْ: إِلَى اللَّهِ أَشْكُو لَا إِلَى رسوله.
“Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada sesuatupun yang diwahyukan kepadaku dalam masalah ini”, lalu wanita tersebut berkata, “Wahai Rasulullah, telah diwahyukan kepadamu segala sesuatu, maka apakah tidak turun wahyu kepadamu tentang perkara ini?”. Lalu beliau menjawab, “Inilah yang bisa aku katakan (engkau tidak bisa digauli oleh suamimu), diapun berkata, “Aku mengeluhkan perkaraku kepada Allah bukan kepada Rasul-Nya.” ([9])
Inilah kisah tentang sebab turunnya surat al-mujadalah yaitu kisah Khaulah binti Tsa’labah yang dizhihar suaminya Aus bin Ash-Shamit.
Hukum zhihar:
Azh-zhihar diambil dari kata azh-zhahru yang artinya punggung, menurut para ulama yang dimaksud di sini adalah al-bathnu yaitu perut, maksudnya lelaki ketika menggauli istrinya maka ia berada di atas perut istrinya.
Zhihar terbagi menjadi dua:
Pertama: zhihar yang dikatakan kepada budaknya, maka para ulama mengatakan hukumnya boleh, dan ini tidak dianggap zhihar.
Kedua: zhihar yang dikatakan oleh suami kepada istrinya, dan ini terbagi menjadi tiga macam:
- Jika disamakan dengan ibu, seperti ucapan: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي “engkau wahai istriku seperti punggung ibuku”, maka para ulama sepakat ini adalah zhihar.
- Jika disamakan dengan mahrom selain ibunya, seperti ucapan: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُخْتِيْ “engkau wahai istriku seperti punggung saudariku”, dan kita ketahui bahwa seorang lelaki dilarang untuk menikahi saudarinya. Maka ada khilaf dalam masalah ini, mayoritas ulama mengatakan bahwa ini dianggap zhihar, adapun sebagian ulama yang lain seperti madzhab Asy-syafi’i mengatakan tidak dianggap zhihar dalam masalah ini. Karena imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa zhihar hanya berlaku dalam penyamaan dengan ibu saja, adapun mayoritas ulama berpendapat jatuhnya zhihar karena zhihar intinya tasybih al-muhallal bil muharrom yaitu menyamakan yang halal untuk digauli dengan yang haram untuk digauli seperti saudari, putri, bibi dan yang lainnya.
- Jika disamakan dengan wanita ajnabiyyah, seperti ucapan: أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ فُلَانَة “engkau wahai istriku seperti punggung fulanah )contohnya istri orang lain)”, dia menyamakan istrinya dengan wanita yang haram untuk digauli, maka dalam masalah ini juga terdapat khilaf, dan penulis lebih condong merojihkan bahwa ini bukan termasuk zhihar. Wallahu a’alam bis showab.
Lafal zhihar
Terdapat dua pembagian lafal yang berkaitan dengan lafal zhihar: yaitu lafal shorih (tegas) dan kinayah (tidak tegas), sama seperti lafal talak ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, contohnya: ”kamu saya cerai” maka ini adalah lafal yang tegas, dan telah jatuh cerainya. Dan contoh yang tidak tegas: “kita pisah saja” maka ini tidak jelas dan ini namanya kinayah, juga termasuk contoh lafal ini: “pulang saja ke rumah orang tuamu”, lalu bagaimana hukumnya, apakah jatuh talak atau tidak? Maka ini tergantung niat pengucapnya, jika ia mengucapkan “pulang saja ke rumah orang tuamu” dengan niat menceraikan maka jatuh cerainya, dan jika niatnya hanya menakut-nakuti saja maka tidak jatuh cerai. Lafal zhihar pun demikian.
Pertama: lafal shorih (tegas), dan ini ada dua lafal,
- أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي “engkau wahai istriku seperti punggung ibuku”, yaitu dengan lafal azh-zhahru.
- أَنْتِ عَلَيَّ كَرَأْسِ أُمِّي “engkau wahai istriku seperti kepala ibuku”, dan dalam masalah ini terdapat khilaf, mayoritas ulama mengatakan ini adalah lafaz yang tegas dan jatuh zhihar dengan lafaz ini, adapun imam Asy-Syafi’ menganggap zhihar tidak jatuh dengan lafaz ini, karena dia menganggap bahwa zhihar hanya khusus dengan lafaz azh-zhahru saja, karena azh-zhahru adalah kinayah dari al-bathnu yang dimaksud darinya jima’.
Kedua: lafal kinayah (tidak tegas), seperti ucapan “engkau disisiku seperti ibuku”, maka para ulama mengatakan hal ini kembali kepada niatnya.
Pertanyaan pertama:
Bagaimana jika yang menzhihar adalah istri, seperti ucapan seorang istri kepada suaminya: “kamu seperti punggung ayahku”. Maka bagaimana hukumnya?
Maka para ulama menjawab bahwa zhiharnya tidak jatuh namun ia harus membayar kaffaroh sumpah, karena zhihar hanya boleh dari pihak suami saja sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ}
“Orang-orang yang menzhihar isteri-istrinya dari kalian (maksudnya para suami)”
Pertanyaan kedua:
Bagaimana hukum memanggil istri dengan panggilan “dek, ummi, dan lainnya”, apakah termasuk zhihar ataukah tidak? Maka kalau kita perhatikan khilaf para ulama maka sangat jelas ini bukanlah zhihar walaupun sebagian ulama di antaranya ulama hanabilah mengatakan hukumnya makruh, di antaranya dikatakan oleh As-Sa’di dalam tafsirnya makruh memanggil seorang istri dengan panggilan ukhti atau ummi karena ini hampir mirip dengan zhihar. Namun kita perhatikan bahwa zhihar ini adalah suatu lafal istilah yang ma’ruf yang dilakukan orang jahiliyyah dahulu, karena pada zaman dahulu ketika mengucapkan أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي “engkau wahai istriku seperti punggung ibuku”, maka hukumnya cerai pada zaman dahulu, namun dalam islam diubah hukumnya bukan cerai tapi hukumnya menjadi zhihar yang memiliki aturan sendiri, yaitu dia tidak boleh menggauli istrinya sampai dia membayar kaffaroh zhihar yaitu membebaskan budak, atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan enam puluh orang fakir miskin. Oleh karenanya panggilan istri kepada suaminya dengan panggilan “mas” maka ini bukanlah zhihar karena ini adalah lafal yang mengandung beberapa kemungkinan, bisa berarti suami atau kakak, begitu juga panggilan seorang suami kepada istri dengan panggilan ummi, maka ini mengandung beberapa kemungkinan, karena bisa saja yang dimaksud ummi dari anak-anaknya. Namun jika ingin keluar dari khilaf maka panggil saja dengan panggilan “sayangku, cintaku, dan lainnya”.
Dalam ayat ini Allah menyebutkan sifat mendengar Allah قَدْ سَمِعَ “sungguh Allah telah mendengar”, maka selesai (telah berlalu) pendengaran Allah, kapan Allah mendengar? Yaitu tatkala wanita tersebut mengeluh kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata:
إِلَى اللَّهِ أَشْكُو لَا إِلَى رسوله
“Aku mengeluhkan perkaraku kepada Allah bukan kepada Rasul-Nya”
Maka ketika dia mengatakan ini Allah mendengar menggunakan fi’il madhi yang menunjukkan paste (telah berlalu) “Allah telah mendengar”. Kemudian terhadap yang sedang mereka bicarakan Allah berfirman وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا sesungguhnya Allah sedang mendengar diskusi kalian berdua antara al-mujadilah Khaulah binti Tsa’labah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika mereka sedang bicara saat ini maka Allah sedang mendengar. Jadi ada pendengaran yang sudah Allah dengar dan pendengaran yang sedang Allah dengar, ini semua menunjukkan sifat pendengarn Allah subhanahu wa ta’ala. Dan banyak kita dapati di buku-buku ahlu tafsir (yang kebanyakan mereka adalah asya’iroh) ketika mereka menafsirkan pendengaran Allah maka mereka tidak menetapkan sifat mendengar Allah subhanahu wa ta’ala, mereka mentakwilkan sifat mendengar dengan ilmu (mengetahui), mereka tidak mau menetapkan sifat mendengar. Memang benar secara zhohir mereka mengatakan bahwa Allah memiliki sifat mendengar namun sifat mendengar tersebut mereka takwilkan dengan makna ilmu, yaitu ilmu tentang perkara-perkara yang terdengar (إِدْرَاكُ الْمَسْمُوْعَاتِ) ([10]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ} [المجادلة: 2]
“Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kalian, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mujadalah: 2)
Zhihar ini merupakan perkataan yang munkar dan dusta yang tidak enak didengar oleh istri, bagaimana mungkin istri yang dia cintai yang dia gauli kemudian dia samakan dengan ibunya ?. Maka dalam ayat ini Allah mengatakan bahwa zhihar adalah perkataan yang munkar dan dusta. Dari ini kita tahu bahwa zhihar itu hukumnya maksiat, jika seseorang sudah melakukannya maka dia harus membayar kaffaroh.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ
“Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun”
Para ulama mengatakan bahwa jika digabungkan العَفُوّ dan الغَفُورmaka ada perbedaan antara keduanya, العَفُو artinya عَدَمُ المُؤَاخَذَة yaitu Allah tidak akan mengadzab orang yang telah bertaubat dari perbuatan tersebut, maka jika ada orang yang telah melakukan perbuatan kemunkaran dan kedustaan lalu kemudian ia bertaubat kepada Allah, maka Allah العَفُو yaitu Allah tidak akan mengadzabnya. Adapun الغَفُور artinya السِّتْر yaitu Allah bukan hanya tidak menghukumnya bahkan Allah akan menutup aibnya dari khalayak pada hari kiamat kelak. Maka العَفُوّ dan الغَفُورjika digabungkan maka الغَفُور lebih spesifik kepada makna yaitu menutup aibnya pada hari kiamat kelak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ} [المجادلة: 3]
“Dan mereka yang menzihar istrinya, kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan, maka (mereka diwajibkan) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kalian, dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 3)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan tentang orang yang telah terlanjur menzhihar istrinya kemudian dia ingin menarik kembali apa yang telah dia ucapkan yaitu dia niat untuk menggauli istrinya lagi, sama seperti yang terjadi pada Aus bin Ash-Shamit dia menyesal, dia sayang kepada istrinya namun dia telah terlanjur mengucapkannya (zhihar), dia ingin untuk kembali menggauli istrinya namun tidak bisa karena dia telah terlanjur menzhiharnya. Orang-orang yang telah terlanjur mengucapkan zhihar maka mereka tidak boleh berhubungan dengan istri-istri mereka sampai mereka membebaskan budak. Maka hendaknya seseorang berhati-hati ketika menzhihar istrinya, karena istrinya tidak boleh digauli. Bisa jadi dia tinggal serumah tinggal bersama istrinya namun istrinya tersebut tidak boleh dinikmati. Sebagian ulama mengatakan tidak boleh dinikmati di sini sifatnya umum, yaitu tidak boleh dinikmati, tidak boleh disentuh, dan apa pun bagian dari tubuhnya tidak boleh dinikmati hingga ia memerdekakan seorang budak. Dan sebagian lagi berpendapat bahwa yang dimaksud dari tidak boleh dinikmati yaitu tidak boleh digauli saja, adapun yang lainnya maka boleh, artinya bersentuhan masih boleh selama bukan dalam rangka berlezat-lezat syahwat.
Maka di sini dijelaskan bahwa syarat bagi orang yang telah menzhihar istrinya lalu ingin menggaulinya lagi ia harus membebaskan budak, akan tetapi jika ia tidak ingin menggauli istrinya setelah menzhiharnya lalu dia menceraikannya maka dia tidak perlu untuk membebaskan budak, karena Allah berfirman:
ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا
“kemudian menarik kembali apa yang telah mereka ucapkan”
Para ulama menafsirkan ayat ini maksudnya adalah mereka kembali ingin menggauli istri mereka, maka tidak boleh menggauli sampai mereka membebaskan budak.
Dalam ayat ini Allah menyebutkan budak secara muthlak (umum), akan tetapi disebutkan dalam ayat yang lain Allah berfirman:
فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
“maka hendaknya dia membebaskan budak yang beriman” QS. An-Nisa: 92
Jadi yang dimaksud dengan memerdekakan budak adalah memerdekakan budak yang beriman, dan ini didukung dengan kisah Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami:
وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ، آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَفَلَا أُعْتِقُهَا؟ قَالَ: «ائْتِنِي بِهَا» فَأَتَيْتُهُ بِهَا، فَقَالَ لَهَا: «أَيْنَ اللهُ؟» قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ، قَالَ: «مَنْ أَنَا؟» قَالَتْ: أَنْتَ رَسُولُ اللهِ، قَالَ: «أَعْتِقْهَا، فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ»
“Dahulu saya mempunyai budak wanita yang menggembala kambing di depan gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah. Pada suatu hari aku memeriksanya, ternyata seekor serigala telah membawa seekor kambing dari gembalaannya. Aku adalah laki-laki biasa dari anak-anak keturunan bani Adam, aku bisa marah sebagaimana mereka juga bisa marah. Tetapi aku menamparnya sekali. Lalu aku mendatangi Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, dan beliau anggap tamparan itu adalah masalah besar. Aku berkata, “(Untuk menebus kesalahanku), tidakkah lebih baik aku memerdekakannya? ‘ Beliau bersabda, ‘Bawalah dia kepadaku.’ Lalu aku membawanya menghadap beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Di manakah Allah? ‘ Budak itu menjawab, ‘Di langit.’ Beliau bertanya, ‘Siapakah aku? ‘ Dia menjawab, ‘Kamu adalah utusan Allah.’ Beliau bersabda, ‘Bebaskanlah dia, karena dia seorang wanita mukminah’.” ([11])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ} [المجادلة: 4]
“Maka barangsiapa tidak dapat (memerdekakan hamba sahaya), maka (dia wajib) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.“ (QS. Al-Mujadalah: 4)
siapa yang ternyata tidak memiliki uang untuk memerdekakan budak, atau tidak mendapatkan budak seperti zaman sekarang ini tidak ada budak, atau ada budak akan tetapi dia tidak mampu untuk memerdekakannya karena memerdekakan budak membutuhkan uang yang sangat banyak maka ia beranjak kepada kaffaroh yang kedua, yaitu berpuasa dua bulan berturut-turut tanpa ada bolongnya, seandainya ia berpuasa lima puluh hari bertutut-turut kemudian pada hari kelima puluh satu ia batal tanpa adanya ‘udzur maka ia harus mengulang lagi dari awal karena Allah mensyaratkan harus dua bulan berturut-turut. Namun jika ternyata dia batal di tengah jalan karena ‘udzur syar’i maka tidak dianggap bolong. ‘Udzur syar’i tersebut adalah ‘udzur yang karenanya ia boleh untuk membatalkan puasa seperti ‘udzur pada puasa di bulan Ramadhan. Misalnya dia tidak berpuasa di tengah-tengah karena safar maka ini boleh, contohnya pada hari kelima puluh ternyata dia safar maka dia boleh untuk tidak berpuasa nanti ketika dia sudah kembali maka dia lanjutkan kembali puasanya yang tersisa sepuluh hari lagi supaya genap dua bulan. Atau misalnya seseorang berpuasa selama lima puluh hari kemudian sakit selama dua bulan, maka ini tidak mengapa, dan ketika dia sembuh dia melanjutkan puasanya yang sisa sepuluh hari. Atau puasanya terpotong pada hari ke lima puluh enam disebabkan ‘idul fithri maka pada hari tersebut dia tidak berpuasa dan dilanjutkan pada hari kedua dia berpuasa lagi dan beberapa hari lagi sisanya. Intinya jika seseorang berpuasa dan batal di pertengahan tanpa ‘udzur syar’i maka dia harus mengulang lagi dari awal, dan selama dua bulan tersebut dia tidak boleh menggauli istrinya.
Subhanallah sungguh hukuman yang berat hanya karena satu kata, satu kata menimbulkan masalah besar. Karenanya hendaknya orang yang sedang emosi harus hati-hati, terkadang perkataan itu berat di sisi Allah subahanahu wa ta’ala sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
«إِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ، وَإِنَّ العَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، لاَ يُلْقِي لَهَا بَالًا، يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ»
“Sungguh seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat yang diridhai Allah, suatu kalimat yang dia tidak mempedulikannya (memperhatikannya), namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang dimurkai oleh Allah, suatu kalimat yang dia tidak meperdulikannya (memperhatikannya), namun dengannya Allah melemparkannya ke dalam neraka.” ([12])
Jadi maksud penulis hendaknya kita berhati-hati, banyak perkataan yang kelihatannya ringan namun dampaknya sangat besar, seperti cerai, seseorang emosi lalu mentalak istrinya tiga kali, begitu juga zhihar. Allah mengatakan tentang zhihar dengan مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا perkataan munkar dan perkataan dusta.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Tetapi barangsiapa tidak mampu, maka (wajib) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih”
Allah berfirman فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ “barang siapa yang tidak mampu”, maka ini hanya dia sendiri yang lebih tahu dia mampu atau tidak, dan ini berkaitan antara dia dan Allah subahanahu wa ta’ala, hendaknya seseorang jujur dihadapan Allah, jika ia mampu ia kerjakan dan jika ia tidak mampu maka ia berpindah kepada pilihan yang ketiga yaitu memberi makan enam puluh orang miskin, entah itu langsung memberikannya langsung dengan mengumpulkan enam puluh orang atau dengan cara mencicil kepada enam puluh orang miskin yang berbeda, yang penting dia memberikan makan enam puluh orang miskin.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
“Demikianlah agar kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah hukum-hukum Allah”
Allah memerintahkan hamba-Nya untuk beriman kepada-Nya, di antara bukti beriman kepada Allah yaitu dengan menjalankan aturan-aturan ini. Ada orang cuek terhadap aturan-aturan Allah, dia menceraikan istrinya dua puluh kali atau tiga puluh kali dan dia cuek saja, dia tidak peduli dengan aturan Allah. Dan juga ada orang cuek terhadap aturan-aturan Allah, ada warisan dia ambil semaunya, dia tidak membagikan sesuai aturan Allah, dia cuek terhadap hukum-hukum Allah. Maka hendaknya seseorang mengagungkan aturan-aturan Allah.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih”
Orang-orang kafir berbeda dengan orang-orang yang beriman, adzab mereka lebih parah lagi, mereka melanggar hukum-hukum Allah namun tidak ada kaffaroh yang bermanfaat bagi mereka, adapun orang yang beriman ketika melanggar terkadang ada kaffarohnya, dan itu bermanfaat bagi mereka yaitu menggugurkan dosa mereka. Adapun orang yang kafir tidak ada kaffaroh bagi mereka dan bagi mereka di neraka adzab yang pedih.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ} [المجادلة: 5]
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka. Dan sungguh, Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata. Dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang menghinakan.” (QS. Al-Mujadalah: 5)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang yang menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-nya, dan para ulama menjelaskan makna kata الْمُحَادَّةُ yaitu seperti orang-orang yang mengambil sikap oposisi (menentang), oleh karenanya para ulama ahli tafsir tatkala membawakan makna الْمُحَادَّةُ mereka membawakannya seperti makna firman Allah subhanahu wa ta’ala ذلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ {yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah subhanahu wa ta’ala}, yaitu menggunakan kata yang maknanya Allah subhanahu wa ta’ala berada di suatu sisi dan mereka berada di sisi yang lain, yaitu mereka menentang Allah subhanahu wa ta’ala. Dan ayat ini disebutkan setelah penyebutan tentang hukum zhihar yang kemudian Allah subhanahu wa ta’ala akhiri ayat tersebut dengan firman-Nya {dan itu adalah batasan-batasan Allah subhanahu wa ta’ala}, maka orang yang tidak mengambil batasan-batasan Allah subhanahu wa ta’ala sama saja mereka seperti menentang Allah subhanahu wa ta’ala.
Al-Baydhowy berkata ketika menafsirkan ayat ini:
إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُعَادُوْنَهُمَا فَإِنَّ كُلاً مِنَ الْمُتَعَادِيَيْنِ في حَدٍّ غير حد الآخر، أو يضعون أو يختارون حدوداً غير حدودهما
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya hakikatnya mereka memusuhi Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, karena sesungguhnya setiap dua orang yang bermusuhan akan berada di suatu batasan selain batasan musuhnya. Atau mereka akan membuat atau memilih batasan-batasan (aturan-aturan) selain batasan-batasan (aturan-aturan) Allah dan RasulNya.” ([13])
Al-Alusy berkata ketika mengomentari penafsiran Al-Baydhowy:
وَعَلَى هَذَا فَفِيْهِ وَعِيْدٌ عَظِيْمٌ لِلْمُلُوْكِ وَأُمَرَاءِ السُّوْءِ الَّذِيْنَ وَضَعُوْا أُمُوْرًا خِلَافَ مَا حَدَّهُ الشَّرْعُ
“berdasarkan penafsiran Al-Baydhowy ini maka di dalamnya terdapat ancaman yang besar bagi para raja-raja dan pemimpin-pemimpin yang buruk yang mereka meletakan/membuat aturan-aturan yang menyelisihi aturan syariat Allah subhanahu wa ta’ala.” ([14])
Maka para raja-raja dan pemimpin-pemimpin yang buruk tersebut mendapatkan ancaman yang Allah subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam firman-Nya إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا {Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan}, dan banyak penfsiran para ulama berkaitan dengan kata كُبِتُوا, ada yang menafsirkan dengan أُهْلِكُوا yaitu mereka dibinasakan, ada yang menfasirkan اخْزُوا dengan yaitu mereka dihinakan, dan ada juga yang menafsirkan dengan عُذِّبُوا yaitu mereka diadzab([15]).
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ
“Sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka”
Ayat ini adalah sebuah peringatan yang sangat keras terhadap orang-orang yang menentang aturan-aturan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini menggunakan kata كُبِتُوا yang ini adalah fi’il madhi (past tense), sehingga ketika kita menerjemahkan firman-Nya إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ كُبِتُوا {Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya telah dibinasakan/dihinakan}, padahal hal tersebut belumlah terjadi, karena para ulama sepakat bahwa ayat ini adalah ayat ancaman tentang hukuman yang akan terjadi di masa depan bagi mereka yang menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, maka seharusnya tidak menggunakan fi’il madhi, karena fi’il madhi yang menunjukkan untuk sesuatu yang telah berlalu dan telah terjadi, dan seharusnya yang lebih tepat adalah menggunakan fi’il mudhori’ yang menunjukkan untuk sesuatu yang akan terjadi yaitu سَيُكْبَتُوْنَ (mereka akan dihinakan/disiksa/dibinasakan), namun dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan fi’il madhi كُبِتُوا(telah dibinasakan). Para ulama menjelaskan faedah dari penggunaan fi’il madhi tersebut adalah untuk menunjukkan bahwasanya hal tersebut مُتَحَقِّقُ الْوُقُوْع (pasti akan terjadi) sehingga seakan-akan telah terjadi([16]).
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ
“Dan sungguh, Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan alasan mengapa mereka berhak mendapatkan kehinaan/kebinasaan/siksaan di kemudian hari atau mengapa orang-orang yang sebelum mereka berhak mendapatkan kehinaan/kebinasaan/siksaan? Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan alasannya dalam firman-Nya وَقَدْ أَنْزَلْنَا آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ {Dan sungguh, Kami telah menurunkan bukti-bukti yang nyata}, dan ini dalam bahasa arab i’rabnya adalah sebagai حَال (keadaan) dari kalimat sebelumnya كَمَا كُبِتَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ {sebagaimana kehinaan yang telah didapat oleh orang-orang sebelum mereka}, jadi Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan alasan mengapa mereka disiksa/dihina/diadzab adalah tidaklah mereka diadzab kecuali mereka sudah dalam keadaan Allah subhanahu wa ta’ala telah menurunkan ayat-ayat yang jelas bagi mereka sehingga tidak ada ‘udzur bagi mereka, sudah jelas penjelasan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang telah disampaikan oleh para Rasul-Nya namun mereka tetap tidak mau beriman dan mereka tetap mereka menentang maka mereka akan dibinasakan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ} [المجادلة: 6]
“pada hari itu mereka semuanya dibangkitkan Allah, lalu diberitakan-Nya kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Allah menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya. Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadalah: 6)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa pada hari kiamat kelak Allah subhanahu wa ta’ala akan mengabarkan semua perbuatan manusia yang telah mereka lupakan selama di dunia, bahkan kita yang masih di dunia ini saja banyak hal yang telah kita lupakan, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ {Allah mengumpulkan/mencatat (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya}.
Kita di dunia banyak perbuatan yang telah kita lupakan, banyak kemaksiatan yang telah kita lakukan namun kita melupakannya, bahkan ketika kita disuruh untuk mengingat siapa saja orang yang telah kita caci maki, dan siapa saja orang yang telah kita gibah maka tentu kita sudah melupakannya karena terlalu banyaknya orang yang telah kita gibah, terlebih lagi orang yang sangat suka menulis di media sosial, maka betapa banyak orang yang dia caci, dia gibah, dia rendahkan dan dia lupa akan semua yang telah ia lakukan, akan tetapi nanti semua ini akan diingatkan kembali oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Penulis sendiri sering mendapati tulisan-tulisan tentang nasehat yang tersebar atas nama penulis akan tetapi penulis sendiri sudah lupa akan semua itu dan sudah banyak hal yang telah dilupakan oleh penulis yang kemudian diingatkan kembali dengan beberapa tulisan yang tersebar atas nama penulis, sehingga terkadang membuat penulis harus mengecek kembali tulisan tersebut apakah benar tulisan tersebut milik penulis. Intinya semua manusia banyak melupakan apa yang telah mereka kerjakan di dunia akan tetapi semua ini akan diingatkan kembali oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun orang-orang kafir dan mujrimin (para pelaku dosa) mereka semua akan dipermalukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, berbeda dengan orang-orang yang beriman, maksiat yang mereka lakukan di dunia akan diingatkan kembali oleh Allah subhanahu wa ta’ala namun tidak dipermalukan di hadapan khalayak, dan mereka diperlihatkan di hadapan khalayak hanya pada perkara-perkara yang baik saja sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُدْنِي الْمُؤْمِنَ، فَيَضَعُ عَلَيْهِ كَنَفَهُ وَيَسْتُرُهُ مِنَ النَّاسِ، وَيُقَرِّرُهُ بِذُنُوبِهِ، وَيَقُولُ لَهُ: أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، أَتَعْرِفُ ذَنْبَ كَذَا، حَتَّى إِذَا قَرَّرَهُ بِذُنُوبِهِ، وَرَأَى فِي نَفْسِهِ أَنَّهُ قَدْ هَلَكَ، قَالَ: فَإِنِّي قَدْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيَا، وَإِنِّي أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ، ثُمَّ يُعْطَى كِتَابَ حَسَنَاتِهِ، وَأَمَّا الْكُفَّارُ وَالْمُنَافِقُونَ، فَيَقُولُ الْأَشْهَادُ “: {هَؤُلَاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلَا لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الظَّالِمِينَ}
“Sesungguhnya Allah pada hari kiamat kelak akan mendekatkan seorang yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala, lalu Allah akan menutupinya ([17]) (karena rasa sayang) sehingga Allah menutupinya dari manusia, Allah berfirman: “Apakah kamu mengenal dosamu yang begini?, apakah kamu mengenal dosamu yang begini?” Hingga ketika dia sudah mengakui dosa-dosanya dan dia melihat bahwa dirinya sungguh telah binasa, Allah berfirman: “sungguh Aku telah menutupi dosa-dosamu tatkala di dunia dan pada hari ini Aku mengampuni dosa-dosamu”. Maka orang beriman itu diberikan kitab catatan kebaikannya. Adapun orang-orang kafir dan munafik, maka para saksi akan berkata: {itulah orang-orang yang mendustakan Tuhan mereka. Maka laknat Allah untuk orang-orang yang zhalim}.” ([18])
Maka dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kembali hamba-hambanya pada hari kiamat kelak tentang apa yang telah mereka lakukan di dunia. Adapun orang-orang yang kafir, kaum munafik, dan mujrimin maka mereka akan dipermalukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat. Allah subhanahu wa ta’ala perlihatkan dosa-dosa mereka di hdapan khalayak, bahkan semenjak di padang mahsyar. Dalil-dalil juga menunjukan bahwa sebagian orang akan dihinakan dan dipermalukan karena maksiat yang mereka lakukan. Nabi bersabda tentang kondisi orang yang sombong pada hari kiamat :
” يُحْشَرُ الْمُتَكَبِّرُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، أَمْثَالَ الذَّرِّ، فِي صُوَرِ النَّاسِ، يَعْلُوهُمْ كُلُّ شَيْءٍ مِنَ الصَّغَارِ، حَتَّى يَدْخُلُوا سِجْنًا فِي جَهَنَّمَ، يُقَالُ لَهُ: بُولَسُ، فَتَعْلُوَهُمْ نَارُ الْأَنْيَارِ، يُسْقَوْنَ مِنْ طِينَةِ الْخَبَالِ، عُصَارَةِ أَهْلِ النَّارِ ”
“Orang-orang yang sombong kelak di hari kiamat akan dibangkitkan dalam bentuk seperti semut kecil berwujud manusia. Segala sesuatu menjadi tinggi karena hinanya mereka, hingga mereka dimasukkan ke dalam penjara neraka jahannam yang bernama Bulas dan mereka pun dilahap api Al An-yar, mereka juga diberi minum dari Thinatul Khobal (darah dan nanah) para penghuni neraka.” ([19])
Sebagaimana orang yang tidak adil ketika berpoligami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ»
“Siapa yang memiliki dua orang istri lalu ia cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka ia datang pada hari kiamat dalam keadaan badannya miring.” ([20])
Hadits ini menunjukkan orang yang mujrim (pelaku dosa besar) dipermalukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat kelak. Adapun orang-orang yang beriman yang bertaqwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang terkadang mereka melakukan maksiat dan terkadang terjerumus ke dalam dosa maka Allah subhanahu wa ta’ala tidak permalukan dia di hadapan khalayak, dan Allah subhanahu wa ta’ala akan memperhitungkan perbuatan amalannya antara Allah subhanahu wa ta’ala dan dia saja.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَحْصَاهُ اللَّهُ وَنَسُوهُ
“Allah menghitungnya (semua amal perbuatan itu), meskipun mereka telah melupakannya”
Ayat ini menjadi bukti bahwasanya memang seorang hamba melupakan dosa-dosa yang telah dia lakukan di dunia, banyak perbuatan dosa dan maksiat yang telah dia lakukan di dunia akan tetapi dia melupakan semua itu maka nanti pada hari kiamat kelak Allah subhanahu wa ta’ala akan mengingatkan semua itu.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu”
Berkata Abu Ishak az-Zajjaj bahwa شَهِيدٌ artinya yaitu Allah subhanahu wa ta’ala hadir, jadi Allah subhanahu wa ta’ala bukan hanya sekedar melihat, menyaksikan, dan mendengar akan tetapi seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala hadir, dan ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui terhadap segala sesuatu secara perinci, karena Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa dirinya adalah شَهِيدٌ yaitu Allah subhanahu wa ta’ala seakan-akan hadir bersama hamba. Bukanlah maksudnya dzat Allah subhanahu wa ta’ala bersama manusia, akan tetapi seakan-akan Allah subhanahu wa ta’ala hadir dan menyaksikan dengan perinci apa yang telah seseorang lakukan sehingga para malaikat mencatat semua apa yang diucapkan dan semua yang dilakukan, itulah maksud dari Allah subhanahu wa ta’ala شَهِيدٌ.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
“Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Mujadalah: 7)
Dalam firman-Nya أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ {Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi?}, maka مَا di sini adalah مَا al-maushulah yang menunjukan makna keumuman. Artinya Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan maha mengetahui segala sesatu yang ada bumi([21]), dan tidak ada yang tersembunyi bagi Allah subhanahu wa ta’ala.
Ayat ini adalah kelanjutan dari ayat yang sebelumnya yaitu وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ {Dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu}, untuk menjelaskan bahwa termasuk dari kesempurnaan persaksian Allah subhanahu wa ta’ala (yang mana persaksiannya itu menyeluruh dan sangat terperinci) adalah Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi([22]), seakan-akan ayat ini sebagai penjelas dari ayat sebelumnya.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan”
Dalam ayat ini menyebutkan bahwa نَجْوَى (bisik-bisik pembicaraan) akan dicatat, karena ini termasuk amal perbuatan yang biasa disebut dengan istilah ‘amal qouly yaitu perbuatan yang dilakukan oleh lisan, karena dalam ayat ini ketika menjelaskan tentang نَجْوَى Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا {Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan}, dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan نَجْوَى sebagai amal perbuatan. Ini mengingatkan kepada kita bahwasanya jangan sampai kita menyangka hanya perbuatan tangan dan kaki yang dianggap sebagai amalan, bahak perbuatan lisan dan gerakan lisan tatkala berucap juga mereupakan amalan yang akan diungkap pada hari kiamat kelak. Karenanya seseorang sebagaimana waspada tatkala menggerakan tangan dan kakinya terhadap orang lain, maka demikian hendaknya juga berhati-hati tatkala mengucapkan perkataan yang ia tujukan kepada orang lain.
Ma’iyyatullah مَعِيةُ الله (kebersamaan Allah subhanahu wa ta’ala)
Menurut Ahlus sunnah maksud dari ma’iyyatullah adalah Allah subhanahu wa ta’ala bersama makhluk-Nya dengan ilmu-Nya, penglihatan-Nya, dan pendengaran-Nya. Dan ini terbagi menjadi dua:
Pertama: اَلْمَعِيَّةُ الْعَامَّةُ (kebersamaan umum), maka ini berlaku untuk seluruh makhluk-Nya, entah itu muslim maupun kafir, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala bersama makhluk-Nya dengan ilmu-Nya, penglihatan-Nya, dan pendengaran-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Dia bersama kalian di mana saja kalian berada” (QS. Al-Hadid: 4)
Kemudian firman-Nya dalam ayat ini
هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
“Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada”
Kedua: اَلْمَعِيَّةُ الْخَاصَّةُ (kebersamaan khusus), maka ini hanya untuk orang-orang yang beriman, yaitu kebersamaan khusus yang melazimkan pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala([23]). Dan ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqoroh: 153)
Kemudian firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الَّذِينَ اتَّقَوْا وَالَّذِينَ هُمْ مُحْسِنُونَ
“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. An-Nahl: 128)
Contohnya lagi adalah ketika Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Naabi Musa dan Harun:
قَالَ لَا تَخَافَا ۖ إِنَّنِي مَعَكُمَا أَسْمَعُ وَأَرَىٰ
Allah berfirman: “Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat”. (QS. Taha: 46)
Begitu juga perkataan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Abu bakar yang Allah subhanahu wa ta’ala abadikan di dalam Al-Quran:
إِلَّا تَنْصُرُوهُ فَقَدْ نَصَرَهُ اللَّهُ إِذْ أَخْرَجَهُ الَّذِينَ كَفَرُوا ثَانِيَ اثْنَيْنِ إِذْ هُمَا فِي الْغَارِ إِذْ يَقُولُ لِصَاحِبِهِ لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللَّهَ مَعَنَا ۖ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُ بِجُنُودٍ لَمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ الَّذِينَ كَفَرُوا السُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ الْعُلْيَا ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita“. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 40)
Dan semuanya ini adalah kebersamaan khusus, bukan hanya sekedar melihat, mendengar, dan mengetahui, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala akan menolong. Inilah yang dinamakan al-ma’iyyah al-khossoh. Dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini mendapatkan al-ma’iyyah al-‘aammah, entah itu yang kafir maupun yang mukmin karena Allah subhanahu wa ta’ala bersama mereka dengan ilmu-Nya, penglihatan-Nya, dan pendengaran-Nya, adapun jika seseorang ingin mendapatkan ma’iyyah khossoh maka harus diraih dengan kesabaran, ketakwaan, keimanan, dan yang lainnya, maka dengan semua itu seseorang kan mendapatkan ma’iyyah khossoh.
Adapun menurut Ahlu bid’ah (al-hululiyyah/al-ittihadiyyah) maksud dari ma’iyyatullah adalah Allah subhanahu wa ta’ala bersama makhluk-Nya dengan dzat-Nya. Pendapat ini menyebabkan keluarnya dua perkataan yang batil:
Pertama: menyebabkan munculnya perkataan “Allah dzat-Nya di mana-mana” dan ini perkataan Jahmiyyah muta’abbidah, dan mereka ini yang dibantah oleh imam Ahmad rahimahullah dalam kitabnya ar-radd ‘alal jahmiyyah waz zanaadiqah, dan salah satu perkataan mereka yang dibantah oleh imam Ahmad adalah perkataan mereka “Allah di mana-mana”([24]).
Kedua: menyebabkan munculnya perkataan الاِتِّحَادِيَّةُ والحُلوْلِيَّةُ “Allah bersatu dengan makhluk”, Al-Ittihadiyah yaitu Dzat Allah bersatu dengan dzat makhluqNya. Ini seperti pendapat Ibnu ‘Araby yang dia bermadzhab ittihadiyyah (Allah bersatu dengan makhluk) seperti yang dijelaskan dalam kitabnya fushushul hikam dan al-futuhaatul makkiyyah.
Adapun al-Hululiyah adalah dzat Allah menempati dzat makhluqNya. Ini seperti pendapat sebagian orang-orang nasrani yang mengatakan “Allah menempati Nabi Isa ‘alaihis salam” ([25]),.
Sebab ketergelinciran mereka semua adalah ketika mereka salah dalam memahami ma’iyyatullah (kebersamaan Allah) dengan kebersamaan dzat Allah, seperti ketika memahami ayat yang sedang dibahas:
هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
“Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada”
Mereka memahami kebersamaan ini dengan kebersamaan dzat Allah subhanahu wa ta’ala dengan makhluk-Nya, padahal jika diperhatikan ayat ini dibuka dengan sifat ilmu Allah dan ditutup dengan sifat ilmu Allah,
{أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ}
“Tidakkah engkau perhatikan, bahwa Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi? Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitakan kepada mereka pada hari Kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Maka kita dapati dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala membukanya dengan sifat ilmu dan menutupnya dengan ilmu, sehingga ini menunjukkan bahwasanya kebersamaan yang dimaksud adalah kebersamaan ilmu Allah subhanahu wa ta’ala yang meliputi mereka seluruhnya, dan ini adalah salah satu bantahan imam Ahmad kepada mereka,([26]) sehingga penjelasan tentang yang berada di tengah-tengah ayat ini {Tidak ada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tidak ada lima orang, melainkan Dialah yang keenamnya. Dan tidak ada yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia pasti ada bersama mereka di mana pun mereka berada} maka ini adalah penjelasan tentang ilmu Allah subhanahu wa ta’ala.
Hal ini didukung dengan ayat lain yang menyebutkan tentang نَجْوَى yaitu firman Allah subhanahu wa ta’ala,
أَمْ يَحْسَبُونَ أَنَّا لَا نَسْمَعُ سِرَّهُمْ وَنَجْوَاهُمْ ۚ بَلَىٰ وَرُسُلُنَا لَدَيْهِمْ يَكْتُبُونَ
“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar), dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.” (QS. Az-Zukhruf: 80)
Ayat ini menunjukkan bahwa dzat Allah subhanahu wa ta’ala tidak bersama makhluk-Nya, dan ayat ini menjadi penjelasan dari ayat yang ada pada surah al-mujadalah yang menjelaskan tentang ketika mereka melakukan najwa (bisik-bisik mereka) kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menjadi yang keempatnya atau keenamnya. Bahwasanya bukan berarti Allah subhanahu wa ta’ala bersama mereka secara dzat, akan tetapi maksudnya ilmu Allah subhanahu wa ta’ala meliputi mereka dan Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan, di antaranya dengan cara Allah subhanahu wa ta’ala melihat secara langsung apa yang mereka kerjakan, mendengar secara langsung apa yang mereka katakan, dan juga di antaranya dengan para malaikat yang mencatat perbuatan dan perkataan mereka sebagaimana yang disebutkan dalam surah az-zukhruf di atas. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsirnya. Ibnu Katsir menggunakan metode tafsir ayat dengan ayat, dalam hal ini ayat 7 dari surah al-Mujaadalah ditafsirkan dengan ayat 80 dari surah az-Zukhruf. ([27])
Contoh lainnya yang menunjukkan kesalahpahaman mereka adalah ketika mereka salah paham tentang ayat-ayat yang berkaitan dengan malaikat, dimana mereka memahami ayat tersebut berkaitan dengan Allah subhanahu wa ta’ala. Contohnya firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” (QS. Qaf: 6)
Dan kata ganti “Kami” dalam ayat ini yang dimaksud adalah malaikat, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat selanjutnya:
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
“(yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri.” (QS. Qaf: 7)
Yaitu “lebih dekat” yang tersebutkan dalam ayat tidaklah mutlak kapan saja, akan tetapi terkhususkan pada kondisi ketika dua malaikat yang mencatat. Ini menunjukan bahwa “lebih dekat” tersebut berkaitan dengan malaikat yang mencatat. Karena jika “lebih dekat” tersebut berkaitan dengan dzat Allah tentu akan bersifat mutlaq dan bukan hanya “ketika” dua malaikat yang mencatat.
Sehingga dengan demikian kata ganti “Kami” di sini yang dimaksud adalah malaikat.
Terlebih lagi sering Allah subhanahu wa ta’ala menggunakan kata ganti “Kami” dan yang dimaksud adalah malaikat, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah: 18)
Dan yang dimaksud “kami” dalam ayat ini adalah malaikat Jibril yang mengejakan bacaan Al-quran kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di gua Hira.
Demikian pula semisal dengan firman-Nya dalam surah al-waqi’ah,
{فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ، وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ، وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ}
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal ketika itu kalian melihat (menjenguk untuk melihat orang yang sedang dalam keadaan nyawanya sudah sampai di kerongkongan), dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian akan tetapi kalian tidak melihat (kami).” (QS Al-Waqiáh : 83-85)
Dan kata ganti “Kami” di sini yang dimaksud adalah para malaikat maut yang siap mencabut nyawa manusia. Karena bisa jadi manusia yang siap dicabut nyawanya tersebut adalah orang kafir, sehingga jika “kami” diartikan dengan Allah, maka konsekuensinya Allah lebih dekat kepada orang kafir. Demikian juga jika Allah bersatu dengan seluruh makhlukNya, atau dzat Allah dimana-mana, maka tidak pas pernyataan “kami lebih dekat” karena seharusnya kedekatan Allah dengan seluruh makhlukNya adalah sama, tidak ada satupun yang lebih dekat kepada Allah dari pada yang lainnya. Ini menunjukan bahwa “kami” di sini maksudnya adalah para malaikat yang akan mencabut nyawa.
Dan inilah yang disalah pahami oleh mereka dan mereka mengatakan Allah subhanahu wa ta’ala bersatu dengan makhluknya secara dzat, dan ini adalah pemahaman ahlu bid’ah, dan yang benar bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala berada di atas ‘arsy di atas langit yang ketujuh.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَيَتَنَاجَوْنَ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ وَيَقُولُونَ فِي أَنفُسِهِمْ لَوْلَا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ}
“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu (Muhammad), mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan seperti yang ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang akan mereka masuki. Maka neraka itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. Al-Mujadalah: 8)
نَجْوَى secara bahasa Arab artinya مَا ارْتَفَعَ مِنَ الْأَرْض yaitu bagian tinggi dari bumi([28]), mengapa نَجْوَى dinamakan dengan tempat yang tinggi, hal ini dikarenakan ketika orang hendak melakukan bisik-bisik maka mereka akan naik ke tempat yang lebih tinggi untuk melakukan bisik-bisik agar tidak ada orang yang tahu, maka dari sinilah dikenal dengan isilah نَجْوَى. Dan dalam ayat ini dijelaskan bahwa mereka melakukan bisik-bisik tentang dosa, permusuhan, dan pembangkangan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama ahlu tafsir mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang munafik atau tentang orang-orang dari ahlul kitab Yahudi, Dari Ibnu Abbas:
نَزَلَتْ فِي الْيَهُودِ وَالْمُنَافِقِينَ كَانُوا يَتَنَاجَوْنَ فِيمَا بَيْنَهُمْ، وَيَنْظُرُونَ لِلْمُؤْمِنِينَ وَيَتَغَامَزُونَ بِأَعْيُنِهِمْ، فَيَقُولُ الْمُؤْمِنُونَ: لَعَلَّهُمْ بَلَغَهُمْ عَنْ إِخْوَانِنَا وَقَرَابَتِنَا مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ قَتْلٌ أَوْ مُصِيبَةٌ أَوْ هَزِيمَةٌ، ويسؤهم ذَلِكَ فَكَثُرَتْ شَكْوَاهُمْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَنَهَاهُمْ عَنِ النَّجْوَى فَلَمْ يَنْتَهُوا فَنَزَلَتْ {أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ نُهُوا عَنِ النَّجْوَى}
“(ayat tersebut) turun menjelaskan tentang orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik, bahwasanya dahulu mereka berbisik-bisik di antara mereka, dan mereka melihat kaum muslimin dan mengolok-olok dengan mata-mata mereka. Maka orang-orang yang beriman berkata, “Barangkali telah sampai kepada mereka (yahudi atau kaum munafiq yang berbisik-bisik tersebut) tentang saudara-saudara kita dan kerabat-kerabat kita dari kaum Muhajirin dan Anshor berita terbunuhnya saudara-saudara kita kaum muslimin, musibah, atau kekalahan yang menimpa mereka”. Sikap mereka (yahudi dan kaum munafik yang berbisik-bisik tersebut) mengganggu kaum muslimin, maka akhirnya banyak pengaduan kaum muslimin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal tersebut. Nabipun melarang mereka (Yahudi dan orang-orang Munafik) dari sikap berbisik-bisik, namun mereka tidak berhenti, maka turunlah ayat {Tidakkah engkau perhatikan orang-orang yang telah dilarang mengadakan bisik-bisik}.” ([29])
Dan dari Muqotil:
كَانَ بَيْنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ الْيَهُودِ مُوَادَعَةٌ، فَإِذَا مَرَّ بِهِمْ رَجُلٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ تَنَاجَوْا بَيْنَهُمْ حَتَّى يَظُنَّ الْمُؤْمِنُ شَرًّا، فَيَعْرُجَ عَنْ طَرِيقِهِ، فَنَهَاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَنْتَهُوا فَنَزَلَتْ.
“Bahwasanya antara Nabiﷺ dan orang-orang Yahudi terdapat sebuah perjanjian, jika ada seorang lelaki dari kaum mu’minin melewati yahudi, merekapun berbisik-bisik di antara mereka hingga lelaki mu’min menyangka hal yang buruk, lalu iapun membelok (merubah arah) jalannya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam melarang mereka (yahudi) dari hal tersebut namun mereka tidak berhenti, maka turunlah ayat.” ([30])
Dari riwayat-riwayat ini kita dapati bahwasanya para sahabat merasa terganggu dengan perbuatan yahudi sehingga para sahabat mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau pun akhirnya melarang kaum yahudi dan kaum munafik dari perbuatan tersebut akan tetapi mereka tetap mengulangi apa yang telah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam larang kepada mereka, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا نُهُوا عَنْهُ “kemudian mereka mengulangi kembali apa yang telah dilarang kepada mereka”. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa apa yang dibisik-bisikkan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik adalah tentang dosa, menumbuhkan permusuhan kepada kaum muslimin, dan mereka membangkang terhadap apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan kepada mereka sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan وَيَتَنَاجَوْنَ بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ “dan mereka mengadakan bisik-bisik untuk berbuat dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul”.
Kemudian Allah melanjutkan menjelaskan tentang sifat buruk mereka dalam firmanNya,
وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللَّهُ
“Dan apabila mereka datang kepadamu (Muhammad), mereka mengucapkan salam dengan cara yang bukan seperti yang ditentukan Allah untukmu”
Para ulama sepakat bahwa ayat ini turun tentang orang-orang Yahudi yang ketika mereka datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka mengucapkan salam yang tidak diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Salam yang diajarkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala seperti “assalaamu ‘alaika yaa Rasulallah”, “assalaamu ‘alaika wa rahmatullah wa barakaatuh”, dan yang semisalnya. Adapun ucapan salam yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi adalah السَّامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا الْقَاسِمِ “semoga kematian menimpamu wahai Abul Qashim (yaitu Nabi, karena Abul Qashim adalah kunyahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam)”.
Mereka (yahudi) memilih mengucapkan السَّامُ عَلَيْكَ “Assaamu álaika” kalau didengar sekilas seakan-akan adalah السَّلاَمُ عَلَيْكَ “As-Salaamu álaika”, akan tetapi mereka membuang huruf laam sehingga maknanya berubah dari As-Salaam (keselamatan) menjadi as-Saam (kebinasaan). Ini menunjukan kelicikan mereka dan jahatnya mereka.
Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits ‘Aisyah,
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنَاسٌ مِنَ الْيَهُودِ فَقَالُوا: السَّامُ عَلَيْكَ يَا أَبَا الْقَاسِمِ قَالَ: «وَعَلَيْكُمْ» قَالَتْ عَائِشَةُ: بَلْ عَلَيْكُمُ السَّامُ وَالذَّامُ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ «لَا تَكُونِي فَاحِشَةً» فَقَالَتْ: مَا سَمِعْتَ مَا قَالُوا؟ فَقَالَ: ” أَوَلَيْسَ قَدْ رَدَدْتُ عَلَيْهِمِ الَّذِي قَالُوا، قُلْتُ: وَعَلَيْكُمْ ”
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh orang-orang Yahudi lalu mereka berkata: “Semoga kematian menimpamu wahai Abul Qashim (panggilan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam)”, lalu Nabi menjawab, وَعَلَيْكُمْ “Begitu juga kalian”, ‘Aisyah berkata, “Bahkan semoga kematian dan cercaan menimpa kalian”. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Wahai ‘Aisyah janganlah engkau menjadi orang yang berkata-kata buruk !”. Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau mendengar apa yang mereka ucapkan?”. Lalu beliau berkata, “Bukankah aku telah membalas mereka terhadap apa yang mereka ucapkan, aku membalas: begitu juga kalian.” ([31])
Dan dalam lafaz Muslim yang lain dengan tambahan:
فَفَطِنَتْ بِهِمْ عَائِشَةُ فَسَبَّتْهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَهْ يَا عَائِشَةُ، فَإِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْفُحْشَ وَالتَّفَحُّشَ» وَزَادَ فَأَنْزَلَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ {وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللهُ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ
“Maka ‘Aisyah memahami apa yang mereka ucapkan lalu Aisyahpun mencela mereka. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Cukup wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah tidak suka keburukan dan yang sengaja berbuat buruk !”, maka Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat {وَإِذَا جَاءُوكَ حَيَّوْكَ بِمَا لَمْ يُحَيِّكَ بِهِ اللهُ} hingga akhir ayat.” ([32])
Dalam riwayat lain terdapat tambahan lain dari jawaban ‘Aisyah berupa laknat kepada orang-orang Yahudi,
كَانَ اليَهُودُ يُسَلِّمُونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: السَّامُ عَلَيْكَ، فَفَطِنَتْ عَائِشَةُ إِلَى قَوْلِهِمْ، فَقَالَتْ: عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَهْلًا يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ» فَقَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا يَقُولُونَ؟ قَالَ: ” أَوَلَمْ تَسْمَعِي أَنِّي أَرُدُّ ذَلِكِ عَلَيْهِمْ، فَأَقُولُ: وَعَلَيْكُمْ ”
“Bahwasanya orang-orang Yahudi mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan; ‘assaamu ‘alaikum’ (Semoga kebinasaan atasmu). Dan ‘Aisyah memahami ucapan mereka, lalu dia membalas ucapan mereka; ‘wa’alaikumus saam wa la’nat (Semoga kecelakaan dan laknat tertimpa atas kalian).’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pelan-pelanlah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai sikap lemah lembut pada setiap perkara.’ Aisyah berkata; ‘Wahai Rasululloh! Apakah engkau tidak mendengar apa yang telah mereka katakan? ‘ Beliau menjawab: ‘Apakah kamu tidak mendengar bahwa saya telah menjawab ucapan mereka, aku berkata; ‘wa ‘alaikum’ (Dan semoga menimpa atas kalian juga).” ([33])
Bahkan ada riwayat lain yang menyebutkan balasan dari ‘Aisyah yang lebih dari riwayat di atas,
أَنَّ الْيَهُودَ دَخَلُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: السَّامُ عَلَيْكَ. فَقَالَ: وَعَلَيْكُمْ. فَقَالَتْ عَائِشَةُ: عَلَيْكُمُ السَّامُ وَغَضِبُ اللَّهِ وَلَعْنَتُهُ يَا إِخْوَةَ الْقِرَدَةِ وَالْخَنَازِيرِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَا عَائِشَةُ، عَلَيْكِ بِالْحِلْمِ وَإِيَّاكِ وَالْجَهْلَ. فَقَالَتْ: أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا قَالُوا؟ قَالُوا: السَّامُ عَلَيْكَ. فَقَالَ: أَولَيْسَ قَدْ رَدَدْتُ عَلَيْهِمْ؟ إِنَّهُ يُسْتَجَابُ لَنَا فِيهِمْ وَلَا يُسْتَجَابُ لَهُمْ فِينَا
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi berkunjung menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu mereka mengucapkan : “as saamu ‘alaika” (semoga kebinasaan atas kamu). Rasulullah menjawab : ‘alaikum (semoga atas kalian juga). ‘Aisyah menjawab: ‘alaikumus saamu, wa ghodibullaahi wa la’natuhu, yaa ikhwatal qiradata wal khonaaziir (Semoga atas kalian juga kebinasaan, murka dan laknat Allah, wahai saudaranya kera-kera dan babi-babi)”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai ‘Aisyah bersikaplah lemah lembut, kendalikan dirimu, dan jangan berbuat kebodohan”. ‘Aisyah menjawab : Apakah anda tidak mendengar apa yang mereka katakan? Mereka mengatakan : “as saamu ‘alaika” (semoga kebinasaan atas kamu). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Apakah kamu juga tidak mendengar bahwasanya aku juga sudah menjawabnya? Sesungguhnya doa kita dikabulkan bagi mereka, dan doa mereka tidak dikabulkan bagi kita.”([34])
Dalam riwayat ini kita dapati bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur tentang ucapan ‘Aisyah ketika menjawab perkataan orang-orang Yahudi, padahal semua ucapan ‘Aisyah adalah benar, bukankah orang-orang Yahudi terlaknat? Maka jawabannya benar. Bukankah mereka orang-orang yang dimurkai? Maka jawabannya adalah benar, karena ini yang tiap hari kita baca dalam shalat kita غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ (bukan (jalan) mereka yang dimurkai) yaitu Yahudi([35]), dan juga dalam Al-Quran sering kita baca,
وَيُعَذِّبَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ الظَّانِّينَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ ۚ عَلَيْهِمْ دَائِرَةُ السَّوْءِ ۖ وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَلَعَنَهُمْ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan supaya Dia mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan yang mereka itu berprasangka buruk terhadap Allah. Mereka akan mendapat giliran (kebinasaan) yang amat buruk dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahannam. Dan (neraka Jahannam) itulah sejahat-jahat tempat kembali.” (QS. Al-Fath: 6)
Dan orang-orang Yahudi memang benar saudara-saudaranya adalah kera-kera dan babi-babi, karena dahulu nenek moyang mereka ada yang pernah diubah menjadi kera-kera dan babi-babi([36]).
Dan ‘Aisyah pandai dalam memilih kata, karena dia tidak mengatakan “wahai keturunan kera-kera dan babi-babi” karena kera-kera dan babi-babi tersebut tidak memiliki keturunan, akan tetapi ‘Aisyah menggunakan kata “wahai saudaranya kera-kera dan babi-babi”.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَيَقُولُونَ فِي أَنفُسِهِمْ لَوْلَا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Dan mereka mengatakan pada diri mereka sendiri, “Mengapa Allah tidak menyiksa kita atas apa yang kita katakan itu?” Cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang akan mereka masuki. Maka neraka itu seburuk-buruk tempat kembali.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan perkataan mereka setelah mereka mengucapkan doa kebinasaan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kemudian dibalas lagi oleh beliau dengan وَعَلَيْكُمْ “semoga kebinasaan juga menimpa kalian” sehingga mereka berpikir seandainya mereka salah tentunya mereka akan binasa, dan juga pasti doa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ucapkan atas mereka akan dikabulkan, akan tetapi mereka tidak mendapati diri mereka binasa atas ucapan yang mereka katakan, maka Allah subhanahu wa ta’ala bantah dengan firman-Nya selanjutnya حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ يَصْلَوْنَهَا فَبِئْسَ الْمَصِيرُ “Cukuplah bagi mereka neraka Jahanam yang akan mereka masuki. Maka neraka itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Artinya di dunia ini mereka tidak diadzab karena adzab di dunia ini ringan akan tetapi cukup bagi mereka adzab Jahannam di akhirat kelak dengan dimasukkannya mereka ke dalamnya lalu diadzab di dalamnya, dan itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali.
Dan yang semisal ini juga pernah diucapkan oleh sebagian orang-orang liberal dengan mengatakan: “Seandainya homoseksual itu dilarang, mengapa Allah tidak menurunkan adzab kepada pelakunya?”, perkataan seperti ini yang keluar dari mereka ini sebabnya seperti yang dijelaskan oleh Thahir Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya dikarenakan orang-orang yang kafir dan semisalnya terlintas dalam pikirannya bahwa Allah subhanahu wa ta’ala itu seperti manusia yang ketika marah langsung melampiaskan amarahnya([37]), padahal Allah tidaklah demikian, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits,
“لَا أَحَدَ أَصْبَرُ عَلَى أَذًى يَسْمَعُهُ مِنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؛ إِنَّهُ يُشْرَكُ بِهِ وَيُجْعَلُ لَهُ وَلَدٌ وَهُوَ يُعَافِيهِمْ وَيَدْفَعُ عَنْهُمْ وَيَرْزُقُهُمْ”
“Tak ada seorang pun yang lebih sabar dari gangguan yang didengarnya dibanding Allah. Dia disekutukan (padahal Dia tidak butuh pada tandingan apalagi sekutu), mereka menuduh Allah punya anak, sementara Dia (Allah) senantiasa memberikan kesehatan dan melimpahkan rizki kepada mereka.” ([38])
Hadits ini menunjukkan betapa sabarnya Allah subhanahu wa ta’ala, mereka orang-orang kafir mengatakan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki anak, memiliki istri, mereka juga mengatakan Allah lelah pada hari Sabtu, juga mereka mengatakan Allah subhanahu wa ta’ala fakir, dan perkataan buruk lainnya namun Allah subhanahu wa ta’ala sabar terhadap semua perkataan mereka tersebut, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala cukup membalas mereka di akhirat nanti sebagaimana Allah berfirman حَسْبُهُمْ جَهَنَّمُ “cukup bagi mereka neraka Jahannam”, Allah subhanahu wa ta’ala membiarkan mereka bersenang-senang di dunia ini agar mereka mendapatkan adzab yang lebih berat di akhirat kelak. Dan pada hari ini kita dapati sebagian orang-orang liberal yang hampir sama perbuatannya dengan orang-otang Yahudi, di antaranya mereka mengatakan “Seandainya homoseksual itu dilarang, maka pastinya Allah akan menurunkan adzab kepada pelakunya sebagaimana diturunkannya adzab kepada kaum nabi Luth?”. Sungguh ini adalah perkataan yang tidak benar. Untuk menyanggah pernyataan mereka maka kita katakan: betapa banyak kita dapati di zaman sekarang banyaknya pencurian, perzinahan, korupsi, dan pembunuhan, namun semua pelakunya tidak diadzab di dunia ini, apakah tidak diturunkan adzab di dunia ini menunjukkan bahwa semua perbuatan tersebut benar? Maka pernyataan “tidak diturunkannya adzab di dunia terhadap pelaku yang menyimpang menunjukkan perbuatan itu adalah perbuatan yang benar” adalah pernyataan yang keliru. Dan hal yang semacam ini termasuk tindak-tanduk Yahudi, mereka berkata لَوْلَا يُعَذِّبُنَا اللَّهُ بِمَا نَقُولُ “mengapa Allah tidak mengadzab kita atas perkataan kita?”.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَنَاجَيْتُمْ فَلَا تَتَنَاجَوْا بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي إِلَيْهِ تُحْشَرُونَ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kalian membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kalian akan dikumpulkan kembali.” (QS. Al-Mujadalah: 9)
Ayat ini menunjukkan bahwa نَجْوَى “berbisik-bisik” entah itu yang dilakukan oleh dua orang, atau tiga orang, atau empat orang ini dilarang jika berupa bisik-bisik tentang dosa, gibah, merendahkan orang lain, bisik-bisik untuk menumbuhkan permusuhan, atau bisik-bisik untuk membangkang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman فَلَا تَتَنَاجَوْا بِالْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَمَعْصِيَةِ الرَّسُولِ “janganlah kalian membicarakan perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul”. Sungguh sangat banyak orang yang terjatuh dalam kesalahan ini, mereka berbisik-bisik dalam rangka menggibahi orang lain atau merendahkan orang lain, mungkin orang-orang tidak mengetahui terhadap apa yang mereka bisik-bisikan, akan tetapi Allah subhanahu wa ta’ala mengetahuinya, dan juga para malaikat mencatat apa yang mereka bisik-bisikkan. Betapa sering mereka melupakan apa yang mereka lakukan akan tetapi di hari kiamat kelat semuanya akan diingatkan kembali oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَتَنَاجَوْا بِالْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“Tetapi bicarakanlah tentang perbuatan kebajikan dan takwa”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa jika seseorang ingin berbisik bisik maka hendaknya berbisik-bisik dalam perkara kebajikan dan ketakwaan, dan berbisik-bisik dalam perkara ini tidaklah Allah larang. الْبِرِّ dan التَّقْوَى adalah dua kata yang apabila disebutkan secara bersamaan maka maknanya berbeda, dan jika disebutkan secara terpisah maka artinya sama([39]). Jika الْبِرِّ dan التَّقْوَى keduanya disebutkan secara terpisah maka artinya adalah menjalankan ketaatan dan meninggalkan kemaksiatan, adapun jika disebutkan secara bersamaan maka الْبِرِّ maknanya berkaitan dengan menjalankan ketaatan dan التَّقْوَى maknanya berkaitan dengan meninggalkan kemaksiatan, karena التَّقْوَى adalah أَنْ تَجعلَ بينَكَ وبَين عَذابِ اللهِ وِقايةً “Engkau menjadikan benteng atau penghalang antara engkau dan adzab Allah subhanahu wa ta’ala”([40]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ} [المجادلة: 10]
“Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati, sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.” (QS. Al-Mujadalah: 9)
Ayat ini menjelaskan bahwa seseorang jika berbisik-bisik dalam rangka dosa, permusuhan atau membangkang terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hakikatnya setan telah menghiasi perbuatan tersebut. Seakan-akan bisik-bisik dalam perkara tersebut adalah perbuatan yang indah, setanlah yang membuat seseorang berlezat-lezat dalam melakukan bisik-bisik tersebut, dan setan juga yang memotivasi seseorang untuk melakukan bisik-bisik tersebut, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman dari melakukan perbuatan tersebut bahwasanya perbuatan tersebut berasal dari setan إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ “Sesungguhnya bisik-bisik itu termasuk (perbuatan) setan”.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا وَلَيْسَ بِضَارِّهِمْ شَيْئًا إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati, sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.”
Ayat-ayat tentang larangan نَجْوَى “berbisik-bisik” pada asalnya turun pada orang-orang munafik dan orang-orang Yahudi yang mereka melakukan bisik-bisik untuk orang yang beriman, namun perbuatan yang buruk ini juga dilarang untuk dilakukan oleh orang-orang yang beriman, sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadits,
«إِذَا كُنْتُمْ ثَلاَثَةً، فَلاَ يَتَنَاجَى رَجُلاَنِ دُونَ الآخَرِ حَتَّى تَخْتَلِطُوا بِالنَّاسِ، أَجْلَ أَنْ يُحْزِنَهُ»
“Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang berbisik tanpa mengajak yang ketiga, sampai bercampur dengan manusia, itu semua agar tidak membuat sedih dirinya.” ([41])
Hadits ini menjelaskan larangan ketika ada tiga orang lalu dua berbisik-bisik sedangkan yang satunya hanya diam saja, adapun ketika dalam keadaan ramai maka tidak masalah mereka berdua bisik-bisik, karena yang satunya pun ada teman bicara lainnya, hal ini dikarenakan ketika yang berdua bisik-bisik sedang yang sendiri hanya diam saja akan menyebabkan dia sedih, karena dalam keadaan demikian setan akan memberikan bisikan di hati orang yang ketiga tersebut “mengapa mereka tidak mengajak saya ikut bicara, jangan-jangan mereka sedang menggibahi saya”, tentunya ini akan menambah sedih orang yang ketiga.
Walaupun yang dibisik-bisikkan oleh kedua orang tersebut bukanlah dalam rangka menjelek-jelekkan orang yang ketiga, tetaplah dilarang karena dikhawatirkan perbuatan tersebut dapat membuat sedih orang yang ketiga. Allah subhanahu wa ta’ala melarang segala sesuatu yang bisa menyebabkan pertikaian, perpecahan, atau menimbulkan persangkaan yang buruk. Larangan ini bukan hanya berlaku untuk 2 orang saja, termasuk kedalamnya untuk 3 orang, 4 orang, 5 orang atau lebih yang dimana ada satu orang yang dibiarkan sendiri tidak diajak berbicara, namun jika mereka berbisik-bisik dan meninggalkan satu orang tersebut dengan teman yang lainnya maka ini tidak mengapa.
Para ulama juga memasukkan ke dalam larangan hadits ini adalah ketika ada 3 orang berbicara dengan bahasa yang tidak dipahami oleh orang ke empat walaupun mereka tidak berbicara dengan bisik-bisik([42]), contohnya: jika ada 4 orang, 3 orang dari mereka orang Sunda dan yang satunya orang Madura, lalu mereka bertiga berbicara dengan bahasa sunda sedangkan orang Madura tidak memahami apa yang mereka bicarakan, tentunya ini akan menimbulkan persangkaan yang tidak baik dalam hati orang Madura. Terdapat sebuah kisah ketika penulis ke Amsterdam dan bertemu dengan orang Belanda yang dia adalah seorang muallaf dan dia bisa berbahasa Indonesia, dia bercerita kepada penulis dengan bahasa Indonesia: “Ustadz, ketika saya pergi ke Indonesia dan saat itu saya berada di suatu tempat yang ramai, lalu ada orang-orang yang mengobrol dengan sesama mereka membicarakan saya dalam rangka memaki saya dengan bahasa Indonesia, dan mereka tidak mengetahui kalau saya mengerti bahasa Indonesia, saya pun hanya bersabar mendengar makian mereka, ketika mereka selesai berbicara saya pun menyapa mereka, “Pak, bu, saya duluan ya”, mereka semua pun terkejut mendengar ucapan saya dengan bahasa Indonesia”, intinya termasuk termasuk dalam pelarangan نَجْوَى jika ada beberapa orang yang berbicara dengan bahasa yang tidak dipahami oleh orang yang ketiga.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada kalian, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kalian,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Muhadalah: 11)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengajarkan kaum mukminin untuk melakukan suatu perbuatan yang mendekatkan mereka antara yang satu dengan yang lainnya yaitu memberi kelapangan kepada yang lainnya, yang pada ayat sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala melarang mereka untuk berbuat sesuatu yang bisa menimbulkan permusuhan dan berprasangka buruk yaitu نَجْوَى (bisik-bisik) sebagaimana yang telah dijelaskan إِنَّمَا النَّجْوَى مِنَ الشَّيْطَانِ لِيَحْزُنَ الَّذِينَ آمَنُوا “Sesungguhnya bisik-bisik itu termasuk (perbuatan) setan agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati”, maka setelah Allah subhanahu wa ta’ala melarang نَجْوَى Allah subhanahu wa ta’ala menganjurkan sebuah perbuatan yang bisa menyatukan hati-hati kaum mukminin([43]) yaitu hendaknya mereka melapangkan untuk yang lainnya ketika mereka berada di majelis dan majelis tersebut masih cukup untuk yang lainnya. Hendaknya mereka melapangkan untuk teman-temannya yang terlambat datang sehingga mereka bisa duduk bermajelis bersama mereka.
Dalam firman-Nya إِذَا قِيلَ لَكُمْ “jika dikatakan kepada kalian”, al-Alusy mengatakan di sini tidak disebutkan siapa yang mengatakan atau memerintahkan untuk melapangkan majelis, oleh karenanya siapa pun yang mengatakan atau memerintahkan untuk melapangkan majelis hendaknya orang yang diperintahkan untuk melapangkan majelis tersebut menaatinya untuk melapangkan majelis ([44]). Hendaknya tidak perlu melihat kepada siapa yang mengucapkannya, karena bisa jadi orang yang mengatakan tersebut adalah orang yang terhormat dan bisa jadi orang biasa, maka hendaknya seseorang tunduk atas perintah Allah subhanahu wa ta’ala tanpa memandang siapa yang mengucapkannya.
Kemudian firman-Nya تَفَسَّحُوا “hendaknya kalian melapangkan” yaitu hendaknya merapat sehingga yang lainnya mendapatkan tempat yang lapang untuk bisa duduk bersama dalam majelis.
Disebutkan oleh beberapa ulama ahli tafsir sebab turunnya ayat ini diantaranya yang disebutkan oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya, dari Muqotil bin Hayyan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الصُّفَّةِ، وَكَانَ فِي الْمَكَانِ ضِيقٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ يُكْرِمُ أَهْلَ بَدْرٍ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ، فَجَاءَ أُنَاسٌ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ فِيهِمْ ثَابِتُ بن قيس بن شَمَّاسٍ وَقَدْ سُبِقُوا فِي الْمَجْلِسِ، فَقَامُوا حِيَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أَرْجُلِهِمْ يَنْتَظِرُونَ أَنْ يُوَسَّعَ لَهُمْ فَلَمْ يُفْسِحُوا لَهُمْ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ لِمَنْ حَوْلَهُ مِنْ [غَيْرِ»] أَهْلِ بَدْرٍ: (قُمْ يَا فُلَانُ وَأَنْتَ يَا فُلَانُ) بِعَدَدِ الْقَائِمِينَ مِنْ أَهْلِ بَدْرٍ، فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى مَنْ أُقِيمَ، وَعَرَفَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْكَرَاهِيَةَ فِي وُجُوهِهِمْ، فَغَمَزَ الْمُنَافِقُونَ وَتَكَلَّمُوا بِأَنْ قَالُوا: مَا أَنْصَفَ هَؤُلَاءِ وَقَدْ أَحَبُّوا الْقُرْبَ مِنْ نَبِيِّهِمْ فَسَبَقُوا إِلَى الْمَكَانِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَذِهِ الْآيَةَ
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Shuffah. Dan tempat tersebut menjadi sempit jika hari jum’at. Dan beliau memuliakan Ahlu (peserta perang) Badr dari Muhajirin dan Anshor. Maka pada hari itu datanglah para sahabat dari Ahlu Badr di antara mereka Tsabit bin Qois bin Syammas, dan mereka telah didahului dalam tempat duduknya, maka mereka hanya berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam menunggu untuk dilapangkan untuk mereka. Namun yang telah duduk terlebih dahulu tidak melapangkan buat mereka. Kondisi ini memberatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau berkata para sahabat yang berada disekeliling beliau selain Ahlu Badr: berdirilah wahai fulan, dan engkau juga wahai fulan, dan beliau terus menerus membuat berdiri para sahabat sejumlah para sahabat ahlu Badr yang berdiri (yaitu agar mereka melapangkan tempat duduk untuk para ahlu Badr yang sedang berdiri). Hal ini memberatkan para sahabat yang disuruh berdiri oleh Nabi, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahui rasa tidak suka tersebut dari wajah mereka. Lalu orang-orang munafik mengedipkan matanya dan berkata, “Muhammad tidak berbuat adil kepada mereka (para sahabat yang disuruh berdiri), sungguh mereka telah mencintai untuk dekat kepada Nabi mereka lalu bersegera untuk menuju tempat Nabi mereka”. Lalu Allah menurunkan ayat ini.” ([45])
Dalam riwayat ini disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintai para sahabat yang ikut dalam perang badar, dan mereka memiliki keistimewaan di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena perang badar tidak sama dengan perang yang lainnya, dan sahabat yang ikut dalam perang badar diberi gelar dengan al-Badry yaitu orang yang pernah ikut dalam perang badar, berbeda dengan perang-perang lainnya tidak ada penyebutan sahabat yang ikut dalam perang uhud dengan al-uhudy dan orang-orang yang ikut dalam perang khondaq dengan al-khondaqy, oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala menamakan perang badar dengan يَوْمَ الْفُرْقَانِ “hari pembeda”, karena hari itu adalah hari yang istimewa dalam Islam. Dan para sahabat bertingkat-tingkat kemuliaannya, dan di antara yang paling mulia adalah yang ikut serta dalam perang badar.
Ada dua bacaan dalam firman-Nya فِي الْمَجَالِسِ “di majelis-majelis”([46]):
Bacaan pertama: yaitu seperti yang kita dapati dalam mushaf kita yaitu dengan bentuk jamak “di majelis-majelis”, dan ini adalah qiraah (bacaan) dengan riwayat dari ‘Ashim, dan ini memberikan faedah keumuman yaitu di majelis apapun yang merupakan majelis kebaikan jika dikatakan kepadanya untuk melapangkan tempat duduk maka hendaknya dia melapangkan, walaupun sebab turunnya di majelis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan tetapi ini dibawa kepada makna umum.
Bacaan kedua: yaitu dengan bentuk tunggal فِي الْمَجْلِسِ “di satu majelis”, dan الْ di sini ada dua penafsiran, bisa jadi الْ di sini lil ’ahd dan bisa juga الْ di sini untuk al-istighraq. Perbedaan keduanya adalah الْ lil ’ahd untuk sesuatu yang telah diketahui, jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “tersebut” sehingga artinya “majelis tersebut”, dan ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,
اِنَّآ اَرْسَلْنَآ اِلَيْكُمْ رَسُوْلًا ەۙ شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَآ اَرْسَلْنَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ رَسُوْلًا ۗ فَعَصٰى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ فَاَخَذْنٰهُ اَخْذًا وَّبِيْلًاۚ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul (Muhammad) kepada kamu, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul kepada Fir‘aun. Namun Fir‘aun mendurhakai Rasul itu, maka Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” QS. Al-Muzzammil: 15-16
Dan dalam firman-Nya فَعَصٰى فِرْعَوْنُ الرَّسُوْلَ “Namun Fir‘aun mendurhakai Rasul tersebut”, dan الْ di sini bukan untuk al-istighraq sehingga diartikan dengan “Namun Fir‘aun mendurhakai seluruh Rasul”, karena الْ di sini untuk al-‘ahd sehingga terjemah yang lebih tepat adalah “Namun Fir‘aun mendurhakai Rasul tersebut” (yaitu Nabi Musa ‘alaihis salam). Adapun الْ lil istighraq jika kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “seluruh” sehingga artinya “seluruh majelis, dan ini seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah al-ashr,
وَالْعَصْرِ، إِنَّ الْإِنْسانَ لَفِي خُسْرٍ، إِلاَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحاتِ وَتَواصَوْا بِالْحَقِّ وَتَواصَوْا بِالصَّبْرِ
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasehat menasihati supaya menetapi kesabaran.” QS. Al-Ashr: 1-3
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan إِنَّ الْإِنْسانَ “sesungguhnya manusia itu” dalam bentuk tunggal, akan tetapi jika diterjemahkan dengan “sesungguhnya manusia itu” maka ini kurang pas karena الْ yang terdapat pada kata الْإِنْسانَ untuk al-istighraq sehingga ketika diterjemahkan menjadi “sesungguhnya semua manusia”. Maka فِي الْمَجْلِسِ jika diartikan dengan الْ lil ‘ahd maksudnya adalah majelis ilmu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adapun jika lil istighraq maka ini mencakup untuk semua majelis kebaikan, namun menafsirkan الْ di sini untuk al-istighraq tidak ada bedanya dengan الْ lil ‘ahd, karena jika diartikan dengan الْ lil ‘ahd maka bisa dikiaskan kepada majelis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruh majelis kebaikan, dan semua hukumnya sama walaupun pembicaraannya berkaitan dengan majelis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Majelis Nabi dikiaskan kepada seluruhnya majelis-majelis yang membawa kebaikan contohnya dalam majelis ilmu, majelis shalat, majelis shalat ‘ied, atau majelis rapat, sehingga jika dikatakan dalam salah satu majelis tersebut untuk melapangkan maka hendaknya dilaksanakan, dan ini merupakan salah satu bentuk ta’awun antara seseorang dengan saudaranya dan juga termasuk dalam bab,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya”. ([47])
Sebagaimana kita menyukai untuk duduk ketika bermajelis maka ketika kita melihat saudara kita yang terlambat kita juga menyukai agar mereka duduk sebagaimana kita duduk dan ini menunjukkan bahwa kita mencintai mereka.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
“niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan balasan bagi orang-orang yang mau melapangkan untuk saudaranya ketika di majelis, يَفْسَحْ merupakan fi’il majzum sebagai jawab syarat yang dari kalimat sebelumnya yaitu إِذَا (jika), maksudnya jika kita memberikan kelapangan kepada saudara kita saat di majelis maka balasannya adalah Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kita juga kelapangan. Lalu kelapangan apa yang akan Allah subhanahu wa ta’ala berikan? Dalam ayat ini objek tidak disebut, dan dalam kaidah ilmu tafsir jika objek tidak disebutkan maka memberikan faedah keumuman, dan ini juga seperti yang disebutkan dalam surah al-muthaffifin,
اِنَّ الْاَبْرَارَ لَفِيْ نَعِيْمٍۙ عَلَى الْاَرَاۤىِٕكِ يَنْظُرُوْنَۙ تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِۚ
“Sesungguhnya orang-orang yang berbakti benar-benar berada dalam (surga yang penuh) kenikmatan, mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan. Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup yang penuh kenikmatan.“ QS. Al-Muthaffifin: 22-24
Dalam ayat ini disebutkan bahwa orang-orang yang baik mereka berada di atas dipan-dipan mereka dalam keadaan sedang memandang, namun tidak disebutkan apa yang sedang mereka pandang, namun Allah subhanahu wa ta’ala hanya menyebutkan dampak dari apa yang mereka pandang تَعْرِفُ فِيْ وُجُوْهِهِمْ نَضْرَةَ النَّعِيْمِۚ “Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup yang penuh kenikmatan”. Para ulama mengatakan bahwasanya ini untuk menunjukkan keumuman yang mereka pandang mencakup segala pandangan kebaikan, entah mereka bahagia karena memandang wajah Allah subhanahu wa ta’ala, atau karena memandang nikmat surga, atau karena memandang orang tua dan saudara-saudara mereka yang masuk surga, atau karena mereka bahagia karena memandang pelayan-pelayan yang begitu indah, atau karena mereka melihat istri-istri mereka bersama mereka yang intinya ketika objek di dalam al-Quran tidak disebutkan maka ini memberikan faedah keumuman. Maka begitu juga dalam firmannya يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ “niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian”, di sini tidak disebutkan apa yang akan Allah subhanahu wa ta’ala lapangkan? Maka para ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah melapangkan secara umum([48]), entah itu melapangkan dalam urusan dunia, melapangkan urusan akhirat, melapangkan rezeki, melapangkan ketika di dalam kubur, bahkan An-Nasafy dalam kitabnya at-Taysir fit Tafsir menyebutkan bahwa ada ulama yang menafsirkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan kelapangan pada akhlak kalian. Yaitu akhlak kalian akan semakin indah karena kalian berakhlak mulia kepada orang lain. Contoh sederhana bagaimana Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kelapangan dada dada kita ketika kita berbuat baik kepada orang lain yaitu misalnya saat shalat jum’at kita berada di saf yang padat, lalu kita melihat ada orang datang terlambat dan sedang kesusahan mencari shaf untuk shalat, lalu dengan perhatian kita terhadapnya kitapun melapangkan untuknya tempat duduk agar dia bisa masuk kedalam shaf. Maka niscaya kita akan merasakan bagaimana Allah ketika itu juga memberikan kelapangan dan kebahagiaan di hati kita, karena kita telah membahagiakan orang tersebut dengan memberikan kelapangan kepadanya. Ini contoh Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kebahagiaan kepada kita ketika kita berbuat baik kepada orang lain walaupun perkara tersebut adalah perkara yang ringan. Berbeda dengan orang yang saat melihat saudaranya terlambat dia malah menyempitkan tempat duduknya agar orang tersebut tidak mendapatkan tempat duduk, maka ketika orang yang terlambat tetap memaksa untuk bisa duduk maka orang yang menyempitkan tempat duduk tersebut akan mendapati di hatinya rasa kesal, dia menyempitkan tempat duduk maka Allah subhanahu wa ta’ala akan memberikan juga rasa sempit di dadanya. Jadi jika kita melapangkan untuk orang lain maka Allah subhanahu wa ta’ala juga akan melapangkan untuk kita, dan contoh ini adalah contoh yang ringan karena hanya sekedar melapangkan dalam majelis hanya tinggal kita mengubah posisi kita sedikit untuk melapangkan majelis agar yang lain bisa bermajelis bersama kita maka Allah subhanahu wa ta’ala memberikan kelapangan kepada kita.
Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa jika seseorang telah datang dalam suatu majelis dan duduk maka dilarang bagi orang yang lain untuk memerintahkannya untuk berdiri lalu dia duduk di tempat orang tersebut([49]), karena hal ini telah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam larang, sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits,
«لَا يُقِيمَنَّ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ لِيُخَالِفَ إِلَى مَقْعَدِهِ، فَيَقْعُدَ فِيهِ وَلَكِنْ يَقُولُ افْسَحُوا»
“Janganlah salah satu dari kalian menyuruh saudaranya berdiri pada hari Jum’at dari tempat duduknya lalu ia duduk di tempatnya itu, tetapi katakanlah kepadanya; lapangkanlah!” ([50])
Maka tidak boleh bagi kita untuk membuat seseorang berdiri dari tempat duduknya karena orang yang terlebih dahulu datang dia lebih berhak untuk duduk di tempat duduknya, namun jika kita ingin duduk maka kita boleh untuk mengatakan kepadanya agar melapangkan tempat sehingga kita bisa duduk. Dan juga orang-orang yang terlambat datang maka hendaknya mereka duduk di tempat-tempat yang kosong yaitu ketika orang-orang yang duduk telah melapangkan bagi mereka dengan cara maju, maka orang-orang yang terlambat tersebut hendaknya duduk di belakangnya bukan dengan cara mereka maju ke depan meloncati dan melangkahi pundak-pundak orang-orang yang sedang duduk karena ini tidak beradab, akan tetapi mereka duduk di penghujung majelis ketika orang-orang yang duduk telah merapat ke depan.
Imam Al-Qurthubi juga membahas dalam tafsirnya bahwa seseorang tidak boleh memesan/memboking tempat di masjid atau tempat tertentu, contohnya ketika seseorang ingin mendapatkan shaf pertama dalam shalat maghrib, lalu dia memboking tempat tersebut dengan cara meletakkan sajadah sejak waktu ashar lalu dia pergi agar ketika telah datang waktunya dia mendapatkan saf pertama, maka ini diharamkan karena hal tersebut menyebabkan tempat yang diboking tersebut menjadi tidak bisa dimanfaatkan. Lain halnya jika hanya keluar sebentar karena ada hajat/kebutuhan, lalu ia meletakan sesuatu di tempat duduknya (untuk menandakan bahwa ia akan kembali) maka dia lebih berhak untuk duduk di tempatnya tersebut dan tidak boleh orang lain untuk menduduki tempatnya, dengan syarat dia hanya keluar dalam waktu sebentar. Adapun jika ia keluar dalam waktu yang lama lalu meletakkan sesuatu pada tempat duduknya agar orang lain tidak bisa duduk di tempatnya maka perbuatan tersebut tidak boleh, dan untuk orang lain boleh mengambil tempatnya.
Permasalahan yang juga disebutkan oleh imam Al-Qurthubi jika seseorang ingin mendapatkan shaf pertama yang dekat dengan gurunya lalu dia mengirim orang lain entah itu pembantu atau budaknya agar lebih dahulu duduk di saf pertama tersebut lalu ketika tuannya datang maka dia menggantikan tempat duduk pembantu atau budaknya tersebut, dan imam Al-Qurthubi membolehkan hal tersebut karena ada riwayat dari Ibnu Sirin ketika dia ingin mendapatkan saf pertama maka dia mengirim budaknya untuk terlebih dahulu menduduki shaf pertama tersebut([51]), ini adalah pendapat yang dibawakan oleh imam Al-Qurthubi dalam kitabnya walaupun untuk permasalahan ini penulis merasa perlu ditinjau kembali karena penulis merasakan sendiri tatkala berada di Masjid Nabawi ketika berada di belakang seseorang, lalu menulis menunggu-nunggu kepergian orang yang berada di hadapan penulis agar bisa duduk di depan, setelah ditunggu lama ternyata ketika dia bangkit datang majikannya menggantikan posisi orang tersebut. Lagi pula tempat shaf bukanlah hak seseorang yang boleh diwariskan atau ia hadiahkan kepada orang yang ia kehendaki, karena jika hal ini dibolehkan bisa jadi seseorang duduk di shaf pertama lalu jika dia hendak pergi dia bisa menghadiahkan tempatnya kepada kawannya, meskipun kawannya datang menjelang iqomat. Yang lebih tepat adalah jika dia pergi maka orang yang dibelakangnya persis yang lebih berhak mendapatkan tempatnya tersebut. Wallahu a’lam.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا
“Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kalian,” maka berdirilah”
Maksudnya jika ada perintah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa perintah menuju kebaikan maka hendaknya untuk bersegera dalam menuju kebaikan tersebut dan jangan ditunda-tunda.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepada kalian, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untuk kalian. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kalian,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kalian kerjakan.”
Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat orang yang beriman dan juga mengangkat derakat orang yang beriman dan berilmu, dan juga dalil bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di atas derajat orang-orang yang beriman saja, karena orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang mulia akan tetapi orang yang beriman dan berilmu lebih mulia lagi. Bahkan dalam ayat ini dijelaskan bahwa orang yang beriman dan berilmu diangkat beberapa derajat dan bukan hanya satu derajat saja di atas orang yang beriman tanpa ilmu. Sungguh benar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
«مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا، سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ، وَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ، وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، حَتَّى الْحِيتَانِ فِي الْمَاءِ، وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ، إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا، إِنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ»
“Barang siapa meniti jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga. Dan sesungguhnya para Malaikat akan membentangkan sayapnya karena ridha kepada penuntut ilmu. Dan sesungguhnya seorang penuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh penghuni langit dan bumi hingga ikan yang ada di air. Dan seungguhnya keutamaan seorang alim dibanding seorang ahli ibadah adalah ibarat bulan purnama atas semua bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan para Nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, akan tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang sangat besar.” ([52])
Maka jika dibandingkan satu saja orang yang berilmu dengan ratusan atau bahkan ribuan ahli ibadah namun tidak memiliki ilmu maka tentu satu orang yang berilmu tersebut lebih utama dari orang-orang ahli ibadah, sebagaimana rembulan yang jumlahnya hanya satu jika dibandingkan dengan bintang-bintang tentu jumlahnya lebih banyak bintang-bintang, akan tetapi sinar rembulan purnama tersebut mengalahkan sinar bintang-bintang. Hal ini dikarenakan sinar rembulan sampai ke bumi dan menerangi penghuni bumi di malam hari, dan ini seperti para ulama dan ahli ilmu yang mereka memberikan petunjuk kepada masyarakat. Oleh karenanya seseorang bisa mendapatkan derajat yang mulia dengan memiliki ilmu dan ini merupakan dalil untuk tetap semangat menuntut ilmu, dan penulis mewasiatkan kepada para pembaca khususnya untuk diri penulis pribadi untuk bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, sejauh mana ilmu seseorang bertambah dan disertai dengan pengamalan maka sejauh itu pula Allah subhanahu wa ta’ala akan mengangkat derajatnya di dunia maupun di akhirat
Al-Alusy menyebutkan dalam kitab tafsirnya ruuhul ma’aany sebuah faedah bahwa dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang adab bermajelis yaitu ketika ada orang yang datang terlambat maka hendaknya orang yang duduk untuk melapangkan agar orang yang terlambat tersebut mendapatkan tempat duduk, lalu kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sekelompok orang khusus yang akan diangkat derajatnya, padahal kita mengetahui bahwa biasanya orang yang melapangkan majelis belum tentu orang yang berilmu mungkin hanya sekedar orang ahli ibadah, namun mengapa Allah subhanahu wa ta’ala mengkhususkan orang-orang yang berilmu setelah berbicara membahas tentang adab melapangkan majelis?. Maka beliau menjelaskan bahwa seseorang ketika menuntut ilmu maka dia ingin duduk dekat dengan gurunya terlebih lagi zaman dahulu tidak ada pengeras suara maka para penuntut ilmu sangat ingin untuk duduk dekat dengan gurunya sehingga gurunya mengenali mereka dan mereka pun merasa senang karena bisa menuntut ilmu dengan jarak yang dekat dari guru mereka dan ini adalah kemuliaan bagi mereka dan ada rasa الرِّفْعَة (ketinggian) dalam diri mereka, maka tatkala mereka melapangkan majelis untuk orang-orang yang berada di belakang mereka sehingga bisa duduk berdampingan dengannya maka sesungguhnya dia telah mengalah agar orang lain bisa duduk di sampingnya dan duduk dekat dengan gurunya sehingga mendapatkan kemuliaan dan الرِّفْعَة (ketinggian) dengan duduk dekat dengan gurunya. Maka الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسٍ الْعَمَلِ “balasan sesuai dengan perbuatan”, ketika dia memberikan kesempatan orang lain untuk bisa mendapatkan kemuliaan dan derajat yang tinggi dengan duduk dekat dengan gurunya maka begitu juga Allah subhanahu wa ta’ala akan membalasnya dengan memberi derajat yang tinggi.
Al-Alusy rahimahullah juga menyebutkan alasan mengapa disebutkan dalam ayat ini dengan ahli ilmu, alasannya adalah karena persaingan di antara orang-orang yang berilmu sangat ketat, betapa sering timbul hasad dan dengki di antara mereka karena merasa tersaingi atau menyaingi yang lainnya, oleh karenanya dia harus melawan egonya dan jangan sampai dia merasa tersaingi oleh saudaranya dalam menuntut ilmu dan dakwah, hendaknya dia memberikan kesempatan yang lainnya untuk berdakwah dan menyampaikan ilmu selama ilmu tersebut sesuai dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan jangan sampai dia merasa bahwa dirinya saja yang boleh untuk diambil ilmunya adapun yang lainnya tidak boleh karena orang yang membutuhkan dakwah sangat banyak sedangkan ustadz yang mengajarkan sangat kurang jika dibandingkan dengan orang-orang yang membutuhkan dakwah. Maka jika ada saudara-saudara kita yang baru memulai terjun dakwah maka hendaknya da’i yang sudah lama berdakwah memberikan kesempatan kepada mereka untuk berdakwah dan hendaknya dia membimbing mereka karena mungkin mereka yang baru melangkahkan kakinya untuk berdakwah belum memahami medan dakwah dan jangan sampai merasa mereka adalah saingan baginya karena sesungguhnya para da’i bukanlah kompetitor akan tetapi mereka semua adalah partner dalam menyampaikan risalah Allah subhanahu wa ta’ala. Ini adalah faedah yang luar biasa yang disebutkan oleh Al-Alusy alasan mengapa disebutkan ahli ilmu([53]), karena persaingan di antara mereka sangat besar. Ibnu Taimiyyah berkata: “Terdapat saling hasad di antara para ulama sebagaimana terdapat saling hasad dari para pemilik harta”([54]), orang yang memiliki harta mereka saling hasad, para pedagang mereka saling dengki di antara mereka karena persaingan dalam berdagang, demikian juga terkadang hasad di dapati di kalangan penuntut ilmu, dan terkadang terdapat hasad di antara para da’i yang sangat besar bahkan terkadang bisa melebihi orang-orang yang hasad dalam urusan harta. Maka ini peringatan bagi seseorang yang berkecimpung dalam ilmu agar mengikhlaskan niatnya dan hendaknya memberikan kesempatan kepada yang lainnya untuk bisa berdakwah karena agama ini milik Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak mungkin beban dakwah dipikul dan dijalani sendirian oleh seorang da’i, karena pastinya dia tidak akan mampu, karena ilmu seseorang terbatas, usianya terbatas, dan juga tenaganya terbatas, oleh karenanya dia membutuhkan partner dalam berdakwah. Jika ada yang terjatuh dalam kesalahan hendaknya dibimbing bukan malah dijatuhkan atau dianggap sebagai saingan, dengan demikian Islam dan sunnah bisa tersebar dan bisa dirasakan oleh semua kaum muslimin.
Disebutkan dalam shohih Muslim,
أَنَّ نَافِعَ بْنَ عَبْدِ الْحَارِثِ، لَقِيَ عُمَرَ بِعُسْفَانَ، وَكَانَ عُمَرُ يَسْتَعْمِلُهُ عَلَى مَكَّةَ، فَقَالَ: مَنِ اسْتَعْمَلْتَ عَلَى أَهْلِ الْوَادِي، فَقَالَ: ابْنَ أَبْزَى، قَالَ: وَمَنِ ابْنُ أَبْزَى؟ قَالَ: مَوْلًى مِنْ مَوَالِينَا، قَالَ: فَاسْتَخْلَفْتَ عَلَيْهِمْ مَوْلًى؟ قَالَ: إِنَّهُ قَارِئٌ لِكِتَابِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَإِنَّهُ عَالِمٌ بِالْفَرَائِضِ، قَالَ عُمَرُ: أَمَا إِنَّ نَبِيَّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ قَالَ: «إِنَّ اللهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا، وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ».
“Bahwasanya Nafi’ bin Abdul Harits, pada suatu ketika bertemu dengan Khalifah Umar di ‘Usfan. Ketika itu, Umar menjadikannya (Nafi’) bertugas sebagai gubernur di kota Makkah. ‘Umar bertanya kepada Nafi’, “Siapa yang Anda angkat sebagai kepala bagi penduduk Wadi?” Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya lagi, “Siapakah itu Ibnu Abza?” Nafi’ menjawab, “Salah seorang Maula (budak yang telah dimerdekakan) di antara beberapa Maula kami.” Umar bertanya, “Apakah engkau mengangkat seorang budak untuk memimpin mereka?” Nafi’ menjawab, “Sesungguhnya dia adalah seorang yang ahli membaca Kitabullah dan dia adalah orang yang berilmu tentang ilmu fara`idh (ilmu tentang pembagian harta warisan).” Umar berkata, “Sesungguhnya Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an) dan menghinakan yang lain (karena meninggalkan al-Qurán)” ([55])
Dan juga sebagaimana yang disebutkan dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas,
كَانَ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، يُدْنِي ابْنَ عَبَّاسٍ، فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ: إِنَّ لَنَا أَبْنَاءً مِثْلَهُ، فَقَالَ: إِنَّهُ مِنْ حَيْثُ تَعْلَمُ، فَسَأَلَ عُمَرُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنْ هَذِهِ الآيَةِ، {إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالفَتْحُ} [النصر: 1]، فَقَالَ: «أَجَلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعْلَمَهُ إِيَّاهُ» قَالَ: مَا أَعْلَمُ مِنْهَا إِلَّا مَا تَعْلَمُ
“Umar bin Khaththab radliallahu ‘anhu pernah menjadikan Ibnu Abbas orang yang dekat dengan dirinya di setiap majelisnya. Maka Abdurrahman bin Auf berkata kepadanya; Sesungguhnya kita juga punya anak-anak sepertinya. Umar menjawab; kamu sendiri mengetahui siapakah Ibnu Abbas. Lalu Umar bertanya kepada Ibnu Abbas tentang ayat; “Apabila pertolongan dan kemenangan Allah telah datang.(QS. An-Nashr: 1) ” Ibnu Abbas menjawab; “Ajal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah memberitahukan Nabi tentang ajal beliau” Umar berkata; ‘Aku tidak tahu tentang ayat itu kecuali apa yang kamu ketahui.” ([56])
Maka dalam hadits ini menjelaskan akan kecerdasan Ibnu Abbas dan dia mengetahui akan tafsir dari ayat ini, maka Umar ingin menunjukkan kepada para sahabat senior lainnya bahwa Ibnu Abbas meskipun dia kecil akan tetapi dia pantas untuk duduk bersama para sahabat yang senior dan hal ini disebabkan oleh ilmu yang dimilikinya, ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala mengangkat orang-orang yang berilmu beberapa derajat maka hendaknya juga kita menghormati orang-orang yang berilmu dan kita angkat mereka karena mereka memiliki derajat di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam sunan An-Nasai juga disebutkan ketika perang Uhud sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Hisyam bin Amir,
شَكَوْنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ أُحُدٍ، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْحَفْرُ عَلَيْنَا لِكُلِّ إِنْسَانٍ شَدِيدٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «احْفِرُوا وَأَعْمِقُوا وَأَحْسِنُوا، وَادْفِنُوا الِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثَةَ فِي قَبْرٍ وَاحِدٍ»، قَالُوا: فَمَنْ نُقَدِّمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: «قَدِّمُوا أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا»
“Kami mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada perang Uhud, kami berkata, “Ya Rasulullah perintah untuk membuat kuburan setiap seorang diantara kami teramat sulit”, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Buatlah kuburan, perdalam dan perbaguslah lalu kuburkan dua atau tiga orang pada satu kubur, ” mereka bertanya siapa yang kami dahulukan ya Rasulullah, beliau menjawab: “Dahulukan diantara mereka yang paling banyak hafalan Qur’annya”. ([57])
Dan hadits ini menunjukkan bahwa orang yang berilmu dihormati, akan tetapi perlu diingat oleh orang-orang yang berilmu meskipun dia diangkat derajatnya oleh Allah subhanahu wa ta’ala jangan sampai hal tersebut menjadikan dia menjadi orang yang angkuh dan sombong. Sebagaimana harta dan jabatan bisa membuat orang menjadi sombong begitu juga ilmu bisa membuat orang menjadi sombong dan angkuh. Jika orang yang ilmunya banyak saja dilarang sombong, apalagi orang yang ilmunya masih cetek masih sedikit??. Seharunsnya ilmu itu membuat orang semakin tawadhu’ bukan malah menjadikannya sombong dan angkuh.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَاجَيْتُمُ الرَّسُولَ فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ}
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kalian mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kalian mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum (melakukan) pembicaraan itu. Yang demikian itu lebih baik bagi kalian dan lebih bersih. Tetapi jika kalian tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Muhadalah: 12)
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum mukminin jika hendak berbincang-bincang khusus dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam entah itu untuk konsultasi atau bertanya dan ingin datang secara khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya mereka membawakan sedekah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedekah ini akan diambil oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dibagikan kepada orang-orang fakir. Para ahli tafsir menyebutkan beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat ini, diantaranya dari Ibnu Abbas:
قَوْلُهُ: {فَقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَةً} وَذَاكَ أَنَّ الْمُسْلِمِينَ أَكْثَرُوا الْمَسَائِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى شَقُّوا عَلَيْهِ، فَأَرَادَ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْ نَبِيِّهِ؛ فَلَمَّا قَالَ ذَلِكَ صَبَرَ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ، وَكَفُّوا عَنِ الْمَسْأَلَةِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ بَعْدُ هَذَا {فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ} [المجادلة: 13] فَوَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ، وَلَمْ يُضَيِّقْ
“dan firman-Nya {maka keluarkanlah sedekah oleh kalian untuk pembicaraan khusus dengan Rasul} dan hal tersebut dikarenakan kaum muslimin memperbanyak bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam hingga hal tersebut memberatkan beliau, lalu Allah ingin meringankan Nabi-Nya, ketika beliau menyampaikan ayat tersebut kebanyakan sahabat bersabat dan menahan dari bertanya, maka Allah menurunkan setelahnya {Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat} maka Allah melapangkan kepada mereka dan tidak mempersempitnya.” ([58])
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمْ وَأَطْهَرُ
“Yang demikian itu lebih baik bagi kalian dan lebih bersih”
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika mereka para sahabat benar-benar ingin bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka hendaknya membawa sedekah, dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan kadar sedekah yang harus mereka bawa, akan tetapi hanya menyebutkan bahwa mereka hendaknya membawa sedekah sebelum mengadakan pembicaraan khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini agar mereka tidak bermudah-mudahan dalam mengadakan pembicaraan khusus dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan ini semua untuk mengagungkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang beliau bukan seperti orang biasa pada umumnya, karena beliau memiliki kesibukan dan keperluan, maka hendaknya mereka menghormati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tidak mengadakan pembicaraan khusus kecuali ketika ada sesuatu yang sangat penting dan hendaknya membawa sedekah ketika mengadakan pembicaraan khusus dengan beliau.
Ketika turunnya ayat ini banyak sahabat yang miskin yang akhirnya mereka tidak bisa bertanya dan mengadakan pembicaraan khusus dan juga yang memiliki harta tidk bermudah-mudahan dalam mengadakan pembicaraan khusus karena ketika mereka hendak mengadakan pembicaraan khusus mereka harus membawa sedekah.
Dan terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama apakah ayat ini telah diterapkan? Dalam sebagian riwayat dikatakan bahwa Ali bin Abu Thalib adalah satu-satunya orang yang menerapkan ayat ini, yaitu ketika beliau memiliki uang satu dinar dan beliau ingin berbicara khusus dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka beliaupun memecah uang tersebut menjadi 10 dirham, dan ada yang mengatakan bahwa Ali sempat menerapkan ayat ini kemudian turun ayat berikutnya memansukhkan ayat ini. Namun Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ayat ini belum sempat diterapkan oleh siapa pun karena ketika turunnya ayat ini banyak para sahabat yang merasa berat, dan sebelum mereka terapkan Allah subhanahu wa ta’ala langsung memansukhkan ayat ini dengan ayat setelahnya dan ayat ini dimansukhkan sebelum diterapkan dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Al-Qurthubi karena atsar tentang Ali yang bersedekah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengadakan pembicaraan khusus lemah([59]). As-Sa’di juga mengatakan bahwa tujuan ayat ini adalah agar kaum muslimin menghormati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak bermudah-mudahan dalam melakukan pembicaraan khusus, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kesibukan yang banyak, walaupun ayat ini belum diterapkan akan tetapi ayat ini menjadi pelajaran bagi mereka agar tidak bermudah-mudahan dalam melakukan pembicaraan khusus([60]).
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Tetapi jika kalian tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat ini menjelaskan bahwa bagi mereka yang miskin tidak memiliki sesuatu untuk disedekahkan maka tidak mengapa bagi mereka untuk bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah subhanahu wa ta’ala maha memaafkan([61]). Perlu diketahui bahwa sedekah yang diberikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bukan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Alusy bahwa ayat ini faedahnya agar orang-orang bisa bersedekah dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan sedekah tersebut kemudian dibagikan kepada fakir miskin([62]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{أَأَشْفَقْتُمْ أَنْ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيْ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَإِذْ لَمْ تَفْعَلُوا وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ}
“Apakah kalian takut akan (menjadi miskin) karena kalian memberikan sedekah sebelum (melakukan) pembicaraan dengan Rasul? Tetapi jika kalian tidak melakukannya dan Allah telah memberi ampun kepada kalian, maka laksanakanlah salat, dan tunaikanlah zakat serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya! Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kalian kerjakan.” (QS. Al-Muhadalah: 13)
Ayat ini menghapus hukum dari ayat sebelumnya, maka setelah turunnya ayat ini para sahabat diperbolehkan untuk melakukan pembicaraan khusus kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa harus membawa sedekah, karena hal tersebut memberatkan para sahabat, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan وَتَابَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ “Allah telah memberi ampun kepada kalian”, yaitu maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala memansukhkan ayat sebelumnya. ([63])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ تَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مَا هُمْ مِنْكُمْ وَلَا مِنْهُمْ وَيَحْلِفُونَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ يَعْلَمُونَ}
“Tidakkah engkau perhatikan orang-orang (munafik) yang menjadikan suatu kaum yang telah dimurkai Allah sebagai sahabat? Orang-orang itu bukan dari (kaum) kalian dan bukan dari (kaum) mereka. Dan mereka bersumpah atas kebohongan, sedang mereka mengetahuinya.” (QS. Al-Muhadalah: 14)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan suatu kaum yaitu kaum munafik yang loyal kepada kaum yang Allah subhanahu wa ta’ala murkai yaitu kaum Yahudi([64])., yang mana kaum munafik ini bukanlah dari golongan orang-orang yang beriman dan juga bukan dari golongan orang-orang Yahudi, dan ini seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan tentang mereka (kaum munafik):
مُذَبْذَبِينَ بَيْنَ ذَٰلِكَ لَا إِلَىٰ هَٰؤُلَاءِ وَلَا إِلَىٰ هَٰؤُلَاءِ ۚ وَمَنْ يُضْلِلِ اللَّهُ فَلَنْ تَجِدَ لَهُ سَبِيلًا
“Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” QS. An-Nisa: 143
Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat orang-orang munafik yang lain yaitu وَيَحْلِفُونَ عَلَى الْكَذِبِ وَهُمْ يَعْلَمُونَ “Dan mereka bersumpah atas kebohongan, sedang mereka mengetahuinya”, sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini turun menjelaskan tentang orang-orang munafik dimana ketika mereka bertemu dengan orang-orang Yahudi mereka akan mencela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin, namun jika bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mereka ditanya apakah mereka melakukan hal tersebut ketika mereka bersama orang-orang Yahudi maka mereka akan mengingkarinya sambil bersumpah atas kebohongan mereka padahal mereka mengetahui bahwa mereka berdusta, namun untuk menutupi kedustaan tersebut mereka bersumpah dusta, bahkan mereka menekankan dusta mereka dengan dusta. ([65])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ عَذَابًا شَدِيدًا إِنَّهُمْ سَاءَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}
“Allah telah menyediakan azab yang sangat keras bagi mereka. Sungguh, betapa buruknya apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-Muhadalah: 15)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwasanya orang-orang munafik telah disediakan adzab yang pedih, yang adzab tersebut sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan dalam surah yang lain,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” QS. An-Nisa: 145
Oleh karenanya sebagian ulama salaf mengatakan bahwa neraka itu دَرَكَات bertingkat menurun ke bawah, dan yang paling bawah adalah neraka yang tingkatannya lebih dahsyat adzabnya. Nereka yang paling bawah yang berada di kerak dasar adalah tempat bagi orang-orang munafik, adapun untuk orang-orang kafir maka mereka berada di tingkatan di atas orang-orang munafik yaitu lebih ringan dibandingkan tempat orang-orang munafik. Hal ini dikarenakan orang-orang munafik menggabungkan dua kesalahan: yaitu kufur dan dusta, sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” QS. An-Nisa: 142
Dalam ayat yang lain,
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
“Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.” QS. Al-Baqoroh: 9
Orang-orang munafik menampakkan secara zhahir bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman ternyata dalam batin mereka hanyalah kekufuran, sehingga terkumpul dalam diri mereka dua perkara yaitu kufur dan bohong. Berbeda dengan orang-orang yang kafir yang secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka kafir, sehingga dosanya orang-orang munafik lebih besar sehingga adzab bagi orang-orang munafik adalah kerak neraka yang berada paling dasarnya,
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ فِي الدَّرْكِ الْأَسْفَلِ مِنَ النَّارِ وَلَنْ تَجِدَ لَهُمْ نَصِيرًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” QS. An-Nisa: 145
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَن سَبِيلِ اللهِ فَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ}
“Mereka menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah; maka bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. Al-Mujadalah: 16)
Dalam ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang munafik menjadikan sumpah-sumpah mereka sebagai pelindung mereka ketika terbongkar kemunafikan mereka. Dalam sebagian bacaan (qiro’ah) yang lain dibaca dengan mengkasrahkan hamzahnya اتَّخَذُوا إِيْمَانَهُمْ جُنَّةً “Mereka menjadikan iman mereka sebagai perisai”, maksudnya mereka mengaku sebagai orang yang beriman agar mereka selamat dari kaum muslimin dengan menyembunyikan kekafiran mereka dengan mengaku sebagai orang yang beriman. ([66])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ يَوْمَ يَبْعَثُهُمُ اللَّهُ جَمِيعًا فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَمَا يَحْلِفُونَ لَكُمْ وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُونَ}
“Harta benda dan anak-anak mereka tidak berguna sedikit pun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Ingatlah) pada hari (ketika) mereka semua dibangkitkan Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian; dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat). Ketahuilah, bahwa mereka orang-orang pendusta” (QS. Al-Mujadalah: 17-18)
Ayat-ayat ini menjelaskan tentang keadaan mereka nanti ketika di neraka Jahanam, bahwa harta dan anak-anak mereka tidak bisa menyelamatkan mereka dari neraka Jahanam dan mereka kekal di dalamnya([67]). Kemudian pada ayat selanjutnya Allah subhanahu wa ta’ala masih menjelaskan tentang keadaan mereka orang-orang munafik di neraka jahanam yaitu ketika orang-orang munafik dibangkitkan semuanya pada hari kiamat فَيَحْلِفُونَ لَهُ كَمَا يَحْلِفُونَ لَكُمْ “lalu mereka bersumpah kepada-Nya sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian”, yaitu maksudnya ketika di akhirat mereka masih juga bersumpah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam rangka ingin mengelabui Allah dengan mengatakan bahwa sesungguhnya mereka beriman sebagaimana yang mereka lakukan ketika di dunia dengan bersumpah palsu demi mengelabui orang-orang yang beriman. Inilah sifat buruk mereka yang Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan, ketika di akhirat masih mau berbohong juga, namun karena hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi mereka dan juga mereka sudah mengetahui bahwa kebohongan mereka tidak akan memberikan manfaat untuk mereka akan tetapi mereka tetap berbohong di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Lalu Allah subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang anggapan mereka dengan bersumpah palsu tersebut وَيَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ عَلَى شَيْءٍ “dan mereka menyangka bahwa mereka akan memperoleh sesuatu”, yaitu maksudnya mereka menyangka dengan berbohong di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala mereka akan bisa selamat([68]), padahal ini adalah perkara yang tidak mungkin terjadi karena Allah subhanahu wa ta’ala maha mengetahui segala sesuatu. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menutup ayat ini dengan penekanan bahwa orang-orang munafik adalah orang-orang yang pendusta أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْكَاذِبُونَ “Ketahuilah, bahwa mereka orang-orang pendusta”, yaitu dengan إِنَّ kemudian dengan dhamir fashl هُمْ yang terletak setelah إِنَّهُمْ, lalu dengan masuknya الْ ke kata الْكَاذِبُونَ yang semua ini fungsinya untuk penekanan sehingga ketika kita terjemahkan menjadi “sesungguhnya mereka itulah benar-benar para pendusta”.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ أُولَئِكَ حِزْبُ الشَّيْطَانِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ الشَّيْطَانِ هُمُ الْخَاسِرُونَ}
“Setan telah menguasai mereka, lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah; mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa golongan setan itulah golongan yang rugi.” (QS. Al-Muhadalah: 19)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala masih menyebutkan tentang orang-orang munafik ini mengapa mereka bisa bersumpah berbohong, hal ini dikarenakan mereka telah digiring dan diarahkan oleh syaithan. Secara bahasa اسْتَحْوَذَ berasal dari kata حَوْذٌ yang artinya اَلسَّوْقُ yaitu digiring, bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa digiring ini dikaitkan dengan kata lainnya sehingga menjadi السَّوْقُ بِالسَّرِيْعِ yaitu digiring dengan cepat([69]). Jadi orang-orang munafik ini hati mereka digiring oleh syaithan sehingga syaithan pun menguasai mereka. Dan manusia bisa menjadi jahat dengan dua faktor: faktor eksternal dan faktor internal, adapun faktor internal yaitu hatinya sebagaimana yang Allah subhanahu wa ta’ala firmankan,
وَمَا أُبَرِّئُ نَفْسِي ۚ إِنَّ النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ إِلَّا مَا رَحِمَ رَبِّي ۚ إِنَّ رَبِّي غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” QS. Yusuf: 53
Ayat ini menjelaskan tentang faktor dari dalam seseorang yang menyebabkannya menjadi berbuat buruk yaitu syahwat dan jiwanya. Dan adapun faktor eksternal yaitu syaithan yang selalu membisikkan kepada jiwanya untuk melakukan hal-hal yang buruk. Dan orang-orang munafik terdapat di dalam diri mereka dua faktor ini sehingga Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa syaithan telah menggiring mereka.
Kemudian firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَأَنْسَاهُمْ ذِكْرَ اللَّهِ
“lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.”
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang akibat ketika syathan telah menggiring mereka yaitu mereka lalai dari mengingat Allah subhanahu wa ta’ala, atau syaithan menyebabkan mereka meninggalkan Allah subhanahu wa ta’ala, karena dalam bahasa Arab النِّسْيَانُ bisa artinya الْغَفْلَةِ “lalai/lupa” dan bisa juga artinya التَّرْكِ “meninggalkan”([70]), sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ ۚ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ ۗ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah meninggalkan Allah, maka Allah meninggalkan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” QS. At-Taubah 67
Maka dalam ayat ini tidak mungkin kita terjemahkan “maka Allah melupakan mereka”, karena Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan pernah lupa, dan ini bukan takwil, karena dalam bahasa Arab النِّسْيَانُ bisa artinya الْغَفْلَةِ “lalai/lupa” dan bisa juga artinya التَّرْكِ “meninggalkan”.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{إِنَّ الَّذِينَ يُحَادُّونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ فِي الْأَذَلِّينَ}
“Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina.” (QS. Al-Muhadalah: 20)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa orang-orang yang menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya bahwa mereka benar-benar termasuk orang-orang yang terhina, dalam ayat ini menyifati mereka dengan wazan isim tafdhil الْأَذَلّ, yang menunjukkan paling/sangat, yaitu mereka bukan hanya orang-orang yang terhina saja akan tetapi mereka orang-orang yang paling terhina atau sangat terhina di dunia maupun di akhirat dan tidak ada orang yang lebih terhina dari mereka. ([71])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{كَتَبَ اللهُ لأَغْلِبَنَّ أَنَا وَرُسُلِي إِنَّ اللهَ قَوِيٌّ عَزِيزٌ}
“Allah telah menetapkan, “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang.” Sungguh, Allah Maha kuat, Mahaperkasa.” (QS. Al-Muhadalah: 21)
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan diri-Nya dan para Rasul-Nya pasti menang. Dan betapa banyak umat-umat yang telah Allah subhanahu wa ta’ala binasakan karena menentang para Rasul-Nya. Dan Rasul-rasul Allah menang dengan cara mengalahkan musuh-musuhnya dalam peperangan atau menang dengan hujjah/dalil dan tidak ada yang bisa membantah argumentasi para rasul([72]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
{لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللَّهِ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ}
“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya atau keluarganya. Mereka itulah orang-orang yang dalam hatinya telah ditanamkan Allah keimanan dan Allah telah menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari Dia. Lalu dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah yang beruntung.” (QS. Al-Muhadalah: 22)
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh bagi seseorang berkasih sayang atau menunjukkan kasih sayangnya kepada orang-orang yang kafir kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya, dan membenci agama Islam, kecuali ada maslahat duniawi tertentu, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” QS. Al-Mumtahanah:8
Maka dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala tidak melarang orang-orang yang beriman untuk berbuat adil dan berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memusuhi atau menyerang orang-orang yang beriman, akan tetapi tidak menjadikan hal tersebut sebagai pembolehan dalam menjadikannya sebagai teman dekat atau berkasih sayang, karena hal ini Allah subhanahu wa ta’ala larang karena itu bukan ciri-ciri penghuni surga.
Al-Qurthubi menyebutkan dalam tafsirnya bahwa imam Malik berdalil dengan ayat ini untuk tidak berlemah lembut dengan ahlul bid’ah Qodariyyah, kemudian Al-Qurthubi menjelaskan bahwa ahlul bid’ah Qodariyyah hanya sebagai contoh dan termasuk kedalamnya semua pelaku kezhaliman dan musuh-musuh Islam([73]) maka asalnya tidak boleh bagi kita berkasih sayang dengan mereka kecuali ada maslahatnya. Maka pada asalnya kita bukanlah teman dekat bagi orang-orang kafir dan ahlul bid’ah kecuali terdapat kemaslahatan maka boleh bagi kita untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir juga kepada ahlul bid’ah, hal ini dikarenakan ciri-ciri penghuni surga adalah orang-orang yang yang tidak menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya sedangkan mereka menentang Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya.
([1]) Tafsir Al-Qurthubi 17/269-270
([2]) Zhihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya:
أَنْتِ عَلَيَّ كَظَهْرِ أُمِّي
“Sesungguhnya engkau wahai istriku seperti punggung ibuku (dengan niat tidak ingin menggauli istrinya lagi).” (Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/270)
([3]) HR. Ibnu Majah no. 2063, dan dishohihkan oleh Al-Albani
([4]) HR. Ahmad no. 24195, dan dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth sanadnya shohih sesuai dengan syarat Muslim.
([5]) Dalam konteks kisah ini, ada dua pendapat di kalangan para ulama. Pertama : Al-Lamam di sini maksudnya ada gairah dan syahwat yang berlebihan kepada wanita. Ini adalah pendapat al-Khottobi dan Ibnu al-Atsir. Kedua : Al-Lamam adalah gangguan pikiran yang menyebabkan emosinya tidak terkontrol (Lihat Badzlull Majhuud fi Halli Sunani Abi Dawud 8/245-246)
([6]) Tafsir Al-Qurthubi 17/270
([8]) Tafsir Al-Qurthubi 17/270
([9]) Tafsir Al-Qurthubi 17/270
([10]) Mentakwil (menafsirkan) sifat mendengar dengan ilmu adalah takwil yang batil. Karena semua orang tahu bahwasanya ilmu bukanlah mendengar. Sebagai contoh seorang tuli bisa melihat seseorang berbicara atau melihat sebuah gentong yang dipukul keras, namun dia tidak mendengar suara pembicaraan dan suara bunyi gentong tersebut. Sebagaimana kita juga mengilmui bahwasanya para jin berbicara diantara mereka, malaikat berbicara diantara mereka, namun kita tidak bisa mendengar suara tersebut.
Untuk lebih memahami hal ini, maka perhatikanlah pembahasan berikut ini :
Pembagian sifat Allah
Sifat dzatiyah: yaitu sifat yang sejak azali ada selalu bersama Allah, sehingga tidak berkaitan dengan kehendak Allah. Contohnya wajah dan tangan Allah yang sejak azali ada bersama Allah, dan tidak bisa kita katakan, “Jika Allah berkehendak Allah punya tangan, dan jika tidak maka tidak punya tangan”.
Sifat fi’iliyyah: yaitu sifat yang berkaitan dengan kehendak Allah, jika Allah berkehendak maka Allah lakukan dan jika Allah tidak berkehendak maka Allah tidak lakukan, seperti sifat rahmat terkadang Allah merahmati sebagian dan terkadang Allah marah kepada sebagian.
Sifat dzatiyyah fi’liyyah: dzatiyyah ditinjau dari sisi asal sifat tersebut dan fi’liyyah ditinjau dari sisi penerapan sifat tersebut, contohnya sifat al-kalam (sifat berbicara), ditinjau dari asalnya maka ia dzatiyyah maksudnya sejak Allah ada Allah sudah bisa berbicara. Berbeda dengan manusia, ketika pertama lahir belum bisa berbicara kemudian umur sekian baru dilatih untuk berbicara, dan sifat bicara manusia munculnya belakangan, adapun Allah sejak zaman azali sudah bisa berbicara. Dan ditinjau dari kapannya Allah berbicara maka ini sifat fi’liyyah, maksudnya kapan Allah ingin bicara atau dengan siapa Allah ingin berbicara, dengan topik apa, atau Allah tidak ingin berbicara? maka semua ini terserah Allah. Ini menunjukkan akan kesempurnaan kesempurnaan Allah dalam sifat Al-Kalam. Berbeda dengan asya’iroh, karena mereka tidak menerima pembagian sifat fi’iliyyah, mereka mengatakan kalam Allah adalah kalam nafsy yang tidak boleh ada perubahan, pembaharuan, dan tidak boleh dikatakan dulu Allah tidak berbicara kemudian berbicara, lalu berbicara lagi dengan topik yang lain, maka semua ini menurut mereka tidak boleh. Jadi menurut mereka kalam Allah adalah kalam nafsy yang tidak berubah-rubah, statis tidak dinamis. Menurut mereka “kedinamisan” (perubahan-perubahan) merupakan sifat khusus makhluk, sehingga Allah tidak boleh mengalami kedinamisan. Dan ciri Tuhan yang paling utama adalah statsi, yang Allah statis sejak zaman azali hingga abadi. Oleh karenanya mereka mengatakan Al-quran bukan kalam Allah, karena Al-quran ada huruf-hurufnya dan menurut mereka sifat dzat Allah tidak demikian maka Al-quran hanyalah ungkapan dari kalam jiwanya Allah subhanahu wa ta’ala. Kalam nafsi (bahasa jiwa) Allah itulah yang merupakan sifat Allah karena statis sejak zaman azali, tanpa huruf dan suara. Karen adanya huruf dan suara menunjukan kedinamisan.
Termasuk sifat dzatiyyah fi’liyyah adalah sifat mendengar, maka Allah sejak azali sudah mendengar dan ini adalah sifat dzatiyyah, adapun berkaitan kapan Allah ingin mendengar, entah mendengar sesuatu yang sudah dibicarakan, sedang dibicarakan, atau akan dibicarakan, atau Allah mendengar suara yang sudah muncul, sedang muncul, atau akan muncul maka ini semua terserah Allah dan ini dinamakan sifat fi’liyyah.
Adapun sifat mendengar dan melihat menurut asya’iroh, mereka hanya menetapkan untuk Allah tujuh sifat yang semuanya mereka tetapkan dengan akal, menurut mereka alam semesta yang kokoh dan hebat seperti ini menunjukkan akan adanya pencipta, dan setelah mereka perhatikan mereka mendapati bahwa pencipta tersebut memiliki tiga sifat:
- Qadiir yaitu maha kuasa, karena muncul ciptaan yang luar biasa yang tidak ada yang mampu melakukannya kecuali dzat yang Qadir (yang maha kuasa).
- Muriid yaitu berkehendak, karena ciptaan yang muncul bentuknya berbeda-beda, diciptakan dalam waktu yang berbeda-beda, ini menunjukkan bahwa Allah memiliki kehendak untuk membeda-bedakan ciptaannya.
- ‘Alim yaitu maha mengetahui, karena ciptaan Allah yang sangat luar biasa, sempurna, kokoh, dan hebat dengan peraturan yang teratur maka menunjukkan bahwa pencipta tersebut memiliki sifat maha berkuasa, maha berkehendak, dan maha berilmu.
Lalu mereka mengatakan bahwa dari tiga sifat ini melazimkan bahwa pencipta harus memiliki sifat al-hayat yaitu maha hidup, dan sesuatu yang hidup mesti memiliki tiga sifat, yaitu:
- As-sama’ yaitu maha mendengar
- Al-bashar yaitu maha melihat
- Al-kalam yaitu maha berbicara
Berkaitan dengan tiga sifat ini sebagian mereka ada yang menempuh dengan dalil naqly yaitu bahwasanya Al-Quran dan Al-Hadits menunjukkan tiga sifat tersebut, namun sebagian yang lain mengatakan bahwa dalil naqly sifatnya tidak qhot’i (pasti) namun hanya zhonny (prasangkaan) sehingga mereka lebih mengedepankan pendalilan dengan akal, dan akal menunjukkan adanya sifat, as-sama’, al-bashor, dan al-kalam untuk dzat yang maha sempurna. Penetapan dengan dalil akal ini mereka ambil dengan beberapa metode pendalilan di antaranya metode pendalilan الضِّدِّيَّةُ adh-dhiddiyyah, yaitu ketika ada pilihan antara dzat yang mendengar atau tidak maka yang lebih sempurna adalah yang mendengar, ketika ada pilihan antara dzat yang melihat atau tidak maka yang lebih sempurna adalah yang melihat, dan ketika ada pilihan antara dzat yang berbicara atau tidak maka yang lebih sempurna adalah yang berbicara.
Demikian juga dengan dalil الكَماَلُ, yaitu jika pada manusia sifat mendengar adalah sempurna maka Allah lebih utama untuk mendengar.
Inilah tujuh sifat yang ditetapkan oleh asya’iroh, adapun sifat-sifat yang lain maka itu hanyalah sekedar penjelasan dari tujuh sifat ini. Maka tidak benar bahwa mereka menetapkan dua puluh atau tiga belas sifat, karena sisanya hanyalah berputar sekitar penjelasan tujuh sifat ini, seperti sifat baqha maksudnya tidak akan mati, yaitu penjelasan dari sifat al-hayat maha hidup. (Penjelasan lebih detail bisa dibaca di buku lain milik penulis yaitu Syarh al-Aqidah al-Washithiyyah, yang insya Allah sedang disusun)
Sebagian Ahlussunnah menyangka bahwa Asya’iroh dan Ahlussunnah sama dalam menetapkan tujuh sifat ini, namun para ulama menjelaskan bahwa penetapan Asya’iroh terhadap tujuh sifat ini tidak sama dengan Ahlussunnah, contohnya dalam ayat ini terdapat sifat as-sama’ (mendengar), ahlussunnah menetapkan bahwa Allah memiliki sifat as-Sama’ yaitu Allah maha mendengar, adapun kaifiyat (bagaimana) cara mendengarnya maka ini bukan urusan kita. Kita tidak mengatakan Allah memiliki telinga atau tidak, karena ini bukan urusan kita, yang jelas Allah maha mendengar. Sebagaimana kita mengatakan Allah berbicara, maka kita tidak mengatakan ketika Allah memiliki sifat berbicara berarti Allah harus mempunyai lisan, mulut, atau pita suara. Maksudnya Allah berbicara yaitu Allah berbicara dengan sesuatu yang bisa didengar, adapun bagaimana berbicaranya maka kita tidak tahu. Demikian pula Allah mendengar maka kita tidak tahu bagaimana Allah mendengar. Adapun Allah melihat maka ada dalil yang menunjukkan bahwa Allah memiliki mata, akan tetapi berkaitan dengan sifat mendengarnya Allah, maka tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa Allah memiliki telinga maka kita tidak mengatakan Allah memiliki telinga atau tidak memiliki telinga, akan tetapi kita hanya mengatakan bahwa Allah maha mendengar.
Adapun Asya’iroh tidak berani menetapkan sifat mendengar sebagaimana kita tetapkan dengan penjelasan di atas, karena mereka tidak menerima ada sesuatu yang baru ada pada diri Allah, jika seandainya Allah mendengar suara berarti Allah mendengar suara yang baru muncul dan juga suara yang bermacam-macam dan berubah-rubah, maka Allah berkaitan dengan sesuatu yang baru, berarti Allah mengalami perubahan-perubahan dan ini menunjukkan bahwa Allah bukan tuhan. Karena sebagaimana telah lalu, menurut Asyaíroh syarat tuhan adalah harus statis dan tidak tidak dinamis. Akhirnya hal ini menyebabkan mereka mentakwil sifat as-sama dan al-bashar.
Terdapat khilaf di antara mereka dalam mentakwil dua sifat ini:
Pertama: mentakwil keduanya dengan ilmu, berdasarkan takwilan ini maka mendengar adalah Allah mengetahui apa yang di dengar, dan melihat adalah Allah mengetahui apa yang dilihat.
Kedua: mentakwil keduanya dengan ziyadatul inkisyaf yaitu tambahan yang terungkap, dan maknanya hampir sama dengan yang pertama yaitu tambahan pengetahuan atau ilmu.
Intinya mereka menetapkan as-sama’ dan al-bashor tidak seperti kita menetapkannya, karena mereka menetapkan keduanyanya dengan mengetahui, dan ini adalah takwil yang buruk karena seakan-akan mereka menolak sifat mendengar dan melihat.
Dan kita tahu bahwa sifat mendengar berbeda dengan mengilmui, dan melihat berbeda dengan mengilmui. Contohnya jika ada orang yang tuli maka dia mengetahui bahwa dihadapannya ada orang yang sedang berbicara, dia mengetahui ada yang berbicara namun ia tidak bisa mendengar apa yang dibicarakan ini menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu namun ia tidak dapat mendengar dan ini menunjukkan bahwa ilmu berbeda dengan mendengar. Juga contohnya ada orang yang buta dia mengetahui (dengan mendengar) bahwa ada orang yang berbicara di sekitarnya namun ia tidak dapat melihat, ini menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu namun ia tidak dapat melihat dan ini menunjukkan bahwa ilmu berbeda dengan melihat. Oleh karenanya dalam sunan Abu Dawud dari Sulaim bin Jubair, ia berkata:
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقْرَأُ هَذِهِ الْآيَةَ {إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا} إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى {سَمِيعًا بَصِيرًا} [النساء: 58] قَالَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَضَعُ إِبْهَامَهُ عَلَى أُذُنِهِ، وَالَّتِي تَلِيهَا عَلَى عَيْنِهِ»، قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: «رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهَا وَيَضَعُ إِصْبَعَيْهِ»
“Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat ini: {Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya} (Qs. An Nisa: 48) sampai pada firman-Nya {Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Meliha}. Abu Hurairah berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan ibu jarinya ke telinga, dan meletakkan jari telunjuknya pada mata.” Abu Hurairah melanjutkan, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membaca ayat tersebut seraya meletakkan kedua jarinya tersebut.” (HR. Abu Dawud no. 4728, dan dishohihkan oleh Ibnu Hajar dan al-Albani)
Hadits ini menunjukkan bahwasanya Allah benar-benar mendengar dan melihat, dan seandainya mendengar dan melihat artinya mengetahui maka kemungkinan Nabi akan berisyarat ke hati, karena ilmu di hati, atau berisyarat ke kepala (karena ilmu letaknya di otak/fikiran). Akan tetapi Nabi berisyarat bahkan dengan dua jari untuk mendengar dan melihat ke telinga dan mata untuk menunjukkan bahwasanya Allah benar-benar mendengar dan melihat.
Karena Asyaíroh mentakwilkan sifat mendengar dan melihat dengan sifat ilmu, maka akhirnya muncul perkataan mereka yang aneh yaitu اللهُ يَسْمَعُ الْمُبْصَرَاتِ وَيُبْصِرُ الْمَسْمُوْعَاتِ “Allah mendengar apa yang terlihat dan melihat apa yang terdengar”, karena menurut mereka mendengar dan melihat sama dengan ilmu.
Dan ayat ini menjadi bantahan untuk mereka, karena Allah berfirman “Sesungguhnya Allah telah mendengar” berarti Allah telah mendengar pembicaraan tersebut dan ini bukanlah pendengaran di azali, akan tetapi Allah baru mendengarnya, kemudian Allah berfirman “Allah sedang mendengar pembicaraan kalian berdua”, berarti Allah sekarang sedang mendengar, akan tetapi menurut mereka (asya’iroh) tidak ada namanya Allah mendengar sekarang, karena Allah mendengar semuanya di azali, itupun mereka takwil dengan makna mengetahui/mengilmui.
([13]) Tafsir Al-Baydhowi 5/193
([15]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi 17/288
([16]) Lihat: Tafsir al-Alusy 14/216
([17]) كَنَفَ dalam bahasa arab diambil dari كنف الطَّائِر yaitu sayap burung karena dengannya dia melindungi dirinya dan telur-telurnya dengan cara menutupi anak-anaknya dengan sayapnya, sehingga dalam hadits ini maknanya Allah subhanahu wa ta’ala melindungi orang yang beriman dan menutupi aibnya dari khalayak sehingga tidak diketahui oleh yang lainnya, dan perkaranya hanya antara dia dan Allah subhanahu wa ta’ala saja. (Lihat: ‘Umdatul Qori Syarhu Shohihil Bukhori 12/287)
([18]) HR. Ahmad no. 5436, Bukhari no. 2441, dan Muslim no. 2768
([19]) HR. Ahmad no. 6677, dan dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bahwa sanad hadits ini hasan.
([20]) HR. Abu Dawud no. 2133, dan dishohihkan oleh Al-Albani.
([21]) Lihat: Ma’anil Quran wa I’raabuhu 5/137
([22]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/217
([23]) Lihat tentang kedua pembagian ma’iyyah ini di kitab (Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah karya Muhammad bin Khalil Hasan Harras hal 146-147)
([24]) Lihat: Ar-Radd ‘Alal Jahmiyyah Waz Zanaadiqah hal: 144
([25]) Untuk lebih mudah memahami perbedaan antara al-ittihadiyah dan al-huluiyah maka pendekatannya dengan analogi berikut. Untuk al-Ittihadiyah (artinya dzat Allah bersatu dengan dzat makhluk-Nya), pendekataanya seperti kopi dan susu, ketika dicampur dan diaduk akhirnya bersatu menjadi kopi susu. Adapun al-Hululiyyah (artinya Allah subhanahu wa ta’ala menempati jasad makhluk-Nya), pendekatannya seperti contoh dengan air dan gelas, ketika air tersebut dituang ke dalam gelas maka air tersebut menempati gelas
([26]) Lihat: Ar-Rad ‘Alal Jahmiyyah waz Zanaadiqah hal:154
([27]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/42
Tafsir yang paling bagus dalam menafsirkan ayat dengan ayat adalah:
- Tafsir Ibnu Katsir, karena dalam tafsirnya beliau rahimahullah ta’ala sangat pandai dalam merangkai dan menafsirkan suatu ayat dengan ayat yang lainnya.
- Tafsir Adhwa’ul bayaan karya syaikh Amin Asy-Syinqithy rahimahullah ta’ala, beliau dalam kitab tafsirnya ini sering menggandengkan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya.
Dan metode ini sangat sering kita dapati dalam kitab-kitab tafsir para ulama seperti Tafsir al-Qurthubi yang kitab ini adalah kitab tafsir yang sangat bagus, namun terkadang terluput darinya beberapa rangkaian ayat. Ibnu Katsir mempunyai perhatian yang lebih dalam masalah ini, seperti ketika beliau menjelaskan tentang ayat al-mujadalah ini beliau juga membawakan ayat yang penulis bacakan, dan ini adalah salah satu metode untuk bisa lebih memahami makna ayat ini yaitu dengan menafsirkan suatu ayat dengan ayat yang lain, karena tafsir yang terbaik adalah dengan menafsirkan sebuah ayat dengan ayat yang lain, kemudian menafsirkan ayat dengan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian menafsirkan ayat dengan atsar para salaf atau dengan bahasa.
([28]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/290
([29]) Al-Jami’u Li Ahkaamil Quraan Tafsir Al-Qurthuby 17/291
([30]) Al-Jami’u Li Ahkaamil Quraan Tafsir Al-Qurthuby 17/291
Begitu juga yang dimasukkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Katsir dalam tafsir mereka dari Muqotil dengan lafaz yang sedikit berbeda namun maknanya sama (lihat: Tafsir al-Quranil ‘Azhim libni Abi Hatim 10/3343 dan Tafsir al-Quranil ‘Azhim libni Katsir 8/42)
([34]) Musnad Ishaq bin Rahawaih no. 1685
([35]) Lihat: Tafsir Muqotil bin Sulaiman 1/36
([36]) Seperti dalam firman Allah
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا مِنْكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka: “Jadilah kamu kera yang hina” (QS Al-Baqoroh : 65)
فَلَمَّا عَتَوْا عَنْ مَا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina (QS Al-A’roof : 166)
([37]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/32
([38]) HR. Ahmad no 19633, dan sanadnya dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth shohih dengan syarat Bukhari Muslim
([39]) Lihat: Ar-Risalah At-Tabukiyyah karya Ibnul Qoyyim hal: 7
([40]) Lihat: Tafsir as-Sa’dy hal: 845
([41]) HR. Bukhari no. 6290 dan Muslim no. 2184
([42]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 28/30
([43]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/223
([44]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/223
([45]) Tafsir Al-Qurthubi 17/296-297
([46]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/223 dan Tafsir Al-Qurthubi 17/297
([47]) HR. Ahmad no. 13963, dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth hadits ini shohih dengan syarat Muslim
([48]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/297
([49]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/298
([51]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/298
([52]) HR. Ibnu Majah no. 223, dan hadits ini dishohihkan oleh Al-Albani
([53]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/224
([54]) Ibnu Taimiyyah menyebutkan adanya hasad di kalangan para ulama dan juga di kalangan para donator. Beliau berkata
وَلِهَذَا يُوجَدُ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ الَّذِينَ لَهُمْ أَتْبَاعٌ مِنْ الْحَسَدِ مَا لَا يُوجَدُ فِيمَنْ لَيْسَ كَذَلِكَ وَكَذَلِكَ فِيمَنْ لَهُ أَتْبَاعٌ بِسَبَبِ إنْفَاقِ مَالِهِ فَهَذَا يَنْفَعُ النَّاسَ بِقُوتِ الْقُلُوبِ وَهَذَا يَنْفَعُهُمْ بِقُوتِ الْأَبْدَانِ
“oleh karenanya terkadang didapati di kalangan para ulama yang mereka memiliki pengikut berupa hasad yang tidak didapati pada para ulama yang tidak memiliki pengikut, dan begitu juga terkadang didapati rasa hasad terhadap orang yang memiliki pengikut disebabkan dia menginfakkan hartanya. Orang yang pertama (ulama) memberikan manfaat kepada manusia dengan memberi asupan kepada hati-hati mereka dan orang yang kedua (donator) memberikan manfaat manusia dengan memberikan asupan kepada badan-badan mereka.” (Majmu’ Al-Fatawa 10/114-115)
([57]) HR. An-Nasai dalam sunannya no. 2010
([58]) Jaami’ul bayan ‘an ta’wiili aayil quraan tafsir at-thobari 22/484, tafsiir al-quraanil ‘azhiim libni abii haatim 10/3344, an-nukat wal ‘uyuun karya Al-Mawardy 5/493, dan dalam kitab tafsir lainnya.
Dan dikatakan oleh Salim bin ‘ied al-hilali bahwa sanadnya hasan (Lihat: Al-Isti’ab Fii Bayaani Al-Asbaab 3/347)
([59]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/303
([60]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal: 846
([61]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/225
([62]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/224
([63]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/303
([64]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/304
([65]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/304
([66]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/304
([67]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/305
([68]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/305
([69]) Lihat: Tafsir Al-Alusy 14/227
([70]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/306
([71]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 17/307