Tafsir Surah Al-Jin
Surah Al-Jin adalah surah Makkiyah, yaitu surah yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebelum Nabi berhijrah ke kota Madinah ([1]). Adapun Topik dari surah ini adalah untuk menunjukkan kemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak hanya diutus untuk umat manusia, namun juga untuk bangsa jin. Dan untuk menegaskan bahwa tidak ada Rasul dari kalangan bangsa jin, sehingga Rasul bagi bangsa jin merupakan Rasul bagi manusia yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mengenai sebab turunnya surah ini, para ulama Ahli Tafsir menyebutkan dua kisah.
Kisah pertama terdapat dalam sebuah hadits, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
انْطَلَقَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ عَامِدِينَ إِلَى سُوقِ عُكَاظٍ، وَقَدْ حِيلَ بَيْنَ الشَّيَاطِينِ وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ، وَأُرْسِلَتْ عَلَيْهِمُ الشُّهُبُ، فَرَجَعَتِ الشَّيَاطِينُ إِلَى قَوْمِهِمْ، فَقَالُوا: مَا لَكُمْ؟ فَقَالُوا: حِيلَ بَيْنَنَا وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ، وَأُرْسِلَتْ عَلَيْنَا الشُّهُبُ، قَالُوا: مَا حَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ إِلَّا شَيْءٌ حَدَثَ، فَاضْرِبُوا مَشَارِقَ الأَرْضِ وَمَغَارِبَهَا، فَانْظُرُوا مَا هَذَا الَّذِي حَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ، فَانْصَرَفَ أُولَئِكَ الَّذِينَ تَوَجَّهُوا نَحْوَ تِهَامَةَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِنَخْلَةَ عَامِدِينَ إِلَى سُوقِ عُكَاظٍ، وَهُوَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ صَلاَةَ الفَجْرِ، فَلَمَّا سَمِعُوا القُرْآنَ اسْتَمَعُوا لَهُ، فَقَالُوا: هَذَا وَاللَّهِ الَّذِي حَالَ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ خَبَرِ السَّمَاءِ، فَهُنَالِكَ حِينَ رَجَعُوا إِلَى قَوْمِهِمْ، وَقَالُوا: يَا قَوْمَنَا: {إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا، يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ، فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا} [الجن: 2]، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الجِنِّ} [الجن: 1] وَإِنَّمَا أُوحِيَ إِلَيْهِ قَوْلُ الجِنِّ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama sekelompok sahabat berangkat menuju pasar ‘Ukazh. Saat itu telah ada penghalang antara syaithan dan berita-berita langit, dan mereka dilempari bintang sebagai penghalang. Maka syaithan-syaithan kembali menemui kaumnya. Lalu kaumnya berkata, ‘Apa yang terjadi dengan kalian?’ Syaithan-syaithan tersebut menjawab, ‘Telah ada penghalang antara kami dan berita-berita langit dengan dikirimnya bintang’. Kaumnya berkata, ‘Tidak ada penghalang antara kalian dan berita-berita langit kecuali telah ada sesuatu yang terjadi. Pergilah kalian ke seluruh penjuru timur bumi dan baratnya, lalu perhatikanlah apa penghalang antara kalian dan berita-berita langit’. Maka berangkatlah syaithan-syaithan yang ada di Tihamah untuk mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat beliau yang sedang berada di pasar ‘Ukazh. Saat itu beliau dan para sahabat sedang melaksanakan shalat subuh. Ketika syaithan-syaithan itu mendengar Alquran, mereka menyimaknya dengan baik hingga mereka pun berkata, ‘Demi Allah, inilah yang menjadi penghalang antara kalian dan berita-berita langit’. Dan perkataan ini pula yang disampaikan ketika mereka kembali kepada kaum mereka. Lantas mereka berkata kepada kaumnya, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan. Yang memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami (Qs. Al Jin: 1-2)’. Maka kemudian Allah menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Katakanlah (Muhammad): Telah diwahyukan kepadamu bahwasanya telah mendengarkan (Alquran) sekumpulan jin (Qs. Al Jin: 1)’. Yakni diwahyukan kepada beliau perkataan jin.”(([2]))
Inilah sebab pertama diturunkannya surah Al-Jin
Kisah kedua, disebutkan oleh Thahir Ibnu ‘Asyur([3]), dan disebutkan pula oleh Muhammad bin Ishaq dalam sirahnya, bahwasanya surah Al-Jin turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau pulang dari berdakwah di kota Thaif. Dan sebagaimana kita ketahui bahwa tatkala beliau berdakwah di kota Thaif, ternyata dakwah beliau di tolak dan dihina. Bahkan beliau mendatangi tiga orang pembesar kota Thaif, di antaranya adalah Abdul Yalail untuk menawarkan Islam, akan tetapi mereka menolak dengan keras. Bahkan salah seorang di antara mereka berkata,
أَمَا وَجَدَ اللَّهُ أَحَدًا أَرْسَلَهُ غَيْرَكَ؟
“Apakah Allah tidak menemukan seorang untuk diutus menjadi seorang Rasul selain engkau?”(([4]))
Sungguh ini adalah penghinaan yang berat bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Intinya akhirnya mereka mengusir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari kota Thaif dengan penuh kesedihan, dan ketika itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berjalan dengan Zaid bin Haritsah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar dari kota Thaif dengan merasa amat terhina, terlebih lagi beliau keluar dengan disambut oleh anak-anak kecil dan orang gila yang melempari beliau dengan batu. Dan hal itu merupakan cara orang-orang Arab dalam menghina seseorang. Datang dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa tatkala terusir dari kota Thaif, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa,
اللَّهمّ إلَيْكَ أَشْكُو ضَعْفَ قُوَّتِي، وَقِلَّةَ حِيلَتِي، وَهَوَانِي عَلَى النَّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، أَنْتَ رَبُّ الْمُسْتَضْعَفِينَ، وَأَنْتَ رَبِّي، إلَى مَنْ تَكِلُنِي؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهَّمُنِي؟ أَمْ إلَى عَدُوٍّ مَلَّكْتَهُ أَمْرِي؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَلَيَّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya upayaku, serta hinanya diriku di hadapan manusia. Ya Arhamar-Rahimin, Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah dan juga Rabbku. Kepada siapa Engkau serahkan diriku? Kepada orang jauh yang menerimaku dengan muka masam? Ataukah kepada musuh yang menguasai urusanku? Jika tidak ada kemurkaan-Mu terhadapku, maka aku tidak peduli.”([5])
Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa setelah itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berjalan. Karena saking sedihnya, beliau berjalan tanpa sadar sehingga tiba di suatu tempat bernama Ats-Tsa’alib. Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tiba di tempat itu, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mengutus malaikat Jibril dan malaikat gunung. Kemudian malaikat gunung berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ وَقَدْ بَعَثَنِي رَبُّكَ إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ، فَمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَنْ أُطْبِقَ عَلَيْهِمُ الْأَخْشَبَيْنِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
“Wahai Muhammad, Sungguh Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu, dan aku malaikat penjaga gunung telah diutus oleh Rabbmu untuk menemuimu guna melaksanakan apa yang engkau kehendaki. Jika Anda menghendaki, maka aku akan menutupkan dua gunung ini kepada mereka’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, ‘Bahkan aku sangat berharap semoga Allah mengeluarkan dari tulang-tulang sulbi mereka orang yang mau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun’.” ([6])
Muhammad bin Ishaq kemudian mendatangkan suatu riwayat bahwa setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi kota Thaif, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian shalat. Dalam shalat beliau tersebut, beliau sedih. Namun tiba-tiba datang sekelompok jin mendengar lantunan bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala disebutkan,
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ، قَالُوا يَاقَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ، يَاقَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ، وَمَنْ لَا يُجِبْ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الْأَرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad) segerombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Alquran, maka ketika mereka menghadiri (pembacaan)nya mereka berkata, ‘Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)’. Maka ketika telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata, ‘Wahai kaum kami, sungguh kami telah mendengarkan Kitab (Alquran) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Wahai kaum kami, terimalah (seruan) orang (Muhammad) yang menyeru kepada Allah. Dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Dia akan mengampuni dosa-dosamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan barangsiapa tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah (Muhammad) maka dia tidak akan dapat melepaskan diri dari siksa Allah di bumi padahal tidak ada pelindung baginya selain Allah. Mereka berada dalam kesesatan yang nyata’.” (QS. Al-Ahqaf: 29-32)
Dalam ayat ini, yang menakjubkan adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menghibur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Tatkala beliau diusir dari Mekkah dan dihina oleh orang-orang Quraisy dan kabilah Tsaqif, ternyata ada bangsa lain yang beriman kepada beliau yaitu bangsa jin. Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala berkata, “Wahai Muhammad, jika engkau tidak diterima oleh manusia, ada bangsa jin yang akan beriman kepadamu”. Dan ini adalah pemuliaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau adalah Rasul yang diutus kepada manusia dan juga kepada bangsa jin. Inilah kisah singkat yang disebutkan oleh Ahli Tafsir sebagai di antara sebab turunnya surah Al-Jin.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِّنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Telah diwahyukan kepadaku bahwa sekumpulan jin telah mendengarkan (bacaan), lalu mereka berkata: Kami telah mendengarkan bacaan (Alquran) yang menakjubkan’.” (QS. Al-Jin: 1)
Ini adalah dalil bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa melihat jin-jin tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang shalat atau sedang membaca Alquran([7]). Maka dari itu Allah memberitahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa para jin datang mendengarkan bacaan Alquran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ
“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan kepadamu (Muhammad) serombongan jin yang mendengarkan (bacaan) Alquran.” (QS. Al-Ahqaf: 29)
Oleh karenanya ini merupakan hukum asal bahwa para Nabi dan para sahabatnya tidak bisa melihat jin. Buktinya adalah ayat ini, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak tahu bahwa sekelompok jin datang untuk mendengarkan lantunan bacaan Alquran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam([8]). Namun terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa melihat jin, akan tetapi itu karena kehendak dan izin Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ayat ini menunjukkan bahwa ketika sekelompok jin tersebut mendengarkan bacaan Alquran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka pun mengakui keagungan Alquran. Lalu mereka menyampaikan hal tersebut kepada kaumnya. Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ، قَالُوا يَاقَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ
“Maka ketika telah selesai, mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan (berdakwah). Mereka berkata, ‘Wahai kaum kami, sungguh kami telah mendengarkan Kitab (Alquran) yang diturunkan setelah Musa, membenarkan (kitab-kitab) yang datang sebelumnya, membimbing kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.” (QS. Al-Ahqaf : 29-30)
Oleh karena itu, ayat-ayat dalam surah Al-Jin setelah ayat ini menggambarkan tentang pembicaraan antara para jin yang telah beriman dan jin yang belum beriman. Pembicaraan mereka tidak bisa didengarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena alam bangsa jin merupakan alam gaib, lagi pula mereka berbicara di tempat yang lain yang jauh dari Nabi shallallahu álaihi wasallam, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala kabarkan kepada beliau tentang bagaimana para Jin tersebut berdakwah. Oleh karena itu, hal ini sekaligus menjadi kabar gembira bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena para jin tersebut beriman kepadanya dan mereka langsung berdakwah kepada kaumnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا
“(yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Tuhan kami.” (QS. Al-Jin : 2)
Ayat ini menunjukkan bahwa para jin tersebut mengerti benar apa yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mereka merenunginya dan akhirnya mereka beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau sekiranya orang-orang Quraisy tidak bisa menerima dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ternyata jin langsung bisa beriman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Dari bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang didengar oleh jin tersebut, mereka langsung mengambil kesimpulan bahwa yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah mengenai tauhid, sehingga mereka mengatakan bahwa mereka tidak akan berbuat kesyirikan. Demikianlah topik yang terkandung dalam Alquran, yaitu seputar tauhid.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ تَعَالَىٰ جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
“Dan sesungguhnya Mahatinggi keagungan Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak beranak.” (QS. Al-Jin : 3)
Inilah di antara konsekuensi dari keagungan Tuhan yaitu tidak mempunyai istri dan anak. Karena jika Tuhan punya istri, berarti Tuhan butuh terhadapnya, dan itu bertentangan dengan sifat kesempurnaan Allah([9]). Demikian pula Tuhan tidak punya anak, karena jika punya anak maka akan muncul tuhan-tuhan yang lain sebab anak itu mirip dengan bapaknya. Sedangkan Allah itu Maha Esa dan tidak mungkin berbilang (lebih dari satu) dan tidak ada yang serupa denganNya. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
قُلْ إِنْ كَانَ لِلرَّحْمَنِ وَلَدٌ فَأَنَا أَوَّلُ الْعَابِدِينَ، سُبْحَانَ رَبِّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبِّ الْعَرْشِ عَمَّا يَصِفُونَ
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika benar Tuhan Yang Maha Pengasih mempunyai anak, maka akulah orang yang mula-mula memuliakan (anak itu). Mahasuci Tuhan pemilik langit dan bumi, Tuhan pemilik ‘Arsy, dari apa yang mereka sifatkan itu’.” (QS. Az-Zukhruf : 81-82)
Kalimat ini disampaikan oleh para jin tersebut kepada kaumnya. Dan ini menunjukkan bahwa seakan-akan sebagian dari bangsa jin ada yang memiliki keyakinan-keyakinan demikian yaitu Allah punya istri dan anak, sebagaimana apa yang terjadi pada sebagian manusia yang meyakini hal tersebut pula. ([10])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ يَقُولُ سَفِيهُنَا عَلَى اللَّهِ شَطَطًا
“Dan sesungguhnya jin yang bodoh di antara kami dahulu selalu mengucapkan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah.” (QS. Al-Jin : 4)
Kemudian jin tersebut juga mengatakan bahwa di antara mereka ada jin-jin bodoh yang berkata tentang Allah Subhanahu wa ta’ala dengan melampaui batas dan tanpa ilmu. Artinya sebagian para jin juga memiliki akidah yang tidak benar. Ini menunjukkan bahwa ternyata bukan hanya manusia yang sering berbicara tentang Allah tanpa ilmu, akan tetapi ternyata sebagian dari para jin juga demikian, mereka berbicara tentang Allah Subhanahu wa ta’ala tanpa ilmu. Yaitu kemungkinan mereka berbicara tentang Allah bahwasanya Dia memiliki istri atau anak, atau hal-hal tentang mensyirikkan Allah Subhanahu wa ta’ala. ([11])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا ظَنَنَّا أَن لَّن تَقُولَ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَى اللَّهِ كَذِبًا
“Dan sesungguhnya kami mengira, bahwa manusia dan jin itu tidak akan mengatakan perkataan yang dusta terhadap Allah.” (QS. Al-Jin : 5)
Dahulu para jin tersebut mengira bahwa tidak akan ada dari kalangan manusia maupun kalangan jin yang berani berdusta atas nama Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun ayat ini merupakan dalil bahwa setelah mereka mendengarkan Alquran, barulah mereka mengerti ternyata ada dari kalangan manusia dan jin yang berani berdusta atas nama Allah Subhanahu wa ta’ala. ([12])
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini juga menjadi dalil bahwa tidak boleh seseorang taqlid dalam masalah akidah([13]). Karena para jin tersebut dulunya hanya ikut-ikutan dalam berkeyakinan seperti keyakinan para manusia dan jin yang berdusta nama Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga menunjukkan bahwa mereka selama itu telah taqlid dalam akidah tanpa tahu dalilnya. Mereka mengetahui kebenaran tersebut setelah mendengarkan Alquran. Oleh karena itu, dalam masalah akidah hendaknya seseorang terlebih dahulu menanyakan dalilnya apa, karena jangan sampai hal itu merupakan kedustaan atas nama Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau dalilnya ada dari Alquran maupun As-Sunnah, maka barulah kita beriman terhadapnya. Karena Akidah tidak bisa kita atur sendiri, melainkan akidah itu turun dari Allah Subhanahu wa ta’ala dan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا
“Dan sesungguhnya ada beberapa orang laki-laki dari kalangan manusia yang meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki dari jin, tetapi mereka (jin) menjadikan mereka (manusia) bertambah sesat.” (QS. Al-Jin: 6)
Ayat ini juga menjadi dalil bahwa jin itu ada yang laki-laki ada yang perempuan. Oleh karenanya di antara tafsiran dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dimana Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الخَلاَءَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الخُبُثِ وَالخَبَائِثِ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak masuk kakus, beliau mengucapkan: ‘ALLAHUMMA INNI A’UUDZUBIKA MINAL KHUBUTSI WAL KHABAAITSI (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari Jin laki-laki maupun perempuan’.”([14])
Oleh karena itu, jin juga ada yang laki-laki maupun perempuan, dan mereka pun juga beranak pinak sebagaimana manusia. Dan para ulama mengatakan bahwa secara umum syariat yang ada pada kalangan jin muslim itu sama dengan syariat yang ada pada manusia muslim. Adapun secara detail hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengetahuinya, adapun kita tidak mengetahuinya karena ada perbedaan fisik antara manusia dan jin. ([15])
Dari ayat ini, para jin mengabarkan bahwa sesungguhnya ada sekelompok laki-laki yang meminta perlindungan kepada sekelompok jin laki-laki. Dan disebutkan dalam kitab-kitab tafsir seperti Al-Qurthubi, Ath-Thabari, Ibu Katsir, dan yang lainnya, bahwasanya di zaman jahiliah tatkala sekelompok laki-laki dari golongan manusia yang melewati suatu lembah namun mereka takut, maka mereka akan meminta perlindungan kepada segolongan jin yang menurut mereka adalah penguasa lembah tersebut. Mereka meminta perlindungan dengan berkata,
نَعُوذُ بِسَيِّدِ هَذَا الْوَادِي مِنْ سُفَهَاءِ قَوْمِهِ
“Kami meminta perlindungan kepada penguasa lembah ini dari kaumnya yang bodoh.”
Setelah mereka berkata demikian, maka mereka pun dilindungi dan tidak diganggu oleh penguasa jin tersebut. Namun apa yang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut adalah kesyirikan. Karena meskipun pemimpin jin tersebut mampu mengabulkan permintaan sekelompok orang tersebut, namun mereka telah meminta kepada makhluk yang gaib, dan itu merupakan bentuk kesyirikan. Disebutkan pula bahwa ini adalah kebiasaan orang Arab dari Yaman, sehingga akhirnya kebiasaan tersebut diikuti oleh banyak orang di Jazirah Arab termasuk kabilah-kabilah Arab yang ada di Mekkah.
Maka tatkala ada sekelompok manusia yang meminta pertolongan kepada jin, semakin bertambahlah kesombongan para jin. Ada kelezatan tersendiri yang para jin rasakan ketika manusia meminta tolong kepada mereka. Oleh karenanya terkadang jin mengganggu manusia karena mereka meminta sajen. Dan yang demikian merupakan bentuk pengagungan terhadap jin, karena hal itulah yang memang mereka inginkan. ([16])
Meminta pertolongan kepada jin adalah hal yang diharamkan di dalam syariat. Apabila seseorang melewati tempat yang mengerikan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberikan solusi dengan mengajarkan kita untuk membaca doa,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلًا ثُمَّ قَالَ: أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْءٌ، حَتَّى يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barang siapa yang singgah pada suatu tempat kemudian dia berdoa: ‘Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa saja yang Dia ciptakan’, niscaya tidak akan ada yang membahayakannya hingga di pergi dari tempat itu.”([17])
Oleh karenanya tidak boleh seseorang meminta perlindungan kepada jin, karena jin membutuhkan suatu lambang/simbol bahwa seseorang taat atau mengagungkannya. Jika seseorang merasa takut, hendaklah berdoa dan meminta perlindungan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan sebagaimana telah disebutkan bahwa meminta pertolongan kepada jin adalah kesyirikan, dan hanya akan menambah kesombongan baginya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُمْ ظَنُّوا كَمَا ظَنَنتُمْ أَن لَّن يَبْعَثَ اللَّهُ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya mereka (jin) mengira seperti kamu (orang musyrik Mekkah) yang juga mengira bahwa Allah tidak akan membangkitkan kembali siapa pun (pada hari Kiamat).” (QS. Al-Jin: 7)
Allah Subhanahu wa ta’ala kembali menceritakan bagaimana sebagian para jin yang berdakwah kepada para jin yang lainnya bahwasanya keyakinan yang tersebar di kalangan orang-orang musyrikin Quraisy juga tersebar di kalangan bangsa jin, yaitu keyakinan tentang tidak ada yang namanya hari kiamat. ([18])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا لَمَسْنَا السَّمَاءَ فَوَجَدْنَاهَا مُلِئَتْ حَرَسًا شَدِيدًا وَشُهُبًا، وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَاعِدَ لِلسَّمْعِ فَمَن يَسْتَمِعِ الْآنَ يَجِدْ لَهُ شِهَابًا رَّصَدً
“Dan sesungguhnya kami (jin) telah mencoba mengetahui (rahasia) langit, maka kami mendapatinya penuh dengan penjagaan yang kuat dan panah-panah api, dan sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mencuri (berita-beritanya). Tetapi sekarang siapa yang mencoba mencuri dengan mendengar (seperti itu) pasti akan menjumpai panah-panah api yang mengintai (untuk membakarnya).” (QS. Al-Jin: 8-9)
Ayat ini adalah dalil bahwa yang dipakai melempar jin pencuri berita bukanlah bintang itu sendiri, akan tetapi percikan api dari bintang tersebut. Karena sebagian ulama mengatakan bahwa percikan dari bintang tersebut terlepas untuk melempar jin-jin yang hendak mencuri berita di langit.
Sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mendatangkan isim syarat dalam ayat ini dengan mengatakan فَمَن (barangsiapa). Dan ini menunjukkan bahwa siapa pun dari kalangan jin yang mencoba untuk mencuri berita di langit, maka dia pasti akan terbakar terkena panah api dari percikan bintang. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus, maka tidak ada lagi berita langit yang berhasil dicuri oleh bangsa jin. Para ulama membagi tiga keadaan tentang berita langit. ([19])
Kondisi pertama adalah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Pada masa ini banyak jin-jin yang berhasil mencuri berita langit, karena langit belum dijaga oleh malaikat. Oleh karenanya mungkin kita dapati bahwa ramalan sekitar 2000 tahun yang lalu atau lebih lama daripada itu benar. Karena memang dahulu langit tidak dijaga, dan mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala biarkan banyak peramal yang mendapatkan kabar-kabar dari langit sehingga ramalan mereka banyak benarnya.
Kondisi kedua adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam diutus. Pada masa ini, langit dijaga begitu ketat oleh malaikat sehingga tidak mungkin ada jin yang berhasil mencuri berita langit. Bahkan ‘Aisyah radhiallahu ‘anha meriwayatkan,
سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَاسٌ عَنِ الكُهَّانِ، فَقَالَ: لَيْسَ بِشَيْءٍ
“Beberapa orang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang dukun, beliau menjawab, ‘Mereka itu tidak bisa apa-apa’.”([20])
Kondisi ketiga adalah setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal. Maka para ulama berbeda pendapat apakah berita dari langit berhasil dicuri atau tidak. Sebagian ulama mengatakan bisa tetapi sudah sangat sulit bagi jin untuk melakukannya. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa hal itu mustahil untuk dilakukan, dan inilah yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Oleh karena itu, dukun-dukun yang ada di zaman sekarang bisa kita katakan sebagai pembohong besar. Dari mana mereka bisa mendapat berita sementara jin-jin sudah tidak mampu mencuri berita di langit? Maka jika ada dari ramalan mereka yang benar dan mencocoki realitas, itu hanya sekadar tebak-tebakan saja dan kebetulan tebakan mereka benar. Oleh karenanya itu pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah berita langit sudah tidak bisa dicuri lagi oleh para jin, dan karena Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan isim syarat sebagai penekanan bahwa tidak mungkin lagi ada jin yang berhasil mencuri berita di langit. Adapun ramalan para peramal dengan berbagai macam model ramalannya, maka itu semua dusta.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا لَا نَدْرِي أَشَرٌّ أُرِيدَ بِمَن فِي الْأَرْضِ أَمْ أَرَادَ بِهِمْ رَبُّهُمْ رَشَدًا
“Dan sesungguhnya kami (jin) tidak mengetahui (adanya penjagaan itu) apakah keburukan yang dikehendaki orang yang di bumi ataukah Tuhan mereka menghendaki kebaikan baginya.” (QS. Al-Jin: 10)
Kemudian para jin -yang beriman tersebut- kembali melanjutkan pembicaraannya kepada kaumnya. Dengan lembut para jin itu menyampaikan bahwa mereka tidak tahu apakah diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga berita-berita tidak dapat dicuri lagi itu merupakan keburukan untuk para penghuni bumi ataukah kebaikan Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mereka? Tentu para jin tersebut tahu yang sebenarnya, bahwa kebaikanlah yang dikehendaki oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Namun ini hanyalah metode dialog yang digunakan oleh jin untuk memancing kaumnya berpikir demi mengambil hati kaumnya([21]). Hal ini mirip dengan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada kaum Quraisy tatkala berdakwah, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّا أَوْ إِيَّاكُمْ لَعَلَى هُدًى أَوْ فِي ضَلَالٍ مُبِينٍ
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah, “Allah,” dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Saba’ : 24)
Ini adalah metode dakwah. Meskipun kita tahu bahwa kita berada dalam kebenaran atau kita telah tahu jawabannya, kita memberikan kemungkinan-kemungkinan untuk menarik hati mereka sebagaimana dalam ayat ini. ([22])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَٰلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
“Dan sesungguhnya di antara kami (jin) ada yang saleh dan ada (pula) kebalikannya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda.” (QS. Al-Jin: 11)
Kemudian para jin tersebut menyampaikan bahwa setelah mereka mendengar Alquran tersebut, di antara mereka ada yang menjadi saleh, dan di antara mereka ada yang di bawahnya. Kata yang digunakan oleh jin adalah kata yang lembut, karena mereka mengungkapkannya dengan bahasa yang halus دُونَ ذَٰلِكَ “di bawah itu”, bukan dengan kata kafir, fajir, fasik, dan yang lainnya. ([23])
Kata قِدَدًا berasal dari kata الْقِدَدْ yang artinya adalah potongan-potongan kulit yang banyak. Sehingga seakan-akan kata ini memberi makna bahwa para jin juga memiliki banyak pemahaman dan bertarekat-tarekat. Para Ahli Tafsir menyebutkan di dalam kitabnya seperti Imam Al-Qurthubi, bahwa kalangan jin juga memiliki berbagai macam pemahaman sebagaimana manusia, yaitu di antara mereka ada yang Islam, ada pula yang Yahudi, Nasrani, Ateis, dan yang lainnya. Bahkan di antara jin yang muslim ada yang berpemahaman qadariyyah, murji’ah, khawarij, rafidhah, dan ada pula yang Ahlussunnah([24]). Sebagaimana kelompok-kelompok tersebut ada pada kalangan manusia, demikian pula di kalangan jin mereka berkelompok-kelompok. Oleh karenanya Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya membawakan sebuah riwayat yang sampai kepada Al-A’masy. Beliau berkata,
وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ سُلَيْمَانَ النَّجَادُ فِي أَمَالِيهِ، حَدَّثَنَا أَسْلَمُ بْنُ سَهْلٍ بَحْشَلُ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ سُلَيْمَانَ -هُوَ أَبُو الشَّعْثَاءِ الْحَضْرَمِيُّ، شَيْخُ مُسْلِمٍ-حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ قَالَ: سمعتُ الْأَعْمَشَ يَقُولُ: تَرَوَّحَ إِلَيْنَا جِنِّيٌّ، فَقُلْتُ لَهُ: مَا أَحَبُّ الطَّعَامِ إِلَيْكُمْ؟ فَقَالَ الْأُرْزَ. قَالَ: فَأَتَيْنَاهُمْ بِهِ، فَجَعَلْتُ أَرَى اللُّقَمَ تُرْفَعُ وَلَا أَرَى أَحَدًا. فَقُلْتُ: فِيكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَهْوَاءِ الَّتِي فِينَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: فَمَا الرَّافِضَةُ مِنْكُمْ؟ قَالُوْا شَرُّنَا. عَرَضْتُ هَذَا الْإِسْنَادَ عَلَى شَيْخِنَا الْحَافِظِ أَبِي الْحَجَّاجِ المِزِّي فَقَالَ: هَذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ إِلَى الْأَعْمَشِ
“Ahmad bin Sulaiman An-Najjad di dalam kitabnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Aslam bin Sahl Bahasyal, telah menceritakan kepada kami Ali bin Al-Hasan bin Sulaiman alias Abusy Sya’sa Al-Hadrami guru Imam Muslim, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Al-A’masy mengatakan bahwa, pernah ada jin datang kepada kami, lalu aku bertanya kepadanya, ‘Makanan apakah yang paling engkau sukai?’ Jin itu menjawab, ‘Nasi’. Maka aku suguhkan kepadanya nasi, dan aku melihat suapan nasi diangkat, tetapi aku tidak melihat sesosok tubuh pun. Dan aku bertanya pula kepadanya, ‘Apakah di kalangan kalian terdapat aliran-aliran seperti yang ada pada kami?’ Jin itu menjawab, ‘Ya’. Aku bertanya, ‘Lalu siapakah kalangan Rafidhah di antara kalian?’ Jin menjawab, ‘Yang paling terburuk di antara kami’. Aku (Ibnu Katsir) kemukakan sanad atsar ini kepada guru kami Al-Hafiz Abul Hajjaj Al-Muzani, maka ia menjawab bahwa sanad ini sahih sampai kepada Al-A’masy.”([25])
Para Ahli Tafsir mengatakan, tujuan para jin tersebut menyampaikan kepada kaumnya bahwa mereka berkelompok-kelompok adalah agar mereka para jin berpikir dan merenungkan tentang kesalahan mereka yang terpecah-pecah tersebut. Sehingga mereka bisa mengambil langkah untuk kembali kepada jalan yang satu yaitu jalan tauhid, jalan kebenaran, jalan menuju Allah Subhanahu wa ta’ala di atas manhaj Ahlussunnah wal Jamaah. Kemudian yang berada dalam agama yang berbeda, agar kembali kepada Islam agama tauhid. ([26])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا ظَنَنَّا أَن لَّن نُّعْجِزَ اللَّهَ فِي الْأَرْضِ وَلَن نُّعْجِزَهُ هَرَبًا
“Dan sesungguhnya kami (jin) telah menduga, bahwa kami tidak akan mampu melepaskan diri (dari kekuasaan) Allah di bumi dan tidak (pula) dapat lari melepaskan diri (dari)-Nya.” (QS. Al-Jin: 12)
Kemudian mereka para jin mengingatkan kaumnya bahwa tidak ada yang bisa melepaskan diri dari Allah Subhanahu wa ta’ala, baik tatkala mereka sedang di langit atau di bumi. Yaitu mereka mengingatkan bahwa jika di langit saja mereka tidak bisa selamat dari panah-panah api, maka terlebih lagi di bumi mereka tidak bisa lari dari kuasa Allah Subhanahu wa ta’ala. Sehingga seakan-akan mereka memberi isyarat bahwa jika mereka masih tidak beriman maka mereka tidak akan selamat dari siksaan Allah. Kalau di bumi saja mereka tidak selamat, maka terlebih lagi di akhirat. Demikianlah metode dakwah yang lembut yang dipraktikkan oleh para jin tersebut kepada kaumnya yang musyrikin.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا لَمَّا سَمِعْنَا الْهُدَى آمَنَّا بِهِ فَمَنْ يُؤْمِنْ بِرَبِّهِ فَلَا يَخَافُ بَخْسًا وَلَا رَهَقًا
“Dan sesungguhnya ketika kami (jin) mendengar petunjuk (Al-Qur’an), kami beriman kepadanya. Maka barangsiapa beriman kepada Tuhan, maka tidak perlu ia takut rugi atau berdosa.” (QS. Al-Jin: 13)
Sebagian ulama mengatakan, kalimat فَمَنْ يُؤْمِنْ bukan perkataan para jin, akan tetapi perkataan Allah. Sehingga maknanya adalah barangsiapa yang beriman kepada Allah dan beramal saleh, maka dia tidak perlu khawatir berkurangnya pahalanya, karena meskipun tidak ada yang melihatnya atau tidak ada yang memuji, maka ketahulah pahala seseorang tidak akan berkurang([27]). Karena terlihatnya seseorang dalam beramal tidak akan menambah pahala, bahkan bisa jadi hal tersebut mengurangi pahala. Demikian pula jika seseorang dituduh dengan tuduhan yang tidak-tidak padahal dia tidak melakukannya, walaupun semua manusia mencelanya, maka tidak perlu khawatir karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan membebankan dosa kepadanya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّا مِنَّا الْمُسْلِمُونَ وَمِنَّا الْقَاسِطُونَ فَمَنْ أَسْلَمَ فَأُولَئِكَ تَحَرَّوْا رَشَدًا، وَأَمَّا الْقَاسِطُونَ فَكَانُوا لِجَهَنَّمَ حَطَبًا
“Dan di antara kami ada yang Islam dan ada yang menyimpang dari kebenaran. Siapa yang Islam, maka mereka itu telah memilih jalan yang lurus. Dan adapun yang menyimpang dari kebenaran, maka mereka menjadi bahan bakar bagi neraka Jahanam.” (QS. Al-Jin : 14-15)
Pada ayat ini, mulailah mereka memuji orang-orang yang beriman dan mencela orang-orang yang tersesat. Yaitu barangsiapa yang beriman kepada Allah maka sungguh mereka telah memilih jalan yang lurus. Sedangkan orang yang berpaling dari Islam maka sungguh mereka akan menjadi bahan bakar di neraka Jahannam. Dan perkataan jin ini menunjukkan bahwa hal itu pasti terjadi. Karena dalam perkataannya, mereka menggunakan kata فَكَانُوا yang merupakan fi’il madhi yang menunjukan past (masa lalu), padahal pembicaraannya berkaitan dengan masa depan. Namun diantara metode/uslub bahasa Arab adalah mengungkapkan masa depan yang pasti terjadi dengan kata kerja masa lalu (past) karena begitu pasti terjadinya,sehingga seakan-akan telah terjadi. ([28]) Sehingga ayat ini menunjukkan bahwa mereka yang kafir akan pasti dijadikan sebagai bahan bakar neraka Jahannam. Dan sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat bahwasanya tatkala penghuni neraka Jahannam masuk ke dalam neraka, maka selain mereka dibakar, mereka juga akan menjadi pembakar (bahan bakar) di neraka tersebut. Tubuh mereka seakan-akan menjadi bara api yang ikut memanaskan neraka Jahannam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقًا
“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), niscaya Kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup.” (QS. Al-Jin: 16)
Sebagian ulama mengatakan bahwa mulai ayat ini bukan lagi perkataan para jin, tetapi perkataan Allah. Dialog para jin kaumnya berakhir pada ayat sebelumnya.
Para ulama menafsirkan مَاءً غَدَقًا (air yang segar) dengan rezeki yang banyak([29]). Karena orang-orang Arab dahulu sering mengibaratkan air dengan rezeki. Sehingga dimana ada air, maka di situ ada hujan, dan di mana ada hujan maka di situ ada rezeki. Dan ini adalah dalil bahwasanya apabila jin-jin tersebut istiqamah di atas jalan kebenaran, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan melimpahkan rezeki yang banyak kepada mereka. Dan ini menunjukkan bahwa jika para jin saja bisa mendapatkan rezeki yang banyak karena istiqamah dalam ketaatan, maka terlebih lagi manusia yang jika mereka bertakwa maka tentu juga akan diberi rezeki yang banyak([30]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)
Dan ayat ini tidak hanya menunjukkan untuk manusia, melainkan juga untuk jin. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa jika para jin itu berpegang pada satu jalan yang lurus (agama Allah), niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala juga akan memberi mereka rezeki. Dan ini juga merupakan dalil bahwasanya di antara hal yang membuka pintu rezeki adalah istiqamah di jalan kebenaran.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَمَنْ يُعْرِضْ عَنْ ذِكْرِ رَبِّهِ يَسْلُكْهُ عَذَابًا صَعَدًا
“Dengan (cara) itu Kami hendak menguji mereka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang sangat berat.” (QS. Al-Jin: 17)
Para Ahli Tafsir menyebutkan ada dua tafsiran mengenai ayat ini. Tafsiran pertama, sebagian ulama menafsirkan bahwa rezeki tersebut sebagai ujian dan cobaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mereka. Tafsiran kedua, sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini berkaitan dengan istidraj. Karena mereka memaknai kata اسْتَقَامُوا pada ayat sebelumnya dengan “Tetap tegar di atas jalan kesesatan”. Artinya adalah jika mereka tetap tegar di atas jalan kesesatan, maka Allah Subhanahu wa ta’ala tetap akan memberikannya rezeki, namun itu adalah fitnah (ujian) bagi mereka, yaitu rezeki tersebut adalah istidraj untuk mereka.
Akan tetapi pendapat yang dirajihkan oleh para ulama adalah tafsiran pertama, yaitu rezeki tersebut adalah cobaan dan ujian bagi mereka. Karena istilah istiqamah umumnya digunakan untuk jalan yang baik. Di samping itu, tafsiran pertama tadi dikuatkan oleh kalimat selanjutnya dalam ayat ini, yaitu kebalikan dari orang yang istiqamah adalah mereka yang berpaling dari peringatan Rabb-Nya, maka dia akan diberikan azab yang berat. ([31])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah untuk Allah. Maka janganlah kamu menyembah apa pun di dalamnya selain Allah.” (QS. Al-Jin : 18)
Yaitu tidak boleh seseorang berbuat kesyirikan di masjid-masjid Allah Subhanahu wa ta’ala. Tidak boleh seseorang dalam waktu dan tempat yang sama berdoa kepada Allah dan kepada selain Allah.
Makna الْمَسَاجِدَ dalam ayat ini, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya.
Tafsiran pertama, bahwa masjid yang dimaksud adalah masjid tempat shalat sebagaimana yang telah dikenal. Penafsiran ini memberi kita pemahaman bahwa seluruh masjid tersebut adalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala dan bukan milik perseorangan. Adapun penamaan masjid dengan nama seseorang atau suatu tempat, maka itu bukan bentuk penetapan melainkan untuk pembeda antara satu masjid dengan masjid yang lain. Oleh karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menamakan masjid dengan nama masjid Bani Zuraiq. Demikian pula Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyebut masjid Nabawi dengan sebutan “Masjidku”, dan ini tidak menunjukkan bahwa masjid itu adalah milik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi sebagai pembeda bahwa masjid tersebut dibangun oleh beliau. Oleh karena itu, tatkala seseorang membangun masjid, hendaknya mereka memberi nama dengan nama yang bisa membedakan satu masjid dengan masjid lainnya, dan bukan untuk saling berbangga-bangga. Dan karena masjid-masjid adalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tidak boleh ada masjid yang digunakan untuk berdoa kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tafsiran kedua, bahwa masjid dimaknai dengan anggota sujud. Karena kata الْمَسَاجِدَ merupakan bentuk jamak dari kata مَسْجَدْ yang artinya adalah anggota sujud. Dan sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ
“Aku diperintahkan untuk sujud dengan tujuh tulang (anggota sujud); kening -beliau lantas memberi isyarat dengan tangannya menunjuk hidung- kedua telapak tangan, kedua lutut dan ujung jari dari kedua kaki, dan tidak boleh menahan rambut atau pakaian (sehingga menghalangi anggota sujud).” ([32])
Maka artinya adalah semua anggota sujud tersebut tidak boleh ditujukan untuk bersujud kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala.
Tafsiran ketiga, masjid dalam ayat ini adalah masdar mim yang bermakna perbuatan sujud, sehingga perbuatan sujud tersebut tidak boleh ditujukan kepada selain Allah.
Inti dari penafsiran para ulama, semuanya sepakat bahwa ayat ini menjelaskan tidak boleh ada kesyirikan. Barang siapa yang berdoa kepada Allah lalu juga berdoa kepada selain Allah maka dia telah terjerumus ke dalam kesyirikan. ([33])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأَنَّهُ لَمَّا قَامَ عَبْدُ اللَّهِ يَدْعُوهُ كَادُوا يَكُونُونَ عَلَيْهِ لِبَدًا
“Dan sesungguhnya ketika hamba Allah (Muhammad) berdiri menyembah-Nya (melaksanakan shalat), mereka (jin-jin) itu berdesak-desakan mengerumuninya.” (QS. Al-Jin : 19)
Allah Subhanahu wa ta’ala membawakan ayat ini dengan menyebut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan sebutan ‘Abdullah. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa ta’ala ingin memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, karena di antara sifat mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al-‘Ubudiyah, yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang hamba Allah. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki dua sifat yang mulia, yaitu عَبْدُهُ dan رَسُوْلُهْ, رَسُوْلُهْ maksudnya adalah beliau adalah utusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun عَبْدُهُ maksudnya adalah beliau adalah orang yang paling sempurna dalam menjalankan penghambaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan tidak ada yang bisa mencapai derajat penghambaan seperti penghambaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling taat kepada Allah, tidak ada yang bisa menyamai shalatnya, tidak ada yang bisa puasa seperti puasanya, tidak ada yang khasyah (takut) seperti khasyahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu, Nabi dipuji dari dua sisi yaitu sisi penghambaan dan sisi kerasulan. Dan dalam ayat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak disebutkan namanya kecuali dengan sebutan “Hamba Allah”, tidak lain sebagai pujian Allah Subhanahu wa ta’ala kepada beliau.
Dan dalam ayat ini dijelaskan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri melakukan shalat, maka para jin tersebut berdesak-desakan mengerumuni Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena ingin mendengarkan bacaan Alquran beliau. Kalau orang-orang Thaif tidak mau mendengarkan beliau, demikian pula Abu Jahal dan kawan-kawannya yang tidak mau mendengarkan beliau, ternyata ada banyak sekelompok jin yang datang langsung untuk mendengarkan bacaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan ini menunjukkan bahwa para jin tersebut semangat dalam beribadah, semangat menuntut ilmu, dan semangat untuk mendengarkan lantunan Alquran. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa jika tidak ada manusia yang mau beribadah kepada-Nya, maka ada jin atau para malaikat yang mau beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. ([34])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَدْعُو رَبِّي وَلَا أُشْرِكُ بِهِ أَحَدًا، قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا،
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku hanya menyembah Tuhanku dan aku tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan-Nya’. Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak kuasa menolak mudharat maupun mendatangkan kebaikan kepadamu’.” (QS. Al-Jin : 20-21)
Allah Subhanahu wa ta’ala menampakkan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah seorang hamba dalam ayat ini. Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkan dalam ayat ini bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dan beribadah kepada Allah, beliau tidak berbuat syirik kepada Allah. Bahkan beliau tidak mampu mendatangkan manfaat dan menolak mudharat untuk mereka. Maka jika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak bisa mendatangkan kebaikan dan kemudharatan atas kehendaknya, maka bagaimana lagi dengan yang lainnya? Tentu tidak bisa. Kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan pemimpin para Rasul sendiri tidak bisa memberi manfaat dan menolak mudharat padahal beliau masih hidup tatkala itu, maka para wali-wali atau siapa pun yang sudah meninggal tentu sudah tidak bisa lagi memberi manfaat dan menolak mudharat.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا، إِلَّا بَلَاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالَاتِهِ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya. (Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya’.” (QS. Al-Jin : 22-23)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
قُلْ إِنِّي لَنْ يُجِيرَنِي مِنَ اللَّهِ أَحَدٌ وَلَنْ أَجِدَ مِنْ دُونِهِ مُلْتَحَدًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan aku tidak akan memperoleh tempat berlindung selain dari-Nya’.”
Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak dapat menolak azab. Sekiranya beliau bermaksiat, kemudian azab menimpa beliau, maka niscaya tidak ada yang dapat menyelamatkan dan melindunginya. Maka antara Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya statusnya sama di hadapan Allah yaitu seorang hamba.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِلَّا بَلَاغًا مِنَ اللَّهِ وَرِسَالَاتِهِ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ لَهُ نَارَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا
“(Aku hanya) menyampaikan (peringatan) dari Allah dan risalah-Nya. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia akan mendapat (azab) neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.”
Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba Allah. Yang membedakan antara beliau dan yang lainnya adalah beliau diberikan amanah kerasulan untuk menyampaikan risalah dari Allah untuk seluruh manusia. Barang siapa yang bermaksiat (kafir) terhadap Allah dan rasul-Nya, maka niscaya dia akan mendapat azab neraka Jahannam dan kekal di dalamnya selama-lamanya. Maksiat yang dimaksud dalam ayat ini adalah kekufuran, karena azab yang diberikan adalah neraka dan kekekalan di dalamnya. Dan tidaklah penghuni neraka Jahannam kekal di dalamnya kecuali karena dia telah berbuat kekufuran terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala dan belum bertaubat atasnya. ([35])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
حَتَّى إِذَا رَأَوْا مَا يُوعَدُونَ فَسَيَعْلَمُونَ مَنْ أَضْعَفُ نَاصِرًا وَأَقَلُّ عَدَدًا
“Sehingga apabila mereka melihat (azab) yang diancamkan kepadanya, maka mereka akan mengetahui siapakah yang lebih lemah penolongnya dan lebih sedikit jumlahnya.” (QS. Al-Jin : 24)
Yaitu apabila kelak orang-orang kafir Quraisy telah melihat azab yang diancamkan kepada mereka, maka mereka akan sadar bahwasanya mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi dan tidak ada yang bisa menolongnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا
“Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak mengetahui, apakah azab yang diancamkan kepadamu itu sudah dekat ataukah Tuhanku menetapkan waktunya masih lama’.” (QS. Al-Jin : 25)
Allah memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar mengatakan kepada orang-orang kafir Quraisy bahwa dia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun mengenai hari kiamat, dan tidak pula mengetahui apakah azab bagi mereka sudah dekat atau masih lama. Namun yang pasti adalah mereka akan diazab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. ([36])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا، إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا
“Dia Mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.” (QS. Al-Jin : 26-27)
Ayat ini merupakan dalil bahwa pada dasarnya tidak ada yang mengetahui ilmu gaib kecuali Allah Subhanahu wa ta’ala, tidak manusia dan tidak pula jin. Hanya saja Allah Subhanahu wa ta’ala terkadang meridhai sebagian rasul-Nya dari kalangan manusia dan malaikat untuk mengetahui sebagian hal gaib tersebut. Oleh karenanya kita dapati para Rasul tahu ilmu gaib karena sebagai bentuk mukjizat yang ada pada mereka sebagai bukti bahwasanya mereka adalah utusan Allah Subhanahu wa ta’ala ([37]). Maka selain mereka itu, tidak ada lagi yang mengetahuinya, termasuk jin. Oleh karenanya tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalam, pada masa itu tersebar kabar bahwa jin mengetahui ilmu gaib. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala ingin membongkar kedustaan tersebut dengan menunjukkan bagaimana mereka tidak mengetahui akan kematian Nabi Sulaiman ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
“Maka ketika Kami telah menetapkan kematian atasnya (Sulaiman), tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka ketika dia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentu mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan.” (QS. Saba’: 14)
Disebutkan bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam setiap hari mengecek pekerjaan para jin. Suatu hari Nabi Sulaiman ‘alaihissalam datang kemudian beliau shalat. Ternyata ketika sedang shalat, Allah Subhanahu wa ta’ala mencabut ruhnya. Akan tetapi ternyata para jin tidak tahu bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam telah meninggal, mereka menyangka bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam masih shalat (hidup). Disebutkan bahwa sampai berbulan-bulan para jin bekerja terus-menerus karena mengira Nabi Sulaiman ‘alaihissalam masih ada di sekitar mereka yang sedang shalat. Maka setelah rayap memakan tongkat dimana Nabi Sulaiman ‘alaihissalam bertumpu kemudian beliau jatuh, maka barulah para jin tahu bahwa Nabi Sulaiman ‘alaihissalam meninggal dunia([38]). Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ
“Jika sekiranya mereka mengetahui yang gaib tentu mereka tidak tetap dalam siksa yang menghinakan (kerja terus-menerus).” (QS. Saba’: 14)
Oleh karenanya ini adalah dalil bahwasanya para jin tidak mengetahui ilmu gaib sebagaimana manusia juga tidak mengetahui ilmu gaib. Jangankan yang berkaitan dengan masa depan, bahkan berkaitan dengan apa yang terjadi di depan mereka para jin -yaitu wafatnya Nabi Sulaiman ‘alaihis salam- merekapun tidak tahu. Jadi yang tahu ilmu ghaib hanyalah para Rasul yang Allah Subhanahu wa ta’ala memberitahukan kepada mereka berita gaib tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِيَعْلَمَ أَنْ قَدْ أَبْلَغُوا رِسَالَاتِ رَبِّهِمْ وَأَحَاطَ بِمَا لَدَيْهِمْ وَأَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا
“Agar Dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu sungguh telah menyampaikan risalah Tuhannya, sedang (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu.”(QS. Al-Jin : 28)
Faedah-faedah dari surah Al-Jin,
- Bukan hanya manusia yang diberi beban untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tetapi jin juga diberi beban yang sama. Dan secara umum syariat yang berlaku pada manusia juga berlaku pada jin. Adapun secara detail, hanya Allah yang mengetahuinya.
- Jika para jin beribadah kepada Allah maka mereka tidak boleh disembah, karena mereka juga adalah makhluk yang menyembah Allah.
- Sebagaimana di antara manusia ada Da’i, demikian pula di kalangan jin juga memiliki Da’i yang menyeru kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. ([39])
- Kita kemudian tahu bahwa di antara jin terdapat jin yang cerdas yang bisa menangkap isi dan maksud Alquran, dan mereka berdakwah dengan retorika yang bagus dan penuh kelembutan. ([40])
- Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah makhluk yang paling mulia, namun ternyata beliau tidak hanya diutus untuk manusia tetapi juga untuk bangsa jin.
- Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah Tuhan yang disembah, tetapi beliau hanya manusia biasa yang juga menegakkan penghambaan kepada Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa memberi manfaat dan mudharat, bahkan beliau juga takut akan siksaan Allah Subhanahu wa ta’ala.
_____________________________________________
([1]) Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 1.
([3]) At-Tahriir wa At-Tanwiir 12/217
([4]) Sirah An-Nabawiyah Ibnu Katsir 2/149
([5]) Sirah Ibnu Hisyam tahqiq As-Saqa 1/420.
([6]) HR Al-Bukhari no 3231 dan Muslim no 1795.
([7]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 1.
([9]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/ 650.
([10]) Lihat Tafsir Fathul-Qadir: 5/ 365.
([11]) Lihat Tafsir Al-Baghawi: 5/ 159.
([12]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 9.
([13]) Lihat At-Tahrir wa At-Tanwir: 29/ 224.
([15]) Az-Zarkasyi berkata, “Telah terjadi perdebatan di kalangan ulama belakangan tentang apakah para jin dibebankan untuk menjalankan furu’ (cabang-cabang) syari’at?. Maka ahli tahqiq (para peneliti) diantara mereka berpendapat bahwasanya para jin sama dibebani secara global, akan tetapi tidak sama persis seperti syari’at manusia, karena para jin berbeda dengan manusia baik secara definisi maupun hakikat. Maka tentunya akan berbeda pula pada sebagian syari’at. Contohnya sebagian jin telah diberikan kekuatan untuk terbang di udara, dan mereka juga diperintahkan untuk berhaji dengan terbang, sementara manusia tidak diperintahkan demikian karena tidak bisa terbang. Akan tetapi sebaliknya jin tentu dibebankan dengan perintah/syari’at yang tidak dibebankan kepada manusia. Maka setiap syari’at yang berkaitan dengan syari’at tabi’at manusia (secara khusus) maka tidak akan dibebankan kepada jin karena jin tidak memiliki tabi’at tersebut.” (Al-Bahr al-Muhith fi Ushul al-Fiqh 1/309)
([16]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/ 654, Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 10 dan Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 239.
([18]) Lihat Tahrir wa At-Tanwir: 29/ 226.
([19]) Lihat Fathul-Bariy karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaniy: 10/ 216.
([21]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 240.
([22]) Lihat Tahrir wa At-Tanwir: 29/ 231.
([24]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 15.
([25]) Tafsir Ibnu Katsir 8/242
([26]) Lihat Tahrir wa At-Tanwir: 29/ 233.
([27]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 17.
([28]) Lihat Tahrir wa At-Tanwir: 29/ 237.
([29]) Lihat Tafsir Ath-Thabari 23/ 662 dari perkataan Mujahid, Sa’id bin Jubair, Ibnu Zaid.
([30]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 18-19.
([31]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/662-664 dan Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 18-19.
([32]) HR. Bukhari no. 812 dan HR. Muslim no. 490
([33]) Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 20-21.
([34]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/666-668.
([35]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 27.
([36]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 246.
([37]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 28.
([38]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 6/ 501-502.