Tafsir Surah Nuh
Allah Subhanahu wa ta’ala telah menurunkan satu surah dalam Alquran yang disebut dengan surah Nuh. Surah Nuh hanya memiliki satu nama yaitu surah Nuh saja. Tidak sebagaimana surah-surah lain yang kebanyakannya memiliki lebih dari satu nama. Surah Nuh ini secara khusus membahas salah satu rangkaian kisah hidup Nabi Nuh ‘alaihissalam, dan tidak disebutkan kisah Nabi-Nabi yang lain di dalamnya. Dan ini sebagaimana halnya dengan surah Yusuf yang juga secara khusus membahas kisah Nabi Yusuf ‘alaihissalam dari awal surah hingga akhir. Adapun surah-surah lain yang menyebutkan kisah para Nabi, kebanyakan menyebutkan lebih dari satu kisah nabi, seperti surah Al-A’raf, surah Hud, dan surah-surah yang lainnya. ([1])
Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah Rasul pertama yang diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada penduduk bumi, sebagaimana dalam hadits syafaat bahwa kelak manusia akan mendatangi Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk meminta syafaat. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَيَأْتُونَ نُوحًا فَيَقُولُونَ: يَا نُوحُ، إِنَّكَ أَنْتَ أَوَّلُ الرُّسُلِ إِلَى أَهْلِ الأَرْضِ، وَقَدْ سَمَّاكَ اللَّهُ عَبْدًا شَكُورًا، اشْفَعْ لَنَا إِلَى رَبِّكَ، أَلاَ تَرَى إِلَى مَا نَحْنُ فِيهِ؟ فَيَقُولُ: إِنَّ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ قَدْ غَضِبَ اليَوْمَ غَضَبًا لَمْ يَغْضَبْ قَبْلَهُ مِثْلَهُ، وَلَنْ يَغْضَبَ بَعْدَهُ مِثْلَهُ، وَإِنَّهُ قَدْ كَانَتْ لِي دَعْوَةٌ دَعَوْتُهَا عَلَى قَوْمِي، نَفْسِي، اذْهَبُوا إِلَى غَيْرِي
“Mereka mendatangi Nuh lalu berkata: ‘Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama untuk penduduk bumi, Allah menyebutmu hamba yang sangat bersyukur, berilah kami syafaat kepada Rabbmu, apa kau tidak lihat kondisi kami, apa kau tidak melihat yang menimpa kami?’ Nuh berkata kepada mereka: ‘Rabbku saat ini benar-benar marah, Ia tidak pernah marah seperti itu sebelumnya dan tidak akan pernah seperti itu sesudahnya, dahulu aku pernah berdoa keburukan untuk kaumku, diriku, diriku, oh diriku. Pergilah kepada selainku’.”([2])
Antara Nabi Adam dan Nabi Nuh ‘alaihimassalam ada 10 generasi, sehingga sebagian Ahli Tafsir memperkirakan bahwa jumlah manusia di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam berkisar pada angka ribuan. Karena antara keduanya hanya terpaut sepuluh generasi, dan tidak ada kaum di belahan bumi lain selain kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam([3]). Oleh karenanya Nabi Nuh ‘alaihissalam juga digelari dengan Abul Basyar Ats-Tsani (nenek moyang kedua) Hal ini karena semua manusia tatkala datang banjir besar, maka semua manusia meninggal kecuali yang selamat di atas bahtera Nabi Nuh ‘alaihissalam. Kemudian yang memiliki keturunan setelah itu hanyalah anak-anak Nabi Nuh ‘alaihissalam, dan yang lainnya keturunannya berhenti([4]). Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَعَلْنَا ذُرِّيَّتَهُ هُمُ الْبَاقِينَ
“Dan Kami jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan.” (QS Ash-Shaffat : 77)
Oleh karenanya kita semua ini adalah keturunan Nabi Nuh dan Nabi Adam ‘alaihimassalam.
Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus oleh Allah Subhanahu wa ta’ala kepada kaumnya dan berdakwah kepada kaumnya selama kurang lebih 950 tahun([5]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ فَلَبِثَ فِيهِمْ أَلْفَ سَنَةٍ إِلَّا خَمْسِينَ عَامًا فَأَخَذَهُمُ الطُّوفَانُ وَهُمْ ظَالِمُونَ
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS Al-‘Ankabut : 14)
Adapun usia Nabi Nuh ‘alaihissalam maka para ulama berselisih pendapat. Karena para ulama berbeda pendapat Nabi Nuh diangkat menjadi Nabi pada usia berapa tahun, sebagian mengatakan 40 tahun, sebagian mengatakan 300 tahun, dan pendapat lainnya([6]). Kemudian sebagian ulama juga khilaf dalam menyebutkan berapa sisa usia Nabi Nuh setelah banjir menimpa kaumnya hingga dia meninggal. Intinya ada sebagian mengatakan bahwa umur Nabi Nuh ‘alaihissalam jika ditotal dengan usia sebelum diutus menjadi Rasul dan setelah terjadinya banjir besar, sebagian ada yang menyebutkan bahwa usianya hingga 1500 tahun lebih, dan yang lain menyebutkan sampai 1700 tahun lebih. Akan tetapi ini hanyalah pendapat, yang jelas lama dakwah beliau adalah 950 tahun, dan angka tersebut belum dijumlahkan dengan usia beliau sebelum diutus menjadi rasul, dan sisa hidup beliau setelah kaumnya ditenggelamkan.
Surah Nuh ‘alaihissalam adalah surah Makkiyah berdasarkan kesepakatan para ulama([7]), yaitu turun tatkala Nabi masih berdakwah di kota makkah. Dan kita tahu bahwa pada fase dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu, beliau sangat membutuhkan arahan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka di antara hal yang menghibur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar bersabar atas tindakan kaumnya, maka Allah kisahkan kepada Nabi Muhammad tentang kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk menghibur Nabi dan agar bersabar dengan amanah dakwah yang sedang diembannya([8]). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ ۚ وَجَاءَكَ فِي هَٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَىٰ لِلْمُؤْمِنِينَ
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surah ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS Hud : 120)
Dan dari kisah-kisah tersebut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga diperintahkan untuk mencontoh kesabaran para Ulul Azmi dimana salah satunya adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ
“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.” (QS Al-Ahqaf : 35)
Surah Nuh khusus bercerita tentang bagaimana dakwah Nabi Nuh, yaitu dakwah kepada tauhid. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam belum ada syariat khusus lain selain untuk mengesakan dan mentauhidkan Allah Subhanahu wa ta’ala semata([9]). Selama 950 tahun Nabi Nuh ‘alaihissalam hanya fokus untuk berdakwah kepada kaumnya dalam masalah tauhid. Dan sebagian ulama mengatakan bahwa ini merupakan ujian yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Nuh, ujian kesabaran dalam dakwah. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan kisah dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam surah Al-‘Ankabut. Di awal surah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الم، أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ، وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif Lam Mim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, ‘Kami telah beriman’, dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-‘Ankabut : 1-3)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan firman-Nya ini, Allah kemudian menyebutkan kisah-kisah orang-orang yang diuji. Dan di antara yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala adalah kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam yang diuji dengan dakwah selama 950 tahun. Adapun yang beriman kepada beliau dengan kurun waktu selama itu hanyalah sedikit. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا آمَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Dan orang yang beriman bersama dengan Nuh hanya sedikit.” (QS. Hud : 40)
Dari sekian banyak pendapat ulama, pendapat yang paling kuat adalah pendapat bahwasanya yang beriman kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam hanya 80-an orang saja. Dari sini kita sadar bahwa sungguh Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah orang yang sangat penyabar. Dan kisah tentang lamanya dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam ini tidak disebutkan dalam surah Nuh, melainkan hanya dalam surah Al-‘Ankabut. Adapun surah Al-‘Ankabut turun diakhir-akhir fase dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah. Artinya ini adalah hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa dakwahnya di Mekkah selama tiga belas tahun tersebut tidak ada apa-apanya dengan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam selama 950 tahun. Dan dengan dakwah selama itu ternyata yang beriman tidak banyak, bahkan anak dan istri beliau sendiri tidak beriman.
Surah ini turun turun di Mekkah juga sebagai pelajaran bagi para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang jumlah mereka juga sedikit tatkala itu, agar mereka bersabar dan tidak terperdaya melihat banyaknya pengikut Abu Jahal dan kawan-kawannya. Karena telah berlalu juga seorang Nabi yang berdakwah selama 950 tahun, namun yang beriman kepadanya hanya sedikit. Surah ini juga diturunkan sebagai peringatan kepada kaum musyrikin Arab, yaitu jika mereka tidak beriman kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam maka mereka akan ditimpa azab sebagaimana yang menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Inilah tujuan diturunkannya surah Nuh di fase dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Mekkah, yaitu sebagai pelajaran bagi Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya, serta sebagai peringatan bagi Abu Jahal dan kawan-kawannya. ([10])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَىٰ قَوْمِهِ أَنْ أَنذِرْ قَوْمَكَ مِن قَبْلِ أَن يَأْتِيَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan perintah), ‘Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih’.” (QS. Nuh : 1)
Sebagaimana dalam banyak ayat lainnya di dalam Alquran, pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala juga menggunakan kata ganti jamak “kami” untuk memaksudkan diri-Nya. Dan ini tidak mengharuskan berbilangnya Allah, akan tetapi kata ganti “kami” bagi Allah dimaksudkan untuk pengagungan. Uslub bahasa seperti ini dikenal dalam bahasa Arab, sebagaimana juga dikenal dalam bahasa Indonesia bahwa penggunaan kata ganti “kami” sering maksudnya adalah sendiri.
Dan dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kalimat “أَنذِرْ قَوْمَكَ” (berilah beringatan kepada kaummu sendiri) dan bukan menggunakan kalimat “أَنذِرِ النَّاسَ” (berilah beringatan kepada manusia). Tujuannya adalah seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala ingin menegaskan kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam bahwa dia diutus kepada kaumnya sendiri. Hal ini dikarenakan di dalam kaumnya tersebut ada kerabat-kerabat Nabi Nuh ‘alaihissalam, seperti istrinya, anak-anaknya, dan orang-orang terdekatnya. Dan sebagaimana telah disebutkan bahwa karena jarak antara Nabi Adam dan Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak jauh, maka tentu jumlah manusia tatkala itu tidak begitu banyak, dan masing-masing tentu memiliki hubungan kekerabatan. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Nuh ‘alaihissalam untuk memberikan peringatan kepada kerabat-kerabatnya karena mereka itu adalah kaumnya. ([11])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ يَا قَوْمِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ
“Dia (Nuh) berkata, ‘Wahai kaumku, sesungguhnya aku ini bagi kalian seorang pemberi peringatan yang menjelaskan.” (QS. Nuh : 2)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk Nabi Nuh ‘alaihissalam memberikan peringatan, maka dia pun melakukan perintah tersebut. Nabi Nuh ‘alaihissalam mendatangi kaumnya dengan perkataan yang lembut dengan menggunakan panggilan “kaumku” ([12]). Lalu kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam juga mendahulukan kata “lakum” pada kalimat إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُّبِينٌ (Sesungguhnya aku ini bagi kalian pemberi peringatan) untuk menunjukkan bahwasanya dia diutus hanya untuk kaumnya sendiri bukan kepada yang lainnya. Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak berkata dengan kalimat إِنِّي نَذِيرٌ مُّبِينٌ لَكُمْ, “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan bagi kalian”, karena kalimat ini akan menunjukkan bahwa beliau juga diutus kepada selain kaumnya. Padahal Nabi Nuh ‘alaihissalam diutus secara khusus kepada kaumnya. ([13])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاتَّقُوهُ وَأَطِيعُونِ
“(yaitu) sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.” (QS. Nuh : 3)
Inilah isi dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam, yaitu agar kaumnya mentauhidkan Allah([14]). Karena pada dasarnya kaumnya adalah kaum yang terjerumus ke dalam kesyirikan. ([15])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُؤَخِّرْكُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى إِنَّ أَجَلَ اللَّهِ إِذَا جَاءَ لَا يُؤَخَّرُ ۖ لَوْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Niscaya Dia mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu (memanjangkan umurmu) sampai pada batas waktu yang ditentukan. Sungguh, ketetapan Allah itu apabila telah datang tidak dapat ditunda, seandainya kamu mengetahui.” (QS. Nuh : 4)
Para ulama berbeda pendapat tentang makna kata “مِنْ” di dalam ayat ini. Karena dalam bahasa Indonesia, kata “مِنْ” artinya adalah “dari”. Adapun para ulama menjelaskan bahwasanya jika maknanya min bayaniyah maka maksudnya adalah Allah mengampuni segala dosanya, sedangkan jika maknanya adalah min tab’idhiyah maka maksudnya adalah Allah mengampuni sebagian dari dosanya saja. Pendapat yang terkuat adalah pendapat yang mengatakan bahwa min dalam ayat ini adalah min tab’dhiyah, bermakna sebagian([16]). Mengapa Allah Subhanahu wa ta’ala hanya mengampuni dosa sebagian saja? Sebagian ulama mengatakan, karena Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengampuni dosa kezaliman di antara mereka satu sama lain, sehingga mereka harus saling meminta maaf di antara mereka([17]). Sebagian ulama yang lain mengatakan, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengampuni dosa mereka seluruhnya karena mereka tidak meminta ampun kepada Allah terhadap kecuali pada sebagian dosa saja, sehingga yang diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala hanya sebagian saja. ([18])
Kemudian dalam ayat ini disebutkan bahwa apabila mereka bertakwa dan beriman, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan memanjangkan umur mereka([19]). Hal ini sama seperti dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umur orang yang menyambung silaturahmi bisa dipanjangkan. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah dia menyambung silaturahmi.”([20])
Maka jika mereka tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka ketetapan Allah tetap akan mendatangi mereka yaitu kematian. Apakah mereka mati karena azab yang menimpanya, atau mereka meninggal karena umurnya yang sudah tua dan ajalnya telah tiba. ([21])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا
“Dia (Nuh) berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang’.” (QS. Nuh : 5)
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan kisah Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam banyak surah, bahkan terkadang kisahnya disebutkan lebih panjang daripada surah Nuh ini. di antaranya adalah surah Al-A’raf, surah Hud, dan lainnya. Kisah Nabi Nuuh di surah Huud lebih panjang daripada kisahnya di surah Nuuh. Namun kata para ulama, surah Nuh ini adalah kesimpulan (ringkasan) dari kisah panjang perjalanan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam. Di surah ini dijelaskan bagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam mengadu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala setelah sekian lama berdakwah tetapi kaumnya tak kunjung beriman kepadanya kecuali hanya sedikit. Oleh karenanya dalam ayat ini Nabi Nuh ‘alaihissalam mengadu kepada Rabb-Nya bahwasanya dia telah menyeru kepada kaumnya siang dan malam. ([22])
Sesungguhnya surah ini penting untuk diperhatikan oleh para da’i, bahwa Lihatlah bagaimana perjuangan Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam berdakwah. Dia mendakwahi kaumnya siang dan malam tak pernah lelah, bukan cuma sepekan sekali, atau satu bulan sekali seperti kebanyakan Da’i saat ini. Tidak ada waktu Nabi Nuh ‘alaihissalam yang tersisa kecuali digunakan untuk berdakwah kepada kaumnya.
Adapun penyebutan malam didahulukan daripada siang dalam ayat ini karena siang adalah waktu untuk bekerja. Sehingga waktu utama untuk Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah adalah pada malam hari. Pada siang hari Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah, akan tetapi tidak semudah beliau berdakwah ketika malam hari. ([23])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا
“Tetapi seruanku itu tidak menambah (iman) mereka, justru mereka lari (dari kebenaran).” (QS. Nuh : 6)
Artinya tidaklah Nabi Nuh ‘alaihissalam semakin mendakwahi kaumnya kecuali mereka semakin berlari dari dakwah tersebut. Oleh karenanya Nabi Nuh ‘alaihissalam mengeluhkan hal tersebut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. ([24])
Tentunya penolakan seorang da’i terhadap apa yang didakwahkannya adalah suatu yang berat. Tentunya hati seorang da’i akan sangat sedih jika dalam dakwahnya ternyata membuat orang-orang semakin jauh. Sehingga keadaan seperti ini membuat sebagian da’i pindah dari tempat dakwah tersebut ke tempat yang lain. Akan tetapi ada sebagian da’i tidak bisa menghadapi hal yang seperti itu, sehingga dia memutuskan untuk berhenti berdakwah sama sekali.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا
“Dan sesungguhnya aku setiap kali menyeru mereka (untuk beriman) agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan jari-jarinya ke telinganya dan menutupkan bajunya (ke wajahnya) dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.” (QS. Nuh : 7)
Nabi Nuh ‘alaihissalam kembali mengadu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa dakwah yang dia lakukan bukan semata untuk kepentingan dirinya, melainkan untuk kepentingan kaumnya, agar Allah mengampuni mereka([25]). Namun apa yang mereka lakukan? Mereka menutup telinga mereka dengan jari-jari mereka. ([26])
Sebagian ulama menafsirkan maksud “jari-jari mereka” (dengan bentuk jamak) yaitu mereka semua masing-masing menutup telinga dengan kedua jari mereka sendiri, karena yang bisa menutup lubang telinga hanya satu jari. Sebagian ulama yang lain menafsirkan maksudnya Allah Subhanahu wa ta’ala mendatangkan dengan kalimat jamak untuk menunjukkan hiperbola, yaitu seandainya mereka bisa memasukkan semua jari-jari mereka ke dalam telinganya niscaya mereka akan melakukannya agar tidak mendengarkan dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam. ([27])
Dan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam bukan hanya menutup telinga-telinga mereka, bahkan mereka menutupi wajah mereka dengan baju-bajunya. Dan ini tidak hanya sekali dua kali, tetapi setiap kali Nabi Nuh ‘alaihissalam mendatangi kaumnya, mereka meresponnya dengan menutup telinga dan menutup wajah mereka([28]). Bayangkan bagaimana perasaan Nabi Nuh ‘alaihissalam yang diperlakukan seperti itu selama 950 tahun. Siapa kira-kira yang sanggup berdakwah dengan dakwah seperti Nabi Nuh ‘alaihissalam? Sungguh perkara yang sangat berat bagi Nabi Nuh ‘alaihissalam, akan tetapi beliau tetap bersabar.
Demikianlah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam yang disebutkan mereka tetap teguh dalam kekafiran mereka, dan mereka sombong dengan sebenar-benar kesombongan. Ini di antara yang dilaporkan Nabi Nuh ‘alaihissalam tentang kaumnya. ([29])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ثُمَّ إِنِّي دَعَوْتُهُمْ جِهَارًا
“Kemudian sesungguhnya aku menyeru mereka dengan cara terang-terangan.” (QS. Nuh : 8)
ثُمَّ merupakan kata gandeng yang menunjukkan jarak. Sehingga dari sini kita pahami bahwasanya setelah beberapa lama (pada waktu yang lain), Nabi Nuh ‘alaihissalam kembali mengadu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa dia juga telah menempuh berbagai macam metode dalam mendakwahi mereka. Di antaranya Nabi Nuh ‘alaihissalam telah mendakwahi mereka secara terang-terangan. Demikianlah dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam yang dilakukan senantiasa secara terang-terangan dalam menyeru kepada tauhid. ([30])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ثُمَّ إِنِّي أَعْلَنتُ لَهُمْ وَأَسْرَرْتُ لَهُمْ إِسْرَارًا
“Kemudian aku menyeru mereka secara terbuka dan dengan diam-diam.” (QS. Nuh : 9)
Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam ayat ini menyebutkan bahwa dia berdakwah secara terang-terangan dan juga secara diam-diam. Maksudnya adalah, dakwah terang-terangan itu seperti ketika kaumnya sedang berkumpul maka Nabi Nuh ‘alaihissalam mendatanginya lalu kemudian mendakwahi mereka. Sedangkan dakwah secara diam-diam maksudnya adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam terkadang mendatangi rumah satu per satu untuk mendakwahi kaumnya. ([31])
Artinya Nabi Nuh ‘alaihissalam telah menempuh semua metode dalam berdakwah, baik dakwah secara umum maupun dakwah fardhiyah([32]). Dan demikianlah dalam dakwah, terkadang sebagian orang lebih tertarik menghadiri pengajian jika dihadiri oleh banyak orang lain, namun terkadang ada pula orang yang lebih suka apabila dia mendengarkan pengajian di tempat yang sepi seperti di rumahnya sendiri bersama keluarganya. Oleh karena itu, hendaknya para Da’i menempuh berbagai macam metode karena mad’u (objek dakwah/audience) juga bermacam-macam tipenya. Tetapi jangan kemudian seorang Da’i membatasi objek dakwah pada golongan tertentu, sehingga yang di sini didakwahi dan yang di sana tidak. Karena dakwah para Nabi adalah dakwah yang semua golongan tanpa terkecuali bisa merasakannya. Oleh karena itu segala potensi yang bisa kita tempuh untuk berdakwah maka hendaknya kita tempuh hal tersebut. Selama seorang Da’i bisa melihat tempat-tempat kondusif untuk berdakwah maka berdakwahlah. Baik itu mendatangi mereka ke masjid, ke rumahnya, atau lewat media massa, media sosial, atau televisi, dan radio, dan yang lainnya. Lihatlah Nabi Nuh ‘alaihissalam yang menempuh berbagai metode dalam menyampaikan dakwahnya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
“Maka aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun’.” (QS. Nuh : 10)
Nabi Nuh ‘alaihissalam kemudian mengajak kaumnya untuk memohon ampun kepada Rabb-Nya, karena semua dosa bisa diampuni oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebanyak apapun dan sebesar apapun. ([33])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُم مِّدْرَارًا، وَيُمْدِدْكُم بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَل لَّكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَل لَّكُمْ أَنْهَارًا
“Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu.” (QS. Nuh : 11-12)
Setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam mengajak kaumnya untuk meminta ampun kepada Allah, Nabi Nuh ‘alaihissalam kemudian menyampaikan kepada kaumnya tentang keutamaan istighfar dari sisi duniawi. Nabi Nuh ‘alaihissalam mengiming-imingi ganjaran dunia karena kaumnya menginginkan ganjaran yang disegerakan, terutama kaum Nabi Nuh saat itu banyak yang tidak dikarunia anak, ditambah mereka ditimpa oleh kekeringan. Dan kaumnya tidak dijanjikan surga karena kita telah sama-sama tahu bahwa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak yakin dengan surga. ([34])
Ayat ini juga menjadi dalil bahwa dengan beristighfar kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, seseorang tidak hanya mendapatkan ganjaran ukhrawi, akan tetapi juga mendapatkan ganjaran duniawi. Dan secara umum, semua bentuk ketakwaan itu tidak hanya dijanjikan dengan ganjaran ukhrawi tetapi juga ganjaran duniawi([35]). Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa di antara bentuk suuzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah menyangka bahwa ketika seseorang bertakwa maka dia akan diberi ganjaran ukhrawi semata. Karena telah jelas dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa orang yang bertakwa juga akan mendapatkan ganjaran duniawi. Di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. At-Thalaq : 2-3)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS Ar-Ra’d : 28)
Terdapat sebuah atsar dari Al-Hasan Al-Bashri yang berkaitan dengan ayat ini. diriwayatkan dari Ibnu Shubaih,
شَكَا رَجُلٌ إِلَى الْحَسَنِ الْجُدُوبَةَ فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. وَشَكَا آخَرُ إِلَيْهِ الْفَقْرَ فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. وَقَالَ لَهُ آخَرُ. ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَرْزُقَنِي وَلَدًا، فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. وَشَكَا إِلَيْهِ آخَرُ جَفَافَ بُسْتَانِهِ، فَقَالَ لَهُ: اسْتَغْفِرِ اللَّهَ. فَقُلْنَا لَهُ فِي ذَلِكَ؟ فَقَالَ: مَا قُلْتُ مِنْ عِنْدِي شَيْئًا، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ فِي سُورَةِ” نُوحٍ”: اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كانَ غَفَّاراً. يُرْسِلِ السَّماءَ عَلَيْكُمْ مِدْراراً
“Seorang datang mengeluhkan kepada Al-Hasan tentang kekeringan, maka Al-Hasan berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah’. Kemudian seorang yang lain datang mengeluhkan tentang kemiskinan, maka Al-Hasan berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah’. Dan orang yang lain berkata kepadanya, ‘Berdoalah kepada Allah agar Dia menganugerahkan anak kepadaku’, maka Al-Hasan berkata, ‘Beristighfarlah kepada Allah’. Kemudian seorang yang lain datang mengeluhkan kebunnya yang kering, maka Al-Hasan berkata kepadanya, ‘Beristighfarlah kepada Allah’. Maka kami (muridnya) bertanya kepada Al-Hasan tentang perbuatannya itu. Maka Al-Hasan berkata, ‘Aku sama sekali tidak berpendapat dengan pendapat pribadi, sesungguhnya Allah berfirman dalam surah Nuh, “Mohonlah ampunan kepada Rabb-mu, sesunnguhnya dia adalah Maha Pengampun, niscaya dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. Dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai” (QS. Nuh : 10-12)’.”([36])
Benarlah apa yang dinasihatkan oleh Al-Hasan Al-Basri ini. Bahkan apa yang disebutkan oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam dalam surah ini hanya beberapa contoh keutamaan istighfar, dan kebetulan permasalahan tersebut adalah permasalahan yang sedang dialami oleh kaumnya Nabi Nuh ‘alaihissalam. Adapun pada dasarnya segala permasalahan solusinya adalah istighfar. Karena tidak ada suatu masalah yang menimpa diri kita kecuali karena dosa-dosa kita. Oleh karenanya dalam sebuah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus kesalahan-kesalahannya.”([37])
Apa-apa yang disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hadits ini menunjukkan bahwa tidaklah seseorang akan mengalami hal tersebut kecuali karena dosa-dosanya. Segala kesedihan yang menimpa diri kita, permasalahan yang terjadi di dalam keluarga, di masyarakat, dan di tempat kerja, itu semua karena dosa-dosa kita sendiri. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
“Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi saksi.” (QS. An-Nisa’ : 79)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura : 30)
Oleh karenanya dalam sebuah atsar dikatakan,
مَا نَزَلَ البَلَاء إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَا رَفَعَ إِلَّا بِتَّوْبَةْ
“Tidaklah bencana turun kecuali karena dosa, dan tidaklah bencana tersebut diangkat kecuali dengan taubat.”
Oleh karenanya istighfar adalah solusi segala permasalahan. Maka seseorang hendaknya berusaha beristighfar dengan baik, bertaubat dengan baik, dan mengenali betul kesalahannya. Dengan demikian niscaya Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberikan kepadanya solusi. Maka ketika kita mendapati segala permasalahan, maka segera kita memperbanyak istighfar, karena hal itu bisa menghilangkan masalah kita, dan Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Tahu dengan istighfar kita. ([38])
Perhatikan pula, bahwa yang diajak untuk beristighfar oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah kaumnya yang masih kafir, jika mereka beristighfar maka mereka akan diberi berbagai macam kenikmatan duniawi. Kalau orang yang kafir saja akan diberikan berbagai macam kemudahan duniawi, maka bagaimana lagi jika yang beristighfar itu adalah seorang mukmin? Namun adapun kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam tetap tidak ingin beristighfar meskipun telah dijanjikan duniawi. Ini semua menunjukkan tentang betapa baiknya Allah Subhanahu wa ta’ala, dimana seseorang yang bermaksiat kemudian bertaubat kepada Allah, maka bukan hanya dosa-dosanya dihapuskan, akan tetapi juga diberi bonus berbagai kenikmatan di dunia dan di akhirat. Siapa yang lebih baik dari Allah Subhanahu wa ta’ala?
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَّا لَكُمْ لَا تَرْجُونَ لِلَّهِ وَقَارًا، وَقَدْ خَلَقَكُمْ أَطْوَارًا
“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah? Dan sungguh, Dia telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan (kejadian).” (QS. Nuh : 13-14)
Nabi Nuh ‘alaihissalam berusaha memperingatkan kaumnya untuk mengagungkan Allah dengan mengingatkan nikmat-nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka([39]). Di antara kenikmatan yang pertama Nabi Nuh ‘alaihissalam sebutkan adalah tentang penciptaan mereka yang terdiri atas beberapa fase tingkatan, dan kaumnya tahu akan akan hal tersebut. Penciptaan mereka dari air mani, kemudian tahapan-demi tahapan hingga menjadi anak kecil, lalu kemudian menjadi dewasa dan diberi umur yang panjang, itu semua adalah nikmat dari Allah, lantas mengapa mereka diperingati mengapa tidak mengagungkan kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala. ([40])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللَّهُ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا
“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis?” (QS. Nuh : 15)
Nikmat yang selanjutnya Nabi Nuh ‘alaihissalam sebutkan adalah Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan langit dengan tujuh lapis. Bahkan langit yang mereka (kaumnya) lihat hanyalah langit yang pertama, dan masih ada enam lapis langit lagi di atasnya. Dan tidak ada yang tahu berapa jauh jarak antara satu langit dengan langit yang lain. Itu semua adalah ciptaan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka Nabi Nuh ‘alaihissalam memperingatkan mengapa mereka tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala? ([41])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَعَلَ الْقَمَرَ فِيهِنَّ نُورًا وَجَعَلَ الشَّمْسَ سِرَاجًا
“Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita (yang cemerlang)?” (QS. Nuh : 16)
Kehadiran matahari dan bulan merupakan kenikmatan yang selanjutnya Nabi Nuh ‘alaihissalam ingatkan kepada kaumnya. Mereka diingatkan akan matahari yang setiap hari mereka rasakan. Jika sekiranya matahari ditiadakan, atau paling minimal dijauhkan lebih jauh lagi dari bumi, mungkin mereka akan mati kedingingan. Demikian pula bulan yang merupakan bagian dari nikmat Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka Nabi Nuh ‘alaihissalam mengingatkan mereka, bahwa dengan semua nikmat ini, mengapa mereka tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala? ([42])
Intinya seluruh nikmat-nikmat ini, adalah dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ
“Dan dia telah memberikan kepadamu apa yang kamu minta kepada kepada-Nya.” (QS. Ibrahim : 34)
Dalam sebagian qira’ah, kata مِنْ كُلِّ dalam ayat ini dibaca مِنْ كُلٍّ (dengan mentanwin huruf laam), sehingga jika demikian makna ayat ini menjadi, “Dan dia telah memberikan kepada apa yang tidak kamu minta kepada-Nya” ([43]). Maka langit yang berlapis-lapis, matahari, dan bulan adalah nikmat yang tidak mereka minta, akan tetapi hakikatnya sangat mereka butuhkan. Akan tetapi meskipun demikian, mereka (kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam) tetap tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ أَنبَتَكُم مِّنَ الْأَرْضِ نَبَاتًا، ثُمَّ يُعِيدُكُمْ فِيهَا وَيُخْرِجُكُمْ إِخْرَاجًا
“Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur), kemudian Dia akan mengembalikan kamu ke dalamnya (tanah) dan mengeluarkan kamu (pada hari Kiamat) dengan pasti.” (QS. Nuh : 17-18)
Nabi Nuh ‘alaihissalam mengingatkan kaumnya bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala telah menciptakan mereka dari tanah, lalu tumbuh dengan baik, akan tetapi mereka juga akan dikembalikan lagi ke asal penciptaannya (kubur). Kemudian mereka kelak akan dibangkitkan lagi ketika hari kiamat telah tiba dari liang lahad tersebut. ([44])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ بِسَاطًا، لِّتَسْلُكُوا مِنْهَا سُبُلًا فِجَاجًا
“Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan, agar kamu dapat pergi kian kemari di jalan-jalan yang luas.” (QS. Nuh : 19-20)
Nabi Nuh ‘alaihissalam mengingatkan lagi akan nikmat bumi yang dijadikan sebagai hamparan, sehingga mereka bisa tinggal dengan nyaman di atas muka bumi. Mereka bisa tenang membangun rumah tinggal, mereka bisa bercocok tanam, memelihara hewan ternak, berjalan kemana pun tanpa kesusahan. Dan bumi secara keseluruhan mudah untuk dipijaki. Maka Nabi Nuh ‘alaihissalam seakan-akan mengingatkan mereka bahwa apakah semua kenikmatan-kenikmatan itu terjadi begitu saja tanpa ada yang menciptakannya? Tentu tidak. Allah Subhanahu wa ta’ala adalah yang menciptakan itu semua. Maka mengapa mereka tidak mengagungkan Allah Subhanahu wa ta’ala? ([45])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ نُوحٌ رَّبِّ إِنَّهُمْ عَصَوْنِي وَاتَّبَعُوا مَن لَّمْ يَزِدْهُ مَالُهُ وَوَلَدُهُ إِلَّا خَسَارًا
“Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya mereka durhaka kepadaku, dan mereka mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya hanya menambah kerugian baginya’.” (QS. Nuh : 21)
Setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam menyampaikan peringatan-peringatan akan kenikmatan-kenikmatan terhadap kaumnya, dengan penuh kesabaran dan dengan segala metode, ternyata kaumnya tetap tidak beriman kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan Nabi Nuh ‘alaihissalam. Akhirnya Nabi Nuh ‘alaihissalam kembali mengadu kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa kaumnya telah mendurhakainya, dan mereka hanya mau mengikuti pembesar-pembesar kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, dimana mereka adalah orang-orang kaya di antara mereka. Padahal orang-orang kaya tersebut tidaklah menambah harta dan anak-anak mereka, melainkan hanya menambah kerugian bagi mereka. Adapun Nabi Nuh ‘alaihissalam dan pengikutnya dari kalangan orang-orang miskin, sehingga kaumnya enggan mengikutinya. ([46])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَكَرُوا مَكْرًا كُبَّارًا
“Dan melakukan tipu-daya yang amat besar.” (QS. Nuh : 22)
Nabi Nuh ‘alaihissalam juga mengadukan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala bahwa kaumnya telah berbuat tipu daya yang besar. Yaitu tipu daya untuk mencegah dan menghalangi dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam, agar dakwahnya tidak diterima oleh kaumnya([47]). Kita ketahui bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam sangat tegar berdakwah selama 950 tahun terhadap kaumnya. Maka kaumnya harus membuat makar (tipu daya) terhadap Nabi Nuh ‘alaihissalam agar bisa menghadapi dakwahnya yang terus-menerus.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
“Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya‘uq dan Nasr’.” (QS. Nuh : 23)
Kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam mengadukan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala tentang perkataan kaumnya kepada yang lain dalam membuat tipu daya terhadap Nabi Nuh ‘alaihissalam.
Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, Nasr, adalah lima berhala yang disembah di zaman Nabi Nuh ‘alaihissalam. Disebutkan oleh para ulama bahwa kedudukan berhala-berhala ini bertingkat-tingkat, sebagian lebih diagungkan dari sebagian yang lain, sebagaimana kemampuan mereka juga berbeda-beda di mata para penyembahnya. Sebagian ulama mengatakan bahwa Wad dan Suwa’ disebutkan secara khusus karena keduanya merupakan berhala yang lebih utama dari yang lainnya menurut kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam([48]). Tentang kelima berhala ini, Imam Al-Bukhari meriwayatkan bahwa Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
هَؤلاء أَسْمَاءُ رِجَالٍ صَالِحِينَ مِنْ قَوْمِ نُوحٍ، فَلَمَّا هَلَكُوا أَوْحَى الشَّيْطَانُ إِلَى قَوْمِهِمْ، أَنِ انْصِبُوا إِلَى مَجَالِسِهِمُ الَّتِي كَانُوا يَجْلِسُونَ أَنْصَابًا وَسَمُّوهَا بِأَسْمَائِهِمْ، فَفَعَلُوا، فَلَمْ تُعْبَدْ، حَتَّى إِذَا هَلَكَ أُولَئِكَ وَتَنَسَّخَ العِلْمُ عُبِدَتْ
“Itulah nama-nama orang Saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, syaithan membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan saat itu berhala-berhala itu belum disembah. Ketika mereka wafat dan ilmu telah tiada, maka patung-patung itu pun disembah.”([49])
Perhatikanlah bagaimana metode syaithan menyesatkan kaum Nabi Nuh. Para Ahli Tafsir menyebutkan bahwa awalnya syaithan tidak langsung mengarahkan kepada penyembahan patung berhala, tetapi diarahkan untuk mengagungkan orang-orang saleh terlebih dahulu dengan membuat patung-patungnya. Maka setelah berlangsung generasi demi generasi, mulailah dilupakan tujuan awal dibuatnya patung-patung tersebut, ditambah lagi ilmu di tengah-tengah mereka telah dilupakan, akhirnya muncullah bibit-bibit penyembahan terhadap patung-patung tersebut, dan terjadilah kesyirikan pertama kali di muka bumi ini([50]). Lihatlah bagaimana kesabaran syaithan dalam menjerumuskan anak cucu Adam ‘alaihissalam. Oleh karenanya hendaknya kita juga bersabar dalam berdakwah. Hendaknya kita berdakwah dengan perlahan dan dengan cara yang baik. Bukan kemudian seseorang datang berdakwah lalu kemudian mengatakan ini dan itu, sehingga membuat orang lari dari dakwah tersebut. Ketahuilah bahwa dakwah yang benar bukan hanya tentang apa yang disampaikan, akan tetapi juga tentang bagaimana cara menyampaikannya.
Dari ayat ini juga kita pahami bahwa patung-patung tersebut jelas disembah. Karena ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam mulai mengingatkan kaumnya agar tidak menyembah berhala-berhala tersebut, para pembesar-pembesar kaumnya berusaha menghalangi dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam([51]). Mereka ikut berdakwah sebagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah, hanya saja mereka mendakwahkan kebatilan. Adapun Nabi Nuh ‘alaihissalam mendakwahkan kebenaran. Ternyata sebagaimana Nabi Nuh ‘alaihissalam bersabar di atas dakwahnya, mereka juga bersabar terus berdakwah mengajak kepada penyembahan berhala. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَانطَلَقَ الْمَلَأُ مِنْهُمْ أَنِ امْشُوا وَاصْبِرُوا عَلَىٰ آلِهَتِكُمْ إِنَّ هَٰذَا لَشَيْءٌ يُرَادُ
“Dan pergilah pemimpin-pemimpin mereka (seraya berkata), ‘Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu, sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki’.” (QS. Shad : 6)
Intinya kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam saling menasihati dalam kemaksiatan dan mewasiatkan agar bersabar di atas kemaksiatan tersebut. Dan hal ini juga dilakukan oleh kaum musyrikin Arab ketika menghadapi dakwah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Satu sama lain saling menyuruh bersabar agar tidak mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam([52]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِن كَادَ لَيُضِلُّنَا عَنْ آلِهَتِنَا لَوْلَا أَن صَبَرْنَا عَلَيْهَا وَسَوْفَ يَعْلَمُونَ حِينَ يَرَوْنَ الْعَذَابَ مَنْ أَضَلُّ سَبِيلًا
“(mereka berkata) ‘Sungguh, hampir saja dia menyesatkan kita dari sesembahan kita, seandainya kita tidak tetap bersabar (menyembah)nya’. Dan kelak mereka akan mengetahui pada saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya.” (QS. Al-Furqan : 42)
Maka karena kaumnya yang demikian membangkang dari dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam, maka Nabi Nuh ‘alaihissalam pun mengadukan hal tersebut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا
“Dan sungguh, mereka telah menyesatkan banyak orang, dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan.” (QS. Nuh : 24)
Kalau dikatakan bahwa yang ikut beriman dengan Nabi Nuh ‘alaihissalam berjumlah delapan puluh orang dan manusia tatkala itu jumlahnya ribuan, maka yang jumlahnya ribuan tersebut dalam keadaan berbuat syirik. ([53])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مِّمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ أَنصَارًا
“Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong selain Allah.” (QS. Nuh : 26)
Setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam mengadukan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala tentang kaumnya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian berfirman tentang azab yang menimpa kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam. Yaitu mereka ditenggelamkan karena dosa-dosa mereka sendiri. Ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa mereka sendirilah penyebab utama dibalik azab tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan bahwa mereka ditenggelamkan karena pergerakan lempeng bumi atau karena hujan yang deras. Memang benar bahwa bisa jadi dalam sebuah azab ada peristiwa yang terlihat, akan tetapi dibalik itu ada sebab-sebab ukhrawi yang menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut yaitu karena kemaksiatan mereka sendiri([54]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum : 41)
Subhanallah, Nabi Nuh ‘alaihissalam telah menawarkan kepada mereka sebelumnya, jika mereka bertaubat maka Allah akan menurunkan hujan yang membawa keberkahan bagi mereka. Namun tatkala kaumnya tetap dalam kesesatannya maka Allah tetap akan menurunkan hujan, tetapi hujan penderitaan yang akan menenggelamkan mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,
فَفَتَحْنَا أَبْوَابَ السَّمَاءِ بِمَاءٍ مُنْهَمِرٍ، وَفَجَّرْنَا الْأَرْضَ عُيُونًا فَالْتَقَى الْمَاءُ عَلَى أَمْرٍ قَدْ قُدِرَ
“Lalu Kami bukakan pintu-pintu langit dengan (menurunkan) air yang tercurah, dan Kami jadikan bumi menyemburkan mata-mata air maka bertemulah (air-air) itu sehingga (meluap menimbulkan) keadaan (bencana) yang telah ditetapkan.” (QS. Al-Qamar : 11-12)
Setelah mereka ditenggelamkan, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam ayat ini bahwa mereka mendapatkan siksaan tambahan yaitu dengan memasukkan mereka ke dalam neraka. Kalau kita perhatikan dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan huruf فَ pada kalimat فَأُدْخِلُوا, dan ini menunjukkan tertib waktu (urutan) namun tanpa jeda. Para Ahli Tafsir terbagi atas dua pendapat tentang makna ini.
Pendapat pertama, sebagian para ulama menyebutkan bahwa artinya adalah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam tidaklah disiksa dengan api neraka Jahannam, akan tetapi yang dimaksud mereka dimasukkan dalam neraka yaitu mereka diazab dengan api di alam barzakh, karena tentunya setelah mereka meninggal karena tenggelam maka mereka telah memasuki alam berbeda yaitu alam barzakh. Artinya setelah mereka ditenggelamkan, maka ruh-ruh mereka langsung ditenggelamkan dan diazab di alam barzakh dengan api. Oleh karenanya para ulama yang berpendapat seperti ini juga mengemukakan bahwa ini merupakan dalil tentang adanya azab kubur.
Pendapat kedua, sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa itu bukanlah azab kubur, melainkan tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menenggelamkan mereka dalam banjir yang sangat dahsyat, ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala juga membakar mereka dalam air tersebut, dan hal itu mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. ([55])
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa mereka tidak bisa ditolong oleh siapa pun. Nabi Nuh ‘alaihissalam saja tidak bisa menolong anaknya yang ikut tenggelam bersama kaum Nabi Nuh yang membangkang. Terlebih lagi berhala-berhala yang disembah oleh kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak dapat menolong mereka, yang ada berhala-berhala tersebut juga ikut tenggelam bersama mereka. ([56])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَقَالَ نُوحٌ رَّبِّ لَا تَذَرْ عَلَى الْأَرْضِ مِنَ الْكَافِرِينَ دَيَّارًا
“Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi’.” (QS. Nuh : 26)
Setelah Nabi Nuh ‘alaihissalam berdakwah dengan sekian lama, namun kaumnya membalas dakwah beliau dengan ejekan dan hinaan, akhirnya Nabi Nuh ‘alaihissalam berdoa agar membinasakan semua kaumnya yang mendurhakainya (kafir) ([57]). Mengapa Nabi Nuh ‘alaihissalam berdoa dengan doa seperti itu? Apakah beliau sudah tidak sabar? Nabi Nuh berdoa seperti itu karena Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan bahwa mereka tidak akan beriman, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَأُوحِيَ إِلَىٰ نُوحٍ أَنَّهُ لَن يُؤْمِنَ مِن قَوْمِكَ إِلَّا مَن قَدْ آمَنَ فَلَا تَبْتَئِسْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ
“Dan diwahyukan kepada Nuh, bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja), karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Hud : 36)
Setelah dakwah Nabi Nuh ‘alaihissalam selama kurang lebih 900 tahun, Allah Subhanahu wa ta’ala mengabarkan bahwa tidak ada lagi yang akan beriman kecuali yang telah beriman sebelumnya. Kalau sebuah pendapat mengatakan bahwa yang beriman hanya delapan puluh orang, maka hanya mereka itu sajalah yang beriman, dan tidak akan ada tambahan lagi kata Allah Subhanahu wa ta’ala. ([58])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّكَ إِن تَذَرْهُمْ يُضِلُّوا عِبَادَكَ وَلَا يَلِدُوا إِلَّا فَاجِرًا كَفَّارًا
“Sesungguhnya jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu, dan mereka hanya akan melahirkan anak-anak yang jahat dan tidak tahu bersyukur.” (QS. Nuh : 27)
Selain karena Nabi Nuh ‘alaihissalam telah diberi kabar bahwa tidak akan ada lagi yang akan beriman, sehingga beliau berdoa untuk membinasakan seluruh orang-orang kafir, Nabi Nuh ‘alaihissalam juga mengemukakan alasan yang lain. Yaitu jika Allah Subhanahu wa ta’ala masih membiarkan mereka (orang-orang kafir) hidup, maka keberadaan mereka tidak lain hanya menambah kesesatan di muka bumi. ([59])
Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Nuh ‘alaihissalam selama ratusan tahun telah menjumpai kaumnya yang usianya tidak sepanjang Nabi Nuh ‘alaihissalam. Namun dia melihat keadaan dimana seorang bapak yang memiliki anak, namun anaknya juga ikut kafir. Tidaklah Nabi Nuh ‘alaihissalam menyaksikan seorang bapak yang kafir melainkan anaknya juga kafir, bahkan cucu dan cicitnya nya pun ikut kafir. ([60])
Secara umum ada lima alasan mengapa Nabi Nuh ‘alaihissalam mendoakan kebinasaan bagi kaumnya. Alasan pertama adalah karena Nabi Nuh ‘alaihissalam mendapati kaumnya kafir sampai keturunan-keturunannya. Alasan kedua adalah Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah mengabarkan kepadanya bahwa kaumnya tidak akan beriman kecuali yang memang telah beriman sebelumnya. Alasan ketiga adalah Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak ingin mereka semakin sesat dan menyebarkan kesesatannya kepada orang lain. Alasan keempat, Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak ingin pengikutnya yang telah beriman menjadi berpaling darinya lalu mengikuti jalan orang-orang fajir dan kafir. Alasan kelima, Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak rela terus-terusan menyaksikan dan mendengar Allah Subhanahu wa ta’ala dihinakan dan disekutukan oleh kaumnya. ([61])
Akhirnya Allah mengabulkan doa Nabi Nuh ‘alaihissalam, lalu diperintahkan membuat kapal. Akan tetapi ketika Nabi Nuh ‘alaihissalam membuat kapal, dia senantiasa masih diejek oleh kaumnya. Setiap siapa yang lewat dan melihat Nabi Nuh ‘alaihissalam membuat kapal, maka pasti mereka mengejek Nabi Nuh ‘alaihissalam([62]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيَصْنَعُ الْفُلْكَ وَكُلَّمَا مَرَّ عَلَيْهِ مَلَأٌ مِنْ قَوْمِهِ سَخِرُوا مِنْهُ قَالَ إِنْ تَسْخَرُوا مِنَّا فَإِنَّا نَسْخَرُ مِنْكُمْ كَمَا تَسْخَرُونَ، فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ مَنْ يَأْتِيهِ عَذَابٌ يُخْزِيهِ وَيَحِلُّ عَلَيْهِ عَذَابٌ مُقِيمٌ
“Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, ‘Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal’.” (QS. Hud : 38-39)
Akan tetapi karena doa Nabi Nuh ‘alaihissalam bagi kehancuran orang-orang kafir, maka terjadilah azab yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala bagi mereka (kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam). ([63])
Ayat-ayat ini menunjukan kepedulian Nabi Nuh terhadap generasi-generasi yang akan datang, jangan sampai tumbuh generasi-generasi yang kafir kepada Allah. Ini menunjukkan bahwa Al-Mushlih (Reformis) yang sesungguhnya adalah orang yang memperhatikan kebaikan generasi yang ada di zaman mereka, serta tidak lalai untuk meletakan dasar-dasar sebagai pondasi untuk memperbaiki genarasi yang akan datang setelah mereka karena dalam pandangan mereka semua generasi adalah sama berhak mendapatkan kebaikan yang sama sebagaimana generasi sebelumnya.
Dari sinilah Umar bin al-Khottoh berdalil dengan firman Allah:
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka….” (QS. Al-Hasyr: 10)
Untuk tidak membagikan tanah-tanah subur di Iroq -yang berhasil ditaklukan oleh para pasukan mujahidin- kepada pasukan mujahidin tersebut. Karena hasil pertanian/perkebunan dari tanah subur tersebut akan disalurkan untuk penduduknya dan juga untuk generasi kaum muslimin yang akan datang. ([64])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
رَّبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَن دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا تَبَارًا
“Ya Tuhanku, ampunilah aku, ibu bapakku, dan siapa pun yang memasuki rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kehancuran.” (QS. Nuh : 28)
Selain Nabi Nuh ‘alaihissalam berdoa untuk kebinasaan kaumnya yang kafir, Nabi Nuh ‘alaihissalam juga mendoakan kebaikan untuk seluruh orang-orang beriman. Nabi Nuh ‘alaihissalam terlebih dahulu mendoakan dirinya, dan ini adalah dalil bahwa mendoakan diri sendiri itulah yang didahulukan lalu kemudian orang lain. Kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam mendoakan orang tuanya([65]), dan ini adalah dalil bahwa orang tua Nabi Nuh ‘alaihissalam masuk Islam, karena Nabi Nuh ‘alaihissalam mendoakan ampunan untuknya([66]). Dan ini merupakan di antara dalil yang disebutkan oleh jumhur ulama bahwasanya orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal bukan dalam kondisi Islam. Dan ini adalah pendapat jumhur, di antaranya adalah Imam An-Nawawi, Ibnu Katsir, Adz-Dzahabi, dan Al-Baihaqi. Bahkan jumhur ulama syafi’iyah mengatakan bahwasanya di antara bukti kedua orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal dalam keadaan tidak Islam adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mendoakan kedua orang tuanya. Bahkan dalam hadits telah disebutkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hendak memohonnkan ampun untuk ibunya, ternyata beliau ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun Nabi Nuh ‘alaihissalam, dia mendoakan kedua orang tuanya tanpa ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun para ulama yang mengatakan bahwa orang tua Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Islam hanyalah ulama minoritas dan ulama belakangan seperti As-Suyuti dan yang lainnya. Memang hal ini adalah khilaf di kalangan para ulama, akan tetapi sebagian orang tidak bisa menerima khilaf tersebut.
Kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam mendoakan keluarganya yang beriman, karena tidak semua keluarganya beriman, di antaranya adalah istri dan salah satu anaknya([67]). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا لِلَّذِينَ كَفَرُوا امْرَأَتَ نُوحٍ وَامْرَأَتَ لُوطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا صَالِحَيْنِ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَقِيلَ ادْخُلَا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِينَ
“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri Luth. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami, lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, tetapi kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikit pun dari (siksaan) Allah. Dan dikatakan (kepada kedua istri itu), ‘Masuklah kamu berdua ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (QS. At-Tahrim : 10)
Sungguh bisa kita bayangkan bagaimana ujian yang sangat berat yang dilalui oleh Nabi Nuh ‘alaihissalam. Beliau berdakwah selama ratusan tahun, akan tetapi anak dan istrinya ternyata tidak beriman. Kira-kira jika hal seperti ini terjadi di zaman sekarang, maka tentu seorang Da’i akan mendapat cacian dan makian luar biasa, karena dia mendakwahi orang lain, namun istri dan anaknya tidak mendengar dakwahnya sendiri.
Kemudian Nabi Nuh ‘alaihissalam juga mendoakan kebaikan untuk seluruh kaum mukminin baik yang telah meninggal maupun yang masih dan akan hidup di kemudian hari([68]). Ini menunjukkan bagaimana jiwa kasih sayang para Nabi terhadap kaum mukminin yang begitu tinggi, sampai-sampai Nabi Nuh ‘alaihissalam mendoakan mereka seluruhnya([69]). Dan dalam hadits disebutkan bahwa setiap orang yang kita doakan, maka kita akan mendapatkan kebaikan dari doa-doa tersebut. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ummu darda’, bahwa Rasulullah bersabda:
دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ، عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ، قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ: آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
Do’a seorang muslim untuk saudaranya yang dipanjatkan tanpa sepengetahuan orang yang dido’akannya adalah do’a yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada Malaikat yang diutus baginya. Setiap kali dia berdo’a untuk saudaranya dengan sebuah kebaikan, maka Malaikat tersebut berkata: ‘Semoga Allah mengabulkannya dan semoga engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan. ([70])
___________________________________________________________________________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 13/332.
([3]) At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/187.
([4]) At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/187.
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 13/332.
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/298.
([7]) Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/372
([8]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 13/332
([9]) At-Tafsir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/189.
([10]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/186.
([11]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/187.
([12]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/227 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.
([13]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/188.
([14]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.
([15]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/188.
([16]) Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/372.
([17]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.
([18]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/99.
([19]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/299.
([21]) Lihat: Ma’aniy Al-Qur’an Li Az-Zajjaj 5/228 dan Ma’aniy Al-Qur’an Li Al-Farra’ 3/187.
([22]) Tafsir Ibnu Katsir 8/232.
([23]) At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/194.
([24]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/232 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/195.
([26]) Zaadul Masiir Li Ibnu Al-Jauziy 4/342.
([27]) At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/195.
([28]) Lihat: Tafsir Ar-raziy 30/651.
([29]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/196.
([30]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/196.
([31]) Lihat: Tafsir Al-Mawardi 6/101 dan Tafsir Al-Baghawiy 8/230
([32]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/197.
([33]) Tafsir Ibnu Katsir 8/232.
([34]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/302.
([35]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/101.
([36]) Tafsir Al-Qurthubi 18/302
([38]) Lihat: Tafsir Ar-Raziy 30/652.
([39]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/101.
([40]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/635.
([41]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/636.
([42]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal:889 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/203.
([43]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 17/15.
([44]) Lihat: Tafsir Al-Mawardi 6/102.
([45]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/205 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/234.
([46]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/306 dan Tafsir Al-Mawardiy 6/103
([47]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/619.
([48]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/105.
([50]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/104.
([51]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/619 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/206.
([52]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/53 dan 6/113.
([53]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/619.
([54]) Lihat: Tafsir Ats-Tsa’labiy 10/47.
([55]) Lihat: Tafsir As-Sam’aniy 6/60.
([56]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/236.
([57]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/312.
([58]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 15/327.
([59]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/642.
([60]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/234 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/237.
([61]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/214.
([62]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 9/31.
([63]) Tafsir Al-Baghawiy 8/234.
([64]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/214.
([65]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/215.
([66]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/234 dan Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 4/621.
([67]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 4/174.
([68]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/215.