Tafsir Surah Al-Qiyamah
Al-Qiyamah diambil dari makna يَوْمِ الْقِيَامَةِ (Hari kiamat). Surah Al-Qiyamah ini termasuk dalam surah Makkiyah([1]). Sebagaimana kita ketahui bahwa surah Makkiyah adalah surah yang nuansanya berbicara tentang orang-orang musyrikin Arab yang mereka mengingkari hari kiamat, hari kebangkitan, dan mengingkari kenabian Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka nuansa surah ini adalah bercerita tentang orang-orang musyrikin yang mengingkari hari kiamat, yaitu Abu Jahal, Abu Lahab, Al-Walid Ibnul Mughirah, dan tokoh-tokoh kaum musyrikin lainnya.
Al-Qiyamah adalah salah satu dari nama-nama hari kiamat. Karena sebagaimana kita ketahui hari kiamat memiliki banyak nama dan masing-masing nama tersebut memiliki makna tersendiri. Di antaranya adalah السَّاعَةُ As-Sa’ah([2]) yang artinya waktu. Maksudnya adalah hari kiamat akan datang secara tiba-tiba dan tidak disadari. Di antaranya juga Ash-Shakhkhah([3]), yaitu hari yang berkaitan dengan suara kencang yang memekakkan, oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
فَإِذَا جَاءَتِ الصَّاخَّةُ
“Maka apabila datang suara yang memekakkan (tiupan sangkakala yang kedua).” (QS. ‘Abasa: 33)
Hari kiamat disebut juga dengan Ath-Thaammah yang berarti malapetaka yang meliputi segalanya dan tidak ada orang yang mampu menghindar dari malapetaka tersebut([4]). Di antaranya juga hari kiamat namanya adalah Al-Qari’ah([5]), yang artinya adalah sesuatu yang mengetuk dengan keras sehingga mengagetkan orang-orang yang mendengarnya dan membuat mereka ketakutan. Di antaranya pula hari kiamat disebut dengan Yaum Ad-Din([6]) yang berarti hari pembalasan. Intinya nama-nama hari kiamat itu banyak, dan di antara nama-namanya adalah Al-Qiyamah.
Al-Qiyamah diambil dari kata قام – يقوم – قياما yang artinya berdiri. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“(yaitu) pada hari (ketika) semua orang bangkit (berdiri) menghadap Tuhan seluruh alam.” (QS. Al-Muthaffifin : 6)
Kita semua akan dikumpulkan pada hari kiamat kelak di padang mahsyar. Ketika manusia dibangkitkan dari kuburnya([7]), manusia akan seperti belalang yang beterbangan([8]). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُنْتَشِرٌ
“Pandangan mereka tertunduk, ketika mereka keluar dari kuburan, seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al-Qamar : 7)
Maka ketika berkumpul di padang mahsyar, seluruh manusia berdiri menunggu kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan sebagian para ulama mengatakan bahwa tidak ada satu pun orang yang duduk apalagi berbaring. Maka disebut sebagai Yaumul Qiyamah karena pada hari itu orang-orang akan berdiri dengan waktu yang sangat lama, di mana satu hari pada waktu itu seperti lima puluh ribu tahun([9]) sementara matahari diturunkan dengan jarak satu mil dari kepala. Itulah mengapa disebut sebagai Al-Qiyamah.
Adapun bagi orang-orang kafir, hari kiamat akan menjadi hari yang sangat berat bagi mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَذَلِكَ يَوْمَئِذٍ يَوْمٌ عَسِيرٌ، عَلَى الْكَافِرِينَ غَيْرُ يَسِيرٍ
“Maka itulah hari yang serba sulit, bagi orang-orang kafir tidak mudah.” (QS. Al-Muddatstsir : 9-10)
Mahfum mukhalaf dari ayat ini, meskipun kelak akan ada kesulitan, namun bagi orang-orang beriman akan ada keringanan bagi mereka([10]). Oleh karenanya para ulama sering berwasiat bahwa barangsiapa yang ingin merasa ringan berdiri pada hari kiamat, maka hendaknya dia banyak berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala di dunia (banyak melakukan shalat).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا أُقْسِمُ بِيَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Aku bersumpah dengan hari Kiamat.” (QS. Al-Qiyamah : 1)
Secara bahasa Arab لَا bermakna “Tidak”. Oleh karenanya ada perbedaan ahli tafsir terkait makna ayat ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala membantah perkataan orang-orang kafir yang mengingkari adanya hari kiamat. Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala membantah mereka dengan mengatakan “Tidak, sungguh Aku bersumpah dengan hari kiamat”. Dan sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa لَا dalam ayat ini merupakan Laa zaa’idah yang tujuannya adalah littaukid (menekankan), sehingga seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Sungguh-sungguh Aku bersumpah dengan hari kiamat”. Dan tambahan Laa zaa’idah seperti ini banyak disebutkan di dalam Alquran. ([11])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا أُقْسِمُ بِالنَّفْسِ اللَّوَّامَةِ
“Dan Aku bersumpah demi jiwa yang selalu mencela (dirinya sendiri).” (QS. Al-Qiyamah : 2)
Kata اللَّوَّامَةِ diambil dari kata لاَمَ – يَلُوْمُ yang artinya adalah mencela. Artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah demi jiwa (sifat) yang suka mencela. Pendapat yang rajih di kalangan Ahli Tafsir, النَّفْسِ اللَّوَّامَةِ (jiwa yang selalu mencela) adalah jiwa yang baik yang dimiliki oleh seorang mukmin. Oleh karenanya penyebutan sifat ini merupakan pujian. Dan karena jiwa ini adalah jiwa yang terpuji, maka Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan jiwa tersebut. ([12])
Sebagaimana kita ketahui bahwa jiwa itu ada tiga, ada yang namanya jiwa yang selalu mencela (النَّفْسِ اللَّوَّامَةِ), jiwa yang tenang (النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ), dan jiwa yang mengajak kepada keburukan (النَّفْسَ لَأَمَّارَةٌ بِالسُّوءِ). Dan disetiap jiwa orang yang beriman terdapat pada diri mereka yang namanya jiwa yang selalu mencela. Dan para Ahli Tafsir menyebutkan bahwa ada tiga perkara yang selalu dicela,
Pertama adalah mencela kebaikan. Yaitu jiwa tersebut mencela pemilik jiwa tersebut jika kurang dalam berbuat kebajikan dan ketaatan. Sehingga orang yang memiliki jiwa tersebut tidak akan ujub.
Kedua adalah mencela keburukan. Yaitu jiwa tersebut akan mencela pemiliknya ketika berbuat keburukan, sehingga akhirnya penyesalan akan timbul. Dan di antara tafsiran النَّفْسِ اللَّوَّامَةِ adalah jiwa yang selalu menyesali. Oleh karenanya sering penulis ingatkan bahwa sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan di dalam tubuh manusia itu ada sinyal yang akan menegur jika seseorang sedang bermaksiat. Selama orang itu beriman, maka akan timbul kegelisahan. Berbeda dengan orang-orang kafir, mereka bisa jadi tidak memiliki jiwa seperti ini, karena fitrah mereka telah berubah. Akhirnya mereka tidak peduli dengan apa saja yang mereka lakukan. Dan hal ini berbeda dengan orang-orang beriman yang apabila mereka melakukan suatu maksiat, maka pasti jiwa mereka akan berontak. Bahkan jika seorang berlaku riya’, pasti ada sinyal yang akan menegur bahwa dia sedang riya’. Maka jika seseorang mau untuk memeriksa dirinya dengan teliti, maka dia akan bisa membedakan kapan dia bersikap riya’ dan tidak.
Ketiga adalah mencela yang telah lewat. Yaitu jiwa tersebut mencela baik kebaikan yang kurang, atau keburukan yang telah lewat sehingga akhirnya menimbulkan penyesalan. ([13])
Demikianlah jiwa ini, tugasnya adalah mencela pemilik jiwa tersebut dengan memberikan sinyal ketika pemilik jiwa tersebut melakukan keburukan dan maksiat. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan jiwa tersebut karena jiwa tersebut adalah jiwa yang baik([14]). Dan semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menganugerahkan kita jiwa seperti ini, karena jiwa yang seperti ini sangat kita perlukan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ، بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ
“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.” (QS. Al-Qiyamah : 3-4)
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian membantah perkataan orang-orang musyrikin yang mengatakan bahwa bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala bisa membangkitkan mereka, sedangkan mereka telah menjadi tulang belulang([15]). Mereka mengatakan,
مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيمٌ
“Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh?” (QS. Yasin : 78)
Orang-orang musyrikin dahulu beriman dengan adanya Allah Subhanahu wa ta’ala, akan tetapi mereka tidak beriman dengan hari kiamat([16]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا
“Orang-orang yang kafir mengira, bahwa mereka tidak akan dibangkitkan.” (QS. At-Taghabun : 7)
Sebagian ulama menjelaskan tentang mengapa orang-orang musyrikin tidak mau meyakini hari kebangkitan. Mereka membawakan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَقَالَ الَّذِينَ لَا يَرْجُونَ لِقَاءَنَا لَوْلَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا الْمَلَائِكَةُ أَوْ نَرَى رَبَّنَا لَقَدِ اسْتَكْبَرُوا فِي أَنْفُسِهِمْ وَعَتَوْا عُتُوًّا كَبِيرًا
“Dan orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami (di akhirat) berkata, “Mengapa bukan para malaikat yang diturunkan kepada kita atau (mengapa) kita (tidak) melihat Tuhan kita?” Sungguh, mereka telah menyombongkan diri mereka dan benar-benar telah melampaui batas (dalam melakukan kezaliman).” (QS. Al-Furqan : 21)
Alasannya adalah karena orang-orang musyrikin tidak mau bertemu dengan Allah Subhanahu wa ta’ala. Mereka tidak berharap dihisab, dan bahkan mereka tidak berharap untuk dibangkitkan. Dari sini sebagian ulama mengatakan bahwa akidah berkaitan dengan syahwat (hawa nafsu), sehingga hawa nafsu bisa membuat seseorang berkeyakinan terhadap sesuatu([17]). Dan kita ketahui bahwa orang-orang musyrikin suka bermaksiat, sehingga jika mereka yakin dengan adanya hari akhir maka mereka akan gelisah dalam hidup mereka. Oleh karenanya para ulama juga menyebutkan bahwa di antara sebab timbulnya Atheis adalah karena mereka ingin bebas dalam bermaksiat. Kalau mereka yakin akan adanya hari kebangkitan, maka mereka akan merasa terbelenggu, sedangkan mereka tidak mau terbelenggu dengan aturan-aturan. Maka untuk lepas dari belenggu tersebut, mereka mengingkari adanya Tuhan. Sehingga mereka bisa bermaksiat dengan bebas, dan akhirnya syahwat mereka membentuk sebuah akidah yaitu Tuhan tidak ada.
Demikian pula orang-orang musyrikin dahulu, mereka ingin berpuas-puas dalam kemaksiatan dan kesyirikan yang mereka lakukan, sehingga mereka mengatakan tidak ada hari kiamat. Oleh karenanya mereka mempertanyakan tentang bagaimana bisa Allah Subhanahu wa ta’ala membangkitkan mereka sementara mereka telah menjadi tulang belulang([18]). Maka dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala membantah pendapat orang-orang musyrikin dengan berkata,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَلَّنْ نَجْمَعَ عِظَامَهُ، بَلَى قَادِرِينَ عَلَى أَنْ نُسَوِّيَ بَنَانَهُ،
“Apakah manusia mengira bahwa Kami tidak akan mengumpulkan (kembali) tulang-belulangnya? (Bahkan) Kami mampu menyusun (kembali) jari-jemarinya dengan sempurna.”
Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala membantah bahwa bukan hanya tulang mereka yang bisa Allah kumpulkan, akan tetapi jari-jemari mereka pun mampu untuk Allah Subhanahu wa ta’ala kumpulkan. Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa alasan Allah menggunakan penyebutan jari-jari karena jika tulang manusia disusun kembali, maka yang terakhir biasanya adalah bagian ujung yang di antaranya adalah jari-jari. Sehingga jika jari-jari telah dikumpulkan, maka tulang yang lain pun pasti telah dikumpulkan. Artinya sangat mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mengembalikan tulang belulang mereka, meskipun tulang tersebut telah hancur lebur bersatu dengan tanah, karena Allah Subhanahu wa ta’ala jika menghendaki sesuatu tinggal berkata “Kun” maka akan terjadi. ([19])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
بَلْ يُرِيدُ الْإِنْسَانُ لِيَفْجُرَ أَمَامَهُ
“Tetapi manusia hendak membuat maksiat terus-menerus.” (QS. Al-Qiyamah : 5)
Ada beberapa tafsiran para ulama tentang ayat ini. Di antara penafsiran para ulama bahwa ayat ini bercerita tentang sifat manusia, yaitu manusia seakan-akan berkata “Saya akan bermaksiat, dan saya akan bertaubat nanti”. Sehingga tatkala dia telah berniat untuk taubat dikemudian hari maka dia berani untuk bermaksiat saat ini([20]). Dia menyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Pengampun, sehingga dia berani bermaksiat. Hal seperti ini sebagaimana saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alaihissalam ingin membunuh Nabi Yusuf ‘alaihissalam, mereka mengatakan,
اقْتُلُوا يُوسُفَ أَوِ اطْرَحُوهُ أَرْضًا يَخْلُ لَكُمْ وَجْهُ أَبِيكُمْ وَتَكُونُوا مِنْ بَعْدِهِ قَوْمًا صَالِحِينَ
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian ayah tertumpah kepadamu, dan setelah itu kamu menjadi orang yang baik.” (QS. Yusuf : 9)
Artinya mereka memerintahkan untuk membunuh Nabi Yusuf ‘alaihissalam, setelah itu baru bertaubat([21]). Dan betapa banyak orang yang melakukan maksiat, di antara yang memotivasi mereka untuk bermaksiat adalah bisikan syaithan bahwa tidak mengapa bermaksiat karena setelah itu bisa bertaubat sebelum meninggal. Akan tetapi yang banyak terjadi adalah seseorang meninggal sebelum dia sempat untuk bertaubat.
Di antara tafsiran yang lain dan penafsiran ini dikuatkan oleh para ulama, yaitu maksudnya adalah orang-orang musyrikin mendustakan hari kiamat yang ada di depannya([22]). Sehingga mereka berbuat fajir dan tidak peduli karena tidak meyakini hari kiamat. Akhirnya mereka berani berbuat zina, membunuh, main judi, bersikap zalim, dan berkata apa pun yang mereka kehendaki. ([23])
Oleh karenanya benar suatu ungkapan bahwasanya perkara yang paling mudah untuk membuat seseorang meninggalkan maksiat dan kemungkaran adalah keyakinan seseorang tentang adanya hari kiamat. Yaitu dia yakin bahwa seluruh perkataannya, lirikan matanya, semua yang didengar, dan apa-apa yang terbetik di dalam hati, akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat kelak. Maka jika seseorang yakin akan adanya hari kiamat, maka dia akan berhati-hati dalam berbicara, berhati-hati dalam mengumbar pandangannya. Akan tetapi jika iman seseorang kurang terhadap hari kiamat, meskipun dia Islam, maka dia pasti akan nekat berbuat maksiat. Karena tidaklah seseorang berani berbuat maksiat kecuali imannya kurang.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ، وَخَسَفَ الْقَمَرُ، وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
“Dia bertanya, ‘Kapankah hari Kiamat itu?’. Maka apabila mata terbelalak (ketakutan), dan bulan pun telah hilang cahayanya, lalu matahari dan bulan dikumpulkan.” (QS. Al-Qiyamah : 6-9)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَسْأَلُ أَيَّانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ
“Dia bertanya, ‘Kapankah hari Kiamat itu?’.”
Orang-orang musyrikin bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kapan datangnya hari kiamat tersebut. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sering menyebutkan akan adanya hari kiamat, maka mereka bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kapan waktunya. ([24])
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan waktu terjadinya hari kiamat dengan firman-Nya,
فَإِذَا بَرِقَ الْبَصَرُ
“Maka apabila mata terbelalak (ketakutan).”
بَرِقَ secara bahasa Arab artinya adalah putih, dan tidaklah mata tampak warna putihnya kecuali saat seseorang hendak meninggal dunia. Dan di antara tafsiran ayat ini adalah ketika mata terlihat putih yaitu ketika sakratul maut([25]). Adapun tafsiran yang lain, maksudnya adalah ketika hari kiamat kelak, manusia akan dibangkitkan dalam keadaan mata terbelalak([26]). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ، مُهْطِعِينَ مُقْنِعِي رُءُوسِهِمْ لَا يَرْتَدُّ إِلَيْهِمْ طَرْفُهُمْ وَأَفْئِدَتُهُمْ هَوَاءٌ
“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lengah dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak, mereka datang tergesa-gesa (memenuhi panggilan) dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong.” (QS. Ibrahim : 42-43)
Allah Subhanahu wa ta’ala menunda balasan bagi orang-orang musyrikin dengan azab yang sangat pedih, yang azab tersebut tidak ada bandingannya jika mereka diberikan azab di dunia. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa hari kiamat akan terjadi ketika mata-mata mereka terbelalak.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَخَسَفَ الْقَمَرُ
“Dan bulan pun telah hilang cahayanya.”
Hari kiamat akan terjadi ketika cahaya bulan hilang sama sekali. Dalam bahasa Arab ada yang namanya خَسَفَ (gerhana total) dan كَسَفَ (gerhana setengah), dan penyebutan ini berlaku baik bagi matahari dan bulan. Maka ketika hari kiamat kelak, yang ada hanyalah خسف. Berbeda dengan ketika gerhana terjadi di dunia, maka beberapa waktu akan kembali normal cahaya bulan atau matahari. Akan tetapi ketika hari kiamat kelak, gerhana yang terjadi tetap akan menutup bulan. Sehingga maksud dari ayat ini adalah cahaya bulan akan dihilangkan. ([27])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَجُمِعَ الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ
“Lalu matahari dan bulan dikumpulkan.”
Secara bahasa, ayat ini menerangkan bahwa kelak pada hari kiamat matahari dan bulan akan digabungkan. Terdapat beberapa pendapat dari kalangan Ahli Tafsir terkait ayat ini. Sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa matahari dan bulan benar-benar digabungkan. Ketika bulan dan matahari telah diredupkan, maka keduanya akan digabungkan lalu dilempar ke dalam neraka Jahannam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits. Sehingga orang-orang yang dahulu di dunia menyembah matahari dan bulan akan sangat bersedih karena yang mereka anggap Tuhan juga ikut masuk bersama mereka di neraka Jahannam([28]). Dan keduanya dijadikan bahan bakar neraka Jahannam untuk membakar mereka. Di antara tafsiran lain dari ayat ini adalah panas matahari digabungkan dengan panasnya bulan untuk diletakkan di padang mahsyar, sehingga manusia betul-betul sangat kepanasan ketika itu([29]). Dan ada pula yang menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah matahari dan bulan sama-sama diredupkan cahayanya hingga hilang cahaya dari keduanya([30]). Inilah di antara beberapa penafsiran terkait fenomena yang terjadi pada hari kiamat kelak. Oleh karenanya matahari yang telah nyala jutaan tahun lalu akan redup suatu saat, yaitu ketika hari kiamat. Wallahu A’lam bishshwwab.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَقُولُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ، كَلَّا لَا وَزَرَ، إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ
“Pada hari itu manusia berkata, ‘Ke mana tempat lari?’ Tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu.” (QS. Al-Qiyamah : 10-12)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَقُولُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ أَيْنَ الْمَفَرُّ
“Pada hari itu manusia berkata, ‘Ke mana tempat lari?’.”
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa makna kata الْإِنْسَانُ bersifat umum, mencakup orang-orang beriman maupun orang-orang kafir. Akan tetapi sebagian ulama mengatakan bahwa setiap kata الْإِنْسَانُ yang datang dalam ayat-ayat terutama pada surah-surah Makkiyah, maka kata الْإِنْسَانُ merujuk kepada orang-orang kafir. Sehingga sebagian ulama membawa ayat ini kepada makna bahwa orang-orang kafir akan berkata pada hari kiamat kelak “Ke mana tempat lari?” ([31]). Adapun orang-orang beriman tetap tenang pada hari tersebut meskipun mereka melihat kedahsyatan pada hari itu, dan mereka tidak mengatakan kata-kata ini. Kata-kata ini adalah bentuk kata-kata penyesalan dan putus asa.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَلَّا لَا وَزَرَ، إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ
“Sekali-kali tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu.”
Kata وَزَرَ biasa diartikan sebagai gunung atau lembah([32]). Sehingga ayat ini memberi makna bahwa pada hari itu tidak ada gunung atau lembah tempat untuk mereka bersembunyi([33]). Karena pada hari kiamat bumi akan didatarkan dan dijadikan sebagai padang mahsyar([34]). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا الْأَرْضُ مُدَّتْ، وَأَلْقَتْ مَا فِيهَا وَتَخَلَّتْ
“Dan apabila bumi diratakan, dan memuntahkan apa yang ada di dalamnya dan menjadi kosong.” (QS. Al-Insyiqaq : 3-4)
Dan juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا، فَيَذَرُهَا قَاعًا صَفْصَفًا، لَا تَرَى فِيهَا عِوَجًا وَلَا أَمْتًا
“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang gunung-gunung, maka katakanlah, “Tuhanku akan menghancurkannya (pada hari Kiamat) sehancur-hancurnya, kemudian Dia akan menjadikan (bekas gunung-gunung) itu rata sama sekali, (sehingga) kamu tidak akan melihat lagi ada tempat yang rendah dan yang tinggi di sana’.” (QS. Thaha : 105-107)
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى أَرْضٍ بَيْضَاءَ عَفْرَاءَ، كَقُرْصَةِ النَّقِيِّ، لَيْسَ فِيهَا عَلَمٌ لِأَحَدٍ
“Pada hari kiamat kelak manusia akan dikumpulkan di bumi yang sangat putih berbentuk bulat pipih dan datar tanpa ada tanda bagi siapapun di atasnya.”([35])
Maka ketika di padang mahsyar, mereka bertanya-tanya tentang kemana hendak lari? Sedangkan tidak ada yang bisa bersembunyi dari Allah. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا تَخْفَى مِنْكُمْ خَافِيَةٌ
“Tidak ada sesuatu pun dari kamu yang tersembunyi (bagi Allah).” (QS. Al-Haqqah : 18)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمُسْتَقَرُّ
“Hanya kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu.”
Pada hari kiamat kelak, semuanya akan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([36]). Semua orang akan kembali menjalankan aturan-aturan yang Allah Subhanahu wa ta’ala jalankan pada hari itu. Semua orang akan terjebak untuk dihisab dan tidak ada yang bisa lolos darinya. Demikian pula semua akan terjebak dengan mizan, dan tidak ada yang bisa lolos darinya. Dan semua manusia akan diperlihatkan catatan amalnya melalui tangan kiri dan kanannya, serta semua akan dipaksa melalui sirath. Sehingga semua proses aturan yang Allah Subhanahu wa ta’ala jalankan menunjukkan di mana tempat kembali seseorang, surga atau neraka([37]). Dan pada hari kiamat kelak Allah Subhanahu wa ta’ala akan berfirman,
لِمَنِ الْمُلْكُ الْيَوْمَ لِلَّهِ الْوَاحِدِ الْقَهَّارِ
“(Allah berfirman), “Milik siapakah kerajaan pada hari ini?” Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan.” (QS. Ghafir : 16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
يَقْبِضُ اللَّهُ الأَرْضَ، وَيَطْوِي السَّمَوَاتِ بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا المَلِكُ، أَيْنَ مُلُوكُ الأَرْضِ
“Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanannya seraya berkata: ‘Akulah Raja, mana yang mengaku raja di bumi?’.” ([38])
Jika raja-raja yang dahulu di bumi mampu untuk membuat dan merubah aturan, maka di akhirat mereka pun tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak ada yang bisa lari dari Allah Subhanahu wa ta’ala, mau tidak mau mereka harus ikut aturan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُنَبَّأُ الْإِنْسَانُ يَوْمَئِذٍ بِمَا قَدَّمَ وَأَخَّرَ
“Pada hari itu diberitakan kepada manusia apa yang telah dikerjakannya dan apa yang dilalaikannya.” (QS. Al-Qiyamah : 13)
Terdapat banyak tafsiran tentang kalimat قَدَّمَ وَأَخَّرَ di kalangan para Ahli Tafsir. Sebagian ulama menafsirkan قَدَّمَ وَأَخَّرَ maksudnya adalah ketaatan dan maksiat yang seseorang lakukan. Adapula yang menafsirkannya قَدَّمَ وَأَخَّرَ maksudnya adalah amalan yang dilakukan seseorang selama masih hidup dan amal yang dia peroleh ketika telah meninggal, baik dengan pahala atau dosa jariyah. Dan itu akan dikabarkan kepada masing-masing orang pada hari kiamat kelak. Masih ada tafsiran yang lain terkait makna kata ini, akan tetapi semua maknanya benar, dan ini dirajihkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari. ([39])
Kita di dunia ini pastinya banyak melakukan kegiatan hingga kita meninggal dunia. Dan sampai saat ini pun telah banyak yang kita lupa atas apa yang kita lakukan. Banyak kebajikan yang telah kita lupakan, terlebih lagi dengan maksiat yang pernah kita lakukan, mungkin lebih banyak lagi yang telah kita lupakan. Kalau kita bertanya pada diri kita tentang siapa yang pernah kita gibahi, sebagian besar diri kita telah lupa. Kalaupun kita ingat orangnya, maka kemungkinan kita telah lupa gibah apa yang kita lakukan kepada mereka. Mungkin kita masih mengingat sebagian maksiat-maksiat besar yang kita lakukan, akan tetapi lebih banyak maksiat yang besar di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, namun kita anggap sepele. Demikian pula kebaikan-kebaikan yang telah kita lakukan, terkadang ada yang telah kita lupakan. Maka pada hari kiamat kelak, manusia akan ingat seluruh apa yang dia lakukan. Manusia akan dikabarkan tentang apa yang dia lakukan selama di dunia. Bahkan yang dikabarkan kepada manusia bukan hanya amal yang mereka lakukan selama hidup di dunia, akan tetapi apa dampak dari amal mereka setelah meninggal dunia. Karena ada orang yang ketika dia telah meninggal dunia, dampak yang mereka tinggalkan itu baik. Contohnya adalah orang yang meninggalkan ilmu yang bermanfaat. Ternyata setelah meninggal dunia, banyak orang-orang kemudian mendapat hidayah dari ilmu yang dia sebarkan. Tentu hal ini dia tidak ketahui, akan tetapi pada hari kiamat kelak Allah Subhanahu wa ta’ala akan kabarkan kepada orang tersebut dampak perbuatannya yang timbul setelah dia meninggal dunia. Maka jika seseorang memiliki amal jariyah, maka kelak Allah Subhanahu wa ta’ala akan kabarkan tentang amal jariyah tersebut. Demikian pula dosa jariyah, jika seseorang mengajari orang lain untuk berbuat keburukan, maksiat, ibadah yang tidak memiliki tuntunan, dan pemikiran sesat, maka pada hari kiamat dia akan diberi tahu pula dampak dari pengajarannya tersebut. Karena bisa jadi pemikiran sesat yang dia tanamkan kepada muridnya atau orang lain mengakibatkan orang-orang melakukan keburukan dan maksiat pula.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ، وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ
“Akan tetapi manusia akan menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah : 14-15)
Secara bahasa, بَصِيرَةٌ dalam ayat ini ditulis بَصِير karena kata الْإِنْسَانُ adalah bentuk mudzakkar, sedangkan kata بَصِيرَةٌ adalah muannats, maka seharusnya ditulis dengan بَصِير. Ada dua taujih (pengarahan) tentang mengapa Allah Subhanahu wa ta’ala menambahkan huruf ة (ta marbutah).
Taujih yang pertama adalah huruf ta marbutah untuk menunjukkan balaghah, seperti di mana orang-orang berkata عالم disebut sebagai علَّامة. Intinya adalah huruf ta marbutah ini digunakan untuk penekanan. Maka makna ayat ini adalah manusia akan tahu dengan detail apa yang diperbuatnya. ([40])
Taujih yang kedua adalah kata الْإِنْسَانُ menunjukkan جَوَارِحُهُ (anggota badan), dan lafal الجَوَارِحُ adalah muánnats (karena jamak). Yaitu anggota tubuhnya akan menjadi saksi bagi dirinya dan inilah yang akan terjadi pada hari kiamat kelak. ([41])
Dan kelak manusia akan menyampaikan uzur-uzur mereka pada hari kiamat kelak. manusia menyampaikan hujjah-hujjah mereka untuk menyelamatkan diri mereka. Akan tetapi setelah dia mengemukakan hujjahnya, ternyata kaki, tangan, bahkan kulitnya berbicara membantah dirinya. Ketika lisannya berusaha untuk membela dirinya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala tutup lisannya, dan membiarkan anggota tubuhnya berbicara([42]). Oleh karenanya firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini,
بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ، وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ
“Akan tetapi manusia akan menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.”
Maksudnya adalah anggota tubuh manusia akan menjadi saksi untuk diri mereka sendiri([43]), meskipun manusia akan mengemukakan alasan dan alibi-alibi mereka. Di antara yang akan mereka katakan pada hari kiamat kelak adalah,
مَا جَاءَنَا مِنْ بَشِيرٍ وَلَا نَذِيرٍ
“Tidak ada yang datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” (QS. Al-Maidah : 19)
Akan tetapi kulitnya, kakinya, dan tangannya akan mengingkari perkataannya tersebut([44]). Mereka juga pada hari kiamat akan mengatakan,
رَبَّنَا هَؤُلَاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لَا تَعْلَمُونَ
“Ya Tuhan kami, mereka telah menyesatkan kami. Datangkanlah siksaan api neraka yang berlipat ganda kepada mereka” Allah berfirman, ‘Masing-masing mendapatkan (siksaan) yang berlipat ganda, tapi kamu tidak mengetahui’.” (QS. Al-A’raf : 38)
Bahkan mereka juga akan mengatakan,
رَبِّ ارْجِعُونِ، لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“(mereka berkata), ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” Sekali-kali tidak! Sesungguhnya itu adalah dalih yang diucapkannya saja.” (QS. Al-Mu’minun : 99-100)
Semua argumentasi yang mereka ungkapkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari tersebut tidak ada nilainya([45]). Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah berfirman,
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin : 35)
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Pada hari (itu), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nur : 24)
Semua anggota tubuh akan bersaksi pada hari kiamat kelak, sehingga tidak ada manfaatnya uzur yang mereka sampaikan. ([46])
Kalau di dunia seseorang melakukan salah, maka dia bisa memberi uzur di hadapan sang hakim. Terlebih lagi jika dia membawa seorang pengacara (pembela), maka bisa jadi kesalahan yang kita lakukan menjadi kebenaran. Akhirnya terkadang lawan kita yang mendapatkan hukuman. Akan tetapi itu hanya terjadi di dunia. Di akhirat seseorang tidak berbuat demikian, karena yang menjadi saksi yang menuntut diri kita adalah tangan, kaki, kulit, dan anggota tubuh yang lainnya. Bahkan bumi pun menjadi saksi, sementara hakimnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Meskipun manusia menyampaikan uzur-uzurnya, hal tersebut tidak bermanfaat di persidangan Allah Subhanahu wa ta’ala. ([47])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ، إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
“Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.” (QS. Al-Qiyamah : 16-17)
Ayat ini turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Jibril memberikan wahyu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa membaca dan menulis. Sehingga tatkala malaikat Jibril memberikan wahyu pertama kali dan memerintahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baca, maka beliau mengatakan,
مَا أَنَا بِقَارِئٍ
“Aku tidak bisa baca.” ([48])
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa baca, maka beliau ditalqin oleh malaikat Jibril ayat demi ayat. Dan semua ayat di dalam Alquran adalah talqinan dari malaikat Jibril.
Suatu saat malaikat Jibril menurunkan ayat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mentalqinkan ayat tersebut kepada beliau. Akan tetapi belum selesai beliau malaikat Jibril mentalqinkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian mengikutinya. Disebutkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabri rahimahullah, ada dua pendapat di kalangan para Ahli Tafsir tentang mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah ikut mengulangi ayat sementara malaikat Jibril belum selesai mentalqinkan.
Pendapat pertama mengatakan bahwa alasannya adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam takut lupa, sedangkan bisa jadi malaikat Jibril mentalqinkan ayat tersebut hanya sekali. Sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala menegur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk tidak tergesa-gesa dalam menghafalkan ayat tersebut. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala sendiri yang akan membuat beliau shallallahu ‘alaihi wasallam hafal ayat-ayat tersebut.
Pendapat kedua mengatakan bahwa alasannya adalah karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam begitu cinta kepada Alquran, sehingga beliau ingin segera mengulanginya dan bertilawah dengan ayat-ayat tersebut. Karena ayat-ayat yang turun bisa menambah iman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga sebelum malaikat Jibril selesai mentalqinkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala, maka beliau langsung mengikutinya. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menegur beliau agar malaikat Jibril selesai terlebih dahulu lalu beliau baca. Jangan karena kecintaan beliau terhadap Alquran sehingga beliau tergesa-gesa ingin melafalkannya. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari. ([49])
Dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah tatkala membawakan firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini, beliau mengatakan bahwa di antara faedah dari ayat ini adalah jika seorang murid mendengar perkataan gurunya, maka hendaknya dia tidak memotong pembicaraannya. Karena bisa jadi pelajaran di awal berkaitan dengan pelajaran di akhir.([50]) Karena sebagian murid-murid sering memotong pembicaraan gurunya, padahal gurunya belum selesai menjelaskan pelajarannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
“Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 18)
Perlu untuk diperhatikan di sini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata “Kami” dalam ayat ini bukan menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala yang membacakan Alquran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan kita tahu bahwa yang membacakan Alquran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah malaikat Jibril. Oleh karenanya maksud kata “Kami” dalam ayat ini adalah malaikat([51]), dan yang seperti ini juga datang dalam beberapa ayat di mana Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata “Kami” sebagai kata ganti malaikat. Oleh karenanya penggunaan kata “kami” di dalam Alquran bisa bermakna dua, yaitu bermakna Allah Subhanahu wa ta’ala langsung dengan tujuan pengagungan, atau bermakna malaikat sebagaimana datang dalam banyak ayat. Oleh karenanya yang dimaksud “Kami” dalam ayat ini adalah malaikat([52]). Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam ayat yang lain,
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.” (QS. Al-Waqi’ah : 85)
Maksud “Kami” di dalam ayat ini adalah malaikat. Karena malaikatlah yang akan mencabut nyawa manusia ketika telah menjelang sakratul maut([53]). Contoh lain adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya.” (QS. Qaf : 16)
Di dalam ayat ini “Kami” juga maksudnya adalah malaikat([54]). Maka demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini bahwa yang dimaksud membacakan Alquran adalah malaikat.
Hal ini perlu untuk dijelaskan untuk membantah perkataan sebagian orang-orang kafir yang tidak mengerti bahasa Arab. Mereka mengatakan Tuhannya orang Islam juga banyak karena dalam Alquran Allah Subhanahu wa ta’ala juga menggunakan kata “Kami”, sebagaimana mereka juga menyebut ketiga Tuhan mereka dengan “Kami”. Maka kita bisa membantahnya dengan penjelasan bahwa bukan berarti penyebutan “Kami” itu banyak, melainkan tetap kembali merujuk satu. Dan Abu Jahal, Abu Lahab, dan orang-orang musyrikin lainnya tidak pernah memahami kata “Kami” bermakna jamak. Kalau sekiranya kata “Kami” dipahami sebagai bentuk jamak, maka tentu hal tersebut telah dijadikan bahan olok-olok orang-orang musyrikin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Akan tetapi mereka paham bahwa kata “Kami” di dalam Alquran tidak melazimkan bentuk jamak. Maka sungguh aneh jika kemudian datang orang-orang yang tidak paham bahasa Arab, kemudian mencela Alquran dengan mengatakan bahwa kata “Kami” dalam Alquran menunjukkan bahwa Tuhan orang Islam juga banyak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
“Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.” (QS. Al-Qiyamah : 19)
Yaitu Allah menjelaskannya melalui sunnah-sunnah Nabi shallallahu álaihi wasallam. Ayat ini merupakan dalil bahwasanya kita tidak bisa memahami Alquran kecuali dengan Alquran itu sendiri dan As-Sunnah. Hal ini dikarenakan Allah Subhanahu wa ta’ala yang akan menjelaskan maksud Alquran kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan Nabi yang akan menjelaskan penjelasan Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena sesungguhnya hadits-hadits adalah penafsir dari Alquran. ([55])
Dan tidak mungkin seseorang bisa beriman kepada Islam jika dia hanya mengambil Alquran lalu menolak hadits-hadits. Ada segolongan orang yang disebut dengan Alquraniun, mereka hanya berdalil dengan Alquran dan menolak dalil-dalil dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sesungguhnya golongan semacam ini adalah golongan yang sesat. Karena tidak mungkin kita bisa memahami Islam tanpa ada hadits. Contoh sederhana adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
“Dan dirikanlah shalat.” (QS. Al-Baqarah : 43)
Bagaimana mereka mau mendirikan shalat, sementara tidak ada di dalam Alquran tentang kapan tata cara azan dan waktunya, tidak ada tata cara melaksanakan shalat, tidak dijelaskan pula aturan-aturannya. Maka bagaimana cara orang bisa shalat jika hanya mengandalkan Alquran tanpa melihat kepada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam? Padahal perincian hanya terdapat pada hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَلَّا بَلْ تُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ، وَتَذَرُونَ الْآخِرَةَ
“Sekali-kali tidak. Bahkan kamu mencintai kehidupan dunia, dan mengabaikan (kehidupan) akhirat.” (QS. Al-Qiyamah : 20-21)
Sebagaimana pada beberapa ayat sebelumnya dijelaskan bahwa pada hari kiamat orang-orang musyrikin akan menyampaikan uzur-uzurnya terhadap maksiat dan kekufuran yang mereka lakukan di dunia. ([56])
بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ، وَلَوْ أَلْقَى مَعَاذِيرَهُ
“Akan tetapi manusia akan menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS. Al-Qiyamah : 14-15)
Akan tetapi alasan-alasan mereka pun pada saat itu sudah tidak lagi bermanfaat. Maka pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa sebab mereka kufur dan bermaksiat adalah karena kecintaan mereka terhadap dunia serta tidak peduli dengan akhirat([57]). Maka ayat ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan bantahan terhadap alasan-alasan yang mereka sampaikan pada hari kiamat kelak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, (karena) memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyamah : 22-23)
Ayat ini dijadikan dalil oleh para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bahwasanya orang-orang yang beriman pada hari kiamat kelak akan melihat Rabb mereka Allah Subhanahu wa ta’ala([58]). Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa kelak akan ada wajah-wajah yang ceria berseri-seri karena sebab memandang wajah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan para ulama Ahlussunnah telah Sepakat bahwa puncak kenikmatan pada hari kiamat kelak adalah melihat wajah Allah Subhanahu wa ta’ala([59]).
Dalam sebuah ayat Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya.” (QS.Yunus : 26)
Apa yang dimaksud tambahan dalam ayat ini? Yaitu tambahan kenikmatan di surga berupa melihat wajah Allah Subhanahu wa ta’ala([60]). Oleh karenanya pada hari kiamat kelak, bila penduduk surga telah masuk ke dalamnya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala akan berfirman,
تُرِيدُونَ شَيْئًا أَزِيدُكُمْ؟ فَيَقُولُونَ: أَلَمْ تُبَيِّضْ وُجُوهَنَا؟ أَلَمْ تُدْخِلْنَا الْجَنَّةَ، وَتُنَجِّنَا مِنَ النَّارِ؟ قَالَ: فَيَكْشِفُ الْحِجَابَ، فَمَا أُعْطُوا شَيْئًا أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنَ النَّظَرِ إِلَى رَبِّهِمْ عَزَّ وَجَلَّ. ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Apakah kalian ingin sesuatu yang perlu Aku tambahkan kepada kalian?” Mereka menjawab, ‘Bukankah Engkau telah membuat wajah-wajah kami putih? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?’ Rasulullah bersabda: ‘Lalu Allah membukakan hijab pembatas (wajah-Nya), lalu tidak ada satu pun yang dianugerahkan kepada mereka yang lebih dicintai daripada anugerah (dapat) memandang Rabb mereka. Kemudian beliau membaca Firman Allah: ‘Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya’ (QS. Yunus: 26).”([61])
Itulah tambahan kenikmatan yang akan dirasakan oleh kaum mukminin, yaitu melihat wajah Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berdoa,
وَأَسْأَلُكَ لَذَّةَ النَّظَرِ إِلَى وَجْهِكَ، وَالشَّوْقَ إِلَى لِقَائِكَ فِي غَيْرِ ضَرَّاءَ مُضِرَّةٍ، وَلَا فِتْنَةٍ مُضِلَّةٍ
“Dan aku memohon kelezatan memandang kepada wajah-Mu serta keridhaan berjumpa dengan-Mu tanpa ada bahaya yang membahayakan dan tanpa fitnah yang menyesatkan.”([62])
Dan para ulama Ahlussunnah telah sepakat dalam menetapkan sifat wajah Allah Subhanahu wa ta’ala tidak sama dengan makhluknya, meskipun sama-sama disebut sebagai wajah. ([63])
Oleh karenanya para sahabat yang meriwayatkan tentang hadits-hadits melihat Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat sekitar dua puluh orang sahabat, sehingga hadits-haditsnya disebut sebagai hadits yang mutawatir. Maka tidak diragukan lagi bahwasanya orang-orang beriman akan melihat Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat kelak. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ (وفي رواية أخرى: عِيَانًا)، كَمَا تَرَوْنَ هَذَا القَمَرَ، لاَ تُضَامُّونَ فِي رُؤْيَتِهِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ لاَ تُغْلَبُوا عَلَى صَلاَةٍ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا فَافْعَلُوا
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian -dalam riwayat lain: dengan mata telanjang-([64]) sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini. Dan kalian tidak akan saling berdesakan dalam melihat-Nya.”([65])
Akan tetapi sebagian orang mentakwil ayat ini. Mereka mengatakan bahwa maksud kata نَاظِرَةٌ adalah menunggu([66]). Sehingga menurut mereka arti dari ayat ini adalah “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, (karena) menunggu (balasan) dari Tuhannya.” Akan tetapi pendapat ini dibantah oleh para ulama di antaranya adalah Al-Qurthubi rahimahullah. Sesungguhnya tatkala seseorang telah masuk surga, tidak ada lagi yang namanya menunggu([67]). Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah Fathir,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ، جَنَّاتُ عَدْنٍ يَدْخُلُونَهَا يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar. (Mereka akan mendapat) surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya, di dalamnya mereka diberi perhiasan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah sutra.”
Kata يُحَلَّوْنَ dalam ayat ini jika dalam bahasa Arab I’robnya adalah حَالٌ yang maknanya adalah ketika mereka masuk surga, maka akan langsung terkondisikan mereka mendapat kenikmatan dengan pakaian yang indah dan perhiasan-perhiasan([68]). Tidak ada orang yang masuk surga kemudian hanya melihat-lihat terdahulu, melainkan kenikmatan itu akan langsung mereka dapatkan.
Oleh karenanya ayat ini adalah dalil yang tegas sebagaimana dikatakan oleh Imam Syafi’i dan ulama Ahlussunnah lainnya bahwasanya pada hari kiamat kelak orang-orang beriman akan melihat Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan akidah ini diselisihi oleh Mu’tazilah, mereka meyakini bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak bisa dilihat di dunia maupun di akhirat. Dan ada orang-orang di zaman sekarang yang masih berpemahaman demikian. ([69])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ بَاسِرَةٌ، تَظُنُّ أَنْ يُفْعَلَ بِهَا فَاقِرَةٌ
“Dan wajah-wajah (orang kafir) pada hari itu muram. Mereka yakin bahwa akan ditimpakan kepadanya malapetaka yang sangat dahsyat.” (QS. Al-Qiyamah : 24-25)
Jika wajah orang-orang beriman berseri-seri karena melihat wajah Allah Subhanahu wa ta’ala, maka wajah orang-orang kafir malah sebaliknya, yaitu muram. Wajah-wajah mereka seperti wajah-wajah orang yang celaka karena tidak bisa melihat wajah Allah Subhanahu wa ta’ala([70]). Dan dalam keadaan ketakutan tersebut mereka yakin bahwa mereka akan ditimpakan malapetaka yang sangat dahsyat yaitu mereka akan dilemparkan ke dalam neraka Jahannam([71]). Dan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجِيءَ يَوْمَئِذٍ بِجَهَنَّمَ يَوْمَئِذٍ يَتَذَكَّرُ الْإِنْسَانُ وَأَنَّى لَهُ الذِّكْرَى
“Dan pada hari itu diperlihatkan neraka Jahannam, pada hari itu sadarlah manusia, tetapi tidak berguna lagi baginya kesadaran itu.” (QS. Al- Fajr : 23)
إِذَا رَأَتْهُمْ مِنْ مَكَانٍ بَعِيدٍ سَمِعُوا لَهَا تَغَيُّظًا وَزَفِيرًا
“Apabila ia (neraka) melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar suaranya yang gemuruh karena marahnya.” (QS. Al-Furqan : 12)
Maka ketika telah diperlihatkan neraka terhadap orang-orang kafir, maka yakinlah mereka bahwa hari itu mereka akan binasa. ([72])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ، وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ، وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ، وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ، إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
“Tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya), ‘Siapa yang dapat menyembuhkan?’ Dan dia yakin bahwa itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dibawa.” (QS. Al-Qiyamah : 26-30)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
كَلَّا إِذَا بَلَغَتِ التَّرَاقِيَ
“Tidak! Apabila (nyawa) telah sampai ke kerongkongan.”
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang orang yang akan menghadapi sakratul maut([73]). Para ulama menyebutkan bahwa ayat ini turun kepada Abu Jahal dan teman-temannya yang sombong dan angkuh, mengingatkan bahwa suatu saat mereka akan sampai pada kondisi tersebut (sakratul maut). ([74])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ
“Dan dikatakan (kepadanya), ‘Siapa yang dapat menyembuhkan?’.”
Kata رَاقٍ di dalam ayat ini memiliki dua makna (tafsiran). Tafsiran yang pertama, رَاقٍ maksudnya adalah tabib (Ahli ruqyah). Maka ketika roh telah sampai dikerongkongan, akan dikatakan kepada mereka bahwa tabib mana yang mampu menyembuhkan kondisi tersebut. Sungguh jika Allah Subhanahu wa ta’ala sudah mencabut nyawa seseorang, maka tidak ada yang bisa menyelamatkannya, meskipun dia seorang raja, presiden, menteri, pejabat, dan status jabatan lainnya. Harta dan jabatan seseorang sekali-kali tidak dapat menunda umur sedetik pun. Kata Allah Subhanahu wa ta’ala,
الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ، كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ
“(Orang-orang) yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia (manusia) mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya. Sekali-kali tidak! Pasti dia akan dilemparkan ke dalam (neraka) Huthamah.” (QS. Al-Humazah : 2-4)
Sebanyak apa pun harta yang seseorang miliki, sungguh hal tersebut pun tidak dapat menambah umurnya meski sedetik pun.
Tafsiran yang kedua, رَاقٍ adalah mengangkat ke atas. Maksudnya adalah ayat ini merupakan perkataan malaikat. Para ulama menjelaskan bahwa orang-orang kafir tatkala rohnya hendak dicabut dari tubuhnya, roh tersebut mengeluarkan bau yang sangat menjijikkan, sehingga malaikat tidak mau mengangkat roh tersebut. Maka para malaikat akan saling tolak-menolak dan bertanya-tanya bahwa siapa yang mau mengangkat rohnya ke atas. Mungkin dzahirnya kita melihat bahwa jenazah orang-orang kafir itu rapi dan harum, akan tetapi perkara gaib yang tidak kita ketahui adalah roh mereka sangatlah bau. ([75])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَظَنَّ أَنَّهُ الْفِرَاقُ، وَالْتَفَّتِ السَّاقُ بِالسَّاقِ
“Dan dia yakin bahwa itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan).”
Kata السَّاقُ dalam bahasa Arab bisa bermakna dua, yaitu bermakna betis atau ungkapan dalam bahasa Arab untuk menunjukkan kedahsyatan kesulitan. Dari sini para ulama kemudian memberikan beberapa tafsiran. Sebagian ulama ada yang menafsirkan bahwa maksud ayat ini adalah ketika kaki telah didempetkan kaki kanan dan kiri, maka kemudian diikat dengan kain kafan. Sebagian lagi mengatakan bahwa maksud ayat ini adalah orang-orang kafir akan merasakan kesulitan dalam kesulitan, yaitu kesulitan sakratul maut bercampur dengan kesulitan di alam barzakh yang menantinya. Itulah hari yang sangat dahsyat, orang yang akan meninggal dunia sementara dia masih dalam keadaan kafir, maka dia akan merasakan kesulitan yang amat sangat. ([76])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِلَى رَبِّكَ يَوْمَئِذٍ الْمَسَاقُ
“Kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dibawa.”
Sebagian ulama menyebutkan bahwa tatkala seseorang akan meninggal dunia, maka dia akan diperlihatkan apa yang akan terjadi padanya([77]). Oleh karenanya dalam suatu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ، قَالَتْ عَائِشَةُ أَوْ بَعْضُ أَزْوَاجِهِ: إِنَّا لَنَكْرَهُ المَوْتَ، قَالَ: لَيْسَ ذَاكِ، وَلَكِنَّ المُؤْمِنَ إِذَا حَضَرَهُ المَوْتُ بُشِّرَ بِرِضْوَانِ اللَّهِ وَكَرَامَتِهِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ، فَأَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ وَأَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ، وَإِنَّ الكَافِرَ إِذَا حُضِرَ بُشِّرَ بِعَذَابِ اللَّهِ وَعُقُوبَتِهِ، فَلَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَهَ إِلَيْهِ مِمَّا أَمَامَهُ، كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ وَكَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ
“Barangsiapa mencintai perjumpaan dengan Allah, Allah juga mencintai perjumpaan dengannya, sebaliknya barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allah, Allah juga membenci perjumpaan dengannya.” ‘Aisyah atau sebagian istri beliau berkomentar Sesungguhnya kami takut terhadap kematian’. Nabi lantas bersabda: ‘Bukan begitu maksudnya, akan tetapi yang benar adalah seorang mukmin jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar gembira dengan keridhaan Allah dan karamah-Nya, sehingga tidak ada sesuatu apapun yang lebih ia cintai daripada apa yang dihadapannya (kematian), sehingga ia mencintai berjumpa Allah, dan Allah pun mencintai berjumpa kepadanya. Sebaliknya orang kafir jika kematian menjemputnya, ia diberi kabar buruk dengan siksa Allah dan hukuman-Nya, sehingga tidak ada yang lebih ia cemaskan (benci) daripada apa yang ada di hadapannya (kematian), ia membenci berjumpa Allah, sehingga Allah pun membenci berjumpa dengannya’.”([78])
Dari sini para ulama menjadikan ini sebagai dalil bahwa firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir akan berada dibawa berdasarkan aturan Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga sebelum meninggal dunia mereka akan diperlihatkan berbagai macam kondisi yang membuat dia ketakutan. ([79])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا صَدَّقَ وَلَا صَلَّى، وَلَكِنْ كَذَّبَ وَتَوَلَّى، ثُمَّ ذَهَبَ إِلَى أَهْلِهِ يَتَمَطَّى
“Karena dia (dahulu) tidak mau membenarkan (Alquran dan Rasul) dan tidak mau melaksanakan shalat, tetapi justru dia mendustakan (Rasul) dan berpaling (dari kebenaran), kemudian dia pergi kepada keluarganya dengan sombong.” (QS. Al-Qiyamah : 31-33)
Inilah sikap orang-orang kafir di dunia. Mereka selalu mendustakan Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Ketika dibacakan ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala, mereka selalu berpaling. Mereka juga tidak pernah mau shalat, serta bersikap sombong dan angkuh([80]). Maka tidak heran jika orang-orang kafir akan merasakan siksaan dan kesulitan-kesulitan sebagaimana telah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya.
Terdapat dua tafsiran ulama pada ayat ini. Pertama: orang-orang kafir mendustakan ayat-ayat Allah dan tidak mau mengerjakan shalat. Kedua: mereka mendustakan risalah yang dibawa oleh Nabi. ([81])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى، ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى
“Celakalah kamu! Maka celakalah. Sekali lagi, celakalah kamu (manusia)! Maka celakalah.” (QS. Al-Qiyamah : 34-35)
Pada ayat di atas, Allah Subhanahu wa ta’ala mengulangi kata أَوْلَى (celaka) sebanyak empat kali. Hal ini didasarkan karena pada ayat sebelumnya disebutkan bahwa orang-orang kafir memiliki empat kesalahan yaitu (1) mereka tidak membenarkan Alquran, (2) tidak melaksanakan shalat, (3) mendustakan Rasul-Nya, dan (4) berpaling([82]). Dan sebagaimana kita ketahui bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala detail dalam memberikan balasan. Jika Anda melakukan kebajikan, maka Allah Subhanahu wa ta’ala juga akan membalasnya dengan detail. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
لَا تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا، وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ
“Janganlah kamu menganggap remeh sedikit pun suatu kebaikan, walaupun hanya bermanis muka (tersenyum) kepada saudaramu (sesama muslim) ketika bertemu.”([83])
Lihatlah bahwa senyum pun akan ada balasannya dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka demikian pula dengan maksiat, Allah Subhanahu wa ta’ala akan balas sekecil apapun maksiat tersebut. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ، وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.” (QS. Al-Zalzalah : 7-8)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?” (QS. Al-Qiyamah : 36)
Terdapat empat penafsiran dalam ayat ini. Pertama: Orang-orang kafir menyangka di dunia tidak diwajibkan untuk beramal shaleh. Kedua: mereka menyangka tidak akan dibangkitkan lagi. Ketiga: Mereka menyangka bahwa di dunia tidak diperintahkan untuk beribadah atau dilarang mengerjakan maksiat. Keempat: mereka dibiarkan begitu saja tanpa di hisab dan dibalas segala perbuatannya di dunia. ([84])
Intinya mereka (orang-orang kafir) menyangka bahwa kehidupan dunia ini tidak ada pertanggungjawabannya di hari kiamat. Seakan-akan Allah menciptakan dunia ini hanyalah perkara yang sia-sia saja.
Ketahuilah bahwa jika ada orang yang menyangka bahwa mereka akan dibiarkan hidup di dunia begitu saja tanpa ada pertanggung jawaban, maka sungguh keyakinannya telah keliru (tidak benar). Bagaimana mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia kemudian membiarkannya begitu saja? Apakah antara orang zalim dan orang yang dizalimi, antara orang yang shalat dan tidak shalat, antara wanita salehah dan wanita pezina, sama saja dan akan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban? Ketahuilah bahwa jika ada seorang kepala perusahaan yang membiarkan pegawainya melakukan sesuatu kesalahan dan membiarkannya tanpa ada pertanggung jawaban, maka dia adalah kepala perusahaan yang bodoh.
Maka bagaiamana mungkin Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan kita kemudian membiarkan kita begitu saja tanpa pertanggung jawaban? Apakah mereka menyangka bahwa ketika mereka telah dimasukkan dalam kubur kemudian segala urusan akan selesai?([85])
Sesungguhnya alam kubur adalah awal dari permasalahan dan awal dari pertanggung jawaban. Maka tidaklah benar ungkapan sebagian orang yang menamakan kuburan atau kematian dengan “tempat peristirahatan terakhir”.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِنْ مَنِيٍّ يُمْنَى، ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى، فَجَعَلَ مِنْهُ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالْأُنْثَى، أَلَيْسَ ذَلِكَ بِقَادِرٍ عَلَى أَنْ يُحْيِيَ الْمَوْتَى
“Bukankah dia mulanya hanya setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian (mani itu) menjadi sesuatu yang melekat, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya, lalu Dia menjadikan darinya sepasang laki-laki dan perempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?” (QS. Al-Qiyamah : 37-40)
Apakah Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan manusia dengan berbagai prosesnya, bermula dari setetes mani, kemudian menjadi manusia hingga diberikan pasangannya, kemudian akan dibiarkan tanpa pertanggung jawaban? Sungguh tidak demikian. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menutup surah ini dengan menekankan bahwa sungguh menghidupkan orang yang telah mati itu lebih mudah -menurut logika manusia- bagi Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana mudahnya Dia menciptakan manusia dari awalnya. ([86])
______________________________________________________
([1]) Ibnu ‘Athiyyah menyebutkan bahwa surat Al-Qiyamah merupakan Makkiyyah menurut ijma’ ulama tafsir. (Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/401).
([2]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 6/412.
([3]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 24/231.
([4]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 24/211.
([5]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 24/573.
([6]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 1/156.
([7]) Lihat: Ma’aniy Al-Qur’an Li Az-Zajjaj 2/87.
([8]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 7/476.
([9]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/282.
([10]) Tafsir As-Sa’diy hal:824/896.
([11]) Ma’ani Al-Qur’an Li Al-Farra’ 3/207.
([12]) Tafsir Al-Mawardiy 6/151 dan Tafsir Al-Qurthubiy 19/93.
([13]) Tafsir Ath-Thabariy 24/49, Tafsir Ibnu Katsir 8/276 dan At-Tafsir Al-Ma’tsur 22/446.
([14]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 19/93.
([15]) Tafsir Al-Qurthubiy 19/93 dan Tafsir As-Sa’diy hal:898.
([16]) Tafsir Al-Qurthubiy 19/95.
([17]) Lihat: Tafsir Al-Lubab 19/550.
([18]) Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/402.
([19]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 4/659 dan Tafsir Al-Baghawiy 8/281.
Ibnu Qutaibah dan Az-Zajjaj berkata:
فَمَنْ قَدَرَ عَلَى جَمْعِ صِغَارِ الْعِظَامِ فَهُوَ عَلَى جَمْعِ كِبَارِهَا أَقْدَرُ
Dialah Allah, Yang mampu untuk mengumpulkan tulang yang hancur lebur, maka sangat mudah baginya untuk mengembalikan tulang -belulang manusia.( Tafsir Al-Baghawiy 8/281)
([20]) Tafsir Ath-Thabariy 24/53, Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyariy 4/660, Tafsir Al-Baghawiy 8/281, Tafsir Al-Qurthubiy 19/95 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/276.
([21]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 4/218.
([22]) Tafsir Ath-Thabariy 24/53, Tafsir Al-Baghawiy 8/281, Tafsir Al-Qurthubiy 19/95, Tafsir Ibnu Katsir 8/276, At-Tafsir Al-Ma’tsur 22/452
([23]) Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/403.
([24]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 24/54 dan Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/660.
([25]) Tafsir Al-Qurthubiy 19/95
([26]) Tafsir Ibnu Katsir 8/277 dan Tafsir As-Sa’diy hal:899.
([27]) Tafsir Ath-Thabariy 24/56 dan Tafsir Al-Qurthubiy 19/96.
([28]) Tafsir As-Sa’diy hal:899.
([29]) Tafsir Al-Lubab 19/553.
([30]) Ma’ani Al-Qur’an Li Al-Farra’ 3/209.
([31]) Tafsir Al-Mawardi 6/153 dan Tafsir Al-Baghawiy 8/282.
([32]) Tafsir Ath-Thabariy 24/60.
([33]) Tafsir Al-Qurthubiy 19/98.
([34]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/356.
([36]) Tafsir Ath-Thabariy 24/60 dan Tafsir Al-Baghawiy 8/282.
([37]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 24/60.
([38]) HR. Bukhari no. 4812 dan HR. Muslim no. 2787
([39]) Lihat: Tafsir Ath-Thabari 24/62.
([41]) Ta’wil Musykil Al-Qur’an hal:122.
([42]) Tafsir Al-Baghawiy 8/283.
([43]) Lihat: Ma’aniy Al-Qur’an Li Al-Akhfasy 2/557.
([44]) Lihat: Ma’ani Al-Qur’an Li Al-Farra’ 3/211 dan Tafsir Al-Baghawiy 8/283.
([45]) At-Tahrir wa At-Tanwir 29/348.
([46]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 24/64 dan Tafsir Al-Qurthubiy 19/101
([47]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 24/65.
([48]) HR. Bukhari no. 3 dan HR. Muslim no. 160
([49]) Tafsir Ath-Thabariy 24/65.
([51]) Tafsir Al-Baghawiy 8/284 dan Tafsir Ar-Razi 30/728.
([52]) Tafsir Ibnu Katsir 8/278.
([53]) Tafsir Ibnu Katsir 7/398.
([54]) Tafsir Ibnu Katsir 7/398.
([55]) Tafsir Ath-Thabariy 24/70.
([56]) At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibn ‘Asyur 29/351.
([57]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 19/107.
([58]) Tafsir Ar-Razi 30/730 dan Al-Qurthubiy 19/107.
([59]) Tafsir Ibnu Katsir 4/262.
([60]) Tafsir Al-Qurthubiy 8/330.
([63]) Ad-Durr Al-Mantsur 8/350.
([66]) Tafsir Al-Qurthubiy 19/110.
([67]) Tafsir Ath-Thabariy 24/72 dan Tafsir Ar-Raziy 30/731.
([68]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 14/351.
([69]) Tafsir Ar-Raziy 30/730 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibni ‘Asyur 29/355.
([70]) Tafsir Al-Baghawiy 8/285.
([71]) Tafsir Ath-Thabariy 24/74 dan At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibni ‘Asyur 29/356.
([72]) Tafsir Al-Qurthubiy 13/8 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/281.
([73]) Tafsir Al-Mawardiy 6/157 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/282.
([74]) Tafsir Al-Baghawiy 8/286.
([76]) Tafsir Ath-Thabariy 24/77 dan Tafsir Ar-Razi 30/735.
([77]) At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibni ‘Asyur 29/360.
([79]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibni ‘Asyur 29/360.
([80]) Tafsir Ath-Thabariy 24/80.
([81]) Tafsir Al-Mawardiy 6/158.
([82]) Al-Kassyaaf Li Az-Zamakhsyari 4/664.
([84]) Tafsir Al-Mawardiy 6/159.
([85]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 19/116 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/283.