Tafsir Surah Al-Muzzammil
Surah Al-Muzzammil termasuk ke dalam surah Makkiyah sebagaimana pendapat jumhur ulama([1]). Sebagian ulama yang lain seperti Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan bahwasanya surah Al-Muzzammil adalah surah Madaniyah([2]). Akan tetapi inilah khilaf di kalangan para ulama, hanya saja jumhur ulama berpendapat bahwasanya surah Al-Muzzammil termasuk surah Makkiyah karena isinya mengesankan bahwasanya ayat-ayat tersebut adalah ayat Makkiyah. Di antaranya adalah karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk bersabar dengan ucapan orang-orang musyrikin dan ayat-ayatnya berbicara tentang hari kiamat, yang ini semua mendukung pendapat bahwasanya surah Al-Muzzammil adalah surah Makkiyah.
Allah Subhanahu wa ta’ala membuka surah ini dengan berfirman,
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad).” (QS. Al-Muzzammil : 1)
Secara umum ada dua tafsiran terkait ayat ini yaitu ada yang menafsirkan secara hakiki, dan ada yang menafsirkan secara majazi. Penafsiran hakiki maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang memakai selimut. Adapun yang penafsiran majazi maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diselimuti dengan syariat, Alquran, atau kenabian. Adapun makna hakiki, jika kita bisa membawa makna ayat ini kepadanya maka ini yang lebih utama.
Dan benar-benar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berselimut. Di antaranya adalah ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ketakutan sebagaimana hadits yang menceritakan tentang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didatangi oleh malaikat Jibril. Ketika itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketakutan dan gemetar turun dari gua Hira menuju istrinya Khadijah radhiallahu ‘anha dan berkata,
زَمِّلُونِي زَمِّلُونِي، فَزَمَّلُوهُ حَتَّى ذَهَبَ عَنْهُ الرَّوْعُ
“Selimuti aku, selimuti aku!” Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya.”([3])
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits sering disebutkan tidur dalam keadaan berselimut. Maka secara dzahir ayat ini ditafsirkan dengan penafsiran hakiki, yaitu ayat ini benar-benar turun tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berselimut.
Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa panggilan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat ini ada dua penafsiran([4]).
Penafsiran pertama adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan yang sedang beliau alami adalah bentuk mulathafah, yaitu kelembutan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merupakan kebiasaan orang-orang Arab yang ingin berlemah lembut kepada seseorang, maka mereka akan memanggil orang tersebut dengan sebutkan kondisi yang sedang dia alami. Contoh lain dalam hal ini adalah kisah tatkala Fathimah radhiallahu ‘anha sedang ada masalah dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sahl bin Sa’id menceritakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَ فَاطِمَةَ فَلَمْ يَجِدْ عَلِيًّا فِي البَيْتِ، فَقَالَ: أَيْنَ ابْنُ عَمِّكِ؟ قَالَتْ: كَانَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ شَيْءٌ، فَغَاضَبَنِي، فَخَرَجَ، فَلَمْ يَقِلْ عِنْدِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِإِنْسَانٍ: انْظُرْ أَيْنَ هُوَ؟ فَجَاءَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، هُوَ فِي المَسْجِدِ رَاقِدٌ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُضْطَجِعٌ، قَدْ سَقَطَ رِدَاؤُهُ عَنْ شِقِّهِ، وَأَصَابَهُ تُرَابٌ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُهُ عَنْهُ، وَيَقُولُ: قُمْ أَبَا تُرَابٍ، قُمْ أَبَا تُرَابٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Fatimah namun Ali tidak ada di rumah. Beliau lalu bertanya: ‘Kemana putra pamanmu?’ Fatimah menjawab, ‘Antara aku dan dia terjadi sesuatu hingga dia marah kepadaku, lalu dia pergi dan tidak tidur siang di rumahku’. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang: ‘Carilah, dimana dia’. Kemudian orang itu kembali dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur’. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya, ketika itu Ali sedang berbaring sementara kain selendangnya jatuh di sisinya hingga ia terkena pasir. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membersihkannya seraya berkata, ‘Bangunlah wahai Abu Thurab, banugnlah Abu Thurab’.”([5])
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memanggil Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dengan kondisinya saat itu yang penuh dengan pasir, beliau memanggilnya dengan sebutan “Bangunlah Wahai Abu Thurab”.
Demikian pula dalam suatu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggil Hudzaifah radhiallahu ‘anhu dengan berkata,
قُمْ يَا نَوْمَانُ
“Bangunlah wahai orang yang sedang tidur.”([6])
Oleh karenanya ayat ini menunjukkan bahwa tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala ingin memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perintah yang berat, yaitu wajibnya shalat malam, maka Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kelembutan dengan mengatakan,
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad).”
Penafsiran kedua adalah ayat ini sebagai peringatan. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil dengan menyebutkan sifat “Wahai orang-orang yang berselimut”, maka panggilan ini juga bisa berlaku bagi orang selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu umatnya yang berselimut untuk bangun shalat malam. Karena ayat ini secara dzahir tidak mengkhususkan penyebutan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan kepada manusia secara umumnya. Oleh karenanya bagi siapapun yang tidur berselimut hendaknya mengingat ayat ini, karena Nabi kita pernah berselimut dan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk bangun shalat malam([7]).
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا، نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا، أَوْ زِدْ عَلَيْهِ
“Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, separuhnya atau kurang sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu.” (QS. Al-Muzzammil : 2)
Jika sekiranya waktu antara shalat isya dan subuh adalah delapan jam, maka ayat menjelaskan kepada kita bahwa kita diperintahkan shalat malam kurang lebih enam jam (lebih sedikit dari sepenuhnya), atau empat jam (setengahnya), atau tiga jam (lebih sedikit dari setengah), atau lima jam (lebih dari setengahnya). Intinya adalah ayat ini merupakan dalil diperintahkannya shalat malam.
Sebagian ulama kontemporer menamakan surah Al-Muzzammil ini adalah surah زَادُ الدَّاعِيَةِ (bekal seorang Da’i). Karena ayat-ayat ini turun di awal-awal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah, dimana di siang hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berdakwah menghadapi berbagai macam cobaan dan gangguan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus memulihkan kembali imannya di malam hari. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan beliau untuk shalat dengan lama, karena untuk “mencharger” iman juga membutuhkan waktu yang lama, agar di siang hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mudah berbagai macam problematika kehidupan dan dakwah. Maka orang yang ingin dimudahkan urusannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka sisihkanlah waktu untuk bangun malam dan bermunajat kepada Rabb-Nya. Barangsiapa yang merelakan dirinya untuk melawan kantuk dan rasa nikmat dari tidurnya karena Allah Subhanahu wa ta’ala, maka tentu usahanya akan menjadi perhatian Allah Subhanahu wa ta’ala, terlebih lagi jika dia bermunajat di sepertiga malam yang terakhir.
Berdasarkan ayat ini, sebagian para ulama berdalil bahwasanya yang menjadi patokan seseorang dalam shalat malam bukanlah jumlah rakaat, melainkan adalah berapa lama seseorang shalat malam. Karena para ulama telah Ijma’ bahwasanya shalat malam boleh lebih dari 11 rakaat, dan ini juga merupakan pendapat yang dipraktikan sebagian sahabat dan tabi’in, dan juga pendapat empat imam mazhab, dan tidaklah menyelisihi hal ini kecuali ulama muta’akhirin seperti Ash-Shan’ani yang mengatakan bahwa barangsiapa yang melanggengkan shalat tarawih 20 rakaat maka itu adalah bid’ah. Akan tetapi sebenarnya shalat malam lebih dari sebelas rakaat adalah boleh menurut ijma’ para ulama, dan banyak tulisan dalam masalah ini, karena yang menjadi patokan seseorang dalam ibadah di malam hari adalah waktunya dan bukan jumlah rakaatnya sebagaimana dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang masalah waktu. Oleh karenanya dalam suatu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ، كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ، وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُومُ يَوْمًا، وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Shalat yang paling Allah cintai adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihissalam. Nabi Daud ‘alaihissalam tidur hingga pertengahan malam lalu shalat pada sepertiganya kemudian tidur kembali pada seperenam akhir malamnya.” (Muttafaqun ‘alaih)([8])
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga memuji orang-orang bertakwa dalam firman-Nya,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam.” (QS. Adz-Dzariyat : 17)
Maka yang menjadi patokan adalah waktunya dan bukan masalah jumlah rakaat. Oleh karenanya dahulu para salaf berusaha untuk shalat malam dengan waktu yang lama. Adapun untuk mencapai shalat malam yang lama ini, bisa ditempuh dengan dua metode, yaitu mempersedikit rakaat dan memperpanjang berdiri sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dengan memperpendek berdiri dan memperbanyak rakaat sebagaimana yang diterapakn oleh para salaf. Adapun metode yang tepat bagi seseorang maka kembali kepada orang tersebut, yang terpenting adalah waktu habis dengan shalat.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil : 4)
Membaca Alquran dengan tartil bisa memberikan faedah yang sangat besar, di antaranya adalah bisa membuat seseorang derajatnya naik di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ: اقْرَأْ، وَارْتَقِ، وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا، فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
“Dikatakan kepada Shahibul Quran: ‘Bacalah, dan naiklah, serta bacalah dengan tartil (jangan terburu-buru), sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia, sesungguhnya tempatmu adalah pada akhir ayat yang engkau baca’.”([9])
Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang harus menghafalkan Alquran untuk bisa mendapatkan keutamaan tersebut, akan tetapi ketika disebutkan Shahibul Quran, maka ini menunjukkan bahwa orang tersebut senantiasa membaca Alquran. Namun tentu tidak diragukan orang yang hafal al-Qur’an tentu akan selalu mengulang-ngulangi bacaannya untuk menjaga hafalannya.
Apa yang dimaksud dengan tartil? Kalau kita membaca penafsiran para salaf, maka tartil akan kembali kepada makna yang paling utama yaitu membaca dengan perlahan dan dengan tadabur([10]). Adapun membaca perlahan itu sudah pasti akan memudahkan seseorang untuk menadaburi. Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah melewati seorang laki-laki yang sedang membaca suatu ayat, kemudian orang tersebut menangis. Maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya,
أَلَم تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا هَذَا التَّرْتِيلُ
“Apakah Kalian belum mendengar firman Allah ﷻ : “Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil” ?, inilah yang namanya tartil”([11])
Demikian pula Ad-Dahhak berkata,
إِقْرَأْ حَرْفًا
“Bacalah huruf demi huruf (pelan-pelan).”([12])
Mujahid juga berkata,
أَحَبُّ النَّاسِ فِي الْقِرَاءَةِ إِلَى اللهِ أَعْقَلُهُمْ عَنْهُ
“Orang yang paling dicintai oleh Allah dalam membaca Alquran adalah yang paling mengerti apa yang dibaca”([13]).
Ini menunjukkan bahwa makna tartil kembali kepada tadabur. Dan di antara sarana agar seseorang bisa tadabur adalah membaca dengan pelan-pelan.
Oleh karenanya Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsrinya tatkala menyebutkan tartil, beliau membawakan dua makna yaitu memahami maknanya dan dibaca dengan tajwid yang indah([14]), sehingga jika digabungkan keduanya maka itulah yang disebut sebagai tartil dan Ibnu Katsir rahimahullah membawakan beberapa dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya,
زَيِّنوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ
“Hiasilah Al Qur`an dengan suara kalian.”([15])
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan Alquran.”([16])
Dan tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar bacaan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, maka beliau berkata,
لَقَدْ أُوتِيَ هذا مِزْمَاٌر مِنْ مَزَامِيرِ آلِ دَاوُدَ
“Sesungguhnya orang ini telah dianugerahi suara yang indah seperti suara keluarga Daud.”([17])
Maka agar seseorang bisa membaca Alquran dengan tartil, maka dia berusaha untuk membaca dengan pelan dan suara yang indah yang disertai dengan tajwid dan tadabur. Dan orang yang membaca dengan tartillah yang akan menaikkan dirinya derajat demi derajat. Dan bukanlah tartil itu yang membaca dengan cepat untuk memenuhi target tertentu. Karena sebagaimana perkataan Fudhail bin ‘Iyadh,
إِنَّمَا نَزَلَ الْقُرْآنُ لِيُعْمَلَ بِهِ فَاتَّخَذَ النَّاسُ قِرَاءَتَهُ عَمَلًا
“Sesungguhnya Alquran diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan membacanya sebagai amalannya.”([18])
Maka untuk bisa mengamalkan, maka harus dibaca terlebih dahulu, kemudian memahami, lalu bisa mengamalkan. Oleh karenanya tadabur adalah perpaduan antara bacaan dan memahami. Setelah seseorang sudah sampai pada derajat tadabur, setelah itu baru bisa mengamalkan apa yang dia baca. Maka sembari kita semangat membaca Alquran, maka jangan lupa kita sisihkan waktu untuk membaca tafsir, karena itu akan membantu kita agar bisa khusyuk dalam shalat.
Ayat ini juga menjadi dalil akan keutamaan membaca Alquran di malam hari, terutama dalam shalat.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا
“Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu.” (QS. Al-Muzzammil : 5)
Sepakat para Ahli Tafsir dengan berbagai macam pendapat mereka, yang dimaksud dengan قَوْلًا ثَقِيلًا adalah ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala (Alquran). Hanya saja para ulama khilaf tentang apa maksud Alquran dikatakan berat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwasanya dzahirnya Alquran jika diturunkan sungguh sangat berat. Oleh karenanya ketika Alquran diturunkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercucuran keringat seperti orang yang di fashdu([19]) padahal sedang musim dingin([20]). Demikian pula ketika ayat turun di saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang naik unta, maka unta tersebut langsung duduk sampai-sampai lehernya pun menempel di tanah tanpa bergerak sedikitpun karena saking beratnya Alquran yang turun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam([21]). Demikianlah pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersandar kepada seseorang ketika suatu ayat turun, dan orang yang disandari oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa sangat berat dengan sandaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam([22]). Oleh karenanya sebagian para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud Alquran itu berat adalah karena Alquran ketika turun merupakan perkara yang berat bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ayat ini merupakan peringatan agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiap-siap dengan melakukan shalat malam untuk menguatkan beliau.
Sebagian Ahli Tafsir yang lain berpendapat bahwasanya Alquran itu sangat berat di timbangan pada hari akhir. Sebagian yang lain mengatakan bahwasanya Alquran itu berat bagi orang-orang munafik dan orang-orang kafir, yaitu berat bagi mereka untuk membacanya, berat bagi mereka untuk memahaminya. Sebagian Ahli Tafsir yang lain menyebutkan bahwa Alquran itu berat maksudnya adalah hukumnya berat, yaitu menjalankan perintah di dalam Alquran adalah berat dan tidak mudah([23]).
Adapun Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud Alquran itu berat adalah kandungannya sangat dalam, sehingga perlu konsentrasi tinggi dalam mendengarkannya agar bisa menyerap maknanya([24]). Wallahu a’lam bishshawwab, inilah yang merupakan pendapat yang paling tepat. Oleh karenanya tatkala ada seseorang yang datang kepada Imam Malik dan bertanya terkait masalah agama, ternyata Imam Malik tidak bisa menjawab. Dari 100 pertanyaan, beliau hanya menjawab beberapa pertanyaan saja. Akhirnya ada seseorang yang datang dan bertanya dengan berkata ‘Ini masalah yang ringan’, maka beliau marah dan berkata,
مَسْأَلةٌ خَفِيفَةٌ سَهْلَةٌ!! لَيْسَ فِي العِلْمِ شَيْءٌ خَفِيْفٌ، أَمَا سَمِعتَ قَوْلَ اللهِ تعالى: إنَّا سَنُلْقِي عَلَيكَ قولاً ثَقيلاً، فَالعِلمُ كُلُّه ثقِيلٌ، وخَاصةً مَا يُسأَل عَنهُ يومَ القِيامةِ
“Bagaimana masalah tersebut ringan dan mudah? Tidak ada ilmu yang ringan. Tidakkah Anda mendengar firman Allah ta’ala ‘Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat’ (QS. Al-Muzzammil : 5). Semua ilmu adalah berat, khususnya yang akan ditanya pada hari kiamat.”([25])
Oleh karenanya Ibnul Qayyim juga memiliki buku berjudul I’laamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin. Buku ini menunjukkan bahwasanya orang yang berfatwa itu mewakili Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga tidak sembarang orang bisa berbicara mengenai agama. Oleh karenanya Imam Malik membacakan firman Allah ini untuk menunjukkan bahwasanya Alquran itu berat kandungannya, maknanya, dan berat pula tanggung jawabnya. Maka inilah pendapat yang benar bahwasanya maksud Alquran itu berat adalah kandungannya dalam dan berat.
Adapun syariat Islam tidak berat. Karena syariat Islam bisa dikerjakan oleh hamba-hamba Allah Subhanahu wa ta’ala. Terlebih lagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
“Aku diutus dengan membawa agama lurus yang mudah.”([26])
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj : 78)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa), dan (bacaan pada waktu itu) lebih berkesan.” (QS. Al-Muzzammil : 6)
Secara umum ada dua tafsiran tentang نَاشِئَةَ اللَّيْلِ. Tafsiran pertama, نَاشِئَةَ اللَّيْلِ adalah waktu-waktu malam seluruhnya([27]). Adapun tafsiran kedua, نَاشِئَةَ اللَّيْلِ adalah kondisi dimana seseorang bangun malam setelah tidur terlebih dahulu, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah([28]).
Maksud ayat ini adalah bacaan Alquran di malam hari itu lebih mengena. Antara lisan dan hati cenderung cocok, sehingga orang akan lebih mudah memahami dan lebih konsentrasi tatkala Alquran dibaca di malam hari. Hal tersebut dikarenakan pada malam seseorang telah tenang dan terlepas dari pernak-pernik kesibukan dunia. Sehingga ketika dia istirahat, kemudian dia bangun dari istirahatnya, maka dia bisa konsentrasi terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa para ulama menyebutkan bahwa membaca Alquran di malam hari memiliki keutamaan tersendiri, maka ayat ini adalah dalilnya. Terlebih lagi dalam suatu hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، يَقُولُ الصِّيَامُ: أَيْ رَبِّ، مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، وَيَقُولُ الْقُرْآنُ: مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ، فَشَفِّعْنِي فِيهِ، قَالَ: فَيُشَفَّعَانِ
“Puasa dan Alquran kelak pada hari kiamat akan memberi syafaat kepada seorang hamba. Puasa berkata, ‘Wahai Rabb, aku telah menahannya dari makanan dan nafsu syahwat di siang hari, maka izinkahlah aku memberi syafaat kepadanya’. Dan Al Qur’an berkata. ‘Aku telah menahannya dari tidur di malam hari, maka izinkanlah aku memberi syafaat kepadanya’. Beliau melanjutkan sabdanya, ‘Maka mereka (puasa dan Alquran) memberi syafaat kepadanya.”([29])
Diantara keutamaan membaca Alquran di malam hari adalah lebih mudah untuk ditadaburi dan lebih menyatukan antara lisan dan hati. Dan keutamaan ini lebih mudah untuk dicapai ketika Alquran di baca dalam shalat di malam hari. Oleh karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan bahwa Alquran paling afdhal (utama) dibaca tatkala sedang shalat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-Muzzammil ini.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ لَكَ فِي النَّهَارِ سَبْحًا طَوِيلًا
“Sesungguhnya pada siang hari engkau memiliki waktu yang panjang (sehingga engkau bisa menunaikan hajatmu).” (QS. Al-Muzzammil : 7)
Ada beberapa penafsiran dari kata سَبْحًا طَوِيلًا. Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki waktu yang panjang di siang hari untuk menyelesaikan hajat-hajat, sehingga malam hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah waktu untuk Allah Subhanahu wa ta’ala (shalat malam)([30]). Sebagian yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki waktu di siang hari untuk tidur setelah di malam hari beliau begadang untuk shalat malam([31]).
Maka siang memiliki waktu yang panjang untuk mengurus segala hajat, sehingga di malam hari kita bisa menyisihkan waktu untuk berkhalwat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
“Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati.” (QS. Al-Muzzammil : 8)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ
“Dan sebutlah nama Tuhanmu.”
Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud firman Allah ini adalah,
ادْعُهُ بِأَسْمَائِهِ الْحُسْنَى
“Berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah.”([32])
Sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa maksudnya adalah jangan lupa untuk membaca basmalah di awal hendak shalat agar mendapatkan pertolongan dan kemudahan. Sebagian yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah shalatlah karena Allah Subhanahu wa ta’ala (ikhlas). Ini semua adalah penafsiran para ulama tentang ayat ini([33]).
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala
وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا
“Dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati.”
تَبَتَّلْ maknanya adalah,
الِانْقِطَاعُ إِلَى عِبَادَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Memutuskan segala hubungan menuju ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”([34])
Sehingga makna ayat ini adalah memutuskan diri dari perkara-perkara lain yang menyibukkan seseorang agar bisa konsentrasi terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala (dalam shalat). Oleh karenanya ini adalah perintah dari Allah Subhanahu wa ta’ala bahwasanya tatkala seseorang sedang shalat malam, maka dia harus benar-benar memutuskan dirinya dengan dunia, kemudian dia sambung kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena urusan dunia bisa menyibukkan diri sehingga tidak bisa fokus kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ibnul ‘Arabi berkata tentang ayat ini,
وَأَمَّا الْيَوْمُ وَقَدْ مَرِجَتْ عُهُودُ النَّاسِ، وَخَفَّتْ أَمَانَاتُهُمْ، وَاسْتَوْلَى الْحَرَامُ عَلَى الْحُطَامِ، فَالْعُزْلَةُ خَيْرٌ مِنَ الخلطة
“Adapun pada hari ini orang-orang masih mengambil janji, sedangkan amanah mereka telah hilang. Ketika hal-hal kecil telah diliputi oleh perkara-perkara yang haram, maka menyendiri lebih baik daripada bercampur (dengan banyak orang).”([35])
Ibnul ‘Arabi menafsirkan bahwa maksud وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا adalah seseorang berusaha untuk fokus kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau menceritakan kondisinya pada abad ke-6 bahwa telah jarang orang yang amanah, perkara yang haram telah beredar di mana-mana. Maka beliau menyarankan bahwa menyendiri lebih baik daripada bercampur dengan banyak orang.
Kalau seseorang bisa fokus beribadah kepada Allah tanpa melalaikan kewajiban-kewajibannya, tanpa melalaikan hak-hak orang lain maka itulah yang terbaik. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sebuah hadits,
يُوشِكُ أَنْ يَكُونَ خَيْرَ مَالِ المُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَا شَعَفَ الجِبَالِ وَمَوَاقِعَ القَطْرِ، يَفِرُّ بِدِينِهِ مِنَ الفِتَنِ
“Hampir saja terjadi (suatu zaman) di mana harta terbaik seorang muslim adalah kambing yang digembalakannya di puncak gunung dan tempat-tempat terpencil, dia pergi menghindar membawa agamanya disebabkan takut terkena fitnah.”([36])
Ada zaman dimana kita dikelilingi dengan fitnah. Maka jika kita bisa terlepas dari fitnah-fitnah tersebut meskipun dengan menyendiri dan tanpa melalaikan kewajiban kita, maka itu adalah lebih baik. Intinya adalah jangan terlalu banyak pergaulan jika manfaatnya kurang dan jangan terlalu sibuk dengan urusan orang lain, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.”([37])
Maka selama suatu hal tidak ada hubungannya dengan diri kita, maka hendaknya kita menjauh. Lebih baik kita tidak tahu daripada tahu namun terkena fitnah dan berbagai macam problematika, sehingga waktu kita habis dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
رَبُّ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ فَاتَّخِذْهُ وَكِيلًا
“(Dialah) Tuhan timur dan barat, tidak ada Tuhan selain Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung (bertawaklah kepada-Nya).” (QS. Al-Muzzammil : 9)
Maksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini adalah,
هُوَ الْمَالِكُ الْمُتَصَرِّفُ فِي الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Allah-lah yang mengatur segala urusan di timur maupun di barat, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia.”([38])
Allah-lah yang mengatur segala yang ada di alam semesta ini. Kalau seseorang tahu bahwa hanya Allah yang mengatur segala urusan di alam semesta ini, maka tidaklah dia beribadah kecuali hanya kepada Allah. Dan jika dia tidak beribadah kecuali kepada Allah, maka bertawakallah kepada Allah.
Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhususkan penyebutan tawakal karena tawakal adalah ibadah yang sangat mulia. Sampai-sampai tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan tentang tujuh puluh ribu golongan orang yang masuk surga tanpa azab dan tanpa hisab, ciri mereka yang utama adalah tawakal. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapa orang tersebut, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هُمُ الَّذِينَ لاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَلاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah bertathayyur, tidak pernah meminta untuk diruqyah dan tidak mau menggunakan Kay (pengobatan dengan besi panas), dan kepada Tuhan merekalah mereka bertawakal.”([39])
Kata para ulama, sifat yang ke-empat yaitu mereka bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala adalah kesimpulan yang menggabungkan tiga sifat yang pertama. Tidak minta untuk diruqyah, tidak meminta disembuhkan dengan kay, dan tidak bertathayyur adalah karena tawakal yang tinggi. Maka dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggabungkan ibadah hati yang sangat mulia yaitu bertawakal hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِ
“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud : 123)
Tatkala kita telah bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka pasti hati kita akan menjadi tenang. Oleh karenanya di antara kalimat dzikir pagi petang yang diajarkan kepada kita adalah,
يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ، أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرَفَةَ عَيْنٍ
“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau serahkan aku pada diriku walau sekejap mata.”([40])
Maka tatkala kita tawakal kepada dunia atau manusia, maka sungguh kita telah menjadikan pegangan kita pada tempat yang sangat lemah dan rapuh. Maka jika kita ingin memiliki tempat berpegang yang kuat, maka bertawakallah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dunia hanyalah sebab, yang pertama yang harus kita pasang adalah hati yang bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dalam segala hal. Bahkan dalam beribadah pun seseorang harus bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena belum tentu seseorang bisa menjamin dirinya bisa khusyuk dalam shalat jika hanya mengandalkan ilmu dan sifat yang dimilikinya. Oleh karenanya kita meminta (tawakal) kepada Allah kekhusyukan dalam shalat. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengatakan,
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ، الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ، وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ
“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat), dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud.” (QS. Asy-Syu’ara : 217-219)
Tawakal bukan hanya pada perkara dunia, akan tetapi dalam beribadah pun kita harus bertawakal seperti shalat, puasa, atau haji. Oleh karenanya tawakal adalah ibadah yang sangat spesial sehingga disebutkan secara khusus dalam ayat ini. Dan ayat yang sering kita baca dalam shalat,
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)
Maksudnya adalah kita mengakui bahwa hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala lah kita bertawakal.
Sekarang ini banyak di antara kita yang hilang atau kurang tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Banyak para pegawai yang bertawakal kepada pimpinan mereka, bahkan sebagian orang bertawakal pada apa-apa yang dia pilih untuk dirinya. Ketahuilah bahwa tatkala seseorang bertawakal kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala (dunia), maka dia akan mendapatkan kehinaan. Maka apapun kegiatan yang kita lakukan, yang pertama harus kita lakukan adalah bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita berdoa setiap kali keluar rumah dengan berkata,
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
“Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah.”([41])
Setiap kali seseorang keluar dari rumahnya, maka akan ada banyak kegiatan yang dihadapi, sehingga tawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala itu diperlukan.
Tawakal sejatinya adalah ibadah yang tidak dilihat oleh orang lain, namun memiliki nilai yang sangat tinggi di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun tawakal itu diucapkan atau tidak, Allah Subhanahu wa ta’ala Maha tahu isi hati kita, apakah kita tawakal atau tidak. Oleh karenanya dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa jika Allah pemilik dan pengatur timur dan barat, maka jangan sampai salah bertawakal. Bertawakallah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengurus seluruh alam semesta dan yang menentukan segala keputusan.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَاهْجُرْهُمْ هَجْرًا جَمِيلًا
“Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzammil : 10)
Ayat ini adalah dalil yang menguatkan bahwasanya surah Al-Muzzammil adalah surah Makkiyah. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar atas perkataan orang-orang kafir. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak dicerca dan dimaki tatkala beliau masih di Mekkah. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dituduh sebagai dukun, penyihir, orang yang tersihir, pendusta, orang yang keluar dari ajaran nenek moyangnya, pemutus silaturahim, orang gila, dan tuduhan-tuduhan buruk lainnya disematkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ayat ini Allah turunkan untuk mengajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar terhadap berbagai tuduhan dan cercaan orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa ta’ala juga mengingatkan dalam ayat ini bahwa tidak perlu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas perbuatan-perbuatan buruk orang-orang kafir tersebut. Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap acuh tak acuh dengan sikap mereka dan terus melanjutkan dakwahnya.
Dan hal ini juga perlu untuk diperhatikan oleh para da’i. Bahwa tidak semua orang yang menjelek-jelekkan kita atau menjatuhkan kita harus kita tanggapi. Seharusnya kita bersikap tak acuh terhadap mereka. Karena orang-orang yang suka menjatuhkan orang lain itu akan terus ada selama Iblis masih hidup. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ وَكَفَى بِرَبِّكَ هَادِيًا وَنَصِيرًا
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi musuh dari orang-orang yang berdosa. Tetapi cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al-Furqan : 31)
Kalau para Nabi yang sangat mulia Allah siapkan bagi mereka musuh, maka demikian pula Allah Subhanahu wa ta’ala telah menyiapkan musuh bagi pengikutnya. Maka jangan kita bermimpi bahwa kita berdakwah memperjuangkan Islam tanpa ada musuh, sungguh hal tersebut adalah hal yang mustahil. Akan tetapi di antara cara menyikapi musuh-musuh tersebut adalah tidak memperdulikan perbuatan mereka terhadap kita.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَذَرْنِي وَالْمُكَذِّبِينَ أُولِي النَّعْمَةِ وَمَهِّلْهُمْ قَلِيلًا
“Dan biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan, yang memiliki segala kenikmatan hidup, dan berilah mereka penangguhan sebentar.” (QS. Al-Muzzammil : 11)
Yang dimaksud dengan أُولِي النَّعْمَةِ dalam ayat ini di antaranya mereka adalah para pembesar-pembesar Quraisy seperti Al-Walid Ibnul Mughirah dari Bani Makhzum, Abu Jahal dan saudara-saudaranya. Yang dimaksud juga adalah orang-orang kaya lagi sombong yang memiliki kedudukan di kota Mekah([42]). Dan Allah Subhanahu wa ta’ala meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menangguhkan mereka dan menyerahkan mereka menjadi urusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Para ulama mengatakan bahwa mereka akhirnya meninggal dalam perang Badr. Lihatlah kesabaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menunggu dengan waktu yang cukup lama, kurang lebih lima belas tahun untuk menanti orang-orang kafir binasa sesuai janji Allah Subhanahu wa ta’ala.
Maka tatkala kita disakiti oleh seseorang, seharusnya kita ridha terhadap mereka dengan menyerahkan mereka kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Yakinlah bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala punya cara untuk mengurusi orang-orang yang demikian.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ لَدَيْنَا أَنْكَالًا وَجَحِيمًا، وَطَعَامًا ذَا غُصَّةٍ وَعَذَابًا أَلِيمًا، يَوْمَ تَرْجُفُ الْأَرْضُ وَالْجِبَالُ وَكَانَتِ الْجِبَالُ كَثِيبًا مَهِيلًا
“Sungguh, di sisi Kami ada belenggu-belenggu (yang berat) dan neraka yang menyala-nyala, dan (ada) makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih, (yaitu) pada hari (ketika) bumi dan gunung-gunung berguncang keras, dan menjadilah gunung-gunung itu seperti onggokan pasir yang dicurahkan” (QS. Al-Muzzammil : 12)
Ayat ini merupakan janji Allah Subhanahu wa ta’ala jika mereka orang-orang kafir Quraisy tidak mendapatkan azab di dunia, mereka pasti akan mendapatkan azab di akhirat. Terkadang ada di antara kita yang merasa sudah tidak kuat dalam menghadapi orang-orang yang zalim karena mereka tetap eksis dalam kehidupan ini. Sebut saja Fir’aun yang hidup dalam kezaliman dalam waktu yang lama. Disebutkan dalam sebagian literatur bahwa usianya sangat panjang([43]). Karena usianya panjang dan belum meninggal itulah yang membuat dia mengira bahwa dia adalah Tuhan. Kalau bukan karena mengejar Nabi Musa ‘alaihissalam dan pengikutnya, maka mungkin dia akan eksis terus di Mesir. Sampai suatu ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalam yang kabur untuk memberikan kebinasaan bagi Fir’aun. Demikian pula kisah Ashabul Kahfi yang kabur ke dalam gua dan tidur selama tiga ratus tahun lebih lamanya. Setelah tiga ratus tahun lebih barulah runtuh kesyirikan di negeri mereka.
Sungguh kezaliman itu akan hilang, hanya saja bisa berlangsung lama untuk mencapainya. Dan betapa banyak orang yang zalim dibiarkan hidup tanpa azab agar Allah Subhanahu wa ta’ala membalas mereka di akhirat. Oleh karenanya ayat ini menerangkan bahwa jika orang-orang zalim tidak mendapatkan azab di dunia, maka mereka pasti akan mendapatkan azab di akhirat.
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.” (QS. Ibrahim : 42)
Maka bukan berarti jika Allah Subhanahu wa ta’ala tidak balas perbuatan di dunia menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala lupa dengan perbuatan mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala ingat dengan perbuatan mereka, hanya saja Allah tunda hukuman bagi mereka hingga hari kiamat. Oleh karenanya bukan menjadi syarat bahwa orang zalim itu harus gugur di dunia. Yang terpenting adalah bagaimana sikap kita dalam menghadapi kezaliman tersebut.
Sungguh azab di dunia bagi orang-orang zalim itu kecil. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menangguhkan mereka untuk mendapatkan azab yang lebih berat di hari kiamat kelak. Dan ayat ini menjelaskan bahwa kelak mereka akan diberi azab berupa belenggu-belenggu di neraka jahannam dan makanan berduri yang makanan tersebut akan tersangkut di leher dan membuat mereka tersedak. Kalau di dunia tersedak tulang ikan saja sudah tidak mengenakkan, maka bagaimana lagi dengan makanan penghuni neraka jahannam? Dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa bagi mereka ada lagi azab yang lebih pedih dari itu.
Kapan mereka akan diberikan azab tersebut? Yaitu ketika hari kiamat telah tiba, yaitu ketika gunung-gunung batu yang sebelumnya kokoh berguncang dan menjadi debu yang berterbangan. Maka pada saat itulah orang-orang para pendusta akan disiksa oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا أَرْسَلْنَا إِلَيْكُمْ رَسُولًا شَاهِدًا عَلَيْكُمْ كَمَا أَرْسَلْنَا إِلَى فِرْعَوْنَ رَسُولًا، فَعَصَى فِرْعَوْنُ الرَّسُولَ فَأَخَذْنَاهُ أَخْذًا وَبِيلًا
“Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul (Muhammad) kepada kamu, yang menjadi saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul kepada Fir‘aun. Namun Fir‘aun mendurhakai Rasul itu, maka Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” (QS. Al-Muzzammil : 15)
Mengapa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan perumpamaan kisah Fir’aun kepada orang-orang kafir? Itu disebabkan karena berita dibenamkannya Fir’aun di laut merah diketahui oleh orang-orang kafir Quraisy. Maka dengan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan orang-orang kafir Quraisy bahwa Allah telah mengutus seorang rasul kepada Fir’aun. Maka demikian pula Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus kepada mereka seorang rasul yaitu Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan agar mereka tidak ikut mendustakan rasul yang diutus kepada mereka, agar jangan sampai mereka mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ternyata orang-orang kafir Quraisy tetap mendustakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وَأَنْتُمْ أَوْلَى بِالْهَلَاكِ وَالدَّمَارِ إِنْ كَذَّبْتُمْ؛ لِأَنَّ رَسُولَكُمْ أَشْرَفُ وَأَعْظَمُ مِنْ مُوسَى بْنِ عِمْرَانَ
“Dan kalian (orang-orang kafir Quraisy) lebih utama untuk mendapat kebinasaan dan kehancuran bila mendustakan rasul kalian, karena rasul kalian adalah rasul yang paling mulia dan lebih besar daripada Musa ibnu Imran.”([44])
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَكَيْفَ تَتَّقُونَ إِنْ كَفَرْتُمْ يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا، السَّمَاءُ مُنْفَطِرٌ بِهِ كَانَ وَعْدُهُ مَفْعُولًا، إِنَّ هَذِهِ تَذْكِرَةٌ فَمَنْ شَاءَ اتَّخَذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيلًا
“Lalu bagaimanakah kamu akan dapat menjaga dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban. Langit terbelah pada hari itu. Janji Allah pasti terlaksana. Sungguh, ini adalah peringatan. Barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil jalan (yang lurus) kepada Tuhannya.” (QS. Al-Muzzammil : 17-19)
Hari kiamat adalah hari yang sangat dahsyat, sampai-sampai anak-anak tiba-tiba menjadi beruban. Tentang firman Allah Subhanahu wa ta’ala يَوْمًا يَجْعَلُ الْوِلْدَانَ شِيبًا, ada dua makna tentang ayat ini, yaitu makna hakiki dan makna majazi. Makna hakiki artinya adalah anak-anak yang mendapati hari kiamat, kondisinya memang beruban. Makna majazi artinya jika ada anak-anak yang mendapati hari kiamat, maka rambutnya menjadi uban karena saking takutnya([45]).
Demikianlah hari kiamat, saking dahsyatnya pun sampai-sampai langit akan terbelah pada hari itu. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pilihan, barangsiapa yang mau mengambil jalan menuju Allah, maka dipersilahkan. Dan barangsiapa yang enggan untuk bertaubat maka tidak mengapa bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an; Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzzammil : 20)
Disebutkan oleh para ulama bahwasanya ayat ini memansukhkan ayat-ayat di awal surah,
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ، قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا
“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.” (QS. Al-Muzzammil : 1-2)
Para ulama menyebutkan bahwa sejak turunnya ayat di awal surah Al-Muzzammil ini, maka sejak saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib untuk melaksanakan shalat malam. Ada khilaf di kalangan para ulama tentang apakah shalat malam juga diwajibkan kepada umat atau hanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang menyebutkan bahwa kewajiban itu hanya berlaku kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya saja para sahabat ikut shalat bersama beliau. Ada pula yang berpendapat bahwa wajib bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga umatnya untuk shalat berjam-jam. Adapun berapa lama shalat malam diwajibkan, ada sebuah hadits yang menyebutkan bahwa hal itu berlangsung selama satu tahun, dan adapula riwayat yang menyebutkan selama enam belas bulan. Dan bahkan ada yang menyebutkan hal itu diwajibkan selama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah yaitu sekitar sepuluh tahun. Ini semua menunjukkan bahwa ibadah shalat malam adalah ibadah yang mendapatkan perhatian yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأَبُ الصَّالِحِينَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمَكْفَرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، وَمَنْهَاةٌ لِلإِثْمِ
“Hendaknya kalian melakukan shalat malam karena itu adalah kebiasan orang-orang saleh sebelum kalian, dan mendekatkan kepada Tuhan kalian, menghapus keburukan, serta mencegah dosa.”([46])
Tatkala shalat malam diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, para sahabat merasa berat untuk shalat berjam-jam setiap hari. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat terakhir dari surah Al-Muzzammil ini untuk memansukhkan hukum awal, sehingga yang sebelumnya wajib menjadi sunnah. Akan tetapi ada khilaf di kalangan para ulama bahwa shalat malam tetap wajib bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadi sunnah bagi para umat beliau.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu.”
Ini merupakan dalil bahwasanya shalat malam juga dikerjakan oleh para sahabat yang lain.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia menerima taubat kalian (memberi keringanan kepada kalian), karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”
Ini menunjukkan bahwa hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang tahu apakah setengah atau sepertiga malam telah lewat. Dan dahulu para sahabat hanya mengira-ngira berapa lama mereka shalat malam. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tahu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat tidak mampu untuk terus-terusan shalat lebih dari setengah malam setiap harinya. Maka ayat ini memansukhkan hukum sebelumnya yang mengharuskan shalat hingga kurang lebih setengah malam menjadi semampu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Oleh karenanya pada saat ini kita dapati bahwa shalat malam jika dikerjakan setengah jam tidak menjadi masalah, bahkan jika hanya satu rakaat pun tidak dipermasalahkan. Karena dahulu tidak boleh shalat malam dengan waktu yang singkat, minimal waktu yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah kurang sedikit dari seperdua malam.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah bagimu.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memaparkan tentang kenapa Allah Subhanahu wa ta’ala memansukhkan shalat malam. Allah Subhanahu wa ta’ala melihat bahwa di sana ada orang-orang yang memiliki uzur, yaitu orang sakit, orang yang bersafar mencari nafkah, dan orang yang berjihad di jalan Allah. Shalat malam untuk orang yang bersafar untuk mencari nafkah adalah hal yang berat, karena bisa jadi urusannya dalam mencari nafkah bisa terhambat atau bahkan terhenti karena siang hari digunakan untuk tidur. Demikian pula orang yang berjihad (berperang). Kalau shalat dengan waktu yang lama, maka bisa jadi tidak ada lagi tenaga untuk berperang keesokan harinya. Oleh karenanya Allah menjadikan para sahabat tidur pada perang Badr. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ
“(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk memberi ketenteraman dari-Nya.” (QS. Al-Anfal : 11)
Allah membuat para sahabat tidur agar keesokan harinya bisa segar untuk berperang. Oleh karenanya orang-orang yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki uzur untuk bisa tidak shalat malam. Dan karena kesusahan tersebut akhirnya yang tidak memiliki uzur pun juga tidak lagi menjadi wajib bagi mereka untuk shalat malam, sehingga pilihan kembali kepada pribadi masing-masing. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) sebagai tambahan bagimu (sunnah): mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ : 79)
Dan para ulama, di antaranya Al-Qurthubi mengatakan bahwa ini adalah dalil bahwa orang yang mencari nafkah yang halal itu kedudukannya sama dengan orang yang berjihad. Beliau Al-Qurthubi berkata,
سَوَّى اللَّهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ بَيْنَ دَرَجَةِ الْمُجَاهِدِينَ وَالْمُكْتَسِبِينَ الْمَالَ الْحَلَالَ لِلنَّفَقَةِ عَلَى نَفْسِهِ وَعِيَالِهِ، وَالْإِحْسَانِ وَالْإِفْضَالِ، فَكَانَ هَذَا دَلِيلًا عَلَى أَنَّ كَسْبَ الْمَالِ بِمَنْزِلَةِ الْجِهَادِ، لِأَنَّهُ جَمَعَهُ مَعَ الْجِهَادِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
“Allah menyamakan dalam ayat ini antara derajat orang-orang yang berjihad dengan orang yang mencari harta yang halal untuk menafkahi diri dan keluarganya, dan untuk berbuat kebaikan dan keutamaan. Maka ini adalah dalil bahwa mencari harta (yang halal) kedudukannya sama seperti jihad, karena Allah mengumpulkan antara mencari harta yang halal dengan jihad di jalan Allah.”([47])
Oleh karenanya ini adalah dalil bahwa pentingnya bagi kita dalam mencari nafkah untuk memerhatikan niat kita. Karena menurut Al-Qurthubi seseorang yang pergi keluar pagi pulang di sore hari atau di malam hari karena mencari nafkah itu adalah jihad. Oleh karenanya jangan sampai seseorang mendapatkan harta dari cara-cara yang haram seperti mencuri, korupsi, dan cara haram lainnya.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berinfaklah kepada Allah infak yang baik.”
Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan berinfak dengan menggunakan kata قَرْض (hutang). Artinya adalah infak yang kita keluarkan adalah utang bagi Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap kita. Dan para ulama menyebutkan bahwa Allah menggunakan kata utang (pinjaman) dalam ayat ini agar kita tenang. Karena sebagaimana kita tenang ketika uang kita dipinjam oleh orang yang kaya raya yang pasti akan mengembalikan uang tersebut, maka demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala yang Maha Kaya pasti akan mengembalikan pinjamannya. Dan seringnya Allah Subhanahu wa ta’ala mengembalikan pinjamannya dengan yang lebih baik atau lebih banyak. Maka jika kita tidak boleh praktik riba dengan manusia, maka di sini kita boleh melakukan transaksi riba dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, karena demikianlah Allah ketika memberikan balasan kepada hamba-hamba-Nya.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Ayat ini mengingatkan kita bahwasanya kebaikan-kebaikan yang kita lakukan bukan untuk Allah Subhanahu wa ta’ala atau orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri. Yang paling mendapat untung dari kebaikan-kebaikan kita bukanlah orang yang kita berbuat baik kepadanya, akan tetapi diri kita yang lebih mendapatkan untung dari kebaikan tersebut. Bahkan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa keuntungan yang kita dapatkan adalah yang lebih baik dari apa yang kita perbuat. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dengan perkataan yang sangat indah,
وَلِيُعلَمْ أَنَّ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنَ الخَيرِ فِي هَذِهِ الدَّارِ، يُقَابٍلُهُ أَضْعَافُ أَضْعَافِ الدُّنْيَا، وَمَا عَلَيْها فِي دَارِ النَّعِيمِ المقِيمِ، مِنَ اللَّذَّاتِ والشَّهَوَاتِ، وَأَنَّ الخَيْر َوَالبِرَّ فِي هَذِهِ الدُّنْيَا، مَادَّةُ الخَيْرِ والبِّرِ فِي دَارِ القَرَارِ، وبذْرُهُ وأَصْلُهُ وأَسَاسُهُ، فَوَاأَسَفَاه عَلَى أَوْقَاتٍ مَضَتْ فِي الغَفلاَتِ، ووَاحَسْرَتَاه عَلَى أزْمَانٍ تَقَضَت بِغَيرِ الأَعْمَالِ الصَّالِحَاتِ
“Ketahuilah bahwa kebajikan meskipun sekecil zarrah yang dilakukan di bumi ini, akan diganti dengan berlipat-lipat ganda dari dunia ini, dan kenikmatan yang disiapkan di akhirat kelak dari kesenangan dan syahwat, dan bahwa kebaikan di dunia ini merupakan bahan kebaikan di negeri yang kekal; sebagai benihnya, asalnya dan asasnya. Sungguh menyedihkan, ketika waktu berlalu bagi hamba begitu saja dengan kelalaian. Dan sungguh penyesalan, ketika waktu bergulir tanpa amal saleh.”([48])
Pernyataan ini benar, karena dalam suatu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,
رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Dua rakaat fajar lebih baik daripada dunia seisinya.”([49])
Kalau sekiranya ada seseorang yang diberikan usia hingga lima ribu tahun, kemudian dia berusaha untuk menguasai dunia dan isinya, maka pasti dia tidak akan mampu. Dan tidak ada raja yang pernah menguasai seluruh bumi dan isinya. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa dua rakaat sebelum subuh akan diberikan balasan yang lebih baik daripada dunia dan seisinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa dua rakaat fajar itu sama dengan dunia, melainkan beliau mengatakan dua rakaat itu jauh lebih baik. Maka setiap detik waktu yang kita gunakan untuk amal saleh maka pasti akan ada hasilnya (balasannya) serta berlipat ganda.
Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menutup firman-Nya untuk beristighfar (memohon ampun). Karena bagaimana pun seseorang dalam mengerjakan perintah Allah, pasti ada kekurangan-kekurangan seperti ujub, malas, niat yang salah, dan yang lainnya yang membuat kita harus beristighfar. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk beristighfar untuk menutup segala kekurangan-kekurangan dari amal kebaikan kita.
__________________________________________________________________________-
([1]) Lihat Tafsir At-Tahrir wat tanwir karya Ibnu ‘asyur (29/252)
([2]) Tafsir Al-Qurthuby (19/32)
([3]) HR. Bukhari no. 3, Muslim no. 160
([4]) Tafsir Al-Qurthuby (19/33)
([5]) HR. Bukhari no. 441 dan HR. Muslim no. 2409
([7]) Lihat Tafsir Al-Qurthuby (19/33)
([8]) HR. Bukhari no. 1131 dan HR. Muslim no. 1159
([10]) Lihat Tafsir ibnu katsir (8/250), Tafsir Al-Qurthuby (19/37).
([11]) Diriwayatkan oleh Ibnul Mubarok dalam Az-zuhdu no.1199 dan Ibnu Abi syaibah (14/11) dengan lafadz : “Bahwasanya seorang sahabat Nabi ﷺ pernah mendengar seseorang membaca Al-Qur’an…”
([12]) ‘Umdatul Qaari’ Syarah Shahih Al-Bukhari (7/189).
([13]) Tafsir Al-Qurthuby (19/37).
([14]) Tafsir Ibnu Katsir (8/250)
([15]) HR. Abu Daud no. 1468 dan HR. Ibnu Majah no. 1342
([18]) Iqtidha Al-‘Ilm Al-‘Amal no. 116
([19]) Yaitu pengobatan semisal hijamah (bekam) hanya saja dengan melukai salah satu urat nadi sehingga mengeluarkan darah dengan deras
([23]) Lihat tafsir Al-Qurthuby (19/38)
([24]) Tafsir As-Sa’dy hal.892
([27]) Lihat Tafsir Al-Qurthuby (19/40), Tafsir Ibnu Katsir (8/251).
([28]) Majmu’ Al-Fatawa (17/474)
([30]) Tafsir Ibnu Katsir 8/252
([32]) Tafsir Al-Qurthubi 19/43
([34]) Tafsir Al-Qurthubi 19/44
([35]) Ahkamul Qur’an karya Ibnul ‘Aroby 4/332, Tafsir Al-Qurthubi 19/44
([38]) Tafsir Ibnu Katsir 8/255
([40]) HR. Al-Hakim no. 2000 dalam Al-Mustadrak; HR. An-Nasa’i no. 10330 dalam Sunan Al-Kubro
([42]) Tafsir Al-Qurthuby 19/45
([43]) Asyhab meriwayatkan dari Imam Malik bahwa usia Fir’aun mencapai 440 tahun, lihat Tafsir Al-Bahrul Muhith 9/256.
([44]) Tafsir Ibnu Katsir 8/256
([45]) Tafsir At-Tahrir wat Tanwir 29/275
([46]) HR. Tirmidzi no. 3549; diriwayatkan pula oleh Ath-Thabrani dan Al-Hakim