Tafsir Surah Al-Qalam
Surah Al-Qalam merupakan surah Makkiyah ([1]), yaitu surah yang turun di awal-awal dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika masih di Mekkah sebelum berhijrah ke Madinah. Sebagian ulama berpendapat bahwa surah Al-Qalam adalah surah kedua yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah surah Al-‘Alaq ([2]). Akan tetapi sebagian ulama yang lain tidak sependapat dengan pendapat ini, mereka mengatakan Al-Qalam merupakan surah yang ketiga atau keempat, karena setelah surah Al-‘Alaq pendapat yang kuat adalah surah Al-Muddatstsir atau surah Al-Muzzammil. Intinya para ulama sepakat bahwasanya surah Al-Qalam adalah di antara surah-surah yang awal-awal turun tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah.
Topik surah Al-Qalam adalah tentang pembelaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Berbeda dengan surah sebelumnya yaitu Al-Mulk yang topik pembicaraannya adalah tentang keagungan Allah Subhanahu wa ta’ala, maka surah Al-Qalam berkaitan tentang keagungan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dunia maupun di akhirat. Surah ini diturunkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk membela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang dituduh oleh orang-orang musyrikin sebagai orang gila. Maka turunlah surah Al-Qalam ini untuk membela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menunjukkan tentang bagaimana agungnya beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. ([3])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Nun, Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (QS. Al-Qalam : 1)
Lafal ن merupakan salah satu dari huruf Al-Muqatha’ah (huruf yang terputus-putus) Ayat-ayat seperti ini dibaca secara putus-putus per-hurufnya dan tidak langsung dibaca sebagai satu kata. Dan ayat-ayat seperti ini banyak terdapat di dalam Alquran([4]). Di antaranya adalah الم yang dibaca alif lam mim, dan bukan dibaca alama. Di antaranya juga عسق yang dibaca ‘ain sin qaf, bukan dibaca ‘asaqa. Di antaranya juga يس yang dibaca yaa siin, bukan dibaca yass. Demikian pula dengan huruf ن dibaca nun dan bukan dibaca naa. Dan sebagaimana kita ketahui bahwasanya huruf tidak memiliki makna. Huruf bisa memiliki makna jika huruf tersebut telah dirangkai dengan huruf-huruf yang lain sehingga menjadi suatu kata. Oleh karenanya para ulama Ahli Tafsir berselisih pendapat tentang makna dan kandungan dari huruf-huruf Al-Muqatha`ah. Di antaranya adalah huruf ن dalam ayat ini. Sebagian para ulama da yang menafsirkannya dengan ikan paus([5]), ada yang menafsirkan dengan tinta, dan seterusnya([6]). Namun pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir dan dikuatkan oleh Ibnul Qayyim rahimahumullah bahwasanya huruf-huruf Al-Muqatha’ah([7]) tujuannya adalah untuk mengingatkan kaum musyrikin bahwa Alquran adalah mukjizat yang turun dengan bahasa mereka (Arab), dengan bahasa sehari-hari mereka, akan tetapi meskipun demikian mereka tidak sanggup mendatangkan yang semisal dengan Alquran. Padahal kata Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkan Alquran berbahasa Arab, agar kamu mengerti.” (QS. Yusuf : 2)
Saat itu orang-orang musyrikin Arab sedang berbangga-bangga dengan syair-syair mereka, bahkan mereka mengadakan berbagai macam lomba syair-syair. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan mukjizat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan perkara yang sedang mereka gandrungi saat itu yaitu balaghah dan syair. Hal ini seperti tatkala Allah mengutus nabi Yusuf, ketika itu banyak orang yang dikenal dengan ahli menafsirkan mimpi. Namun ketika sang raja bermimpi maka tidak ada seorangpun diantara mereka yang mampu menafsirkan mimpi raja, dan hanya Yusuf ‘alaihis salam yang mampun menafsirkan mimpi raja. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Isa ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa ta’ala mengutus Nabi Isa ‘alaihissalam dengan mukjizat pengobatan karena pada zaman tersebut sedang ramai masalah pengobatan. Demikian pula di zaman Nabi Musa ‘alaihissalam yang sedang ramai perkara sihir. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan mukjizat kepada Nabi Musa ‘alaihissalam yang sekilas seperti sihir namun bukan sihir([8]). Oleh karenanya demikianlah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, tatkala orang-orang musyrikin sedang saling berbangga-bangga dengan kemampuan mereka dalam balaghah dan syair, maka Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan Alquran yang mengalahkan segala balaghah dan bahasa yang mereka miliki, padahal mereka berbicara dengan huruf-huruf tersebut namun mereka tidak sanggup mendatangkan yang semisal dengan Alquran. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
قُل لَّئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنسُ وَالْجِنُّ عَلَىٰ أَن يَأْتُوا بِمِثْلِ هَٰذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Alquran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain’.” (QS. Al-Isra’ : 88)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala yang memberikan tantangan kepada mereka,
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ ۖ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِّثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Bahkan mereka mengatakan, ‘Dia (Muhammad) telah membuat-buat Alquran itu’. Katakanlah, ‘(Kalau demikian), datangkanlah sepuluh surah semisal dengannya (Alquran) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar’.” (QS. Hud : 13)
Dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala juga menantang mereka lagi dengan mengatakan,
وَإِن كُنتُمْ فِي رَيْبٍ مِّمَّا نَزَّلْنَا عَلَىٰ عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِّن مِّثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُم مِّن دُونِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ
“Dan jika kamu meragukan (Alquran) yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), maka buatlah satu surah semisal dengannya dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al-Baqarah : 23)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah,
وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
“Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.”
Huruf و adalah cara bersumpah dalam bahasa Arab, yang dalam bahasa Indonesia kita sebut dengan “Demi”. Jika isim (kata benda) datang setelah huruf و dan isim tersebut dikasrahkan, maka akan menjadi bentuk sumpah sebagaimana dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan وَالْقَلَمِ (Demi Pena). Di antaranya juga Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan وَرَبِّكَ (Demi Tuhanmu), والشَّمسِ (Demi matahari), وَالنَّهَارِ (Demi siang), وَالَّيْلِ (Demi malam). Adapun kita tidak boleh bersumpah selain atas nama Allah Subhanahu wa ta’ala, karena bersumpah atas nama selain-Nya adalah kesyirikan. Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala, Dia berhak bersumpah dengan makhluk yang Dia ciptakan, hal tersebut adalah hak Allah Subhanahu wa ta’ala. ([9])
Dan tidaklah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah kecuali pada perkara-perkara yang agung. Di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan salah satu makhluknya yaitu pena. Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan pena karena pena merupakan nikmat luar biasa yang Allah berikan kepada manusia([10]). Oleh karenanya sebagaimana Allah juga sebutkan tentang pena ini di awal-awal surah Al-‘Alaq turun, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ
“Yang mengajar (manusia) dengan pena.” (QS. Al-‘Alaq : 4)
Pena adalah sebuah nikmat, karena salah satu cara seseorang belajar adalah dengan pena. Dengan penalah Alquran bisa terjaga di tangan para kuttabul wahyi (para pencatat wahyu), demikian pula pena digunakan untuk mencatat hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, demikian pula ilmu semuanya dicatat dengan pena, perjanjian dicatat dengan pena, sejarah dicatat dengan pena, dan yang lainnya. Oleh karenanya pena adalah nikmat yang sangat luar biasa karena merupakan sarana untuk menegakkan ilmu, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan pena. ([11])
Ayat ini juga menjadi isyarat bahwasanya Islam adalah agama yang dibangun di atas ilmu. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman di awal surah Al-‘Alaq,
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq : 1)
Jika ayat ini digandengkan dengan ayat pertama dari surah Al-Qalam ini yaitu baca dan pena, maka ini menunjukkan tentang perhatian Islam terhadap ilmu yang sangat luar biasa. Oleh karenanya pula kita dapati banyak ayat-ayat dan hadits-hadits yang menyampaikan tentang keutamaan dan keagungan ilmu.
Pena (الْقَلَم) juga menjadi salah satu sarana untuk mengungkapkan. Makanya pena juga disebut dengan أَحَدُ اللِّسَانَيْنِ yang artinya salah satu dari dua lisan ([12]). Seseorang yang ingin mengungkapkan sesuatu maka dia akan mengungkapkannya salah satu dari satu dari dua cara yaitu dengan lisannya secara langsung atau melalui tulisannya. Oleh karena itu, syariat menilai bahwa hukum tulisan sebagaimana hukum lisan. Sebagaimana dengan ucapan seseorang bisa mengadakan akad, perjanjian, wasiat, atau jual beli, maka demikian pula hal tersebut bisa terjadi dengan tulisan. Ketika kita paham bahwa hukum tulisan sama dengan hukum ucapan (lisan), maka sebagaimana seseorang berhati-hati dalam berbicara maka demikian pula hendaknya dia berhati-hati dalam mengungkap dengan tulisan. Terutama di zaman ini dimana tulisan seseorang begitu mudahnya tersebar. Dan sebab tulisan itu adalah nikmat, maka hendaknya seseorang tidak menyalahgunakannya. Karena betapa banyak seseorang diangkat derajatnya sebab tulisannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana para ulama, dan betapa banyak orang yang dihinakan di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala dan manusia karena tulisannya pula.
Sebagian ulama memandang bahwa tafsiran kata الْقَلَمُ (pena) di ayat ini maksudnya adalah pena Allah Subhanahu wa ta’ala yang Allah ciptakan untuk menulis takdir di Al-Lauhul Mahfuzh([13]). Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ أَوَّلَ مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ اكْتُبْ. فَقَالَ مَا أَكْتُبُ قَالَ اكْتُبِ الْقَدَرَ مَا كَانَ وَمَا هُوَ كَائِنٌ إِلَى الأَبَدِ
“Sesungguhnya awal yang Allah ciptakan adalah pena, kemudian Allah berfirman, ‘Tulislah’. Pena berkata, ‘Apa yang harus aku tulis’. Allah berfirman, ‘Tulislah takdir berbagai kejadian dan yang terjadi selamanya’.”([14])
Sebagian ulama tafsir lain mengatakan bahwa pena di sini adalah pena yang dipakai malaikat untuk mencatat di catatan takdir yang ada di sisinya (malaikat), atau pena yang dipakai untuk mencatat amalan para hamba-Nya. ([15])
Sebagian ulama lain seperti Ibnu Katsir rahimahullah dan yang lainnya mengatakan bahwa pena di sini maknanya umum, yaitu mencakup makna pena di Al-Lauhul Mahfuzh, pena yang dipegang oleh para malaikat, dan pena yang dipegang oleh manusia([16]). Karena setelah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah atas nama pena, kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا يَسْطُرُونَ
“Dan apa yang mereka tuliskan.”
Artinya mereka dalam ayat ini bisa jadi malaikat dan bisa jadi pula yang dimaksud adalah manusia.
Allah Subhanahu wa ta’ala membuka surah Al-Qalam dengan sumpah. Dan tidaklah Allah bersumpah kecuali untuk menekankan sesuatu. Karena jika Allah ingin menekankan sesuatu, maka Allah membukanya dengan sumpah. Dan hal seperti banyak di dalam Alquran. Di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَالْقَمَرِ إِذَا تَلَاهَا، وَالنَّهَارِ إِذَا جَلَّاهَا، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَاهَا، وَالسَّمَاءِ وَمَا بَنَاهَا، وَالْأَرْضِ وَمَا طَحَاهَا، وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا، فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا، قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Demi matahari dan sinarnya pada pagi hari, demi bulan apabila mengiringinya, demi siang apabila menampakkannya, demi malam apabila menutupinya (gelap gulita), demi langit serta pembinaannya (yang menakjubkan), demi bumi serta hamparannya, demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)nya, maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketakwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya.” (QS. Asy-Syams : 1-9)
Untuk menekankan pernyataan “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwanya”, Allah Subhanahu wa ta’ala membuka dengan beberapa rentetan sumpah. Demikianlah orang-orang Arab dalam menekankan sesuatu, mereka bersumpah terlebih dahulu lalu menyebutkan pernyataan tersebut. Maka dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah untuk menekankan 3 perkara, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan pada ayat-ayat berikutnya.
Perkara pertama:
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا أَنتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ
“Dengan karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah orang gila.” (QS. Al-Qalam : 2)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menekankan bantahan bagi orang-orang musyrikin. Hal pertama yang Allah Subhanahu wa ta’ala tekankan adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bukanlah orang gila. Sebagian Ahli Tafsir mengatakan bahwa orang-orang musyrikin berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang gila. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan mengatakan,
ن وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ، مَا أَنْتَ بِنِعْمَةِ رَبِّكَ بِمَجْنُونٍ
“Nun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan, dengan karunia Tuhanmu engkau (Muhammad) bukanlah orang gila.” (QS. Al-Qalam 1-2) ([17])
Dan dalam bahasa Arab, kombinasi مَا dengan بِ sebagaimana dalam ayat (مَا أنْتَ dan بِمَجْنُونٍ) menunjukkan penafian dengan sebenar-benar penafian. Hal seperti ini sama seperti perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala diperintahkan oleh malaikat Jibril untuk membaca firman Allah Subhanahu wa ta’ala namun beliau mengatakan,
مَا أَنَا بِقَارِئٍ
“Aku (sama sekali) tidak bisa membaca.”([18])
Maka dari kaidah tersebut, ayat ini bermakna bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali bukan orang gila, dan tidak ada kegilaan sedikitpun pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat ini untuk menghibur dan membela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang merasa berat atas tuduhan yang beliau dapatkan ([19]). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dituduh sebagai orang gila, dukun, dan penyihir. Bahkan beliau juga dituduh sebagai pendusta, padahal sebelumnya beliau diberi gelar oleh mereka dengan As-Shadiqul Amiin, yaitu orang yang dipercaya, orang yang jujur dan tidak pernah sekalipun berdusta. Akan tetapi ketika beliau shallallahu ‘alaihi wasallam memproklamirkan dirinya sebagai Nabi, maka semua pujian tersebut berubah menjadi cercaan. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam merasa dengan apa yang beliau alami. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan.” (QS. Al-Hijr : 97)
Dan ayat-ayat yang seperti ini sangatlah banyak, di antaranya Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ
“Bersabarlah atas apa yang mereka ucapkan.” (QS. Thaha : 130)
Dan di antara metode Allah Subhanahu wa ta’ala untuk menghibur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan cara Allah membela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung dengan ayat yang turun dari langit dan dibaca hingga hari kiamat.
Perkara Kedua:
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّ لَكَ لَأَجْرًا غَيْرَ مَمْنُونٍ
“Dan sesungguhnya engkau pasti mendapat pahala yang besar yang tidak putus-putusnya.” (QS. Al-Qalam : 3)
Hal kedua yang Allah Subhanahu wa ta’ala ingin tekankan adalah Nabi diberi keutamaan dengan pahala yang tidak terputus-putus sebagai hiburan untuknya. Sebagian ulama menyebutkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah beramal, maka pahala beliau tidak akan terputus. Berbeda dengan kita yang ketika kita telah meninggal dunia maka terputuslah segala amal kebaikan kita. Adapun jika kita ingin mendapatkan pahala yang tetap mengalir, maka kita harus melakukan amal jariyah. Dan di antara amal jariyah yang bisa kita lakukan adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Apabila salah seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah segala amalannya kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat baginya dan anak saleh yang selalu mendoakannya.”([20])
Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setiap kali beramal, maka pahala atas amalan beliau tidak akan terputus. Ini adalah keutamaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana pendapat ini didukung oleh sabda beliau,
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barangsiapa yang menunjuki kepada kebaikan maka dia akan mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya.”([21])
Dan kita tahu bahwa seluruh sunnah yang dikerjakan oleh seluruh umat Nabi Muhammad maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga ikut mendapatkan pahala dari amalan-amalan tersebut. Hal ini dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al-Muallim Al-Awwal, pengajar paling pertama yang memberikan contoh semua sunnah dan amalan ibadah. Dari sini kita bisa membayangkan betapa agungnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Jika Umar bin Khattab berkata tentang Abu Bakar,
لَوْ وُزِنَ إِيمَانُ أَبِي بَكْرٍ بِإِيمَانِ أَهْلِ الْأَرْضِ لَرَجَحَ بِهِمْ
“Seandainya ditimbang keimanan Abu Bakar dan keimanan penduduk bumi maka keimanan Abu Bakar melebihi berat keimanan yang lainnya.”([22])
Keimanan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu jauh lebih berat dari seluruh keimanan penduduk bumi, padahal keimanan Abu Bakar radhiallahu ‘anhu hanyalah salah satu dari jutaan kebaikan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka tidak heran kalau dikatakan bahwa pahala bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak akan pernah terputus.
Ayat ini juga merupakan hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari ayat ini seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Sabarlah wahai Muhammad, sungguh pahala bagimu tidak akan pernah terputus”.
Perkara Ketiga:
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4)
Hal ketiga yang Allah Subhanahu wa ta’ala ingin tekankan adalah Allah ingin memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dirinya berada dalam puncak akhlak mulia. Sungguh ini adalah hiburan bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang sangat luar biasa. Beliau tidak pernah mencari pujian, akan tetapi beliau mendapat pujian tersebut, bahkan pujian tersebut datangnya dari Rabb semesta alam. Meskipun demikian, pujian Allah Subhanahu wa ta’ala tersebut tidak menjadikan beliau sebagai orang yang sombong dan angkuh. Padahal untuk memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah terlebih dahulu.
Oleh karenanya tidak seperti yang dikatakan oleh orang-orang musyrikin bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang gila. Namun demikianlah kebiasaan umat-umat terdahulu terhadap Nabi-Nabi mereka, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ، أَتَوَاصَوْا بِهِ بَلْ هُمْ قَوْمٌ طَاغُونَ
“Demikianlah setiap kali seorang Rasul yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, ‘Dia itu pesihir atau orang gila’. Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Adz-Dzariyat : 52-53)
Sungguh ayat ini sangat menakjubkan. Umat Nabi Nuh ‘alaihissalam tidak pernah bertemu dengan kaum kafir Quraisy, akan tetapi Nabi Nuh ‘alaihissalam dikatakan orang gila, dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam juga dikatakan sebagai orang gila. Umat Nabi Musa ‘alaihissalam juga tidak pernah bertemu dengan kaum kafir Quraisy, akan tetapi mereka sama-sama saling mengatakan Nabi yang diutus kepada mereka sebagai penhyihir. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa seakan-akan semua umat bersepakat dan saling berwasiat agar menuduh Nabi-Nabi mereka sebagai orang gila. Padahal tidak demikian, yang ada adalah Iblis yang menggoda mereka masih sama, dan syubhat mereka juga masih sama.
Akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang Allah Subhanahu wa ta’ala kabarkan dalam ayat ini adalah salah satu mukjizat Nabi dari sekian banyak mukjizat Nabi yang bisa kita dapatkan dalam kitab Dalail An-Nubuwwah. Karena akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia adalah mukjizat, maka Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan akhlak tersebut. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala pernah bersumpah dengan umur Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam([23]), dan Allah tidak pernah bersumpah dengan umur siapa pun selain beliau, karena seluruh amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan. Oleh karena itu, ketika ‘Aisyah radhiallahu ‘anha ditanya tentang akhlak Nabi, beliau mengatakan,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak beliau adalah Alquran.”([24])
Maksudnya adalah semua ayat-ayat di dalam Alquran yang menganjurkan untuk melakukan kebaikan, maka yang mengamalkan dan mempraktikkannya terlebih dahulu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula, semua ayat di dalam Alquran yang berisi larangan, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pula yang paling pertama menjauhinya. Artinya adalah seluruh ayat telah diamalkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini adalah kesimpulan yang sangat indah yang diungkapkan oleh wanita yang sangat cerdas seperti ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. ([25])
Oleh karena itu, Islam memberi perhatian yang sangat besar terhadap akhlak. Karena yang ditekankan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai pembelaan terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atas bantahan bagi orang-orang musyrikin adalah dari sisi akhlak beliau yang mulia. Maka karena Islam memberi perhatian yang besar terhadap akhlak, maka kita pun hendaknya memiliki perhatian yang besar terhadap akhlak. Dengan berusaha menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku di hari kiamat (di surga) kelak adalah orang yang terbaik akhlaknya. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh dariku pada hari kiamat kelak adalah tsartsarun, mutasyaddiqun dan mutafaihiqun.” Sahabat berkata: ‘Ya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami sudah tahu arti tsartsarun dan mutasyaddiqun, lalu siapa itu mutafaihiquun?” Beliau menjawab, ‘Orang yang sombong’.”([26])
Ini merupakan dalil bahwasanya akhlak yang mulia adalah barometer tingginya iman seseorang, dan begitu pula sebaliknya. Oleh karenanya hendaknya seseorang berhati-hati dalam berkata-kata secara lisan maupun tulisan, karena itu bisa menunjukkan tingkatan akhlaknya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَتُبْصِرُ وَيُبْصِرُونَ، بِأَييِّكُمُ الْمَفْتُونُ
“Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat, siapa di antara kamu yang terfitnah (gila).” (QS. Al-Qalam : 5-6)
Sebagian Ahli Tafsir menyebut بِأَييِّكُمُ الْمَفْتُونُ maksudnya adalah siapa di antara mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang musyrikin) yang gila([27]). Tentu jawaban dari itu adalah mereka orang-orang musyrikinlah yang gila. Di antara sebab mengapa orang-orang musyrikin dikatakan gila adalah karena mereka telah diberikan kenikmatan akan tetapi mereka tidak menerima kenikmatan tersebut. Contohnya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk orang-orang Quraisy, dan bukankah dengan diangkatnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai seorang Nabi akan mengangkat derajat orang-orang Quraisy? Bukankah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bisa menguasai dunia itu artinya mereka juga termasuk yang terangkat menguasai dunia? Akan tetapi kenyataannya mereka tidak mau dengan itu semua, bahkan mereka kemudian mencerca dan hasad kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Padahal mereka sadar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mungkin berdusta, akan tetapi mereka tetap nekad menolak dakwah beliau. Dan mereka seharusnya sadar bahwa agungnya Islam secara otomatis bisa mengangkat derajat mereka, karena Nabi dari suku mereka. Ini bukti bahwa mereka menolak nikmat yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan, ini merupakan sikap kegilaan. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa di antara hal lain yang menunjukkan kegilaan orang-orang musyrikin adalah mereka sering meminta agar diazab. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِن كَانَ هَٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, ‘Ya Allah, jika (Alquran) ini benar wahyu dari Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih’.” (QS. Al-Anfal : 32)
Bahkan tatkala hendak perang Badr, Abu Jahal pernah berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala,
اللَّهُمَّ أَيُّنَا كَانَ أَقْطَعَ لِلرَّحِمِ، وَآتَانَا بِمَا لَا نَعْرِفُ، فَاحْنِهِ الْغَدَاةَ
“Ya Allah, siapa di antara kami yang memutus silaturahmi, dan datang dengan sesuatu yang tidak kami kenal, maka binasakanlah ia pada hari ini.”([28])
Setelah Abu Jahal berdoa demikian, maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan firman-Nya,
إِنْ تَسْتَفْتِحُوا فَقَدْ جَاءَكُمُ الْفَتْحُ
“Jika kamu meminta keputusan, maka sesungguhnya keputusan telah datang kepada kalian.” (QS. Al-Anfal : 19)
Akhirnya doa Abu Jahal pun dikabulkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan dia mati dalam perang Badr. Bukankah ini menunjukkan kegilaan orang-orang musyrikin? Mereka sudah tahu bahwa diri mereka salah, namun mereka masih menganggap diri mereka benar, bahkan mereka meminta untuk dibinasakan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ، فَلَا تُطِعِ الْمُكَذِّبِينَ، وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
“Sungguh, Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan Dialah yang paling mengetahui siapa orang yang mendapat petunjuk. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Mereka menginginkan agar engkau bersikap lunak maka mereka bersikap lunak (pula).” (QS. Al-Qalam : 7-9)
Mereka orang-orang kafir Quraisy menginginkan agar Nabi ber-mudahanah, yaitu jika Nabi berhenti mencela sembahan dan nenek moyang mereka, serta menghentikan dakwahnya, maka mereka juga akan berhenti dan tidak akan mencela Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lagi sebagai orang gila([29]). Artinya mereka memberi tawaran karena merasa terganggu ketika mereka disebut sebagai orang musyrik. Bahkan mereka mengatakan,
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُهْتَدُونَ
“(Orang-orang musyrikin berkata) Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka.” (QS. Az-Zukhruf : 22)
Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membantah mereka dengan mengatakan bahwa mereka itu sesat, dan nenek moyang mereka pun dahulu dalam kesesatan. Tentu hal ini hanya menambah kemarahan orang-orang musyrikin.
Di hadapan kita ada istilah الْمُدَاهَنَةُ mudahanah dan الْمُدَارَاةُ mudarah. Mudahanah adalah mencari kemaslahatan duniawi dengan mengorbankan agama. Contohnya adalah seseorang yang ingin berteman dengan seorang kawannya yang bermain musik, maka dia ikut bermain musik agar bisa berteman dengan orang tersebut meskipun dia tahu akan haramnya musik. Misalnya pula warga di lingkungan tempat tinggal kita sering bermain judi, maka agar bisa enak bergaul dan mengobrol dengan mereka maka kita pun ikut bermain judi meskipun kita sadar bahwa judi itu haram. Misalnya lagi seseorang yang bertanya tentang bolehnya suatu perkara, maka kita pun memperbolehkan agar orang tersebut tidak marah, meskipun kita tahu hal tersebut tidak boleh dalam syariat. Inilah yang disebut dengan mudahanah, dan hal seperti ini tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, kita hendaknya menyampaikan syariat dengan sebaik-baiknya dan selembut-lembutnya, akan tetapi yang syirik tetap kita katakan sebagai syirik, yang bid’ah tetap kita katakan sebagai bid’ah, yang maksiat tetap kita katakan sebagai maksiat. Jangan kemudian kita ber-mudahanah sehingga yang maksiat kita katakan sebagai halal, yang bid’ah menjadi sunnah, dan yang syirik menjadi tauhid. Kita harus menyampaikan syariat Islam sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki dan telah dijelaskan oleh Rasul-Nya, bukan syariat yang kita modifikasi dengan dalih agar diterima masyarakat. Tentunya hal syariat tersebut harus kita sampaikan seadanya, namun dengan kata-kata yang baik, serta dalil yang jelas.
Mudaraah adalah mengorbankan sedikit dari kemaslahatan dunia demi untuk agama. Contoh mudarah adalah apabila ada orang yang memaki-maki kita maka kita tetap sikapi dengan sabar dan tetap berusaha mendekati hatinya agar dakwah tetap berlangsung. Hal seperti ini (mudarah) adalah hal yang dianjurkan. Contohnya seorang da’i yang sedang berbicara masalah tauhid, lalu para jemaahnya merokok di depannya sehingga sang da’i merasa terganggu dengan hal tersebut. Tetapi dia tetap bersabar menyampaikan dakwahnya, bahkan dia tetap bersabar meskipun kesehatannya tersebut terganggu, demi agar dakwah bisa sampai kepada orang tersebut. Ini adalah salah satu contoh sikap mudarah, mengorbankan sebagian maslahat duniawi demi kemaslahatan agama. Sikap mudarah adalah hal yang dibolehkan, adapun mudahanah adalah sikap yang tidak diperbolehkan. ([30])
Dalam kehidupan bermasyarakat, terkadang ada yang berbeda dengan kita. Maka kita boleh bersikap lembut kepada mereka tanpa harus mengatakan bahwa kesalahan mereka sebagai kebenaran. Bukan bersikap lembut kepada mereka dengan mengikuti kesalahan yang mereka lakukan. Kalau ada seseorang yang bermaksiat maka kita harus katakan itu sebagai maksiat, yang syirik tetap syirik, dan yang haram tetap haram. Jangan sampai karena slogan “toleransi” sehingga kita ikut-ikut dalam kemaksiatan mereka. Karena yang demikianlah yang disebut sebagai sikap ber-mudahanah, yaitu sikap yang diinginkan oleh orang-orang musyrikin terhadap Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا تُطِعْ كُلَّ حَلَّافٍ مَّهِينٍ
“Dan janganlah engkau mematuhi setiap orang yang suka bersumpah dan suka menghina.” (QS. Al-Qalam : 10)
Ulama tafsir mengatakan bahwa ayat ini dan yang semisal dengan ini kebanyakan turun kepada Al-Walid Ibnul Mughirah, atau Abu Jahal, atau dan para pembesar Quraisy lainnya yang mereka suka menghina dan bersumpah([31]). Sesungguhnya orang yang suka bersumpah dengan nama Allah umumnya mereka suka berdusta. Karena bagi mereka sumpah itu adalah hal yang mudah dan murah bagi mereka. Mereka tidak sadar bahwa dalam bersumpah ada bentuk pengagungan terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun mereka, mereka bersumpah namun tidak mengagungkan Allah karena saking mudahnya mereka dalam bersumpah dan menggampangkannya. Dan ketahuilah bahwa orang yang banyak berdusta maka dia adalah orang yang hina, dan itulah orang-orang yang bermudah-mudahan dalam bersumpah. ([32])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هَمَّازٍ مَّشَّاءٍ بِنَمِيمٍ
“(yang) suka mencela, yang kian kemari menyebarkan fitnah.” (QS. Al-Qalam : 11)
Kata هَمَّازٍ artinya adalah mengejek dengan lirikan mata, lisan, maupun gerakan.([33]) Adapun مَّشَّاءٍ بِنَمِيمٍ adalah berjalan kemana-mana untuk mengadu domba([34]). Hendaknya kita berhati-hati dalam perkara mengadu domba. Dahulu tatkala orang ingin namimah, maka mereka harus berkeliling untuk menebar berita sehingga akhirnya semua orang ribut. Akan tetapi zaman sekarang seseorang tidak perlu berajalan kemana-mana untuk mengadu domba, cukup dengan tulisan yang bisa membuat semua pihak ribut, lalu dikirim di media sosial, maka namimah itu akan segera terwujud. Oleh karena itu hendaknya seseorang berhati-hati dalam masalah namimah karena termasuk dalam dosa besar dan bisa menjerumuskan seseorang ke dalam neraka Jahannam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ
“Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.” (QS. Al-Qalam : 12)
Ayat ini masih berkaitan dengan Al-Walid Ibnul Mughirah. Disebutkan dalam buku-buku sirah bahwa Al-Walid Ibnul Mughirah adalah orang yang kaya raya, karena dalam kelanjutan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan,
أَن كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ
“Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak.” (QS. Al-Qalam : 14)
Disebutkan bahwa Al-Walid Ibnul Mughirah tatkala musim haji, dia berinfak 20.000 dirham lalu dia akan mengatakan kepada jemaah haji agar tidak perlu memasak, adapun yang ingin makan hendaknya datang kepada Al-Walid Ibnul Mughirah dan makan secara cuma-Cuma ([35]). Intinya Al-Walid Ibnul Mughirah sangat dermawan tatkala musim haji. Namun setelah musim haji berlalu, dia kembali menjadi orang yang sangat pelit. Para ulama menyebutkan bahwa hal tersebut disebabkan karena Al-Walid Ibnul Mughirah tatkala bersedekah di musim haji niatnya untuk riya’ dan sum’ah. Dan kita tahu bahwa orang yang riya’ dan sum’ah tentu akan bisa mengorbankan apa saja demi tujuannya tersebut, meskipun yang harus dikorbankan adalah nyawa. Demikianlah Al-Walid Ibnul Mughirah yang baik ketika musim haji dan pelit diluar musim tersebut, oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menyifatinya dengan mengatakan,
مَّنَّاعٍ لِّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ أَثِيمٍ
“Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa.”
Artinya Al-Walid Ibnul Mughirah adalah orang yang tidak mau berbuat kebaikan dengan bersedekah, serta banyak berbuat kezaliman kepada orang lain dan banyak berbuat dosa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
عُتُلٍّ بَعْدَ ذَٰلِكَ زَنِيمٍ
“Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya.” (QS. Al-Qalam : 13)
Kata عُتُلٍّ artinya kaku, keras, dan kasar ([36]). Adapun زَنِيمٍ memiliki banyak pembahasan di kalangan Ahli Tafsir, akan tetapi intinya adalah sebutan bagi orang yang terkenal dalam masalah keburukan([37]). Ibaratnya, jika ada sekelompok peminum khamr maka dia lah yang yang paling terkenal dalam masalah minum khamr, atau jika ada sekelompok orang yang sukanya mengadu domba maka dia yang terdepan dalam masalah tersebut.
Artinya adalah Al-Walid Ibnul Mughirah disifati oleh Allah Subhanahu wa ta’ala sebagai orang yang kasar dan buruk akhlaknya, serta dia adalah orang yang paling terkenal dalam hal-hal keburukan. ([38])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَن كَانَ ذَا مَالٍ وَبَنِينَ
“Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak.” (QS. Al-Qalam : 14)
Artinya adalah, apakah karena Al-Walid Ibnul Mughirah memiliki banyak harta dan anak sehingga menyebabkannya menjadi orang yang sombong? ([39]) Padahal seharusnya jika dia memiliki harta dan anak yang banyak adalah dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, karena Allah Subhanahu wa ta’ala-lah yang memberi semuanya. Oleh karenanya penulis sering ingatkan bahwasanya harta, kekuasaan, dan jabatan adalah hal yang sangat mudah membuat orang sombong dan angkuh. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
وَالفَخْرُ وَالخُيَلاَءُ فِي أَهْلِ الخَيْلِ وَالإِبِلِ
“Kebanggaan dan kesombongan terletak pada para pemilik kuda dan unta.” ([40])
Hewan-hewan seperti unta dan kuda sangat mudah untuk membuat pemiliknya sombong dan angkuh. Oleh karenanya banyak kita dapati orang yang bangga dengan hewan-hewan tersebut yang dimilikinya. Terlebih lagi jika hewannya tersebut ikut sebuah lomba dan menang, tentu akan lebih mudah lagi untuk berbangga diri dan sombong. Berbeda dengan pengembala kambing, mereka akan merasa tenang dan tidak ada kesombongan padanya. Sebagaimana kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الغَنَمِ
“Sedangkan ketenangan (kerendahan hati) ada pada para pemilik kambing.”([41])
Artinya adalah, kalau dengan kuda dan unta saja bisa membuat orang sombong, maka bagaimana lagi dengan orang yang punya kendaraan mewah, rumah yang mewah, jabatan yang tinggi, atau memiliki anak buah (pasukan) yang banyak? Tentu juga akan sangat rawan terkena kesombongan. Oleh karenanya seseorang harus berhati-hati, karena seseorang diberi harta adalah agar dia bersyukur kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, dan bukan untuk mengantarkannya kepada kesombongan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِ آيَاتُنَا قَالَ أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
“Apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepadanya, dia berkata, ‘(Ini adalah) dongeng-dongeng orang dahulu’.” (QS. Al-Qalam : 15)
Kalimat أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ (ini adalah dongeng orang terdahulu) ini adalah perkataan yang juga dicetuskan oleh Al-Walid Ibnul Mughirah untuk mencela Alquran. Disebutkan bahwa tatkala Al-Walid Ibnul Mughirah memikirkan apa celaan terhadap Alquran, dia mendapatkan banyak bahan celaan. Akan tetapi dia sadar bahwa Alquran bukanlah syair, Alquran bukan mantra, sehingga akhirnya dia memilih mengatakan bahwa Alquran adalah dongeng orang-orang terdahulu. Oleh karenanya para ulama mengatakan bahwa ayat ini turun kepada Al-Walid Ibnul Mughirah.([42])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَنَسِمُهُ عَلَى الْخُرْطُومِ
“Kelak dia akan Kami beri tanda pada belalai(nya).” (QS. Al-Qalam : 16)
Kata الْخُرْطُومِ artinya adalah hidung seperti gajah. Adapun kata ini digunakan pada manusia maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala akan memberi tanda pada wajah seseorang pada hari kiamat kelak([43]). Adapun sebagian ulama berpendapat bahwa maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan siksaan pada wajah orang tersebut di dunia atau di akhirat, yaitu wajahnya di buat hitam, hina, dan buruk di akhirat kelak sehingga dia menjadi pusat perhatian([44]). Dan sebagaimana seseorang melihat yang lainnya didahuli dengan melihat wajahnya, maka Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan tanda buruk pada wajah orang tersebut sebagai hukuman baginya. ([45])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ أَقْسَمُوا لَيَصْرِمُنَّهَا مُصْبِحِينَ، وَلَا يَسْتَثْنُونَ
“Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik Mekkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun (Ashabul Jannah), ketika mereka bersumpah pasti akan memetik (hasil)nya pada pagi hari, dan mereka tidak menyisihkan.” (QS. Al-Qalam : 17-18)
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memulai paragraf baru. Allah Subhanahu wa ta’ala menceritakan tentang suatu kaum yang Allah Subhanahu wa ta’ala beri kenikmatan, akan tetapi mereka tidak bersyukur sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mencabut kenikmatan tersebut dari mereka. Dalam buku-buku tafsir disebutkan Ashabul Jannah (para pemilik kebun) tersebut adalah sekelompok orang anak di negeri Yaman. Disebutkan bahwa mereka memiliki seorang ayah yang saleh. Setiap kali ayahnya memanen kebunnya, dia selalu menyisihkan sebagian hasilnya untuk orang miskin. Ketika ayah mereka meninggal, dan jatuhlah hak kepengurusan kebun tersebut ke tangan mereka sebagai anak-anaknya. Akan tetapi mereka tidak ingin melanjutkan kebiasaan baik ayahnya. Sehingga setiap kali mereka panen, mereka tidak ingin memberikan hasilnya kepada fakir miskin sama sekali. Lalu Allah menceritakan bahwa mereka bersumpah di antara mereka, pada keesokan hari mereka akan memanen hasil kebunnya yang banyak([46]). Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala katakan,
وَلَا يَسْتَثْنُونَ
“Tetapi mereka tidak menyisihkan.”
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud وَلَا يَسْتَثْنُونَ adalah mereka tidak mengucapkan ‘insya Allah’. Mereka sangat yakin bahwasanya mereka besok akan panen dan tidak akan ada sesuatu yang bisa mencegahnya. Bisa jadi mereka beranggapan demikian karena pada waktu sore hari mereka telah melihat bahwa buah-buah telah tumbuh segar dan besok hari merupakan waktu panen. Karena keyakinan inilah yang membuat mereka lupa mengucapkan ‘insya Allah’([47]). Oleh karenanya seseorang tidak boleh begitu yakin dengan apa yang dia lakukan, karena seseorang tidak pernah tahu halangan apa yang akan menimpanya. Maka hendaknya seseorang selalu mengucapkan ‘semoga’ atau ‘insya Allah’ dalam setiap apa yang dikehendakinya, dan jangan sesumbar dengan mendahului Allah Subhanahu wa ta’ala.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa وَلَا يَسْتَثْنُونَ maksudnya adalah mereka tidak mengecualikan atau menyisihkan sebagian dari hasil panennya untuk orang miskin karena pelit. ([48])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَطَافَ عَلَيْهَا طَائِفٌ مِّن رَّبِّكَ وَهُمْ نَائِمُونَ
“Lalu kebun itu ditimpa bencana (yang datang) dari Tuhanmu ketika mereka sedang tidur.” (QS. Al-Qalam : 19)
Tatkala mereka tidur pada malam hari untuk menanti esok pagi, Allah pun mengirimkan azab pada kebun mereka. طَائِفٌ adalah sesuatu yang mengelilingi([49]). Sebagian menafsirkan bahwa malaikat Jibril datang memberi bencana, sebagian yang lain menafsirkan bahwa api yang dikirimkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk meliputi kebun mereka hingga habis terbakar tanpa terkecuali sedikitpun, dan tidak tersisa sedikitpun kecuali hanya debu dan warna hitam bekas kebakaran([50]). Dan mereka tidak menyadari apa yang telah terjadi dengan kebun-kebun mereka. Demikianlah azab Allah Subhanahu wa ta’ala yang bisa datang kapan saja tanpa disadari, sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ، أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَىٰ أَن يَأْتِيَهُم بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ
“Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain?” (QS. Al-A’raf : 97-98)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَصْبَحَتْ كَالصَّرِيمِ
“Maka jadilah kebun itu hitam seperti malam yang gelap gulita.” (QS. Al-Qalam : 20)
Artinya kebun tersebut telah menjadi debu, hitam karena telah terbakar habis. ([51])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَتَنَادَوْا مُصْبِحِينَ، أَنِ اغْدُوا عَلَىٰ حَرْثِكُمْ إِن كُنتُمْ صَارِمِينَ، فَانطَلَقُوا وَهُمْ يَتَخَافَتُونَ، أَن لَّا يَدْخُلَنَّهَا الْيَوْمَ عَلَيْكُم مِّسْكِينٌ
“Lalu mereka saling panggil memanggil di pagi hari. ‘Pergilah pagi-pagi ke kebunmu jika kamu hendak memetik hasil’. Maka mereka pun berangkat sambil berbisik-bisik. ‘Pada hari ini jangan sampai ada orang miskin masuk ke dalam kebunmu’.” (QS. Al-Qalam : 21-24)
Ketika tiba di pagi hari, mereka saling bersemangat membangunkan satu dengan yang lainnya untuk memanen hasil kebun mereka. Maka mereka pun dengan semangat berangkat ke kebun mereka sambil berbisik-bisik bahwa jangan sampai ada satu orang miskin yang mendapat bagian dari hasil panen tersebut. ([52])
Kalau kita mau gambarkan situasi ini, Allah Subhanahu wa ta’ala seakan-akan sedang membuat dua visualisasi. Yang satu Allah Subhanahu wa ta’ala gambarkan kepada kita bahwa orang-orang tersebut berjalan sambil berbisik-bisik, dan yang satunya lagi Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkan kepada kita tentang kebunnya yang telah habis terbakar api. Seakan-akan kita melihat bagaimana mereka menertawakan orang miskin agar tidak mendapat bagian dari hasil kebun mereka, akan tetapi kita pun menertawakan mereka karena kebun tersebut telah habis ludes. Mereka berbisik-bisik menghina orang miskin, sedangkan kita yang membaca kisah ini melihat bagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala menghinakan mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَغَدَوْا عَلَىٰ حَرْدٍ قَادِرِينَ، فَلَمَّا رَأَوْهَا قَالُوا إِنَّا لَضَالُّونَ
“Dan berangkatlah mereka pada pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Maka ketika mereka melihat kebun itu, mereka berkata, ‘Sungguh, kita ini benar-benar orang-orang yang tersesat (salah jalan).” (QS. Al-Qalam : 25-26)
Ketika mereka telah sampai di kebun-kebun itu dan melihatnya, ternyata kebun-kebun itu sudah dalam keadaan hitam, padahal sebelumnya kebun-kebun itu tampak hijau dan penuh buah-buahan yang segar. Akhirnya mereka menganggap bahwa mereka telah salah jalan dan mengatakan bahwa kebun tersebut bukanlah kebun mereka. ([53])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
بَلْ نَحْنُ مَحْرُومُونَ
“Bahkan kita tidak memperoleh apa pun.” (QS. Al-Qalam : 27)
Ternyata salah seorang di antara mereka ada yang sadar dan mengatakan sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala firmankan dalam ayat ini. Kata بَلْ merupakan huruf idrab untuk menunjukkan bantahan dan penjelasan yang benar adalah kebalikannya. Sehingga بَلْ kalau diartikan dalam bahasa kita adalah “bahkan”. Artinya adalah justru mereka yang terhalangi dari panen dan bukan orang miskin. Mereka sadar ternyata ketika mereka menghalangi orang-orang miskin untuk mendapat sedikit dari hasil panen mereka, justru mereka tidak mendapatkan sedikitpun hasil dari kebun tersebut. ([54])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالَ أَوْسَطُهُمْ أَلَمْ أَقُل لَّكُمْ لَوْلَا تُسَبِّحُونَ
“Berkatalah seorang yang paling bijak di antara mereka, ‘Bukankah aku telah mengatakan kepadamu, mengapa kamu tidak bertasbih (kepada Tuhanmu)’.” (QS. Al-Qalam : 28)
Sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa maksud tidak bertasbih adalah orang tersebut mengingatkan mengapa mereka tidak bertaubat, tidak kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, serta tidak mau berbagai hasil kebun kepada orang miskin, maka lihatlah apa yang terjadi. ([55])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُوا سُبْحَانَ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا ظَالِمِينَ
“Mereka mengucapkan, ‘Mahasuci Tuhan kami, sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim’.” (QS. Al-Qalam : 29)
Akhirnya mereka sadar bahwasanya mereka telah berbuat zalim dengan bersikap pelit kepada orang miskin. ([56])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَأَقْبَلَ بَعْضُهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ يَتَلَاوَمُونَ
“Lalu mereka saling berhadapan dan saling menyalahkan.” (QS. Al-Qalam : 30)
Sebagian mereka menyalahkan dan mencela sebagian yang lainnya atas apa yang mereka lakukan yaitu menghalangi orang miskin([57]). Bahkan dalam tafsir Al-Qurthubi menyebutkan bahwa mereka saling menyalahkan dengan berkata,
بَلْ أَنْتَ أَشَرْتَ عَلَيْنَا بِهَذَا
“Tetapi engkau yang telah menunjukkan hal ini (pelit kepada orang miskin) kepada kami.”([58])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قَالُوا يَا وَيْلَنَا إِنَّا كُنَّا طَاغِينَ، عَسَىٰ رَبُّنَا أَن يُبْدِلَنَا خَيْرًا مِّنْهَا إِنَّا إِلَىٰ رَبِّنَا رَاغِبُونَ
“Mereka berkata, ‘Celaka kita! Sesungguhnya kita orang-orang yang melampaui batas. Mudah-mudahan Tuhan memberikan ganti kepada kita dengan (kebun) yang lebih baik daripada yang ini, sungguh, kita mengharapkan ampunan dari Tuhan kita’.” (QS. Al-Qalam : 31-32)
Akhirnya mereka sadar akan kesalahan mereka, dan mereka kemudian berharap ampunan Allah Subhanahu wa ta’ala. ([59])
Kisah Ashabul Jannah (pemilik kebun) ini menjadi dalil bahwa orang yang telah bertekad untuk melakukan keburukan maka Allah sudah mencatatnya sebagai dosa, tanpa dilihat apakah dia berhasil melakukannya atau tidak. Sebagaimana para pemilik kebun tersebut, mereka baru bertekad untuk menghalangi orang miskin di malam hari dan belum melakukannya. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengirimkan azab sebelum mereka berhasil mewujudkan niatnya([60]). Oleh karenanya ini juga menunjukkan bahwa pelit adalah akhlak yang buruk. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan pelit dengan فَاحِشَة (perbuatan keji) ([61]). Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Syaithan menjanjikan (menakut-nakuti) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji (kikir), sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karunia-Nya kepadamu. Dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah : 268)
Intinya meskipun sikap pelit mereka belum dikerjakan dan baru sekadar azam, ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala telah turunkan azab([62]). Dan kaidah ini juga ditunjukkan oleh dalil-dalil yang lain, di antaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا، فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ، فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ: إِنَّهُ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ
“Jika dua orang muslim berperang dengan pedang mereka, yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka.” para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, yang membunuh tentu saja (masuk neraka), tetapi bagaimana dengan yang terbunuh?’. Beliau menjawab, ‘Yang terbunuh juga ingin membunuh kawannya’.”([63])
Oleh karenanya kita harus ketahui bahwa jika seseorang telah berniat buruk dan telah berazam, atau bahkan telah melakukan usaha, maka berhasil atau tidak dia telah mendapatkan dosa([64]). Contoh zaman sekarang ini adalah seseorang yang masuk ke dunia internet dan hendak membuka situs-situs pornografi. Akan tetapi ternyata situs yang dia kunjungi tersebut terblokir. Berkali-kali dia mengulangi usaha tersebut untuk mencari situs yang lain, namun ternyata tetap terblokir. Ketahuilah bahwa usahanya tersebut telah dinilai dosa.
Sebagian ulama dalam buku-buku tafsir juga menjadikan kisah ini sebagai dalil bahwasanya jika ada seseorang yang memiliki harta yang telah mencapai nishab dan sebentar lagi tiba haulnya, namun dia kemudian mengeluarkan sebagiannya agar berkurang dari nishab dan agar tidak berzakat, maka dia telah berdosa. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui niat seseorang sengaja atau tidak. Karena yang demikian pula dia telah melakukan keburukan berupa mencegah hak orang miskin sebagaimana kisah Ashabul Jannah. Akan tetapi jika ditemukan ada orang yang seperti ini, maka sebagian ulama berpendapat bahwa dari orang tersebut tetap ditarik sebagian dari hartanya sebagai zakat. ([65])
Kisah ini juga merupakan dalil bahwa siapa yang tidak mensyukuri nikmat maka akan dicabut oleh Allah. Seorang ulama berkata :
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النِّعَمَ فَقَدْ تَعَرَّضَ لِزَوَالِهَا، وَمَنْ شَكَرَهَا فَقَدْ قَيَّدَهَا بِعِقَالِهَا
“Barangsiapa tidak mensyukuri nikmat berarti dia telah menjadikan nikmat tersebut terancam untuk hilang, dan barangsiapa mensyukurinya berarti dia mengikatnya dengan ikatannya”. ([66])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَذَٰلِكَ الْعَذَابُ ۖ وَلَعَذَابُ الْآخِرَةِ أَكْبَرُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Seperti itulah azab (di dunia). Dan sungguh, azab akhirat lebih besar sekiranya mereka mengetahui.” (QS. Al-Qalam : 33)
Ayat ini merupakan peringatan bagi orang-orang kafir Quraisy, bahwasanya azab di akhirat itu lebih besar daripada azab di dunia. ([67])
Apa kaitan kisah Ashabul Jannah dan orang-orang kafir Quraisy? pada firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّا بَلَوْنَاهُمْ كَمَا بَلَوْنَا أَصْحَابَ الْجَنَّةِ
“Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik Mekkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun (Ashabul Jannah).” (QS. Al-Qalam : 17)
Para ulama menjelaskan bahwa sisi kemiripan Ashabul Jannah dengan orang-orang kafir Quraisy adalah Ashabul Jannah diberi kenikmatan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala namun tidak mensyukurinya, adapun orang-orang kafir Quraisy juga diberi kenikmatan dengan diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam namun mereka juga tidak mensyukurinya. Di antara kenikmatan yang diberikan kepada orang-orang kafir Quraisy adalah mereka diberi kenikmatan keamanan di kota Mekkah; mereka dimudahkan dalam perdagangan; mereka diberi kenikmatan sebagai pengurus Ka’bah; dan kenikmatan terakhir adalah Allah Subhanahu wa ta’ala sempurnakan dengan diutusnya seorang Nabi dari kalangan mereka. Akan tetapi dengan semua ini mereka tidak bersyukur. Maka sebagaimana Ashabul Jannah yang tidak bersyukur dikirimkan teguran oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, demikian pula orang-orang Quraisy dikirimkan teguran karena tidak bersyukur. ([68])
Oleh karenanya hal ini merupakan dalil bahwasanya ujian bukan hanya kekurangan dan kesulitan. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala juga menamakan kenikmatan yang diperoleh Ashabul Jannah dan orang-orang kafir Quraisy sebagai ujian. Oleh karena itu kesehatan, kenikmatan, keamanan, dan yang lainnya juga termasuk ujian([69]).
Akan tetapi antara Ashabul Jannah dan orang-orang kafir Quraisy terdapat perbedaan. Bedanya adalah orang-orang kafir Quraisy tetap berada dalam kekufuran mereka meskipun telah datang teguran Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap mereka. Adapun Ashabul Jannah sadar tatkala ditegur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka mereka langsung bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([70]). Bahkan sebagian Ahli Tafsir seperti As-Sa’di dan yang lainnya mengatakan bahwa zahirnya Allah Subhanahu wa ta’ala memberi ganti kepada Ashabul Jannah([71]). Bahkan ada yang mengatakan bahwa hari itu juga Allah Subhanahu wa ta’ala tumbuhkan kebun yang lebih baik daripada kebun yang Allah Subhanahu wa ta’ala hancurkan karena mereka kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([72]). Hal ini merupakan dalil bahwasanya ketika seseorang berbuat dosa dan sadar, kemudian dia kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, maka bisa jadi Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan ganti dengan yang lebih baik sebagaimana yang dialami oleh Ashabul Jannah.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِندَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ
“Sungguh, bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) surga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhan-Nya.” (QS. Al-Qalam : 34)
Takwa secara bahasa adalah اِتِّخَاذُ الْوِقَايَةِ (membuat penghalang), yaitu penghalang antara dirinya dan neraka. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
اِتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Berlindunglah kalian dari api neraka walaupun dengan separuh kurma.” ([73])
Takwa adalah dengan meninggalkan maksiat-maksiat. Dan takwa harus meliputi seluruh tubuh baik luar maupun dalam([74]). Jangan kita hanya bertakwa secara zahir dan tidak bertakwa dari segi batin, sebagaimana sebagian orang yang secara zahir dia berpenampilan islami, menampakkan penampilan yang sunnah, tetapi hatinya dipenuhi dengan hasad, suuzan, sombong, angkuh, iri, dan yang lainnya. Maka orang yang seperti ini hakikatnya tidak bertakwa. Demikian pula jangan sampai kita bertakwa pada lisan, akan tetapi tidak bertakwa pada penglihatan dan berani untuk melihat hal-hal yang haram. Demikian juga jangan sampai kita tidak bertakwa pada pendengaran, membiarkan telinga mendengar hal-hal yang haram, mendengar ghibah dan namimah. Oleh karena itu kita harus bertakwa luar dan dalam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَلِبَاسُ التَّقْوَىٰ ذَٰلِكَ خَيْرٌ
“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik.” (QS. Al-A’raf : 26)
Sebagaimana pakaian menutupi seluruh bagian tubuh, maka hendaknya bertakwa pada seluruh bagian dari tubuh kita agar bisa mendapatkan janji yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam ayat ini yaitu surga yang penuh dengan kenikmatan. ([75])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ
“Apakah patut Kami memperlakukan orang-orang Islam itu seperti orang-orang yang berdosa (orang kafir)?” (QS. Al-Qalam : 35)
Para ulama mengatakan bahwa ayat ini turun tentang perkataan kafir Quraisy kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengatakan, “Wahai Muhammad, hari kiamat itu tidak ada. Seandainya pun ada, maka kedudukan kami di surga akan sama denganmu. Atau bahkan bisa jadi kami lebih kaya darimu di surga sebagaimana di dunia kami lebih kaya darimu.” ([76]) Maka Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan beberapa ayat untuk membantah anggapan mereka ini bahwa tidak mungkin sama antara muslim dan kafir, tidak mungkin sama antara tauhid dan syirik([77]). Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
أَفَمَن كَانَ مُؤْمِنًا كَمَن كَانَ فَاسِقًا ۚ لَّا يَسْتَوُونَ
“Maka apakah orang yang beriman sama seperti orang yang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. As-Sajadah : 18)
لَا يَسْتَوِي أَصْحَابُ النَّارِ وَأَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۚ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمُ الْفَائِزُونَ
“Tidak sama antara para penghuni neraka dengan para penghuni-penghuni surga. Penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (QS. Al-Hasyr : 20)
Tentunya tidak sama balasan bagi orang-orang yang beriman dan orang-orang yang kufur terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. ([78])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ
“Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimana kamu mengambil keputusan?” (QS. Al-Qalam : 36)
Artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bertanya bahwa dari mana mereka mengambil hukum bahwa orang-orang yang beriman sama dengan orang-orang yang kafir? Dari mana mereka mengambil hukum bahwa sama antara orang yang bertauhid dan orang yang berbuat syirik? Dari mana mereka mengambil hukum bahwa sama antara penyembah Allah Subhanahu wa ta’ala dengan penyembah sapi, berhala, penyembah Nabi, penyembah malaikat, penyembah kubur? Bagaimana bisa mereka mengambil keputusan seperti itu? ([79])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ، إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ، أَمْ لَكُمْ أَيْمَانٌ عَلَيْنَا بَالِغَةٌ إِلَىٰ يَوْمِ الْقِيَامَةِ ۙ إِنَّ لَكُمْ لَمَا تَحْكُمُونَ
“Atau apakah kamu mempunyai kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu pelajari? sesungguhnya kamu dapat memilih apa saja yang ada di dalamnya. Atau apakah kamu memperoleh (janji-janji yang diperkuat dengan) sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari Kiamat; bahwa kamu dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)?” (QS. Al-Qalam : 37-39)
Yaitu apakah ada kitab yang mereka pelajari yang menyatakan pernyataan tersebut? Kemudian dengan kitab tersebut mereka bisa memilih apa yang mereka senangi saja? ([80])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَلْهُمْ أَيُّهُم بِذَٰلِكَ زَعِيمٌ، أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ فَلْيَأْتُوا بِشُرَكَائِهِمْ إِن كَانُوا صَادِقِينَ
“Tanyakanlah kepada mereka (Muhammad), ‘Siapakah di antara mereka yang bertanggung jawab terhadap (keputusan yang diambil itu)?’ Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu? Kalau begitu hendaklah mereka mendatangkan sekutu-sekutunya jika mereka orang-orang yang benar.” (QS. Al-Qalam : 40-41)
Allah menantang mereka agar mendatangkan penanggung jawab yang berani menjamin pernyataan-pernyataan mereka bahwa orang yang beriman sama dengan orang kafir. Adakah yang berani bertanggung jawab sehingga berani menyamakan antara ahli surga dan ahli neraka? ([81]) Sebagaimana pernyataan orang-orang Liberal bahwa semua orang masuk surga baik itu muslim, kafir, maupun Ateis. Apakah di antara mereka ada yang berani bertanggung jawab atas pernyataan tersebut? Apakah mereka punya saksi-saksi dan pendukung-pendukung atas pernyataan tersebut? ([82])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يُكْشَفُ عَن سَاقٍ وَيُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ فَلَا يَسْتَطِيعُونَ، خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ۖ وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
“Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud, maka mereka tidak kuasa. Pandangan mereka tertunduk ke bawah, diliputi kehinaan. Dan sungguh, dahulu (di dunia) mereka telah diseru untuk bersujud pada waktu mereka sehat (tetapi mereka tidak melakukan).” (QS. Al-Qalam : 42-43)
Allah Subhanahu wa ta’ala pada ayat ini berbicara tentang hari kiamat. Tentang kata سَاقٍ, terdapat dua pendapat di kalangan Ahli Tafsir tentang maknanya. Pendapat pertama mengatakan bahwa disingkapnya betis merupakan uslub/ungkapan orang Arab untuk mengungkapkan kondisi yang berat dan sulit, yaitu hari tersebut (hari kiamat) merupakan hari yang penuh dengan kesulitan. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah([83]). Pendapat kedua mengatakan bahwa سَاقٍ dalam ayat ini adalah sifat kaki Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana hal ini telah dimaklumi dalam hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih bahwa Allah memiliki kaki secara hakiki walaupun tidak akan sama dengan apa yang dimiliki oleh makhluk-Nya. ([84])
Pada hari itu mereka tidak sanggup untuk bersujud, punggung mereka seperti besi yang tidak mampu untuk dibengkokkan ([85]). Sebagaimana dalam hadits disebutkan,
فَيَكْشِفُ عَنْ سَاقِهِ، فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ، وَيَبْقَى مَنْ كَانَ يَسْجُدُ لِلَّهِ رِيَاءً وَسُمْعَةً، فَيَذْهَبُ كَيْمَا يَسْجُدَ، فَيَعُودُ ظَهْرُهُ طَبَقًا وَاحِدًا
“Maka Allah menyingkap betis-Nya sehingga setiap mukmin bersujud kepada-Nya. Lalu tersisalah orang-orang yang sujud kepada Allah karena riya’ dan sum’ah sehingga tatkala mereka hendak sujud, maka punggungnya kembali menjadi satu bagian (lurus dan tidak bisa sujud).”([86])
As-Sa’di berkata dalam tafsirnya,
وَهَذَا الْجَزَاءُ ما جنس عملهم، فَإِنَّهُمْ كَانُوْا يَدْعُوْنَ فِيْ الدُّنْيَا إِلَى السُّجُوْدِ لِلَّهِ وَتَوْحِيْدِهِ وَعِبَادَتِهِ وَهُمْ سَالِمُوْنَ، لَا عِلَّةَ فِيْهِمْ، فَيَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ ذَلِكَ وَيَأْبَوْنَ، فَلَا تَسْأَل يَوْمَئِذٍ عَنْ حَالِهِمْ وَسُوْءِ مَآلِهِمْ، فَإِنَّ اللهَ قَدْ سَخِطَ عَلَيْهِمْ، وَحُقَّتْ عَلَيْهِمْ كَلِمَةُ الْعَذَابِ، وَتَقَطَّعَتْ أَسْبَابُهُمْ، وَلَمْ تَنْفَعْهُمُ النَّدَامَةُ وَلَا الْاِعْتِذَارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Balasan seperti ini sesuai dengan amal mereka ketika di dunia, karena ketika mereka dipanggil di dunia untuk sujud kepada Allah, mengesakan-Nya dan beribadah kepada-Nya dalam keadaan sehat, namun mereka enggan dan sombong melakukannya. Maka Anda tidak perlu bertanya tentang keadaan mereka dan buruknya tempat kembali mereka, karena Allah telah murka kepada mereka dan mereka telah tetap mendapatkan ketetapan azab, dan terputuslah segala hubungan serta tidak bermanfaat penyesalan mereka, dan tidak pula uzur mereka pada hari Kiamat.”([87])
Oleh karena itu, ketika umur masih muda, badan masih sehat, hendaknya kita berusaha banyak sujud (shalat) kepada Allah. Kita melihat orang yang sudah tua, mereka shalat dengan duduk, pakai kursi dan yang lainnya. Shalat yang demikian juga ada kenikmatan, akan tetapi tentu berbeda ketika seseorang masih bisa meletakkan dahinya di lantai untuk sujud dengan sempurna. Ketahuilah bahwa sungguh ada orang yang tidak mampu lagi melakukan sujud, namun mereka masih berangan-angan untuk bisa tetap sujud. Oleh karenanya orang yang tidak mau sujud (shalat), tentunya mereka akan binasa pada hari kiamat kelak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَذَرْنِي وَمَن يُكَذِّبُ بِهَٰذَا الْحَدِيثِ ۖ سَنَسْتَدْرِجُهُم مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ، وَأُمْلِي لَهُمْ ۚ إِنَّ كَيْدِي مَتِينٌ
“Maka serahkanlah kepada-Ku (urusannya) dan orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). Kelak akan Kami hukum mereka berangsur-angsur dari arah yang tidak mereka ketahui, dan Aku memberi tenggang waktu kepada mereka. Sungguh, rencana-Ku sangat teguh.” (QS. Al-Qalam : 44-45)
Di awal-awal dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, Allah menyuruh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar menyerahkan perkara Abu Jahal, Al-Walid bin Al-Mughirah, beserta kaum musyrikin lainnya kepada Allah, karena Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki cara sendiri untuk membinasakan mereka ([88]). Yaitu Allah akan membinasakannya secara perlahan dan berangsur sedikit demi sedikit tanpa mereka sadari. Kata سَنَسْتَدْرِجُهُم berasal dari kata إِسْتِدْرَاج yang artinya tahapan demi tahapan. Artinya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bisa menaikkan mereka kepada puncak kesesatan sedikit demi sedikit, atau Allah Subhanahu wa ta’ala turunkan mereka secara perlahan([89]). Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
مِّنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ
“Dari arah yang tidak mereka ketahui (tidak disadari).”
Yaitu bisa jadi mereka ditambah rezekinya, kemudian mereka meyakini hal itu merupakan kemuliaan dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Padahal sebenarnya hal tersebut adalah istidraaj, Allah Subhanahu wa ta’ala ingin membinasakan mereka tanpa mereka sadari. Sesungguhnya rencana Allah itu sangat besar bagi orang yang menentang perintah-Nya dan mendustakan para Rasul-Nya ([90]).
Oleh karena itu, jika kita berhadapan dengan orang yang menzalimi kita, kalau kita tidak mampu untuk memperbaiki orang tersebut atau membalasnya maka hendaknya kita menyerahkan urusan tersebut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Biarlah Allah Subhanahu wa ta’ala yang menangani orang tersebut, dan jangan mempedulikannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ تَسْأَلُهُمْ أَجْرًا فَهُم مِّن مَّغْرَمٍ مُّثْقَلُونَ
“Ataukah engkau (Muhammad) meminta imbalan kepada mereka, sehingga mereka dibebani dengan utang?” (QS. Al-Qalam : 46)
Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini bertanya bahwa apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala berdakwah meminta upah dari orang-orang kafir Quraisy? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Justru Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah untuk kebaikan mereka. Beliau tidak pernah meminta harta kepada mereka, bahkan beliau tidak memberatkan utang kepada mereka. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala mengajak orang-orang kafir Quraisy berpikir, bahwa apakah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam meminta upah kepada mereka? Maka tentu tidak sama sekali. ([91])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَمْ عِندَهُمُ الْغَيْبُ فَهُمْ يَكْتُبُونَ
“Ataukah ada pada mereka ilmu tentang yang gaib lalu mereka menulis (padanya apa yang mereka tetapkan)?” (QS. Al-Qalam : 47)
Yaitu apakah mereka orang-orang kafir Quraisy memiliki ilmu gaib yang membuat mereka bisa menentukan bahwasanya pada hari kiamat mereka sama derajatnya dengan orang-orang Islam? Tentu tidak. ([92])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تَكُن كَصَاحِبِ الْحُوتِ إِذْ نَادَىٰ وَهُوَ مَكْظُومٌ
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) terhadap ketetapan Tuhanmu, dan janganlah engkau seperti (Yunus) orang yang berada dalam (perut) ikan ketika dia berdoa dengan kondisi marah kepada kamunya.” (QS. Al-Qalam : 48)
Keadaan sulit ini dialami oleh Nabi di awal-awal dakwahnya. Allah menyuruh Nabi, apa pun gangguan yang menimpanya agar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tetap bersabar dan tidak berdoa dalam keadaan marah kepada kaumnya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Yunus. ([93])
Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Yunus berdakwah kepada kaumnya, kaumnya menolak dengan penolakan yang sangat kuat. Karena penolakan tersebut maka Nabi Yunus ‘alaihissalam salam marah dan pergi meninggalkan kaumnya. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala belum mengizinkannya untuk pergi. Artinya Nabi Yunus ‘alaihissalam tidak sabar dengan perlakuan kaumnya. Kita tidak tahu bagaimana gangguan kaum Nabi Yunus ‘alaihissalam kepada dirinya, akan tetapi kita tahu bahwa para Nabi adalah orang yang paling sabar. Akan tetapi mungkin karena saking beratnya gangguan yang dihadapi oleh Nabi Yunus ‘alaihissalam, akhirnya dia pergi meninggalkan kaumnya dalam kondisi marah sebelum diizinkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Akhirnya dia pun pergi dan naik sebuah kapal. Singkat cerita, terjadi ombak yang besar, dan para penumpang tersebut harus mengundi siapa di antara mereka yang harus dilempar keluar dari kapal untuk mengurangi beban dan agar kapal tetap bisa berlayar dengan aman. Keluarlah nama Nabi Yunus ‘alaihissalam, dan akhirnya beliau dilemparkan ke laut lalu ditelan oleh ikan paus sebagai teguran dari Allah Subhanahu wa ta’ala([94]). Di tengah kegelapan tersebut, Nabi Yunus berdoa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala sebagaimana diabadikan di dalam Alquran,
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ‘Tidak ada Tuhan selain Engkau, Mahasuci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim’.” (QS. Al-Anbiya’ : 87)
Dan karena Nabi Yunus ‘alaihissalam telah berdoa demikian, maka Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ، لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berdzikir (bertasbih) kepada Allah, niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai hari kebangkitan.” (QS. Ash-Shaffat: 143-144)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَّوْلَا أَن تَدَارَكَهُ نِعْمَةٌ مِّن رَّبِّهِ لَنُبِذَ بِالْعَرَاءِ وَهُوَ مَذْمُومٌ، فَاجْتَبَاهُ رَبُّهُ فَجَعَلَهُ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Sekiranya dia tidak segera mendapat nikmat dari Tuhannya, pastilah dia dicampakkan ke tanah tandus dalam keadaan tercela. Lalu Tuhannya memilihnya dan menjadikannya termasuk orang yang saleh.” (QS. Al-Qalam : 49-50)
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa jika sekiranya Nabi Yunus ‘alaihissalam tidak mendapat nikmat([95]) dan karena taubatnya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, niscaya dia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam kondisi tercela. Namun akhirnya Nabi Yunus ‘alaihissalam bertaubat kepada Allah menyadari kesalahannya, lalu Allah pun menerima taubatnya dan memasukkannya dalam golongan orang-orang yang saleh. ([96])
Oleh karena itu, jangan pernah terbetik di dalam pikiran kita bahwa Nabi Yunus ‘alaihissalam adalah orang yang tercela dan kita lebih baik daripada dia. Karena sesungguhnya Allah telah menerima taubatnya dan memasukkannya ke dalam golongan orang yang saleh([97]), sebagaimana Nabi-Nabi yang lain juga pernah salah seperti Nabi Adam, Nabi Nuh, dan Nabi Musa ‘alaihimassalam, bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah berbuat salah. Akan tetapi kesalahan tersebut menjadikan mereka para Nabi-Nabi Allah jadi lebih baik dari sebelum mereka bersalah. Karena betapa banyak orang setelah melakukan kesalahan, dia kembali kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, namun itu menjadikan dia lebih baik dari sebelumnya, di antaranya adalah Nabi Yunus ‘alaihissalam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ، وَمَا هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِينَ
Dan sungguh, orang-orang kafir itu hampir-hampir menggelincirkanmu dengan pandangan mata mereka, ketika mereka mendengar Al-Qur’an dan mereka berkata, ‘Dia (Muhammad) itu benar-benar orang gila’. Padahal (Alquran) itu tidak lain adalah peringatan bagi seluruh alam.” (QS. Al-Qalam : 51)
Para ahli tafsir menyebutkan bahwa di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada seseorang yang terkenal memiliki ‘ain (pandangan mata jahat) yang luar biasa. Ketika dia melihat unta lalu memuji unta tersebut, maka tidak lama unta tersebut akan jatuh. Bahkan dikatakan bahwa jika dia ingin melakukan ‘ain, maka dia berpuasa 2-3 hari sebelum beraksi dengan ‘ainnya. Intinya orang tersebut dikenal akan kehebatannya dalam melakukan ‘ain. Maka sekelompok kaum musyrikin memintanya agar mencelakakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tatapan matanya. Namun ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala menyelamatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. ([98])
_______________________________________________________________________________
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/222
([2]) Lihat: Fathul Qadir 5/318
([3]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal.878.
([4]) Lihat: Tafsir Ibnu katsir 8/184.
([5]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/182.
([6]) Lihat: Tafsir Ibnu katsir 8/184-185 dan Tafsir Al-Ma’tsur 22/90-93.
([7]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/184 dan At-Tibyan fi Aqsamil Quran hal. 203
كَانَتْ مُعْجِزَةُ كُلِّ نَبِيٍّ فِي زَمَانِهِ بِمَا يُنَاسِبُ أَهْلَ ذَلِكَ الزَّمَانِ
“Mukjizat setiap Nabi di zamannya sesuai dengan (apa yang digandrungi) oleh penduduk zaman tersebut” (Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 2/486)
([9]) Lihat: Majmu’ Al-Fatawa 1/290
([10]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 24/527
([11]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/187.
([12]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/224-225, dan sebagaimana yang dijelaskan oleh Ar-Razy:
فَإِنَّ التَّفَاهُمَ تَارَةً يَحْصُلُ بِالنُّطْقِ وَ [تَارَةً] يُتَحَرَّى بِالْكِتَابَةِ
“karena sesungguhnya saling memahami terkadang didapat dengan ucapan dan terkadang didapat dengan tulisan.” (Lihat: At-Tafsir Al-Kabir 30/598)
([13]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/187.
([14]) HR. At-Tirmidzi no. 2155
([15]) Lihat: Tafsir Al-Baghawi 8/187.
([16]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/187.
([17]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/225
([19]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/61
([22]) Fadhail Ash-Shahabah no. 653
([23]) Yaitu dalam firmanNya :
لَعَمْرُكَ إِنَّهُمْ لَفِي سَكْرَتِهِمْ يَعْمَهُونَ
“Demi Umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka (kaum Nabi Luth) terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)” (QS Al-Hijr : 72)
Padahal ayat ini konteksnya sedang membicarakan tentang Nabi Luth álaihis salam dan kaumnya, akan tetapi ketika bersumpah Allah tidak bersumpah dengan Nabi Luth akan tetapi dengan Umur Nabi Muhammad shallallahu álaihi wasallam. Ini menunjukan akan agungnya umur Nabi, yaitu seluruh waktu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkah dan penuh keteladanan.
([25]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/188 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/189.
([26]) HR. At-Tirmidzi no. 2018
([27]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/229.
([28]) HR. Al-Hakim no. 3264 dalam Al-Mustadrak
([29]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/192.
([30]) Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Hajar perbedaan keduanya dan hukum keduanya dalam kitabnya Fathul Bari 10/528
([31]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/192 dan Tafsir Al-Ma’tsur 22/109.
([32]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/190, Tafsir As-Sa’diy hal:879 dan Tafsir Al-Ma’tsur 22/109.
([33]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/232
([34]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/192, Tafsir Ibnu Katsir 8/191, Tafsir As-Sa’diy hal:879 dan Tafsir Al-Ma’tsur 22/111.
([35]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/235
([36]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 18/232
([37]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/193 dan Tafsir Al-Ma’tsur 22/120.
([38]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/193.
([39]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/193, Tafsir Ibnu Katsir 8/194, Tafsir As-Sa’diy hal:879.
([42]) Lihat: At-Tahrir Wa At-Tanwir 29/76 dan Tafsir Ibnu Katsir 4/565.
([43]) Tafsir Al-Qurthubiy 18/237.
([44]) Tafsir Al-Baghawiy 8/194 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/195.
([45]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/237.
([46]) Tafsir Al-Baghawiy 8/194.
([47]) Tafsir Al-Baghawiy 8/195 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/240.
([48]) Lihat: Tafsir Al-Mawardiy 6/67.
([49]) Tafsir Ath-Thabariy 23/543.
([50]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/241.
([51]) Lihat: Tafsir Tafsir Al-Baghawiy 8/195. Sebagian ulama menafsirkannya dengan makna malam yang gelap (Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/544)
([52]) Tafsir Al-Baghawiy 8/196 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/196.
([53]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/549, Tafsir Al-Baghawiy 8/196 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/196.
([54]) Lihat: Tafsir Al-Mawardi 6/69, Tafsir Al-Baghawiy 8/196 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/196.
([55]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/196 dan Tafsir 18/244.
([56]) Tafsir Al-Baghawiy 8/197.
([57]) Tafsir Al-Baghawiy 8/197 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/197.
([58]) Tafsir Al-Qurthubi 18/245
([59]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/197 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/197.
([60]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/196 dan At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/82.
([61]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 1/333.
([62]) Lihat: At-Tahrir wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/82.
([63]) HR. Bukhari no. 31 dan HR. Muslim no. 2888
([64]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/241.
([65]) At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/89.
([66]) At-Tahrir Wa At-Tanwir Li Ibnu ‘Asyur 29/85.
([67]) Tafsir Ibnu Katsir 8/197.
([68]) Lihat: Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/589 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/239.
([69]) Lihat: Tafsir Ar-Raziy 30/607.
([70]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/197.
([71]) Tafsir As-Sa’diy hal:880.
([72]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/245.
([74]) Lihat: Tafsir As-Sa’diy hal: 285.
([75]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 7/184.
([76]) Al-Kassyaf Li Az-Zamakhsyari 4/592
([77]) Tafsir Al-Baghawiy 8/197 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/246.
([78]) Tafsir As-Sa’diy hal:880.
([79]) Tafsir Ath-Thabariy 23/552.
([80]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/246. Al-Qurthubi berkata :
أَمْ لَكُمْ عُهُودٌ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى اسْتَوْثَقْتُمْ بِهَا فِي أَنْ يُدْخِلَكُمُ الْجَنَّةَ
“Atau apakah mereka memiliki perjanjian khusus dengan Allah, bahwa pada hari kiamat kelak Allah berjanji akan memasukkan mereka ke dalam surgaNya?” (Tafsir Al-Qurthubiy 18/247)
([81]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/198.
([82]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/198.
([83]) Lihat: Al-Mustadrak ‘ala Majmu’ Al-Fatawa 1/71 dan Majmu’ Al-Fatawa 6/394.
([84]) Lihat: Tafsir Ibnu ‘Athiyyah 5/353.
([85]) Tafsir Al-Qurthubiy 18/250.
([88]) Tafsir Al-Baghawiy 8/210.
([89]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/252.
([90]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/561, Tafsir Ar-Raziy 30/615 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/200.
([91]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubiy 18/252 dan Tafsir Ibnu Katsir 8/200.
([92]) Lihat: Tafsir Ath-Thabariy 23/562.
([93]) Lihat: Tafsir Al-Baghawiy 8/210.
([94]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/201.
([95]) Ada empat pendapat berkaitan dengan maksud dari nikmat yang telah Allah berikan kepada Nabi Nuh ‘alaihissalam. Pertama: Adalah nikmat berupa kenabian, yaitu Allah memilih dan mengangkat beliau sebagai Nabi. Kedua: Ibadahnya yang dulu telah dia kerjakan. Ketiga: Taubat beliau kepada Allah dengan berdzikir ‘Laa Ilaaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minadz Dzalimiin’. Keempat: Nikmat Allah yang diberikan kepada beliau adalah ketika beliau dikeluarkan dari perut ikan. (Tafsir Al-Mawardiy 6/73)
([96]) Tafsir Al-Baghawiy 8/201 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/254.
([97]) Tafsir Ibnu Katsir 8/201.
Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَنْبَغِي لِعَبْدٍ أَنْ يَقُولَ: أَنَا خَيْرٌ مِنْ يُونُسَ بْنِ مَتّ
“Tidak sepantasnya seseorang mengatakan bahwa ‘Aku lebih baik dari (Nabi) Yunus bin Matta’.” (H.R. Bukhari no.3416)