Tafsir Surah Al-Mursalat
Surah Al-Mursalat adalah surah yang terakhir dari Juz ke-29 dan merupakan surah terakhir dari surah-surah Thiwal Al-Mufashshal yang dimulai dari surah Qaf hingga surah Al-Mursalat.
Surah Al-Mursalat dari ayat pertama hingga terakhir termasuk surah Makkiyah berdasarkan pendapat jumhur ulama ([1]). Dan jika kita melihat surah ini, maka kita akan dapati bahwa nuansa surah ini sama dengan surah-surah Makkiyah lainnya yang isinya adalah pengingkaran serta bantahan terhadap orang-orang musyrikin yang mereka mengingkari adanya hari kebangkitan, kecuali satu ayat di mana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لَا يَرْكَعُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Rukuklah,” mereka tidak mau rukuk.” (QS. Al-Mursalat : 48)
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini merupakan ayat Madaniyah karena shalat baru banyak dibicarakan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpindah dari Mekkah ke Madinah. Akan tetapi hal ini dibantah oleh sebagian ulama bahwa ayat ini tetap termasuk Makkiyah, karena firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini maksudnya adalah “Jika mereka diperintahkan untuk masuk Islam mereka enggan”, yaitu Islam diungkapkan dengan ruku’ (shalat), karena seseorang untuk bisa shalat dan rukuk, maka ia harus masuk Islam terlebih dahulu. Dan hal seperti ini pun sama dalam ayat-ayat yang lain seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَقَدْ كَانُوا يُدْعَوْنَ إِلَى السُّجُودِ وَهُمْ سَالِمُونَ
“Dan sungguh, dahulu (di dunia) mereka telah diseru untuk bersujud pada waktu mereka sehat (tetapi mereka tidak melakukan).” (QS. Al-Qalam : 43) ([2])
Surah Al-Qalam juga termasuk surah Makkiyah. Dan ayat ini bercerita tentang orang-orang musyrikin yang diperintahkan sujud, maksudnya adalah diperintahkan untuk masuk Islam. Demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-Muddatstsir,
مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ، قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ
“Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?” Mereka menjawab, “Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat.” (QS. Al-Muddatstsir : 42-43)
Ayat ini maksudnya adalah orang-orang musyrikin dahulu tidak shalat dan tidak beriman (tidak masuk Islam), sehingga menjerumuskan mereka ke dalam neraka Saqar. Oleh karenanya pendapat yang lebih benar adalah surah Al-Mursalat dari awal hingga akhir turun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah atau dengan kata lain termasuk surah Makkiyah.
Surah Al-Mursalat juga dikenal dengan surah Al-‘Urf([3]) sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا
“Demi (malaikat-malaikat) yang diutus untuk membawa kebaikan.” (QS. Al-Mursalat : 1)
عُرْفًا adalah satu kata yang tidak terdapat dalam surah-surah yang lain. Dan para ulama terbiasa memberi nama sebuah surah dengan menyebutkan awal surah atau menyebutkan satu kata dari surah tersebut yang tidak terdapat pada surah-surah yang lain. Oleh karenanya para ulama juga menyebut surah Al-Mursalat dengan surah Al-‘Urf karena kalimat عُرْفًا hanya ada pada surah Al-Mursalat.
Di antara dalil yang menunjukkan bahwa surah Al-Mursalat merupakan surah Makkiyah adalah perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Beliau berkata,
نَزَلَتْ وَالْمُرْسَلاتِ عُرْفاً عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْجِنِّ وَنَحْنُ مَعَهُ نَسِيرُ، حَتَّى أَوَيْنَا إِلَى غَارٍ بِمِنًى فَنَزَلَتْ، فَبَيْنَا نَحْنُ نَتَلَقَّاهَا مِنْهُ، وَإِنَّ فَاهُ لَرَطْبٌ بِهَا إِذْ وَثَبَتْ حَيَّةٌ، فَوَثَبْنَا عَلَيْهَا لِنَقْتُلَهَا فَذَهَبَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وُقِيتُمْ شَرَّهَا كَمَا وُقِيَتْ شَرَّكُمْ
“Ayat ‘Warmusalaati ‘Urfaa’ turun kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada malam Al-Jin([4]) dan kami bersama sedang berjalan bersama beliau. Sampai ketika kami bernaung (untuk bersembunyi) di sebuah gua di Mina, maka turun ayat tersebut. Maka Nabi mengajarkan ayat tersebut kepada kami. Dan ketika baru saja ayat tersebut diajarkan kepada kami, tiba-tiba muncul seekor ular. Maka kami pergi untuk membunuhnya, akan tetapi ular itu kabur. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata ‘Kalian telah selamat dari keburukan ular tersebut sebagaimana ular itu telah selamat dari keburukan kalian’.”([5])
Ini menunjukkan bahwa surah ini turun di Mekkah sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah. Dan nuansa surah ini juga jelas berbicara tentang hari kiamat, tentang membantah orang-orang musyrikin yang mengingkari hari kiamat. Berbeda dengan ciri-ciri surah Madaniyah yang biasanya isinya berkaitan dengan fikih dan hukum-hukum.
Surah Al-Mursalat adalah surah yang terakhir dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat berjamaáh jahriyah sebelum beliau meninggal dunia, yaitu dalam shalat maghrib. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedang sakit parah akan meninggal dunia, shalat jahriyah yang terakhir beliau imami adalah shalat maghrib, dan tatkala itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca surah Al-Mursalat. Dan kita tahu bahwasanya pada waktu shalat maghrib, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasanya membaca surah-surah Qishar Al-Mufashshal([6]). Adapun surah-surah Tiwal Al-Mufashshal yang di dalamnya termasuk surah Al-Mursalat biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baca pada saat shalat subuh. Adapun Aushat Al-Mufashshal([7]) biasa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baca pada shalat-shalat subuh. Adapun yang disebut dengan surah-surah Mufashshal adalah surah yang terdiri dari surah Qaf hingga surah An-Naas. Intinya adalah ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sakit akan meninggal, beliau menjadi imam shalat maghrib dan membaca surah Al-Mursalat. Dan kita tahu bahwa ini bukanlah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
قَرَأْتُ سُورَةَ وَالْمُرْسَلاتِ عُرْفاً فَسَمِعَتْنِي أُمُّ الْفَضْلِ امْرَأَةُ الْعَبَّاسِ، فَبَكَتْ وَقَالَتْ: وَاللَّهِ يَا بُنَيَّ لَقَدْ أَذْكَرْتَنِي بِقِرَاءَتِكَ هَذِهِ السُّورَةَ إِنَّهَا لَآخِرُ مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ بِهَا فِي صَلَاةِ الْمَغْرِبِ
“Aku membaca surah ‘Walmursalati ‘urfaa’, maka Ummu Al-Fadhl istri ‘Abbas (ibuku) mendengarku membacanya. Maka dia pun menangis dan berkata ‘Demi Allah Wahai anakku, engkau telah mengingatkanku ketika engkau membaca surah ini. Sesungguhnya ini adalah surah terakhir yang aku dengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacanya pada shalat maghrib.”([8])
Dan keterkaitan antara surat ini dengan yang sebelumnya adalah tatkala Allah pada surat sebelumnya (yaitu surat al-Muddattsir) berbicara tentang hari kiamat dan Allah menjelaskan bahwa Allah akan memasukkan orang-orang yang ia kehendaki ke dalam surga, dan orang-orang yang zholim ke dalam neraka, maka pada ayat ini Allah azza wa jalla bersumpah bahwa itu akan terjadi dan Allah menjelaskan kapan waktunya dan tanda-tandanya, sehingga Allah bersumpah bahwa semua yang terkandung pada surat sebelumnya pasti terjadi. ([9])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا، فَالْعَاصِفَاتِ عَصْفًا، وَالنَّاشِرَاتِ نَشْرًا، فَالْفَارِقَاتِ فَرْقًا، فَالْمُلْقِيَاتِ ذِكْرًا، عُذْرًا أَوْ نُذْرًا، إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَوَاقِعٌ
“Demi yang diutus untuk membawa kebaikan, dan yang terbang dengan kencangnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyebarkan (rahmat Allah) dengan seluas-luasnya, dan (malaikat-malaikat) yang membedakan (antara yang baik dan yang buruk) dengan sejelas-jelasnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu. Untuk menolak alasan-alasan (uzur) atau memberi peringatan. Sungguh, apa yang dijanjikan kepadamu pasti terjadi.” (QS. Al-Mursalat : 1-7)
Allah Subhanahu wa ta’ala membuka firman-Nya dengan sumpah terhadap lima hal. Terdapat tiga metode para ulama dalam menafsirakan lima ayat ini.
Metode pertama, firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini berkaitan dengan angin sehingga seluruh ayat-ayat tersebut Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah tentang angin. ([10])
Metode kedua, firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini berkaitan tentang malaikat sehingga maksudnya seluruh ayat-ayat tersebut adalah Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah atas nama malaikat. ([11])
Metode ketiga, firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini berkaitan dengan angin dan malaikat. Ayat pertama hingga kedua maka itu berkaitan dengan angin, sedangkan ayat ketiga hingga kelima maka itu berkaitan dengan malaikat. Dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Thahir Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya At-Tahrir wa At-Tanwir([12]), serta pendapat yang lebih kuat insyaallah.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا، فَالْعَاصِفَاتِ عَصْفًا
“Demi (angin) yang diutus untuk membawa kebaikan, dan yang terbang dengan kencangnya.” (QS. Al-Mursalat : 1-2)
Dua ayat ini berbicara tentang angin. Kata عُرْفًا dalam bahasa Arab artinya adalah rambut yang ada di punggung leher kuda, yang jika kuda telah bergerak, maka rambutnya tampak berjalan berturut-turut ([13]). Maka dari sini pada ulama mengatakan bahwa maksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala وَالْمُرْسَلَاتِ عُرْفًا adalah Demi angin yang Allah Subhanahu wa ta’ala kirimkan secara berturut-turut. Dan ayat selanjutnya (dan yang terbang dengan kencangnya) menjelaskan bahwa ketika angin sudah datang berturut-turut, maka angin tersebut kemudian berhembus dengan sekencang-kencangnya dan menghancurkan apa yang dilewatinya.
Dan perlu untuk diketahui bahwa kata ف dalam bahasa Arab tidak menandakan sumpah, melainkan sebagai penggandeng. Adapun huruf yang menandakan sumpah adalah huruf و. Sehingga ayat فَالْعَاصِفَاتِ عَصْفًا merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala selanjutnya,
وَالنَّاشِرَاتِ نَشْرًا، فَالْفَارِقَاتِ فَرْقًا، فَالْمُلْقِيَاتِ ذِكْرًا، عُذْرًا أَوْ نُذْرًا
“Demi (malaikat-malaikat) yang menyebarkan (rahmat Allah) dengan seluas-luasnya, dan (malaikat-malaikat) yang membedakan (antara yang baik dan yang buruk) dengan sejelas-jelasnya, dan (malaikat-malaikat) yang menyampaikan wahyu. Untuk menolak alasan-alasan (uzur) atau memberi peringatan.” (QS. Al-Mursalat : 3-6)
Kata النَشْرُ merupakan lawan kata dari kata الطَّيُّ yang artinya membuka, sehingga النَشْرُ artinya adalah membuka. Banyak tafsiran para ulama tentang firman Allah Subhanahu wa ta’ala وَالنَّاشِرَاتِ نَشْرًا, di antara maknanya adalah ‘Demi malaikat yang mengirimkan awan’, atau ‘Demi malaikat yang membuka catatan amal’. ([14])
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala فَالْفَارِقَاتِ فَرْقًا maksudnya adalah demi malaikat yang membedakan antara haq dan batil ([15]), membedakan antara petunjuk dan kesesatan, atau membedakan antara kafir dan mukmin.
Dan firman Allah Subhanahu wa ta’ala فَالْمُلْقِيَاتِ ذِكْرًا maksudnya adalah malaikat yang menyampaikan peringatan([16]). Telah ijma’ para ulama bahwa maksud ayat ini adalah malaikat ([17]). ذِكْرًا maksudnya adalah pelajaran atau peringatan. Maka jika diartikan dengan angin, maka kita tahu bahwa angin tidak bisa menyampaikan peringatan. Sedangkan malaikat mampu untuk menyampaikan peringatan berupa wahyu, Alquran, dan yang lainnya.
Akan tetapi para ulama yang mengatakan bahwa ayat ini merupakan rentetan sumpah tentang angin memberikan takwil bahwa ayat ini maksudnya adalah angin yang berhembus kencang yang membuat bencana itu adalah peringatan bagi manusia agar mereka ingat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sehingga secara tidak langsung angin tersebut menjadi peringatan bagi manusia ([18]). Akan tetapi tafsir dengan malaikat lebih tepat.
Dan tujuan Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan wahyu kepada para malaikat adalah sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
عُذْرًا أَوْ نُذْرًا
“Untuk menolak alasan-alasan (uzur) atau memberi peringatan.”
Artinya manusia tidak memiliki hujjah dan bantahan lagi di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala karena Dia telah menigrimkan wahyu-Nya melalui malaikat kepada Rasul-Nya. Dan wahyu juga diturunkan sebagai peringatan bagi manusia untuk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa ta’ala setelah tersampaikan kepada mereka ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dalam enam ayat sebelumnya dengan tujuan penekanan suatu permasalahan. Yaitu firman Allah Subhanahu wa ta’ala Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا تُوعَدُونَ لَوَاقِعٌ
“Sungguh, apa yang dijanjikan kepadamu pasti terjadi.”
Apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala janjikan kepada orang-orang musyrikin Arab? Yaitu akan ada hari kiamat ([19]), akan ada tiupan sangkakala, akan ada hari di mana mereka akan dibangkitkan. Dan mereka akan dikumpulkan di padang mahsyar, kemudian mereka akan disidang oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan mereka akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam. ini semua adalah janji yang pasti akan diberikan dari Allah Subhanahu wa ta’ala untuk orang-orang kafir.
Allah Subhanahu wa ta’ala
فَإِذَا النُّجُومُ طُمِسَتْ، وَإِذَا السَّمَاءُ فُرِجَتْ، وَإِذَا الْجِبَالُ نُسِفَتْ، وَإِذَا الرُّسُلُ أُقِّتَتْ، لِأَيِّ يَوْمٍ أُجِّلَتْ، لِيَوْمِ الْفَصْلِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الْفَصْلِ
“Maka apabila bintang-bintang dihapuskan, dan apabila langit terbelah, dan apabila gunung-gunung dihancurkan menjadi debu, dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktunya. (Niscaya dikatakan kepada mereka), “Sampai hari apakah ditangguhkan (azab orang-orang kafir itu)?” Sampai hari keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari keputusan itu?” (QS. Al-Mursalat : 8-14)
Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang kapan Allah akan tunaikan janji-Nya kepada orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa ta’ala mulai menyebutkan waktunya dengan berfirman,
فَإِذَا النُّجُومُ طُمِسَتْ
“Maka apabila bintang-bintang dihapuskan.”
طمس dalam bahasa Arab bisa ibarat sebuah buku yang telah lama, sehingga tulisan di dalamnya mulai hilang ([20]). Oleh karenanya para ulama menafsirkan bahwa maksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini adalah tatkala bintang-bintang dihilangkan cahayanya. Dan cahaya bintang-bintang itu mulai hilang ketika telah terjadi hari kiamat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ، وَإِذَا النُّجُومُ انْكَدَرَتْ
“Apabila matahari digulung, dan apabila bintang-bintang telah hilang cahayanya.” (QS. At-Takwir : 1-2)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا السَّمَاءُ فُرِجَتْ
“Dan apabila langit terbelah.”
Ketika terjadi hari kiamat, maka langit-langit pada awalnya akan terbelah kecil, kemudian terbelah besar sehingga menjadi lemah. Kemudian langit tersebut dilipat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka apa-apa yang akan menimpa orang-orang musyrikin Arab akan terjadi pada hari kiamat kelak, yaitu tatkala langit-langit terbelah.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا الْجِبَالُ نُسِفَتْ
“Dan apabila gunung-gunung dihancurkan menjadi debu.”
Para ulama menafsirkan bahwa makna نُسِفَتْ adalah gunung-gunung yang dicabut dari tempatnya dengan cepat ([21]). Dan sebagaimana kita ketahui bahwa ketika hari kiamat terjadi, maka gunung-gunung memiliki proses di mana pertama dicabut dengan kuat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dari pangkalnya, kemudian diterbangkan, lalu ditabrakkan dengan gunung-gunung yang lain sehingga menjadi hancur lebur. Demikianlah kesudahan gunung-gunung pada hari kiamat kelak.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا الرُّسُلُ أُقِّتَتْ
“Dan apabila rasul-rasul telah ditetapkan waktunya.”
Kata أُقِّتَتْ berasal dari وُقِّتَتْ ([22]) yang artinya para Rasul dikumpulkan pada waktu tertentu, yaitu hari kiamat ([23]). Para Rasul kelak akan dikumpulkan pada hari kiamat untuk ditanya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَوْمَ يَجْمَعُ اللَّهُ الرُّسُلَ فَيَقُولُ مَاذَا أُجِبْتُمْ قَالُوا لَا عِلْمَ لَنَا إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ
“Pada hari ketika Allah mengumpulkan para rasul, lalu Dia bertanya (kepada mereka), ‘Apa jawaban (kaummu) terhadap (seruan)mu?’.” (QS. Al-Maidah : 109)
Maka pada hari itu dihadirkan antara para Nabi dan umatnya untuk disidang di hadapan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka maksud ayat ini adalah para Rasul akan dikumpulkan pada waktu tertentu untuk dihadapkan dengan umatnya untuk disidang di antara mereka.
Dan Allah menyebutkan tanda-tanda hari kiamat: mengandung unsur peringatan kuat agar orang-orang kafir itu tidak meremehkan hari kiamat, begitu juga: Allah azza wa jalla selalu ulang kalimat إِذَا (apabila) pada setiap tanda, agar orang-orang benar-benar perhatian dengan kandungan-kandungannya. ([24])
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِأَيِّ يَوْمٍ أُجِّلَتْ، لِيَوْمِ الْفَصْلِ، وَمَا أَدْرَاكَ مَا يَوْمُ الْفَصْلِ؟
“(Niscaya dikatakan kepada mereka), ‘Sampai hari apakah ditangguhkan (azab orang-orang kafir itu)?’ (yaitu) Sampai hari keputusan. Dan tahukah kamu apakah hari keputusan itu?”
Allah berfirman di dalam ayat ini dengan konteks pertanyaan: untuk mengisyaratkan akan beratnya keadaan hari itu. ([25])
Disebutkan dalam sebagian riwayat,
إِذَا حُشِرَ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَامُوا أَرْبَعِينَ، عَلَى رؤوسهم الشَّمْسُ، شَاخِصَةً أَبْصَارُهُمْ إِلَى السَّمَاءِ، يَنْتَظِرُونَ الْفَصْلَ
“Apabila manusia dibangkitkan pada hari kiamat, selama empat puluh tahun mereka berdiri sementara matahari berada di atas kepala mereka. Mereka mengangkat pandangan ke arah langit menunggu keputusan.”([26])
الفَصْلُ artinya pembeda, dan disebut dengan Al-Fashlu karena pada hari itu adalah hari pembeda antara yang haq dan yang bathil, dan jelasnya bagi orang kafir apa-apa yang rancu dan tidak mereka percayai selama di dunia. ([27])
Pada hari tersebut Allah Subhanahu wa ta’ala turun untuk menyidang seluruh manusia disebut dengan Yaum Al-Fashl (hari penentuan). Setelah manusia dibangkitkan pada hari kiamat, mereka kemudian menunggu kedatangan Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka pada saat itulah ada yang namanya syafaat, mereka datang kepada para Nabi untuk meminta syafaat. Setelah itu semua terjadi, maka tibalah Yaum Al-Fashl (hari persidangan, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا
“Dan datanglah Tuhanmu dan malaikat berbaris-baris.” (QS. Al-Fajr : 22)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 15)
Allah Subhanahu wa ta’ala mengulang ayat ini dalam surah Al-Mursalat sebanyak sepuluh kali. Dan hal ini bukanlah kebiasaan Allah Subhanahu wa ta’ala pada surah-surah yang lain. Al-Qurthubi rahimahullah menafsirkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala mengulang ayat ini berkali-kali karena banyak hal yang orang-orang musyrikin Arab dustakan. Mereka mendustakan hari kiamat, mendustakan hari kebangkitan, mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mendustakan Alquran, dan yang lainnya ([28]). Karena saking banyaknya hal yang mereka dustakan, maka Allah Subhanahu wa ta’ala mengakatan “Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran)” berkali-kali sebanyak bentuk kedustaan mereka. Dan pengulangan ayat ini merupakan peringatan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala akan mengazab mereka sesuai kadar kedustaan mereka, karena jika Allah Subhanahu wa ta’ala telah memberikan azab maka azab tersebut akan detail. Oleh karenanya Imam Al-Quthubi rahimahullah menyebutkan bahwa pengulangan ayat bukan sekedar mengulangi penekanan, akan tetapi karena pendustaan mereka yang banyak sehingga harus diperinci satu persatu.
Adapun وَيْلٌ, terdapat dua penafsiran tentang kata ini. وَيْلٌ secara bahasa bermakna celaka. Adapun secara istilah, وَيْلٌ adalah وَادٍ فِي جَهَنَّمَ yaitu nama lembah yang ada di neraka Jahannam) ([29]), dan lembah tersebut berisi kotoran-kotoran yang terkumpul. Sebagaimana kita ketahui bahwa penghuni neraka memiliki kotoran-kotoran berupa darah, nanah, serta cairan dari kemaluan mereka. Semua kotoran busuk tersebut mengalir dan terkumpul pada suatu lembah di neraka yang bernama lembah وَيْلٌ. Akan tetapi penafsiran secara istilah ini tidak memiliki dalil yang sahih, hanya saja sebagian para salaf menyebutkan ini sebagai tafsiran dari kata وَيْلٌ.
Adapun sebagian ulama mengatakan bahwa وَيْلٌ dalam ayat ini bermakna umum yaitu ungkapan “celaka” ([30]). Adapun azab apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala akan berikan kepada mereka itu menjadi urusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan pendapat ini merupakan pendapat yang lebih benar.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ نُهْلِكِ الْأَوَّلِينَ، ثُمَّ نُتْبِعُهُمُ الْآخِرِينَ، كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Bukankah telah Kami binasakan orang-orang yang dahulu? Lalu Kami susulkan (azab Kami terhadap) orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah Kami perlakukan orang-orang yang berdosa. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 16-19)
Ayat ini adalah dalil pertama yang Allah Subhanahu wa ta’ala bawakan untuk menekankan akan adanya hari kebangkitan. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَلَمْ نُهْلِكِ الْأَوَّلِينَ
“Bukankah telah Kami binasakan orang-orang yang dahulu?”
Sebagaimana kita ketahui bahwa orang-orang terdahulu telah dibinasakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Di antaranya adalah kaum Nabi Nuh ‘alaihissalam, kaum Nabi Shaleh ‘alaihissalam, kaum Nabi Hud ‘alaihissalam, serta Fir’aun dan bala tentaranya. Dan kabar tentang kebinasaan orang-orang terdahulu ini diketahui oleh orang-orang musyrikin.([31]) Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan mereka tentang kebinasaan orang-orang terdahulu, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian mengingatkan mereka dengan berfirman,
ثُمَّ نُتْبِعُهُمُ الْآخِرِينَ، كَذَلِكَ نَفْعَلُ بِالْمُجْرِمِينَ
“Lalu Kami susulkan (azab Kami terhadap) orang-orang yang datang kemudian. Demikianlah Kami perlakukan orang-orang yang berdosa.”
Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan ancaman kepada orang-orang musyrikin. Selama mereka melakukan kezaliman, melakukan kemaksiatan, dan melakukan kesyirikan, maka nasib mereka akan sama dengan orang-orang terdahulu yang telah dibinasakan ([32]). Setelah itu Allah Subhanahu wa ta’ala mengulangi kembali firman-Nya dengan berkata,
وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).”
Sebagian ulama mengatakan bahwa rangkaian firman Allah ini memberikan makna tersirat bahwasanya mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala untuk membangkitkan mereka kembali pada hari kiamat kelak. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan dan mematikan manusia, maka untuk menciptakan ulang adalah hal yang mudah dan bukanlah hal yang mustahil. Sebagaimana Allah mudah untuk menciptakan dan mematikan mereka, maka mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala untuk melakukan tindakan berikutnya. Tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa pernah menciptakan orang-orang terdahulu, kemudian mematikan mereka, maka ini berarti Allah yang berkuasa mengatur hidup dan matinya mereka. Sehingga secara logika Allah Subhanahu wa ta’ala bisa mengambil tindakan berikutnya yaitu membangkitkan mereka. Maka tersirat makna bahwa mengapa orang-orang musyrikin masih mendustakan hari kebangkitan?
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ، فَجَعَلْنَاهُ فِي قَرَارٍ مَكِينٍ، إِلَى قَدَرٍ مَعْلُومٍ، فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina (mani), kemudian Kami letakkan ia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka (Kamilah) sebaik-baik yang menentukan. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 20-25)
Ayat ini adalah dalil kedua yang Allah Subhanahu wa ta’ala bawakan untuk mengabarkan adanya hari kebangkitan. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ، فَجَعَلْنَاهُ فِي قَرَارٍ مَكِينٍ، إِلَى قَدَرٍ مَعْلُومٍ
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina (mani), kemudian Kami letakkan ia dalam tempat yang kokoh (rahim), sampai waktu yang ditentukan.”
Dari ayat ini, Syaikh ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa tidak boleh seseorang menggugurkan kandungan yang telah masuk dalam proses implantasi.([33]) Karena Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Kemudian Kami letakkan ia dalam tempat yang kokoh (rahim)”, maka tidak boleh seseorang melepaskan kandungan tersebut dari tempat yang kokoh tersebut. Jika seseorang menggugurkan kandungan tersebut meskipun belum sampai empat bulan, maka dia telah berdosa. Adapun jika seseorang menggugurkan kandungan setelah empat bulan (setelah ditiupkan ruh), maka hukumnya dia telah membunuh. Meskipun berbeda dosa aborsi sebelum dan setelah ditiupkannya ruh, tetap saja perbuatan tersebut tidak boleh.
Dan dengan ayat ini Allah azza wa jalla semakin menghinakan pemikiran orang yang mengingkari hari kebangkitan: yaitu dengan membuktikan bahwa Allah azza wa jalla mampu menciptakan sesuatu yang asalnya tidak ada. ([34])
Dan faedah dari penyebutan “air yang hina” adalah untuk lebih menekankan dan menampakkan akan kekuasaan dan kekuatan Allah azza wa jalla, yaitu Allah mampu menciptakan makhluq yang kuat dan sempurna akalnya hanya dari air hina([35]) (yang mengandung keharusan bagi mereka untuk mengesakan Allah azza wa jalla)
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Lalu Kami tentukan (bentuknya), maka (Kamilah) sebaik-baik yang menentukan. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).”
Ada dua penafsiran terkait ayat ini.
Tafsiran pertama, maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menakdirkan tentang bagaimana rupanya([36]), tentang berapa lama usianya, dan tentang rezekinya. Jika kita bicara tentang takdir dari segi hukum manusia, maka takdir diibaratkan seperti insinyur yang telah memiliki sketsa dan perhitungan sebelum melakukan apa-apa yang ingin dia lakukan. Akan tetapi bagaimanapun sempurnanya seorang insinyur di dunia, pasti ada salahnya meskipun hanya sedikit. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menekankan bahwa Dia-lah yang terbaik dalam menentukan kehendak-Nya. Maka demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala, sebelum diciptakannya manusia, Dia telah menentukan bagaimana rupa dan jasad mereka, bagaimana nasib mereka terkait umur dan rezeki mereka. Dan perlu untuk diperhatikan bahwa lafal الْقَادِرُونَ adalah bentuk jamak sebagaimana lafal فَقَدَرْنَا yang menunjukkan “Kami”. Dan kata “Kami” dalam bahasa Arab tidak melazimkan berbilang, melainkan terkadang kata plural (jamak) digunakan untuk pengagungan.
Tafsiran kedua, maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala adalah pemilik dan Dia adalah sebaik-baik pemilik([37]). Artinya adalah jika Allah Subhanahu wa ta’ala adalah pemilik, maka Dia bebas untuk mengatur apa yang dimiliki-Nya. Sehingga jika mereka adalah milik Allah Subhanahu wa ta’ala, maka membangkitkan mereka adalah terserah Allah Subhanahu wa ta’ala. Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala berdalil untuk menunjukkan adanya kebangkitan dengan adanya permulaan. Artinya adalah sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala bisa memulai permulaan, maka Allah Subhanahu wa ta’ala juga bisa untuk mengulanginya lagi. Dan secara logika, mengulang sesuatu yang sudah dimulai terkadang akan lebih mudah. Akan tetapi barometer di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala, mengulang dan memulai sama saja. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala ingin menjelaskan mengingkari hari kebangkitan adalah kesalahan, karena Allah Subhanahu wa ta’ala pernah menciptakan mereka dan untuk menciptakan kembali adalah perkara yang mudah.
Dan dengan ayat ini Allah azza wa jalla menekankan perintah untuk mengesakan Allah azza wa jalla dan ancaman untuk mereka yang inkar, seakan-akan Allah azza wa jalla berkata: kalian adalah ciptaanku yang aku ciptakan dari air yang hina, lalu aku letakkan di dalam rahim dan seterusnya, bukankah Pencipta yang seperti ini lebih berhak untuk disyukuri dan diesakan serta diibadahi, akan tetapi kalian malah berbuat syirik dan kalian mengingkari nikmat-nikmatNya dan mengingkari hari kebangkitan.
Maka karena kalian mengingkari nikmat-nikmat ini: tunggulah adzabku terhadap orang-orang yang mengingkari nikmat-nikmat ini. ([38]) Dan sebagaimana yang kita saksikan, bahwa ketika seseorang mengungkit kebaikannya, itu adalah tanda bahwa ia sedang benar-benar memperingati lawan bicaranya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا، أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا، وَجَعَلْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ وَأَسْقَيْنَاكُمْ مَاءً فُرَاتًا، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Bukankah Kami jadikan bumi untuk (tempat) berkumpul, bagi yang masih hidup dan yang sudah mati? Dan Kami jadikan padanya gunung-gunung yang tinggi, dan Kami beri minum kamu dengan air tawar? Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 25-28)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala membawakan dalil ketiga. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَلَمْ نَجْعَلِ الْأَرْضَ كِفَاتًا، أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا
“Bukankah Kami jadikan bumi untuk (tempat) berkumpul, bagi yang masih hidup dan yang sudah mati?”
Kata كِفَاتًا dalam bahasa Arab berarti menggabungkan. Sebagaimana dalam suatu hadits, dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ وَلاَ نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata ‘Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), telapak tangan kanan dan kiri, lutut kanan dan kiri, dan ujung kaki kanan dan kiri. Dan kami dilarang mengumpulkan pakaian dan rambut’.”([39])
الكفت dalam hadits ini maksudnya adalah seseorang dilarang menggabungkan atau melipat kainnya ketika shalat. Para ulama menyebutkan di antara hikmahnya adalah karena shalat dengan melipat pakaian terlebih dahulu seakan-akan menunjukkan kesombongan ([40]). Oleh karenanya hendaknya seseorang membiarkan pakaiannya menyentuh tanah, serta membiarkan rambutnya terurai.
Maka maksud dari firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini adalah bumi dijadikan tempat untuk mengumpulkan manusia. Yang masih hidup berada di bumi, dan yang telah mati pun juga berada di bumi. Di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang fungsi dari bumi adalah tempat dikumpulkannya manusia. Yang masih hidup dikumpulkan di atas bumi, dan yang telah meninggal dikumpulkan di dalam bumi ([41]). Dan para ulama mengatakan bahwa ini merupakan dalil bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka dia harus dikubur. Sebabnya adalah karena Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan ayat ini dalam bentuk imtinan (anugerah). Bahkan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam perang Badr, beliau menguburkan orang-orang yang meninggal dalam perang Badr meskipun mereka adalah orang kafir. Maka hukum asalnya adalah manusia harus dikuburkan kecuali darurat.([42]) Oleh karenanya para ulama mengingkari sebagian perbuatan orang-orang nonmuslim (Hindu) dan sebagian orang-orang Romawi dahulu yang membakar mayat. Demikian pula orang-orang Persia yang jika ada orang yang meninggal, mereka menempatkannya ditengah-tengah padang sebagai agar dimakan oleh burung-burung dan binatang buas, dan bagi mereka yang demikian adalah bentuk penghormatan kepada mayat.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَجَعَلْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ شَامِخَاتٍ وَأَسْقَيْنَاكُمْ مَاءً فُرَاتًا
“Dan Kami jadikan padanya (di bumi) gunung-gunung yang tinggi, dan Kami beri minum kamu dengan air segar?”
Dalam beberapa ayat, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan fungsi gunung-gunung di antaranya,
وَأَلْقَى فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِكُمْ وَأَنْهَارًا وَسُبُلًا لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak guncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl : 15)
Perlu untuk diketahui bahwa ayat ini dijadikan bahan ejekan oleh orang-orang Nasrani. Mereka mengatakan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan gunung agar bumi tidak berguncang, akan tetapi kenyataannya gunung-gunung itu adalah sebab gempa. Adapun bantahan untuk mereka, para ulama menjelaskan bahwasanya gunung itu sebagai pasak, dan yang menjulang ke bawah itu bisa jadi lebih panjang daripada yang menjulang ke atas, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا
“Dan gunung-gunung sebagai pasak.” (QS. An-Naba’ : 7)
Ahli Geologi menyebutkan bahwa fungsi gunung sebagai pasak tersebut untuk mengurangi getaran lempengan bumi, karena menurut mereka lempengan bumi senantiasa bergerak. Maka jika tidak ada gunung yang menahannya, maka akan sering terjadi gempa. Akan tetapi tatkala ada gunung, maka guncangan akan tertahan. Oleh karenanya tatkala terjadi gempa, yang hancur adalah lokasi yang jauh dari gunung, sementara lokasi yang berada di dekat gunung itu aman. Adapun gunung yang mengeluar lahar panas, maka pembahasannya pun berbeda, karena Allah Subhanahu wa ta’ala juga berbicara yang lain dalam hal ini.
Dan tidak ada yang menjelaskan hakikat gunung seperti Islam. Lihatlah orang-orang Yunani, mereka menganggap gunung sebagai sesuatu tempat yang mulia, sehingga mereka mengatakan bahwa dewa-dewa mereka tinggal di gunung. Demikian pula orang-orang Jepang yang mengagungkan gunung Fuji. Demikian pula orang-orang India mengagungkan gunung Himalaya, dan mereka mengatakan bahwa dewa-dewa mereka berada di gunung-gunung. Sebagaimana pula sebagian orang Indonesia yang mengagungkan gunung agung. Intinya menurut sebagian mereka gunung adalah tempat yang megah dan tempat Tuhan-Tuhan atau dewa-dewa mereka berkumpul. Adapun Islam menganggap gunung adalah makhluk Allah biasa yang diciptakan untuk menghiasi bumi dan agar bumi tidak banyak guncangan.
Adapun jika kita perhatikan dalam Injil, kita akan dapati keterangan yang kontradiksi. Dalam Injil Matius 17:22 disebutkan,
“Ia berkata kepada mereka: “Karena kamu kurang percaya. Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana, — maka gunung ini akan pindah, dan tak akan ada yang mustahil bagimu.” (Matius. 17.22)
Maka jika kita tanyakan kepada mereka tentang sebesar apa iman mereka sekarang, tentu mereka akan menjawab bahwa iman mereka lebih besar daripada biji sawi. Maka seharusnya mereka sekarang telah bisa memindahkan gunung hanya dengan sekali perintah. Akan tetapi siapa yang bisa mempraktikan ayat ini? Jika tidak, berarti iman mereka semuanya kacau. Dalam kitab Mazmur berbunyi,
“Gunung-gunung melompat-lompat seperti domba jantan, dan bukit-bukit seperti anak domba.” (Mazmur. 114.4)
Sungguh aneh penjelasan orang-orang Nasrani. Penjelasan gunung-gunung dalam kitab mereka sungguh jauh dari kata logis dan ilmiah, berbeda dengan penjelasan Islam.
Di ayat ini pula Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan nikmat-nikmat yang Dia berikan kepada manusia.
Inilah dalil ketiga yang Allah Subhanahu wa ta’ala bawakan. Dalil yang Allah Subhanahu wa ta’ala bawakan ini menerangkan tentang Allah yang menjadikan bumi, matahari, bulan, gunung-gunung, air untuk diminum, dan yang lainnya. Maka jika ini semua Allah Subhanahu wa ta’ala mampu ciptakan, maka tentu membangkitkan manusia pada hari kiamat adalah hal yang lebih mudah bagi Allah Subhanahu wa ta’ala. Inilah dalil ketiga yang Allah Subhanahu wa ta’ala terangkan kepada Abu Jahal dan teman-temannya, bahwasanya hari kebangkitan adalah hal yang mungkin terjadi.
Dan dengan menjelaskan keadaan dan apa yang terjadi di bumi: Allah azza wa jalla menekankan akan keesaanNya, dan dialah satu-satunya yang berhak untuk disembah. ([43])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
انْطَلِقُوا إِلَى مَا كُنْتُمْ بِهِ تُكَذِّبُونَ
“(Akan dikatakan), ‘Pergilah kamu mendapatkan apa (azab) yang dahulu kamu dustakan’.” (QS. Al-Mursalat : 25)
Kelak pada hari kiamat Allah Subhanahu wa ta’ala akan berikan azab yang dahulu orang-orang musyrikin dustakan ([44]). Dan sebuah penghinaan yang amat besar ketika seseorang akhirnya diperlihatkan sesuatu yang dia dustakan selama ini. Terlebih lagi orang-orang musyrikin menantang untuk didatangkan azab ketika itu, maka pada hari kiamat kelak mereka akan menuju apa yang mereka dustakan di dunia.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
انْطَلِقُوا إِلَى ظِلٍّ ذِي ثَلَاثِ شُعَبٍ، لَا ظَلِيلٍ وَلَا يُغْنِي مِنَ اللَّهَبِ
“Pergilah kamu mendapatkan naungan (asap api neraka) yang mempunyai tiga cabang, yang tidak melindungi dan tidak pula menolak nyala api neraka.” (QS. AL-Mursalat : 30-31)
ظِلٍّ adalah sebutkan terhadap bayangan/naungan yang digunakan untuk berteduh. Ketika orang-orang musyrikin diazab, mereka merasakan panas api yang sangat panas, maka mereka ingin ada naungan untuk mengurangi rasa panas yang mereka rasakan. Ketika itu maka Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka untuk menuju suatu naungan, akan tetapi bukan naungan yang menyenangkan atau mendinginkan mereka, namun naungan yang sangat mengerikan. Mereka berkeinginan mendapatkan naungan, akan tetapi yang Allah Subhanahu wa ta’ala berikan kepada mereka naungan yang panas yang mampu membakar mereka ([45]).
Para ulama mengatakan bahwa karena saking panasnya neraka Jahannam, maka api neraka mengeluarkan asap yang sangat tebal sampai dikira sebagai ظِلٍّ (naungan). Asap tersebut dinamakan السُّرَادِقُ (surodiq) dengan lalu asap tersebut naik menjadi ظِلٍّ (naungan) dan terpecah menjadi 3 cabang([46]).
Dan Allah azza wa jalla menambah siksaan mereka dengan beberapa hal:
- Allah azza wa jalla ejek dan hinakan mereka dengan menyebutkan asap yang tebal lagi sangat panas dengan naungan, yang mana pada hari itu mereka benar-benar mengharapkan naungan untuk meringankan rasa sakit mereka.
Sebagai pendekatan makna: seseorang yang sangat haus dan membutuhkan minum, dan ternyata orang yang melihatnya mengatakan kepadanya: ini silahkan diminum, dan ketika ia hendak meminumnya, ternyata yang ia berikan adalah bejana yang tidak ada airnya, maka sakit hati itu akan benar terasa.
- Allah azza wa jalla kumpulkan mereka pada satu naungan asap (Allah azza wa jalla sebut zhill dengan mufrod/kata tunggal) sehingga bertambahlah adzab mereka karena mereka berdesak-desakkan di sana, dan rasa sakit itu akan bertambah dengan berdesak-desakannya mereka di sana. ([47])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّهَا تَرْمِي بِشَرَرٍ كَالْقَصْرِ، كَأَنَّهُ جِمَالَتٌ صُفْرٌ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Sungguh, (neraka) itu menyemburkan percikan api (sebesar dan setinggi) istana, seakan-akan iring-iringan unta yang kekuningan. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 32-34)
firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّهَا تَرْمِي بِشَرَرٍ كَالْقَصْرِ
“Sungguh, (neraka) itu menyemburkan percikan api (sebesar dan setinggi) istana.”
Ayat ini menerangkan betapa dahsyatnya api neraka tersebut. Sampai-sampai percikannya saja bisa sebesar dan setinggi istana.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
كَأَنَّهُ جِمَالَتٌ صُفْرٌ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Seakan-akan iring-iringan unta yang kekuningan. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).”
Di antara salah satu pendapat, dahulu orang-orang Arab menamakan جِمَالَتٌ صُفْرٌ kepada الإِبِلُ الأَسْوَدُ (unta-unta hitam) ([48]), hanya saja warna hitamnya kekuning-kuningan. Akan tetapi maksudnya adalah warnanya hitam. Dari sini para ulama mengatakan bahwa ayat ini merupakan dalil bahwasanya api neraka Jahannam bukan merah, akan tetapi berwarna hitam karena saking panasnya.
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
هَذَا يَوْمُ لَا يَنْطِقُونَ، وَلَا يُؤْذَنُ لَهُمْ فَيَعْتَذِرُونَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Inilah hari, saat mereka tidak dapat berbicara, dan tidak diizinkan kepada mereka mengemukakan alasan agar mereka dimaafkan. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 35-37)
Pada hari kiamat kelak terdapat beberapa tahapan yang akan dilalui oleh manusia. Dan kelak ada tahapan di mana orang-orang kafir bisa berbicara mengeluarkan hujjah mereka. Akan tetapi ada tahapan di mana mereka tidak bisa lagi berbicara karena uzur mereka tidak akan diterima. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yasin : 65)
وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Dan mereka berkata kepada kulit mereka, ‘Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?’ (Kulit) mereka men-jawab, ‘Yang menjadikan kami dapat berbicara adalah Allah, yang (juga) menjadikan segala sesuatu dapat berbicara, dan Dialah yang menciptakan kamu yang pertama kali dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan’.” (QS. Fushshilat : 21)
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يَوْمَئِذٍ يَتَّبِعُونَ الدَّاعِيَ لَا عِوَجَ لَهُ وَخَشَعَتِ الْأَصْوَاتُ لِلرَّحْمَنِ فَلَا تَسْمَعُ إِلَّا هَمْسًا
“Pada hari itu mereka mengikuti (panggilan) penyeru (malaikat) tanpa berbelok-belok (membantah); dan semua suara tunduk merendah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, sehingga yang kamu dengar hanyalah bisik-bisik.” (QS. Thaha : 108)
Maka di akhirat kelak ada berbagai fase. Ada fase di mana mereka bersuara keras, ada fase mereka hanya berbisik-bisik karena ketakuatan, dan ada fase di mana mereka tidak dapat lagi berbicara sebagaimana dijelaskan oleh ayat ini.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
هَذَا يَوْمُ الْفَصْلِ جَمَعْنَاكُمْ وَالْأَوَّلِينَ، فَإِنْ كَانَ لَكُمْ كَيْدٌ فَكِيدُونِ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Inilah hari keputusan; (pada hari ini) Kami kumpulkan kamu dan orang-orang yang terdahulu. Maka jika kamu punya tipu daya, maka lakukanlah (tipu daya) itu terhadap-Ku. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 38-40)
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa ayat ini merupakan azab nafsani ([49]), yaitu azab yang menyakitkan hati penghuni neraka. Karena di dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan penghinaan dan ejekan kepada mereka dengan menantang mereka untuk membuat makar kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, sebagaimana di dunia mereka sering berbuat makar kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan dalam ayat ini seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan “Jika kalian bisa membebaskan diri kalian, maka silahkan lakukan”. Maka selain jasad mereka juga di azab oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, jiwa mereka pun di siksa oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي ظِلَالٍ وَعُيُونٍ، وَفَوَاكِهَ مِمَّا يَشْتَهُونَ، كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ، إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (pepohonan surga yang teduh) dan (di sekitar) mata air, dan buah-buahan yang mereka sukai. (Dikatakan kepada mereka), ‘Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan’. Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 41-45)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang penghuhi neraka, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menyebutkan tentang penghuni surga. Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي ظِلَالٍ وَعُيُونٍ، وَفَوَاكِهَ مِمَّا يَشْتَهُونَ
“Sungguh, orang-orang yang bertakwa berada dalam naungan (pepohonan surga yang teduh) dan (di sekitar) mata air, dan buah-buahan yang mereka sukai.”
Kalau naungan orang-orang kafir adalah asap yang sangat panas, maka naungan orang-orang bertakwa adalah pohon-pohon yang rindang bersama keluarga mereka. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ الْيَوْمَ فِي شُغُلٍ فَاكِهُونَ، هُمْ وَأَزْوَاجُهُمْ فِي ظِلَالٍ عَلَى الْأَرَائِكِ مُتَّكِئُونَ
“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan.” (QS. Yasin : 55-56)
Dan sebagian para ulama menafsirkan bahwa kesibukan penghuni surga adalah berhubungan dengan istri mereka ([50]). Dan الْأَرَائِكِ maknanya adalah tempat tidur yang telah dihiasi, dan disitulah para penghuni surga memiliki kesibukan dengan istri-istri mereka. Sementara orang-orang kafir sibuk dengan asap panas di sisi-sisi mereka.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَفَوَاكِهَ مِمَّا يَشْتَهُونَ
“Dan buah-buahan yang mereka sukai.”
Buah apapun yang diinginkan oleh penghuni surga, maka buah tersebut langsung hadir di hadapan mereka. Dan buah-buah di surga tidak mengenal musim. Buah-buah di surga juga tidak perlu dipanjat, hanya tinggal memetik, karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُطُوفُهَا دَانِيَةٌ
“Buah-buahannya dekat.” (QS. Al-Haqqah : 23)
Buah-buah apapun ada dan bisa diambil dengan mudah karena di surga tidak ada kesusahan.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ، إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“(Dikatakan kepada mereka), “Makan dan minumlah dengan rasa nikmat sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).”
Ayat ini merupakan dalil bahwa tidak mungkin seseorang masuk surga kecuali dengan melakukan sebab. Dan di antara sebab seseorang masuk surga adalah beramal saleh ([51]). Allah Subhanahu wa ta’ala itu Maha Adil, Dia akan memberikan balasan sesuai kadar amalan seseorang. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلِكُلٍّ دَرَجَاتٌ مِمَّا عَمِلُوا وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ
“Dan masing-masing orang ada tingkatannya, (sesuai) dengan apa yang mereka kerjakan. Dan Tuhanmu tidak lengah terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am : 132)
Maka janganlah kita malas dalam beramal saleh, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan menyamakan di antara kita. Sungguh berbeda balasan bagi orang yang sedekahnya banyak dan orang yang sedekahnya sedikit. Akan berbeda balasan bagi orang yang baca Alqurannya banyak dan orang yang baca Alqurannya sedikit. Oleh karenanya kita akan dimasukkan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan rahmat-Nya, akan tetapi dengan sebab amal saleh itulah yang dijadikan Allah Subhanahu wa ta’ala barometer untuk membedakan hamba-Nya di akhirat kelak.
Dan firman Allah azza wa jalla “Sungguh demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik” untuk menambah rasa bahagia dalam hati orang-orang yang beriman, yang mana ini semua adalah bentuk penghargaan atas usaha mereka. Tentu seseorang apabila diberi sesuatu dan diungkit-ungkit kebaikannya pasti akan merasa bangga dan bahagia. ([52])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كُلُوا وَتَمَتَّعُوا قَلِيلًا إِنَّكُمْ مُجْرِمُونَ (46) وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“(Dikatakan kepada orang-orang kafir), ‘Makan dan bersenang-senanglah kamu (di dunia) sebentar, sesungguhnya kamu orang-orang durhaka’. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).” (QS. Al-Mursalat : 46-47)
Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa umur seseorang di dunia itu sebentar. Paling panjang umur seseorang hanya sampai 80 hingga 100, itupun sudah jarang. Setelah itu yang ada hanyalah kematian. Kalaupun umur hingga sedemikian panjangnya, apa yang bisa dinikmati dengan kondisi yang sudah tua, lemah, rabun, dan dengan penyakit orang tua lainnya? Maka Allah Subhanahu wa ta’ala mempersilahkan kepada orang-orang kafir untuk bersenang-senang di dunia, hanya saja hal itu mereka akan nikmati sebentar saja. Dan perintah disini digunakan untuk peringatan kepada mereka bahwa apa yang mereka makan di dunia ini hanyalah sedikit dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan tempat kembali mereka kelak yaitu berupa adzab yang abadi ([53]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لَا يَرْكَعُونَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ، فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Rukuklah,” mereka tidak mau rukuk. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran). Maka kepada ajaran manakah (selain Al-Qur’an) ini mereka akan beriman?” (QS. Al-Mursalat : 48-50)
Sebagaimana telah disebutkan di awal pembahasan, makna firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ارْكَعُوا لَا يَرْكَعُونَ، وَيْلٌ يَوْمَئِذٍ لِلْمُكَذِّبِينَ
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Rukuklah’, mereka tidak mau rukuk. Celakalah pada hari itu, bagi mereka yang mendustakan (kebenaran).”
Maksudnya adalah ketika mereka diperintahkan beriman, mereka enggan untuk beriman ([54]). Karena untuk rukuk pun seseorang harus beriman terlebih dahulu.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
“Maka kepada ajaran manakah (selain Al-Qur’an) ini mereka akan beriman?”
Jika Alquran telah begitu tegas kepada mereka serta dalil untuk mereka juga banyak, namun mereka tidak mau beriman, maka ajaran manakah yang akan mereka imani selain Alquran? ([55])
_____________________________________________________________________________
([1]) Lihat: At-Tahrir Wat Tanwir 29/418
([2]) Lihat: At-Tahrir Wat Tanwir 29/418
([3]) Lihat: At-Tahrir Wat Tanwir 29/417
([4]) Malam Al-Jin adalah malam di mana suatu hari para sahabat kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata pada malam itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam didatangi oleh sekelompok Jin meminta Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdakwah kepada kaum Jin. Maka pada malam itu para sahabat kehilangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena pergi mendakwahi para Jin. Maka malam perginya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikenal dengan Malam Al-Jin (Lailatul Jin). (Lihat HR Muslim no 450)
([5]) Tafsir Al-Qurthubi 19/153
([6]) Surah-surah pendek dari surah Ad-Dhuha hingga surah An-Naas
([7]) Surah-surah yang sedang, dimulai dari surah An-Naba’ hingga surah Al-Lail.
([8]) Tafsir Ath-Thabari 19/153
([9]) Tafsir Ruh Al Ma’ani, Al Alusi, 15/187, Al Maroghi, 29/178
([10]) Lihat: At-Tafsir Al-Kabir 30/765
([11]) Lihat: Ad-Durrul Mantsur Fit Tafsir bil Ma’tsur 8/382, dan dijelaskan ini adalah penafsiran Mujahid bin Jabir.
([12]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/420
([13]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/154
([14]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 23/587
([15]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 23/587
([16]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/422
([17]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/156
([18]) Lihat: At-Tafsri Al-Kabir 30/765-766
([19]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/156
([20]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/157
([21]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/157
([22]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/425
([23]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/157
([24]) Attahrir Wa Attanwir, 29/422
([25]) Tafsir Ruh Al Ma’ani, Al Alusi, 15/192.
([26]) Al-Mathalib Al-‘Aliyah no. 4539 18/492, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani mengatakan sanad hadits ini Shahih Muttashil
([27]) Lihat: Tafsir Attahrir Wa Attanwir, 29/426
([28]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/158
([29]) Lihat: Fathul Qadir 5/431
([30]) Lihat: Tafsir As-Sa’di hal. 904
([31]) Kisah Nabi Shaleh dan Nabi Hud ‘alaihimassalam diketahui oleh orang-orang musyrikin karena keduanya adalah Nabi dari Jazirah Arab, sehingga daerah yang berdekatan membuat mereka tahu kisah tersebut. Adapun kisah Fir’aun dan Nabi Nuh ‘alaihissalam merupakan kisah yang mahsyur di tengah-tengah mereka.
([32]) Lihat: Fathul Qadir 5/432
([33]) Proses implantasi adalah proses embrio (sel telur yang telah dibuahi) menanamkan diri pada dinding rahim untuk berkembang.
([34]) At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/430
([35]) At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/431
([36]) Lihat: At-Tahrir wat Tanwir 29/431
([37]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/160
([39]) HR. Bukhari no. 812 dan HR. Muslim no. 490
([40]) Lihat: Fathul Bari 2/296
([41]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/161
([42]) Hal-hal yang darurat contohnya adalah seseorang tidak bisa dikuburkan karena untuk pergi ke tempat meninggalnya bisa mengakibatkan orang juga meninggal. Atau seseorang tidak bisa dikuburkan karena ditempat meninggalnya terserang wabah yang jika salah seorang pergi ke sana maka dia juga akan terkena wabah dan meninggal dunia.
([43]) At-Tahrir Wa At-Tanwir, 29/433
([44]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/162
([45]) Lihat: Tafsir As-Sa’dy hal. 904, dan beliau mengatakan bahwa bayangan ini adalah bayangan neraka Jahannam
([46]) Sebagaimana yang dikatakan oleh Qotadah (Lihat Tafsir At-Thobari 23/600)
([47]) Attahrir Wa Attanwir, 29/435
([48]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 19/164
([49]) Lihat: Attahrir Wa Attanwir, 29/442
([50]) Lihat: Tafsir Ath-Thobari 19/460
([51]) Lihat: Fathul Qadir 5/435
([52]) Attahrir Wa Attanwir, 29/444
([53]) Lihat: Attahrir Wa Attanwir, 29/445