Tafsir Surah Al-Ma’arij
Surah Al-Ma’arij dinamakan juga surah saala sailun. Pada umumnya para ulama dalam memberi nama surah-surah di dalam Alquran, mereka memilih kata-kata dari surah tersebut yang menjadi pembeda dari surah-surah lainnya. Di antaranya pada surah ini, mereka memilih nama Al-Ma’arij atau surah saala sailun([1]). Adapun Al-Ma’arij artinya adalah kedudukan yang tinggi atau derajat-derajat para penghuni surga, yang akan kita sebutkan dalam pembahasan tafsir surah Al-Ma’arij ini.
Surah Al-Ma’arij merupakan surah Makkiyah([2]), yaitu surah yang diturunkan sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berhijrah ke Madinah. Sehingga nuansa surah ini sama seperti surah-surah Makkiyah lainnya, yaitu banyak berbicara mengenai keadaan hari kiamat dan dahsyatnya azab neraka Jahannam. Berbeda tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah berhijrah ke Madinah, maka tatkala itu telah banyak ayat-ayat yang turun berkaitan dengan kaum muslimin, hukum-hukum, dan yang lainnya. ([3])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ
“Seseorang bertanya tentang azab yang pasti terjadi.” (QS. Al-Ma’arij : 1)
Kebanyakan Ahli Tafsir mengatakan bahwasanya penanya yang disebutkan dalam ayat ini adalah An-Nadhr bin al-Harits([4]), salah seorang pembesar Quraisy. Dan ini merupakan kebiasaan orang Quraisy, yaitu mereka bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan maksud untuk menantang. Mereka menantang bahwa jika memang ada hari kiamat maka kapan itu akan terjadi? Dan kepada siapa azab tersebut ditimpakan? Demikianlah sikap orang-orang kafir Quraisy, sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam banyak ayat di antaranya,
وَقَالُوا رَبَّنَا عَجِّل لَّنَا قِطَّنَا قَبْلَ يَوْمِ الْحِسَابِ
“Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, segerakanlah azab yang diperuntukkan bagi kami sebelum hari perhitungan’.” (QS. Shad : 16)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَنْ يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِنْدَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِمَّا تَعُدُّونَ
“Dan mereka meminta kepadamu (Muhammad) agar azab itu disegerakan, padahal Allah tidak akan menyalahi janji-Nya. Dan sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj : 47)
وَإِذْ قَالُوا اللَّهُمَّ إِن كَانَ هَٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِندِكَ فَأَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاءِ أَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
“Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini), jika kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Alquran) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang terdahulu’.” (QS. Al-Anfal : 32)
Di antara bentuk ejekan orang-orang kafir Quraisy kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah dengan menantang kapan datangnya azab yang dijanjikan bagi mereka. Demikian kebiasaan orang-orang kafir yang mengingkari para Nabi, mereka sering mengejek Nabi termasuk Nabi-Nabi sebelumnya dengan menantang Nabinya agar mendatangkan azab yang telah dijanjikan jika memang benar adanya. Padahal dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala telah menegaskan bahwa azab tersebut pasti terjadi,
سَأَلَ سَائِلٌ بِعَذَابٍ وَاقِعٍ
“Seseorang bertanya tentang azab yang pasti terjadi.”
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لِّلْكَافِرِينَ لَيْسَ لَهُ دَافِعٌ
“Bagi orang-orang kafir, yang tidak seorang pun dapat menolaknya.” (QS. Al-Ma’arij : 2)
Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam ayat ini bahwa azab tersebut pasti terjadi bagi orang-orang kafir. Bahkan azab tersebut akan menimpa orang yang bertanya tersebut yaitu An-Nadhr bin Harits. Dan tidak ada yang bisa bisa menolak dan menghalangi turunnya azab tersebut.
Allah azza wa jalla menggandengkan huruf “lam” pada kalimat “lilkafirin”: yang demikian memiliki makna “syibhul milki” (seakan-seakan mereka pemilik adzab itu) sebagai pengkhususan bahwa adzab itu benar-benar untuk mereka (penekanan) ([5])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
مِّنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجِ
“(yang datang) dari Allah, yang memiliki tempat-tempat naik.” (QS. Al-Ma’arij : 3)
Pada ayat sebelumnya Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa azab tersebut tidak akan tertolak. Adapun dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa azab tersebut tidak bisa tertolak karena datangnya dari Allah yang memiliki Al-Ma’arij.
Adapun makna spesifik dari Al-Ma’arij, datang dalam beberapa penafsiran ulama. Sebagian ulama ada yang menafsirkan dengan derajat-derajat di langit yang dilalui oleh para malaikat([6]). Dan pemilik-pemilik derajat tersebut adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan ini menunjukkan akan keagungan dan kebesaran Allah Subhanahu wa ta’ala, karena yang menurunkan azab tersebut adalah yang menguasai langit dan tempat-tempat yang dilalui oleh malaikat. Sebagian ulama yang lain menafsirkan Al-Ma’arij dengan Al-Ghuraf([7]), yaitu surga-surga yang Allah Subhanahu wa ta’ala siapkan bagi wali-walinya di atas langit. Sebagian lagi menafsirkan dzil ma’arij dengan sang pemilik keagungan.
Intinya, jika azab tersebut telah turun, maka tidak ada yang bisa mencegahnya. Karena azab tersebut turun langsung dari Allah yang memiliki keagungan dan kekuasaan.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
تَعْرُجُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Para malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan, dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij : 4)
Kata تَعْرُجُ artinya adalah naik. Oleh karenanya peristiwa naiknya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ke langit disebut dengan Isra’ Mi’raj. Adapun makna الرُّوحُ, ada dua pendapat kuat di kalangan Ahli Tafsir tentang maknanya. Pendapat pertama, Ar-ruh maknanya adalah malaikat Jibril ([8]), sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan Jibril dengan Ar-Ruh dalam firman-Nya,
نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ
“Yang dibawa turun oleh Ar-Ruh al-Amin (Jibril).” (QS. Asy-Syu’ara: 193)
Dan adapun dalam ayat ini, penyebutan malaikat Jibril mengandung penyebutan secara khusus setelah penyebutan secara umum. Konteks seperti ini sering dijumpai pada ayat-ayat yang lain, dimana Jibril disebutkan secara khusus karena dia adalah pemimpinnya para malaikat.
Pendapat kedua, Ar-ruh dalam ayat ini maksudnya adalah arwah (ruh-ruh), yaitu ruh-ruh seluruh manusia tatkala dicabut oleh malaikat maut ([9]), maka akan dibawa naik ke langit. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits yang hasan, diriwayatkan dari al-Baraa’ bin ‘Azib, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ، نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ، كَأَنَّ وُجُوهَهُمُ الشَّمْسُ، مَعَهُمْ كَفَنٌ مِنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ، وَحَنُوطٌ مِنْ حَنُوطِ الْجَنَّةِ، حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ، اخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ. قَالَ: فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ، فَيَأْخُذُهَا، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا، فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَلِكَ الْكَفَنِ، وَفِي ذَلِكَ الْحَنُوطِ، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ… وَإِنَّ الْعَبْدَ الْكَافِرَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ، نَزَلَ إِلَيْهِ مِنَ السَّمَاءِ مَلَائِكَةٌ سُودُ الْوُجُوهِ، مَعَهُمُ الْمُسُوحُ، فَيَجْلِسُونَ مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ، ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ، حَتَّى يَجْلِسَ عِنْدَ رَأْسِهِ، فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْخَبِيثَةُ، اخْرُجِي إِلَى سَخَطٍ مِنَ اللَّهِ وَغَضَبٍ. قَالَ: فَتُفَرَّقُ فِي جَسَدِهِ، فَيَنْتَزِعُهَا كَمَا يُنْتَزَعُ السَّفُّودُ مِنَ الصُّوفِ الْمَبْلُولِ، فَيَأْخُذُهَا، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدَعُوهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَجْعَلُوهَا فِي تِلْكَ الْمُسُوحِ، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ
“Sesungguhnya seorang hamba yang mukmin apabila akan meninggal dunia, maka para malaikat rahmat turun kepadanya, wajahnya seperti matahari yang bersinar, mereka membawa kain kafan dan wangi-wangian dari surga. Mereka duduk di tempat sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat maut duduk di samping kepalanya, lalu berkata: ‘Wahai jiwa yang baik, keluarlah engkau menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya.’ Maka ruh tersebut keluar dari jasadnya seperti tetesan air yang mengalir dari bibir tempat air minum. Malaikat maut pun mengambil ruh yang sudah keluar dari jasadnya itu. Tiba-tiba para malaikat rahmat yang menunggu tidak membiarkan ruh tersebut berada di tangannya sekejap mata pun. Mereka segera mengambil dan menaruhnya di dalam kafan dan wangi-wangian tersebut, dan keluarlah bau wangi misik yang paling harum yang dijumpai di muka bumi. Dan apabila seorang hamba yang kafir akan meninggal dunia, turunlah malaikat azab dari langit. Wajah-wajahnya hitam dan seram. Mereka membawa kain yang kasar dan jelek. Mereka duduk di tempat sejauh mata memandang. Lalu datanglah malaikat maut hingga dia duduk di samping kepalanya. Kemudian dia berkata: ‘Wahai jiwa yang jelek, keluarlah menuju kemurkaan Allah l dan kemarahan-Nya.’ Maka ruh tersebut bergetar di seluruh tubuhnya, kemudian malaikat maut mencabutnya sebagaimana dicabutnya besi alat pemanggang dari bulu-bulu yang basah. Dia kemudian mengambil ruh tersebut. Para malaikat yang menunggu tadi tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun, sampai mereka mengambil dan meletakkannya di kain yang kasar lagi jelek tadi. Keluarlah darinya bau seperti bau bangkai yang paling busuk yang ditemukan di muka bumi.”([10])
Bahkan tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menyebutkan bagaimana kematian orang-orang kafir, beliau membacakan firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا وَاسْتَكْبَرُوا عَنْهَا لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ وَكَذَلِكَ نَجْزِي الْمُجْرِمِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka, dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat.” (QS. Al-A’raf : 40)
Inilah dua bentuk tafsiran di kalangan para ulama tentang makna الرُّوحُ dalam ayat ini.
Kata إِلَيْهِ menunjukkan bahwa الرُّوحُ tersebut naik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Maka baik Ar-Ruh ditafsirkan dengan malaikat Jibril ataupun ruh-ruh manusia, intinya semuanya naik kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya ayat ini juga merupakan di antara dalil yang menunjukkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas langit karena الْعُرُوْجُ bermakna naik([11]). Adapun kita pahami bahwa yang namanya naik artinya dari bawah ke atas. Oleh karenanya ini adalah dalil bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala berada di atas yang merupakan fitrah yang Allah tancapkan kepada hamba-hamba-Nya.
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ
“Dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun.”
Ayat ini pada dasarnya menguatkan bahwasanya yang dimaksud الرُّوحُ dalam ayat ini adalah malaikat Jibril. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala berbicara tentang naiknya para malaikat dan Jibril kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, di hari yang ukurannya satu hari seperti lima puluh ribu tahun.
Di dalam Alquran Allah menyebutkan dua model hari. Terkadang Allah mengungkapkannya dengan 50.000 tahun seperti dalam surah Al-Ma’arij ini, dan terkadang pula Allah Subhanahu wa ta’ala mengungkapkannya dengan 1.000 tahun, seperti firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَيَسْتَعْجِلُونَكَ بِالْعَذَابِ وَلَن يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ وَإِنَّ يَوْمًا عِندَ رَبِّكَ كَأَلْفِ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّونَ
“Dan mereka meminta kepadamu agar azab itu disegerakan, padahal Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janji-Nya. Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al-Hajj : 47)
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يُدَبِّرُ الْأَمْرَ مِنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ثُمَّ يَعْرُجُ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ أَلْفَ سَنَةٍ مِّمَّا تَعُدُّونَ
“Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. As-Sajdah : 5)
Apa perbedaan hari yang kadarnya 1.000 tahun dan hari yang kadarnya 50.000 tahun? Ibnu ‘Abbas pernah ditanya tentang hal tersebut, beliau menjawab,
هما يومان ذكرهما الله في القرآن، الله أعلم بهما
“Keduanya adalah hari yang berbeda, Allah menyebutkannya dalam Alquran. Allah yang lebih tahu tentang dua hari tersebut.”([12])
Kalau kita membuka buku-buku tafsir, tentu kita akan dapati banyak tafsiran mengenai hal ini. Sebagian menafsirkan dengan mengatakan bahwa 50.000 tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk berjalan dari pusat bumi hingga ke ‘Arsy, sedangkan 1.000 tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk berjalan dari pusat bumi menuju langit kedua. Akan tetapi ini hanyalah sekadar pendapat di kalangan Ahli Tafsir, adapun yang lebih aman adalah sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala yang lebih mengetahui hakikat kedua hari tersebut.
Akan tetapi Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan empat pendapat Ahli Tafsir tentang makna 50.000 tahun dalam ayat ini.
Pertama, 50.000 tahun adalah waktu yang dibutuhkan manusia untuk berjalan dari pusat bumi hingga ke ‘Arsy.
Kedua, 50.000 tahun adalah umur dunia ini sejak Allah menciptakannya hingga hari kiamat. Namun tidak ada yang mengetahui berapa tahun yang sudah berlalu dan berapa tahun yang bersisa, sehingga dari penafsiran ini tetap tidak bisa diketahui kapan hari kiamat itu akan datang.
Ketiga, 50.000 tahun adalah waktu transisi antara alam dunia dan alam akhirat.
Keempat, 50.000 tahun adalah jarak waktu yang akan dialami oleh seseorang di padang mahsyar sejak dia dibangkitkan sampai sebelum surga dan neraka.([13]) Pendapat keempat ini merupakan pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Katsir, Al-Qurthubi, dan para ulama Ahli Tafsir lainnya. Oleh karenanya salah seorang salaf bernama Yaman berkata,
هُوَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، فِيهِ خَمْسُونَ مَوْطِنًا كُلُّ مَوْطِنٍ أَلْفُ سَنَةٍ
“Itu adalah hari kiamat. Di sana ada lima puluh tahapan (yang harus dilewati oleh seseorang). Masing-masing tahapan tersebut lamanya adalah seribu tahun.”([14])
Dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata,
هُوَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ، جَعَلَهُ اللَّهُ عَلَى الْكَافِرِينَ مِقْدَارَ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، ثُمَّ يَدْخُلُونَ النَّارَ لِلِاسْتِقْرَارِ
“Itu adalah hari kiamat. Allah jadikan bagi orang-orang kafir ukurannya lima puluh ribu tahun, kemudian setelah itu mereka dimasukkan ke dalam neraka untuk menetap.”([15])
Di antara dalil yang menguatkan tafsiran ini adalah berdasarkan hadits yang sahih tentang orang yang tidak bayar zakat. Dalam tafsir Al-Qurthubi, diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَا مِنْ رَجُلٍ لَمْ يُؤَدِّ زَكَاةَ ماله إِلَّا جُعِلَ شُجَاعًا مِنْ نَارٍ تُكْوَى بِهِ جَبْهَتُهُ وَظَهْرُهُ وَجَنْبَاهُ فِي يَوْمٍ كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ حَتَّى يَقْضِيَ اللَّهُ بَيْنَ الناس
“Tidak seorang pun yang tidak membayarkan zakat hartanya kecuali hartanya itu dijadikan ular jantan dari neraka yang digunakan untuk menyeterika dahi, punggung dan lambungnya pada hari yang mana kadarnya adalah lima puluh ribu tahun sampai Allah memutuskan nasib manusia. Ini menunjukkan bahwa itu adalah hari kiamat.”([16])
Namun dalam Shahih Muslim diriwayatkan dengan redaksi,
مَا مِنْ صَاحِبِ ذَهَبٍ وَلاَ فِضَّةٍ لاَ يُؤَدِّي مِنْهَا حَقَّهَا إِلاَّ إِذَا كَانَ يَوْمَ القِيَامَةِ صُفِحَتْ لَهُ صَفَائِحُ مِنْ نَارٍ، فَأُحْمِيَ عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ، فَيُكْوَى بِهَا جَبْهَتُهُ وَجَنْبُهُ وَظَهْرُهُ، كُلَّمَا بَرُدَتْ أُعِيْدَتْ إِلَيْهِ فِي يَوْمٍ كَان مِقْدَارُهُ خَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلَى الجَنَّةِ، وَإِمَّا إِلَى النَّارِ
“Siapa saja yang memiliki emas atau perak tapi tidak mengeluarkan zakatnya melainkan pada hari kiamat nanti akan disepuh untuknya lempengan dari api neraka, lalu dipanaskan dalam api neraka Jahannam, lalu disetrika dahi, rusuk dan punggungnya dengan lempengan tersebut. Setiap kali dingin akan disepuh lagi dan disetrikakan kembali kepadanya pada hari yang ukurannya sama dengan lima puluh ribu tahun. Kemudian ia melihat tempat kembalinya apakah ke surga atau ke neraka.”([17])
Demikianlah jika dibandingkan dengan kehidupan di akhirat, maka kehidupan kita di dunia ini sangat sebentar. Oleh karenanya benarlah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah permainan dan senda gurau.” (QS. Muhammad : 36)
Kehidupan dunia ini tidak lain sebagaimana seseorang yang bersenda gurau kemudian selesai dari senda guraunya. Tatkala seorang manusia meninggal dunia, dia akan memasuki alam barzakh yang waktunya pun belum diketahui, bisa ratusan bahkan sampai ribuan tahun. Setelah itu, semua manusia akan dibangkitkan dan akan menjalani hari-hari yang sangat panjang. Oleh karena itu, seorang yang cerdas seharusnya menyadari bahwa yang menentukan semua nasibnya sejak di alam barzakh sampai dibangkitkan dan melewati 50.000 tahun tersebut adalah tergantung bagaimana dia menjalani kehidupan dunianya. Karena orang yang beriman akan dibuat ringan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk menjalani hari-hari tersebut. Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Nabi bersabda,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَوْمًا كَانَ مِقْدَارُهُ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، مَا أَطْوَلَ هَذَا الْيَوْمَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّهُ لَيُخَفَّفُ عَلَى الْمُؤْمِنِ، حَتَّى يَكُونَ أَخَفَّ عَلَيْهِ مِنْ صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ يُصَلِّيهَا فِي الدُّنْيَا
“Bahwasanya ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang satu hari yang lamanya sebanding dengan lima puluh ribu tahun, ‘Betapa lamanya hari itu?’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya hari itu akan dirasakan sebentar oleh orang yang beriman bahkan seakan-akan lebih cepat dari waktu melaksanakan salah satu shalat wajib ketika di dunia’.”([18])
Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari, namun didhaifkan oleh sebagian ulama. Akan tetapi, ini adalah konsekuensi yang akan diberikan kepada orang beriman, bagaimanapun kedahsyatan hari kiamat orang beriman akan merasakan kemudahan. Oleh karena itu, hendaknya seseorang memanfaatkan waktunya untuk memperbanyak amal saleh, karena itu akan mempengaruhinya bagaimana kondisinya di hari akhirat kelak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاصْبِرْ صَبْرًا جَمِيلًا
“Maka bersabarlah engkau (Muhammad) dengan kesabaran yang baik.” (QS. Al-Ma’arij : 5)
Kata صَبْرًا جَمِيلًا mirip dengan perkataan Nabi Ya’qub ‘alaihissalam dalam surah Yusuf. Adapun makna صَبْرًا جَمِيلًا, disebutkan oleh Al-Qurthubi,
صَبْرٌ جَمِيلٌ هُوَ الَّذِي لَا جَزَعَ فِيهِ وَلَا شَكْوَى فِيهَا لِغَيرِاللهِ
“Shabrun jamil itu adalah kesabaran yang tidak disertai dengan keluh kesah dan tidak disertai dengan mengeluh kepada selain Allah.”([19])
Artinya, apabila seseorang terkena musibah lalu ia berkeluh kesah kepada Allah, maka hal itu tidak mengapa. Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Nabi Ya’qub ‘alaihissalam ketika tertimpa musibah dengan hilangnya anaknya Nabi Yusuf ‘alaihissalam, maka dia berkata,
قَالَ إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Dia (Ya’qub) menjawab, “Hanya kepada Allah aku mengadukan kesusahan dan kesedihanku. Dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Yusuf : 6)
Dan demikianlah kebiasaan para Nabi dalam kisah-kisah mereka dalam Alquran, ketika mereka ditimpa musibah, mereka berkeluh kesah kepada Allah. Hal tersebut tidaklah menafikan shabrun jamil([20]). Adapun seseorang yang ketika tertimpa musibah lalu kemudian berkeluh kesah kepada manusia, maka hal itu telah keluar dari makna shabrun jamil. Oleh karena itu, dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi agar bersabar terhadap gangguan kaum musyrikin yang selalu mendustakannya.
=======
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا، وَنَرَاهُ قَرِيبًا
“Mereka memandang (azab) itu jauh (mustahil). Sedangkan Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).” (QS. Al-Ma’arij : 6-7)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّهُمْ يَرَوْنَهُ بَعِيدًا
“Mereka memandang (azab) itu jauh (mustahil).”
Di antara pendustaan mereka adalah mereka tidak meyakini akan adanya azab. Sebagian ulama berpendapat bahwa makna ayat ini adalah mereka memandang bahwa azab di akhirat sebagai sesuatu yang jauh dan mustahil. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa mereka mendustakan adanya azab di dunia ataupun azab di akhirat. Mereka memandang bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak akan memberi azab di dunia karena mereka terperdaya dengan kenikmatan yang mereka miliki seperti kesehatan, kekayaan, dan banyaknya pengikut yang mereka miliki, sehingga mereka menganggap azab itu sesuatu yang mustahil. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam untuk bersabar atas perkataan mereka tersebut.
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَنَرَاهُ قَرِيبًا
“Kami memandangnya dekat (pasti terjadi).”
Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala memastikan bahwa azab tersebut akan terjadi. Bahkan para ulama berkata,
كُلُ آتٍ قَرِيْب
“Setiap yang akan datang itu dekat.” ([21])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ تَكُونُ السَّمَاءُ كَالْمُهْلِ
“(Ingatlah) pada hari ketika langit menjadi bagaikan cairan tembaga.” (QS. Al-Ma’arij : 8)
Tentang makna الْمُهْلُ, ada yang memaknainya dengan minyak ([22]), dan sebagian memaknainya dengan perak yang melebur ([23]). Artinya pada hari kiamat nanti, langit yang kita lihat sekarang ini mampu untuk menahan benda-benda langit yang sangat berat, ternyata langit yang kokoh tersebut akan terbelah lalu mencair seperti minyak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَإِذَا انشَقَّتِ السَّمَاءُ فَكَانَتْ وَرْدَةً كَالدِّهَانِ
“Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilauan) minyak.” (QS. Ar-Rahman : 37)
Maka pada hari itu telah terjadi, orang-orang kafir akan diazab.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ
“Dan gunung-gunung bagaikan bulu (yang beterbangan),” (QS. Al-Ma’arij : 9)
الْعِهْنُ maknanya adalah الصُّوْف الْمَصْبُوْغ([24]) , yaitu wol dari bulu domba lalu dihamburkan. Intinya kain tersebut sangat ringan, dan jika diterbangkan maka dia akan beterbangan di udara. Sebagaimana dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ
“Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS. Al-Qari’ah : 5)
Demikianlah kondisi gunung pada hari kiamat kelak. Dia akan mengalami beberapa tahapan.
Pertama, gunung tersebut akan tercabut dari pasaknya sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا الْجِبَالُ نُسِفَتْ
“Dan apabila gunung-gunung telah dihancurkan.” (QS. Al-Mursalat : 10)
Para ulama menafsirkan نُسِفَتْ maksudnya adalah gunung-gunung dilepaskan dari pasaknya([25]). Karena Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالْجِبَالَ أَوْتَادًا
“Dan gunung-gunung sebagai pasak.” (QS. An-Naba’ : 7)
Kedua, setelah dicabut maka gunung-gunung tersebut akan diterbangkan. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ
“Dan engkau akan melihat gunung-gunung, yang engkau kira tetap di tempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan.” (QS. An-Naml : 88)
Sehingga gunung-gunung yang super kokoh dan berat seakan-akan ringan seperti buluh yang beterbangan. Allah berfirman:
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ
“Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (QS. Al-Qari’ah : 5)
Ketiga, setelah gunung-gunung diterbangkan maka gunung-gunung tersebut dijalankan lalu ditabrakkan satu sama lain oleh Allah.
وَحُمِلَتِ الْأَرْضُ وَالْجِبَالُ فَدُكَّتَا دَكَّةً وَاحِدَةً
“Dan diangkatlah bumi dan gunung-gunung, lalu dibenturkan keduanya sekali benturan.” (QS. Al-Haqqah : 14)
Setelah ditabrakkan jadilah ia seperti debu-debu kecil. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا، فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا
“Dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan.” (QS. Al-Waqi’ah : 5-6)
Ketika telah menjadi debu-debu kecil, jadilah gunung-gunung tersebut hancur seakan-akan tidak pernah ada. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا
“Dan gunung-gunung pun dijalankan sehingga menjadi fatamorgana.” (QS. An-Naba’ : 20)
Artinya adalah gunung-gunung yang kita lihat selama ini begitu kokoh, dapat disaksikan oleh semua orang, tetapi pada hari kiamat nanti dia akan hancur lebur seperti sesuatu yang sebelumnya tidak pernah ada. Gunung-gunung akan seperti fatamorgana, yang sekilas dari jauh ada tetapi setelah didekati ternyata tidak ada karena telah dihancurkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun dalam ayat ini menunjukkan bahwa gunung akan melewati salah satu fase dari yang telah kita sebutkan.
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa gunung-gunung tersebut hancur lebur ketika pada hari kiamat karena rasa takut kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Kalau gunung yang begitu kokoh bisa hancur, maka bagaimana lagi dengan kita manusia yang lemah namun menyaksikan kedahsyatan hari tersebut([26]). Tentunya akan ada rasa takut yang luar biasa yang akan menembus hati-hati manusia. Oleh karenanya para ulama menyebutkan bahwa di antara nama hari kiamat yaitu الْقَارِعَةُ memiliki makna hari kiamat akan menjadikan rasa takut menembus ke dalam dada-dada manusia. ([27])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَا يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا
“Dan tidak ada seorang teman karib pun menanyakan temannya.” (QS. Al-Ma’arij : 10)
Pada hari itu Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa antara yang satu dengan yang lainnya tidak akan saling bertanya, karena masing-masing sibuk dengan urusannya, takut dengan keadaannya masing-masing. Sebagaimana dalam ayat lain Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ، وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ، وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ، لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ
“Pada hari itu manusia lari dari saudaranya, dan dari ibu dan bapaknya, dan dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa : 34-37)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يُبَصَّرُونَهُمْ ۚ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِي مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيهِ، وَصَاحِبَتِهِ وَأَخِيهِ، وَفَصِيلَتِهِ الَّتِي تُؤْوِيهِ، وَمَن فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ يُنجِيهِ
“Sedang mereka saling melihat. Pada hari itu, orang yang berdosa ingin sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab dengan anak-anaknya, dan istrinya dan saudaranya, dan keluarga yang melindunginya (di dunia), dan orang-orang di bumi seluruhnya, kemudian mengharapkan (tebusan) itu dapat menyelamatkannya.” (QS. Al-Ma’arij : 11-14)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan fi’il majhul dalam kata يُبَصَّرُونَهُمْ, sehingga maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala yang membuat mereka saling melihat satu dengan yang lainnya. Oleh karenanya di akhirat kelak, manusia akan dibuat bisa saling melihat, antara suami dan istri, antara ayah dan anak, antara kawan dengan kawan, namun di antara mereka tidak bisa saling membantu dan saling bertanya-tanya karena kesibukan dan ketakutan yang dialami setiap orang tatkala itu.
Dan karena saking takutnya seseorang pada hari itu, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang orang-orang kafir bahwa dia berangan-angan untuk menebus dirinya dari azab yang pedih dengan anak-anaknya, atau dengan istrinya, atau dengan bapak dan ibunya dan kerabat-kerabatnya yang lain, asalkan dia bisa selamat dari azab Allah Subhanahu wa ta’ala. Bahkan dia berangan-angan untuk bisa menebus dirinya dengan semua orang di dunia ini. Dia rela semuanya masuk neraka asalkan dirinya bisa selamat([28]). Bayangkanlah bagaimana kondisi pada hari itu sampai-sampai orang kafir berangan-angan demikian. Padahal kita tahu bahwa pada dasarnya manusia di atas muka bumi pasti sangat menyayangi anak-anak, bahkan mungkin orang tua akan berkorban dan rela mati demi anaknya. Akan tetapi karena besar dan dahsyatnya perkara pada hari kiamat, kenyataannya jadi berbeda. Mereka akhirnya mereka rela mengorbankan anak-anaknya untuk keselamatannya. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa kata يَوَدُّ dalam ayat ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir tidak hanya berangan-angan, akan tetapi juga mengutarakan angan-angan tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain, dimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَئِذٍ يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَعَصَوُا الرَّسُولَ لَوْ تُسَوَّىٰ بِهِمُ الْأَرْضُ وَلَا يَكْتُمُونَ اللَّهَ حَدِيثًا
“Pada hari itu, orang yang kafir dan orang yang mendurhakai Rasul (Muhammad), berharap/berangan-angan sekiranya mereka diratakan dengan tanah (dikubur atau hancur luluh menjadi tanah), padahal mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kejadian apa pun dari Allah.” (QS. An-Nisa’ : 42)
Lalu dalam ayat yang lain ternyata mereka mengungkapkan angan-angan mereka tersebut, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنذَرْنَاكُمْ عَذَابًا قَرِيبًا يَوْمَ يَنظُرُ الْمَرْءُ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ وَيَقُولُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنتُ تُرَابًا
“Sesungguhnya Kami telah memperingatkan kepadamu (orang kafir) azab yang dekat, pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya, dan orang kafir berkata, ‘Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah’.” (QS. An-Naba’ : 40)
Maka demikian pula firman Allah Subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata يَوَدُّ (berangan-angan) untuk menunjukkan bahwa orang-orang kafir tidak sekedar berangan-angan agar mereka dapat menebus dirinya dengan anak-anaknya, istrinya, orang tuanya, dan seluruh manusia di atas muka bumi, tetapi mereka juga mengatakan dan mengadukannya kepada Allah agar permintaan mereka dikabulkan([29]). Artinya karena saking takutnya mereka pada hari itu sehingga membuat akan mereka rusak, karena mereka ingin mengorbankan keluarganya asal mereka bisa selamat.
Dan dengan hal itu (angan-angan mereka) Allah azza wa jalla semakin menghinakan mereka di hadapan semua keluarga mereka([30]) (bagaimana mereka bisa rela mengorbankan keluarga mereka hanya demi keselamatan mereka sendiri)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
كَلَّا ۖ إِنَّهَا لَظَىٰ
“Sama sekali tidak! Sungguh, neraka itu api yang bergejolak.” (QS. Al-Ma’arij : 15)
Meskipun orang-orang kafir berangan-angan dan bahkan meminta agar dapat menebus dirinya dengan keluarga dan kerabatnya, namun ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala menolak dan tidak mengabulkan permintaannya. Sesungguhnya semua itu hanyalah angan-angan belaka. لَظَى adalah api yang bergejolak dan menyala-nyala([31]). Artinya yang ada di hadapan mereka saat itu hanyalah neraka yang apinya bergejolak.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
نَزَّاعَةً لِّلشَّوَىٰ
“Yang mengelupas kulit kepala.” (QS. Al-Ma’arij : 16)
Artinya api neraka tersebut tidak hanya panas dan membakar, akan tetapi juga seakan-akan tajam sehingga bisa mengelupas kulit kepala. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa tidak ada yang selamat dari tubuhnya. Seluruh daging, kulit, dan tulangnya ikut terbakar([32]).
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
تَدْعُو مَنْ أَدْبَرَ وَتَوَلَّىٰ
“Yang memanggil orang yang berbalik dan yang berpaling (dari agama).” (QS. Al-Ma’arij : 17)
Apa perbedaan dari kata berbalik dan berpaling? Para ulama menjelaskan bahwa makna أَدْبَرَ adalah berbalik, yaitu ketika orang kafir melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam maka dia langsung berbalik, tidak ingin bertemu dan mendengar sama sekali perkataan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun تَوَلَّىٰ maknanya adalah berpaling setelah mendengar, yaitu orang kafir tersebut telah mendengar dan berinteraksi dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun dia berpaling dan tetap memilih kebatilan. ([33])
Kedua bentuk ini, adbaar (berbalik) dan tawallaa (berpaling) telah dilakukan oleh orang kafir. Ada di antara mereka yang sama sekali tidak ingin mendengar perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَسْمَعُوا لِهَٰذَا الْقُرْآنِ وَالْغَوْا فِيهِ لَعَلَّكُمْ تَغْلِبُونَ
“Dan orang-orang yang kafir berkata, ‘Janganlah kamu mendengarkan (bacaan) Alquran ini dan buatlah kegaduhan terhadapnya, agar kamu dapat mengalahkan (mereka)’.” (QS. Fushshilat : 26)
Dan ada di antara mereka yang telah mendengar perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi mereka berpaling dari Al-Haq kepada kebatilan. Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا تُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا قَالُوا قَدْ سَمِعْنَا لَوْ نَشَاءُ لَقُلْنَا مِثْلَ هَٰذَا ۙ إِنْ هَٰذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
“Dan apabila ayat-ayat Kami dibacakan kepada mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami telah mendengar (ayat-ayat seperti ini), jika kami menghendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini. (Alquran) ini tidak lain hanyalah dongeng orang-orang terdahulu’.” (QS. Al-Anfal : 31)
Inilah perbedaan antara adbaar dan tawallaa. Dan kepada kedua model sikap orang kafir tersebut, neraka memanggilnya untuk memasuk ke dalam neraka. Bahkan banyak Ahli Tafsir mengatakan bahwa neraka akan berbicara secara hakiki. Jadi seakan-akan kelak neraka akan memanggil mereka, “Wahai fulan bin fulan, masuklah kesini” ([34]). Dan banyak dalil yang menunjukkan bahwa neraka itu bisa berbicara. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَوْمَ نَقُولُ لِجَهَنَّمَ هَلِ امْتَلَأْتِ وَتَقُولُ هَلْ مِنْ مَزِيدٍ
“(Ingatlah) pada hari (ketika) Kami bertanya kepada Jahannam, ‘Apakah kamu sudah penuh?’ Ia menjawab, ‘Masih adakah tambahan?’.” (QS. Qaf : 30)
Oleh karenanya kelak neraka akan memanggil orang-orang yang telah ditetapkan untuk memasukinya, dan mereka tidak dapat lari kemana pun untuk menghindari siksaan dalam neraka. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala melindungi kita dari perkara ini, dan tidak menjadikan nama kita dipanggil oleh neraka Jahannam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَجَمَعَ فَأَوْعَىٰ
“Dan orang yang mengumpulkan (harta benda) lalu menyimpannya.” (QS. Al-Ma’arij : 18)
Diantara sifat orang-orang kafir yang adbaar dan tawalla adalah mereka suka menyimpan dan menabung. Maksudnya ialah mereka sangat semangat untuk mengumpulkan harta secara terus menerus. Adapun maksud dari menyimpan adalah mereka memiliki angan-angan yang panjang, namun enggan untuk dikeluarkan([35]). Mereka menyangka bahwasanya umurnya akan panjang dengan harta tersebut. Padahal Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ، الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ، يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ، كَلَّا لَيُنْبَذَنَّ فِي الْحُطَمَةِ
“Celakalah begi setiap pengumpat dan pencela, yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya, dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengkekalkannya. Sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah. (QS. Al-Humazah : 1-4)
Tentunya kita melihat bagaimana orang-orang kaya dan orang-orang yang besar, tatkala waktunya dia untuk meninggal dunia maka dia akan meninggal. Hartanya atau bahkan perusahaan yang dia miliki tidak bisa menambah umurnya sedikit pun meskipun hanya sedetik. Oleh karenanya demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan tentang sifat orang-orang kafir yang suka mengumpulkan dan menyimpan harta karena angan-angan mereka yang terlalu panjang.
=======
Setelah itu, Allah kemudian menyebutkan beberapa sifat sebagian manusia pada umumnya dan orang kafir secara khusus.
=======
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا، إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا، وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
“Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.” (QS. Al-Ma’arij : 19-21)
Makna الهَلَعَ disebutkan oleh Thahir Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya,
قِلَّةُ إمْساكِ النَّفْسِ عِنْدَ اعْتِراءِ ما يُحْزِنُها أوْ ما يَسُرُّها
“Sikap tidak bisa mengendalikan diri ketika mengalami sesuatu yang menyedihkan atau menyenangkan dirinya.”([36])
Dan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala juga menyebutkan tentang bagaimana manusia itu berkeluh kesah. Pertama adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا
“Apabila dia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah.”
Artinya dia tidak menahan dirinya dari berkeluh kesah ketika ditimpa kesusahan, sehingga akhirnya dia mengutarakan segala keluh kesahnya kepada manusia([37]). Demikianlah sifat orang-orang kafir, sehingga kita dapati di antara mereka banyak yang bunuh diri.
Kemudian yang kedua adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
“Dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir.”
Yaitu apabila dia mendapat kebaikan, maka dia tahan kebaikan tersebut dan tidak mengeluarkannya (membagikan) kepada orang lain, dan dia ingin memuaskan dirinya sendiri([38]). Penulis banyak mendengar cerita dari saudara-saudara kita yang tinggal di negara kafir, mereka menyebutkan bahwa memang betul bahwa orang-orang kafir itu sangat pelit. Sampai-sampai mereka mengatakan bahwa salah satu cara untuk mendakwahi orang-orang kafir tersebut adalah dengan mengundang mereka untuk makan. Karena mereka akan kaget dan heran jika ada orang yang senang memberikan makanan secara gratis. Dan kata الْخَيْرُ dalam ayat ini sering diartikan dengan harta sebagaimana dalam ayat-ayat yang lain di antaranya,
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
“Dan sesungguhnya cintanya kepada harta benar-benar berlebihan.” (QS. Al-‘Adiyat : 8)
Inilah sifat sebagian manusia dan orang kafir secara umum. Jika diberi harta mereka akan menjadi sangat pelit dan ketika diberi kesusahan mereka selalu berkeluh kesah. Akhirnya sifat mereka inilah sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mengancam mereka dengan neraka yang apinya menyala-nyala. Sebagaimana telah Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan,
كَلَّا ۖ إِنَّهَا لَظَىٰ
“Sama sekali tidak! Sungguh, neraka itu api yang bergejolak.” (QS. Al-Ma’arij : 15)
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِلَّا الْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
“Kecuali orang-orang yang melaksanakan shalat, mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij : 22-23)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan bahwa orang-orang kafir yang pelit itu akan masuk neraka yang apinya bergejolak, Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menyebutkan ciri-ciri orang yang selamat dari siksaan tersebut. Dan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memulai paragraf baru dan menyebutkan ciri-ciri orang yang diselamatkan.
Di antara ciri-ciri yang selamat dari neraka tersebut adalah orang-orang yang mengerjakan shalat. Tentunya ini adalah sifat khusus orang yang beriman, karena orang yang beriman pasti mengerjakan shalat. Bahkan semakin banyak shalat seseorang maka akan semakin tinggi iman orang tersebut. Sampai-sampai Allah Subhanahu wa ta’ala menamakan shalat dengan iman([39]). Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman (shalat) kalian. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah : 143)
Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
الَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
“Mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.”
Artinya mereka tidak hanya sekadar mengerjakan shalat, akan tetapi juga senantiasa menjaganya. Mereka menjaga shalat lima waktu mereka, dan mereka juga menjaga dan memperbanyak shalat-shalat sunnah. Dan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apabila telah melakukan suatu amalan, maka beliau akan berusaha untuk merutinkannya dan tidak meninggalkannya. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ
“Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”([40])
Oleh karenanya kalau kita telah terbiasa shalat dhuha, maka hendaknya hal tersebut dipertahankan. Demikian pula orang yang telah senantiasa shalat witir, maka hendaknya hal tersebut dipertahankan. Karena di antara ciri-ciri orang yang selamat dari neraka adalah orang yang senantiasa menegakkan shalat dan merutinkannya.
Sebagian ulama menafsirkan دَائِمُونَ dengan tenang dan khusyuk. Yaitu ketika dia shalat, maka dia menjaga ketenangannya, tidak menoleh ke kanan dan ke kiri([41]). Dan kata دَائِمُونَ sebagaimana digunakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabdanya,
لاَ يَبُولَنَّ أَحَدُكُمْ فِي المَاءِ الدَّائِمِ الَّذِي لاَ يَجْرِي، ثُمَّ يَغْتَسِلُ فِيهِ
“Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian kencing pada air yang tidak mengalir (tenang), lalu mandi darinya.”([42])
Oleh karenanya yang dimaksud shalat secara دَائِمُونَ adalah dia shalat dengan tenang dan tidak menoleh kemana-mana kecuali ke tempat sujud.
Akan tetapi pendapat yang lebih kuat adalah دَائِمُونَ maksudnya shalat tersebut dijaga waktunya. ([43])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ، لِّلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
“Dan dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta.” (QS. Al-Ma’arij : 24-25)
السَّائِلُ adalah orang-orang yang miskin yang meminta-minta([44]), seperti orang yang meminta-minta di jalan, atau mendatangi rumah kita. Maka jika kita memiliki harta, maka kita harus sadar bahwa orang seperti ini punya hak dari harta kita. Para ulama menyebutkan bahwasanya harta yang dikeluarkan disini bukanlah zakat melainkan hanya sedekah, karena surah ini turun tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masih di Mekkah, dan belum turun perintah zakat. Akan tetapi demikianlah sifat-sifat orang yang beriman, dia yakin bahwa di dalam hartanya terdapat hak bagi As-Saail. Adapun الْمَحْرُومُ adalah orang yang tidak berkecukupan harta tetapi tidak meminta-minta([45]). Para ulama menyebutkan bahwa termasuk dalam Al-Mahruum adalah orang yang sudah bekerja tetapi penghasilannya tidak cukup. Oleh karenanya di antara yang dituntut bagi kita setiap muslim adalah mengenali saudara-saudara kita yang kurang mampu, namun mereka menahan diri dari meminta-minta. Kita hendaknya peka terhadap kondisi saudara-saudara kita.
Intinya, keduanya baik As-Saail dan Al-Mahruum memiliki hak dari harta kita, hendaknya kita beri hak mereka yang ada dalam harta kita.
Dan kalimat فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُومٌ yang datang setelah الَّذِيْنَ disebut dengan jumlah “shilah maushul” yang menjelaskan tentang sifat orang-orang yang beriman tersebut (yaitu orang-orang yang shalat). Yang demikian untuk menjelaskan bahwa hal ini adalah sifat mereka yang tak pernah berubah, untuk menepis anggapan bahwa terkadang di beberapa waktu orang yang beriman itu pelit dalam memberi, sebagaimana yang sering terjadi di kalangan manusia. ([46])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ يُصَدِّقُونَ بِيَوْمِ الدِّينِ، وَالَّذِينَ هُم مِّنْ عَذَابِ رَبِّهِم مُّشْفِقُونَ، إِنَّ عَذَابَ رَبِّهِمْ غَيْرُ مَأْمُونٍ
“Dan orang-orang yang membenarkan hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya, sesungguhnya terhadap azab Tuhan mereka, tidak ada seseorang yang merasa aman (dari kedatangannya).” (QS. Al-Ma’arij : 26-28)
Demikianlah ciri orang beriman. Dia yakin akan adanya hari pembalasan, dia tidak merasa aman dari azab Allah Subhanahu wa ta’ala, bahkan mereka tidak merasa percaya diri bisa masuk surga. Mereka adalah orang yang senantiasa mengedepankan raja’ dan khauf, yaitu di samping mereka mengharapkan surga mereka juga takut terhadap neraka. Maka sungguh heran jika ada orang yang menjamin dirinya masuk surga dan tidak akan masuk neraka. Padahal orang yang dijamin masuk surga, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu sendiri masih takut dengan azab Allah Subhanahu wa ta’ala di akhirat kelak, padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengatakan bahwa dirinya di surga. Akan tetapi meskipun demikian Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu tidak pernah merasa percaya diri dengan mengatakan kepada banyak orang bahwa dia akan masuk surga. Kalau Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu yang imannya sangat luar biasa dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah ridha kepadanya saja masih takut, maka tentu kita yang lemah imannya justru harus lebih takut lagi akan azab Allah Subhanahu wa ta’ala.
Para ulama menyebutkan bahwasanya Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat-sifat ini sebagai bentuk pertentangan atas sifat-sifat orang kafir. Sebagaimana telah disebutkan dalam ayat-ayat sebelumnya bahwasanya sifat-sifat orang kafir di antaranya adalah mengumpulkan harta dan pelit, adapun orang beriman mereka dermawan kepada orang yang meminta dan yang tidak meminta. Orang-orang kafir menganggap bahwa hari kiamat adalah mustahil dan azab tidak akan mereka dapatkan di dunia dan di akhirat, adapun orang-orang beriman meyakini bahwa kari kiamat pasti terjadi dan tidak merasa aman dari azab Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya sifat-sifat yang Allah Subhanahu wa ta’ala ini merupakan kebalikan dari sifat orang-orang kafir.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ، إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka tidak tercela.” (QS. Al-Ma’arij : 29-30)
Dua hal yang paling banyak menggelincirkan seseorang ke dalam neraka Jahannam di zaman sekarang ini adalah fitnah syahwat dan fitnah syubhat. Dan di zaman ini kedua hal tersebut begitu banyak tersebar dan begitu mudah menjerat manusia. Perkara syubhat bukan lagi di ranah bid’ah, akan tetapi sudah sampai kepada syubhat-syubhat yang mengarah kepada kekufuran. Oleh karenanya benarlah wasiat Nabi,
بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِى كَافِرًا أَوْ يُمْسِى مُؤْمِنًا وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya karena sedikit dari keuntungan dunia.”([47])
Oleh karenanya agar seseorang bisa selamat dari fitnah syubhat adalah dengan banyak beramal saleh.
Demikian pula hendaknya seseorang menjaga dirinya dari fitnah syahwat dengan menjaga kemaluannya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
احْفَظْ عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ، أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu, kecuali kepada istrimu atau budak yang kamu miliki.”([48])
Maka jangan seseorang dengan mudahnya mengumbar auratnya, agar dia bisa termasuk dalam golongan orang-orang yang menjaga kemaluannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَنِ ابْتَغَىٰ وَرَاءَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
“Maka barangsiapa mencari di luar itu (seperti zina, homoseks dan lesbian), mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Ma’arij : 31)
Yaitu barangsiapa yang melampiaskan syahwat selain kepada istri dan kepada budak-budak wanita, maka hal tersebut tidak diperbolehkan dan dia telah melampaui batas. Maka hendaknya seseorang berhati-hati dalam melampiaskan syahwatnya, karena untuk melampiaskan syahwat di zaman sekarang ini sangat bervariasi dan sangat mudah. Dan tentunya orang-orang yang terjerumus dalam melampiaskan syahwat dengan cara yang haram tentunya tidak termasuk dalam kategori orang yang menjaga kemaluannya.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya.” (QS. Al-Ma’arij : 32)
Inilah di antara sifat orang beriman, yaitu menjaga amanah. Kalau mereka berjanji maka pasti akan dipenuhi, kalau mereka diberi amanah maka pasti dia akan menjaga amanah tersebut. Tentunya tidak sebagaimana sifat orang munafik yang apabila diberi amanah maka dia berkhianat. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
آيَةُ المُنَافِقِ ثَلاَثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda munafik ada tiga; jika berbicara dusta, jika berjanji mengingkari, dan jika diberi amanat dia khianat.”([49])
Dan di antara bentuk menjaga amanah yang harus diperhatikan banyak orang saat ini adalah menjaga uang umat yang diamanahkan kepadanya. Jika seseorang membuat sebuah Yayasan Islam, kemudian dia mengumpulkan uang umat maka dia harus berhati-hati dalam menggunakan uang tersebut melebihi kehati-hatiannya dalam menggunakan hartanya sendiri. Karena sebagian orang ada yang berhati-hati dalam mengeluarkan hartanya agar tidak ada kesalahan, akan tetapi ketika berurusan dengan uang umat maka dia tidak peduli dan berhati-hati. Padahal sejatinya amanah yang dititipkan kepada kita itu harusnya lebih berhati-hati lagi, karena itu adalah uang orang lain, yang akan disalurkan kepada umat, dan pasti akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُم بِشَهَادَاتِهِمْ قَائِمُونَ
“Dan orang-orang yang berpegang teguh pada kesaksiannya.” (QS. Al-Ma’arij : 33)
Mayoritas ulama menafsirkan maksud syahadah disini dengan persaksian secara umum. Artinya ketika mereka bersaksi, maka mereka mempersaksikan hal tersebut dengan jujur, tidak ada yang disembunyikan, meskipun itu berkaitan dengan kerabat mereka([50]). Selama mereka diminta persaksiannya, maka dia akan bersaksi sebagaimana adanya, dan tidak ada yang disembunyikan dalam rangka membela seseorang.
Sebagian ulama yang lain menafsirkan syahadah disini dengan kalimat syahadatain([51]). Yaitu mereka adalah orang yang menegakkan tauhid kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan berpegang teguh terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَىٰ صَلَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ، أُولَٰئِكَ فِي جَنَّاتٍ مُّكْرَمُونَ
“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya, mereka itu dimuliakan di dalam surga.” (QS. Al-Ma’arij : 34-35)
Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan ciri-ciri orang beriman dengan firman-Nya,
الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ
“Mereka yang tetap setia melaksanakan shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij : 23)
Para ulama membedakan antara makna دَائِمُونَ dan يُحَافِظُونَ. Sebagian para ulama menyebutkan bahwa Daimun lebih berkaitan pada dzat shalat tersebut yang dikerjakan pada waktunya, sehingga orang-orang beriman adalah orang-orang yang menjaga shalat mereka agar dilaksanakan pada waktunya. Sedangkan yuhafidzun berkaitan dengan kualitas, yaitu orang-orang yang beriman senantiasa menjaga kualitas shalatnya dengan menyempurnakan wudhunya, menyempurnakan rukun-rukun dan sunnah-sunnah shalatnya, seusai shalat tidak melakukan hal-hal yang dapat mengurangi pahala shalatnya, dan seterusnya([52]). Inilah yang disebut dengan orang-orang yang yuhafidzun dalam shalatnya
Rentetan ayat ini juga menunjukkan bahwasanya shalat adalah amalan yang sangat agung. Karena tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menjelaskan tentang azab neraka, kemudian setelahnya Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan إِلَّا الْمُصَلِّين (kecuali orang shalat yang akan selamat). Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan tentang orang yang berpuasa atau yang membayar zakat terlebih dahulu. Sehingga seakan-akan sifat khusus orang-orang yang beriman adalah shalat. Dan bahkan ketika Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan ciri orang beriman, Allah membuka dengan sifat shalat, dan ditutup pula dengan sifat shalat. Dan hal seperti ini juga Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan dalam surah Al-Mu’minun,
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ
“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya.” (QS. Al-Mu’minun : 1-2)
Setelah Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan sifat orang yang beriman di awal, ternyata diakhiri juga Allah Subhanahu wa ta’ala sebutkan lagi sifat shalat bagi orang yang beriman, yaitu dalam firman-Nya,
وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ، أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ، الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Mu’minun : 9-11)
Jadi Allah Subhanahu wa ta’ala membuka ciri orang beriman dengan shalat dan menutupnya dengan shalat pula sebagaimana dalam surah Al-Ma’arij ini. Oleh karenanya ini menunjukkan bahwa shalat adalah ibadah yang sangat dicintai oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya tatkala pertama kali Allah Subhanahu wa ta’ala mewajibkan shalat, Allah mewajibkan shalat lima puluh kali sehari semalam([53]). Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala sangat cinta kepada ibadah tersebut.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَالِ الَّذِينَ كَفَرُوا قِبَلَكَ مُهْطِعِينَ
“Maka mengapa orang-orang kafir itu datang bergegas ke hadapanmu (Muhammad).” (QS. Al-Ma’arij : 36)
Terdapat dua pendapat di kalangan para ulama tentang makna مُهْطِعِينَ. Pertama, ada yang menyebut bahwa مُهْطِعِينَ makanya adalah مُسْرِعِيْنَ, yaitu cepat/bergegas menuju kepadamu([54]). Kedua, مُهْطِعِينَ maknanya adalah مُعْرِضِيْنَ, yaitu berpaling darimu([55]). Ibnu Katsir rahimahullah berusaha untuk menggabungkan kedua makna ini dengan mengatakan seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Mengapa orang-orang kafir itu bergegas kepadamu Muhammad namun kemudian berpaling darimu”.([56])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ عِزِينَ
“Dari kanan dan dari kiri dengan berkelompok-kelompok.” (QS. Al-Ma’arij : 37)
Artinya mereka sudah menuju Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu kemudian mereka berpencar. Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan bahwa artinya adalah mereka telah melihat agungnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, telah melihat mukjizatnya, mereka telah melihat akhlaknya, mereka telah mendengar ayat-ayat Allah, akan tetapi mereka berpaling([57]). Dan ini sangat mirip dengan kabar dari Allah Subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
فَمَا لَهُمْ عَنِ التَّذْكِرَةِ مُعْرِضِينَ، كَأَنَّهُمْ حُمُرٌ مُسْتَنْفِرَةٌ، فَرَّتْ مِنْ قَسْوَرَةٍ
“Lalu mengapa mereka (orang-orang kafir) berpaling dari peringatan (Allah)? seakan-akan mereka keledai liar yang lari terkejut, lari dari singa.” (QS. Al-Muddatstsir : 49-51)
Demikianlah mereka orang-orang kafir, tatkala mereka mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membaca firman-firman Allah, mereka tiba-tiba gelisah dan takut seperti keledai yang lari karena takut dikejar oleh singa. Padahal orang-orang kafir tersebut telah tahu akan kebenaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَن يُدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيمٍ، كَلَّا ۖ إِنَّا خَلَقْنَاهُم مِّمَّا يَعْلَمُونَ
“Apakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk surga yang penuh kenikmatan? Tidak mungkin! Sesungguhnya Kami menciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui.” (QS. Al-Ma’arij : 38-39)
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
أَيَطْمَعُ كُلُّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ أَن يُدْخَلَ جَنَّةَ نَعِيمٍ، كَلَّا
“Apakah setiap orang dari orang-orang kafir itu ingin masuk surga yang penuh kenikmatan? Tidak mungkin.”
Sebagian Ahli Tafsir seperti Imam Al-Qurthubi, ketika menafsirkan ayat ini mereka membawakan atsar tentang kelakuan sebagian kaum musyrikin saat mereka berkumpul di sekitar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu kemudian mereka mengejek beliau. Mereka dengan sombongnya berkata,
لَئِنْ دَخَلَ هَؤُلَاءِ الْجَنَّة لَنَدْخُلَنَّهَا قَبْلَهُمْ
“Seandainya mereka masuk surga, niscaya kita akan masuk terlebih dahulu sebelum mereka.”([58])
Akan tetapi zahir ayat ini menggambarkan bahwa seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan, “Mereka kafir dan berpaling, apakah mereka masih menyangka akan masuk surga?”. Seakan-akan ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan tentang surga, mesing-masing dari mereka terbetik dalam hatinya bahwa mereka juga ingin masuk surga. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala membantah bisikan hati mereka tersebut dalam ayat ini. Artinya tidak mungkin mereka akan masuk surga sementara mereka masih menghina Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berpaling dari ayat-ayat Allah.
Adapun firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
إِنَّا خَلَقْنَاهُم مِّمَّا يَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya Kami ciptakan mereka dari apa yang mereka ketahui.”
Artinya adalah mereka telah mengetahui bahwasanya mereka itu diciptakan dari air mani yang hina. Sehingga seakan-akan Allah mengatakan, “Mengapa kalian sombong dan berpaling, sementara kalian tahu bahwa asal kalian dari air yang hina”.
Al-Qurthubi dalam tafsirnya membawakan sebuah riwayat dari seorang tabi’in bernama Mutharrif bin Abdillah bin Syikhkhir, bahwasanya dia melihat seorang bernama Muhallab bin Abi Sufrah berjalan dengan jubah dari kain sutra yang indah dan rida’ (selendang atasan) yang halus, lalu Mutharrif menegurnya dan berkata,
يَا عَبْدَ اللَّهِ، مَا هَذِهِ الْمِشْيَةْ الَّتِي يُبْغِضَهَا الله؟ فقال له: أَتَعْرِفُنِي؟ قال: نَعَم، أَوَّلُكَ نُطْفَةٌ مَذِرَةٌ وَآخِرُكَ جِيفَةُ قَذِرَةٌ، وَأَنْتَ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ تَحْمِلُ الْعَذِرَةَ. فَمَضَى الْمُهَلَّبُ وَتَرَكَ مِشْيَتَهُ
“Wahai Abdullah, mengapa engkau berjalan dengan jalan yang dibenci oleh Allah?” Muhallab berkata, ‘Apakah engkau mengenalku?’. Mutharrif berkata, ‘Tentu, engkau adalah yang berasal dari air mani yang hina, setelah meninggal menjadi bangkai yang busuk, dan sekarang engkau berada di antaranya membawa kotoran di dalam perutmu’. Akhirnya Al-Muhallab sadar dan tidak berjalan dengan jalan yang sombong lagi.”(([59]))
Dan Mahmud Al-Warraq berkata dalam syairnya terkait masalah ini,
عَجِبْتُ مِنْ مُعْجَبٍ بِصُورَتِهِ … وَكَانَ فِي الْأَصْلِ نُطْفَةً مَذِرَهْ
Aku heran dengan orang yang kagum dengan dirinya, padahal dia berasal dari air mani yang hina
وَهُوَ غَدًا بَعْدَ حُسْنِ صُورَتِهِ … يَصِيرُ فِي اللَّحْدِ جِيفَةً قَذِرَهْ
Dan besok setelah perangainya yang baik itu, pada akhirnya dia akan masuk ke liang lahad menjadi bangkai yang busuk
وَهُوَ عَلَى تِيهِهِ وَنَخْوَتِهِ … مَا بَيْنَ ثَوْبَيْهِ يَحْمِلُ الْعَذِرَهْ
Sekarang dia tersesat sementara di dalam jubahnya dia membawa kotoran yang bau. ([60])
Dan Allah azza wa jalla menyebutkan asal penciptaan mereka: untuk merendahkan kedudukan mereka, serta untuk menampakkan keagungan dan kekuasaan Allah azza wa jalla, sebagai permulaan (muqoddimah) untuk menekankan kandungan ayat-ayat setelahnya, dimana Allah pada ayat-ayat selanjutnya menjelaskan bahwa Allah azza wa jalla mampu untuk membinasakan mereka karena kekufuran dan penghinaan mereka terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Allah azza wa jalla mampu untuk menggantikan mereka dengan kaum yang lebih baik dari mereka. Dan menampakkan keperkasaan dan kekuatan Allah azza wa jalla dengan menyebutkan awal penciptaan mereka adalah bukti yang sangat nyata akan hal itu. ([61])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلَا أُقْسِمُ بِرَبِّ الْمَشَارِقِ وَالْمَغَارِبِ إِنَّا لَقَادِرُونَ، عَلَىٰ أَن نُّبَدِّلَ خَيْرًا مِّنْهُمْ وَمَا نَحْنُ بِمَسْبُوقِينَ
“Maka Aku bersumpah demi Tuhan yang mengatur tempat-tempat terbit dan terbenamnya (matahari, bulan dan bintang), sungguh, Kami pasti mampu, untuk mengganti (mereka) dengan kaum yang lebih baik dari mereka, dan Kami tidak dapat dikalahkan.” (QS. Al-Ma’arij : 40-41)
Ayat ini memulai paragraf yang baru. Dan dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala bersumpah dengan diri-Nya sendiri. Dan yang seperti ini banyak di dalam Al-Quran, di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’ : 65)
Terdapat dua tafsiran ulama secara umum tentang ayat ini. Pendapat pertama, maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa diri-Nya adalah penguasa timur dan barat, Dia yang menguasai segala benda-benda di langit, sehingga jika Allah ingin membinasakan orang-orang kafir Quraisy saat itu juga, maka Allah mampu menggantikan mereka setelah itu dengan kaum yang lebih baik dari mereka yang salih dan taat kepada Allah. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari. ([62])
Pendapat kedua, maksudnya adalah karena Allah yang menciptakan seisi langit dan bumi yang sebesar itu, maka untuk membangkitkan mereka itu jauh lebih mudah, dan mudah bagi Allah untuk membangkitkan mereka dengan jasad yang lebih baik dari jasad yang mereka miliki saat ini. Karena kelak mereka akan dibangkitkan dengan fisik yang lebih kuat, yaitu kuat untuk berdiri menghadapi panasnya padang mahsyar selama 50.000 tahun, kuat tatkala mendapatkan siksa neraka tak mati-mati. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ibnu Katsir. ([63])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَذَرْهُمْ يَخُوضُوا وَيَلْعَبُوا حَتَّىٰ يُلَاقُوا يَوْمَهُمُ الَّذِي يُوعَدُونَ
“Maka biarkanlah mereka tenggelam dan bermain-main (dalam kesesatan) sampai mereka menjumpai hari yang diancamkan kepada mereka.” (QS. Al-Ma’arij : 42)
Yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam agar membiarkan orang-orang kafir tenggelam dalam berbincang-bincang mengejek beliau dan mengejek Alquran, serta bermain-main dengan agam Islam, hingga akhirnya mereka bertemu dengan hari yang dijanjikan yaitu hari kiamat. ([64])
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ سِرَاعًا كَأَنَّهُمْ إِلَىٰ نُصُبٍ يُوفِضُونَ
“(yaitu) pada hari ketika mereka keluar dari kubur dengan cepat seakan-akan mereka pergi dengan segera kepada berhala-berhala (sewaktu di dunia).” (QS. Al-Ma’arij : 43)
Yaitu mereka keluar dari kuburnya dengan cepat seperti cepatnya mereka dahulu di dunia ketika mendatangi berhala-berhalanya untuk mengagungkannya. Mereka dahulu berlomba-lomba siapa yang paling cepat bisa mengusap dan memberi sesajen bagi berhala tersebut. ([65])
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkan bahwa tatkala mereka keluar dari kubur, mereka seperti belalang yang bertebaran. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
خُشَّعًا أَبْصَارُهُمْ يَخْرُجُونَ مِنَ الْأَجْدَاثِ كَأَنَّهُمْ جَرَادٌ مُّنتَشِرٌ
“Sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan.” (QS. Al-Qamar : 7)
Inilah balasan yang sesuai dengan perbuatan mereka di dunia. Sebagaimana dahulu mereka di dunia semangat untuk menuju berhala-berhala mereka, maka pada hari kiamat pun mereka akan bersegera menuju azab mereka.
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
خَاشِعَةً أَبْصَارُهُمْ تَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ ۚ ذَٰلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ
“Pandangan mereka tertunduk ke bawah diliputi kehinaan. Itulah hari yang diancamkan kepada mereka.” (QS. Al-Ma’arij : 44)
Ketika di dunia mereka bersombong, maka balasan bagi mereka di akhirat kelak adalah kehinaan. Kehinaan telah tampak dari wajah-wajah mereka yang tertunduk tak berdaya. Bahkan di antaranya wajah mereka tatkala itu menghitam. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ ۚ فَأَمَّا الَّذِينَ اسْوَدَّتْ وُجُوهُهُمْ أَكَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ
“Pada hari itu ada wajah yang putih berseri, dan ada pula wajah yang hitam muram. Adapun orang-orang yang berwajah hitam muram (kepada mereka dikatakan), ‘Mengapa kamu kafir setelah beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu’.” (QS. Ali ‘Imran : 106)
Di antaranya pula wajah mereka pada hari kiamat kelak penuh dengan debu. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ
“Dan banyak (pula) muka pada hari itu tertutup debu.” (QS. ‘Abasa : 40)
Tatkala di padang mahsyar, keringat mereka bercucuran hingga di wajah-wajah mereka, akhirnya debu-debu menempel di wajah mereka. Dan itulah bentuk penghinaan mereka dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Adapun firman Allah,
ذَٰلِكَ الْيَوْمُ الَّذِي كَانُوا يُوعَدُونَ
“Itulah hari yang diancamkan kepada mereka.”
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggunakan kata كَانُوا yang menunjukkan fi’il madhi. Dan demikianlah terkadang Allah Subhanahu wa ta’ala menggambarkan masa depan dengan mengungkapkannya menggunakan fi’il madhi untuk menunjukkan bahwa hal tersebut pasti akan terjadi. ([66])
Dan ayat penutup ini adalah kesimpulan/penyebutan secara global dari kandungan surah ini di awal ayat: yaitu “Mereka bertanya tentang adzab yang pasti akan menimpa mereka” ([67])
_________________________________________
([1]) Lihat Al-Itqan fi ‘Ulumil-Qur`an karya Imam As-Suyuthi: 1/196.
([2]) Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 278
([3]) Lihat Mabahits fi ‘Ulumil-Qur`an karya Syaikh Manna’ Al-Qatthan: 1/ 63-64.
([4]) Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 278 dan Tahrir wa At-Tanwir: 29/ 153.
([5]) At-Tahrir Wat-Tanwir, Ibnu ‘Asyur 29/155
([6]) Tafsir Ibnu Katsir: 18/ 281.
([7]) Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 281.
([8]) TafsirAth-Thabariy: 23/ 601.
([9]) Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 281.
([12]) Tafsir Ath-Thabari 23/602
([13]) Tafsir Ibnu Katsir 8/221-
([14]) Tafsir Al-Qurthubi 18/282
([15]) Tafsir Al-Qurthubi 18/282
([16]) Tafsir Al-Qurthubi 18/282
([19]) Tafsir Al-Qurthubi 18/284
([20]) At-Tafsir Al-Qayyim: 1/ 553.
([21]) Di antara yang mengatakannya adalah Imam Ath-Thabari dalam Tafsirnya: 23/ 603, Imam Al-Baghawi dalam Tafsirnya : 5/ 152.
([22]) Tafsir Ath-Thabari: 23/ 604 dan Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 284.
([23]) Tafsir Al-Qurhtubi: 18/ 284.
([25]) Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 157 dari perkataan Al-Mubarrid.
([26]) At-Tafsir Al-Ma`tsur : 22/ 611.
([28]) Tafsir Ath-Thabari: 23/ 606.
([29]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 287.
([30]) Attahrir Wa Attanwir, Ibnu ‘Asyur, 29/160
([31]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 29/ 160.
([32]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/ 607.
([33]) Lihat Tahrir wa At- Tanwir: 29/ 165.
([34]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 289.
([35]) Lihat Tahrir wa At- Tanwir: 29/ 166.
([36]) Tahrir wa At-Tanwir 29/167
([37]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 290 dari perkataan Tsa’lab.
([39]) Imam Ath-Thabari berkata:
عَنَى بِ”الْإيْمَانِ” فِيْ هَذَا الْمَوْضِعِ: الصَّلَاةَ.
Allah maksudkan dengan “Iman” pada ayat ini adalah “Shalat” (Tafsir Ath-Thabari: 3/ 167).
([41]) Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 291.
([42]) HR. Bukhari no. 239 dan
([43]) Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 291.
([44]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/ 613.
([45]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/ 613.
([46]) Tahrir wa At-Tanwir 29/172.
([48]) HR. Ibnu Majah no. 1920
([49]) HR. Bukhari no. 33 dan HR. Muslim no. 59.
([50]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 291-292.
([51]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 292 dari penafsiran Ibnu Abbas, beliau berkata:
بِشَهاداتِهِمْ أَنَّ اللَّهَ وَاحِدٌ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
(Orang yang menegakkan) syahadat mereka bahwasanya Allah adalah Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.
([52]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 292.
([53]) HR Al-Bukhari no 349 dan Muslim no 163 :
…فَفَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلاَةً…
“…Lalu Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan atas umatku lima puluh kali shalat…”
([54]) Lihat Tafsir Ath-Thabari: 23/ 619 dari penafsiran Hasan Al-Bashriy.
([55]) Lihat Tafsir Al-Qurthubi: 19/ 293 dari penafsiran ‘Athiyyah.
([56]) Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 228.
([58]) Tafsir Al-Qurthubi 18/294.
([59]) Tafsir Al-Qurthubi 18/294-295.
([60]) Tafsir Al-Qurthubi: 18/ 295.
([61]) Ruh Al Ma’ani, Al Alusi, 15/73.
([62]) Tafsir Ath-Thabari: 23/ 622.
([63]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 229.
([64]) Dan ayat ini tidak dihapus dengan ayat-ayat perang, sebagimana yang dianggap oleh sebagian kalanagn. Akan tetapi ayat ini adalah untuk penghinaan dan rendahnya mereka, tidak perlu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk terlalu menyibukkan diri dengan sikap-sikap orang kafir. (lihat At-Tahrir Wa At-Ttanwir, 29/182).
([65]) Ibid: 8/ 230 dari penafsiran Mujahid, Yahya bin Abi Katsir, Qatadah dan lainnya.