Shaf Shalat
Shaf terbaik bagi laki-laki dan bagi wanita
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا»
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan yang terburuk adalah yang terakhir, dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling terakhir dan yang terburuk adalah yang paling awal. ([1])
Keutamaan shaf pertama
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا»
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda: Seandainya manusia mengetahui pahala menjawab adzan dan shaf pertama, lalu mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan diundi, niscaya mereka akan melakukan undian. ([2])
Keutamaan shaf sebelah kanan
عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ: كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَحْبَبْنَا أَنْ نَكُونَ عَنْ يَمِينِهِ
Al-Bara’ berkata: Dahulu jika kami shalat di belakang Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam kami senang berada di sebelah kanan beliau. ([3])
Adapun riwayat Aisyah bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ»
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla dan malaikat-Nya bershalawat kepada shaf-shaf kanan”. Maka hadits ini lemah. ([4])
Perintah meluruskan dan merapatkan shaf
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: (رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ).
Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Rapikan shaf-shaf kalian dan dekatkan, sejajarkan dengan leher, demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan masuk dari sela-sela shaf seolah-olah dia adalah anak kambing”. ([5])
أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم “أقيموا صفوفكم، فإني أراكم من وراء ظهري”.
Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Luruskan saf kalian, karena aku melihat kalian dari belakang punggungku”. ([6])
قال أنس: وكان أَحَدُنا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ، وقَدَمَه بِقَدَمِهِ.
Anas bin Malik mengatakan: Dahulu salah satu dari kami menempelkan bahunya dengan bahu temannya, dan kakinya dengan kaki temannya. ([7])
“فَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ هَذَا الْيَوْمَ؛ لَنَفَرَ أَحَدُكُمْ كَأَنَّهُ بَغْلُ شَمُوْسٌ”.
Sedangkan dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, ada tambahan: “Jika engkau melakukannya hari ini, orang akan lari layaknya begol liar”. ([8])
عن النعمان بن بشير رضي الله عنه قال: أقبل رسول الله صلى الله عليه وسلم على الناس بوجهه، فقال: “أقيموا صفوفكم (ثلاثاً)، والله لتقيمنّ صفوفكم أو ليخالفنّ الله بين قلوبكم”
Dari Nu’man bin Basyir: Rasulullah menghadap ke orang-orang dengan wajah beliau, lalu mengatakan: “Luruskan shaf kalian (beliau mengucapkannya tiga kali), demi Allah kalian meluruskan shaf kalian atau Allah akan membuat hati kalian berselisih”
قال النعمان بن بشير: رأيتُ الرجل منا يلزق كعبه بكعب صاحبه.
Nu’man bin Basyir mengatakan: Aku melihat seorang dari kami menempelkan mata kakinya dengan mata kaki temannya. ([9])
Dzahir hadits-hadits di atas menunjukan bahwa disunnahkan dalam merapatkan shaf untuk menempelkan kaki dengan kaki temannya. Hal ini didukung dengan praktik para sahabat yang menempelkan kaki mereka tatkala merapatkan shaf. Dan inilah yang dipahami oleh al-Bukhari dalam shahihnya, dimana beliau membuat bab dengan judul :
بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ
“Bab menempelkan bahu dengan bahu dan telapak kaki dengan telapak kaki dalam shaf”
Ibnu Hajar berkata mengomentari perkataan al-Bukhari di atas :
وَالْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيْلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِه
“Yang dimaksud dengan bab ini adalah bersungguh-sungguh dalam meluruskan shaf dan menutup celahnya”. ([10])
Karenanya Ibnu Hajar juga berkata :
وَاسْتُدِلَّ بِحَدِيثِ النُّعْمَانِ هَذَا عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِالْكَعْبِ فِي آيَةِ الْوُضُوءِ الْعَظْمُ النَّاتِئُ فِي جَانِبَيِ الرِّجْلِ وَهُوَ عِنْدَ مُلْتَقَى السَّاقِ وَالْقَدَمِ وَهُوَ الَّذِي يُمْكِنُ أَنْ يَلْزَقَ بِالَّذِي بِجَنْبِهِ خِلَافًا لِمَنْ ذَهَبَ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْكَعْبِ مُؤَخَّرُ الْقَدَمِ وَهُوَ قَوْلٌ شَاذٌّ … وَأَنْكَرَ الْأَصْمَعِيُّ قَوْلَ مَنْ زَعَمَ أَنَّ الْكَعْبَ فِي ظَهْرِ الْقَدَمِ
“Hadits an-Nu’maan ini dijadikan dalil bahwasanya yang dimaksud dengan kaáb dalam ayat tentang wudhu (yaitu QS Al-Maidah ayat 6) adalah tulang yang muncul di samping kanan dan samping kiri kaki (yaitu mata kaki), yang merupakan pertemuan antara betis dan kaki, dan itulah yang mungkin untuk ditempelkan dengan kaáb temannya yang disampingnya (dalam shaf). Hal ini berbeda dengan sebagian orang yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kaáb adalah bagian belakang kaki (tumit), ini merupakan pendapat yang nyeleneh….dan al-Ashmaí mengingkari pendapat orang yang menyangka bahwa kaáb adalah bagian atas kaki (punggung kaki)” ([11])
Perkataan ibnu Hajar ini menunjukan bahwa beliau memandang bahwa bukan hanya kaáb dengan kaáb bukan hanya disejajarkan akan tetapi ditempel.
Dampak Buruk Bila Tidak Merapatkan Shaf: ([12])
Pertama: Terjatuh dalam larangan syariat.
Kedua : Membiarkan celah untuk setan.
Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” أَقِيمُوا الصُّفُوفَ، فَإِنَّمَا تَصُفُّونَ بِصُفُوفِ الْمَلَائِكَةِ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ، وَسُدُّوا الْخَلَلَ، وَلِينُوا فِي أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا، وَصَلَهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى”
“Luruskan shaf, karena kalian ber-shaf dengan shaf malaikat, dan sejajarkan antara pundak, tutupilah celah, lembutlah dengan kawan kalian, dan jangan biarkan celah-celah untuk setan, siapa yang menyambung shaf maka Allah akan sambung dan siapa yang memutusnya maka Allah akan memutusnya” ([13])
قَالَ أَبُو دَاوُدَ: ومَعْنَى وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ: إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلِينَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ
Berkata Abu Dawud, “Makna lembut dengan saudara: Jika seorang hendak masuk shaf maka hendaknya setiap orang melunakkan bahunya sampai saudaranya tersebut masuk di dalam barisan shaf tersebut” ([14])
Ini semakin menguatkan bahwa Nabi shallallahu álaihi wasallam ingin agar shaf benar-benar rapat, sehingga jika masih memungkinkan ada seseorang yang masuk diantara dua orang maka hendaknya dilakukan.
Ketiga : Tidak rapatnya shaff bisa membuahkan perselisihan di antara mereka, karena dalam hadits Nu’man terdapat faidah yang diketahui bersama dalam ilmu kejiwaan, yaitu rusaknya sesuatu yang dzahir mempengaruhi rusaknya yang bathin, begitupula sebaliknya. Karena dalam sunnah rapat dalam shaf menyeru jiwa manusia agar bersaudara dan saling menolong, bahu orang fakir menempel pada bahu orang kaya, kaki orang lemah menempel di kaki orang kuat, semuanya dalam satu shaf, seperti bangunan yang kokoh.
Keempat : Terluput dari pahala yang besar, sebagaimana terdapat dalam sejumlah hadits shahih, di antaranya:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَمَلَائِكَتَهُ عَلَيْهِمُ السَّلَام يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ، وَمَنْ سَدَّ فُرْجَةً، رَفَعَهُ اللهُ بِهَا دَرَجَةً
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla dan para malaikat-Nya alaihimus-salam menyambung orang-orang yang menyambung shaf, adapun orang yang menutup celah, Allah akan mengankatnya satu derajat”. ([15])
Hukum-Hukum Seputar Shaf Shalat
Pertama : Apa standar lurusnya shaf?
Untuk bagian atas tubuh adalah pundak, sedangkan bagian bawah tubuh adalah mata kaki, ini dalam kondisi orang yang tegak. Adapun orang yang bongkok maka tidak menggunakan standar pundak. Ujung kaki tidak bisa dijadikan standar, karena ujung kaki manusia berbeda-beda, sebagian orang telapak kakinya panjang dan pada sebagian orang pendek. ([16])
Shaf yang rapi harus terpenuhi beberapa syarat: ([17])
- Harus sejajar, dan ini hukumnya wajib, berdasarkan pendapat yang terkuat.
- Harus rapat, ini adalah kesempurnaan (tidak wajib), karena Nabi memerintahkannya dan menganjurkan umat untuk menyambung shaf sebagaimana shaf malaikat. Yang dimaksud bukanlah berdesakan, tetapi agar tidak menyisakan celah bagi setan.
- Menyempurnakan yang pertama dan seterusnya. Tidak memulai shaf kedua jika shaf pertama belum sempurna. Ada hadits yang masyhur yang tersebar di masyarakat akan tetapi tidak ada sumbernya:
إنَّ اللَّهَ لا ينظرُ إلى الصَّفِّ الأعوج
“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada shaf yang bengkok”.
- Berdekatan antara shaf, termasuk shaf makmum dengan imam, karena mereka adalah jama’ah, dan jama’ah berasal dari kata ijtima’ yang artinya berkumpul, tidak sempurna kumpulan jika saling berjauhan. Sebagian masjid jarak imam terlalu ke depan sehingga ada jarak yang jauh bisa digunakan satu atau dua shaf, ini adalah kejahilan. Batasnya adalah seukuran untuk sujud dan tambahan sedikit.
- Mendekat ke imam.
- Mengutamakan shaf bagian kanan daripada kiri, namun tidak secara mutlak seperti halnya keutamaan shaf pertama.
- Shaf wanita disendirikan, tidak dicampur dengan shaf laki-laki.
Faidah:
Imam Nawawi rahimahullah berkata:
إذَا وَجَدَ الدَّاخِلُ فِي الصَّفِّ فُرْجَةً أَوْ سِعَةً دَخَلَهَا وَلَهُ أَنْ يَخْرِقَ الصَّفَّ الْمُتَأَخِّرَ إذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ فُرْجَةٌ وَكَانَتْ فِي صَفٍّ قُدَّامَهُ لِتَقْصِيرِهِمْ بِتَرْكِهَا
“Jika seorang yang datang melihat ada celah dalam shaf (di depan) maka boleh baginya menembus shaf yang belakang shaf tersebut jika tidak ada celah (untuk menuju shaf yang ada celahnya tersebut), dan celah tadi di shaf depannya, karena mereka telah membiarkan celah di shaf depan mereka”. ([18])
Kedua : Dibenci shaf yang terputus dengan tiang
عَنْ عَبْدِ الْحَمِيدِ بْنِ مَحْمُودٍ، قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ «فَدُفِعْنَا إِلَى السَّوَارِي، فَتَقَدَّمْنَا وَتَأَخَّرْنَا»، فَقَالَ أَنَسٌ: «كُنَّا نَتَّقِي هَذَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»
Dari Abdul Hamid bin Mahmud, ia berkata: Aku shalat bersama Anas bin Malik pada Hari Jum’at, lalu kami menuju ke tiang-tiang, sehingga kami pun ke depan dan ke belakang, maka Anas berkata: Dahulu kami menghindari ini di masa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam. ([19])
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah shalat pada shaf yang terpisah dengan tiang. Sebagian membencinya, seperti Abdullah bin Mas’ud, Hudzaifah bin Yaman, diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Hal ini karena tiang tersebut memutuskan shaf.
Sebagian ulama memberi keringanan, mereka adalah Ibnu Sirin, Malik dan ashaburra’yi (madzhab hanafiyah) alasan mereka adalah tidak ada hadits yang shahih menunjukkan larangan dari Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, adapun Anas yang mengatakan mereka menghindarinya maka itu hanya menunjukanyang terbaik. ([20])
Namun jika kondisi masjid padat maka tidak mengapa shalat diantara tiang-tiang dan tidak makruh sama sekali karena adanya haajah (keperluan). Asy-Syaikh al-Utsaimin berkata :
الصَّفُّ بَيْنَ السَّوَارِي جَائِزٌ إِذَا ضَاقَ الْمَسْجِدُ، حَكَاهُ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِجْمَاعاً، وَأَمَّا عِنْدَ السَّعَةِ فَفِيْهِ خِلاَفٌ
“Shaf diantara tiang-tiang masjid tidaklah mengapa jika masjid padat. Sebagian ulama menyampaikan ijmak dalam hal ini. Adapun jika masjid lapang maka ada perselisihan ulama”([21])
Ketiga : Posisi Imam dan Makmum
1- Imam dan satu makmum
Makmum berdiri di sebelah kanan imam sejajar dengannya. Dalam madzhab syafiiyah makmum mundur sedikit. Namun yang lebih benar adalah makmum sejajar dengan imam, berdasarkan kisah Jabir tatkala shalat bersama Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam “… lalu aku berdiri di belakang beliau dan beliau pun menjadikan aku berdiri di kanannya” ([22])
Demikian juga halnya jika dua orang makmum di belakang imam, lantas salah satu makmum batal dan meninggalkan shalat, maka makmum yang tersisa satu orang segera maju agar sejajar dengan imam.
2- Imam dan dua makmum atau lebih
Makmum berdiri membuat shaf di belakang imam, berdasarkan hadits Jabir juga “… kemudian datang Jabir bin Sakhr, ia berwudhu dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam maka Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami sehingga kami berada di belakang beliau …” ([23]) dan hadits Anas “Aku dan anak yatim shalat di rumah kami di belakang Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam, sedangkan ibuku di belakang kita” ([24])
3- Shalat di sebelah imam jika tidak ada tempat lagi di dalam masjid
Sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam ketika beliau sakit bersama Abu Bakar saat menjadi imam dan ketika mendamaikan Bani Amr bin Auf. ([25])
Dan posisi imam di tengah-tengah makmum (sebagaimana posisi imam wanita ditengah jamaah wanita). Syaikh Al-Utsaimin ditanya :
أحياناً نكون في الخندق ويكون ضيقاً فلا يستطيع أن تقدم الإمام في الصلاة بل نجعله في وسط الصف الأول فهل هذا صحيح؟ وإن كان غير صحيح فما هو الموضع الصحيح له؟ مع العلم أننا لو صلينا في الخارج ربما تأتينا قذيفة فنهلك؟
“Terkadang kami berada di galian (parit) dan parit tersebut sempit, sehingga imam tidak bisa maju di depan dalam shalat, kamipun menjadikan imam di tengah shaff pertama, apakah ini benar?, jika tidak benar bagaimanakah posisi imam yang benar?”
Beliau menjawab :
تقدم الإمام على المأمومين سنة فإذا كان لا يمكن لضيق المكان فلا بأس أن يكون بينهم في الوسط.
“Posisi imam di depan para makmum hukumnya adalah sunnah, maka jika imam tidak mungkin di depan karena tempat yang sempit maka tidak mengapa ia berada di tengah-tengah diantara mereka” ([26])
Bolehkah makmum berada di depan imam? Pendapat mayoritas ulama (termasuk Syafiiyah dan Hanabilah) jika posisi makmum berada di depan imam maka shalatnya tidak sah, sedangkan pendapat Malik, Ishaq, Abu Tsaur dan Dāwud boleh jika tempat tidak cukup dan ada yang mengatakan boleh secara mutlak. ([27])
4- Makmum seorang perempuan dan imam laki-laki
Jika seorang perempuan shalat bersama imam, maka ia berdiri di belakang shaf laki-laki sekalipun wanita tersebut berdiri sendirian, begitupula jika shalat sendiri dengan imam saja maka berdiri di belakang imam, bukan di sebelah kanannya([28]). Berdasarkan hadits Anas di atas, ibunya berdiri di belakang mereka.
5- Imam perempuan dan makmum juga perempuan
Imam perempuan tersebut berdiri di tengah mereka dan tidak maju di depan shaf pertama mereka, ini adalah posisi yang lebih menutup mereka. Terdapat atsar dalam hal ini:
عَنْ رَيْطَةَ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ عَائِشَةَ أَمَّتْهُنَّ وَقَامَتْ بَيْنَهُنَّ فِي صَلاَةٍ مَكْتُوْبَةٍ
Dari Raithah Al-Hanafiyah bahwa Aisyah mengimami para wanita dan beliau berdiri di antara mereka dalam shalat fardhu. ([29])
عَنْ حُجَيْرَةَ عَنْ أَمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا أَمَّتْهُنَّ فَقَامَتْ وَسَطًا
Dari Hujairah bahwasanya Ummu Salamah mengimami para wanita, maka beliau berdiri di tengah. ([30])
(foto 1 : Benar) (foto 2: salah)
6- Di mana posisi anak-anak dalam shalat jamaah?
Terdapat sebuah riwayat lemah dari Abu Malik Al-Asy’ari bahwa Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam:
وَيَجْعَلُ الرِّجَالَ قُدَّامَ الْغِلْمَانِ، وَالْغِلْمَانَ خَلْفَهُمْ، وَالنِّسَاءَ خَلْفَ الْغِلْمَانِ
Menjadikan kaum laki-laki di depan anak-anak, dan anak-anak di belakang mereka, dan wanita di belakang anak-anak. ([31])
Karena hadits ini lemah maka tidak bisa dijadikan dasar, dan dalam hadits Anas di atas menunjukkan bahwa anak yatim berada dalam satu shaf bersama Anas, sehingga anak-anak boleh bergabung bersama shaf laki-laki. Namun hendaknya anak-anak tidak berada langsung di belakang imam, karena yang berada di belakang imam hendaknya orang-orang yang baligh yang mengerti tentang hukum-hukum shalat, dan siap mengkoreksi imam jika salah, atau menggantikan posisi imam jika imam batal di tengah shalat.
Keempat : Jika orang yang shalat di kursi bershaf bersama jamaáh
Para ‘ulama sepakat atas wajibnya berdiri dalam shalat fardhu, dan tidak dibolehkan bagi seseorang untuk shalat duduk kecuali apabila ia tidak mampu berdiri.
Dan seseorang boleh duduk di lantai maupun di kursi.
Apabila seseorang shalat berjama’ah menggunakan kursi, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
A- Hendaknya bagi para jama’ah tidak menghalangi orang yang shalat berjamaah dengan kursi dari mendapatkan keutamaan shalat di shaf pertama.
Karena pada sebagian masjid, orang yang shalat menggunakan kursi di khususkan tempatnya di bagian shaf paling belakang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
«لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا»
(seandainya manusia tahu akan keutamaan mengumandangkan adzan dan keutamaan shalat di shaf pertama, dan mereka tidak bisa mendapatkannya kecuali dengan diundi, maka sungguh mereka akan melakukan undian untuk mendapatkannya) ([32])
B- Hendaknya orang yang shalat menggunakan kursi benar-benar memperhatikan perintah merapatkan shaf, dan jika keberadaannya di tengah-tengah shaf akan menyebabkan renggangnya shaf yang sangat signifikan, maka hendaklah ia berada di ujung shaf agar tidak menyebabkan rongga pada shaf.
Anas bin Malik menuturkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقْبِلُ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ، قَبْلَ أَنْ يُكَبِّرَ فَيَقُولُ: ” تَرَاصُّوا، وَاعْتَدِلُوا، فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي ”
Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menghadapkan ke kami sebelum bertakbir untuk shalat seraya berkata: saling merapatlah kalian, luruskanlah shaf kalian, sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku) ([33])
Berkata imam Al Baghowi:
قَوْلُهُ: «تَرَاصُّوا»، أَيْ: تَلاصَقُوا حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَكُمْ فُرَجٌ،
(ucapan beliau “saling merapatlah kalian” maksudnya adalah: saling menempellah kalian, sehingga tidak tersisa celah diantara kalian) ([34])
C- Hendaknya seseorang yang shalat menggunakan kursi berusaha semaksimal mungkin untuk tidak mengganggu kekhusyuan orang yang shalat di belakangnya dan di sampingnya, seperti menggunakan kursi yang mencuri perhatian dll.
D- Seseorang hanya boleh duduk apabila tidak mampu berdiri, namun apabila ia mampu berdiri dan tidak mampu rukuk dan sujud atau yang semisalnya, maka wajib baginya untuk berdiri dan duduk ketika ruku’ dan seterusnya.
Berkata imam Annawawi:
لوْ عَجَزَ فِي أَثْنَاءِ صَلَاتِهِ عَنِ الْقِيَامِ، قَعَدَ وَبَنَى، وَلَوْ صَلَّى قَاعِدًا، فَقَدَرَ عَلَى الْقِيَامِ فِي أَثْنَائِهَا، قَامَ وَبَنَى، وَكَذَا لَوْ صَلَّى مُضْطَجِعًا، فَقَدَرَ عَلَى الْقِيَامِ أَوِ الْقُعُودِ أَتَى بِالْمَقْدُورِ وَبَنَى
(jika seandainya seseorang tidak mampu berdiri di tengah-tengah shalat, maka ia boleh duduk dan tetap melanjutkan shalatnya (tidak pelu mengulang), dan jika seseorang yang shalat duduk lalu kemudian ia mampu untuk berdiri, maka ia bangkit berdiri dan meneruskan shalatnya, dan begitu juga jika seseorang yang shalat dengan posisi tidur lalu di tengah-tengah shalat ia mampu berdiri atau duduk, maka ia melakukan yang ia mampu (jika mampu berdiri maka beriri dan jika mampunya hanya duduk maka duduk) ([35])
Berkata imam Ibnu Qudamah:
وَمَنْ قَدَرَ عَلَى الْقِيَامِ، وَعَجَزَ عَنْ الرُّكُوعِ أَوْ السُّجُودِ، لَمْ يَسْقُطْ عَنْهُ الْقِيَامُ، وَيُصَلِّي قَائِمًا، فَيُومِئُ بِالرُّكُوعِ، ثُمَّ يَجْلِسُ فَيُومِئُ بِالسُّجُودِ.
(dan barang siapa mampu untuk berdiri dan tidak mampu ruku dan sujud, maka tidak hilang kewajiban berdiri baginya dan ia tetap shalat berdiri dan mengisyaratkan ketika ruku, lalu dudk dan mengisyaratkan untuk sujud) ([36])
Tatacara orang yang shalat menggunakan kursi.
Tidak terdapat dalil yang khusus menjelaskan tatacara shalat menggunakan kursi bersama jamaah, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya tidak pernah shalat menggunakan kursi bersama jamaah.
Orang yang shalat menggunakan kursi ada dua keadaan:
- Menggunakan kursi dari awal shalat sampai akhir shalat.
- Menggunakan di beberapa keadaan. Seperti orang yang shalat menggunakan kursi hanya ketika sujud, sedangkan berdiri dan ruku tidak menggunakannya, karena ia mampu berdiri dan rukur’.
Keadaan pertama:
Apabila seseorang shalat menggunakan kursi mulai dari awal shalat sampai akhir shalat, maka patokan lurusnya shaf bagi mereka adalah sejajarnya punggungnya dengan orang yang di sampingnya, dan tidak mengapa kakinya lebih kedepan dari yang lainnya, karena yang demikian disebabkan adanya udzur.
Dan ini adalah pendapat yang difatwakan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin ([37]), Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili ([38]), dan syaikh ‘Abdussalam As-Syuwai’ir ([39]).
Dikarenakan dua hal:
A. Lurusnya shaf bagi orang yang shalat duduk adalah dengan bokongnya.
Berkata imam Ar-Romli:
وَالِاعْتِبَار بالعقب للقائم وبالألية للقاعد
“Dn patokan tidak dianggap lebih maju bagi orang yang berdiri dengan tumitnya dan dengan bokongnya bagi yang shalat duduk” ([40])
Berkata imam Zakariyya Al Anshori:
(وَ) الِاعْتِبَارُ كَمَا أَفْتَى بِهِ الْبَغَوِيّ (بِالْأَلْيَةِ لِلْقَاعِدِ)
“Dan patokannya adalah (sebagaimana yang difatwakan oleh Al Baghowi) dengan bokong bagi orang yang shalat duduk” ([41])
Disebutkan di dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Al kuwaitiyyah:
وَالاعْتِبَارُ فِي التَّقَدُّمِ وَعَدَمِهِ لِلْقَائِمِ بِالْعَقِبِ، وَهُوَ مُؤَخَّرُ الْقَدَمِ لا الْكَعْبِ…وَالْعِبْرَةُ فِي التَّقَدُّمِ بِالأَلْيَةِ لِلْقَاعِدِينَ،
“Patokan seseorang itu lebih maju atu tidak adalah dengan tumitnya bagi orang yang shalat berdiri, dan patokan lebih maju bagi orang yang shalat duduk adalah bokongnya” ([42])
B. Jika yang dijadikan patokan adalah kakinya, maka posisi bangku akan mundur ke belakang dan yang demikian akan mengganggu orang yang shalat di belakangnya.
Keadaan kedua:
Apabila ia shalat di kursi di beberapa keadaan.
Maka ketika ia berdiri dia berdiri sejajar dengan makmum yang di sampingnya dan posisi kursi di belakangnya, dan ketika ia hendak duduk di kursi ia menarik kursinya sehingga duduknya sejajar dengan yang di sampingnya, dan gerakannya tidak membatalkan shalatnya karena terdapat kebutuhan untuk melakukannya. ([43])([44])
Karena pada asalnya semua jamaah harus meluruskan shaffnya, dan telah dijelaskan bahwa patokan lurusnya shaf tatkala berdiri adalah dengan sejajar tumit, dan ketiak duduk adalah dengan sejajarnya bokong.
(kondisi sujud orang yang shalat di kursi)
Dan jika ia tidak menarik bangkunya ke depan, dikhawatirkan akan mengganggu kekhsyuan shalat orang yang dibelakangnya (terlebih banyak dari masjid-masjid kita yang berdekatan antara satu shaf dengan sahaf yang di belakangnya), maka ia menariknya jauh lebih baik daripada menngganggu orang ibadah orang lain.
Namun jika tidak memungkinkan untuk menarik kursinya, maka hendaklah ia meletakkan kursi sedekat-dekatnya agar meminimalkan terjadinya jarak yang signifikan antara posisinya dan orang yang berada di sisinya.
Karena terdapat kaidah:
إِذَا وَجَبَ مُخَالَفَةُ أَصْلٍ أَوْ قَاعِدَةٍ وَجَبَ تَقْلِيْلُ الْمُخَالَفَةِ مَا أَمْكَنَ
Apabila mengharuskan untuk menyelisihi asal (sesuatu hukum) atau qoidah, maka harus meminimalkan penyelisihan tersebut sebisa mungkin
Dan jika terlalu jauh dari shaf, dikhawatirkan akan mengganggu yang di belakangnya, terlebih lagi banyak dari masjid-masjid kita tidak terlalu jauh antara satu shaf dengan shaf di belakangnya.
Kelima : Sutrah imam adalah sutrah bagi makmum
Jumhur ulama berpendapat bahwa sutrahnya imam adalah sutrah bagi makmum juga, jika demikian maka:
- Jika tidak ada yang melintasi antara imam dan sutrahnya sesuatu yang memutus shalat, maka shalat makmum sah dan tidak mempengaruhi shalat mereka jika ada yang melintasi sebagian shaf makmum atau shaf antara makmum dan imam.
Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: «أَقْبَلْتُ رَاكِبًا عَلَى حِمَارٍ أَتَانٍ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ قَدْ نَاهَزْتُ الِاحْتِلاَمَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِمِنًى إِلَى غَيْرِ جِدَارٍ، فَمَرَرْتُ بَيْنَ يَدَيْ بَعْضِ الصَّفِّ، وَأَرْسَلْتُ الأَتَانَ تَرْتَعُ، فَدَخَلْتُ فِي الصَّفِّ، فَلَمْ يُنْكَرْ ذَلِكَ عَلَيَّ»
Aku datang mengendarai keledai betina, saat itu aku sudah hampir baligh, dan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam shalat di Mina tidak menghadap ke tembok, aku pun melintas di depan sebagian shaf, dan aku lepaskan keledai betina tersebut merumput, aku masuk ke shaf dan tidak ada yang mengingkari apa yang aku lakukan. ([45])
- Jika yang melintas antara imam dan sutrahnya adalah sesuatu yang memutus shalat, maka terputuslah shalatnya dan shalat semua makmum.
Berdasarkan hadits Amr bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya:
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، قَالَ: هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ ثَنِيَّةِ أَذَاخِرَ «فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ – يَعْنِي فَصَلَّى إِلَى جِدَارٍ – فَاتَّخَذَهُ قِبْلَةً وَنَحْنُ خَلْفَهُ، فَجَاءَتْ بَهْمَةٌ تَمُرُّ بَيْنَ يَدَيْهِ فَمَا زَالَ يُدَارِئُهَا حَتَّى لَصَقَ بَطْنَهُ بِالْجِدَارِ، وَمَرَّتْ مِنْ وَرَائِهِ»
Kami turun bersama Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam dari Tsaniyah Adzakhir, lalu tiba waktu shalat -lalu beliau shalat menghadap tembok- beliau menjadikannya kiblat dan kita di belakang beliau, lalu datang hewan ingin lewat di depan beliau, beliau pun selalu mencegahnya hingga perut beliau menempel di tembok tersebut dan hewan itu lewat di belakang beliau. ([46])
Keenam : Cara mengatur shaf di belakang imam jika makmum banyak?
Jika makmum banyak, atau jika shaf lebih dari hanya satu shaf? Apakah para makmum mendahulukan bagian kanan shaf, atau sebelah kiri?, atau yang lebih dekat dengan imam?
Secara umum ulama berselisih dalam masalah ini menjadi dua pendapat:
Pendapat pertama:
Shaf bagian kanan imam diisi terlebih dahulu karena shaf bagian kanan lebih utama daripada shaf bagian kiri([47])
Berkata imam Al Mardawi:
الصَّفُّ الْأَوَّلُ وَيَمِينُ كُلِّ صَفٍّ لِلرِّجَالِ أَفْضَلُ
“Shaf yang pertama dan bagian kanan shaf lebih utama bagi para lelaki” ([48])
Berkata Al-Baghowi As-Syafi’i:
والسُّنة لِلْقَوْمِ أَنْ يَصِلُوا الصُّفُوْفَ وَيُتِمْوُا الصَّفَّ الأَوَّلَ، وَيَقِفُوا بِقُرْبِ الإِمَامِ، وَيَخْتَارُوا يَمِيْنَ الإِمَامِ
“Dan yang sunnah adalah: agar jamaah menyambung shaf dan memenuhkan shaf yang pertama, dan mereka berdiri dekat dekat imam, dan memilih bagian kanan imam” ([49])
Berkata Ar-Ruyani:
وُالْمُسْتَحَبُّ أَنْ تَعْمَدُوا يَمِيْنَ الإِمَامِ
“Dan yang lebih dianjurkan untuk mencari/mendahulukan bagian kanan imam” ([50])
Berkata imam Ibnu Rojab al Hanbali:
أَنَّ جِهَةَ يِمِيْنِ الإِمَامِ لِلْمَأْمُوْمِيْنَ الَّذِيْنَ يَقُوْمُوْنَ خَلْفَ الإِمَامِ أَشْرَفُ وَأَفْضَلُ مِنْ جِهَةِ يَسَارِهِ.
“Bahwa bagian kanan imam bagi para makmum yang berdiri di belakang imam lebih mulia dan lebih utama daripada bagian kiri” ([51])
Adapun dalil-dalil keutamaan mendahulukan bagian kanan imam, maka sebagai berikut:
Pertama : Hadits A’isyah, dimana Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda :
إنَّ الله وملائكتَه يصلُّون على مَيَامِنِ الصُّفُوفِ
“Sesungguhnya allah dan para malaikat bershalawat untuk orang-orang yang berda di shaf bagian kanan” ([52])
Hadits ini masyhur, hanya saja hadits ini dho’if syadz karena tafarrudnya Mu’awiyah bin Hisyam, dan beliau menyelishi para perowi yang lain. ([53])
Kedua : Atsar dari Al-Baro’ bin ‘Azib, beliau berkata:
كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا نُحِبُّ أَوْ مِمَّا أُحِبُّ أَنْ نَقُومَ عَنْ يَمِينِهِ
“Kami dahulu tatkala shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam termasuk hal kami atau aku sukai, adalah berdiri di sebelah kanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”([54])
Ketiga : Hadits Ibnu ‘Umar (namun sanadnya lemah):
قِيلَ لِلنَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: إِنَّ مَيْسَرَةَ الْمَسْجِدِ تَعَطَّلَتْ، فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “مَنْ عَمَّرَ مَيْسَرَةَ الْمَسْجِدِ كُتِبَ لَهُ كِفْلَانِ مِنْ الْأَجْرِ”
“Dikatakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Sesungguhnya bagian kiri shaf kosong, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang mengisi shaf bagian kiri, maka ditulis baginya dua bagian pahala” ([55])
Keempat : Hadits Abu Barzah (namun sanadnya lemah):
“إنِ استَطَعتَ أن تَكونَ خَلفَ الإمامِ، وإِلا فعَن يَمينِه”
“Jika engkau mampu maka berdirilah di belakang imam, dan jika tidak mampu maka bagian kanan imam.” ([56])
Dengan hadits-hadits di atas, para ‘ulama mengutamakan bagian kanan shaf. Akan tetapi semua hadits-hadits di atas adalah lemah kecuali atsar dari al-Baroo bin Ázib radhiallahu ánhu.
Pendapat kedua:
Yang lebih uatama adalah dekat dengan imam, baik di kiri maupun kanan.
Berkata imam Burhanuddin Ibnu Muflih Al Hanbali:
فَكُلَّمَا قَرُبَ مِنْهُ فَهُوَ أَفْضَلُ، وَظَاهِرُ مَا حَكَاهُ أَحْمَدُ عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ أَنَّ بِقُرْبِهِ أَفْضَلَ، وَمُرَادُهُمْ أَنَّ بُعْدَ يَمِينِهِ لَيْسَ أَفْضَلَ مِنْ قُرْبِ يَسَارِهِ
“Dan semakin dekat seseorang dengan imam maka itu lebih utama, dan zhohir dari apa yang dihikayatkan oleh -imam- Ahmad dari ‘Abdurrazzaq: bahwa dekat dengan imam itu lebih utama. Dan maksud mereka : bahwa bagian kanan shaf akan tetapi jauh dari imam tidak lebih utama dari orang yang di bagian kiri shaf akan tetapi dekat dengan imam”([57])
Berkata Al-Mirdawi:
قَالَ الْأَصْحَابُ: وَكُلَّمَا قَرُبَ مِنْ الْإِمَامِ فَهُوَ أَفْضَلُ، وَكَذَا قُرْبُ الْأَفْضَلِ وَالصَّفِّ مِنْهُ، وَقَالَ فِي الْفُرُوعِ: وَيُتَوَجَّهُ احْتِمَالُ أَنَّ بُعْدَ يَمِينِهِ لَيْسَ أَفْضَلَ مِنْ قُرْبِ يَسَارِهِ
“Menurut Al Ashhab (‘Ulama madzhab Hanbali): semakin dekat seseorang dengan imam, maka ia lebih afdol, dan begitu juga semakin dekatnya orang yang lebih afdol dari imam dan juga dekatnya shaf dengan imam maka semakin baik. (Ibnu Muflih) berkata dalam kitab Al Furu’: Dan dipahami bahwa shaf bagian kanan akan tetapi jauh dari imam tidak lebih utama dari shof bagian kiri akan tetapi dekat dengan imam” ([58])
Argumentasi mereka bahwasanya tidak adanya dalil yang benar-benar tegas mengutamakan bagian kanan shaf secara muthlaq. Sebagaimana telah lalu bahwa seluruh dalil yang menjadi sandaran pendapat pertama maka lemah, kecuali atsar dari al-Baroo bin Ázib bahwasanya para shahabat suka untuk shalat di sebelah kanan Nabi shallallahu álaihi wasallam. Namun ada kemungkinan dikarenakan karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat menghadap ke kanan. Selain itu juga ada kemungkinan bahwa para shahabat suka bershaf di sebelah kanan maksudnya jika posisi imam sudah ditengah, dan bukan dengan kondisi shaf yang timpang dimana shaf sebelah kanan lebih panjang dari shaf sebelah kiri.
Selain itu terdapat dalil-dalil yang menunjukan keutamaan dekat dengan imam, diantaranya
Pertama : Hadits Abu Huroiroh (namun sanadnya lemah):
«وَسِّطُوا الْإِمَامَ وَسُدُّوا الْخَلَلَ»
“Jadikanlah posisi imam itu di tengah, dan penuhilah kekosongan dalam shof” ([59])
Kedua : Hadits ‘Itban bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ فِي مَنْزِلِهِ، فَقَالَ: «أَيْنَ تُحِبُّ أَنْ أُصَلِّيَ لَكَ مِنْ بَيْتِكَ؟» قَالَ: فَأَشَرْتُ لَهُ إِلَى مَكَانٍ، فَكَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَصَفَفْنَا خَلْفَهُ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ
Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke rumahnya dan berkata: “Di mana engkau ingin aku shalat di rumahmu?” lalu aku menunjukkan beliau tempatnya, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dan kamipun shalat di belakang beliau, lalu beliau shalat dua rakaat” ([60])
Ketiga : Hadits Anas bin Malik:
أَنَّ جَدَّتَهُ مُلَيْكَةَ دَعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِطَعَامٍ صَنَعَتْهُ لَهُ، فَأَكَلَ مِنْهُ، ثُمَّ قَالَ: «قُومُوا فَلِأُصَلِّ لَكُمْ» …فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَصَفَفْتُ وَاليَتِيمَ وَرَاءَهُ، وَالعَجُوزُ مِنْ وَرَائِنَا، فَصَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ انْصَرَفَ
Bahwasanya nenek beliau -yaitu Mulaikah- pernah mengundang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk makan makanan yang telau beliau buat khusus untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memakannya, setelah selesai makan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Berdirilah kalian aku akan shalat bersama kalian”… lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri dan aku membuat shaf di belakang beliau bersama anak yatim (yaitu Dhumairoh) ([61]) dan nenek di belakang kami, dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua rakaat bersama kami, lalu beliau pergi” ([62])
Keempat : Hadits Jabir:
…فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُصَلِّيَ…ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ، ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا، فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ،
…Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri shalat…kemudian aku datang dan aku berdiri berdiri di sisi kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau memegang tanganku dan memutarku hingga aku berdiri di sisi kanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang Jabbar bin Shokhr lalu dia berwudhu, kemudian datang dan berdiri di sisi kiri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami agar berdiri di belakang beliau” ([63])
Segi pendalilan:
Hadits 2,3, dan 4 menunjukkan bahwa mereka berdiri di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan yang demikian terdapat isyarat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berada di tengah mereka, jika yang lebih utama adalah bagian kanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka mereka akan ke bagian kanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan bukan di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Asy-Syaukani berkata:
وَأَمَّا اِعْتِبَارُ أَنْ يِكُوْنَا فِي سَمْتِهِ فَهُوَ مَعْنَى كَوْنِهِمَا فِي خَلْفِهِ وَأَنَّهُمَا لَوْ وَقَفَا فِي جَانِبٍ خَارِجٍ عَنْ سَمْتِهِ لَمْ يَكُوْنَا خَلْفِهِ
“Adapun segi pendalilan bahwa mereka sejajar dengan beliau (pas di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) adalah: keadaan mereka di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, dan seandainya mereka berdiri tidak pas sejajar di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka mereka tidak dikatakan di belakang beliau” ([64])
an-Nawawi berkata:
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُوَسِّطُوا الْإِمَامَ وَيَكْشِفُوهُ مِنْ جَانِبَيْهِ
“Dan dianjurkan untuk menjadikan imam dibagian tengah dan para jamaah membuat shaf pada kedua sisinya (kanan dan kiri)” ([65])
Ibnu Qudamah berkata:
وَالسُّنَّةُ أَنْ يَقِفَ الإِمَامُ حِذَاءَ وَسَطِ الصَّفِّ؛
“Dan disunnahkan bagi imam agar berdiri sejajar dengan bagian tengah shaf” ([66])
Kesimpulan :
Dari pernyataan para ulama di atas, bisa dipahami bahwa: cara menyusum shaf adalah dari tengah, hanya saja mereka berselisih dalam masalah: mendahulukan mengisi ke sisi kanan ataukah dari yang terdekat dengan imam, karena mereka sepakat tentang anjuran menjadikan posisi imam dibagian tengah shaf. Wallahu a’lam.
Permasalahan Dalam Shaf Shalat
Pertama : Shalat sendirian di belakang shaf
Terjadi silang pendapat di antara ulama menjadi tiga pendapat([67]):
Pertama : Shalatnya tidak sah. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, An-Nakha’i, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnul Mundzir.
Dalil mereka adalah hadits Nabi :
لا صَلاةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ
“Tidak sah shalat sendirian di belakang shaf” ([68])
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melihat seorang shalat sendiri di belakang shaf, beliau pun memerintahnya mengulang shalat. ([69])
Seandainya shalatnya sah, tentu beliau tidak memerintahnya mengulang shalat.
Kedua : Shalatnya tetap sah baik karena ada udzur maupun tidak, sekalipun masih ada celah di shaf. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, dan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Dalilnya adalah bahwa orang ini shalat bersama jamaah, dan mengerjakan shalat yang telah diperitahkan padanya, dan ia telah mengikuti imam, ia bertakbir ketika imam bertakbir dan seterusnya. Dan Ibnu Abbas tatkala dipindah oleh Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam dari kanan beliau maka menyendiri walaupun sebentar, sedangkan sesuatu yang membatalkan shalat tidak ada beda antara sedikit dan banyak.
Ketiga : Diperinci, jika ada udzur maka shalatnya sah, jika tidak maka shalatnya tidak sah.
Pendapat yang kuat adalah:
Yang pertengahan, yaitu diperinci apakah ada udzur ataukah tidak. Karena tidak sahnya shalat sendirian di belakang shaf menunjukkan wajibnya masuk ke shaf, dan meniadakan sahnya sesuatu tidak terjadi kecuali disebabkan mengerjakan keharaman atau meninggalkan kewajiban, sedangkan jika tidak mampu maka salah satu kaidah syariat adalah kewajiban gugur pada hal itu, dan diwajibkan bertakwa semampu kita. Maka seorang yang mendapati shaf sudah penuh pada saat ini ia berdiri sendiri di belakang shaf karena ada udzur, sehingga shalatnya sah, ini adalah pendapat yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dan Syaikh kami Abdurrahman bin Sa’di, dan inilah yang benar.
Adapun menarik satu orang di depannya maka ini menyebabkan beberapa larangan:
- Mengganggu orang yang ditarik
- Membuka celah pada shaf, sehingga menyebabkan terputusnya shaf
- Perbuatan buruk kepada orang yang ditarik, karena memindahnya dari tempat yang lebih utama
- Perbuatan buruk kepada semua shaf, karena semua shaf akan bergerak untuk menutup yang terputus itu
Juga tidak kita katakan agar shalat di sebelah imam, karena:
- Melangkahi pundak orang-orang
- Menyelisihi sunnah karena imam seharusnya sendiri berada di depan makmum
- Jika berdiri di sebelah imam, lalu ada satu orang lagi datang dan berdiri di sebelah imam, dan seterusnya maka tempat imam menjadi shaf sempurna, berbeda jika berdiri sendiri, maka orang yang datang setelahnya bergabung dan menjadi shaf yang tidak terlarang
Kedua : Shaf Wanita Di Samping Lelaki
Shaf wanita ketika shalat bersama lelaki yang paling baik adalah wanita berada di belakang, berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
«خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا، وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا، وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا»
“Sebaik-baik shaf (barisan di dalam shalat) bagi laki-laki adalah yang paling depan, dan yang paling buruk adalah yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf bagi wanita adalah yang terakhir dan yang paling buruk adalah yang paling depan.” ([70])
Lalu bagaimana dengan yang kita dapati di beberapa tempat, shaf wanita berada di samping shaf laki-laki, apakah shalatnya sah?
Imam An-Nawawi menjelaskan:
إذَا صَلَّى الرَّجُلُ وَبِجَنْبِهِ امْرَأَةٌ لَمْ تَبْطُلْ صَلَاته وَلَا صَلَاتُهَا سَوَاءٌ كَانَ إمَامًا أَوْ مَأْمُومًا هذا مذهبنا وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ وَالْأَكْثَرُونَ
“Apabila seorang laki-laki shalat dan di sampingnya seorang perempuan, shalat keduanya tidak batal, baik laki-laki tadi sedang menjadi imam atau makmum. Ini merupakan pendapat madzhab kami (Syafi’i) dan merupakan pendapat imam Malik serta kebanyakan para ulama’.” ([71])
Beliau juga berkata:
وَحَاصِلُهُ أَنَّ الْمَوَاقِفَ الْمَذْكُورَةَ كُلَّهَا عَلَى الِاسْتِحْبَابِ فَإِنْ خَالَفُوهَا كُرِهَ وَصَحَّتْ الصَّلَاةُ لِمَا ذَكَرَهُ المصنف وكذا لو صلى الامام أعلا مِنْ الْمَأْمُومِ وَعَكْسَهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ وَكَذَا إذَا تَقَدَّمَتْ الْمَرْأَةُ عَلَى صُفُوفِ الرِّجَالِ بِحَيْثُ لَمْ تَتَقَدَّمْ عَلَى الْإِمَامِ أَوْ وَقَفَتْ بِجَنْبِ الْإِمَامِ أَوْ بِجَنْبِ مَأْمُومٍ صَحَّتْ صَلَاتُهَا وَصَلَاةُ الرِّجَالِ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا
“Kesimpulannya, bahwa posisi-posisi shaf yang telah disebutkan, semuanya bersifat anjuran. Jika mereka menyelisihinya, maka hal itu dimakruhkan, tetapi shalatnya tetap sah sebagaimana hal ini telah disebutkan oleh penulis (Asy-Syirazi). Demikian juga kalau seorang imam (posisinya) lebih tinggi dari makmum atau sebaliknya tanpa ada kebutuhan. Demikian juga jika (posisi) wanita di depan shaf laki-laki, akan tetapi tidak di depan imam, atau berdiri di samping imam atau di samping makmum laki-laki, maka shalat wanita dan laki-laki tersebut sah tanpa ada perbedaan pendapat di sisi kami.” ([72])
Dari keterangan di atas kita dapati bahwasanya shaf wanita yang berada di samping lelaki hukumnya makruh namun tidak membatalkan shalat mereka (baik lelaki maupun wanita).
Adapun dalam keadaan darurat atau terpaksa, maka hukum makruh ini bisa berubah dan hilang. Hal ini sebagaimana yang terjadi di Masjil Haram, berkata Syaikh Ibnu Baz ketika ditanya seseorang yang shalat di masjidil haram, dalam keadaan yang sangat terdesak, ia shalat bercampur dengan wanita, beliau menjawab:
لاَ حَرَجَ عَلَيْكَ وَلاَ عَلَى غَيْرِكَ مِنَ الطَّائِفِيْنَ وَالْمُصَلِّيْنَ فِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ مِنْ مُرُوْرِ النِّسَاءِ أَمَامَكُمْ أَوْ وُجُوْدُهُنَّ فِي الصَّفِّ أَوْ غَيْرُ ذَلِكَ بِسَبَبِ الزَّحْمَةِ وَعَدَمِ الْقُدْرَةِ عَلَى السَّلاَمَةِ مِنْ ذَلِكَ، وَقَدْ قَالَ اللهُ سُبْحَانَهُ: {فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ}، وَقَالَ سُبْحَانَهُ: {لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}، وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ فِي سُوْرَةِ الْمَائِدَةِ بَعْدَ مَا ذَكَرَ التَّيَمُّمَ: {مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ} وَكَانَ عَبْدُ اللهِ بْنُ الزُّبَيْرِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يُصَلِّي فِي الْمَطَافِ وَالطَّوَافُ أَمَامَهُ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَقَدْ نَصَّ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى مَا ذَكَرْنَا.
“Tidak mengapa bagimu dan bagi orang-orang yang thawaf dan shalat di Masjidil Haram selainmu tentang lewatnya para wanita di hadapan kalian atau keberadaan mereka (para wanita) di shaf (para lelaki) atau perkara yang lainnya, karena disebabkan sesak dan kalian tidak mampu selamat dari hal-hal tersebut.
Allah telah berfirman: (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya) QS. Al-Baqoroh: 286, dan Allah berfirman dalam surat Al-Maidah: 6 setelah menyebutkan tayammum: (Allah tidak ingin menyulitkan kalian). Abdullah bin Zubair radhiallahu ánhumaa pernah shalat di tempat thawaf, sementara di depannya para lelaki dan wanita sedang mengerjakan thawaf. Dan para ulama telah mengatakan apa yang kami sebutkan.” ([73])
Ketiga : Hukum Shalat Anak Kecil di Shaf Pertama
Pendapat ulama tentang hal ini terbagi menjadi dua:
Pendapat Pertama: tidak diperbolehkan
Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Imam Ahmad, Ibnu Qudamah, dan Ibnu Rajab. Mereka berhujah dengan hadits nabi yang memerintahkan orang-orang memiliki ilmu untuk menempati shaf-shaf depan, beliau bersabda:
اسْتَوُوا، وَلَا تَخْتَلِفُوا، فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُولُو الْأَحْلَامِ وَالنُّهَى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“Luruskan, dan jangan berselisih (dalam shaf), sehingga hati kalian jadi berselisih, hendaknya yang berturut-turut di belakangku di antara kalian adalah orang-orang dewasa dan memiliki kepandaian (dalam agama), lalu yang semisal mereka, lalu yang semisal mereka”. ([74])
Ibnu Qudamah berkata: “Sesuai sunnah, yang berada di shaf pertama adalah ahli ilmu dan orang yang berumur, dan tepat di belakang imam adalah orang yang paling mengerti dan yang paling baik dalam urusan agama. Imam Ahmad berkata: Di belakang imam adalah orang-orang dewasa dan ahli Al-Qur’an, adapun anak-anak kecil dan pemuda berada di belakang”. ([75])
Maka seorang ahli ilmu hendaknya menempatkan diri di dekat imam, karena mereka adalah yang paling berhak berada di depan, untuk membenarkan imam apabila terjadi kesalahan ataupun juga menggantikannya. ([76])
Pendapat Kedua: diperbolehkan
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i, Ibnu Taimiyah, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Utsaimin. Mereka berhujah bahwa orang yang telah menduduki suatu tempat, maka dia berhak menempatinya. Ini masuk dalam keumuman hadits berikut:
لاَ يُقِيمُ الرَّجُلُ الرَّجُلَ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ يَجْلِسُ فِيهِ
“Janganlah seseorang menyingkirkan orang yang lain dari tempat duduknya lalu duduk di sana”. ([77])
Maka apabila seorang anak telah lebih dahulu menempati shaf pertama, tidak layak bagi kita memindahkannya, karena dia lebih berhak atas tempat itu.
Syaikh Utsaimin berkata “Seorang anak kecil apabila maju ke shaf depan, maka dia lebih berhak dari orang lain, karena keumuman dalil atas perkara ini. Masjid adalah rumah Allah, semua derajatnya sama, yaitu hamba Allah. Maka jika dia maju ke shaf pertama dan telah duduk di situ, dia berhak menempatinya, karena apabila kita pisahkan mereka lalu anak-anak kecil dijadikan dalam satu shaf, itu akan mengakibatkan mereka bermain-main.” ([78])
Syaikh Ibnu Baz berkata “Pendapat yang benar, mereka (anak-anak kecil) tidak boleh dimundurkan apabila mereka telah mendahului di shaf pertama atau kedua, yang datang setelahnya tidak boleh memindahkan mereka, karena telah datang lebih dulu maka mereka berhak, tidak boleh memundurkan mereka karena keumuman hadits dalam masalah ini, memundurkan mereka sama saja mengusir mereka dari shalat dan mengurangi semangat untuk melaksanakannya, itu tidak pantas”.
Beliau juga mengatakan:
وَأَمَّا قَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لِيَلِنِي مِنْكُمْ أُوْلُو الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى، فَالْمُرَادُ بِهِ التَّحْرِيْضُ عَلَى الْمُسَارَعَةِ إِلَى الصَّلاَةِ مِنْ ذَوِي الأَحْلاَمِ وَالنُّهَى وَأَنْ يَكُوْنُوا فِي مُقَدَّمِ النَّاسِ، وَلَيْسَ مَعْنَاهُ تَأْخِيْرُ مَنْ سَبَقَهُمْ مِنْ أَجْلِهِمْ؛ لِأَن َّذَلِكَ مُخَالِفٌ لِلأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ الَّتِي ذَكَرْنَا.
Sedangkan perkataan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam “hendaknya yang berturut-turut di belakangku di antara kalian adalah orang-orang dewasa dan memiliki kepandaian (dalam agama)” maksudnya adalah motivasi agar bersegera ke shalat orang-orang ahli ilmu dan dewasa untuk menempati shaf yang berada di depan, bukan bermaksud memindahkan yang telah mendahului mereka karena ini adalah penyimpangan terhadap dalil-dalil syar’i yang telah kami sebutkan. ([79])
Hadits tersebut bukan berarti melarang anak kecil untuk shalat di shaf pertama, mereka boleh shalat di shaf pertama baik di sisi kanan atau kiri selama tidak berada tepat di belakang imam. Tidak selayaknya juga mereka dipindahkan dari shaf pertama ke shaf kedua atau terakhir karena kurang berkenan di hati orang-orang dewasa, apalagi jika mereka datang lebih dulu dan bersemangat untuk shalat di shaf pertama.
Terlebih lagi banyaknya dalil menunjukkan bolehnya anak-anak kecil yang mempunyai hafalan Al Qur’an banyak untuk menjadi imam, sebagaimana kisah sahabat Amr bin Salamah menceritakan ketika ayahnya berkata, nabi bersabda
فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْثَرُكُمْ قُرْآنًا
Apabila masuk waktu shalat, hendaknya salah satu diantara kalian adzan, dan menjadi imam orang yang paling banyak hafalan Al Qur’an dari kalian.
Orang-orang saling melihat, mereka tidak menemukan seseorang yang hafalannya lebih banyak dariku, karena apa yang aku hafal dari para sahabat yang lewat, maka mereka menjadikanku sebagai imam, dan umurku saat itu enam atau tujuh tahun. ([80])
Jika hukum anak kecil menjadi imam boleh, maka terlebih lagi shalat mereka di shaf pertama.
Kesimpulan:
Shalat anak kecil di shaf pertama boleh hukumnya, mereka boleh shalat di bagian kanan atau kiri shaf. Hendaknya para ahli ilmu atau orang yang mempunyai hafalan banyak mereka harus lebih bersemangat untuk shalat di belakang imam karena mereka yang lebih berhak. Imam Nawawi berpendapat bahwa hadits di atas menunjukkan anjuran kepada ahli ilmu agar berada di shaf pertama, karena bisa jadi ketika shalat seorang imam membutuhkan pengganti, seorang yang bisa membenarkan bacaan dan mengingatkan imam apabila ada kesalahan.([81])
Keempat : Apakah Anak Yang Belum Mumayyiz (belum bisa dibilangi) Memutus Shaf?
Pertama kita perlu mengetahui bahwa memutus shaf dalam shalat hukumnya terlarang. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ancaman rahmat akan diputus. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ»
“Siapa yang menyambung shaf Allah akan menyambungnya dan siapa yang memutus shaf Allah Ta’ala akan memutusnya” ([82]).
Dan dijelaskan oleh Al-Munawi termasuk jenis memutus shaf adalah meletakkan sesuatu antara dirinya dengan orang yang berada di sampingnya tanpa adanya kebutuhan, beliau berkata:
(وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا) بِأَنْ كَانَ فِيْهِ فَخَرَجَ مِنْهُ لِغَيْرِ حَاجَةٍ أَوْ جَاءَ إِلَى صَفٍّ وَتَرَكَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَنْ بِالصَّفِّ فُرْجَةً بِلاَ حَاجَةٍ (قَطَعَهُ اللهُ) أَيْ أَبْعَدَهُ مِنْ ثَوَابِهِ وَمَزِيْدِ رَحْمَتِهِ إِذِ الْجَزَاءُ مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ
“Siapa yang memutus shaf”: Bentuknya adalah ada orang yang keluar dari shaf tanpa ada kebutuhan, atau dia masuk shaf sementara dia biarkan ada celah antara dirinya dengan orang yang ada di sebelahnya tanpa ada kebutuhan.
“Allah akan memutusnya” artinya: Allah akan menjauhkan dirinya dari pahala dan tambahan rahmatnya. Karena balasan sejenis dengan amal” ([83]).
Syaikh Ibnu Baz pernah ditanya tentang apakah anak kecil memutuskan shaff, beliau menjawab:
الأَوْلَى لِأَوْلِيَاءِ الأَطْفَالِ أَلاَّ يَأْتُوا بِهِمْ إِلَى الصَّلاَةِ إِذَا كَانُوا أَقَلَّ مِنْ سَبْعٍ، الأَوْلَى أَنْ يَبْقَوا فِي بُيُوْتِهِمْ عِنْدَ أَهْلِهِمْ، أَمَّا إِذَا كَانَ ابْنَ سَبْعٍ فَأَكْثَرَ فَإِنَّهُ لاَ يَقْطَعُ الصَّفَّ، بَلْ يُصَفُّ مَعَ الرِّجَالِ وَيُعْتَبَرُ، لَكِنْ إِذَا كَانَ دُوْنَ السَّبْعِ تَرْكُهُ مَعَ أَهْلِ الْبَيْتِ أَوْلَى وَأَفْضَلُ؛ حَتَّى لاَ يَتَأَذَّى بِهِ النَّاسُ، فَلَوْ وُجِدَ مَعَ أَبِيْهِ لاَ يَقْطَعُ الصَّفَّ وَلاَ حَرَجَ إِنْ شَاءَ اللهُ، كَاللَّبِنَةِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ أَوْ الْعَمُوْدِ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ لاَ يَضُرُّ، الْمَقْصُوْدُ أَنَّهُ إِذَا كَانَ وُجِدَ وَدَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَيْهِ؛ لِأَن َّأبَاَهُ قَدْ يَأْتِي بِهِ لِأَنَّهُ يَضُرُّ أَهْلَهُ لَوْ بَقِيَ عِنْدَ أَهْلِهِ، كَمَا يُرْوَى «أَنَّ الْحَسَنَ قَدْ يَأْتِي وِالنَّبِيُّ يُصَلِّي بِالنَّاسِ، قَدْ يَرْتَحِلُهُ وَهُوَ سَاجِدٌ » وَكَمَا صَلَّى النَّبِيُّ بِأُمَامَةَ بِنْتِ بِنْتِهِ لِلْحَاجَةِ وَالتَّعْلِيْمِ، يَعْلَمُ النَّاسُ أَنَّ مِثْلَ هَذَا لاَ يَضُرُّ، فَإِنْ دَعَتِ الْحَاجَةُ إِلَى مِثْلِ هَذَا وَكَانَ أَبُوْهُ لاَ يَسْتَطِيْعُ بَقَاءَهُ عِنْدَ أَهْلِ الْبَيْتِ، أَوْ مَا عِنْدَهُ فِي الْبَيْتِ أَحَدٌ فَيَكُوْنُ مَعْذُوْرًا، وَيَكُوْنُ مِثْلَ حَجَرٍ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ، أَوْ كُرْسِيٍّ بَيْنَ الصَّفَّيْنِ أَوْ مَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، وَقَدْ تَأْتِي الْحَاجَةُ إِلَى هَذَا الشَّيْءِ، فَلاَ يَضُرُّ إِنْ شَاءَ اللهُ.
“Yang lebih utama bagi orang tua si anak kecil tidak membawa mereka sholat (ke Masjid) apabila usianya belum sampai 7 tahun. Yang lebih utama untuk mereka (para anak kecil) untuk tinggal di rumah bersama keluarganya. Adapun jika si anak sudah berusia 7 tahun atau lebih, maka dia tidak memutus shaf, dia bisa berbaris bersama orang-orang dewasa dan dia dianggap/sah (dalam shaf).
Namun, jika usianya belum sampai 7 tahun, maka ditinggal dan bersama keluarganya di rumah lebih utama, sehingga orang-orang tidak terganggu dengannya. Jikalau ia bersama bapaknya, maka (keberadaannya) tidak (dianggap) memotong shaf dan tidaklah mengapa, insya Allah. Seperti halnya batu bata dan tiang yang berada di antara dua shaf, tidaklah membahayakan.
Maksudnya apabila anak tersebut (yang dibawah 7 tahun) didapati (di tengah shaf) dan memang ada kebutuhan untuk membawanya, mungkin karena anak tersebut membahayakan keluarganya jika ditinggal, seperti yang diriwayatkan bahwa Hasan pernah dibawa ke masjid dan Nabi saat itu sedang sholat mengimami para sahabat, lalu Hasan menaiki Nabi saat Nabi sedang sujud. Juga sebagaimana Nabi pernah sholat dan di depannya ada anak putri beliau, beliau melakukan ini untuk suatu keperluan dan pengajaran, yaitu mengajarkan kepada para sahabat bahwa hal ini tidaklah mempengaruhi shalat.
Apabila memang ada hajat seperti ini, sedangkan sang ayah tidak bisa meninggalkan anaknya tinggal bersama keluarganya, atau di rumahnya sedang tidak ada orang, maka demikian itu ada uzur. Sehingga keberadaan (anak kecil) tersebut sama seperti batu atau kursi atau semisalnya yang ada di antara shof, dan terkadang terdapat kebutuhan terhadap perkara seperti ini, maka tidaklah mengapa, in syaa Allah”([84]).
Syaikh ‘Utsaimin pernah ditanya tentang shaf anak yang usianya belum mumayyiz:
مَا حُكْمُ مَصَافَّةِ مَنْ دُوْنَ التَّمْيِيْزِ؟
الجواب: لاَ تَجُوْزُ؛ لِأَنَّ مَنْ دُوْنَ التَّمْيِيْزِ لاَ صَلاَةَ لَهُ. فَقُلْتُ لَهُ: فَإِذَا كَانَ الصَّفُّ قَائِمًا بِغَيْرِهِ مِنَ الْبَالِغِيْنَ فَهَل وُقُوْفُهُ مَعَهُمْ يَكُوْنُ قَطْعًا لِلصَّفِّ فَقَالَ: لاَ.
“Apa hukum shaf anak yang belum mumayyiz?”
Jawaban: “Tidak boleh, karena anak yang belum mumayyiz tidak wajib shalat”
Lalu aku (penanya) berkata: “Jika shaf telah ditegakkan dengan orang-orang yang sudah balig, apakah posisi ia (anak yang belum mumayyiz tersebut) bersama mereka menjadi pemutus shaf?”
Beliau menjawab: “Tidak.” ([85])
Kesimpulannya, hendaknya orang tua tidak membawa anak yang belum mumayyiz ke masjid, namun jika ada kebutuhan mendesak mengharuskan ia membawanya ke masjid, maka anak tersebut tidak dianggap sebagai pemutus shaf. Wallahu a’lam.
Kelima : Shaf di depan imam karena darurat
Terdapat banyak pendapat dalam permasalahan apakah sah shalat seseorang ketika berada di depan imamnya, maka pendapat yang lebih rajih adalah shalatnya tidak sah ketika seseorang shalat berada di depan imamnya dikecualikan ada udzur seperti tempat yang sempit maka tidak mengapa ia shalat berada di depan imamnya, dan ini adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, beliau berkata:
أَمَّا صَلَاةُ الْمَأْمُومِ قُدَّامَ الْإِمَامِ. فَفِيهَا ثَلَاثَةُ أَقْوَالٍ لِلْعُلَمَاءِ: أَحَدُهَا: أَنَّهَا تَصِحُّ مُطْلَقًا وَإِنْ قِيلَ إنَّهَا تُكْرَهُ وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ مَالِكٍ وَالْقَوْلُ الْقَدِيمُ لِلشَّافِعِيِّ. وَالثَّانِي: أَنَّهَا لَا تَصِحُّ مُطْلَقًا كَمَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد فِي الْمَشْهُورِ مِنْ مَذْهَبِهِمَا. وَالثَّالِثُ: أَنَّهَا تَصِحُّ مَعَ الْعُذْرِ دُونَ غَيْرِهِ مِثْلَ مَا إذَا كَانَ زَحْمَةً فَلَمْ يُمْكِنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ الْجُمُعَةَ أَوْ الْجِنَازَةَ إلَّا قُدَّامَ الْإِمَامِ فَتَكُونُ صَلَاتُهُ قُدَّامَ الْإِمَامِ خَيْرًا لَهُ مِنْ تَرْكِهِ لِلصَّلَاةِ. وَهَذَا قَوْلُ طَائِفَةٍ مِنْ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ قَوْلٌ فِي مَذْهَبِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ. وَهُوَ أَعْدَلُ الْأَقْوَالِ وَأَرْجَحُهَا وَذَلِكَ لِأَنَّ تَرْكَ التَّقَدُّمِ عَلَى الْإِمَامِ غَايَتُهُ أَنْ يَكُونَ وَاجِبًا مِنْ وَاجِبَاتِ الصَّلَاةِ فِي الْجَمَاعَةِ وَالْوَاجِبَاتُ كُلُّهَا تَسْقُطُ بِالْعُذْرِ
“Adapun shalat makmum di depan imam maka terdapat tiga pendapat:
Pertama: bahwasanya hal tersebut sah secara mutlak walaupun dikatakan hal tersbut makruh, dan perkataan ini terkenal dari madzhab Malik dan pendapat Qodim (lama) dari Asy-Syafi’i.
Kedua: bahwasanya hal tersebut tidak sah secara mutlak, seperti madzhab Abu Hanifah, Syafi’i, dan Ahamad dalam madzhab keduanya yang masyhur.
Ketiga: bahwasanya hal tersebut diperbolehkan ketika ada udzur dan tidak diperbolehkan jika tanpa udzur. (Udzur) seperti jika tempatnya sesak dan tidak memungkinkannya untuk shalat jum’at atau jenazah kecuali di depan imam, maka shalatnya di depan imam lebih baik daripada ia meninggalkan shalat. Dan ini adalah pendapat sekelompok ulama dan termasuk salah satu pendapat dari Ahmad dan yang lain. Dan ini adalah pendapat yang paling pertengahan dan paling rajih, hal tersebut dikarenakan tidak shalat di depan imam paling banter hukumnya adalah wajib (bukan rukun) diantara kewajiban-kewajiban shalat berjama’ah, dan kewajiban-kewajiban shalat semuanya akan gugur ketika adanya udzur.” ([86])
FOOTNOTE:
======================================
([1]) HR. Muslim 440, Abu Dāwud 680, Tirmidzi 224
([2]) HR. Bukhāri 615 dan Muslim 129
([4]) HR. Abu Dāwud 676, Ibnu Mājah 1005, dilemahkan oleh Al-Baihaqi 3/103 dan disetujui oleh Al-Albani dalam Tamamul Minnah hlm. 228
([5]) HR. Abu Dawud 667, Ahmad 27552, dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam Al-Misykat 1093
([8]) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 1/351 dengan sanad shahih
([9]) HR. Abu Dawud 622 dengan sanad shahih
([11]) Fathul Baari 2/211, lihat juga penjelasan Ibnul Mulaqqin di at-Taudhiih 6/607
([12]) Al-Qaulul Mubīn fī Akhtha Al-Mushallīn hlm 210-211 dengan penyesuaian
([13]) Sunan Abu Dawud 666 dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim sebagaimana dalam Fathul Bari 2/211, disebutkan juga dalam shahih At-Targhīb wa At-Tarhīb No. 490.
([15]) HR. Ahmad 24587, 24381, 25270, Ibnu Mājah 997 dan 999 dengan sanad shahih.
([16]) Syarh Al-Mumti’ 3/10-11
([17]) Syarh Al-Mumti’ 3/12-16 dengan ringkas
([18]) Al-Majmu’ 4/297. Yaitu misalnya seseorang berada di shaf ke tiga, sementara ia melihat di shaf pertama ada celah yang cukup untuk satu orang, sementara orang-orang yang di shaf kedua tidak ada yang maju untuk menutupi celah tersebut, maka boleh baginya dari shaf ketiga langsung menuju celah yang ada di shaf pertama tersebut, meskipun harus membelah (menembus) shaf yang kedua. Karena orang-orang di shaf kedua telah salah karena membiarkan celah di shaf pertama.
([19]) HR. Abu Dāwud 673, Nasa’i 2/94, Tirmidzi 229.
([20]) Al-Ausath, Ibnu Mundzir 4/181-182
([21]) Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Útsaimin 13/34, Lihat juga Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah 5/295
([24]) HR. Bukhāri 727 dan Muslim 658
([25]) HR. Bukhāri 684 dan Muslim 421
([26]) Majmuu’ Fataawaa wa Rosaail al-Utsaimin 15/185
([27]) lihat Hasyiah Ibnu Abidin 1/551, Mughni Al-Muhtaj 1/490, Al-Inshaf Al-Mardawi 2/280, akan datang pembahasannya secara khusus.
([28]) Ibnu Batthool berkata :
أن سنة النساء القيام خلف الرجال، ولا يقمن معهم في صف؛ لأن الفتنة تخشى منهن. قال المهلب: وكذلك إن كُنَّ عجائز أو ذوات محارم للرجال، فلا يصطففن مع الرجال، وأن صفوفهن وراء صفوف الرجال، إلا أنه إن صلت المرأة إلى جنب رجل تمت صلاتهما عند مالك، والشافعي، والأوزاعي. وعند الكوفيين تمت صلاة المرأة وفسدت صلاة الرجل، واحتجوا بأنها وقفت في غير محلها، كما أن من صلى قدام الإمام صلى في غير محله، ففسدت صلاته، فجاوبهم أهل المقالة الأولى، وقالوا: صلاته عندنا صحيحة إذا صلى قدام الإمام، كما لو وقف على يساره
“Sunnahnya para wanita adalah berdiri di belakang para lelaki, dan tidaklah mereka sebaris dengan para lelaki dalam shaf, karena dikawatirkan fitnah dari mereka. Al-Muhallab berkata, “Demikian juga jika mereka adalah para nenek-nenek atau mahram bagi para lelaki, tetap saja mereka tidak sebaris satu shaf dengan para lelaki, karena shaf para wanita di belakang shaf para lelaki. Kecuali jika seorang wanita shalat di samping seorang lelaki, maka menurut Malik, Syafií, dan Al-Auzaí maka shalat sang wanita sah. Dan menurut al-Kufiyiin (madzhab Hanafi) shalat sang wanita sah namun shalat sang lelaki batal. Argumentasi mereka bahwasanya sang wanita shalat bukan pada tempatnya, sebagaimana seseorang yang shalat di depan imam telah shalat bukan pada tempatnya maka batal-lah shalatnya. Maka mereka yang berpendapat akan sahnya shalat sang wanita menjawab argumentasi ini dengan berkata, shalatnya seseorang di depan imam tetap sah sebagaimana jika seorang makmum berdiri di sebelah kiri imam”(Syarh Shahih al-Bukhari 2/348-349, lihat juga Fathul Baari, Ibnu Hajar 2/212)
Dan pendapat jumhur ulama lebih kuat, karena tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan bahwa shalatnya makmum di depan imam membatalkan shalat makmum, bahkan dalil yang shahih mengisyaratkan bahwa shalat makmum tersebut tetap sah meskipun salah tempat. Sebagaimana seorang sahabat yang bermakmum di sebelah kiri Nabi, lalu Nabi memindahkannya ke kanan, namun Nabi tidak menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya dari awal. Ini menunjukan bahwa meskipun sang makmum salah posisi namun shalatnya tetap sah. Maka demikian pula seorang wanita jika shalat disamping seorang lelaki (sebaris dalam shaf) maka shalatnya tetap sah meskipun sang wanita shalat tidak pada tempatnya.
([29]) HR. Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf 3/141, dan Al-Baihaqy di dalam As-Sunan Al-Kubra 3/131, sanad hadist ini dishahihkan oleh Imam An-Nawawy di Al-Majmu 4/199
([30]) HR. Abdurrazzaq di dalam Al-Mushannaf 3/140, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 2/514 no: 4986 dan Asy-Syafi’I dalam Musnad hlm. 53, dan dishahihkan sanadnya oleh An-nawawy di Al-Majmu 4/199
([31]) HR. Ahmad 22911, lemah karena ada seorang perawi bernama Syahr bin Hausyab, sebagaimana penjelasan Syu’aib Al-Arnauth, dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah 1/284
([32]) H.R. Bukhai No.615, Muslim No.437
([34]) Syarh Assunnah, Al Baghowi, 3/365
([35]) Raudhoh Attholibin, Annawawi, 1/238
([36]) Al Mughni, Ibnu Qudamah, 2/107
([37]) Fatwa “Islamqa No.9209.
([38]) https://www.youtube.com/watch?v=47Iu5gsBkJs
([39]) https://youtu.be/OXlwRa6rQI4
([40]) Ghoyah Al Bayan, Arromli, 1/114
([41]) Asnalmatholib Syarh Raudhoh Attholib, Zakariyya Al Anshori, 1/222
([42]) Mausu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 6/21
([43]) Dan ini adalah fatwa syaikh Suliman Arruhaili, https://www.youtube.com/watch?v=47Iu5gsBkJs
([44]) sebagian ‘Ulama mengatakan: yang dianggap adalah berdiri, dan ketika hendak duduk tidak perlu menarik kursi, dan posisi dia yang seikit ke belakang tidak memadhoroti karena adanya udzur.
([45]) HR. Bukhari 78 dan Muslim 504
([46]) HR. Abu Dāwud 708, Ibnu Mājah 3603 Syaikh Al-Albani menghukumi hadits ini hasan shahih.
([47]) Namun apabila mengisi shaf bagian kanan menyebabkan kosongnya shaf bagian kiri, maka didahulukan mengisi bagian kiri shaf.
Berkata imam As-Shon’ani:
إِذَا كَانَ يُخْشَى تَعْطِيْلُ الْمَيْسَرَةِ فَهُوَ أَفْضَلُ مِنَ الْمَيْمَنَةِ.
“Apabila dikhawatirkan menyebabkan kosongnya bagian kiri shaf, maka mengisinya lebih utama daripada bagian kanan” (Syarah Al Jami’ Asshoghir 10/318)
Muhammad ‘Ali bin Muhammad Asshiddiqi Assyafi’i berkata :
وَالْمُرَادُ أَنَّهُ يُسَنُّ إِذَا وَصَلَ الْمَأْمُوْمُ الْمَسِجْدَ وَوَجَدَ النَّاسَ مَتَوَسِّطِيْنَ الإِمَامَ وَوَجَدَ فُرْجَةً عَلَى يَمِيْنِهِ وَأُخْرَى عَنْ يَسَارِهِ أَنْ يَسُدَّ فُرْجَةَ الْيَمِيْنِ، فَلاَ يَلْزَمُ مِنْ تَفْضِيْلِ التَّيَامُنِ فَوَاتَ سُنَّةَ تَوْسِيْطِ الإِمَامِ الْمَطْلُوْبِ أَيْضاً
“Dan yang dimaksud adalah: disunnahkan bagi orang yang masuk ke dalam masjid dan ia mendapati makmum rata (kanan imam dan kiri imam setara dan tidak timpang sebelah) dan ia dapati ada celah dibagian kanan dan bagian kiri, agar ia mengisi celah bagian kanan, dan keutamaan mendahulukan bagian kanan imam tidak mengharuskan hilangnya sunnah menjadikan keberadaan imam di tengah-tengah makmum” (Dalil al Falihin Syarh Riyadhussholihin, Muhammad bin Muhammad ‘Ali Asshiddiqi Assyafi’I, 6/575)
Berkata imam Al Kawaroni Al Hanafi:
وَهَذَا حَثٌّ عَلَى الأَفْضَلِ، وَشَرْطُهُ أَنْ لاَ تَتَعَطَّلَ الْمَيْسَرَةُ
“Dan ini adalah anjuran untuk melakukan yang lebih utama, dan syaratnya adalah: apabila tidak menjadi kosong shaf bagian kiri” (Al Kautsar al Jari, Al Kawaroni, 2/361)
([48]) Al Inshof, Al Mardawi, 2/40
([49]) Kifayah Annabih, Al Baghowi, 2/281
([50]) Bahr Al Madzhab, Arruyani, 2/278
([51]) Fath Al Bari, Ibnu Rojab, 6/294
([52]) HR Ibnu Majah no 1005 dan Abu Daud no 676
Berkata Muhammad ‘Ali Bin Muhammad As-Shiddiqi As-Syafi’i:
وَمِنْهُ أَخَذَ أَئِمَّتُنَا أَفْضَلِيَةَ الْوُقُوْفِ عَنْ يَمِيْنِ الإِمَامِ وَلَوْ تَعَارَضَ مَعَ الْقُرْبِ مِنَ الإِمَامِ
“ Dan dari hadits ini imam-imam kami berpendapat tentang lebih utamanya berdiri di sebelah kanan imam meskipun konsekuensinya dia tidak dekat dengan imam” (Dalil Al Falihin 6/575)
([53]) Hadits ini diriwayatkan melalui jalur: Sufyan Ats-Tsauri dari Usamah bin Zaid dari ‘Utsman bin ‘Urwah dari ‘Urwah dari ‘Aisyah.
Sementara semua perawi yang lain yang meriwayatkan dari Sufyan dengan lafazh:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الَّذِينَ يَصِلُونَ الصُّفُوفَ
“Sesungguhnya Allah azza wa jalla dan para malaikat bershalawat untuk orang yang menyambung shaf”.
Bukan dengan lafazh مَيَامِنِ الصُّفُوْفِ “orang-orang yang berda di shaf bagian kanan”
Dan imam Al-Baihaqi berkata: yang mahfuzh (yang benar) adalah dengan lafazh “Allah dan para malaikat bershalawat untuk orang-orang yang menyambung shof” (lihat As-Sunan al Kubro, No.5266)
Hadits ini -dengan lafal “Bagian kanan Shaf”- juga didhaífkan oleh Al-Albani dan para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad (40/444), meskipun dihasankan oleh Ibnu Hajar (lihat Fathul Baari 2/213)
([54]) H.R. Ibnu Majah, No.1006, dan dishahihkan oleh Al-Albani
([55]) H.R. Ibnu Majah, No.1007. Hadits ini di dho’ifkan oleh imam An-Nawawi dalam kitab Al Khulashoh, 2/712, Al ‘Iroqi dalam kitab Takhrij Ahadits Al-Ihya, 1/227, Al-Bushiri dalam kitab Mishbah Az-Zujajah, 1/122, dan Ibnu Hajar di Fathul Baari 2/213
([56]) H.R. Al Baihaqi, No. 5268, Atthobaroni, No.6078. Imam Ibnu Rojab bahwa ada perowi yang majhul di dalam poriwayatan hadits ini
([57]) Al Mubdi’ Syarh Al Muqni’, Burhanuddin Ibnu Muflih (Al Ibn), 1/377
([58]) Al Inshof, Al Mardawi, 2/40
([59]) H.R. Abu Dawud No.681, namun dinilai dhoíf oleh Al-Albani dan Syuáib al-Arnauth
([60]) H.R. Bukhori No.424, Muslim No.263.
([61]) Lihat Irsyadu as-Ssarui, Al-Qosthollani, 1/406 dan ‘Umdatul Qori, Badruddin Al ‘Aini, 4/ 111.
([64]) Assail Al Jarror, Asyyaukani, 1/159
([65]) Al Majmu’, Annawawi, 4/301.
([66]) Al Kafi, Ibnu Qudamah, 1/301.
([67]) Pembahasan ini banyak mengambil faidah dari Syarhul Mumti’ 4/268-269
([68]) HR. Ahmad 4/23, Ibnu Majah 1003. Imam Ahmad mengatakan hadits ini hasan, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajar dalam Talkhisul Habir 583
([69]) HR. Ahmad 4/227-228, Abu Dāwud 682, Tirmidzi 230 dan mengatakan hadits ini hasan.
([71]) Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 3/252
([72]) Majmu’ Syarhul Muhadzdzab: 4/297
Berbeda dengan madzhab Hanafiyyah yang berpendapat bahwa shalat lelaki batal apabila berada di samping wanita atau berada di belakang wanita, disebutkan dalam kitab mereka:
«أَخِّرُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَخَّرَهُنَّ اللَّهُ» وَالْمُرَادُ مِنْ الْأَمْرِ بِتَأْخِيرِهَا لِأَجْلِ الصَّلَاةِ فَكَانَ مِنْ فَرَائِضِ صَلَاتِهِ، وَهَذَا لِأَنَّ حَالَ الصَّلَاةِ حَالُ الْمُنَاجَاةِ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَخْطِرَ بِبَالِهِ شَيْءٌ مِنْ مَعَانِي الشَّهْوَةِ فِيهِ، وَمُحَاذَاةُ الْمَرْأَةِ إيَّاهُ لَا تَنْفَكُّ عَنْ ذَلِكَ عَادَةً، فَصَارَ الْأَمْرُ بِتَأْخِيرِهَا مِنْ فَرَائِضِ صَلَاتِهِ، فَإِذَا تَرَكَ تَفْسُدُ صَلَاتَهُ، وَإِنَّمَا لَا تَفْسُدُ صَلَاتُهَا؛ لِأَنَّ الْخِطَابَ بِالتَّأْخِيرِ لِلرَّجُلِ وَهُوَ يُمْكِنُهُ أَنْ يُؤَخِّرَهَا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَأَخَّرَ بِأَنْ يَتَقَدَّمَ عَلَيْهَا
“(Posisikan mereka di belakang, sebagaimana Allah memposisikan mereka di belakang), yang dimaksud dari perintah memosisikan mereka di belakang dalam shalat adalah itu termasuk dari kewajiban shalatnya (lelaki). Karena keadaan dalam shalat adalah bermunajat, maka tidak layak terlintas dalam pikiran seseorang hal-hal yang berbau syahwat. Sejajarnya wanita dengan lelaki biasanya tidak dapat terlepas dari hal tersebut, maka perintah untuk mengakhirkannya termasuk hal yang wajib ia lakukan dari shalatnya (lelaki). Jika ia tidak melakukannya (tidak meletakkan posisi wanita di belakang-pent), maka shalatnya (lelaki tersebut) batal tetapi shalat wanita tidak batal. Dikarenakan perintah untuk memposisikan wanita berada di belakang adalah ditujukan pada lelaki, ia juga bisa menjadikan wanita berada di barisan belakang tanpa mundur, yaitu dengan cara ia maju lagi.” (Al-Mabsuth karya As-Sarokhsy 1/184)
Imam Nawawi menyanggah pendapat mereka, beliau berkata:
وَهَذَا الْمَذْهَبُ ضَعِيفُ الْحُجَّةِ ظَاهِرُ التَّحَكُّمِ وَالتَّمَسُّكِ بِتَفْصِيلٍ لَا أَصْلَ لَهُ وَعُمْدَتُنَا أَنَّ الْأَصْلَ أَنَّ الصَّلَاةَ صَحِيحَةٌ حَتَّى يَرِدَ دَلِيلٌ صَحِيحٌ شَرْعِيٌّ فِي الْبُطْلَانِ وَلَيْسَ لَهُمْ ذَلِكَ
“Madzhab ini hujjahnya lemah, terlalu memaksakan, dan bersandar pada perincian yang tidak ada dasarnya. Adapun dasar kami adalah pada asalnya shalat itu sah sampai datang dalil yang shohih dan syar’i menunjukkan bahwa shalatnya batal, tetapi mereka tidak memiliki dalil tersebut.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 3/353)
([73]) Majmu’ Fatawa Bin Baz 29/324
([76]) Lihat Fatwa Lajnah Daimah no. 19503
([78]) Asy-Syarh Al-Mumti’ oleh Syaikh Utsaimin 3/17
Sebaiknya dalam shalat anak-anak kecil tidak dikumpulkan dalam satu shaf, hendaknya mereka berada di antara orang-orang dewasa agar mereka belajar dan mengerti bagaimana gerakan-gerakan shalat. (Al Majmu’ 4/293)
([79]) Majmu’ Fatawa Syaikh Ibnu Baz 12/400
([81]) Lihat Syarh An-Nawawi ala Shahih Muslim 4/155
([82]) HR. Nasai 819 dan dishahihkan al-Albani
([84]) Fatawa Nur ‘Alaa Ad-Darb 12/220
([85]) Al-Kanzu Ats-Tsamin Fii Suaalaat Ibni Saniid Libni ‘Utsaimin 1/53