Shalat Berjamaah
Jama’ah secara bahasa berasal dari Bahasa Arab: Al-Jam’u yang bermakna mengumpulkan sesuatu yang terpisah dengan mendekatkan yang satu dengan yang lainnya. ([1]) Dan yang dimaksud dengan shalat berjama’ah adalah mendirikan shalat yang dilakukan secara berjama’ah (bersama-sama). ([2])
Keutamaan Shalat berjama’ah
Pertama([3]) : Shalat berjamaah mendapatkan pahala dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendiri.
Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri sebanyak dua puluh tujuh derajat.” ([4])
Dan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendiri sebanyak dua puluh lima derajat.” ([5])
Kedua : Allah menjaga seorang hamba yang mendirikan shalat berjamaah dari setan
Berdasarkan Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الشَّيْطَانَ ذِئْبُ الْإِنْسَانِ كَذِئْبِ الْغَنَمِ، يَأْخُذُ الشَّاةَ الْقَاصِيَةَ وَالنَّاحِيَةَ، فَإِيَّاكُمْ وَالشِّعَابَ، وَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ
“Sesungguhnya syaithan merupakan serigala yang memangsa manusia, sebagaimana serigala yang memangsa seekor kambing yang jauh dari gerombolannya. Jauhilah jalan-jalan kecil (yaitu jauhilah perpecahan) dan tetaplah bersama jama’ah.” ([6])
Ketiga : Pahala shalat berjamaah dengan bertambahnya jumlah orang yang shalat berjamaah.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu.
وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Sesungguhnya seseorang yang shalat berjamaah dengan temannya (satu orang) lebih baik dari pada seseorang yang shalat dengan sendirian. Dan shalat berjamaah dengan dua orang temannya lebih baik dari pada shalat berjamaah dengan satu orang. Dan semakin banyak (jumlah berjamaah), maka itu lebih dicintai oleh Allah ta’ala. ([7])
Keempat : Tebebas dari api neraka dan sifat nifaq bagi orang yang telah melaksanakan shalat fardhu selama empat puluh hari secara berjamaah dan mendapati takbiratul ihram imam.
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الأُولَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ: بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Barang siapa yang shalat berjamaah karena Allah selama empat puluh hari, dimana dia mendapatkan takbiratul ihram (imam), maka Allah akan catat baginya dua kebebasan, yaitu terbebas dari api neraka dan sifat nifaq”. ([8])
Kelima : Allah menyiapkan surga bagi orang yang pergi ke masjid dan menunggu shalat
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ أَوْ رَاحَ([9]) أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلًا كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
Barang siapa yang pergi ke masjid di waktu pagi hari atau siang hari, maka Allah siapkan baginya tempat di surga, setiap kali datang di pagi hari atau siang hari. ([10])
Keenam : Pahala yang agung bagi orang yang mendatangi shalat dari rumahnya yang jauh
Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, bahawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَعْظَمُ النَّاسِ أَجْرًا فِي الصَّلاَةِ أَبْعَدُهُمْ فَأَبْعَدُهُمْ مَمْشًى وَالَّذِي يَنْتَظِرُ الصَّلاَةَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الإِمَامِ أَعْظَمُ أَجْرًا مِنَ الَّذِي يُصَلِّي، ثُمَّ يَنَامُ
Manusia yang paling besar mendapatkan pahala di dalam shalat adalah yang paling jauh (rumahnya), lalu yang lebih jauh jalannya. Dan orang yang menunggu shalat hingga mendirikan shalat bersama imam lebih besar pahalanya dari pada orang yang shalat kemudian tidur. ([11])
Ketujuh : Langkah kaki orang yang mendatangi masjid menghapus keburukan dan mengangkat derajatnya
Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مَنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barang siapa yang bersuci di rumahnya, kemudian datang ke rumah dari rumah-rumah Allah dengan tujuan menjalankan kewajiban dari kewajiban-kewajiban Allah, maka dua langkah kakinya, langkah yang pertama menghapus keburukannya([12]) dan langkah yang lainnya mengangkat derajatnya”. ([13])
Begitu pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ
“Maukah kalian aku tunjukkan amalan yang mampu menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat([14])? Mereka berkata: Benar, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Menyempurnakan wudhu pada kondisi sulit([15]), banyak langkah kaki menuju masjid, menunggu shalat setelah shalat([16]) dan itulah ribath([17])”. ([18])
Telah datang beberapa hadits yang menjelaskan bahwasanya berjalan untuk melaksanakan sebagian ibadah lebih baik dari pada berkendaraan. Seperti berjalan untuk melaksanakan sholat jama’ah. Dari Ubay bin Ka’ab ia berkata :
كَانَ رجل لَا أعلم رجلا أبعد من الْمَسْجِد مِنْهُ وَكَانَ لَا تخطئه صَلَاة فَقيل لَهُ لَو اشْتريت حمارا تركبه فِي الظلماء وَفِي الرمضاء قَالَ مَا يسرني أَن منزلي إِلَى جنب الْمَسْجِد إِنِّي أُرِيد أَن يكْتب لي ممشاي إِلَى الْمَسْجِد ورجوعي إِلَى أَهلِي فَقَالَ رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم قد جمع الله لَك ذَلِك كُله
“Ada seseorang yang paling jauh tinggalnya dari mesjid, dan ia tidak pernah ketinggalan sholat (berjama’ah). Maka dikatakan kepadanya : “Bagaimana kalau engkau membeli seekor himar (keledai) untuk kau tunggangi tatkala melintas kegelapan dan tanah yang panas?”. Ia berkata, “Aku tidak suka jika tempat tinggalku di dekat mesjid, aku suka jika dicatat bagiku langkahku ke mesjid dan langkah kembaliku dari mesjid ke rumahku”. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah telah mengumpulkan itu semua untukmu”([19])
Lihatlah sahabat ini telah terpatri dalam dirinya bahwasanya berjalan ke mesjid lebih besar pahalanya daripada mengendarai tunggangan. Dan hal ini telah dibenarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Hal ini sebagaimana berjalan menuju sholat jum’at. Dalam hadits Aus Ats-Tsaqofi, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من غسَّل يَوْم الْجُمُعَة واغتسل ثمَّ بكر وابتكر وَمَشى وَلم يركب ودنا من الإِمَام واستمع وَلم يلغ كَانَ لَهُ بِكُل خطْوَة عمل سنة: أجر صيامها وقيامها
“Barangsiapa yang menjadikan istrinya mandi (yaitu berhubungan dengan istrinya) pada hari jum’at, lalu ia mandi lalu bersegera menuju masjid dan berjalan tidak berkendaraan, dan dekat dengan imam, dan mendengar serta tidak berbuat sia-sia maka bagi dia untuk setiap langkahnya amalan selama setahun, pahala puasa dan sholat malamnya”([20])
Hal ini menunjukkan bahwa disunnahkan untuk berjalan kaki dalam melaksanakan sebagian ibadah seperti sholat berjama’ah.
Bagaimana dengan orang yang naik kendaraan?
Kondisi orang yang naik kendaraan ada dua :
Pertama : Jika ia tidak ada udzur untuk bisa berjalan kaki menuju masjid maka tentu yang terbaik adalah ia berjalan kaki, sehingga ia meraih pahala sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits-hadits di atas. Akan tetapi jika ia tetap naik kendaraan maka ia tetap mendapakatkan pahala, namun perincian pahalanya hanya Allah yang mengetahuinya([21]).
Kedua : Jika ada udzur tidak bisa berjalan kaki, karena sakit, atau hujan, atau yang lainnya, maka pahalanya seperti orang yang berjalan kaki
Asy-Syaikh al-Utsaimin berkata, “Jika seseorang berudzur maka tidak mengapa ia datang dengan naik mobil. Dan langkah mobil adalah putaran rodanya. Jika rodanya berputar sekali putar maka ini seperti selangkah…maka ini seperti mengangkat kaki dari tanah lalu metelakannya kembali. Jika seseorang berudzur maka tidak mengapa ia naik mobil dan setiap putaran roda kedudukannya seperti selangkah kaki” ([22])
Kedelapan : Menjadi golongan yang mendapat naungan Allah pada hari kiamat
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ: الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ بِعِبَادَةِ اللهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ
“Ada tujuh golongan yang Allah menaunginya dalam naunganNya di hari tidak ada naungan kecuali naunganNya, yaitu Pemimpin yang adil, Pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah, Pemuda yang hatinya terpaut kepada masjid…” ([23])
Kesembilan : Besarnya pahala mengikuti shalat berjamaah dan menunggu shalat ke shalat berikutnya
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ تَزِيدُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ، وَصَلَاتِهِ فِي سُوقِهِ، بِضْعًا وَعِشْرِينَ دَرَجَةً، وَذَلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ أَتَى الْمَسْجِدَ لَا يَنْهَزُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ، لَا يُرِيدُ إِلَّا الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ، وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ، حَتَّى يَدْخُلَ الْمَسْجِدَ، فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ، يَقُولُونَ: اللهُمَّ ارْحَمْهُ، اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
“Shalatnya seseorang dengan berjamaah bertambah dua puluh tiga hingga dua puluh sembilan derajat dari pada shalat di rumahnya dan shalat di pasar. Hal itu, karena salah satu dari mereka jika berwudhu maka dia menyempurnakan wudhunya, kemudian mendatangi masjid dan tidak ada yang mendorongnya kecuali untuk shalat, tidak ada yang dia inginkan melainkan shalat. Maka tidaklah dia melangkah dengan satu langkah kecuali diangkat baginya satu derajat dan dihapuskan satu keburukan hingga dia memasuki masjid. Apabila memasuki masjid selalu dalam keadaan shalat, selalu menunggu untuk shalat. Dan malaikat berdoa untuk salah seorang dari kalian selama dia berada di tempat shalat. Mereka (para malaikat) berdoa: Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah ampunilah dosanya. Ya Allah terimalah taubatnya selama dia tidak ber-hadats”. ([24])
Hukum-Hukum Berkaitan Shalat Jamaah
Pertama : Hukum Shalat Berjama’ah bagi laki-laki
Para ulama sepakat bahwa sholat merupakan ibadah yang paling ditekankan, ketaatan yang paling mulia dan paling diutamakan. ([25]) Shalat jama’ah -menurut pendapat yang lebih kuat- adalah wajib bagi setiap muslim, lelaki, mampu, dan muqim. ([26]) Berdasarkan dalil-dalil yang jelas dari Kitabullah dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang shahih berikut:
Firman Allah azza wa jalla:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ
”Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka’at) , maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, shalatlah mereka denganmu.” ([27])
Demikian juga Firman Allah azza wa jalla:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’”. ([28])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk shalat berjamaah,
عَنْ مَالِكِ بْنِ الحُوَيْرِثِ، أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً، وَكَانَ رَحِيمًا رَفِيقًا، فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا إِلَى أَهَالِينَا، قَالَ: ارْجِعُوا فَكُونُوا فِيهِمْ، وَعَلِّمُوهُمْ، وَصَلُّوا، فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ، وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُم
Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaaihi wasallam dengan kaumku, lalu kami menginap selama dua puluh hari, beliau merupakan orang yang penyayang dan lemah lembut. Ketika baliau tahu kami rindu dengan keluarga kami, maka beliau bersabda: “Pulanglah kepada keluarga kalian, ajarilah mereka, shalatlah, jika telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang dari kalian adzan dan hendaklah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian. ([29])
Rasulullah berkeinginan untuk membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat berjama’ah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ، فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demi dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang mengumpulkan kayu lalu dibakar. Lalu aku menyuruh seseorang untuk mendirikan shalat, hingga adzan dikumandangkan, lalu aku menyuruh seseorang untuk mengimami orang-orang (shalat). Kemudian aku mendatangi orang-orang yang (meninggalkan shalat), hingga aku bakar rumah-rumah mereka. ([30])
Dan dalam lafadz Muslim:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَدَ نَاسًا فِي بَعْضِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ: لَقَدْ هَمَمْتُ أَنَّ آمُرَ رَجُلًا يُصَلِّي بِالنَّاسِ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ يَتَخَلَّفُونَ عَنْهَا، فَآمُرَ بِهِمْ فَيُحَرِّقُوا عَلَيْهِمْ، بِحُزَمِ الْحَطَبِ بُيُوتَهُمْ
Sesungguhnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mendapati orang-orang dalam sebagian shalat, lalu beliau bersabda: “Sungguh aku hendak memerintahkan seseorang untuk shalat dengan orang-orang, lalu aku mendatangi orang-orang yang meninggalkan shalat, kemudian aku menyuruh untuk membakar rumah-rumah mereka dengan kayu bakar. ([31])
Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدِ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ؛ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
“Tidaklah tiga orang dalam suatu desa tidak mendirikan shalat berjamaah kecuali setan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kalian selalu berjamaah, karena sesungguhnya serigala menerkam domba yang sendirian”. ([32])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan keringanan untuk meninggalkan jama’ah kepada orang buta meskipun rumahnya jauh. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ، فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ، فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى، دَعَاهُ، فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَجِبْ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Seorang buta datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu berkata: “Wahai Rasulullah aku tidak mendapati seseorang yang menuntunku ke masjid”. Kemudian dia meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya dan shalat di rumahnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan keringanan kepadanya. Ketika orang itu pergi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memanggilnya: ‘Apakah kamu mendengar adzan shalat?’. Lantas dia menjawab: “Benar”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “Maka, penuhilah panggilan adzan (ke masjid) !”. ([33])
Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ، أَنَّهُ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي رَجُلٌ ضَرِيرُ الْبَصَرِ شَاسِعُ الدَّارِ، وَلِي قَائِدٌ لَا يُلَائِمُنِي فَهَلْ لِي رُخْصَةٌ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِي؟، قَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: لَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً
Dari Ibnu Ummi Maktum radhiyallahu ‘anhu, bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seraya berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah orang yang buta penglihatannya, jauh rumahnya dan mempunyai seseorang yang menuntunku akan tetapi tidak pas untuk menunutunku, apakah aku dapat keringanan untuk mendirikan shalat di rumah?” Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Apakah kamu mendengar seruan adzan?” Lalu dia menjwab: “iya”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku tidak mendapati keringanan untukmu.” ([34])
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa orang yang mendengar seruan adzan namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ، إِلَّا مِنْ عُذْر
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang mendengar seruan adzan, namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali bagi orang yan memiliki udzur.” ([35])
Meninggalkan shalat berjamaah tanpa udzur, merupakan ciri orang-orang munafik di zaman Rasulullah. Berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ: لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنِ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ، أَوْ مَرِيضٌ، إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى يَأْتِيَ الصَّلَاةِ، وَقَالَ: إِنْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّ مِنْ سُنَنَ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sungguh aku telah melihat kondisi kami, bahwa tidaklah meninggalkan shalat berjamaah melainkan seorang munafiq yang telah diketahui sifat kemunafikannya atau seorang yang sakit. Sungguh bahkan seorang yang sakit berjalan dengan dipopoh oleh dua orang hingga datang untuk shalat (berjamaah).”
Ibnu Masúd berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shllallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan sunnah-sunnah petunjuk yang baik, dan diantara sunnah-sunnah petunjuk itu adalah shalat di masjid yang dikumandang adzan padanya.” ([36])
Dan diriwayatkan dengan lafazh yang lebih panjang:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا، فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى، وَإِنَّهُنَّ منْ سُنَن الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ، لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ، ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ، إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً، وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً، وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ، وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى([37]) بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
Barang siapa yang bergembira bertemu dengan Allah besok dalam keadaan muslim, hendaklah ia menjaga shalat-shalat ini (shalat berjamaah) dimana diseru untuk mengerjakannya (yaitu di masjid). Sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada nabi kalian ajaran-ajaran yang merupakan petunjuk. Dan sesungguhnya shalat berjamaah merupakan bagian dari ajaran-ajaran yang merupakanpetunjuk. Seandainya kalian shalat di rumah-rumah kalian (meskipun dengan berjamaah([38])) sebagaimana orang yang meninggalkan shalat berjamaah (munafiq) yang shalat di rumahnya ini, niscaya kalian telah meninggalkan ajaran nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan ajaran nabi kalian, niscaya kalian akan sesat. Tidaklah seseorang bersuci, lantas menyempurnakan dalam bersuci kemudian menuju masjid dari masjid-masjid ini kecuali Allah menetapkan baginya di setiap satu langkahnya satu kebaikan, mengangkatnya satu derajat, menghapuskan satu keburukan. Sungguh aku melihat kondisi kami (di zaman para sahabat) bahwa tidaklah orang yang meninggalkan (shalat berjamaah) melainkan dia adalah seorang munafiq yang telah jelas kemunafikannya. Sunguh seorang lelaki yang sakit didatangkan (meskipun) dengan berjalan dipopoh diantara dua lelaki hingga diberdirikan di shaf shalat”. ([39])
Sisi Pendalilan:
- Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu memberitahukan bahwa orang yang meninggalkan shalat berjamaah merupakan orang munafik yang telah jelas kemunafikannya. Dan setiap perintah nabi jika ditinggalkan menunjukkan kemunafikan seseorang, maka hal itu yakni shalat berjamaah hukumnya menjadi wajib ‘ain. ([40])
- Meninggalkan shalat berjama’ah bisa menjadi penyebab kesesatan.
Kedua : Hukum orang-orang yang tidak shalat berjamaah
Apabila penduduk suatu tempat tidak melaksanakan shalat secara berjamaah, maka mereka berhak untuk diperangi. Hal ini telah disepakati oleh semua ulama madzhab yaitu Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. ([41])
Hal itu dianalogikan dengan orang-orang yang ketika tiba waktu shalat tidak ada satupun yang mengumandangkan adzan, maka mereka harus diperangi. Adapun alasan lainnya dikarenakan shalat berjamaah merupakan bentuk syiar islam dan simbol kesempurnaan agama ini, jika umatnya beramai-ramai meninggalkan amalan ini, artinya mereka telah bersama-sama membunuh agama ini. ([42])
Ketiga : Hukum Shalat berjama’ah bagi wanita
Shalat berjamaah tidak diwajibkan bagi wanita dengan kesepakatan ulama’. ([43]) Dan shalat berjamaah bagi wanita hukumnya adalah sunnah, yaitu dengan mendirikan shalat berjama’ah yang terdiri dari kumpulan wanita tersendiri tanpa adanya laki-laki. Entah yang mengimami adalah seorang laki-laki ataupun perempuan. Namun, jika kehadirannya mengundang fitnah bagi kaum wanita maka dimakruhkan oleh sebagian ulama’. ([44])
Berdasarkan keumuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً وفي رواية بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendiri sebanyak dua puluh lima derajat.” Dan dalam riwayat lain “sebanyak dua puluh tujuh derajat.” ([45])
Hadits ini menunjukkan keumuman, maka termasuk di dalamnya adalah kaum wanita jika mereka melaksanakan ibadah shalat secara berjamaah. ([46])
Berikutnya adalah hadits Ummu Waraqah binti Abdullah bin Al-Harits:
عَنْ أُمِّ وَرَقَةَ بِنْتِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْحَارِثِ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزُورُهَا فِي بَيْتِهَا وَجَعَلَ لَهَا مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ لَهَا وَأَمَرَهَا أَنْ تَؤُمَّ أَهْلَ دَارِهَا
Dari Ummu Waraqah binti Abdullah bin Harits “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengunjungi rumahnya dan menyuruh seseorang untuk mengumandangkan adzan dan menyuruhnya untuk menjadi imam shalat untuk keluarganya.” ([47])
Demikian sebuah atsar yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa beliau memimpin shalat kaum wanita di waktu shalat maghrib, lalu beliau berdiri di dibarisan tengah (kaum wanita) dan mengeraskan bacaan. ([48])
Demikian pula hadits yang diriwayatkan oleh Hujairah binti Hushain:
أَمَّتْنَا أُمُّ سَلَمَةَ فِي صَلَاةِ الْعَصْرِ قَامَتْ بَيْنَنَا
Ummu Salamah memimpin shalat bersama kami pada shalat ashar, beliau berdiri diantara kita. ([49])
Sisi Pendalilan: Bahwa ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma pernah memimpin shalat diantara kaum wanita dan itu cukup menunjukkan akan disunnahkannya shalat berjamaah bagi kaum perempuan. Disamping itu, kaum wanita termasuk golongan yang diperintahkan untuk mengerjakan ibadah wajib sebagaimana kaum laki-laki. ([50])
Keempat : Hukum Mendatangi Shalat Berjama’ah di Masjid Bagi Kaum Wanita
Bagi kaum wanita dibolehkan untuk mengikuti shalat berjamaah di masjid, meskipun sejatinya shalat di rumah merupakan tempat terbaik bagi mereka. ([51]) Hal ini telah disepakati oleh seluruh ulama madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’iy dan Ahmad. ([52])
Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّه
“Janganlah menghalangi hamba-hamba Allah (kaum wanita) untuk datang ke rumah-rumah Allah” ([53])
Dalam riwayat yang lain dengan tambahan :
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang kaum wanita kalian untuk ke masjid-masjid, dan rumah mereka (para wanita) lebih baik bagi mereka” ([54])
Sisi Pendalilan: Rasulullah memerintahkan umatnya agar tidak menghalangi istrinya atau kerabatnya dari kaum perempuan untuk keluar mendatangi masjid, hal ini menunjukkan akan dibolehkannya kaum wanita untuk keluar menuju masjid. Jika hal itu dilarang, tentunya Rasulullah tidak melarang mereka untuk menghalangi kaum perempuan keluar rumah untuk mendatangi masjid. ([55])
Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيُصَلِّي الصُّبْحَ، فَيَنْصَرِفُ النِّسَاءُ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ، مَا يُعْرَفْنَ مِنَ الغَلَسِ
Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat shubuh, maka para wanita pergi dalam dalam keadaan menutupi tubuhnya dengan kain-kain mereka hingga tidak terlihat karena waktu ghalas (sisa gelap malam). ([56])
Dan hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنِّي لَأَقُومُ فِي الصَّلاَةِ أُرِيدُ أَنْ أُطَوِّلَ فِيهَا، فَأَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ، فَأَتَجَوَّزُ فِي صَلاَتِي كَرَاهِيَةَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمِّهِ
Sungguh ketika aku mendirikan shalat, aku bermaksud untuk memanjangkan bacaan di dalamnya. Namun, aku mendengar tangisan seorang anak, lantas aku ringankan shalatku karena aku tidak suka memberatkan ibunya. ([57])
Sisi Pendalilan: Sesungguhnya para wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alihi wasallam mengikuti shalat subuh di masjid di belakang beliau. Dan beliau mengetahui akan hal itu. Jadi, hal ini menunjukkan bahwa hadirnya para wanita untuk mengikuti shalat berjamaah di masjid tidaklah dimakruhkan. Seandainya hal itu dimakruhkan, pastilah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang mereka untuk shalat bersama beliau di masjid. ([58])
Namun yang lebih utama bagi wanita adalah shalat di rumahnya. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah menghalangi istri-istri kalian untuk ke masjid. Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”. ([59])
Demikian juga hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلَاةُ الْمَرْأَةِ فِي مَخْدَعِهَا([60]) أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي بَيْتِهَا، وَصَلَاتُهَا فِي بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلَاتِهَا فِي حُجْرَتِهَا
Shalatnya wanita di kediamannya lebih baik daripada shalatnya di rumahnya. Dan shalatnya di rumahnya lebih baik dari pada shalatnya di kamarnya. ([61])
Bagi kaum wanita ketika hendak keluar mengikuti shalat berjamaah di masjid, hendaknya menjaga beberapa hal agar tidak menimbulkan fitnah :
Pertama: Tidak berhias dan memakai wewangian
Sesungguhnya keluarnya wanita dari rumahnya dengan menggunakan wewangian atau berhias diri merupakan hal yang dapat menimbulkan fitnah khususnya bagi kaum laki-laki. Maka dari itu hendaknya kaum wanita menghindari hal itu. ([62])
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ
“Wanita mana saja yang terkena aroma dupa, janganlah menghadiri shalat isya’ bersama kami”. ([63])
Begitu pula dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ، وَلَكِنْ لِيَخْرُجْنَ وَهُنَّ تَفِلَاتٌ([64])
“Janganlah menghalangi hamba-hamba Allah (kaum wanita) untuk datang ke rumah-rumah Allah. Namun, hendaknya mereka keluar tanpa wewangian”. ([65])
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَلَا تَمَسَّ طِيبًا
“Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, janganlah menggunakan wewangian”. ([66])
Dan lebih tegas lagi:
«أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ»
“Setiap wanita yang menggunakan wewangian, dan ia melintasi sekumpulan orang agar orang-orang itu mencium wanginya, maka dia dianggap sebagai wanita yang berzina. ([67])
Kedua: Hendaknya keluar mengikuti shalat berjamaah di masjid dengan izin suaminya([68]).
Wanita tidak diperbolehkan untuk mendatangi masjid kecuali dengan izin suaminya([69]). Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى المَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا
“Jika istri salah seorang dari kalian meminta izin untuk ke masjid, janganlah mencegahnya”. ([70])
Karena diantara hak seorang suami adalah keberadaan istri yang selalu ada di rumah, yang hal itu merupakan kewajiban bagi seorang istri, maka hendaknya dia tidak mengabaikannya karena banyaknya keutamaan pada hal tersebut. ([71])
Seandainya suami wajib mengizinkan istrinya untuk ke masjid, maka tidak ada gunanya lagi arti dari isti’dzan (meminta izin) dari pihak istri. Karena begitu istri meminta izin untuk ke masjid, maka suami sudah tidak bisa lagi menentukan pilihannya, ia tidak punya pilihan untuk melarang. Jika demikian maka buat apa istri minta idzin? ([72])
Namun sebagian ulama terdahulu memandang bahwa izinnya istri adalah cukup dengan apabila suami mengetahui kepergian istrinya dan suami tidak menghalanginya([73]),
Hal ini berdasarkan riwayat yang lain dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
كَانَتِ امْرَأَةٌ لِعُمَرَ تَشْهَدُ صَلاَةَ الصُّبْحِ وَالعِشَاءِ فِي الجَمَاعَةِ فِي المَسْجِدِ، فَقِيلَ لَهَا: لِمَ تَخْرُجِينَ وَقَدْ تَعْلَمِينَ أَنَّ عُمَرَ يَكْرَهُ ذَلِكَ وَيَغَارُ؟ قَالَتْ: وَمَا يَمْنَعُهُ أَنْ يَنْهَانِي؟ قَالَ: يَمْنَعُهُ قَوْلُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ»
“Istrinya Umar radhiyallahu ‘anhu hadir shalat subuh dan isya’ berjamaah di masjid. Lalu dikatakan kepadanya, “Kenapa kamu keluar ke masjid sedangkan kamu tahu bahwa Umar membenci hal itu dan cemburu?”. Istrinya Umar berkata: Apakah yang mencegah Umar untuk melarangku kemasjid?”, mereka menjawab, “Yang menghalangi Umar adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ
“Janganlah menghalangi hamba-hamba Allah (kaum wanita) untuk datang ke rumah-rumah Allah”. ([74])
Seandainya seorang suami tidak memiliki hak untuk mencegah istrinya untuk keluar rumah, dapat dipastikan bagi kaum wanita dibolehkan untuk keluar rumah. ([75])
Kelima : Jumlah yang sah dalam jamaah
Menurut kesepakatan ahli fiqh bahwa jumlah paling sedikit yang menjadikan sahnya shalat berjamaah adalah dua orang, yaitu orang pertama sebagai imam dan yang lain menjadi makmum. ([76]) Dan apabila mereka berdua telah selesai mendirikan shalat berjamaah, maka mereka telah mendapatkan keutamaan shalat berjamaah. Berdasarkan hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اثْنَانِ فَمَا فَوْقَهُمَا جَمَاعَةٌ
“Berjama’ah adalah dua orang atau lebih.” ([77])
Begitu pula halnya hadits yang diriwayatkan oleh Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا حَضَرَتْ الصَّلاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا
“Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Dan hendak-lah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian.” ([78])
Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan bahwa jumlah paling sedikit ketika mendirikan shalat berjamaah adalah dua orang, yaitu seorang menjadi imam dan seorang menjadi makmum. ([79])
Hal ini dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ رَجُلًا يُصَلِّي وَحْدَهُ، فَقَالَ: أَلَا رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat seorang lelaki shalat seorang diri, maka belliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Tidak adakah seseorang yang bersedekah kepada orang ini dengan shalat bersamanya? ([80])
Maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar mendapatkan pahala shalat berjamaah. Ibarat seseorang yang telah bersedakah kepadanya. ([81])
Keenam : Macam-macam shalat yang disyariatkan untuk berjama’ah
Pertama : Shalat Khauf. Berdasarkan firman Allah azza wa jalla:
وَإِذا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرائِكُمْ وَلْتَأْتِ طائِفَةٌ أُخْرى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu”. ([82])
Sisi Pendalilan: Yang dipahami dari ayat di atas menjelaskan kekhususan shalat khauf yang dikerjakan dengan cara berjamaah pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Namun, shalat khauf tidak diharuskan dikerjakan dengan berjamaah, dibolehkan dikerjakan dengan sendiri, menghadap qiblat atau tidak menghadap qiblat, berjalan kaki atau dalam keadaan berkendara. ([83])
Shalat khauf yang dikerjakan saat perang lebih utama dikerjakan dengan berjama’ah dari pada sendiri-sendiri menurut Syafi’iyyah. Berdasarkan keumuman dalil-dalil yang menjelaskan tata cara shalat khauf di dalam perang dengan berjama’ah. ([84])
Kedua : Shalat Jum’at. Diantara syarat sah shalat jum’at adalah dikerjakan secara berjama’ah. Dan shalat jum’at tidak sah jika tidak dilakukan secara berjama’ah. Hal ini berdasarkan kesepakatan ahli fiqh. ([85]) Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. ([86])
Sisi Pendalilan: Dzohir ayat menunjukkan bahwa lafadz (الْجُمُعَةِ) dari (الْجَمَاعَة) artinya berjamaah atau berkumpul. ([87])
Ketiga : Shalat Jenazah. Dibolehkan shalat jenazah dengan sendiri dan disunnahkan dikerjakan secara berjama’ah. ([88]) Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ، فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا، لَا يُشْرِكُونَ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا شَفَّعَهُمُ اللهُ فِيهِ
“Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian diikuti oleh empat puluh orang yang menshalatinya dalam keadaan tidak menyekutukan sesuatupun dengan Allah, kecuali Allah memberikan syafa’at kepadanya”. ([89])
Dalam hadits yang lain, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا([90]) فِيهِ
Tidaklah jenazah yang menshalatinya merupakan kaum muslimin yang mencapai seratus, masing-masing mendoakan untuknya, melainkan diterima doanya. ([91])
Sisi pendalilan: Dari hadits di atas menunjukkan dibolehkannya mengerjakan shalat jenazah dengan sendiri tanpa ada perselisihan ulama. Dan yang disunnahkan untuk melaksanakannya secara berjamaah. Setiap kali bertambah kaum muslimin yang mengerjakannya maka semakin bertambah keutamaannya. ([92])
Keempat : Shalat ‘Id. Shalat berjamaah yang didirikan pada waktu shalat ‘id termasuk syarat sahnya shalat. ([93]) karena di dalam shalat tersebut terdapat khutbah sebagaimana shalat jum’at. ([94])
أَمَرَنَا – تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ([95])، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ([96])، وَالْحُيَّضَ (في رواية) وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis dan wanita, begitu pula wanita yang sedang haidh (dalam riwayat lain). Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat kaum muslimin.” ([97])
Sisi Pendalilan: Sesungguhnya dua shalat ‘id merupakan syi’ar terbesar umat islam. Orang-orang berkumpul di hari itu lebih agung dari pada hari jum’at, disyariatkan untuk bertakbir pada hari itu. Dalam pelaksanaannya pun disyariatkan untuk berkhutbah sebagaimana shalat jum’at. Artinya dalam pelaksanaan shalat ‘id tersebut disyariatkan pula untuk berjamaah sebagaimana shalat jum’at. Wallahu a’lam. ([98])
Kelima : Shalat Gerhana. Disunnahkan mendirikan shalat gerhana secara berjamaah. Ketika terjadi gerhana matahari (kusuf), disunnahkan untuk mendirikan shalat gerhana matahari dengan berjamaah. ([99])
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, berkata:
أَنَّ الشَّمْسَ خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَبَعَثَ مُنَادِيًا: بالصَّلاَةُ جَامِعَةٌ، فَتَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي رَكْعَتَيْنِ، وَأَرْبَعَ سَجَدَاتٍ
“Sesungguhnya telah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau mengutus seseorang untuk berseru: As-Shalatu Jaami’ah. Setelah itu beliau maju (memimpin shalat) dan shalat dengan empat ruku’ dan empat sujud dalam dua rakaat”. ([100])
Begitu pula dalam hadits yang lain:
خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالنَّاسِ
“Telah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, lalu beliau shalat dengan orang-orang”. ([101])
Hal ini berlaku pula dalam shalat gerhana bulan (khusuf), disunnahkan mengerjakannya dengan berjamaah. ([102])
Berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللهِ، لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ، وَلَا لِحَيَاتِهِ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهَا فَافْزَعُوا لِلصَّلَاة
“Sesungguhnya matahari dan bulan itu merupakan dua tanda diantara tanda-tanda kekuasaan Allah. Tidaklah keduanya terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seorang manusia pun. Apabila kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk sholat.” ([103])
Sisi Pendalilan: Hadits di atas menunjukkan bahwa ketika terjadi gerhana bulan maka disunnahkan untuk mengerjakan shalat gerhana. Begitu pula disunnahkan dikerjakan dengan berjamaah sebagaimana shalat gerhana matahari. Karena shalat gerhana matahari dan bulan merupakan dua shalat yang sejenis. Jika salah satunya disunnahkan dikerjakan dengan berjamaah, maka disunnahkan juga untuk yang lain seperti halnya kedua shalat ‘Id. ([104])
Keenam : Shalat Istisqa’ (meminta hujan). Shalat istisqa’ disunnahkan dilaksanakannya secara berjamaah. ([105]) Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu.
شَكَا النَّاسُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُحُوطَ الْمَطَرِ، فَأَمَرَ بِمِنْبَرٍ، فَوُضِعَ لَهُ فِي الْمُصَلَّى، وَوَعَدَ النَّاسَ يَوْمًا يَخْرُجُونَ فِيهِ، قَالَتْ عَائِشَةُ: فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، حِينَ بَدَا حَاجِبُ الشَّمْسِ، فَقَعَدَ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَكَبَّرَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَحَمِدَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ قَالَ: «إِنَّكُمْ شَكَوْتُمْ جَدْبَ دِيَارِكُمْ، وَاسْتِئْخَارَ الْمَطَرِ عَنْ إِبَّانِ زَمَانِهِ عَنْكُمْ، وَقَدْ أَمَرَكُمُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ تَدْعُوهُ، وَوَعَدَكُمْ أَنْ يَسْتَجِيبَ لَكُمْ»، ثُمَّ قَالَ: «الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ، أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ، وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ»، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ، فَلَمْ يَزَلْ فِي الرَّفْعِ حَتَّى بَدَا بَيَاضُ إِبِطَيْهِ، ثُمَّ حَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ، وَقَلَبَ، أَوْ حَوَّلَ رِدَاءَهُ، وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ، ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ وَنَزَلَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، فَأَنْشَأَ اللَّهُ سَحَابَةً فَرَعَدَتْ وَبَرَقَتْ، ثُمَّ أَمْطَرَتْ بِإِذْنِ اللَّهِ
“Orang-orang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang musim kemarau yang panjang. Lalu beliau memerintahkan untuk meletakkan mimbar di tempat tanah lapang, lalu beliau membuat kesepakatan dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan”. Aisyah lalu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika matahari mulai terlihat, lalu beliau duduk di mimbar. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda, “Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla telah memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan mengabulkan doa kalian” Kemudian beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan. Laa ilaha illallahu yaf’alu maa yuriid. Allahumma anta Allahu Laa Ilaha illa Anta Al-ghaniyyu wa Nahnu Al-fuqara`. anzil alainal ghaitsa waj’al maa anzalta lanaa quwwatan wa balaghan ilaa hiin (Tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Dia, Dia melakukan apa saja yang dikehendaki. Ya Allah, Engkau adalah Allah, tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Engkau Yang Maha kaya sementara kami yang membutuhkan. Maka turunkanlah hujan kepada kami dan jadikanlah apa yang telah Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan sebagai bekal di hari yang di tetapkan).” Kemudian beliau terus mengangkat kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau. Kemudian beliau membalikkan punggungnya, membelakangi orang-orang dan membalik posisi selendangnya, ketika itu beliau masih mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau menghadap ke orang-orang, lalu beliau turun dari mimbar dan shalat dua raka’at. Lalu Allah mendatangkan awan yang disertai guruh dan petir. Turunlah hujan dengan izin Allah.” ([106])
Ketujuh : Shalat Tarawih. Disunnahkan mendirikan shalat Tarawih secara berjamaah di masjid dan itulah yang diutamakan dari pada mengerjakannya sendiri ([107]). Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى ذَاتَ لَيْلَةٍ فِي المَسْجِدِ، فَصَلَّى بِصَلاَتِهِ نَاسٌ، ثُمَّ صَلَّى مِنَ القَابِلَةِ، فَكَثُرَ النَّاسُ، ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ: قَدْ رَأَيْتُ الَّذِي صَنَعْتُمْ وَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنَ الخُرُوجِ إِلَيْكُمْ إِلَّا أَنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada suatu hari shalat di masjid, orang-orang pun shalat sebagaimana shalat beliau. Kemudian beliau mendirikan shalat yang sama pada malam berikutnya, orang-orang semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam yang ketiga dan keempat. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak keluar bertemu orang-orang. Pada waktu pagi beliau bersabda: Aku telah melihat apa yang kalian perbuat. Dan tidaklah aku keluar untuk bertemu kalian melainkan karena aku khawatir kalian menganggap hal itu diwajibkan untuk kalian. Saat itu adalah bulan Ramadhan. ([108])
Kemudian atsar yang telah diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Abdul Qari’ berkata:
خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى المَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ، قَالَ عُمَرُ: نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ، وَالَّتِي يَنَامُونَ عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِي يَقُومُونَ يُرِيدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُومُونَ أَوَّلَهُ
Aku keluar bersama Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu ke masjid pada suatu malam di bulan Ramadohan. Maka ketika itu orang-orang (shalat) berpisah-pisah. Ada seseorang yang shalat sendiri, ada pula yang shalat dengan berkelompok. Maka Umar berkata: Aku berpendapat seandainya aku mengumpulkan mereka di belakang satu qari’ ([109]), maka hal itu lebih baik. Kemudian beliau bertekad, lalu mengumpulkan orang-orang untuk shalat di belakang Ubay bin Ka’b. Kemudian aku keluar bersama beliau pada malam berikutnya sedangkan orang-orang shalat dengan mengikuti qari’ mereka. Maka Umar berkata: Sebaik-baik bid’ah adalah ini([110]). Orang yang tidur sebelumnya lebih baik dari pada orang yang terjaga untuk mendapatkan akhir dari sepertiga malam. Namun, orang-orang mendirikannya pada awal malam. ([111])
Kedelapan : Shalat Tathawwu’. ([112]) Menurut jumhur ahli fiqh dibolehkan melaksanakan shalat tathawwu’ secara berjamaah selama tidak menjadikan amalan yang dirutinkan. ([113])
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
بِتُّ عِنْدَ مَيْمُونَةَ، فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَى حَاجَتَهُ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ نَامَ، ثُمَّ قَامَ، فَأَتَى القِرْبَةَ فَأَطْلَقَ شِنَاقَهَا، ثُمَّ تَوَضَّأَ وُضُوءًا بَيْنَ وُضُوءَيْنِ لَمْ يُكْثِرْ وَقَدْ أَبْلَغَ، فَصَلَّى، فَقُمْتُ فَتَمَطَّيْتُ، كَرَاهِيَةَ أَنْ يَرَى أَنِّي كُنْتُ أَتَّقِيهِ فَتَوَضَّأْتُ، فَقَامَ يُصَلِّي، فَقُمْتُ عَنْ يَسَارِهِ، فَأَخَذَ بِأُذُنِي فَأَدَارَنِي عَنْ يَمِينِهِ، فَتَتَامَّتْ صَلاَتُهُ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً
Aku bermalam di kediaman bibiku Maimunah binti Al-Harits. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri lalu memenuhi hajatnya, membasuh mukanya dan kedua tangannya, kemudian beliau tidur, kemudian bangun, kemudian beliau mengambil kantong air dan melepaskan ikatannya. Kemudian beliau berwudhu diantara dua wudhu ([114]), tidak banyak (membasuhkan air) namun mencukupi. Setelah itu beliau shalat, lalu aku bangun dan berbaring, aku tidak suka beliau melihat bahwa aku memperhatikan beliau, lalu aku berwudhu. Setelah itu beliau shalat, lalu aku berdiri disamping kiri beliau. Maka beliau menarik telingaku dan mengalihkanku di samping kanan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyelesaikan shalat pada malam itu tiga belas rakaat. ([115])
Kemudian hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ، فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ، ثُمَّ مَضَى، فَقُلْتُ: يُصَلِّي بِهَا فِي رَكْعَةٍ، فَمَضَى، فَقُلْتُ: يَرْكَعُ بِهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ، فَقَرَأَهَا، ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ، فَقَرَأَهَا، يَقْرَأُ مُتَرَسِّلًا، إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ، وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ، وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ
Pada suatu malam aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau mulai membaca surat Al-Baqarah, lalu aku berkata: beliau akan ruku’ pada ayat ke seratus, kemudian berlalu, lalu aku berkata: beliau akan shalat dengan surat itu dalam satu rakaat, namun hal itu berlalu. Setelah itu aku berkata: beliau akan segera ruku’. Kemudian beliau melanjutkan membaca surat An-Nisa, lalu beliau membacanya, kemudian beliau melanjutkan membaca surat Ali Imran, lalu beliau membacanya hingga selesai. Jika beliau melewati ayat tasbih, beliau bertasbih dan jika beliau membaca ayat yang memerintahkan untuk memohon, beliau memohon dan jika beliau melewati ayat yang memerintahkan untuk memohon perlindungan, beliau memohon perlindungan. ([116])
Permasalahan Shalat Jamaah
Pertama : Shalat di Masjid Jami’ atau Masjid Dekat Rumah
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, menjadi dua pendapat:
Pendapat Pertama: Shalat berjamaah di masjid jami’ (artinya: yang lebih banyak jamaahnya) lebih diutamakan dibandingkan shalat berjamaah di masjid dekat dengan rumah. Banyaknya orang yang shalat di masjid tersebut memberikan tanda bahwa masjid tersebut memiliki nilai kemuliaan dan kesucian. Dan dua hal ini merupakan unsur penting untuk mendatangkan kenyamanan banyak orang untuk shalat di masjid tersebut. Dari hal itu maka akan tampak syiar islam. ([117]) Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Sesungguhnya seseorang yang shalat berjamaah dengan temannya (satu orang) lebih baik dari pada seseorang yang shalat dengan sendirian. Dan shalat seseorang berjamaah dengan dua orang temannya lebih baik dari pada shalat berjamaah dengan satu orang. Dan setiap kali berjamaah dengan banyak orang, maka itu lebih dicintai oleh Allah ta’ala. ([118])
Pendapat Kedua: Shalat di masjid yang dekat dengan rumah seseorang lebih baik dan lebih utama dari pada dia shalat berjamaah di masjid jami’. ([119])
Sisi Pendalilan: Hal itu dikarenakan perbutannya merupakan bentuk memakmurkan dan meramaikan masjid yaitu dengan mendirikan shalat berjamaah di masjid itu. Selain itu, dapat mewujudkan kedekatan sosial antara imam dengan penduduk setempat dan menyingkirkan kesenjangan yang berakibat dari tidak hadirnya shalat berjamaah dengan mereka. Di sisi lain, masjid setempat memiliki hak dalam bertetangga. ([120])
Kesimpulan:
Dalam masalah ini yang lebih utama adalah mengikuti shalat berjamaah di masjid jami’, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas. Apabila ada persamaan dengan banyaknya jamaah yang shalat, maka shalat di masjid yang lebih lama usianya itu yang lebih diutamakan dari pada masjid yang baru. Hal itu disebabkan masjid tersebut lebih banyak digunakan untuk beribadah. Namun, seandainya kehadiran seseorang sangat dibutuhkan dalam shalat berjamaah yang didirikan di masjid dekat dengan rumahnya atau bahkan ketidak hadirannya membuat shalat jamaah tidak sah, maka shalatnya di masjid dekat rumahnya itu lebih diutamakan. Karena perbuatannya termasuk jalan untuk memakmurkan masjid setempat dan menjaga syiar islam. ([121])
Kedua : Hukum Mengulangi shalat dengan berjamaah setelah menunaikan shalat.
Barangsiapa yang telah menunaikan suatu shalat, setelah itu dia mendapati orang-orang sedang mendirikan shalat dengan berjamaah di masjid, maka disunnahkan untuk mengikuti shalat tersebut, hal itu bertujuan untuk meraih pahala yang lebih banyak.([122]) Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ مَعَهُمْ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ فَلَا أُصَلِّي
“Shalatlah pada waktunya, apabila kamu mendapati shalat bersama mereka, maka shalatlah. Jangan mengatakan ‘sesungguhnya aku telah shalat, maka aku tidak perlu shalat lagi”([123]).
Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غُلَامٌ شَابٌّ، فَلَمَّا صَلَّى إِذَا رَجُلَانِ لَمْ يُصَلِّيَا فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ، فَدَعَا بِهِمَا فَجِيءَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا([124])، فَقَالَ: مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا؟ قَالا: قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا، فَقَالَ: لا تَفْعَلُوا، إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي رَحْلِهِ ثُمَّ أَدْرَكَ الْإِمَامَ وَلَمْ يُصَلِّ، فَلْيُصَلِّ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌ
Sesungguhnya dia (Jabir) shalat bersama Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam sedangkan dia masih seorang anak muda. Ketika selesai shalat, tiba-tiba ada dua orang lelaki tidak shalat di pojok masjid. Maka beliau memanggil keduanya. Maka keduanya didatangkan ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan gemetar sendi-sendinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk shalat bersama kami?’ Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah shalat di rumah kami.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian melakukan demikian. Apabila salah serang dari kalian telah shalat di rumahnya, lalu mendapati imam belum mendirikan shalat, maka shalatlah bersamanya, karena shalat itu baginya terhitung sebagai shalat sunnah.” ([125])
Ketiga : Mendirikan shalat berjamaah pada saat didirikan shalat berjamaah pada tempat dan waktu yang sama
Tidak disyariatkan melakukan shalat berjamaah lain di saat didirikan shalat berjamaah di masjid dan waktu yang sama. Ulama telah sepakat mengenai hal ini, sebagaimana yang telah dikatakan oleh Ibnu ‘Arafah dan Abu Al-Qasim ibnu Al-Habbab, demikian halnya yang telah dikemukakan oleh Jamaluddin Ibnu Zhahirah:
أَمَّا اجْتِمَاعُ إمَامَيْنِ بِجَمَاعَتَيْنِ فِي صَلَاةٍ وَاحِدَةٍ فِي وَقْتٍ وَاحِدٍ فِي مَسْجِدٍ وَاحِدٍ فَهَذَا لَا يَجُوزُ، وَقَدْ نَقَلَ الْإِجْمَاعَ عَلَى عَدَمِ جَوَازِ ذَلِكَ الشَّيْخُ أَبُو الْقَاسِمِ بْنُ الْحُبَابِ وَالشَّيْخُ أَبُو إبْرَاهِيمَ الْغَسَّانِيُّ وَالْقَاضِي جَمَالُ الدِّينِ بْنُ ظَهِيرَةَ الشَّافِعِيُّ فِي جَوَابِ سُؤَالٍ سَأَلَهُ عَنْهُ الشَّيْخُ مُوسَى الْمُنَاوِيُّ، وَقَالَ إنَّ ذَلِكَ مِنْ الْبِدَعِ الْفَظِيعَةِ وَالْأُمُورِ الشَّنِيعَةِ الَّتِي لَمْ يَزَلْ الْعُلَمَاءُ يُنْكِرُونَهَا فِي الْحَدِيثِ وَالْقَدِيمِ وَيَرُدُّونَهَا عَلَى مُخْتَرِعِهَا الْقَادِمِ مِنْهُمْ وَالْمُقِيمِ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ عَرَفَةَ أَنَّهُ لَمَّا حَجَّ فِي سَنَةِ اثْنَيْنِ وَتِسْعِينَ وَسَبْعِمِائَةٍ وَرَأَى اجْتِمَاعَ الْأَئِمَّةِ فِي صَلَاةِ الْمَغْرِبِ أَنْكَرَ ذَلِكَ، وَقَالَ إنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ لَا أَعْلَمُ بَيْنَهُمْ فِي ذَلِكَ اخْتِلَافًا
Adapun masalah berkumpulnya dua imam shalat dengan dua jamaah dalam satu shalat dan satu waktu tidak diperbolehkan. Sebagian ulama menukilkan kesepakatan ulama yang tidak membolehkannya hal itu, diantaranya adalah Syaikh Abu Al-Qasim bin Al-Habbab, Syaikh Abu Ibrahim Al-Ghassani dan Al-Qadhi Jamaluddin bin Dzohiirah As-Syafi’i ketika menjawab pertanyaan yang Syaikh Musa Al-Munawi. Beliau berkata: Sesungguhnya yang demikian itu merupakan perkara bid’ah yang keji dan para ulama senantiasa mengingkarinya pada zaman dahulu ataupun sekarang. Dinukilkan pula dari Ibnu ‘Arafah bahwa ketika beliau menunaikan ibadah haji pada tahun 792 hijriyah. Beliau melihat berkumpulnya para imam shalat dalam satu waktu melaksanakan shalat maghrib, beliaupun mengingkarinya. Beliau mengatakan: Sesungguhnya yang demikian itu tidak diperbolehkan menurut kesepakatan kaum muslimin dan aku tidak mengetahui perselisihan diantara mereka dalam hal ini. ([126])
Begitu juga halnya tidak disyariatkan mendirikan shalat jamaah usai mendirikan shalat berjamaah di dalam satu masjid. Sebagaimana kesepakatan ulama yang telah dinukilkan oleh As-Syaukaniy:
أَنَّهُ لَمْ يُسْمَعْ فِيْ أَيَّام ِالُّنبُوَّةِ أَنَّ رَجُلًا تَرَكَ الْجَمَاعَةَ الْكُبْرَى فِيْ الْمَسْجِدِ الَّذِيْ تُقَامُ فِيْهِ، وَبَادَرَ بِجَمَاعَةٍ قَبْلَ قِيَامِ الْجَمَاعَةِ الْكُبْرَى.
Tidak pernah terdengar di zaman Nabi bahwa ada seorang yang meninggalkan shalat berjamaah di dalam masjid tempat didirikannya shalat. Atau bersegera membuat jamaah sendiri sebelum mendirikan shalat berjamaah. ([127])
Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ، وَصَلَاةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا، وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ، فَتُقَامَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ، ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّار
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya’ dan fajar. Seandainya mereka tahu apa yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Sungguh aku bermaksud untuk memerintahkan agar didirikan shalat, kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami shalat dengan orang-orang, kemudian aku pergi bersama sebagian orang dengan membawa kayu bakar kepada orang-orang yang tidak mengikuti shalat, lalu aku bakar mereka dan rumah-rumahnya dengan api”.([128])
Sisi Pendalilan: Hadits tersebut menunjukkan ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada orang-orang yang tidak mengikuti shalat berjamaah. Karena hal tersebut dapat menimbulkan perpecahan kaum muslimin khususnya. Dan orang-orang yang melakukan shalat berjamaah sendiri di saat didirikan shalat berjamaah di masjid yang sama lebih besar kerusakan yang dilakukannya dalam menunjukkan perpecahan diantara kaum muslimin dan menampakkan perselisihan diantara mereka. ([129])
Demikian juga hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غُلَامٌ شَابٌّ، فَلَمَّا صَلَّى إِذَا رَجُلَانِ لَمْ يُصَلِّيَا فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ، فَدَعَا بِهِمَا فَجِيءَ بِهِمَا تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا، فَقَالَ: مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا؟ قَالا: قَدْ صَلَّيْنَا فِي رِحَالِنَا، فَقَالَ: لا تَفْعَلُوا، إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فِي رَحْلِهِ ثُمَّ أَدْرَكَ الْإِمَامَ وَلَمْ يُصَلِّ، فَلْيُصَلِّ مَعَهُ فَإِنَّهَا لَهُ نَافِلَةٌ
Sesungguhnya dia shalat bersama Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam sedangkan dia masih seorang anak muda. Ketika selesai shalat, tiba-tiba ada dua orang lelaki tidak shalat di salah satu sudut masjid. Maka beliau memanggil keduanya. Maka keduanya didatangkan ke hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan gemetar sendi-sendinya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Apa yang menghalangimu untuk shalat bersama kami?’ Mereka berkata, ‘Sesungguhnya kami telah shalat di rumah kami.’ Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kalian melakukan demikian. Apabila salah serang dari kalian telah shalat di rumahnya, lalu mendapati imam belum mendirikan shalat, maka shalatlah bersamanya, karena shalat itu baginya terhitung sebagai shalat sunnah.” ([130])
Sisi Pendalilan: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingkari orang yang tidak mengikuti shalat berjamaah, meskipun sebelumnya dia telah melaksanakan shalat. Tidak hanya itu, beliau juga memerintahkan mereka untuk memasuki dan mengikuti jamaah dalam shalat. Hal itu bertujuan agar tidak terlihat ada perselisihan ataupun perpecahan diantara kaum muslimin yang disebabkan karena tidak ikut shalat berjamaah. ([131])
Berikutnya adalah sebuah riwayat dari Abu As-Sya’tsa, ia berkata:
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: أَمَّا هَذَا، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kami duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah, lalu seorang muadzin mengumandangkan adzan. Setelah itu berdirilah seorang lelaki dari masjid dan berjalan, lalu Abu Hurairah mengikuti pandangannya hingga dia keluar dari masjid. Setelah itu Abu Hurairah berkata: Orang ini telah menyelisihi Abu Al-Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam. ([132])
Sisi Pendalilan: Allah subhanahu wa ta’ala melarang orang yang telah mendengar adzan kemudian dia keluar dari masjid. Karena yang demikian itu termasuk perbuatan yang menyelisihi kaum muslimin, menimbulkan perpecahan diantara mereka dan telah keluar dari ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Orang yang mendahului di dalam shalat berjamaah, menjauh dari jamaah kaum muslimin merupakan bentuk penyelisihan dari mereka dan bahkan lebih besar dari itu. ([133])
Di sisi lain, perbuatan tersebut sangat bertolak belakang dengan tujuan disyariatkannya shalat berjamaah yang paling utama yaitu bersatunya kaum muslimin, keberkahan yang ada pada sebagian mereka, menghindarkan mereka dari perselisihan. Menyatukan hati, persatuan kaum muslimin dan menutup celah perbedaan dan perselisihan merupakan tujuan dari syariat yang agung ini dan menjadi dasar agama ini. Tidak diragukan lagi bahwa membuat kelompok sendiri dalam shalat berjamaah, padahal shalat berjamaah telah didirikan merupakan celah yang dapat mempengaruhi perselisihan dalam hati, iri hati dan hal yang dapat menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan diantara kaum muslimin. ([134])
Allah tidak membolehkan membuat jamaah dengan dua imam kecuali dalam kondisi darurat, yaitu saat peperangan dengan musuh islam, dengan membagi jamaah dalam shalat mereka dengan satu imam. Maka dalam keadaan selain peperangan hal itu lebih utama. Disamping itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan Rasul-Nya untuk menghancurkan masjid Dhirar, yang bertujuan untuk memecah belah jamaah kaum muslimin. ([135])
Keempat : Mengulangi Shalat Berjamaah karena sebab tertentu
Dalam hal ini ada dua kondisi :
Pertama : Jika Masjid tidak memiliki imam rawatib
Apabila masjid tersebut tidak memiliki imam rawatib, seperti masjid yang berada di pasar, di jalan, dan dimpom bensin,maka boleh mendirikan shalat berjamaah yang kedua, ketiga dan seterusnya. ([136])
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang lelaki yang datang ke masjid, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah selesai mendirikan shalat, maka beliau bersabda:
مَنْ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّيَ مَعَهُ؟ فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَصَلَّى مَعَهُ
Siapakah yang ingin sedekah kepada orang ini dengan shalat bersamanya? Maka berdirilah seseorang, lalu shalat dengannya. ([137])
Sisi Pendalilan: Hadits ini menerangkan dibolehkannya mendirikan shalat berjamaah setelah selesai dari shalat berjamaah yang pertama (yang dipimpin oleh imam rawatib). Jika masjid yang memiliki imam rawatib dibolehkan untuk mendirikan shalat berjamaah yang kedua, maka apabila itu terjadi di masjid yang tidak ada imam rawatibnya, hal itu lebih dibolehkan lagi. Sebagian ulama menjelaskan dibolehkannya hal tersebut karena terdapat tujuan yang jelas dan tidak menimbulkan keburukan seperti perpecahan jamaah shalat, perselisihan, iri dan sebagainya. ([138])
Kedua : Jika Masjid memiliki imam rawatib
Disyariatkan bagi orang yang terlambat mengikuti shalat berjamaah yang dipimpin oleh imam rawatib setempat untuk mendirikan shalat berjamaah sendiri atau mengikuti shalat berjamaah lain. ([139])
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu yang telah dijelaskan sebelumnya.
Sisi Pendalilan: Hadits tersebut merupakan dalil yang jelas tentang dibolehkannya mengulangi shalat berjamaah atau mendirikan jamaah kedua dengan syarat setelah selesai dari shalat berjamaah yang dipimpin oleh imam rawatib masjid tersebut. Hal itu ditunjukkan dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menawarkan kepada sahabatnya yang ingin menolong seorang sahabat yang terlambat mengikuti shalat berjamaah dengan shalat bersamanya secara berjamaah pula. ([140])
Berdasarkan hadits yang lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasuluallah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat wajib berjamaah lebih utama daripada shalat sendiri sebanyak dua puluh tujuh derajat.” ([141])
Sisi Pendalilan: Hadits diatas menunjukkan keutamaan shalat berjamaah. Baik shalat jamaah tersebut merupakan jamaah yang pertama didirikan atau jamaah yang kedua. ([142])
Kemudian atsar dari sahabat Anas radhiyllahu ‘anhu bahwa:
جَاءَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ إِلَى مَسْجِدٍ قَدْ صُلِّيَ فِيهِ، فَأَذَّنَ وَأَقَامَ وَصَلَّى جَمَاعَةً
Anas bin Malik datang ke masjid saat selesai didirikan shalat. Setelah itu dia adzan, berdiri dan mendirikan shalat dengan berjamaah. ([143])
FOOTNOTE:
=======================================
([1]) Lihat: Taj Al-Arus Min Jawahir Al-Qamus Li Az-Zabidiy 20/451.
([2]) Lihat: Jawahirul Iklil Syarh Mukhtashar Khalil Li Shalih Abdus Sami’ Al-Abi Al-Azhari 1/76.
([3]) Lihat: Shalatul Jama’ah fii Dhouil Kitab was Sunnah hal.31.
([6]) HR. Ahmad no.22029, dinyatakan sebagai hasan lighairihi oleh para pentahqiq al-Musnad.
([7]) H.R. Abu Dawud no.554 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([8]) H.R. Tirmidzi no.241 dan dihasankan oleh Al-Albani.
Ini merupakan salah satu keutamaan mendirikan shalat dengan ikhlas, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Barang siapa yang shalat karena Allah”, maksudnya adalah murni karena Allah Ta’ala. Dan sabda beliau “terbebas dari api neraka” maksudnya adalah selamat darinya. Begitu pula “terbebas dari sifat nifaq” artinya dia terjaga di dunia dari perbuatan kemunafikan dan membimbingnya kepada perbuatan orang-orang yang ikhlas. Adapun di akhirat dia terjaga dari azab yang diberikan kepada orang munafik. (Lihat: Tuhfatul Ahwadzi Bi Syarhi Jami’ At-Tirmidzi Li Al-Mubarakfuri 2/45)
([9]) (الغَدْو) adalah permulaan waktu pagi dan (الرَّوَاح) adalah akhir waktu pagi yaitu setelah waktu zawal (awal waktu dzuhur). (Lihat: Fathul Bari Li Ibni Rajab 6/53)
([10]) H.R. Bukhari no.662 dan Muslim no.669.
([11]) H.R. Bukhari no.651 dan Muslim no.662.
([12]) (خَطِيئَةً) yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil, karena dosa-dosa besar tidak mampu dihapuskan kecuali dengan bertaubat (Al-Kaukab Al-Wahhaj Li Muhammad Al-Alawiy 9/145)
Dan dalam riwayat yang lain, dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rumah kami jauh dari masjid, lalu kami ingin menjualnya supaya kami dapat berdekatan dengan masjid. Namun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ خَطْوَةٍ دَرَجَةً
“Sesungguhnya setiap langkah bernilai satu derajat bagi kalian.” (H.R. Muslim no.664)
([14]) Al-Qadhi Iyadh mengatakan (مَحْوُ الْخَطَايَا) merupakan kiasan dari diampunkan dari dosa-dosa. Adapun (رَفْعُ الدَّرَجَاتِ) adalah diangkatnya kedudukannya di surga (Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim 3/141).
([15]) Seperti dalam kondisi musim dingin, sehingga malas menggunakan air, atau sebaliknya tatkala kondisi musim panas dimana air terasa panas.
([16]) Berwudhu dengan wudhu yang sempurna meskipun dalam keadaan yang sulit seperti dalam keadaan cuaca dingin, sakit dan sebagainya. Memperbanyak langkah disebabkan karena tempat tinggalnya yang jauh dan berulang-ulang pergi dan kembali dari masjid. Al-Qadhi Abu Al-Walid Al-Baji mengatakan menunggu shalat setelah shalat ini berlaku pada dua shalat yang bersamaan di satu waktu. (Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim 3/141).
([17]) Ar-Ribath adalah tetap gigih dalam ketaatan kepada Allah dan hal ini merupakan bentuk jihad fii sabilillah. (Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim 3/141).
([20]) HR Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Maajah
([21]) Lihat Fatwa Asy-Syaikh Muhammad Mukhtaar Asy-Syinqithi hafizohullah di https://www.youtube.com/watch?v=AdnHZyK8T8c
([22]) Syarh Riyaadus Shalihin 5/62
([23]) H.R. Bukhari no.660 dan Muslim no.1031.
([24]) H.R. Bukhari no.477 dan Muslim no.649.
([25]) Lihat: Shalatul Jamaa’ah fii Dhouil Kitab was Sunnah hal.9.
([26]) Para ulama berserslisih tentang hukum shalat berjamaah menjadi beberapa pendapat :
Pertama : Wajib (fardu ‘ain). Ini adalah pendapat Hanabilah, sebagian ulama Hanafiyyah dan salah satu pendapat Syafi’iyyah. (Lihat: Kassyaful Qina’ Li Al-Buhutiy 1/454-455), Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/130, Tabyinul Haqaiq Li Az-Zaila’i 1/132, Badai’us Shanai’ Li Al-Kasani 1/155 dan Raudhatu At-Thalibin 1/339). Banyak dari kalangan ulama salaf yang mengatakan bahwa shalat berjamaah adalah fardhu. Diantaranya diriwayatkan dari sahabat Ibnu Mas’ud, Abu Musa. Begitu pula ‘Atho’ bin Abi Robbah, Ahmad, Al-Auza’iy, Abu Tsaur, Ishaq, Dawud, Ats-Tsauriy dan kalangan ahli hadits seperti Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Al-Mundzir (Al-Hawi Al-Kabiir 2/297, Al-Isyraf Li Ibni Al-Mundzir 2/126, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/130, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/189 dan Fathul Baari Li Ibni Rajab 4/11).
Kedua : Fardu kifayah, dan ini adalah salah satu pendapat Syafi’iyyah.
Ketiga : Sunnah mu’akkadah. Ini adalah pendapat Hanafiyyah dan Malikiyah.
Namun sunnah mu’akkadah menurut Hanafiyyah adalah hampir mirip dengan wajib. Maka sebagian mereka (Hanafiyyah) menegaskan bahwa hukum shalat jama’ah adalah wajib. Pendapat ini juga adalah pendapat sebagian ulama Hanafiyah semacam Al Karkhiy dan Ath Thohawiy. Dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ تَفْضُلُ صَلاَةَ الفَذِّ بِخَمْسٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah lebih utama dari pada shalat sendiri sebanyak dua puluh lima derajat.” (HR. Bukhari no.646) (Lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/189 dan Hasyiyah Ibnu Abidin 1/371).
Demikian pula sebagian ulama Malikiyah memberikan rincian. Shalat jama’ah menurut mereka adalah fardhu kifayah bagi suatu negeri. Jika di negeri tersebut tidak ada yang melaksanakan shalat jama’ah, maka mereka harus diperangi. Dan menurut mereka, hukum shalat berjama’ah menjadi sunnah di setiap masjid dan merupakan keutamaan bagi kaum lelaki (Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/319-320 dan Asy-Syarhu As-Shaghir 1/152).
Sisi Pendalilan: Allah Subahanahu wa ta’ala memerintahkan para sahabat untuk mengerjakan shalat khauf dengan berjamaah. Itu merupakan dalil diwajibkan shalat berjamaah saat mengerjakan shalat khauf dalam kondisi peperangan dan ketakutan. Dan lebih diutamakan lagi jika mengerjakan shalat berjamaah saat kondisi aman. (Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 23/227 dan Kassyaful Qina’ Li Al-Buhutiy 1/454)
Sisi Pendalilan: Sesungguhnya Allah memerintahkan manusia untuk ruku’ bersama orang-orang yang ruku’ yakni shalat. Hal itu menunjukkan perintah untuk mendirikan shalat berjamaah. (Badai’us Shanai’ Li Al-Kasani 1/155)
([29]) HR. Bukhari no.628 dan Muslim no.674.
([32]) HR. An-Nasa’i no.847, Abu Dawud no.547, Ahmad no.27514, Ibnu Hibban no.2101 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([34]) HR. Abu Dawud no.552 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([35]) HR. Ibnu Majah no.793 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([37]) (يُهَادَى) bermakna berjalan diantara dua orang dengan bersandar menggantungkan kedua tangannya kepada dua orang yang berada di sisinya, karena lemah fisiknya. (Lihat: An-Nihayah Li Ibni Al-Atsir 5/255 dan Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 5/156)
([38]) Lihat Mirqoot al-Mafaatiih, Mulla al-Qoori 3/842 dan Daliil al-Faalihiin, Ibnu Állaan 6/555
([40]) Lihat: Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 23/230.
([41]) Ibnu Hubairah pemilik kitab Ikhtilaf Al-A’immah Al-Ulama 1/129 menuturkan: Para ulama madzhab sepakat disyariatkannya shalat berjamaah. Amalan tersebut seharusnya di perlihatkan kepada semua orang, karena merupakan syi’ar islam. Jika mereka enggan mengerjakan amalan tersebut, maka mereka berhak untuk diperangi (lihat: Ikhtilaf Al-A’immah Al-Ulama 1/129). (Lihat: Al-bahru Ar-Ra’iq Li Ibni Nujaim 1/365, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/319, Raudhatu Ath-Thalibin Li An-Nawawi 1/339, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/149)
([42]) Lihat: Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/149 dan Tharhu At-Tatsrib Li Al-‘Iraqi 2/313
([43]) Lihat: Hasyiyyah Ar-Raudhul Murbi’ 2/256, Al-Badai’ 1/155.
([44]) Menurut Syafi’iyyah, Hanabilah, pendapat ulama-ulama terdahulu dan yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Al-Qayyim, bahwa shalat berjamaah bagi kaum perempuan hukumnya adalah sunnah, yaitu dengan mendirikan shalat berjamaah sendiri, entah yang menjadi pemimpin shalat adalah seorang laki-laki atau perempuan. Inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Al-Qayyim (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/188, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbiniy 1/229,Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/150, Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/456, Al-Mughni 2/202, Al-Muhalla Li Ibni Hazm 2/167 dan I’lamul Muwaqqi’in Li Ibni Al-Qayyim 2/376).
Menurut Hanafiyyah shalat berjamaah bagi perempuan hukumnya makruh, karena keluarnya mereka dari rumah untuk melaksanakan shalat berjamaah bisa menimbulkan fitnah. Begitu pula menurut Malikiyyah, mereka melarang wanita untuk mengukuti shalat berjamaah di masjid. Dan dibolehkan dengan syarat dia tidak takut bahwa dirinya menimbulkan fitnah (lihat: Al-Badai’ Li Al-Kasani 1/155-157, Hasyiyah Ibnu Abidin 380-381, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/202).
([45]) HR. Bukhari no.645 dan 646.
([46]) Lihat: Al-Muhalla Li Ibni Hazm 2/169.
([47]) Abu Dawud no.592 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([48]) Lihat: Al-Muhalla Li Ibni Hazm 4/219
([49]) HR. Abdurrazzaq no.5082, Ad-Daruquthni 1/405.
([50]) Lihat: Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/456 dan Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/149.
([51]) Lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/149 dan Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/456.
([52]) Lihat: Badai’ As-Shanai’ Li Al-Kasaniy 1/275, At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr 23/401, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/335, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/199, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/149 dan Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/456.
([53]) H.R. Bukhari no.900 dan Muslim no.442.
([54]) H.R. Ahmad no 5468 dan Abu Daud no 567 dan dishahihkan oleh Al-Albani, al-Aranuuth, dan para petahqiq Musnad al-Imam Ahmad
([55]) Lihat: Ihkamul Ahkam Li Ibni Daqiq Al-Id hal.119-120.
([56]) H.R. Bukhari no.867 dan Muslim no.645.
([57]) H.R. Bukhari no.707 dan Muslim no.470.
([58]) Lihat: Fathul Baari Li ibni Rajab 5/308.
([59]) H.R. Abu Dawud no.567, Ahmad no.5468, Ibnu Khuzaimah no.1684 dan dishahihkan oleh An-Nawawi, Al-Albani, Al-Aranuuth, dan para pentahqiq Al-Musnad
([60]) (المَخْدَعُ) artinya adalah sejenis rumah kecil yang berada di dalam rumah. (An-Nihayah Li Ibni Al-Atsir 2/14)
([61]) H.R. Abu Dawud no.570, Al-Bazzar no.2063, Ibnu Khuzaimah no.1690 dan dishahihkan oleh An-Nawawi.
([62]) Lihat: Al-Bayan Li Al-Umraniy 2/366.
([64]) (تَفِلَاتٌ) bermakna tidak memakai wewangian (Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/199)
([65]) H.R. Abu Dawud no.565, Ahmad no.9645, Ad-Darimiy no.1315, Ibnu Khuzaimah no.1679 dan dishahihkan oleh An-Nawawiy.
([67]) HR. An-Nasai 5126, Ahmad 19711.
([68]) Hukum suami mengizinkan istrinya ketika meminta izin keluar mendatangi masjid
Para ulama berbeda pendapat, apakah wajib bagi suami untuk mengizinkan istrinya jika istrinya minta izin keluar untuk medatangi masjid? (Lihat: Fathul Bari Li Ibni Rajab 5/319)
Tentu merupakan perkara yang disukai adalah apabila seorang suami memberikan izin kepada istrinya ketika meminta izin untuk keluar mendatangi masjid mengikuti shalat berjamaah dan jika tidak menimbulkan fitnah. Namun apabila seorang suami tidak mengizinkan, maka bagi suami tidak berdosa, karena tidak mengizinkannya. Ini adalah madzhab Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan disebutkan termasuk pendapat mayoritas ulama (Lihat: Mawahib Al-Jalil Li Al-Hattab 2/451, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/336, Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/469 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/199).
Pendapat yang lain mengatakan suami wajib memberikan izin kepada istrinya ketika meminta izin untuk mengikuti shalat berjamaah di masjid jika memang tidak menimbulkan fitnah. Ini merupakan pendapat Ibni Abdil Barr, Ibnu Hazm, As-Syinqithi dan As-Syaukani (Lihat: At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr 24/281, Al-Muhalla Li Ibni Hazm, Adhwa’ul Bayan Li As-Syinqithi 5/542 dan Nailul Authar Li As-Syaukaniy 3/158).
Berdasarkan riwayat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menceritakan tentang Umar bin Khatthab radihyallahu ‘anhu ketika menahan istrinya. Dan diantara riwayatnya yang lain adalah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ إِذَا اسْتَأْذَنَّكُمْ إِلَيْهَا قَالَ: فَقَالَ بِلَالُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: وَاللهِ لَنَمْنَعُهُنَّ، قَالَ: فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ عَبْدُ اللهِ: فَسَبَّهُ سَبًّا سَيِّئًا مَا سَمِعْتُهُ سَبَّهُ مِثْلَهُ قَطُّ وَقَالَ: أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقُولُ: وَاللهِ لَنَمْنَعُهُن
Janganlah kalian menghalangi istri-istri kalian dari masjid jika mereka telah meminta ijin kepada kalian. Maka Bilal bin Abdullah berkata: Demi Allah, kami akan mencegah mereka. Setelah itu Abdullah ada dihadapannya, lalu mencelanya dengan celaan yang buruk yang tidak pernah aku dengar sebelumnya. Lalu dia berkata: Aku memberitahukan kepadamu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, namun kamu mengatakan: Demi Allah, kami akan melarang mereka.(H.R. Bukhari no.5238 dan Muslim no.442)
([69]) Yaitu pendapat Ibnu Al-Mubarak, As-Syafi’i, Malik, Ahmad dan selain mereka. (Lihat: Fathul Bari Li Ibni Rajab 5/318)
([70]) H.R. Bukhari no.5238 dan Muslim no.442.
([71]) Lihat: Fathul Baari Li Ibni Hajar 2/384 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/199
([72]) Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/336 dan Mawahibu Al-Jalil Li Al-Hatthab 2/451.
([73]) Hal itu sebagaimana pendapat sebagian ahli fiqh bahwa seorang budak mendapatkan izin untuk berdagang dari tuannya apabila budak tersebut menggunakan uangnya tanpa dicegah oleh tuannya. (Lihat: fathul Bari Li Ibni Rajab 5/319)
([74]) H.R. Bukhari no.900 dan Muslim no.442.
([75]) Lihat: Al-Muntaqa Li Al-Baji 1/342.
([76]) Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 5/175, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/196 dan Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/131.
Jika yang menjadi tujuan dari shalat berjamaah yaitu untuk menampakkan syi’ar islam dalam suatu daerah, maka berbeda pula ketentuan jumlah dalam shalat berjamaah. Jika suatu penduduk dalam suatu daerah meninggalkan shalat berjamaah, maka mereka layak untuk diperangi. Itulah pendapat Malikiyyah. Setidaknya diantara mereka yang hadir paling sedikit adalah tiga orang, yaitu: satu orang imam dan dua orang makmum, yang salah satunya mengumandangkan adzan. Syafi’iyyah juga berpendapat demikian. Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1486 dan dihasankan oelh Al-Albani:
مَا مِنْ ثَلَاثَةِ نَفَرٍ فِي قَرْيَةٍ، وَلَا بَدْوٍ، فَلَا تُقَامُ فِيهِمُ الصَّلَاةُ إِلَّا اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمُ الشَّيْطَانُ، فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ، فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
Apabila tiga orang dari suatu desa atau kampung tidak mendirikan shalat berjamaah, setan pasti mampu untuk menguasai mereka. Oleh karena itu, hendaklah kamu shalat berjamaah. Karena serigala selalu memangsa domba yang terpisah dari kawannya. (Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/319, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbnini 1/229 dan Nihayatul Muhtaj Li Ar-Romliy 2/131,133)
([79]) Fathul Baari Li Ibni Hajar 2/142 dan Mir’atul Mafatih Li Al-Mubarakfuri 2/384.
([80]) HR. Abu Dawud no.574 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([81]) Lihat: ‘Aunul Ma’bud Li Al-Adzim Abadiy 2/198.
([83]) Tafsir Al-Baidhawi (Anwaru At-Tanzil wa Asraru At-Ta’wil) 2/94 dan lihat: Tafsir Ibnu Katsir 2/398.
([84]) Lihat: Mughnil Muhtaj 1/304.
([85]) Menurut ijma’ ulama yang telah dinukilkan oleh An-Nawawi bahwa shalat jum’at tidak sah jika dikerjakan dengan sendiri dan termasuk syarat sahnya adalah dikerjakan dengan berjamaah sesuai ijma’ ulama. Hal itu juga yang dikatakan oleh Ibnu Rusyd, Al-Kasani dan As-Syaukani. (Bidayatul Mujtahid Li Ibni Rusyd 1/158, Al-Badai’ Li Al-Kasani 1/266, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/505 dan Nailul Authar Li As-Syaukani 3/274.
([87]) Al-Iqna’ Li Ibni Al-Mundzir 1/105.
([88]) Menurut Jumhur Ulama Hanafiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Malikiyyah. (Lihat: Hasyiyah Ibnu Abidin 2/208, Al-Badai’ Li Al-Kasani 1/315, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 5/214, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbini 1/345, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/361, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/423 dan Adz-Dzakhirah Li Al-Qarafi 2/458).
([90]) (يَشْفَعُونَ لَهُ) artinya adalah mendoakannya. Dan (شُفِّعُوا فِيهِ) artinya adalah diterima doa mereka. Lihat: Mirqatu Al-Mafatih Syarh Misykatu Al-Mashabih Li ‘Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari 3/1201.
([92]) Al-Majmu’ Li An-Nawawi 5/214.
([93]) Hal ini menjadi pendapat Jumhur Ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah dan Syafi’iyyah (qadim). Lihat: Hasyiyah Ibnu Abidin 1/552, Hasyiyah Al-‘Adawi ‘ala Kifayah At-Thalib Ar-Rabbaniy 1/389, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/297, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 5/26 dan Kassyaful Qina’ 2/52.
([95]) (الْعَوَاتِقَ) adalah bentuk jamak dari (الْعَاتِق) artinya perempuan yang sudah baligh dan belum dinikahkan. (Fathul Bari Li Ibni Rajab 2/141)
([96]) (ذَوَاتِ الْخُدُورِ) disebut juga dengan (صَاحِبَات الخُدُورِ) dan (الخُدُورِ) adalah bentuk jamak dari (خِدْرٌ) artinya kain yang berada di sudut rumah atau kelambu dimana para gadis duduk dibaliknya. (Fathul Bari Li Ibni Rajab 2/140)
([98]) Lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/272, Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 23/161, Al-Badai’ Li Al-Kasani 1/275 dan As-Shalatu Wa Ahkamu tarikiha Li Ibni Al-Qayyim hal:39-40.
([99]) Sesuai kesepakatan empat madzhab, Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. (lihat: Al-Badai’ Li Al-Kasani 1/281, Al-Bahru Ar-Ra’iq Li Ibni Nujaim 2/180, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/402, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 5/60, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/309 dan Tabyinu Al-Haqaiq Li Az-Zaila’i 1/228).
([100]) H.R. Bukhari no.1066 dan Muslim no.901.
([101]) H.R. Bukhari no.1044 dan Muslim no.901.
([102]) Menurut Syafi’iyyah, Hanabilah, Malikiyyah dan jumhur ulama, pendapat ini pula yang dipilih oleh Ibnu Hazm (Lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/55, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbiniy 1/318, Al-Mughni Li Ibni Qudamah, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/309, Al-Muhalla Li ibni Hazm 3/312 dan Nailul Al-Authar Li As-Syaukani 3/396).
([103]) HR. Bukhari no. 1046 dan Muslim no.901.
([104]) Al-Hawi Al-Kabir Li Al-Mawardi 2/510.
([105]) Menurut Malikiyyah, Hanabilah dan Syafi’iyyah. Berbeda dengan Hanafiyyah, bahwa tidak ada shalat untuk istisqa’. (lihat: Al-Badai’ 1/280, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/320, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbini 1/225 dan Kassyaful Qina’ 1/414).
([106]) HR. Abu Dawud no.1173 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([107]) At-Thahawiy mengatakan bahwa para ulama bersepakat tidak diperbolehkan bagi suatu kaum membiarkan masjid dalam menghidupkan bulan Ramadhan, yang mana hal ini merupakan wajib kifayah. Artinya hendaknya suatu kaum menghidupkan bulan ramadhan dengan mendirikan shalat tarawih secara berjamaah di masjid. Barang siapa yang mengamalkan hal tersebut maka lebih baik dari pada mendirikannya dengan sendiri. (Mukhtashar Ikhtilaf Al-Ulama Li Ath-Thahawiy 1/315)
Imam An-Nawawi menukilkan bahwa shalat tarawih yang dikerjakan dengan berjama’ah lebih utama dari pada dikerjakan dengan sendiri, hal ini merupakan kesepakatan para sahabat. Hal itu juga yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah. (Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/32 dan lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/124)
([108]) HR. Bukhari no.1129 dan Muslim no.761.
([109]) Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no.673.
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Yang berhak memimpin shalat suatu kaum adalah yang paling banyak bacaan Al-Qur’annya. (Al-Istidzkar Li Ibni Abdil Barr 2/66)
([110]) Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa apa yang dikatakan oleh Umar ‘Sebaik-baik bid’ah’ dalam bahasa orang arab bermakna hal baru yang belum pernah ditemukan. Perkara agama yang menyelisihi amalan sunnah Nabi, maka itulah sejatinya bid’ah yang tidak ada kebaikan di dalamnya, harus dicela, menjauhinya dan pelakunya, jika telah jelas keburukan yang dianutnya. Adapun hal baru yang yang tidak menyelisihi sumber syariat dan sunnah, maka itulah sebaik-baik bid’ah, sebagaimana perkataan Umar, karena sumber pengamalannya sendiri merupakan sunnah yang diajarkan oleh Nabi. (Al-Istidzkar Li Ibni Abdil Barr 5/153)
([112]) Tathawwu’ secara bahasa adalah nafilah yaitu perbuatan yang dilakukan suka rela oleh seorang muslim atas kemauan sendiri, yang bukan merupakan kewajiban baginya. (Lihat: Al-Qamus Al-Muhith Li Al-Fairuz Abadiy hal.745 dan Lisanul Arab 8/243)
Adapun secara istilah, tathawwu’ bermakna amalan ketaatan yang disyariatkan bukan termasuk amalan fardhu dan wajib. (At-Ta’rifat Li Al-Jurjani hal.61)
Shalat tathawwu’ juga disebut dengan shalat Nafilah. (Lihat: Al-Qamus Al-Muhith Li Al-Fairuz Abadiy 1/745)
([113]) (Lihat: Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbini 1/219,220 Kassyafu Al-Qina’ Li Al-Bahutiy 1/439 dan Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/104)
Namun, Malikiyyah membolehkan dengan syarat jika jumlah jamaah yang mengerjakannya sedikit. Jika jumlah jamaah yang mengikutinya banyak maka dimakruhkan (Lihat: Adz-Dzakhirah Li Al-Qarafiy 2/403).
([114]) Maksudnya adalah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu dengan wudhu antara wudhu yang ringan dan wudhu yang sempurna. (Fathul baari Li Ibni Hajar 11/116)
([115]) HR. Bukhari no.6316 dan Muslim no.763.
([117]) Ini adalah pendapat Syafi’iyyah, Hanfiyah dan salah satu pendapat Hanabilah.
Syafi’iyyah mengecualikan dua kondisi yang menyebabkan untuk lebih utama shalat di masjid terdekat meski jamaáhnya lebih sedikit :
Pertama: Apabila keberadaannya sangat diharapkan di masjid tersebut, dikarenakan menjadi imam shalat misalnya atau menjadi pendorong bagi orang-orang untuk ikut shalat berjamaah karena kehadirannya, maka shalat berjamaah di masjid yang dekat dengan rumah lebih diutamakan.
Kedua: Apabila masjid yang lokasinya jauh lagi banyak jamaahnya, ternyata yang menjadi imam shalat adalah seorang ahli bid’ah, orang yang fasiq atau mu’tazilah dan semacamnya, maka shalat di masjid tang dekat dengan rumah lebih diutamakan. Demikian pula pendapat Hanabilah dan Hanfiyyah (Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/198, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbini 1/230, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/152, Kassyafu Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/457 dan Hasyiyah Ibnu Abidin 1/659)
([118]) HR. Abu Dawud no.554 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([119]) Menurut Hanafiyyah, salah satu pendapat Syafi’iyyah dan pendapat yang dipilih oleh Syaikh Utsaimin. (Hasyiyah Ibnu Abidin 1/659, Al-Muhith Al-Burhaniy Li Ibni Mazah 1/455 dan As-Syarh Al-Mumti’ 4/152)
([120]) Raudhatu At-Thalibin Li An-Nawawi 1/341, Hasyiyah Ibnu Abidin 1/659 dan As-Syarh Al-Mumti’ Li Ibni Utsaimin 4/152.
([121]) Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/133.
([122]) Menurut Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan salah satu pendapat Daud Adz-Dzohiriy. (Lihat: Al-kafi Li Ibni Abdil Barr 1/218, Al-Mudawwanah Al-Kubra Li As-Sahnun 1/179, Raudhatu At-Thalibin Li An-Nawawi 1/343, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/82, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/154 dan Al-Istidzkar Li Ibni Abdil Barr 2/158).
([124]) (تَرْعَدُ فَرَائِصُهُمَا) maksudnya adalah gemetar dan bingung disebabkan takut. (الفَرَائِصُ) adalah daging yang berada pada sisi bahu hewan yang selalu bergerak. Dan yang dimaksudkan dalam hadits adalah peluh yang keluar dari saraf leher. (An-Nihayah Li Ibni Al-Atsir 2/234 atau 3/431, 432 dan lihat: Lisanul Arab Li Ibni Mandzur 3/179 atau 7/64,65)
([125]) HR. Abu Dawud no.575, Tirmidzi no. 219 dan dishahihan oleh Al-Albani.
([126]) Mawahibu Al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil Li Al-Hatthab 2/111.
([127]) Al-Fathu Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam As-Syaukani 6/2841. Begitu juga yang dinukilkan oleh As-Sa’diy Al-Maliki dan Al-Ghassaniy di dalam Mawahib Al-Jalil Li Al-Hatthab 2/438.
([129]) Al-Fathu Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam As-Syaukani 6/2842,2843.
([130]) HR. Abu Dawud no.575, Tirmidzi no. 219 dan dishahihan oleh Al-Albani.
([131]) Al-Fathu Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam As-Syaukani 6/2843.
([133]) Al-Fathu Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam As-Syaukani 6/2844.
([134]) Al-Fathu Ar-Rabbani min Fatawa Al-Imam As-Syaukani 6/2847.
([135]) Al-Mawahibu Al-Jalil Li Al-Hatthab 2/440.
([136]) Menurut kesepakatan Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. Hanabilah membolehkan jika di selain tiga masjid, yaitu Masjid Al-Haram, Masjid An-Nabawi dan Masjid Al-Aqsha. (Al-Mabsuth Li As-Sarkhasi 1/247, Al-Bahru Ar-Ra’iq Li Ibni Nujaim 1/367, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/332, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/222, Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbini 1/245, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/133, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/155 dan Fathul Bari Li Ibni Rajab 4/25)
([137]) H.R. Abu Dawud no.574, Tirmidzi no.220, Ahmad no.11426 dan dishahihkan oleh An-Nawawi.
([138]) Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/221.
([139]) Menurut Hanabilah, Daud Adz-Dzohiriy dan pendapat yng dipilih oleh Ibnu Al-Mundzir. (Lihat: Kassyaf Al-Qina’ Li Al-Buhutiy 1/458, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 2/133, Al-Isyraf Li Ibni Al-Mundzir 2/147 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 4/222)
([140]) As-Syarhu Al-Mumti’ Li Ibni Utsaimin 4/162.