Shalat Musafir
Pendahuluan:
Safar dalam bahasa Arab berasal dari kata al-Isfaar, yang artinya dalah الِانْكِشَافِ “Tersingkap” dan الْجَلَاءِ “Kejelasan”. Hal ini karena dengan safar orang-orang meninggalkan tempat tinggalnya sehingga tempat tinggalnya tersingkap, atau dengan safar tersingkap wajah dan akhlak sesoerang, sehingga menjadi nampak apa saja yang sebelumnya tersembunyi. ([1])
Ketika safar seorang akan jauh dari teman-temannya dan hal-hal yang biasa ia temui, sehingga ia akan menemukan kesusahan, letih, dan sebagainya, inilah yang dimaksud dengan adzab dalam sabda Rasulullah:
السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ، يَمْنَعُ أحَدَكُمْ طَعَامَهُ وشَرَابَهُ ونَوْمَهُ، فَإِذَا قَضَى نَهْمَتَهُ، فَلْيُعَجِّلْ إلى أهْلِهِ.
“Safar adalah potongan dari adzab, karena mencegah seorang dari makanan, minuman dan tidurnya, jika ia sudah menyelesaikan kebutuhannya, maka hendaklah segera kembali kepada keluarganya”. ([2])
Karenanya Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang kepada hamba-Nya menurunkan syariat yang mudah dan ringan, sehingga dalam kondisi musafir, seorang mendapatkan tambahan keringanan padahal sebelumnya syariat sudah ringan.
Keringanan yang didapatkan oleh seorang musafir adalah:
- Qashar shalat empat rakaat
- Jama’ antara dua shalat
- Boleh berbuka di siang Ramadhan
- Boleh mengusap dua sepatu selama tiga hari
- Tidak wajib shalat jum’at
Ibnu Rajab menerangkan bahwa safar itu sendiri merupakan sebab dikabulkan doa, sebagaimana dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ثَلاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ: دَعْوَةُ الصَّائِمِ، وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ، وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ.
“Ada tiga doa yang mustajab: doa orang puasa, doa orang musafir dan doa orang terzalimi”. ([3])
Diriwayatkan juga semacam ini dari Ibnu Masúd: “Jika safar semakin jauh, maka semakin lebih mustajab doanya; karena saat itu kondisi jiwa seorang lemah disebabkan semakin asing dari daerah asalnya”. ([4])
Namun, pembahasan kita akan mengarah ke shalat, apa saja hukum-hukum terkait dengan shalat yang berubah atau hukum baru ketika seorang berubah dari muqim menjadi musafir.
Hukum-Hukum
Hukum meng-qashar shalat
Para ulama sepakat bahwa qashar shalat ketika safar disyariatkan, mereka juga sepakat bahwa subuh dan maghrib tidak bisa diqashar.
Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam hukum qashar shalat ([5]) Pendapat yang kuat : Hukum mengqashar shalat adalah sunnah dan menyempurnakannya (menjadi 4 raka’at) adalah makruh. Wallahu a’lam. ([6])
Jarak Safar Yang Boleh Qashar
Terdapat silang pendapat antara ulama dalam jarak safar yang boleh qashar shalat. Ada beberapa pendapat([7]), namun pendapat yang terkuat adalah Safar tidak memiliki batas tertentu, boleh mengqashar di tiap perjalanan yang disebut dengan safar. Ini adalah pendapat Zahiriyah dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Tiamiyah dan muridnya, Ibnu Qayyim. Hal ini karena syari’at tidak pernah memberi batasan jarak tertentu sebagai jarak safar. Karenanya jika seseorang secara ‘urf masyarakat sudah dikatakan musafir maka ia sudah menempuh jarak safar.
Dalil mereka adalah:
1- Firman Allah :
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ…
“Dan apabila kamu bepergian (bersafar) di bumi, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat…” (QS. An-Nisa’ : 101)
Dhahir ayat ini menunjukkan bahwa qashar berkaitan dengan setiap bepergian di bumi tanpa ada batas tertentu.
2- Nabi tidak memberi batas qashar baik dengan waktu maupun tempat, tapi dikaitakan dengan nama safar yang mutlak, maka tidak boleh membedakan antara satu macam dengan lainnya tanpa dalil syar’i, yang wajib adalah memutlakkan apa yang dimutlakkan oleh syariat dan membatasi apa yang diberi batasan.
3- Riwayat dari Ibnu Umar :
صَحِبتُ رسولَ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فكان لا يَزيدُ في السَّفرِ على رَكعتينِ، وأبا بَكرٍ وعُمرَ وعُثمانَ كذلِك رَضِيَ اللهُ عنهم
“Aku menemani Rasulullah, ketika safar beliau tidak shalat lebih dari dua rakaat, dan aku juga menemani Abu Bakar, Umar dan Utsman begitu pula”. ([8])
4- Diriwayatkan bahwa Nabi mengqashar pada jarak kurang dari batas-batas yang telah ditentukan di atas:
Dari Anas, ia berkata : dahulu Rasulullah jika keluar dalam jarak 3 mil atau 3 farsakh, beliau menunaikan shalat dua rakaat. Ini menunjukkan bahwa qashar berkaitan dengan safar mutlak, sekalipun 3 mil atau tiga farsakh. Al-Hafidz berkata : ini adalah hadits paling shahih dan paling jelas yang menunjukkan hal ini.
Dari Anas juga, ia berkata : Aku shalat dhuhur bersama nabi di Madinah empat rakaat, dan shalat asar di Dzul Hulaifah dua rakaat, dan antara keduanya berjarak 3 mil.
- Seandainya safar memiliki batasan niscaya Rasulullah tidak akan lalai dalam menjelaskannya. ([9])
- Batasan dengan perjalan dan hari bukan suatu yang paten juga, karena bisa berubah tergantung kecepatan kendaraan dan jenisnya dan faktor lain. ([10])
Sehingga qashar shalat boleh dilakukan pada setiap bepergian yang disebut dengan safar, baik jarak tersebut pendek atau panjang, karena tidak ada juga batasan dari sisi bahasa, sehingga bisa berbeda tergantung masa yang selalu berkembang dengan sarana transportasi. Standarnya adalah : jika seorang berkata “Aku safar ke negara ini”, bukan hanya bilang pergi, dan hendaklah hal itu dianggap oleh adat kebiasaan sebagai safar, seperti dengan mempersiapkan bekal dan semisalnya. ([11])
Hukum-hukum yang berkaitan dengan jarak safar :
- Jika seseorang bersafar dengan jarak lebih dari 80 km maka tidak usah ragu bahwa ia sedang bersafar, karena Nabi telah menamakan jarak tersebut dengan safar, berdasarkan hadits Abu Hurairah:
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Tidak halal bagi wanita beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar dalam jarak sehari semalam tanpa mahram”. ([12])
- Demikian juga jika sesoerang bepergian kurang dari 4 burud (80 km) dan menurut ‘urf belum termasuk safar maka yakinlah bahwa statusnya bukanlah musafir. Sebagai contoh hingga saat ini jika seseorang bepergian dari Jakarta ke Bogor atau ke Depok maka jaraknya kurang dari 80 km, dan masyarakat tidak menganggapnya sebagai safar.
- Jika seseorang bepergian jauh kurang dari 80 km namun menurut ‘urf masyarakat sudah termasuk safar. Maka menurut pendapat yang kuat jarak ini sudah termasuk safar([13]).
- Yang menjadi ukuran ‘urf adalah úrf masyarakat umu bukan úrf tradisi perorangan. Sebagai contoh orang yang tinggal di Jakarta jika bepergian ke Bandung maka semua orang sepakat bahwa itu adalah safar. Akan tetapi jika bepergian ke Bekasi (meskipun sudah beda kota) maka hingga saat ini masyarakat tidak menganggap bahwa hal itu adalah safar (bepergian jauh). Maka tidak boleh seseorang menganggap hal itu adalah safar karena menurut “nya” (úrf pribadi) adalah safar. Karena yang menjadi patokan adalah úrf masyarakat bukan úrf perorangan.
- Jika ragu dalam ukuran jarak qashar
Seorang yang ragu dalam ukuran jarak perjalannya, apakah sudah memasuki batas safar atau belum, maka tidak boleh qashar dan wajib shalat sempurna empat rakaat, ini disebutkan oleh fuqaha Hanabilah([14]) , dzahir madzhab Malikiyah([15]), dan disebutkan oleh Imam Syafi’i. Beliau berkata :
وَلَكِنْ إِذَا سَافَرَ فِي الْبَحْرِ وَالنَّهْرِ مَسِيْرةً يُحِيْطُ الْعِلْمَ أَنَّهَا لَوْ كَانَتْ فِي الْبَرِّ قُصِرَتْ فِيْهَا الصَّلاَةُ قَصَرَ، وَإِنْ كَانَ فِي شَكٍّ مِنْ ذَلِكَ لَمْ يَقْصُرْ حَتَّى يَسْتَيْقِنَ بِأَنَّهَا مَسِيْرَةُ مَا تُقْصَرُ فِيْهَا الصَّلاَةُ
“Akan tetapi jika safar di laut atau sungai dengan jarak yang diketahui bahwa seandainya di daratan boleh mengqashar shalat maka ia boleh mengqashar, namun jika ragu maka tidak boleh qashar sampai ia yain bahwa ia mencapai jarak qashar shalat”. ([16])
Dan ini sesuai dengan kaidah fiqhiyah “Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”. Yaitu asalnya seseorang tidak dalam kondisi musafir sehingga ia harus sholat dengan sempurna (4 rakaát), maka ia tidak boleh keluar dari hukum asal hingga yakin bahwa statusnya sudah menjadi musafir.
- Disyaratkan untuk boleh qashar harus meniatkan pergi menempuh jarak qashar, jadi kalau ada orang keluar rumah lalu tersesat, atau untuk kebutuhan tertentu dan tidak berniat menempuh jarak qashar, maka tidak boleh mengqashar. Ini berdasarkan kesepakatan madzhab fiqih empat : Hanafiyah([17]), Malikiyah([18]), Syafi’iyah([19]), dan Hanabilah([20]).
- Selama status seseorang adalah musafir (safar dalam rangka apapun, sekalipun dalam rangka maksiat([21])) Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah dan yang lainnya. ([22]) Hal ini karena asal mula shalat disyariatkan dua rakaat, bukan empat rakaat, sekalipun orang tersebut melakukan safar maksiat
Dari mana memulai qashar ketika safar?
Jika seorang musafir telah keluar dari kotanya maka ia sudah boleh mulai mengqoshor sholat([23]). Hal ini berdasarkan hadits Anas berikut:
عَنْ أَنَسٍ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ صَلَّيْتُ الظُّهْرَ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم بِالْمَدِينَةِ أَرْبَعًا وَبِذِي الْحُلَيْفَةِ رَكْعَتَي
“Aku shalat dhuhur bersama Nabi di Madinah empat rakaat, dan di dzul Hulaifah dua rakaat”. ([24])
Ini jelas menunjukkan bahwa nabi memulai qashar setelah keluar dari kota Madinah. Karena ketika itu posisi Dzulhulaifah (yang jauhnya sekitar 6 mil atau 11 km) di luar kota Madinah.
Yang menjadi patokan adalah benar-benar keluar dari kota yang ia tinggali([25]). Demikian pula musafir jika pulang dari safarnya maka ia masih terus boleh mengqoshor sholat hingga ia benar-benar telah masuk ke kota tempat tinggalnya, bukan sekedar melihat dari kejauhan bangunan-bangunan yang ada di kotanya, berdadasarkan riwayat berikut:
عَنْ عَلِيُّ بْنُ رَبِيعَةَ الْأَسَدِيُّ قَالَ: خَرَجْنَا مَعَ عَلِيٍّ وَنَحْنُ نَنْظُرُ إِلَى الْكُوفَةِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَجَعَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَهُوَ يَنْظُرُ إِلَى الْقَرْيَةِ، فَقُلْنَا لَهُ: أَلَا تُصَلِّي أَرْبَعًا؟ قَالَ: «حَتَّى نَدْخُلَهَا».
Dari Ali bin Rabi’ah Al-Asadi berkata : aku keluar bersama Ali dan kami melihat ke Kufah, beliau pun shalat dua rakaat, kemudian kembali dan shalat dua rakaat, ketika beliau melihat ke kota, kami bertanya kepadanya ‘tidakkah engkau shalat empat rakaat?’, beliau pun menjawab ‘sampai
Shalat Sunnah Bagi Musafir
- Shalat Sunnah Rawatib
Imam Nawawi berkata “Para ulama berbeda pendapat tentang disunnahkan shalat nafilah rawatib, Ibnu Umar dan lainnya membencinya, sementara imam syafi’I dan pengikutnya serta jumhur menganjurkan, dalil beliau adalah hadits mutlak tentang disunnahkan rawatib”. ([26])
Pendapat yang kuat adalah disunnahkan meninggalkan shalat sunnah rawatib dalam safar, kecuali shalat sunnah fajr dan shalat witir.
Berdasarkan hadits Ashim bin Umar bin Khaththab :
صَحِبْتُ ابْنَ عُمَرَ فِي طَرِيقٍ – قَالَ – فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أَقْبَلَ فَرَأَى نَاسًا قِيَامًا فَقَالَ مَا يَصْنَعُ هَؤُلاَءِ قُلْتُ يُسَبِّحُونَ. قَالَ لَوْ كُنْتُ مُسَبِّحًا أَتْمَمْتُ صَلاَتِي يَا ابْنَ أَخِي إِنِّي صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِي السَّفَرِ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَصَحِبْتُ أَبَا بَكْرٍ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَصَحِبْتُ عُمَرَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَصَحِبْتُ عُثْمَانَ فَلَمْ يَزِدْ عَلَى رَكْعَتَيْنِ حَتَّى قَبَضَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَقَدْ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ (لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ ).
“Aku menemani Ibnu Umar di jalan, lalu ia shalat bersama kami dua rakaat, setelah itu ia menghadap kami dan melihat orang-orang berdiri, ia pun bertanya ‘Apa yang mereka lakukan?’ aku jawab ‘Melakukan shalat sunnah’. Ia berkata ‘Seandainya aku melakukan shalat sunnah maka aku akan sempurnakan shalatku, wahai anak saudaraku sesungguhnya aku menemani Rasulullah dalam safar, beliau tidak shalat lebih dari dua rakaat sampai Allah wafatkan, dan aku menemani Abu Bakar beliau tidak shalat lebih dari dua rakaat sampai Allah wafatkan, dan aku menemani Umar beliau tidak shalat lebih dari dua rakaat sampai Allah wafatkan dan aku menemani Utsman beliau tidak shalat lebih dari dua rakaat sampai Allah wafatkan, dan Allah berfirman : ‘Sesungguhnya bagi kalian dalam diri Rasulullah terdapat suri tauladan’”. ([27])
- Shalat Sunnah Fajar
Adapun sunnah fajr dan witir tidak ditinggalkan walaipun saat safar, berdasarkan hadits Aisyah tentang shalat sunnah fajar, bahwa Rasulullah tidak pernah meninggalkannya satu kali pun. ([28]) dan hadits Abu Qatadah tentang Rasulullah dan para sahabat beliau tertidur saat safar sehingga terlewatkan shalat fajar hingga terbit matahari, lalu Bilal pun mengumandangkan adzan shalat dan Rasulullah shalat dua rakaat (sebelum sholat subuh), baru kemudian shalat subuh sebagaimana beliau lakukan tiap hari. ([29])
- Shalat Sunnah Witir
Adapun sunnah witir, maka berdasarkan hadits Abdullah bin Umar, beliau berkata “Rasulullah pernah shalat dalam safar di atas kendaraan beliau ke manapun hewan tunggangan beliau mengarah, beliau berisyarat untuk shalat malam kecuali untuk shalat fardhu, dan beliau melakukan witir di atas kendaraan” dalam lafadz lain “beliau shalat witir di atas unta”. ([30])
Ibnul Qayyim berkata : “Beliau selalu menjaga sunnah fajar lebih daripada shalat nafilah yang lain, dan beliau tidak pernah menginggalkan shalat tersebut dan shalat witir baik ketika safar maupun muqim.. tidak dinukil dari beliau dalam safar bahwa beliau shalat sunnah rawatib selainnya”. ([31])
- Shalat Sunnah Lainnya
Adapun shalat tathawwu’ mutlak maka disyariatkan ketika muqim dan safar secara mutlak, seperti shalat dhuha, shalat tahajjud pada malam hari, seluruh nafilah mutlak, shalat dzawatul asbab seperti shalat sunnah wudhu, sunnah thawaf, shalat kusuf, shalat tahiyyatul masjid dan lainnya. ([32])
Imam Nawawi berkata : “Para ulama sepakat bahwa disunnahkan shalat nawafil mutlak ketika safar…”.([33])
جابرِ بنِ عبدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عنهما، قال: كان النبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُصلِّي التطوُّعَ وهو راكبٌ في غيرِ القِبلةِ
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata : Dahulu Nabi shalat sunnah dalam berkendara tidak menghadap kiblat. ([34])
Syaikh Utsaimin menjelaskan bahwa ال dalam lafadz hadits التَّطَوُّع menunjukkan istighraq yaitu mencakup segala macam tathawwu’, dan hukum asal adalah shalat sunnah tetap disyariatkan dan tidak berubah sampai ada dalil yang memerintahkan untuk ditinggalkan, dan ternyata tidak ada dalil yang menunjukkan untuk ditinggalkan kecuali pada shalat rawatib dhuhur, maghrib dan isya’. ([35])
Masa Qashar Selama di Tempat Tujuan Safar
Seorang musafir tetap disyariátkan mengqashar shalat selama di dalam perjalanan safarnya selama belum sampai tempat tujuannya, sekalipun dalam waktu yang lama.
Namun jika ia telah sampai ke kota yang ia tuju, maka berapa masa yang disyariatkan qashar di sana? Menurut pendapat yang kuat adalah ia boleh tetap mengqoshor selama 19 hari, jika ia tetap menetap lebih dari 19 hari makai a menyempurnakan (itmam) sholatnya. Yaitu ia wajib untuk menyempurnakan sholatnya sejak hari ke 20 dan seterusnya([36]).
Musafir Shalat di belakang Imam Muqim
Ada tiga keadaan: ([37])
- Menjumpai shalat imam tiga atau empat rakaat, maka harus menyempurnakan jumlah rakaat shalat dengan menunaikan empat rakaat menurut pendapat jumhur, yang menyelisihi adalah Ibnu Hazm.
Dalilnya adalah keumuman hadits Abu Hurairah :
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلاَ تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ …
“Imam adalah untuk diikuti, maka jangan kalian selisihi …” ([38])
Riwayat dari Ibnu Umar :
أَنَّهُ كَانَ يُقِيْمُ بِمَكَّةَ عَشْرًا فَيَقْصُرُ الصَّلاَةَ إِلاَّ أَنْ يَشْهَدَ الصَّلاَةَ مَعَ النَّاسِ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِمْ
“Beliau (Ibnu Umar) tinggal di Makkah sepuluh hari mengqashar shalat, kecuali jika shalat bersama orang-orang maka beliau melakukan shalat sebagaimana mereka shalat”. ([39])
- Menjumpai shalat imam satu atau dua raakat saja, maka terdapat dua pendapat di kalangan ulama :
- Harus menyempurnakan empat rakaat, ini adalah madzhab jumhur, termasuk imam empat, pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
Dalil mereka adalah dalil-dalil pada keadaan pertama di atas, dan riwayat dari Abu Mijlaz :قُلْتُ لِابْنِ عُمَرَ : الْمُسَافِرُ يُدْرِكُ رَكْعَتَيْنِ مِنْ صَلاَةِ الْقَوْمِ يَعْنِي الْمُقِيْمِيْنَ أَتُجْزِيْهِ الرَّكْعَتَانِ أَوْ يُصَلِّي بِصَلاَتِهِمْ؟ قَالَ : فَضَحِكَ وَقَالَ “يُصَلِّي بِصَلاَتِهِمْ”Aku bertanya kepada Ibnu Umar : seorang musfir mendapati dua rakaat shalat suatu kaum yang muqim, apakah cukup shalat dua rakaat ataukan shalat seperti mereka? Beliau pun tertawa dan berkata “Shalat sebagaimana mereka shalat”. ([40])
- Cukup dua rakaat saja, ini adalah pendapat Ishaq, Thawus, As-Sya’bi, Ibnu Hazm dan lainnya.
- Harus menyempurnakan empat rakaat, ini adalah madzhab jumhur, termasuk imam empat, pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
- Mendapati shalat imam kurang dari satu rakaat, maka pendapat Al-Hasan, An-Nakha’i, Az-Zuhri, Qatadah dan Malik adalah boleh qashar, dalil mereka adalah karena ia tidak mendapati hukum jama’ah, dan untuk dikatakan menjumpai shalat adalah minimal mendapati satu rakaat.
Ma’mum Muqim Shalat di Belakang Imam Musafir
Jika seorang muqim menunaikan shalat yang berjumlah empat rakaat di belakang imam musafir maka para ulama sepakat bahwa ia harus menyempurnakan shalatnya empat rakaat setelah imam salam. ([41])
Dasarnya adalah riwayat dari Ibnu Umar :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَدِمَ مَكَّةَ صَلَّى لَهُمْ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا أَهْلَ مَكَّةَ أَتِمُّوا صَلاَتَكُمْ فَإِنَّا قَوْمٌ سَفَرٌ.
“Umar jika datang ke Makkah shalat dua rakaat, lalu berkata : wahai penduduk Makkah sempurnakan shalat kalian, karena kami adalah kaum yang musafir”.([42])
Jama’ Shalat
Sebab-Sebab Jamak
Jama’ Shalat Ketika Safar
Seorang musafir boleh menjama’ shalat antara dhuhur dan asar serta maghrib dan isya dengan jama’ taqim maupun ta’khir pada safar yang membolehkan qashar. Ini adalah pedapat mayoritas ulama diantaranya madzhab Syafiiyah dan Hanabilah ([43]).
Dalil mereka adalah hadits Anas berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ.
“Jika nabi bepergian sebelum tergelincir matahari maka beliau mengakhirkan dhuhur hingga waktu asar kemudian menjama’ antara keduanya, dan apabila sudah tergellincir maka beliau shalat dhuhur kemudian beliau pergi”. ([44])
Dan berdasarkan hadits muadz:
عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا.
“Kami pergi bersama Rasulullah dalam perang tabuk, beliau shalat dhuhur dan asar dengan jama’, dan maghrib dan isya dengan jama’”. ([45])
Jama’ Shalat Ketika Sakit
Orang yang sakit boleh menjamak antara dzuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’, ini adalah pendapat madzhab Hanbali ([46]) dan madzhab Maliki ([47])
Dalil mereka adalah riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata :
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ.
“Rasulullah menjama’ antara dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ di Madinah dalam keadaan tidak takut dan tidak ada hujan”.
Dalam riwayat lain:
فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ سَفَر
“Dalam keadaan tidak takut dan tidak safar”.
Ibnu Ábbas lalu ditanya, مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ؟ “Lantas apa tujuan beliau melakukan jamak tersebut?”. Ibnu Ábbas berkata, أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ “Nabi ingin agar tidak memberatkan umatnya”. Dalam riwayat yang lain أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ “Nabi tidak ingin merepotkan seorang pun dari umatnya” ([48])
Dan berdasarkan riwayat Abu Dawud dan Ahmad bahwa Rasulullah memerintahkan Sahlah binti Suhail dan Hamnah binti Jahsy ketika istihadhah untuk mengakhirkan dhuhur dan menyegerakan asar dengan menjama’ antara keduanya dengan sekali mandi. (HR. Abu Dawud 287 dan Ahmad no 25130, dihasankan Syaikh Al-Albani dalam sunan Abu Dawud)
Jama’ karena hujan, salju, dingin dan semisalnya
Mayoritas ulama berpendapat boleh jama’ disebabkan hujan yang membuat baju basah, begitu juga salju dan dingin. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Abbas, beliau berkata:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ.
“Rasulullah menjama’ antara dhuhur dan asar, dan antara maghrib dan isya’ di Madinah dalam keadaan tidak takut dan tidak ada hujan”. ([49])
Hadits ini jelas menunjukan bahwa “Ketakutan” dan “Hujan” merupakan sebab yang dijadikan Nabi shallallahu álaihi wasallam untuk menjamak sholat. ([50])
Jama’ disebabkan angin kencang
Secara umum segala halangan yang berat (yang tidak biasanya) dan merepotkan menjadikan seseorang boleh untuk menjamak sholat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
وَأَمَّا الْجَمْعُ فَسَبَبُهُ الْحَاجَةُ وَالْعُذْرُ، فَإِذَا احْتَاجَ إلَيْهِ جَمَعَ فِي السَّفَرِ الْقَصِيرِ، وَالطَّوِيلِ وَكَذَلِكَ الْجَمْعُ لِلْمَطَرِ وَنَحْوِهِ، وَلِلْمَرَضِ وَنَحْوِهِ، وَلِغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْأَسْبَابِ، فَإِنَّ الْمَقْصُودَ بِهِ رَفْعُ الْحَرَجِ عَنْ الْأُمَّةِ
“Adapun menjamak shalat, maka sebabnya adalah karena ada kebutuhan dan udzur, apabila seseorang membutuhkan untuk menjamak shalat maka boleh baginya untuk menjamak seperti dalam safar yang pedek atau yang jauh, menjamak ketika hujan, menjamak karena sakit, dan karena sebab-sebab lainnya, karena intinya adalah mengangkat kesulitan untuk ummat.” ([51])
Hal ini sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Ábbas : أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ “Nabi tidak ingin merepotkan seorang pun dari umatnya”
Dengan demikian boleh jama’ disebabkan angin kencang yang dingin; karena ada kesulitan, dengan syarat angin tersebut kencang; dan berbeda dari biasanya, adapun jika angin biasa maka tidak boleh jama’. Terlebih lagi ditambah jika angina tersebut dingin. ([52])
Kapan boleh menjama’ shalat? ([53])
- Orang yang haji menjama’ taqdim antara duhur dan asar di Arafah.
- Jama’ bagi musafir antara dhuhur dan asar, maghrib dan isya’ dengan jama’ taqdim menurut jumhur ulama, berbeda dengan madzhab hanafiyah
- Jama’ bagi orang sakit, jama’ taqdim menurut menurut madzhab malikiyah dan hanabilah
- Jama’ taqdim antara maghrib dan isya’ karena hujan, salju, dan dingin menurut jumhur ulama (malikiyah, syafiiyah, hanabilah) syafiiyah menambah boleh antara dhuhur dan asar juga.
- Jama’ boleh jika dalam kondisi jalan berlumpur dan gelap menurut malikiyah, hanabilah membolehkan walaupun sekedar lumpur dalam salah satu riwayat dan disetujui oleh Ibnu Qudamah
- Boleh jama’ karena ketakutan menurut hanabilah
- Boleh jama’ karena angin kencang di malam yang gelap dan dingin menurut hanabilah dalam salah satu pendapat dan disetujui oleh Al-Amidi.
FOOTNOTE:
([1]) Lihat Mu’jam Mqooyiis Al-Lughoh 3/82 dan Lisanul Arab 4/368
([2]) HR. Bukhari 1804 dan Muslim 1927
([3]) HR. Abu Dawud 1536, Tirmidzi 3442 dan beliau menilai hadits ini hasan.
([4]) Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam, Ibnu Rajab 2/287
([5]) 4 pendapat tersebut (Lihat Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd hlm. 400-401, tahqiq : Muhammad Shubhi Hallaq):
- Qashar hukumnya fardhu ‘ain. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, madzhab Zahiriyah
- Qashar dan itmam (empat rakaat) keduanya wajib mukhayyar (boleh memilih antara keduanya seperti dalam hukum kaffarah). Ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah.
- Qashar adalah sunnah. Ini riwayat yang paling masyhur dari Imam Malik, dan merupakan pendapat Hanabilah.
- Qashar adalah rukhshah (keringanan) dan itmaam (menyempurnakan 4 rakát) lebih utama. Ini adalah pendapat yang paling masyhur dari riwayat syafi’iyah.
Sebab perbedaan pendapat tersebut terbagi menjadi tiga poin utama: (Lihat : Bidayatul Mujtahid, Ibnu Rusyd hlm. 401-403)
- Tujuan dari qashar shalat bagi musafir adalah rukhshah disebabkan adanya kesusahan, sebagaimana halnya keringanan untuk tidak berpuasa, dikuatkan dengan hadits Ya’la bin Umayyah : Aku berkata kepada Umar bin Khatthab tentang ayat :
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا
“tidaklah berdosa kamu mengqashar shalat jika kamu takut diserang orang kafir” (QS. An-Nisa’ : 101)
Padahal manusia sudah dalam keadaan aman. Maka Umar berkata : aku juga dahulu heran sebagaimana engkau heran, maka aku bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu, lantas beliau bersabda:
صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ
“Itu adalah sedekah yang Allah berikan untuk kalian, maka terimalah sedekah-Nya”.( HR. Muslim no: 686, Abu Dawud no : 1199 dan lainnya.)
Sehingga qashar adalah keringanan dan keringanan tidak wajib dilakukan.
- Mafhum dalil di atas menunjukan bahwa qashar adalah rukhshah (dari empat rakaat menjadi dua rakaat). Namun ada dalil yang bertentangan dengan mafhum tersebut, yang menunjukkan bahwa shalat pada asalnya memang dua rakaat, bukan empat. Sehingga qashar bukanlah rukhshah, tapi ázimah (hukum asal). Yaitu hadits Aisyah yang telah disepakati keshahihannya, beliau berkata :
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الْحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِي صَلاَةِ الْحَضَرِ
“(Awalnya) shalat diwajibkan dalam dua rakaat – dua rakaat ketika safar maupun tidak safar, kemudian ditetapkanlah shalat safar demikian, dan ditambah untuk shalat tidak safar”.( HR. Bukhari no: 1084 dan Muslim no: 695)
Diriwayatkan juga dari sejumlah sahabat bahwa mereka menyempurnakan shalat di belakang Utsman bin Affan ketika shalat di Mina, (Lihat : HR. Bukhari no: 350 dan Muslim no: 685) para sahabat shalat empat rakaat di belakang beliau sedangkan mereka mengingkarinya dalam hati, bahkan Ibnu Masúd mengucapkan istirja’. Tapi ini bisa dijawab bahwa mereka melakukannya karena mengikuti imam, hanya saja ini menunjukkan bahwa menyempurnakan shalat bukanlah perbuatan maksiat, karena jika menyempurnakan sholat (ketika safar) adalah maksiat tentu para sahabat tidak akan mengikutinya.
- Perbuatan Rasulullah, setiap kali beliau safar selalu mengqashar shalat, dan tidak ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa beliau menyempurnakan shalat ketika safar.
Ibnul Qayyim menyebutkan : “Rasulullah mengqashar shalat yang empat rakaat dengan mengerjakan dua rakaat ketika keluar untuk safar sampai kembali ke Madinah, dan tidak ada yang benar satupun bahwa beliau menyempurnakan shalat yang empat rakaat ketika safar, adapun hadits Aisyah bahwa Nabi mengqashar dan menyempurnakan ketika safar, berbuka dan berpuasa, maka tidak shahih. Aku mendengar syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata : ini adalah dusta atas nama Rasulullah”. (Zadul Ma’ad 1/472 cet. Ar-Risalah)
Adapun hadits Anas bin Malik dalam Shahih Bukhari:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمْ يَعِبِ الصِّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ، وَلاَ الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ.
“Kami dahulu safar bersama Nabi, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang berpuasa”. (HR. Bukhari no: 1947)
Maka hadits ini tidak menyebutkan tentang qashar atau itmam, dan riwayat Anas yang menyebutkan qashar atau itmam tidak shahih.
([6]) Silahkan membaca keterangan dari Ibnu Taimiyah di Majmu’ Fatawa 24/8-9
([7]) Secara umum ada tiga pendapat:
Pertama : Adalah pendapat yang terkuat sebagaimana yang dijelaskan di atas.
Kedua : Batas safar : 48 mil, setara dengan sekitar 80 kilometer. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Hasan Al-Bashri dan Az-Suhri, ini adalah madzhab Malik, Laits Syafi’I, Ahmad, Ishaq dan Abu tsaur. Dalil mereka adalah :
- Hadits Nabi : hadits Abu Hurairah :
لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا حُرْمَةٌ
“Tidak halal bagi wanita beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar dalam jarak sehari semalam tanpa mahram”. (HR. Bukhari no : 1088 dan Muslim no : 3332)
Hadits ini menunjukan bahwa bepergian jauh dengan jarak perjalan sehari semalam dinamakan dengan safar. Sementara jarak perjalanan sehari semalam di zaman itu adalah 4 burud yaitu sekitar 48 mil atau 80 km
- Riwayat Ibnu Abbas secara marfu’, “wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar shalat jika kurang dari 4 burud dari Makkah ke ‘Usfan”. Namun ini riwayat munkar dan tidak shahih.
- Riwayat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas bahwa mereka berdua mengqashar dan berbuka di batas 4 burud, setara dengan 16 farsakh.
- Di batas empat bariid sudah terkumpul susah dan beratnya safar, maka boleh qashar di batas tersebut.
Ketiga : Batas safar : perjalanan 3 hari 3 malam dengan perjalanan unta. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghafalah, As-Sya’bi, An-Nakhai dan madzhab Abu Hanifah. Dalil mereka adalah :
- Hadits Ibnu Umar, dari Nabi bahwa beliau bersabda :
لا تُسَافِرِ الْمَرْأَةُ ثَلاثَةَ أَيَّامٍ إِلا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar tiga hari kecuali bersama mahram”. (HR. Bukhari no: 1086 dan Muslim no : 1338)
- Hadits Ali bin Abi Thalib tentang mengusap khuffain :
جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
“Rasulullah menjadikan tiga hari tiga malam untuk musafir dan sehari semalam untuk muqim”. (HR. Muslim no : 661)
- Angka tiga adalah batas minimal untuk disebut banyak dan batas maksimal untuk sesuatu yang sedikit, tidak boleh qashar untuk safar yang sedikit, maka batas minimal untuk disebut banyak menjadi penentu, yaitu tiga.
([8]) HR. Bukhari no : 1102 dan Muslim no : 689
([9]) Al-Muhalla, Ibnu Hazm 5/21
([10]) Al-Muhalla, Ibnu Hazm 5/16
([11]) Pembahasan ini merujuk pada Shahih Fiqh Sunnah 1/479-481
([12]) HR. Bukhari no : 1088 dan Muslim no : 3332
([13]) Dan kondisi seperti ini biasanya masih tetap berlaku di daerah-daerah bukan di kota-kota besar. Karena di daerah-daerah biasanya rumah dan bangunan tidak terus bersambung, sehingga antara satu kota ke kota yang lain biasanya hanya jalan dan kosong dari pemukiman. Maka meskipun jarak antara satu kota dengan kota yang lain kurang dari 80 km namun masyarakat menganggapnya sebagai jarak safar. Lain halnya dengan kota-kota besar yang jalan antara satu kota dengan kota yang lain dipenuhi dengan bangunan yang bersambung dan keramaian, sehingga jarak yang jauhpun masih belum dianggap safar oleh masyarakat. Wallahu a’lam.
([15]) Syarh Mukhtashar Khalil, Al-Kharasyi 2/60
([16]) Al-Umm, As-Syafi’I 1/216
([17]) Fathul Qadir, AL-Kamal Ibnu Al-Humam 2/28
([18]) Syarh Mukhtashar Khalil, Al-Kharasyi 2/57
([19]) Al-Majmu’, An-Nawawi 4/334
([20]) Kasysyaful Qina’, Al-Buhuti 1/506
- Safar Haram. Yaitu melakukan safar untuk melakukan apa yang diharamkan Allah atau Rasul-Nya, contohnya safar untuk berdagang khamr, barang-barang haram, merampok, atau wanita yang safar tanpa mahram.
- Safar wajib. Seperti safar untuk menunaikan kewajiban haji, umrah wajib, atau jihad wajib.
- Safar Mustahab. Seperti safar untuk umrah sunnah, haji sunnah, atau jihad sunnah.
- Safar Mubah. Seperti safar untuk perdagangan yang mubah dan untuk setiap hal yang hukumnya diperbolehkan.
- Safar Makruh. Seorang safar sendiri pada malam hari tanpa kawan kecuali untuk urusan yang mendesak, berdasarkan sabda rasulullah ﷺ :
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي الْوَحْدَةِ مَا أَعْلَمُ مَا سَارَ رَاكِبٌ بِلَيْلٍ وَحْدَهُ
“Sekiranya manusia mengetahui apa yang aku ketahui dalam kesendirian, niscaya tidak ada orang yang berjalan dengan kendaraan pada malam hari sendirian”. (HR. Bukhari no: 2998)
([22]) Fathul Qadir 1/47, Al-Kharasyi 1/57, Al-Muhalla 4/267, Majmu’ Fatawa 24/110
Adapun pendapat jumhur ulama maka tidak disyariatkan qashar kecuali pada safar wajib atau mubah, tidak boleh pada safar maksiat, seperti perampok dan semisalnya. Ini adalah madzhab Malik, Syafi’I dan Ahmad.(Bidayatul Mujtahid 1/244, Al-Majmu’ 4/201, Al-Mughni 2/101, Kasyyaful Qina’ 1/324)
Alasan mereka adalah : Karena qashar adalah rukhsah dan tujuannya adalah untuk meringankan beban taklif, dan hanya disyariatkan agar mendapat maslahat, maka tidak berhak didapatkan kecuali untuk orang yang melakukan ketaatan, dan tidak berhak didapatkan oleh orang yang mengungunakannya untuk mengundang kemurkaan Allah.
Namun yang lebih kuat adalah pendapat pertama karena masalah qoshor sholat berkaitan dengan status seseorang musafir atau bukan, bukan berkaitan dengan tujuan safarnya. Wallahu a’lam.
([23]) Al-Ijma’, Ibnu Mundzir hlm. 39, Al-Mughni 2/260.
([24]) HR. Bukhari no: 1089 dan Muslim no 1613
([25]) Ada beberapa pendapat mulai kapan seseorang yang bersafar sudah boleh mengqoshor sholat.
Pertama : Meskipun masih di rumah jika tujuannya memang bersafar, maka ia sudah boleh mengqoshor sholat di rumahnya. Ini adalah pendapat sebagian salaf.
Kedua : Ia sudah boleh mengqoshor jika ia telah naik tunggangan/kendaraannya
Ketiga : Jika ia keluar dari rumah siang hari maka ia hanya boleh mengqoshor jika telah masuk malam hari. Dan jika ia keluar di malam hari maka ia tidak boleh mengqoshor keculai jika telah masuk siang hari. Ini adalah pendapat Mujahid
Keempat : Jika ia telah meninggalkan dinding rumahnya maka ia sudah boleh mengqoshor. Ini adalah pendapat Áthoo (semua pendapat di atas sebagaimana dinukil oleh An-Nawawi di Al-Majmuu’ 4/349 dan Ibnu Hajar di Fathul Baari 2/569-570)
Kelima : Jika ia telah keluar bangunan negerinya (إِذَا فَارَقَ عَامِرَ قَرْيَتِهِ) atau hingga dia keluar dari negerinya (حَتَّى يَبْرُزَ مِنَ الْبَلَدِ) dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
Inilah pendapat yang benar.
Ibnu Hajar berkata :
أَنَّ الْقَصْرَ يُشْرَعُ بِفِرَاقِ الْحَضَرِ وَكَوْنُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَقْصُرْ حَتَّى رَأَى ذَا الْحُلَيْفَةِ إِنَّمَا هُوَ لِكَوْنِهِ أَوَّلَ مَنْزِلٍ نَزَلَهُ وَلَمْ يَحْضُرْ قَبْلَهُ وَقْتُ صَلَاةٍ وَيُؤَيِّدُهُ حَدِيثُ عَائِشَةَ فَفِيهِ تَعْلِيقُ الْحُكْمِ بِالسَّفَرِ وَالْحَضَرِ فَحَيْثُ وُجِدَ السَّفَرُ شُرِعَ الْقَصْرُ
“Sesungguhnya qoshr disyariátkan dengan meninggalkan al-hador (iqomah). Adapun Nabi shallallahu álaihi wasallam tidak sholat qoshor hingga melihat Dzulhulaifah hanyalah karena itu adalah tempat pertama beliau singgah, dan sebelumnya belum tiba waktu sholat. Hal ini didukung dengan hadits Aisyah bahwasnya hukum dikaikan dengan safar dan iqomah, maka kapan ada safar maka disyariátkan qoshor” (Fathul Baari 2/570)
Namun perlu diingat bahwa di zaman Nabi namanya kota hanyala kota kecil dan tidak seluas kota-kota sekarang yang bisa panjangnya puluhan kilometer. Dan kota-kota sekarang terdiri atas kecamatan-kecamatan atau kota-kota kecil. Seperti DKI Jakarta terdiri atas Kota Jakarta Timur, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakrata Pusat, dan kota Jakarta Utara. Jika seseorang hanya boleh mengqoshor jika telah meninggalkan kota Jakarta itu berarti ia harus berjalan berpuluh-puluh kilo baru boleh mengqoshor. Tentu hal ini bertentangan dengan tujuan disyariátkannya qohsor itu sendiri, yaitu untuk memudahkan. Wallahu a’lam.
Selain itu pendapat sebagian salaf (seperti bolehnya mengqoshor meski masih di rumah, atau jika sudah naik kendaraan, atau jika telah meninggalkan dinding rumahnya) ini semua dibangun diatas memberikan keringanan bagi orang yang bersafar. Karenanya jika seseorang tinggal di Jakarta Timur lantas ia telah meninggalkan Jakarta Timur dan telah masuk di Jakarta Selatan maka ia sudah boleh qoshor insya Allah.
Dengan demikian seseorang sudah boleh mengqoshor sholat jika sudah di Bandara Soekarno Hatta, hal ini karena Bandara Soekarno Hatta terletak bukan di Jakarta tapi di Propinsi Tanggerang. Demikian juga seseorang yang tinggal di Jakarta Selatan jika bersafar melalui Bandara Halim Perdana Kusuma, maka ia sudah boleh mengqoshor karena Bandara Halim terletak di Jakarta Timur, sudah lain kota. Wallahu a’lam bis showab.
Adapun seseorang yang tinggal di Jakarta Timur jika telah tiba di Bandara Halim Perdana Kusuma maka ia belum boleh mengqoshor kecuali jika Pesawat telah terbang, karena Bandara Halim juga terletak di Jakarta Timur.
([26]) Syarh Shaih Muslim, Imam Nawawi 5/205
([27]) HR. Bukhari no: 1101 dan Muslim no 689
([28]) HR. Bukhari no: 1159 dan Muslim no 724
([30]) HR. Bukhari no : 999 dan Muslim no 700
([32]) Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Ibnu Baz 11/390-391
([33]) Syarh Shaih Muslim, Imam Nawawi 5/205
([34]) HR. Bukhari no : 1094 dan Muslim no : 540
([35]) Majmu’ Fatawa wa Rasail, Al-Utsaimin 24/419
([36]) Masalah ini terbagi menjadi dua bagian :
- Jika memiliki kebutuhan dan tidak tahu kapan selesainya, jika selesai hari ini maka pulang, dan jika selesai besok maka pulang besok dan seterusnya. Maka kondisi ini boleh mengqashar shalat sekalipun dalam waktu lama, bahkan sekalipun melewati dua tahun. Dan inilah yang dimaksud oleh sebagian atsar sahabat seperti atsar ibnu umar tatkala di Azerbaijan tinggal selama enam bulan mengqashar shalat.
- Jika menentukan waktu tinggalnya. Maka terdapat perselisihan pendapat antara ulama dalam penentuan batas tersebut, apakah 4 hari atau satu pekan ataukah berapa?
Terdapat hadits Anas :
أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم عَشْرًا نَقْصُرُ الصَّلاَةَ
“Kami tinggal bersama Nabi selama sepuluh hari mengqashar shalat”
Hadits Ibnu Abbas :
أَقَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم بِمَكَّةَ تِسْعَةَ عَشَرَ يَوْمًا يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ
“Nabi tinggal di Makkah selama 19 hari shalat dua rakaat”
Dan dalam riwayat kedua dari Ibnu Abbas “Kami tinggal ketika safar” tanpa menyebutkan nama tempatnya.
Dhahir hadits ini ada pertentangan:
Hadits Anas adalah ketika haji wada’ dan itulah safar ketika Rasulullah tinggal selama sepuluh hari, karena beliau datang pada tanggal 4 dan meniggalkannya pada tanggal 14. Sedangkan hadits Ibnu Abbas adalah dalam Fathu Makkah, dan masa Rasulullah ketika safar fathu Makkah adalah lebih dari 80 hari (lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar 8/21).
Madzhab Jumhur adalah jika niat tinggal lebih dari 4 hari adalah tidak boleh qashar lagi, dalil mereka adalah Nabi tinggal selama 4 hari mengqashar shalat ketika haji wada’. Karena beliau datang pada pagi hari tanggal 4 Dzul Hijjah dan menetap di Al-Abtah selama empat hari sampai pada tanggal 8 mengqashar shalat.
Akan tetapi pendapat jumhur ini perlu ditinjau ulang:
- Karena masa beliau menetap itu adalah kebetulan, dan siapa yang dapat memastikan bahwa jika beliau tiba pada tanggal 3 atau 2 tidak mengqashar shalat?
- Dan batasan 4 hari ini sekalipun menjadi pendapat mayoritas para ahli fikih, namun tidak dinukil dari satu sahabatpun.
Pendapat yang tidak kalah kuat adalah yang menyatakan bahwa batasnya adalah 19 hari untuk boleh qashar shalat, jika tinggal lebih dari itu maka tidak boleh qashar dan harus menyempurnakan shalat, sehingga batas rukhshah qashar adalah 19 hari. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan ini terdapat dalam Shahih Bukhari.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: أَقَمْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ تِسْعَ عَشْرَةَ نَقْصُرُ الصَّلاَةَ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: ” وَنَحْنُ نَقْصُرُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ تِسْعَ عَشْرَةَ، فَإِذَا زِدْنَا أَتْمَمْنَا.
“Kami berdiam bersama Nabi ketika safar selama 19 hari mengqashar shalat” dan beliau (Ibnu Ábbas) berkata “Dan kami tetap mengqashar selama 19 hari, jika kami lebih dari 19 hari maka kami sholat itmaam (4 rakaát)”.(HR. Bukhari no : 4299)
Dhamir atau kata ganti “Kami” yang dimaksud adalah sahabat, ini adalah dalil yang kuat, karena secara sanad terdapat dalam shahih Bukhari, dan karena dinukil dari sahabat, Imam Bukhari dalam shahihnya cenderung pada pendapat ini dan pendapat Ishaq, dan batas masa ini lebih mendekati batas yang dianggap safar secara urf, karena orang yang tinggal selama sebulan atau dua bulan tentu orang-orang akan menganggapnya sebagai seorang muqim dan bukan musafir lagi. (Diringkas dari penjelasan Syaikh Sa’ad Al-Khatslan. https://saadalkhathlan.com/2478)
([37]) Shahih Fiqh Sunnah 1/488-489
([38]) HR. Bukhari no : 722 dan Muslim no : 948
([39]) HR. Malik dalam Al-Muwattha riwayat Muhammad bin Hasan no : 197
([40]) HR. Al-Baihaqi 3/157, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil 3/22
([41]) Sumber utama bab ini adalah: Al-Fiqh Al-Muyassar, karya: Prof. Dr. Abdullah At-Thayyar, Prof. Dr. Abdullah Al-Muthlaq dan Dr. Muhammad bin Ibrahim Al-Musa 1/414-420
([42]) HR. Malik no 195, Ibnu Abi Syaibah 1/419, Abdurrazzaq no : 4369 dan Al-Baghawi no : 1024
([43]) Adapun pendapat madzhab Hanafi maka tidak boleh jama’ kecuali pada hari ara’fah dan dilakukan di Arafah dan pada malam muzdalifah dilakukan di muzdalifah. Jika dijama’ selain itu maka shalatnya rusak sebagaimana orang yang mendahulukan shalat fardhu sebelum masuk waktunya. (lihat Raddul Muhtaar ‘ala Durril Mukhtar 1/256)
Dalil mereka adalah :
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
“Sungguh, shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. (QS. An-Nisa’: 103)
Hadits Abdullah bin Mas’ud:
عَنْ عَبْدِ اللهِ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى صَلاَةً بِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلاَّ صَلاَتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ وَصَلَّى الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا.
“Aku tidak pernah melihat nabi melakukan shalat di luar waktunya kecuali dua shalat saja, yaitu ketika menjama’ antara maghrib dan isya, dan shalat subuh sebelum masuk waktunya”.(HR. Bukhari no 1682) yaitu ketika pada saat bermalam di muzdalifah beliau menjamak sholat maghrib dan Isya dan ketika di pagi subuh beliau bersegera sholat subuh begitu terbit fajar, tidak menunggu lama untuk iqomat sebagaimana biasanya.
Sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam :
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ عَلَى مَنْ لَمْ يُصَلِّ الصَّلاَةَ حَتَّى يَجِيءَ وَقْتُ الصَّلاَةِ الأُخْرَى
“Tidur bukanlah merupakan kelalaian, akan tetapi kelalaian adalah oran yang tidak mengerjakan shalat hingga datang waktu shalat berikutnya”. (HR. Muslim no 681)
Adapun hadits-hadits nabi yang menunjukkan beliau jama’ shalat selain itu maka ditakwilkan bahwa itu adalah jama’ shuri yaitu menggabungkan dalam pengerjaan bukan dalam waktu. Adapun jama’ yang mereka bolehkan di atas bukan karena rukhshah, tapi karena itu adalah salah satu bagian dari manasik.
([44]) HR. Bukhari no 1111 dan Muslim no 1659
([46]) Adapun pendapat yang masyhuur dari madzhab Syafiíyyah maka tidak boleh jama’ karena sakit, karena tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah menjama’ shalat karena sakit, padahal beliau sering tertimpa sakit keras (Lihat al-Majmuu’ Syarh al-Muhadzzab 4/384).
Namun pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yaitu boleh menjama’ karena sakit, sebab kesulitan yang didapatkan dengan sebab sakit lebih besar dibandingkan karena sebab safar, dan karena nabi ingin mengangkat kesulitan dari umatnya, karenanya Ibnu Abbas ketika ditanya sebab jama’ rasulullah, ia menjawab: “Beliau (Nabi) tidak ingin mempersulit umatnya”. (HR. Muslim no 705)
([47]) Akan tetapi, sekalipun malikiyah berpendapat boleh jama’ bagi orang sakit, tapi mereka hanya membolehkan jama’ taqdim saja bagi orang yang takut pingsan, demam dan semisalnya, jika ternyata selamat dari berbagai penyakit tersebut dan tidak ada yang menimpanya maka ia harus mengulangi shalat kedua pada saat waktunya sudah masuk.
Hanabilah mengatakan: orang yang sakit diberi pilihan antara jama’ taqdim dan ta’khir seperti halnya orang musafir, ini yang benar, karena itu lebih mudah bagi orang yang sakit.
([50]) Akan tetapi, shalat apa yang dijama’ (dhuhur dan asar atau maghrib dan iysa’)?
Para fuqaha berbeda pendapat:
- Malikiyah dan Hanabilah berpendapat tidak boleh jama’ antara dhuhur dan asar disebabkan hujan dan sebagainya, tapi boleh menjama’ antara maghrib dan isya’; karena kesulitan pada waktu maghrib lebih berat, disebabkan gelap.
- Syafi’iyah berpendapat boleh jama’ antara dhuhur dan asar juga disebakan oleh hujan; berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang sudah berlalu di atas bahwa beliau menjama’ antara dhuhur dan asar, karena illah nya adalah adanya hujan, sehingga sama saja baik malam maupun siang, ini adalah pendapat yang kuat.
([51]) Majmuu’Al-Fataawa 22/292
([52]) Malikiyah dan Syafi’iyah melarang menjamak karena angina kencang, ini juga satu pendapat dalam madzhab hanabilah. Hanabilah berpendapat boleh jama’ karena angin kencang di malam yang dingin, karena itu adalah udzur bolehnya meninggalkan jum’at dan jama’ah.