Pembatal-Pembatal Shalat
1- Shalat batal([1]) dengan adanya salah satu pembatal wudhu. ([2])
2- Shalat batal dengan meninggalkan salah satu wajib-wajib shalat seperti takbir intiqhol, tasbih, tasmi’, tahmid, dan semisalnya secara sengaja bukan karena lupa atau tidak tahu. (Dan masalah apa saja yang merupakan wajib-wajib shalat terjadi perbedaan pendapat dikalangan Ulama sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan wajib-wajib shalat).
3. Dengan meninggalkan salah satu rukun shalat seperti takbirotul ihrom, ruku’, sujud dan lain-lainnya, dan meninggalkan salah satu rukun ini menyebabkan shalat batal secara muthlak, baik meninggalkannya secara sengaja, lupa,atau karena tidak tahu.
4. Terkena najis. Jika segera menghilangkan najis tersebut maka tidak batal, tapi kalau tidak langsung menghilangkannya maka shalatnya batal,
فَإِذَا أَقْبَلَتِ الْحَيْضَةُ فَاتْرُكِى الصَّلاَةَ، فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِى عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّى
“Jika datang haidh, maka tinggalkanlah shalat. Jika darah haidh tersebut sudah berhenti, maka mandilah dari darah tersebut, lalu shalatlah.” ([3])
Dan dari ‘Urwah,
عَنْ عُرْوَةَ، أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قَالَ: كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَغْسِلْ ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ
Dari ‘Urwah, bahwa Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku seorang lelaki yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu menanyakannya langsung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan keberadaan putri beliau (sebagai istriku). Maka aku menyuruh Al-Miqdad untuk menanyakannya. Ia pun bertanya kepada beliau, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan, ‘Hendaklah ia mencuci kemaluannya kemudian berwudhu’.” ([4])
5. Membelakangi kiblat secara sengaja, karena shalat disyaratkan untuk menghadap kiblat, adapun dalam shalat khouf maka membelakangi kiblat tidak membatalkan,
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” ([5])
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang yang tidak bagus shalatnya (musi’ salatahu),
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” ([6])
6- Tersingkapnya sebagian besar auratnya dan tidak segera menutupnya,adapun apabila segera menutupnya maka tidak mengapa, dalil wajibnya untuk menutup aurat adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala
يَابَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. ([7])
Dan maksud dari “زينَتَكُمْ”disini adalah mengambil pakaian yang menutupi aurat sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Ibnu ‘Abbas,
كَانَتِ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ وَهِيَ عُرْيَانَةٌ، فَتَقُولُ: مَنْ يُعِيرُنِي تِطْوَافًا؟ تَجْعَلُهُ عَلَى فَرْجِهَا، وَتَقُولُ:
الْيَوْمَ يَبْدُو بَعْضُهُ أَوْ كُلُّهُ … فَمَا بَدَا مِنْهُ فَلَا أُحِلُّهُ
فَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ {خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ}
“Dahulu wanita berthawaf di baitullah dalam keadaan telanjang lalu ia berkata: Siapa yang meminjamkan kepadaku pakaian([8])? Dia menjadikannya di atas kemaluannya, dan ia berkata:
Telah nampak sebagian atau seluruhnya,
maka apa yang nampak darinya tidaklah aku menghalalkannya.
Lalu turunlah ayat ini: “Ambillah oleh kalian pakaian dan perhiasan kalian setiap memasuki masjid.” (Al A’raaf: 31) ([9])
Dan juga disebutkan dalam hadits ‘Aisyah,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ، قَالَ: لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَار
Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah diterima oleh Allah shalat seorang wanita yang sudah mengalami haidh kecuali dengan khimar (menutupi kepala dan lehernya).” ([10])
Berkata Badruddin Al-‘Ainy ketika menjelaskan hadits ini,
وَالْمرَاد بالحائض من بلغت سنّ الْحيض فَإِنَّهَا لَا تقبل صلَاتهَا إِلَّا بالسترة وَلَا تصح وَلَا تقبل مَعَ انكشاف الْعَوْرَة
“dan yang dimaksud dengan wanita haidh adalah wanita yang usianya sudah sampai usia wanita yang haidh (usia baligh untuk wanita), sesungguhnya tidak diterima shalatnya kecuali memakai penutup (yang menutupi aurat) dan tidak sah dan tidak diterima shalatnya dengan tersungkapnya auratnya.” ([11])
7- Dengan menambahkan 1 rukun shalat, seperti menambah ruku’ atau sujud secara sengaja.
8- Mengedepankan salah satu rukun dari rukun yang lainnya, seperti melakukan sujud sebelum ruku’, karena dalam shalat setiap gerakannya harus dilakukan secara berurutan.
9- Melakukan salam sebelum sempurnanya shalat secara sengaja.
10- Dengan mengubah makna bacaan surat al-fatihah, seperti ketika membaca “an’amta” dengan mendhommahkan huruf ta-nya menjadi “an’amtu” atau mengkasrohkan huruf ta-nya menjadi “an’amti” secara sengaja.
11- Dengan adanya penutup yang jauh untuk orang yang sholat telanjang (karena ada udzur, yaitu tidak memiliki pakaian untuk sholat), contohnya adalah ketika seseorang yang tidak memiliki pakaian untuk menutup auratnya maka diharuskan baginya untuk shalat mencari sutroh/penutup yang menutupi tubuhnya, apabila ia tidak mendapatinya maka ia boleh shalat dalam kondisi telanjang. Nemun ternyata dipertengahan shalatnya dia mendapati sutroh/penutup namun letaknya jauh darinya maka hal tersebut langsung menyebabkan batal shalatnya, karena kalau dia tetap shalat maka dia shalat dalam keadaan auratnya terbuka sedangkan ada penutup yang bisa menutupi tubuhnya, kalau dia mengambil penutup tersebut maka dia membutuhkan gerakan langkah yang banyak, dan banyaknya gerakan bisa membatalkan shalatnya, maka dari itu hanya dengan adanya sutroh/penutup yang jauh darinya sudah menyebabkan shalat orang yang telanjang tadi menjadi batal.
12- Dengan bersandar dengan sandaran tanpa adanya udzur dalam shalat fardhu, dimana jika seandainya sandaran tersebut diambil maka ia akan jatuh. Hal ini karena shalat fardhu diwajibkan untuk dilakukan dengan berdiri bagi yang mampu. Dan orang yang melakukan shalat dengan bersandar kepada sesuatu yang dimana ketika sandarannya dijauhkan darinya maka dia akan terjatuh, maka sejatinya dia tidak melakukan shalatnya dengan berdiri. Lain halnya jika ia hanya bersandar ringan pada sesuatu, dimana jika sesuatu tersebut diambil ia tidak jatuh dan pada hakikatnya ia masih berdiri, maka sandaran seperti ini tidak membatalkan shalatnya karena tidak menafikan kondisinya yang “masih dikatakan berdiri”.
13- Dengan kembalinya seseorang -dengan sengaja- ke posisi tasyahhud awal (yang ditinggalkan karena lupa) setelah ia sudah dalam posisi tegak berdiri dan memulai membaca alfatihah, maka yang benar adalah ia tetap berada di posisi berdirinya dan melanjutkan bacaannya, adapun tasyahhud awal yang luput maka diganti dengan sujud sahwi, hal ini berdasarkan hadits dari Mughiroh bin Syu’bah:
«إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ فَلَمْ يَسْتَتِمَّ قَائِمًا فَلْيَجْلِسْ، فَإِذَا اسْتَتَمَّ قَائِمًا فَلَا يَجْلِسْ وَيَسْجُدْ سَجْدَتَيِ السَّهْوِ»
“Apabila salah satu diantara kalian bangkit dari rak’at kedua (dan lupa melakukan tasyahhud awal) dan belum sempurna berdirinya maka hendaknya dia duduk, namun apabila sudah sempurna berdiri maka jangan duduk dan hendaknya dia melakukan dua sujud sahwi” ([12])
Dan disini ada pelarangan untuk kembali ketika sudah berada posisi sempurna dari posisi yang ditinggalkan, dan ini menunjukkan tidak boleh kita kembali kepada posisi yang luput tersebut.
14- Dengan kembalinya seseorang ke posisi ruku’ atau sujud untuk mengucapkan tasbih (yang tertinggal karena lupa) setelah ia berada di posisi i’tidal atau setelah ia berada di posisi duduk, dan ini qiyas dari yang sebelumnya (dari poin 13), ketika seseorang meninggalkan sesuatu yang wajib karena lupa dan sudah berada posisi sempurna setelahnya maka hendaknya dia melanjutkannya dan mengganti yang luput dengan sujud sahwi,
15- Dengan sengaja meninggalkan meminta ampunan (yang diucapkan ketika duduk diantara dua sujud) setelah sujud kedua, karena ini termasuk wajib-wajib shalat yang ketika ditinggalkan sengaja maka batal shalatnya. Kaidahnya : Sengaja meninggalkan salah satu kewajiban shalat maka membatalkan shalat
16- Dengan membatalkan atau memutuskan niat shalat ditengah gerakan shalat.
17- Mengucapkan huruf “كَ” (Kamu) kata ganti kedua dalam kalimat “إِيَّاكَ” dengan niat untuk selain Allah, dan pada kalimat “السَّلاَمُ عَلَيْكَ” dengan niat untuk selain Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
18- Dengan tertawa terbahak,
Ibnu Taimiyah pernah ditanya, “Bagaimana jika ada seseorang tertawa ketika shalat, apakah shalatnya batal?”. Beliau rahimahullah menjawab, “Jika sekedar tersenyum, tidak membatalkan shalat. Adapun jika tertawa –apalagi sampai terbahak-bahak-, maka itu membatalkan shalat namun tidak membatalkan wudhu menurut mayoritas ulama seperti Imam Malik, Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad.” ([13])
19- Dengan bicara walaupun sedikit dengan sengaja dan bukan orang yang jahil (tidak tahu (tidak mengerti) hukum berbicara ketika shalat) dan bukan pula dalam kondisi lupa, karena tidak ada perbedaan antara sedikit dan banyaknya bicara. Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلاَةِ يُكَلِّمُ أَحَدُنَا أَخَاهُ فِي حَاجَتِهِ حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الآيَةُ (حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ) فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ
“Kami dahulu berbicara di dalam shalat, salah seorang dari kami menyampaikan keperluannya kepada kawannya (dalam shalat) hingga turunlah firman Allah Ta’ala, “Jagalah shalat yang lima waktu dan shalat wustha (shalat ‘Ashar). Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (QS. Al-Baqarah: 238). Maka ketika itu kami diperintahkan untuk diam.” ([14])
Namun apabila berbicara karena lupa atau karena tidak tahu maka shalatnya tetap sah, hal ini berdasarkan hadits Mu’awiyah Bin Al-Hakam,
بَيْنَا أَنَا أُصَلِّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذْ عَطَسَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ فَقُلْتُ يَرْحَمُكَ اللَّهُ. فَرَمَانِي الْقَوْمُ بِأَبْصَارِهِمْ فَقُلْتُ وَاثُكْلَ أُمِّيَاهْ مَا شَأْنُكُمْ تَنْظُرُونَ إِلَىَّ. فَجَعَلُوا يَضْرِبُونَ بِأَيْدِيهِمْ عَلَى أَفْخَاذِهِمْ فَلَمَّا رَأَيْتُهُمْ يُصَمِّتُونَنِي لَكِنِّى سَكَتُّ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَبِأَبِي هُوَ وَأُمِّي مَا رَأَيْتُ مُعَلِّمًا قَبْلَهُ وَلاَ بَعْدَهُ أَحْسَنَ تَعْلِيمًا مِنْهُ فَوَاللَّهِ مَا كَهَرَنِي وَلاَ ضَرَبَنِي وَلاَ شَتَمَنِي قَالَ إِنَّ هَذِهِ الصَّلاَةَ لاَ يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلاَمِ النَّاسِ إِنَّمَا هُوَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ
Dari Mu’awiyah bin Hakam As-Sulamiy radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku ketika itu shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ada seseorang yang bersin dan ketika itu aku menjawab ‘yarhamukallah’ (semoga Allah merahmatimu). Lantas orang-orang memandang tajam kepadaku. Aku berkata ketika itu, “Aduh, ibuku kehilangan diriku !, Apa gerangan kalian memandangku seperti itu?” Mereka lalu menepuk-nepukan tangan mereka pada paha mereka -yaitu agar aku diam-. Lalu akupun diam. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat –maka demi ayah dan ibuku sebagai tebusan untuknya (untuk Rasulullah) ([15])-, aku belum pernah bertemu seorang pendidik sebelum dan sesudahnya yang lebih baik pengajarannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku, tidak memukul, dan tidak memakiku. Beliau bersabda saat itu, ‘Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia, karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca Al-Qur’an.” ([16])
Dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah berdasarkan hadits diatas mengatakan tetap sahnya shalat orang yang berkata karena lupa atau tidak tahu:
وَمَنْ تَكَلَّمَ فِي الصَّلاَةِ سَاهِيًا، أَوْ جَاهِلاً تَحْرِيْمَ ذَلِكَ: لَمْ تَبْطُلْ صَلاَتُهُ عَلَى الصَّحِيْحِ أَيْضًا، وَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ
“Barang siapa berbicara karena lupa atau karena tidak tahu akan dilarangnya berbicara ketika shalat maka shalatnya tidak batal menurut pendapat yang benar, dan juga tidak ada kewajiban apapun untuknya” ([17])
20- Batal shalat seorang makmum apabila melakukan takbirotul ihrom sebelum takbirnya imam, karena imam adalah pemimpin shalat dan tidak boleh ada satupun yang boleh memulai shalat ketika imam belum memulainya, dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya” ([18])
21- Batalnya sholat ma’mum apabila mendahului gerakan imamnya, karena imam diangkat untuk diikuti, maka akan hilang fungsinya sebagai imam ketika makmum tidak mengikutinya dna bahkan mendahulinya. Nabi bersabda :
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Sesungguhnya dijadikan imam untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya” ([19])
22- Batalnya sholat ma’mum apabila salam sebelum imamnya secara sengaja tanpa ada udzur.
23- Batalnya shalat makmum jika ia sengaja (tanpa udzur) terlambat dari imam, sehingga imam masuk pada rukun berikutnya. Karena sebagaimana makmum tidak boleh mendahului imam, demikian juga makmum tidak boleh terlambat dari imam sehingga terlambat 1 rukun ([20]). Karena mengikuti imam hukumnya wajib, dan sesuai kaidah “sengaja meninggalkan kewajiban dalam sholat mengakibatkan shalat batal”. ([21])
24- Dengan makan atau minum secara sengaja sedikit atau banyak dalam shalat.
25- Dengan melakukan gerakan terus menerus yang banyak menurut ‘urf([22]).
26- Shalat batal dengan lewatnya wanita, atau anjing hitam, atau himar (keledai) di depan orang yang shalat. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam :
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ، وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Lewatnya wanita, keledai dan anjing memutuskan shalat. Itu dapat dicegah dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” ([23])
Dan anjing yang dimaksud adalah anjing hitam sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain:
إذا صلَّى الرَّجلُ وليسَ بينَ يدَيهِ كآخرةِ الرَّحلِ أو كواسطةِ الرَّحلِ قطعَ صلاتَه الكلبُ الأسودُ والمرأةُ والحمارُ
“Jika salah seorang dari kalian shalat, dan ia tidak menghadap sesuatu yang tingginya setinggi ujung pelana atau bagian tengah pelana, maka shalatnya bisa diputuskan oleh anjing hitam, wanita, dan keledai” ([24])
Namun ini adalah permasalahan yang diperselisihkan oleh para ulama. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hadits-hadits ini dibawakan kepada hanya memotong dan mengurangi pahala([25]). Dan sebagian ulama berpendapat bahwa ketiga hal itu (wanita, anjing hitam, dan keledai) benar-benar membatalkan shalat([26]). Adapun al-Imam Ahmad maka beliau berpendapat hanya anjing hitamlah yang jika lewat depan orang shalat yang membatalkan shalatnya([27]). Dan pendapat yang lebih kuat adalah berdasarkan kepada dzhahir hadits bahwasanya ketiga perkara tersebut membatalkan shalat([28]). Terlebih lagi telah datang riwayat yang tegas yang menguatkan dzohir hadits dan tidak bisa ditakwil. Abu Dzar radhiallahu ánhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu álaihi wasallam, beliau bersabda :
تُعَادُ الصَّلَاةُ مِنْ مَمَرِّ الْحِمَارِ، وَالْمَرْأَةِ، وَالْكَلْبِ الْأَسْوَدِ
“Shalat diulang karena lewatnya keledai, wanita, dan anjing hitam” ([29])
FOOTNOTE:
=============================
([1]) Lihat: Matholib Ulin Nuha Fi Syarhi Ghoyatil Muntaha 1/536-540
([2]) Berikut hal-hal yang bisa membatalkan wudhu:
- Yang keluar dari salah satu diantara 2 jalan (qubul atau dubur), sedikit atau banyak, suci (seperti buang angin/kentut dan mani) maupun najis (seperti kencing, kotoran/tinja, darah istihadhoh, madzi, dan wadi), berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala,
{أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ}
“atau kembali dari tempat buang air (kakus)” (QS Al- Maidah: 6)
Dan juga dalam hadits Shofwan Bin Assal, beliau berkata:
«كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لَا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ، إِلَّا مِنْ جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ»
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf (semacam sepatu yang terbuat dari kulit) kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam bepergian kecuali dari janabat. Akan tetapi (kami tidak perlu mencopot khuf) dari buang air besar, air kecil (kencing) dan tidur.” (HR. Tirmidzi, no. 96, dinyatakan hasan oleh Al-Albani)
Yaitu jika hanya hadats kecil (yaitu karena buang air besar, buang air kecil, dan tidur) maka tidak perlu melepas khuf, akan tetapi cukup mengusap khuf.
Dan juga dari Abbad Bin Tamim dari pamannya bahwasanya ada seseorang mengadu kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang dalam shalatnya seakan-akan dia mendapati sesuatu (yaitu dia merasa seakan-akan telah buang angin), maka Nabi pun berkata:
«لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا»
“Janganlah dia membatalkan salatnya hingga dia mendengar suara atau mencium bau.” (HR. Bukhari: 177 dan Muslim: 361)
Dan juga dari Urwah,
أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه قَالَ: كُنْتُ رَجُلًا مَذَّاءً فَكُنْتُ أَسْتَحْيِي أَنْ أَسْأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَكَانِ ابْنَتِهِ، فَأَمَرْتُ الْمِقْدَادَ فَسَأَلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لِيَغْسِلْ ذَكَرَهُ وَأُنْثَيَيْهِ
Bahwa Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku seorang lelaki yang banyak mengeluarkan madzi, namun aku malu menanyakannya langsung kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam disebabkan keberadaan putri beliau (sebagai istriku). Maka aku menyuruh Al-Miqdad untuk menanyakannya. Ia pun bertanya kepada beliau, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan, ‘Hendaklah ia mencuci kemaluannya kemudian berwudhu’.” (HR. Abu Dawud no.208 dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Di antara dalilnya juga adalah hadits Aisyah -radhiyallahu ‘anha- (yaitu tentang wajibnya berwudhu karena darah istihadhoh yang keluar dari kemaluan wanita):
جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلاَ أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلاَةَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ، إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ، وَلَيْسَ بِحَيْضٍ، فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلاَةَ، وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي»
Fathimah binti Abu Hubais datang kepada Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- lalu berkata: “Saya mengeluarkan darah istihadlah, sehingga saya tidak suci, haruskah aku meninggalkan sholat?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, itu hanyalah urat/pembuluh darah (pendarahan), bukan haid, jika masa/jadwal haidmu datang maka tinggalkanlah sholat, jika telah usai maka bersihkanlah darah dari badanmu lalu sholatlah”.
Dalam riwayat yang lain Nabi berkata kepadanya :
«ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلاَةٍ، حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الوَقْتُ»
“Berwudlu’lah tiap-tiap sholat ketika telah masuk waktunya”. (HR. Bukhari, no. 228, Muslim no. 333)
- Keluarnya najis dari anggota tubuh yang lain (selain dari qubul dan dubur). Dan ini terbagi menjadi 2:
- Apabila yang keluar berupa air kencing dan kotoran/tinja maka ini membatalkan secara mutlak seperti diatas,
- Apabila yang keluar adalah sesuatu yang najis selain air kencing atau kotoran seperti darah dan muntah maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad memandang bahwa hal ini juga membatalkan wudhu (hanya saja Imam Ahmad memandang membatalkan wudhu jika yang keluar banyak). Adapun Imam Asy-Syafií maka beliau berpendapat hal ini tidaklah membatalkan wudhu (Lihat Al-Mughni 1/247-250 dan al-Majmuu’ 2/63-65). Dan ini pendapat yang lebih tepat. Hal ini karena tidak ada dalil yang tegas yang menyatakan bahwa hal ini membatalkan wduhu. Adapun hadits Abu Darda -radhiyallahu ‘anhu-
«أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ، فَتَوَضَّأَ»
“Bahawasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- muntah lalu berwudhu” (HR. At-Tirmidzi no. 87, dan dishohihkan oleh Al-Albani)
Maka hadits ini sebagian ulama menilainya dhoíf, dan lagi pula hanya menunjukan fiíl (perbuatan) Nabi shallallahu álaih wasallam tidak ada perintah secara perkataan dari Nabi. (Lihat Majmuu’ Fataawa wa Rosaail al-Útsaimin 11/198). Paling banter hanya menunjukan bahwa berwudhu setelah muntah disunnahkan.
- Hilang atau tertutupnya akal karena pingsan atau tidur,
dalam hadits Sofwan bin Assal radhiallahu anhu dalam dalam kitab Sunan, dia berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُنَا إِذَا كُنَّا سَفَرًا أَنْ لا نَنْزِعَ خِفَافَنَا ثَلاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيهِنَّ إِلا مِنْ جَنَابَةٍ، وَلَكِنْ مِنْ غَائِطٍ وَبَوْلٍ وَنَوْمٍ
“Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kami agar tidak melepaskan khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam jika kami dalam bepergian kecuali dari janabat. Akan tetapi (kami tidak perlu mencopot khuf) dari buang air besar, air kecil (kencing) dan tidur.” (HR. Tirmizi no. 3535 hadits hasan shohih)
Dan juga sabda Beliau sallallahu alaihi wa sallam:
العين وِكَاء السَّهِ، فَإِذَا نَامَتِ الْعَيْنُ اِسْتَطْلَقَ الْوِكَاءُ
“Mata itu tali (penutup) dubur, kalau mata tertidur, maka tali itu terlepas.” (HR. Ad-Daruquthny no. 597)
Dikecualikan tidur yang sedikit (yang tidak melelapkan) yaitu seperti jika seseorang ketika memegang pena dalam kondisi tidur jika penanya terjatuh iapun tersadar/terjaga, maka tidur seperti ini tidaklah membatalkan wudhu.
- Menyentuh kemaluan manusia atau menyentuh dubur dengan tangan secara langsung tanpa pembatas –jika disertai dengan syahwat-.
Hal ini diperselisihkan oleh para ulama, secara umum menjadi tiga pendapat :
Pertama : Menyentuh kemaluan tidak membatalkan wudhu secara mutlak, ini adalah pendapat Hanafiyah, berdasarkan hadits Tholq radhiallahu ánhu bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi tentang seseorang yang sedang sholat lalu menyentuh kemaluannya maka Nabi berkata, وَهَلْ هُوَ إِلَّا بَضْعَةٌ مِنْكَ “Dan bukankah kemaluanmu itu tidak lain hanyalah sebagian dari tubuhmu?” (HR Abu Dawud dan Ibnu Hibban dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Sehingga menyentuh kemaluan pada dasarnya sama seperti menyentuh anggota tubuh yang lain, seperti menyentuh kaki, tangan, kepala dan yang lainnya, yang itu semuanya tidaklah membatalkan wudhu.
Kedua : Menyentuh kemaluan membatalkan wudhu secara mutlak. Ini adalah pendapat jumhur ulama, berdasarkan hadits Busrah binti Shafwan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR. Abu Daud no. 181, Ahmad no. 7076)
Akan tetapi berkaitan dengan masalah ini maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan bahwasanya tidaklah membatalkan wudhu apabila:
- Menyentuh dengan kuku,
- Menyentuh kemaluan yang terpisah dari tubuh (seperti kemaluan yang terpotong),
- Menyentuh testis, karena ini bukanlah adz-dzakar (kemaluan),
- Menyentuh secara tidak langsung
Ketiga : Menyentuh kemaluan hanyalah membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan syahwat. Hal ini dalam rangka menjamakan (mengkompromikan) kedua hadits di atas (hadits Tholq dan hadits Busroh). Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena sabda Nabi dalam hadits Busroh bahwasanya “Kemaluan itu adalah bagian dari tubuh” mengisyaratkan bahwa sentuhan kemaluan yang tidak membatalkan wudhu adalah sentuhan yang tidak disertai syahwat sehingga statusnya seperti menyentuh anggota tubuh yang lainnya. Adapun jika menyentuh kemaluan dengan syahwat maka tentu sentuhan ini tidak sama dengan sentuhan biasa. Dan pendapat ketiga inilah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam.
- Memakan daging unta walaupun masih mentah,
Ada 2 pendapat dalam masalah ini:
- Bahwasanya memakan daging unta tidak membatalkan wudhu, dan ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Asy-Syafi’I dan Ats-Tsauri, mereka berdalil dengan perkataan Ibnu Abbas -radhiyallahu ‘anhuma-:
الْوُضُوءُ مِمَّا يَخْرُجُ وَلَيْسَ مِمَّا يَدْخُلُ
“Wudhu disebabkan perkara yang keluar dan bukan disebabkan karena perkara yang masuk” (Sunan Daruquthny no 553)
- Memakan daging unta membatalkan wudhu, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad dan salah satu perkataan Imam Asy- Syafi’i, berdalil dengan hadits Jabir Bin Samuroh -radhiyallahu ‘anhu-:
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَأَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: «إِنْ شِئْتَ فَتَوَضَّأْ، وَإِنْ شِئْتَ فَلَا تَوَضَّأْ» قَالَ أَتَوَضَّأُ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: «نَعَمْ فَتَوَضَّأْ مِنْ لُحُومِ الْإِبِلِ» قَالَ: أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ؟ قَالَ: «نَعَمْ» قَالَ: أُصَلِّي فِي مَبَارِكِ الْإِبِلِ؟ قَالَ: «لَا»
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam, “Apakah kami harus berwudhu karena makan daging kambing?” Beliau menjawab, “Jika kamu berkehendak maka berwudhulah, dan jika kamu tidak berkehendak maka janganlah kamu berwudhu.” Dia bertanya lagi, “Apakah harus berwudhu disebabkan (makan) daging unta?” Beliau menjawab, “Ya. Berwudhulah disebabkan (makan) daging unta.” (Shohih Muslim no 360)
Dan pendapat kedua ini lebih kuat, hal ini dikarenakan perkataan Ibnu Abbas di atas dikatakan oleh ulama mauquf (hanya perkataan sahabat dan bukan sabda Nabi shallallahu álaihi wasallam) dan lagi pula bersifat umum. Adapun hadits Jabir ini shahih, dan bersifat khusus, maka yang khusus lebih dikedepankan daripada yang umum.
- Murtad
Ada 2 pendapat dalam masalah ini:
- Murtad dapat membatalkan wudhu, dan ini adalah pendapat Imam Ahmad
- Murtad tidak membatalkan wudhu, dan ini adalah pendapat Imam Asy- Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah.
Dalil yang menunjukkan bahwasanya murtad dapat membatalkan wudhu adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
{وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْأِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ}
“dan barang siapa yang kafir setelah beriman maka sungguh telah terhapus amalannya.” (QS Al-Maidah :5)
{لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ}
“apabila engkau melakukan kesyirikan maka sungguh akan terhapus amalanmu.” (QS Az-Zumar : 65)
PERINGATAN : Ada perkara-perkara yang dianggap membatalkan wudhu, namun yang benar adalah tidak membatalkan wudhu. Diantaranya adalah :
Pertama : Ketika seorang lelaki menyentuh wanita secara langsung atau sebaliknya tanpa ada pembatas, walaupun yang disentuh adalah mayit atau orang yang sudah tua.
Maka secara umum ada tiga pendapat dikalangan para ulama (1) Membatalkan wudhu secara mutlaq kecuali yang disentuh adalah mahram. Ini adalah pendapat madzhab Syafií. (2) Kedua : Tidak membatalkan wudhu secara Mutlaq, dan ini adalah pendapat madzhab Hanafi. (3) Ketiga : Membatalkan wudhu jika menyentuhnya dengan syahwat. Ini adalah madzhab Hanbali
Khilaf ini dikarenakan perbedaan ulama dalam memahami firman Allah subhanahu wa ta’ala,
{أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ}
“atau kalian menyentuh wanita” (QS An-Nisa: 42)
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat ini sehingga menghasilkan hukum-hukum yang berbeda,
- Abu Hanifah memahami (لامَسْتُمُ) “menyentuh” maksudnya adalah dengan jimak, sehingga lelaki yang sekedar menyentuh wanita maka tidak membatalkan wudhu, dan juga berdasarkan perbuatan Nabi yang mencium sebagian istrinya lalu pergi shalat tanpa berwudhu,
- Sedangkan Asy- Syafi’i memahami kata ini sesuai hakikatnya yaitu menyentuh, sehingga menyatakan batalnya wudhu seorang lelaki ketika dia menyentuh wanita disertai syahwat ataupun tidak,
- Imam Ahmad memahami bahwasanya sentuhan saja bukanlah sebuah hadats yang dapat menyebabkan batalnya wudhu, akan tetapi ketika sentuhan tersebut disertai dengan syahwat maka ini akan menyebabkan keluarnya madzi bahkan mani, oleh karena itu ketika seseorang menyentuh wanita dengan syahwat hal ini dapat membatalkan wudhu, dan madzi itu najis.
Pendapat yang lebih tepat bahwasanya menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu, sebagaimana pendapat madzhab Hanafi, dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Ábbas radhiallahu ánhumaa. Karena hadits-hadits yang banyak yang menunjukan akan hal tersebut, diantaranya Nabi ketika sholat pernah menyentuh kaki Aisyah (HR Al-Bukhari no 382 dan Muslim no 512), dan sebaliknya Aisyah pernah menyentuh kaki Nabi ketika Nabi sedang sholat (HR Muslim no 486), dan semua ini tidaklah menjadikan Nabi batal wudhunya atau batal sholatnya. Demikian juga Nabi pernah mencium istrinya sebelum berangkat ke masjid untuk sholat dan beliau tidak berwudhu (HR Abu Dawud no 179, At-Tirmidzi no 86, Ibnu Majah no 502, An-Nasaai no 170 dan Ahmad no 25766 dan dishahihkan oleh Al-Albani dan para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad)
Adapun lafal “menyentuh” dalam al-Qurán maka sering datang dengan makna jimak (Seperti dalam QS Al-Baqoroh : 236, 237, QS Ali Ímroon : 47, QS Maryam : 20, dan QS Al-Ahzaab : 49)
Kedua : Memandikan mayit, dan yang memandikan mayit adalah yang langsung membolak-balikannya, bukan yang hanya sekedar menumpahkan air.
Masalah memandikan mayit dapat membatalkan wudhu adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, adapun jumhur Ulama mengatakan ini tidak membatalkan wudhu, dan dikatakan oleh Ibnu Qudamah: ini adalah pendapat yang benar (dalam madzhab hambali) karena tidak adanya nash yang menyatakan hal demikian dan juga perkataan Imam Ahmad hanya menunjukan akan mustahabnya (berwudhu setelah memandikan mayit), karena beliau berkata: “aku lebih suka untuk berwudhu”. (Manarus Sabil Fi Syarhid Dalil 1/35)
Jadi yang lebih tepat bahwasanya bagi orang yang memandikan mayat dianjurkan untuk berwudhu menurut Imam Ahmad dan tidak sampai membatalkan wudhu.
Ketiga : Menyentuh/terkena najis
Banyak orang awam menyangka bahwa menyentuh atau terkena najis membatalkan wudhu, padahal tidak seorang ulamapun yang berpendapat demikian. Karenanya yang benar jika seseorang terkena najis maka wudhunya tidak batal, akan tetapi ia cukup membersihkan najis tersebut.
Berbeda jika ia terkena najis ketika dalam sholat, karena diantara syarat sholat adalah bersihnya tubuh dan pakaian serta tempat sholat dari najis.
([3]) HR. Bukhari 1/68 no. 306
([4]) HR. Abu Dawud no.208 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([6]) HR. Bukhari 8/135 no 6667, Muslim 1/298 no. 397
([8]) Makna Tithwaf yaitu pakaian yang dikenakan oleh wanita
([10]) HR. Abu Dawud no.641, Ibnu Majah no.655. Al-Albani mengatakan hadits shahih
([11]) Lihat: Umdatul -Qory Syarhu Shohihil Bukhory 2/244
([12]) Sunan Ibnu Majah No. 1208
([13]) Majmu’ah Al-Fatawa, 22: 614
([14]) HR. Bukhari no. 4534 dan Muslim no. 539
([15]) Lihat penjelasan al-Mubaarokfuuri di Miráat al-Mafaatiih 3/339, dan ungkapan seperti ini adalah uslub/metode orang-orang Arab dahulu dalam menekankan pembicaraan mereka.
([17]) Majmu’ Al-Fatawa 21/164
([18]) HR. Bukhari no. 378 dan Muslim no. 412
([19]) HR. Bukhari no. 378 dan Muslim no. 412
([20]) Misalnya seorang makmum masih terus berdiri sehingga imam rukuk, dan ternyata makmum masih sengaja (tanpa udzur) terus berdiri hingga akhirnya imam-pun beriktidal. Maka dalam kondisi ini makmum telah sengaja terlambat 1 rukun dari imam tanpa udzur maka shalat makmum pun batal
([21]) Lihat khilaf ulama dalam permalahan ini pada bagian “Tanya Jawab” di pertanyaan-pertanyaan di “Imam, Makmum, dan Shaff”
([22]) Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“Gerakan(tambahan) dalam sholat -yaitu gerakan yang bukan termasuk dari jenis gerakan sholat- terbagi menjadi lima macam :
- Gerakan yang wajib
- Gerakan yang mustahab
- Gerakan yang haram
- Gerakan yang makruh
- Gerakan yang boleh
- Gerakan menjadi wajib jika perbuatan wajib (dalam sholat) atau menjauhi perbuatan haram (dalam sholat) bergantung pada gerakan tersebut.
Contohnya permasalahan yang sedang kita hadapi ini, yaitu misalnya jika seseorang tidak tahu arah kiblat kemudian diapun berijtihad untuk menentukan arah kiblat, setelah itupun dia melaksanakan sholat tidak menghadap arah kiblat. Lalu dikabarkan kepadanya bahwa posisi kiblat berada disebelah kanannya, maka saat itu wajib baginya untuk bergerak (mengahadap kearah kanan) agar menghadap kiblat. Oleh karenanya tatkala ada seseorang yang datang ke penduduk Quba dan mereka sedang sholat menghadap Baitul Maqdis lalu iapun mengabarkan kepada mereka bahwa kiblat telah berpindah ke ka’bah, maka merekapun saat itu juga berubah posisi (bergerak berputar 180 derajat-pent) dan mereka meneruskan sholat mereka.
Misalnya juga jika seseorang sendirian di belakang shaf, lantas ia melihat ada sela kosong di shaf dihadapannya, maka di sini wajib baginya untuk bergerak (maju) agar masuk dalam saf.
Demikian juga jika tidak bisa menghindari perbuatan yang haram kecuali dengan gerakan tersebut maka gerakan tersebut menjadi wajib.
Misalnya seseorang sedang sholat lantas ia mendapati ada najis di gutrohnya (penutup kepalanya), maka ketika itu wajib baginya bergerak untuk melepaskan gutrohnya yang ada najisnya. Termasuk contoh tentang ini adalah hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Jibril mendatangi Nabi tatakala Nabi sedang mengimami para sahabat lalu mengabarkan kepada Nabi bahwasanya di kedua sendalnya ada kotoran (najis), maka Nabipun melepas kedua sendalnya. Gerakan melepas sandal ini hukumnya wajib.
- Gerakan menjadi mustahab jika perbuatan mustahab (dalam sholat) bergantung pada gerakan tersebut.
Contohnya ada tiga orang sholat berjam’ah, dua orang menjadi makmum, salah satunya berdiri di sebelah kanan imam (sejajar) dan yang satunya lagi berdiri di sebelah kiri imam. Maka dalam kondisi seperti ini sang imam mendorong kedua makmum tersebut agar berdiri di belakang imam, maka gerakan mendorong ini hukumnya sunnah, karena posisi imam berada di depan dua orang makmum atau lebih hukumnya sunnah dan tidak wajib.
Atau tidak bisa menjauhi suatu perkara yang makruh kecuali dengan gerakan, maka gerakan tersebut juga mustahab. Misalnya seseorang sedang sholat dan dihadapannya ada sesuatu benda yang mengganggu konsentrasinya seperti ukiran misalnya, maka dalam kondisi seperti ini kita katakan disunnahkan bagi engkau untuk menyingkirkan benda yang mengganggumu itu, karena dengan menyingkirkan benda tersebut maka engkau akan bebas dari perkara yang makruh. Dan contoh yang lain juga, jika seseorang merasa sangat gatal dan hal ini sangat mengganggunya maka disunnahkan baginya untuk menggaruk agar meredam rasa gatal tersebut, dan hal ini sering terjadi.
- Gerakan menjadi haram jika banyak dan berturut-turut tanpa ada kondisi mendesak. Maka ada tiga persyaratan, (1) banyak, (2) berturut-turut, dan (3) tidak dalam kondisi mendesak/darurat (untuk bergerak).
(1) Banyak : Sebagian ulama berpendapat bahwa gerakan dianggap banyak jika dilakukan tiga gerakan secara berturut-turut. Maka jika seseorang sedang sholat lantas bergerak tiga kali berturut-turut tanpa ada kebutuhan mendesak maka ini dianggap gerakan yang banyak dan membatalkan sholat.
Sebagian ulama yang lain berkata, “Tidak boleh kita menentukan jumlah bilangan tertentu, karena penentuan adalah perkara tauqifi yang butuh dalil. Akan tetapi yang dimaksud dengan gerakan banyak adalah gerakan yang dianggap oleh orang-orang sebagai gerakan yang banyak, dimana jika orang yang sedang sholat dan banyak bergerak tersebut kalau dilihat maka sepertinya dia tidak sedang sholat karena banyaknya gerakannya”
(2) Berturut-turut : yaitu yang gerakan yang satu menyusuli gerakan yang lain. Artinya jika gerakan yang banyak tersebut dilakukan secara terpisah-pisah maka tidak membatalkan sholat. Jika ia bergerak tiga kali pada raka’at yang pertama, kemudian bergerak lagi tiga kali di rakaat kedua, kemudian bergerak tiga kali juga di rakaat ketiga, dan bergerak juga tiga kali di rakaat keempat, maka jika seandainya gerakan-gerakan ini digabung tentunya banyak gerakannya, akan tetapi tatkala gerakan-gerakan tersebut terpisah-pisah maka jadi sedikit jika ditinjau pada setiap rakaat masing-masing, dan hal ini tidak membatalkan sholat.
(3) Bukan karena kondisi yang mendesak (darurat) : Berbeda dengan orang yang banyak bergerak karena kondisi darurat.
Contohnya ada seseorang yang kita lihat banyak bergerak dalam sholat. Sesekali memperbaiki bajunya, sesekali membenarkan songkoknya, terkadang mengeluarkan penanya dan menulis apa yang dia pikirkan, padahal dalam sholat. Ini merupakan gerakan yang banyak dalam sholat tanpa ada kondisi yang mendesak (untuk bergerak).
Berbeda jika seseorang sedang sholat lantas ia mendengar suara keributan di belakangnya, tiba-tiba ternyata ada binatang buas ingin menerkamnya lantas iapun lari padahal ia dalam keadaan sedang sholat, maka ini merupakan gerakan yang banyak, akan tetapi karena kondisi yang mendesak (darurat). Oleh karenanya sholatnya tidak batal.
- Gerakan yang makruh
Yaitu gerakan yang sedikit yang dilakukan tanpa adanya keperluan dan juga bukan karena kondisi mendesak. Sungguh terlalu banyak dilakukan oleh orang-orang sekarang, sampai-sampai aku pernah melihat ada orang yang sedang sholat lantas melihat jam tangannya, karena dia semangat untuk disiplin waktunya, ia kawatir kalau waktu pelaksanaan sholatnya berlebihan satu menit. Atau karena ia hanya melakukan gerakan sia-sia, dan sepertinya inilah yang lebih nampak, yaitu ia melihat jam tangannya hanya karena melakukan gerakan sia-sia, karena engkau akan mendapati orang ini membuang-buang waktunya tanpa ada ujung pangkalnya. Akan tetapi syaitan memerintah manusia untuk bergerak tatkala sedang sholat.
- Gerakan yang boleh, yaitu gerakan sedikit yang dilakukan karena ada kebutuhan atau gerakan yang banyak akan tetapi dilakukan karena kondisi mendesak (darurat).
Ini semua (yaitu bentuk gerakan-gerakan di atas) adalah gerakan badan.
Tinggal kita membahas bentuk gerakan yang lain –yang mana hal tersebut merupakan intisari sholat-, yaitu gerakan hati.
Jika hati mengarah menuju Allah, dan orang yang sholat merasa bahwa ia sedang berada di hadapan Allah, merasa bahwa ia sedang berada di hadapan Dzat yang mengetahui apa yang dibisikan oleh jiwanya, dan ia memiliki keinginan yang kuat untuk bertaqorrub kepada Allah, dan ia juga memiliki rasa khouf (takut) kepada Allah, maka hatinya akan konsentrasi dan khusyu’ kepada Allah. Ini merupakan kondisi yang paling sempurna. Akan tetapi jika kondisinya tidak seperti ini maka hatinya akan terbang ke mana-mana, hati akan berjalan dengan gerakan yang merusak sholat. Dalam sebuah hadits sabda Nabi
إِنَّ الرَّجُلَ يَنْصَرِفُ مِنْ صَلاَتِهِ مَا كُتِبَ لَهُ إِلاَّ نِصْفُهَا أَوْ رُبُعُهَا أَوْ عُشُرُهَا أَوْ أَقَلُّ مِنْ ذَلِكَ
“Sesungguhnya seseorang selesai melaksanakan sholatnya dan tidaklah dicatat (pahala) baginya kecuali hanya setengah (pahalanya) atau seper empatnya atau seper sepuluhnya atau lebih sedikit daripada itu”
Oleh karenanya gerakan hati itu merusak sholat. Akan tetapi apakah merusak keabsahan (sahnya) sholat?, artinya jika seseorang terlalu banyak was-was pikirannya dalam sholat apakah sholatnya batal?
Jawabannya adalah tidak batal. Karena merupakan kenikmatan yang Allah anugrahkan kepada kita adalah –alhamdulillah- bahwasanya apa yang dibisikan oleh jiwa kita tidak akan dihukum oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَتَكَلَّمْ أَوْ تَعْمَلْ
“Sesungguhnya Allah memaafkan umatku apa yang dibisiki oleh hati-hati mereka selama belum diucapkan atau diamalkan”
Maka bisikan-bisikan hati tidaklah membatalkan sholat, akan tetapi mengurangi pahala sholat dan merusak kesempurnaan sholat”
(Lihat : Majmuu’ fataawaa wa rosaail Muhammad bin Sholeh Al-‘Utsaimiin 12/427-429 dan As-Syarhul Mumti’ 3/256-260)
Para ulama telah bersepakat bahwasanya gerakan yang banyak dalam sholat itu membatalkan sholat, hanya saja mereka berselisih pendapat tentang batasan kapan suatu gerakan dikatakan banyak?, sebagaimana telah diisyaratkan oleh Syaikh Al-‘Utsaimiin dalam penjelasan di atas. Dan yang dikuatkan oleh beliau –rahimahullah- adalah bahwasanya penentuan batasan banyak tidaknya suatu gerakan itu kembali kepada adat/urf (penilaian masyarakat). Beliau berkata :
“Jika ada seseorang yang berkata, “Kenapa kita kembali kepada adat dalam perkara ibadah?”,
Maka jawabannya adalah, “Iya, kita kembali kepada adat”, karena syari’at tidak menentukan batasan tersebut. Syari’at tidak pernah berkata –misalnya-, “Barangsiapa yang bergerak tiga kali dalam sholat maka sholatnya batal”, syari’at juga tidak pernah berkata, “Barangsiapa yang bergerak empat kali dalam sholat maka sholatnya batal”. Jika demikian perkaranya maka kita kembali kepada ‘urf. Jika orang-orang berkata, “Ini merupakan gerakan yang meniadakan sholat –yaitu jika ada seseorang melihat orang yang banyak bergerak dalam sholatnya ini maka akan berkata “orang ini tidak sholat’- maka tatkala itu gerakan tersebut dinilai banyak. Adapun jika orang-orang berkata, “Ini gerakan sedikit” maka gerakan tersebut tidak membatalkan sholat.
Kita ambil beberapa contoh permisalan :
Jika seseorang sholat sambil membawa anak kecil dengan memegang anak kecil tersebut (menggendong misalnya-pent) agar tidak berteriak menangis sehingga tidak mengganggu (orang-orang yang sedang sholat). Orang inipun sholat dan menggendong anak kecil tersebut, dan jika ia ruku’ maka ia meletakkan anak kecil tersebut, dan jika sujud ia meletakkannya, dan jika ia berdiri maka ia menggendongnya. Maka ada beberapa gerakan yang dilakukan oleh orang ini, gerakan menggendong, mengangkatnya (untuk digendong), dan gerakan menurunkannya. Bisa jadi kita katakan ; ia telah bersusah payah mengangkat anak tersebut, karena jika sang anak bertubuh besar maka akan memberatkanya. Semua gerakan ini kita anggap gerakan yang sedikit karena gerakan yang seperti ini pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (yaitu Nabi pernah menggendong Umaamah binti Zainab lihat HR Muslim no 543 )
Contoh yang lain : Seseorang sedang sholat lantas ada orang yang mengetuk pintu, dan pintu jaraknya dekat, lalu iapun bergerak maju (untuk membukakan pintu) sambil tetap menghadap kiblat, atau ia mundur ke belakang (untuk membuka pintu) namun ia masih tetap menghadap kiblat, atau ia bergerak (bergeser) ke kanan dengan tetap menghadap kiblat, atau bergeser ke kiri dengan tetap menghadap kiblat kemudian membuka pintu. Jika jarak pintu dekat maka semua gerakan ini adalah dianggap sedikit, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membukakan pintu untuk Aisyah radhiallahu ‘anhaa. (HR Ahmad dalam musnadnya 6/234, Abu Dawud dalam sunannya no 922, An-Nasaai 3/11, dan At-Thirmidzi di sunannya no 601. Nabi –shallallau ‘alaihi wa sallam- juga pernah maju dan mundur tatkala sholat gerhana, beliau maju karena dinampakkan surga kepadanya dan beliau mundur tatkala dinampakkan neraka kepadanya (HR Al-Bukhari no 690 dan Muslim no 474). Demikian juga tatkala Nabi dibuatkan mimbar maka Nabipun sholat di atas mimbar, beliau naik ke atas mimbar tatkala berdiri dan ruku’ dan beliau turun ke tanah tatkala sujud, hal itu beliau lakukan agar para sahabat bisa mencontohi sholat beliau (HR Al-Bukhari no 917 dan Muslim no 544))
Contoh lain : Seseorang sedang naik hewan tunggangannya (onta misalnya –pent) dan ia dalam keadaan sholat sambil memegang tali kekang hewan tunggangannya dengan tangannya. Ternyata hewan tunggangannya bergerak-gerak melawan (tidak mau ditarik tali kekangnya-pent). Jika hewan tunggangannya demikian maka ia harus bergerak, kalau tidak menarik tali kekangnya maka ia biarkan dirinya mengikuti hewan tunggangannya. Gerakan seperti ini dianggap sedikit karena para sahabat –radhiallahu ‘anhum- melakukan hal ini, sebagaimana dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiallahu ‘anhu, bahwasanya beliau sholat di atas hewan tunggangannya sambil memegang tali kekangnya. Hewan tunggangannyapun agak meronta-ronta dan Abu Barzahpun mengikuti arah hewan tunggangannya. Ternyata ada seseorang dari Khowaarij berkata, “Yaa Allah berikanlah keburukan terhadap syaikh ini (yaitu Abu barzah)”. Tatkala Abu Barzah selesai sholat maka iapun berkata, “Aku mendengar perkataan (doa) kalian, dan sesungguhnya aku telah ikut perang bersama Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebanyak enam atau tujuh kali atau delapan kali. Aku juga melihat keringanan dan kemudahan dari beliau. Sesungguhnya aku pulang bersama hewan tungganganku lebih aku sukai daripada aku meninggalkannya kembali ke tempat istirahatnya sehingga akan memberatkan aku”. (HR Al-Bukhari no 1211)
Yaitu Abu Barzah merasa berat jika pulang ke keluarganya dengan tidak naik hewan tunggangannya karena jarak yang jauh.
Contoh lain : Seseorang sedang sholat lantas timbul rasa gatal yang mengganggunya. Jika ia membiarkan gatal tersebut maka ia akan diam (tidak bergerak) akan tetapi hatinya sibuk terganggu dengan ras gatal tersebut. Jika ia bergerak dan menggaruk di tempat rasa gatal tersebut maka akan meredam rasa gatalnya dan dia akan lebih konsentrasi dalam sholatnya. Maka yang lebih utama adalah ia menggaruk dan konsentrasi dalam sholatnya, karena ini adalah gerakan yang sedikit, dan ada kemaslahatannya untuk sholat.
Contoh lain : Seseorang sholat sambil membawa pena, dan sebelum sholat ada hapalannya yang ia lupa. Tatkala sholat ia ingat kembali hapalannya yang lupa tadi padahal ujian sebentar lagi, dan hapalan yang ia lupakan tadi ada sekita 5 baris. Maka iapun mengeluarkan secarik kertas lantas menulis hapalannya tadi di kertas tersebut padahal ia sedang sholat, karena ia kawatir jika ia tidak segera menulisnya maka setelah sholat ia akan lupa kembali hapalannya tersebut. Gerakan seperti ini dianggap banyak dan membatalkan sholat. Namun jika seandainya yang akan ditulisnya hanyalah satu atau dua kata saja maka merupakan gerakan yang sedikit. Jika ia membutuhkannya maka tidak mengapa, karena terkadang seseorang mengalami kondisi yang darurat (mendesak) yang harus baginya untuk mengingatnya. Dan jika seseorang memulai sholatnya maka syaitan menggodanya dan berkata, “Ingatlah ini, ingatlah itu…” yaitu perkara-perkara yang dilupakan oleh orang yang sholat diingatkan oleh syaitan sehingga diingat kembali oleh orang yang sholat. Syaitan mengingatkannya bukan karena sayang kepadanya akan tetapi untuk merusak ibadahnya sehingga sholatnya hanyalah tinggal bentuk saja tanpa ada ruhnya” (As-Syarhul Mumti’ 3/351-353)
([25]) Ini adalah pendapat Abu Hanifah (ad-Dur al-Mukhtaar wa Hasyiat Ibni Ábidin 1/634), Malik (Mawahib al-Jaliil, al-Hatthoob 1/535), dan Asy-Syafií (Tuhfatul Muhtaa, Al-Haitami 2/160)
Al-Qodhi Íyaadh beliau berkata,
أو يكون ” تقطع الصلاة ” بمعنى تقطع الإقبال عليها والشغل بها، فالشيطان بوسوسته ونزغه، والمرأة بفتنتها والنظر إليها، والكلب والحمار بقبح أصواتهما وكثرتها وعلوها قال الله تعالى: {إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ}، وقال: {فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْركْهُ يَلْهَث} الآية، ولنفور النفس من الكلب، لا سيما الأسود، وكراهة لونه وخوف عاديته، والحمار للجاجته وقلة تأتيه عند دفعه ومخالفته.
“Atau bisa “تقطع الصلاة” bermakna memutuskan dari menghadap shalat dan menyibukkan darinya, syaithon dengan was-wasnya, dan wanita dengan fitnahnya ketika melihatnya, adapun anjing dan keledai karena buruknya suaranya, dan banyaknya, juga tinggi suaranya, Allah berfirman,
{إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ}
“Sesungguhnya seburuk-buruknya suara adalah suara keledai” ([25])
Dan juga Allah berfirman,
{فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْركْهُ يَلْهَث}
“Maka perumpamaannya seperti permisalan anjing jika kamu menghalaunya ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya ia (tetap) menjulurkan lidahnya.” (Ikmalul Mu’lim Bi Fawaidi Muslim 2/426 karya Al-Qodhi ‘Iyadh)
([26]) Sebagaimana dinukil dari sebagian salaf, diantaranya Anas bin Malik, Abul Ahwash, al-Hasan al-Bashri (Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Ábdilbarr di al-Istidzkaar 2/84), dan Íkrimah (lihat Mushonnaf Ibni Abi Syaibah 1/252)
([27]) Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/183, Al-Iqnaa’, al-Hajjaawi 1/132.
Adapun wanita dan keledai apakah membatalkan shalat, maka ada dua riwayat dari al-Imam Ahmad. Riwayat pertama adalah tidak batal dan inilah yang dijadikan pegangan oleh madzhab Hambali, dan riwayat kedua membatalkan shalat (Lihat al-Inshoof, al-Mirdaawi 2/106).
([28]) Ini adalah pendapat yang dilipih oleh para ulama al-Lajnah ad-Daaimah (Lihat Fatawa al-Lajnah ad-Daaimah 7/87) dan Asy-Syaikh al-Útsaimin (Lihat Liqoo al-Baab al-Maftuuh 9/78)
([29]) HR Ibnu Khuzaimah no 831 dan Ibnu Hibban no 2391, dan dishahihkan oleh Al-Albani di ash-Shahihah no 3323 dan Syuáib al-Arnauuth di tahqiq Shahih Ibni Hibban