Kesalahan-Kesalahan Yang Sering Terjadi berkaitan dengan Shalat
Kesalahan-kesalahan berkaitan dengan tata cara shalat
1- Melafalkan niat dengan suara yang keras. Hal ini karena pendapat yang lebih kuat bahwasanya melafalkan niat tidak disyariátkan. Selain itu para ulama syafiíyah yang menganjurkan melafalkan niat tujuan mereka adalah untuk mengkokohkan niat di hati, bukan untuk diucapkan dengan keras sehingga bisa mengganggu jamaáh shalat yang di sampingnya.
2- Tidak menggerakan lidah ketika takbir dan membaca alquran dan seluruh dzikir-dzikir shalat dan semuanya hanya di baca di dalam hati. Karena yang benar bahwasanya dzikir-dzikir di dalam shalat disyariátkan dibaca denga dilafalkan. Karena yang terbetik di dalam hati sangatlah banyak, bahkan begitu banyak perkara dunia yang terlintas di hati, sehingga yang di hati tidak bisa menjadi patokan.
3- Kesalahan-kesalahan ketika posisi berdiri:
- Meninggalkan mengangkat tangan ketika ketika ruku’, dan ketika bangkit dari ruku’
- Mengangkat kedua tangan ketika hendak sujud atau ketika bangkit dari sujud.
- Mengulang-ulangi al-fatihah([1])
- Mengangkat pandangan ke atas
- Memejamkan kedua mata ketika shalat([2]), kecuali dalam kondisi tertentu, misalnya di depannya ada hal-hal yang mengganggu kekhusyuán shalatnya maka boleh baginya untuk menutup matanya. ([3])
- Banyak bergerak ketika shalat
- Tergesa-gesa dalam membaca surat al-fatihah([4])
4- Kesalahan berkaitan dengan ruku’ dan iktidal
- Tidak mengangkat kedua tangan ketika mau ruku’
- Tidak mengangkat kedua tangan ketika bangkit dari ruku’
- Ketika bangkit dari ruku mengangkat tangan (sambil mengucapkan رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْد ) tapi posisi kedua tangan seperti orang berdoa.
- Ketika iktidal tidak membaca “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْد” terlebih dahulu, akan tetapi langsung membaca doa qunut, padahal mengucapkan “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْد” adalah wajib sementara doa qunut adalah sunnah. Yang seharusnya sebelum qunut membaca “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْد” dahulu
- Menambahkan kata “وَالشُّكْرُ” setelah “رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ”
- Membolak-balikkan tangan ketika membaca doa qunut
- Mengusap wajah setelah membaca doa qunut
- Imam terlalu lama membaca doa qunut sehingga bisa sampai 20 menit hingga setengah jam, hal ini tentu tidak pernah dicontohkan oleh Nabi, dan akhirnya menjadikan makmum letih dan hilang konsentrasi mereka.
5- Kesalahan ketika sujud
- Mengangkat kedua tangan ketika akan sujud atau ketika bangkit dari sujud.
- Kesalahan dalam mewajibkan untuk menyingkap sebagian anggota sujud atau mewajibkan untuk sujud diatas tanah atan bagian darinya (sebagaimana yang diyakin oleh kum syiáh)
- Selalu mengusap rambut dari dahi agar dahi ketika sujud tidak tertutup rambut. Padahal ini tidak perlu, dan tidak mengapa sujud sementara sebagian dahi tertutup rambut. Akhirnya selalu banyak gerak yang tidak perlu dalam shalat.
- Mengangkat sesuatu agar bisa digunakan tempat bersujud bagi orang yang sakit. Yang seharusnya ia hanya cukup menunduk semampunya, dan tidak perlu mengangkat sajadahnya atau ubin untuk ditempelkan ke dahinya.
- mengucapkan “سُبْحَانَ مَنْ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَسْهُو” ketika sujud sahwi, karena tidak ada dalilnya. Yang seharusnya ia cukup membaca doa sujud seperti biasa.
5- Kesalahan ketika duduk, tasyahhud, dan taslim
- Meyakini harus menambahan “سَيِّدِنَا” sebelum menyebut nama Nabi Muhammad ketika tasyahhud([5]), padahal lafal shalawat yang terbaik di dalam shalat adalah yang diajarkan oleh Nabi tanpa lafal tersebut.
- membaca bismillah di awal tasyahhud
- berisyarat dengan tangan kanan ke arah kanan ketika salam pertama
- ketika salam mengucapkan “أَسْأَلُكَ الْفَوْزَ بِالجَنَّةِ” (Aku memohon kepadamu ya Allah untuk memperoleh surga) ketika menoleh ke kanan dan mengucapkan “أسألك النّجاة من النار” (Aku berlindung kepadaMu dari neraka) ketika menoleh ke kiri.
Kesalahan yang Berkaitan dengan Masjid dan Shalat Berjamaáh
1 Kesalahan muadzzin dan orang yang mendengarkan adzan
- Kesalahan dalam mengatakan hukum adzan adalah sunnah bagi para lelaki yang mukim, sehingga sebagian muslim menganggap hal ini adalah sepele dan biasa saja ketika tidak ada yang melakukan adzan di tempat mereka tinggal, dan yang benar hukumnya adalah fardhu kifayah Dari Malik bin al-Huwairits, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ
“Jika telah tiba (waktu) shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan untuk kalian. Dan hendak-lah yang paling tua di antara kalian mengimami kalian.” ([6])
Disini Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memerintahkan untuk mengumandangkan adzan, dan perintah menunjukkan untuk sesuatu yang wajib.
- Mengeraskan suara ketika bershalawat dan salam kepada Nabi setelah selesai adzan, perbuatan ini tidak ada landasannya sama sekali entah membaca keras maupun pelan, adapun beralasan menggunakan hadits Abdullan Bin ‘Amr Bin Al-Ash:
إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ، فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَيَّ، فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى الله عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا
“apabila kalian mendengar muadzzin mengumandangkan adzan maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkannya, kemudian bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali” ([7])
Maka berhujjah dengan dalil ini adalah sebuah kesalahan, karena hadits diperuntukkan untuk orang yang mendengar adzan, bukan untuk muadzdzin. - Tasbih, doa, dan nasyid sebelum adzan, dan ini yang sering kita dapati di beberapa masjid ketika sebelum adzan atau antara adzan dan iqomat. Dan para ulama melarang dari hal tersebut, berkata Al-Hajjawi salah satu ukama hanabilah:
وَمَا سِوَى التَّأْذِيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ مِنَ التَّسْبِيْحِ وَالنَّشِيْدِ وَرَفْعِ الصَّوْتِ بِالدُّعَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فِي الأَذَانِ فَلَيْسَ بِمَسْنُوْنٍ وَمَا أَحَدٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ قَالَ أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ بَلْ هُوَ مِنْ جُمْلَةِ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ
“Dan selain adzan sebelum fajar baik bertasbih, nasyid, berdoa dengan suara keras, dan selainnya dalam adzan maka ini bukan termasuk sunnah, dan tidak ada satu ulama pun yang mengatakan bahwasanya hal tersebut disukai, bahkan ini termasuk dalam bod’ah yang dibenci.” ([8])
Dan berkata Ibnul Jauzi:
وَقَدْ رأينا من يقوم بالليل كثيرا عَلَى المنارة فيعظ ويذكر ومنهم من يقرأ سورا من القرآن بصوت مرتفع فيمنع الناس من نومهم ويخلط عَلَى المتهجدين قراءتهم وكل ذلك من المنكرات
“Sungguh kita sering melihat ada yang yang bangun di malam hari, lalu naik ke atas menara memberi nasihat dan berdzikir, dan diantara mereka ada yang membaca al-Quran dengan suara yang keras sehingga mengganggu orang yang tidur, dan mereka mengganggu bacaran orang-orang yang sedang shalat tahajjud, dan semua itu termasuk kemungkaran-kemungkaran.” ([9])
2- Tergesa-gesa ketika berjalan menuju masjid dan menjalin jari-jari kedua tangan
Karena Rasulullah mengajarkan seseorang ketika berjalan menuju masjid untuk tenang dan tidak tergesa-gesa, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits:
إِذَا سَمِعْتُمُ الإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّلاَةِ، وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَلاَ تُسْرِعُوا ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Jika kalian mendegar iqamah, maka berjalanlah menuju shalat. Namun tetaplah tenang dan khusyu’ menuju shalat, jangan tergesa-gesa. Apa saja yang kalian dapati dari imam, maka ikutilah. Sedangkan yang luput dari kalian, maka sempurnakanlah.” ([10])
Begitu juga dilarang bagi orang yang sudah berwudhu lalu menuju masjid untuk menjalin jari jemarinya, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Ka’ab bin ‘Ujroh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ فَإِنَّهُ فِى صَلاَةٍ
“Jika salah seorang di antara kalian berwudhu, lalu memperbagus wudhunya, kemudian keluar menuju masjid dengan sengaja, maka janganlah ia menjalin jari-jemarinya karena ia sudah berada dalam shalat.” ([11])
3- Tidak memperhatikan sunnah-sunnah ketika memasuki masjid, seperti berdoa dan ketika masuk mendahulukan kaki kanan dan ketika keluar mendahulukan kaki kiri
Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengajarkan ketika masuk masjid untuk meminta rahmat pada Allah dengan membaca dzikir dan do’a,
بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Bismillah wassalaamu ‘ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwaaba rohmatik (Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu rahmat-Mu).” ([12])
Dan ketika keluar masjid mengajarkan untuk meminta karunia Allah dengan membaca dzikir dan do’a,
بِسْمِ اللَّهِ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى ذُنُوبِى وَافْتَحْ لِى أَبْوَابَ فَضْلِكَ
“Bismillah wassalaamu ‘ala rosulillah. Allahummaghfir lii dzunuubi waftahlii abwabaa fadhlik (Dengan menyebut nama Allah dan salam atas Rasulullah. Ya Allah, ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah padaku pintu karunia-Mu).” (([13])
Mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan mendahulukan kaki kiri ketika keluarnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِى تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِى شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan yang kanan ketika memakai sendal, ketika menyisir rambut dan ketika bersuci, juga dalam setiap perkara (yang baik-baik).” ([14])
4- Keluar dari masjid ketika adzan
Dalam sebuah hadits yang shahih disebutkan:
عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ قَالَ : كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ الْمَسْجِدِ يَمْشِي ، فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنْ الْمَسْجِدِ ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ : (أَمَّا هَذَا فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abu Asy Sya’tsa, ia berkata: “Ketika itu kami sedang duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah. Kemudian muadzin pun beradzan. Ada seorang lelaki berdiri berjalan. Maka Abu Hurairah tidak melepaskan pandangan terhadap lelaki tersebut hingga akhirnya lelaki tersebut keluar masjid. Maka Abu Hurairah berkata: ‘Adapun orang ini ia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Rasulullah) Shallallahu’alaihi Wasallam” ([15])
Dikecualikan beberapa keadaan, apabila ada hal yang mengharuskan dia keluar dari masjid, maka ini tidak mengapa sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat At Tirmidzi rahimahullah juga meriwayatkan hadits Abu Hurairah ini dalam Sunan-nya, kemudian setelah membawakan hadits beliau mengatakan:
وَعَلَى هَذَا الْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَنْ بَعْدَهُمْ، أَنْ لَا يَخْرُجَ أَحَدٌ مِنْ الْمَسْجِدِ بَعْدَ الْأَذَانِ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ أَنْ يَكُونَ عَلَى غَيْرِ وُضُوءٍ ، أَوْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ
“Inilah yang diamalkan para ulama dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan orang-orang setelah mereka. Yaitu seseorang tidak boleh keluar dari masjid setelah adzan kecuali jika ada udzur semisal untuk wudhu karena ia belum berwudhu, atau perkara yang memang harus dilakukan.” ([16])
5- Berbicaranya dua orang dibelakang padahal sudah iqomat dan imam sudah melakukan takbirotul ihrom
Dan ini sering kita saksikan yang banyak dilakukan oleh pemuda-pemuda muslim dimana mereka tidak bersegara untuk masuk kedalam barisan ketika sudah dikumandangkan iqomat bahkan ketika imam sudah mulai bertakbir, Imam Malik berkata ketika ditanya tentang hal tersebut:
أرى أن يتركا الكلام إذا أحرم الإمام
“Aku berpandangan bahwasanya hendaknya mereka berdua meninggalkan berbicara ketika imam sydah mulai bertakbirotul ihrom” ([17])
6- Meninggalkan tahiyyatul masjid, dan tidak mengambil sutroh (pembatas) ketika shalat
Shalat tahiyatul masjid termasuk perkara yang sangat ditekankan, bahkan sampai ada ulama yang berpendapat hukumnya wajib berdasarkan hadits Abu Qotadah As-Salamy -radhiyallahu ‘anhu-:
«إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ»
“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum dia duduk.” ([18])
Dan juga Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika sedang berkhutbah memerintahkan seorang sahabat yang datang langsung duduk untuk melaksanakan sholat 2 raka’at, sebagaimana yang datang dari hadits Jabir -radhiyallahu ‘anhu-,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: «يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ثُمَّ قَالَ: «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا»
“Sulaik Al-Ghathafani datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah, dia pun duduk. Maka beliau langsung bertanya padanya, “Wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua raka’at, kerjakanlah dengan ringan.” Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaknya dia mengerjakannya dengan ringan.” ([19])
Maka sungguh disayangkan banyak kaum muslimin yang tidak tahu akan sunnah yang satu ini akhirnyameninggalkannya.
Dalil yang menunjukkan disyari’atkannya shalat menghadap sutroh terdapat dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيُصَلِّ إِلَى سُتْرَةٍ وَلْيَدْنُ مِنْهَا
“Apabila salah seorang di antara kalian shalat, hendaknya ia shalat dengan menghadap sutroh dan mendekatlah padanya” ([20])
7- Shalat sunnah ketika iqomat
Hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ صَلاَةَ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةُ
“Apabila telah dikumandangkan iqamah maka tidak ada shalat kecuali shalat wajib.” ([21])
Al-Hafidz al-Iraqi menjelaskan hadis Abu Hurairah di atas,
إن قوله : “فلا صلاة ” يحتمل أن يراد : فلا يشرع حينئذ في صلاة عند إقامة الصلاة , ويحتمل أن يراد: فلا يشتغل بصلاة وإن كان قد شرع فيها قبل الإقامة بل يقطعها المصلي لإدراك فضيلة التحريم؛ أو أنها تبطل بنفسها وإن لم يقطعها المصلي
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “tidak ada shalat kecuali shalat wajib” ada 3 kemungkinan,
- Kemungkinan pertama, ketika iqamah tidak disyariatkan shalat sunah
- atau kemungkinan maknanya, jangan melakukan shalat, meskipun shalat sunah sudah dimulai sebelum iqamah. Namun dia harus batalkan, agar bisa mendapatkan keutamaan takbiratul ihram.
- atau kemungkinan maknanya, ketika iqamah, shalat sunah batal dengan sendirinya, meskipun tidak dibatalkan oleh orang yang melakukannya.
Lalu As-Syaukani juga menyebutkan sikap yang baik dengan membawa keterangan dari Abu Hamid – ulama syafiiyah –,
قال الشيخ أبو حامد من الشافعية : أن الأفضل خروجه من النافلة إذا أداه إتمامها إلى فوات فضيلة التحريم وهذا واضح
Syaikh Abu Hamid – dari syafiiyah – mengatakan, “Yang afdhal, dia batalkan shalat sunah, dengan batasan, apabila dilanjutkan akan menyebabkan dirinya ketinggalan takbiratul ihram.” Dan alasan ini sangat jelas. ([22])
8- Memakan bawang atau yang lainnya sebelum pergi ke masjid yang bisa mengganggu jama’ah shalat yang baunya tersebut dapat menganggu jamaah shalat lainya, dan termasuk didalamnya adalah orang yang suka merokok, karena bau rokok sangat sangat mengganggu orang lain, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
“Barang siapa yang memakan bawang merah, bawang putih (mentah) dan karats, maka janganlah dia menghampiri masjid kami, karena para malaikat terganggu dengan hal yang mengganggu manusia (yaitu: bau tidak sedap)“. ([23])
9- Keyakinan bahwasanya iqomat tidak sah kecuali dari orang yang adzan
Hal ini berdasarkan sebuah hadits:
مَنْ أَذَّنَ فَهُوَ يُقِيْمُ
“Orang yang adzan dialah yang (berhak untuk) iqomat” ([24])
Akan tetapi hadits ini dikatakan lemah sebagaimana yang dikatakan oleh syaikh al-albani, jadi tidak tepat mengamalkan hadits ini.
10- Tidak menyempurnakan barisan dan meninggalkan merapatkan barisan dan menutup celah, padahal Rasulullah memerintahkan kita untuk menyempurnakan barisan sebelum shalat:
Dari Anas Bin Malik:
وَعَنْ أَنَسٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : (( سَوُّوا صُفُوفَكُمْ ؛ فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ )) مُتَّفَقٌ عَلَيهِ .
وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي : (( فَإنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إقَامَةِ الصَّلاَةِ )) .
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.” ([25])
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Karena lurusnya shaf termasuk mendirikan shalat.”
Dan juga dari hadits Anas yang lain:
وَعَنْهُ ، قَالَ : أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَأقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : (( أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا ؛ فَإنِّي أرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي )) رَوَاهُ البُخَارِيُّ بِلَفْظِهِ ، وَمُسْلِمٌ بِمَعْنَاهُ . وَفِي رِوَايَةٍ لِلْبُخَارِي: وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Iqamah shalat telah dikumandangkan, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap kami kemudian berkata, ‘Luruskanlah shaf-shaf kalian, karena aku dapat melihat kalian dari belakang punggungku.’” ([26])
Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan, “Dan keadaan salah seorang, dari kami menempelkan bahunya dengan bahu rekannya dan kakinya dengan kaki rekannya.”
dan termasuk kesalahan-kesalahan dalam masalah shaf adalah:
- Shalat jauh dibelakang dari barisan
- Meninggalkan merapatkan barisan
- Kesalahan imam ketika merapatkan barisan hanya mengucapkan “اِسْتَوُوا” saja tanpa memperhatikan kondisi saf makmum.
- Pada shalat 5 waktu, setelah iqomat dan setelah para jamaáh menyusun shaff maka imam berkata الصَّلاة جَامِعَة, dan kesalahan imam pada hal ini di dua sisi :
Pertama : Karena ucapan ini tidak disyariátkan lagi untuk shalat-shalat yang ada adzannya (seperti shalat 5 waktu) dengan kesepakatan para ulama. Adapun apakah masih bisa diucapkan pada shalat-shalat yang tidak ada adzannya (seperti shalat íed, shalat istisqo’, shalat tarawih, dan shalat gerhana) maka ada silang pendapat di kalangan para ulama. ([27])
Kedua : Ucapan inipun diucapkan bukan oleh imam tapi oleh seseorang yang bertugas seperti muadzzin, dan tujuannya untuk mengumpulkan kaum muslimin agar melaksanakan shalat secara berjamaáh, bukan diucapkan setelah iqomat dan setelah para jamaáh menyusun shaff dengan rapi.
- Kesalahan sebagian orang dalam perkataan”sesungguhnya Allah tidak melihat terhadap shaf yang bengkok”
- Shalat di shaf yang terputus,
Dari Mu’awiyah bin Qurroh dari Bapaknya ia berkata:
كُنَّا نُنْهَى أَنْ نَصُفَّ بَيْنَ السَّوَارِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنُطْرَدُ عَنْهَا طَرْدًا
“Pada masa Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam kami dilarang membuat shaf antara tiang-tiang, maka kamipun meninggalkannya” ([28])
Dan juga terdapat atsar dari shahabat seperti perkataan Abdullah bin Mas’ud rodhiallohu ‘anhu:
لَا تَصفُوا بَيْنَ السوَارِي
“Jangan kalian ber-shaf diantara tiang-tiang” ([29])
Kecuali jika masjid sudah penuh dan tidak ada tempat maka tidak mengapa shalat diantara tiang-tiang.
12- Berdiri yang lama dan berdoa sebelum takbirotul ihrom, dan ini kita sering dapati para imam masjid melakukannya sebelum mereka bertakbirotul ihrom, yang biasa mereka isi dengan doa-doa atau dzikir yang tidak ada landasannya sama sekali. Bahkan terkadang diantara mereka ada yang membaca ayat tententu. Dan juga terkadang hal ini disebabkan juga oleh rasa was-was ketika mengucapkan niat sehingga terkadang mereka mengulang-ulang lafaz niat tersebut sampai menurut mereka telah benar ketika melafazkannya.
13- Salah dalam membaca alfatihah yaitu ketika membacanya dengan 1 nafas, padahal yang benar adalah membacanya 1 ayat 1 ayat.
Dari ummu salamah ketika ditanya tentang bacaan Nabi:
كَانَ يُقَطِّعُ قِرَاءَتَهُ آيَةً آيَةً (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Beliau memotong-motong bacaannya satu ayat satu ayat: bismillāhir-raḥmānirrraḥīm, al-ḥamdulillāhi rabbil-‘ālamīn, ar-rāhmārnirrahīm, māliki yaumiddīn” ([30])
14- Mendahului gerakan imam atau mengiringi gerakannya secara bersamaan, karena sejatinya imam dijadikan untuk diikuti, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu :
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَلَا تَخْتَلِفُوا عَلَيْهِ فَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَإِذَا صَلَّى جَالِسًا فَصَلُّوا جُلُوسًا أَجْمَعُونَ
“Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti, maka janganlah menyelisihnya. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah. Dan bila ia mengatakan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka katakanlah,’Rabbana walakal hamdu’. Apabila ia sujud, maka sujudlah. Dan bila ia shalat dengan duduk, maka shalatlah dengan duduk semuanya” ([31])
15- Kesalahan berkaitan dengan takbirotul ihrom bagi orang yang masbuk sedangkan Imam dalam ruku’, ini adalah perkara besar yang banyak kaum muslimin tidak mengetahuinya, yaitu ketika seorang masbuk dan dia mendapati imamnya dalam keadaan ruku’, karena inginnya dia bisa mengikuti imamnya dan supaya dia tetap mendapat 1 raka’at maka dia bertakbirotul ihrom bersamaan dengan keadaan dia turun untuk ruku’, ini tidaklah dibenarkan, karena takbirotul ihrom harus dilakukan dalam keadaan berdiri, bahkan Imam An-Nawawi berkata: “Wajib bagi imam untuk melakukan takbirotul ihrom dalam keadaan dia berdiri ketika dia diwajibkan untuk berdiri, begitu juga makmum yang mendapati imam dalam keadaan ruku’ wajib untuk melakukan takbirotul ihrom di setiap hurufnya dalam keadaan berdiri, dan apabila dia mendatangkan (membaca) 1 huruf darinya (bacaan takbir) diselain keadaan berdiri maka para ulama sepakat bahwa shalatnya tidak sah apabila shalat tersebut shalat fardhu, adapun dalam shalat sunnah maka ada perselisihan pendapat dalam masalah sah atau tidaknya” ([32])
16- Kesalahan shalat jama’ah yang dilakukan di selain masjid dan berkeyakinan bahwa pahalanya sama seperti ketika shalat berjama’ah di masjid.
Kesalahan Setelah Shalat Berjamaah atau Sendiri
- Kesalahan ketika salam dan berjabat tangan
Ketika sesesai shalat maka tidak disunnahkan untuk berjabat tangan, karena sunnah berjabat tangan adalah ketika dua orang saling bertemu sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Al Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua muslim itu bertemu lantas berjabat tangan melainkan akan diampuni dosa di antara keduanya sebelum berpisah.” ([33])
Adapun pengkhususan setelah salam maka tidak ada satu dalilpun yang menjelaskan hal tersebut. Kecuali jika sebelum shalat keduanya belum bertemu maka tidak mengapa keduanya saling berjabat tangan akan tetapi jangan menganggap bahwa berjabat tangan khusus setelah shalat adalah sunnah.
- Sujud untuk berdoa setelah selesai shalat, dan ini terjadi di sebagian kaum muslimin yang dimana hal tersebut tidak diketahui asalnya juga tidak ada nukilannya sama sekali dari Nabi -shallallau ‘alaihi wa sallam-.
- Bergadang setelah shalat isya,
Terdapat hadis dari Abu Barzah Radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat isya dan ngobrol setelah isya.” ([34])
Al-Hafidz Ibn Hajar mengatakan,
وَالسَّمَر بَعْدَهَا قَدْ يُؤَدِّي إِلَى النَّوْم عَنْ الصُّبْح، أَوْ عَنْ وَقْتهَا الْمُخْتَار، أَوْ عَنْ قِيَام اللَّيْل. وَكَانَ عُمَر بْن الْخَطَّابِ يَضْرِب النَّاس عَلَى ذَلِكَ وَيَقُول : أَسَمَرًا أَوَّلَ اللَّيْل وَنَوْمًا آخِرَهُ ؟
Bergadang setelah isya bisa menyebabkan ketiduran sehingga tidak shalat subuh, atau kesiangan ketika shalat subuh, atau tidak melakukan shalat malam. Bahkan Umar bin Khatab memukul orang-orang yang bergadang (ngobrol), sambil mengatakan, ‘Apakah bergadang di awal malam dan tidur di akhir malam?.’ ([35])
An-Nawawi menyebutkan rincian hukum kegiatan setelah isya,
ويُكره لمن صلى العشاء الآخرة أن يتحدَّثَ بالحديث المباح في غير هذا الوقت وأعني بالمُباح الذي استوى فعله وتركه. فأما الحديث المحرّم في غير هذا الوقت أو المكروه فهو في هذا الوقت أشدّ تحريماً وكراهة.
“Setelah shalat isya, dimakruhkan untuk melakukan obrolan yang hukum asalnya mubah. Yang saya maksud dengan mubah, obrolan yang jika dilakukan maupun ditinggalkan statusnya sama saja. Adapun obrolan yang hukum asalnya haram atau makruh, jika dilakukan setelah isya hukumnya lebih teralarang”
An-Nawawi melanjutkan keterangannya,
وأما الحديثُ في الخير كمذاكرة العلم وحكايات الصالحين ومكارم الأخلاق والحديث مع الضيف فلا كراهةَ فيه، بل هو مستحبّ
Adapun obrolan dalam kebaikan, seperti belajar, membaca sirah orang shaleh, melakukan akhlak mulia, melayani tamu, hukumnya tidak makruh, bahkan anjuran. ([36])
Imam Bukhari juga menyampaikan keterangan yang sama. Dalam shahihnya, beliau menyebutkan judul bab:
باب السَّمَرِ فِى الْفِقْهِ وَالْخَيْرِ بَعْدَ الْعِشَاءِ
Bab bolehnya bergadang untuk belajar agama atau kebaikan setelah isya. ([37])
Dan juga Imam Bukhari menyebutkan kegiatan lain yang hukumnya sama,
باب السَّمَرِ مَعَ الضَّيْفِ وَالأَهْلِ
Bab bolehnya bergadang dalam rangka melayani tamu dan ngobrol bersama istri. ([38])
Dan Imam AnNawawi juga berkata:
قَالَ الْعُلَمَاء : وَالْمَكْرُوه مِنْ الْحَدِيث بَعْد الْعِشَاء هُوَ مَا كَانَ فِي الْأُمُور الَّتِي لَا مَصْلَحَة فِيهَا. أَمَّا مَا فِيهِ مَصْلَحَة وَخَيْر فَلَا كَرَاهَة فِيهِ , وَذَلِكَ كَمُدَارَسَةِ الْعِلْم , وَحِكَايَات الصَّالِحِينَ , وَمُحَادَثَة الضَّيْف ، وَالْعَرُوس لِلتَّأْنِيسِ , وَمُحَادَثَة الرَّجُل أَهْله وَأَوْلَاده لِلْمُلَاطَفَةِ وَالْحَاجَة
Para ulama mengatakan, obrolan yang makruh setelah isya adalah obrolan yang tidak ada maslahatnya. Adapaun kegiatan yang ada maslahatnya dan ada kebaikannya, tidak makruh. Seperti belajar ilmu agama, membaca cerita orang soleh, ngobrol melayani tamu, atau pengantin baru untuk keakraban, atau suami ngobrol dengan istrinya dan anaknya, mewujudkan kesih sayang dan hajat keluarga. ([39])
- Bertasbih dan berdoa jama’i (berjamaah satu suara)
Bukan termasuk sunnah berdzikir bersama-sama dengan satu suara setelah shalat, karena tidak ada satu dalil yang menjelaskan hal demikian, namun sangat disayangkan hal tersebut seakan bagian dari syiar islam dimana orang yang meninggalkannya seakan telah melakukan kesalahan. Imam Asy-Syathiby berkata:
فقد حصل أن الدعاء بهيئة الاجتماع دائماً لم يكن من فعل رسول الله – صلى الله عليه وسلم – كما لم يكن قوله ولا إقراره
“Sungguh terdapat amalan berdo’a secara berjama’ah yang dilakukan secara terus menerus yang hal tersebut bukan berasal dari perbuatan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, sebagaimana hal tersebut bukan perkataannya juga bukan ketetapannya.” ([40])
- Melewati depan orang yang sedang shalat
Terdapat larangan untuk lewat di hadapan orang yang sedang shalat sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Zaid bin Kholid tentang orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang shalat,
لَوْ يَعْلَمُ الْمَارُّ بَيْنَ يَدَىِ الْمُصَلِّى مَاذَا عَلَيْهِ لَكَانَ أَنْ يَقِفَ أَرْبَعِينَ خَيْرًا لَهُ مِنْ أَنْ يَمُرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ
“Seandianya orang yang berjalan di hadapan orang yang sedang shalat itu mengetahui apa yang akan menimpanya, niscaya ia lebih memilih diam selama 40 (tahun) itu lebih baik baginya daripada ia berjalan di hadapan orang tadi.” ([41])
Kesalahan Berkaitan dengan Shalat Jum’at
- Meninggalkan shalat jum’at hanya karena untuk menonton pertandingan sepak bola.
Dan ini adalah fenomena yang kita dapatkan pada zaman sekarang ini, banyak sekali perkara-perkara yang membuat seorang muslim lalai dari kewajiban-kewajibannya, salah satunya adalah sepak bola yang dimana membuat lalai kaum muslimin, yang bermain maupun yang menyaksikannya, terlebih lagi meninggalkan shalat, salah satu shalat yang sering ditinggalkan adalah shalat jum’at, padahal Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.” ([42])
Dikuatkan lagi dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“(Shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban bagi setiap muslim dalam jama’ah kecuali bagi empat orang: budak yang dimiliki, wanita, anak kecil dan orang yang sakit.” ([43])
Dan juga terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkannya secara sengaja tanpa udzur dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, keduanya mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata ketika beliau memegang tongkat di mimbarnya,
لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ عَنْ وَدْعِهِمُ الْجُمُعَاتِ أَوْ لَيَخْتِمَنَّ اللَّهُ عَلَى قُلُوبِهِمْ ثُمَّ لَيَكُونُنَّ مِنَ الْغَافِلِينَ
“Hendaklah orang yang suka meninggalkan shalat jumat menghentikan perbuatannya. Atau jika tidak Allah akan menutup hati-hati mereka, kemudian mereka benar-benar akan tergolong ke dalam orang-orang yang lalai.” ([44])
مَنْ تَرَكَ ثَلاَثَ جُمَعٍ تَهَاوُنًا بِهَا طَبَعَ اللَّهُ عَلَى قَلْبِهِ
“Barangsiapa meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali karena lalai terhadap shalat tersebut, Allah akan tutupi hatinya.” ([45])
- Pengantin baru yang meninggalkan shalat jum’at dan jama’ah.
Ini juga salah satu kesalahan yang menimpa sebagian kaum muslimin yang dimana mereka ketika baru menikah maka mereka tidak keluar kamar, mereka berdalil dengan sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bagi lelaki yang menikahi wanita perawan maka bermalam ditempatnya selama 7 hari dan untuk wanita yang janda bermalam ditempatnya selama 3 hari. Maka kita katakana ini adalah cara pengambilan dalil yang salah, karena maksud dari perkataan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah waktu untuk bermalam, dan tidak ada sisi pembolehan untuk meninggalkan shalah jum’at huga yang lainnya.
- Dan juga ada beberapa kesalahan-kesalahan yang menyebabkan seseorang luput dari pahala pada hari jum’at
- Tidak bersegera untuk menuju shalat jum’at, Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi pada hari jumat sebagaimana mandi janabah, lalu berangkat menuju masjid, maka dia seolah berkurban dengan seekor unta. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kedua maka dia seolah berkurban dengan seekor sapi. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) ketiga maka dia seolah berkurban dengan seekor kambing yang bertanduk. Barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) keempat maka dia seolah berkurban dengan seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang pada kesempatan (waktu) kelima maka dia seolah berkurban dengan sebutir telur. Dan apabila imam sudah keluar (untuk memberi khuthbah), maka para malaikat hadir mendengarkan dzikir (khuthbah tersebut).” ([46])
- Dan juga salah satu kesalahan yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah mereka tidak mandi sehingga menyebabkan aroma tidak enaknya tercium oleh orang di sebelahnya, padahal Rasulullah menganjurkan orang yang hendak melaksanakan shalat jum’at untuk segera mandi sebagaimana yang disebutkan dalam hadits,
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
“Barangsiapa berwudhu di hari Jum’at, maka itu baik. Namun barangsiapa mandi ketika itu, maka itu lebih afdhol.” ([47])
Bahkan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menyebutkan,
وَتَبَيَّنَ بِمَجْمُوعِ مَا ذَكَرْنَا أَنَّ تَكْفِير الذُّنُوب مِنْ الْجُمُعَة إِلَى الْجُمُعَة مَشْرُوط بِوُجُودِ جَمِيع مَا تَقَدَّمَ مِنْ غُسْل وَتَنْظِيف وَتَطَيُّب أَوْ دَهْن وَلُبْس أَحْسَن الثِّيَاب وَالْمَشْي بِالسَّكِينَةِ وَتَرْك التَّخَطِّي وَالتَّفْرِقَة بَيْن الِاثْنَيْنِ وَتَرْك الْأَذَى وَالتَّنَفُّل وَالْإِنْصَات وَتَرْك اللَّغْو
“Jika dilihat dari berbagai hadits yang telah disebutkan, penghapusan dosa yang dimaksud karena bertemunya Jum’at yang satu dan Jum’at yang berikutnya bisa didapat dengan terpenuhinya syarat sebagaimana yang telah disebutkan yaitu mandi, bersih-bersih diri, memakai harum-haruman, memakai minyak, memakai pakaian terbaik, berjalan ke masjid dengan tenang, tidak melangkahi jama’ah lain, tidak memisahkan di antara dua orang, tidak mengganggu orang lain, melaksanakan amalan sunnah dan meninggalkan perkataan laghwu (sia-sia).” ([48])
- Berbicara dan tidak mendengarkan khutbah, dan ini adalah kondisi yang sering kita saksikan dimana banyak jamaah jumat yang tidak memperhatikan khatib dan mereka sibuk dengan pembicaraan diantara mereka, dari anak-anak sampai yang tua sekalipun terjatuh dalam kesalahan ini, padahal dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika engkau berkata pada sahabatmu pada hari Jum’at, ‘Diamlah, khotib sedang berkhutbah!’ Sungguh engkau telah berkata sia-sia.” ([49])
- Mengumpulkan infak dengan menjalankan kotak amal sedangkan imam sedang berkhutbah, dan hal ini bisa menyebabkan terputusnya seseorang dari mendengarkan khutbah, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi melarang dari berbicara saat Imam berkhutbah salah satu alasannya adalah agar dia bisa mendengarkan nasihat dan peringatan yang dibawakan oleh sang khotib, maka sudah selayaknya dalam sebuah masjid tidak disibkkan dengan edaran kotak amal disaat khotib berkhutbah. Hendaknya kotak amal diletakan di dekat pintu masuk/keluar masjid, atau kotak-kotak amal diedarkan sebelum khathib naik mimbar atau setelah selesai shalat jumát.
- Tidur sedangkan imam berkhutbah dan tidak berwudhu ketika memulai shalat, ini adalah kesalahan besar yang banyak dialami kaum muslimin, yang ini dikhawatirkan bisa menyebabkan shalat jumatnya tidak diterima, maka perhatikan ini.
- Membelakangi imam dan kiblat sedangkan imam sedang khutbah
- Melakukan perbuatan sia-sia dengan kerikil atau tasbih sedangkan Imam sedang berkhutbah yang memalingkan mereka dari mendengar khutbah. Di zaman ini dengan sibuknya jamaáh mengutak atik HP sementara khathib sedang berkhutbah.
- Melangkah melewati pundak-pundak orang pada shalat jumat, dan Nabi melarang dari hal tersebut, dari Salman Al-Farisy:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَيَتَطهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيْبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَينِ ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإمَامُ ، إِلاَّ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at dan ia bersuci semampunya, juga memakai minyak atau pun mengenakan sesuatu dari minyak wangi yang ada di rumahnya, kemudian ia keluar menuju masjid, lalu ia tidak memisah-misahkan antara dua orang yang sedang duduk, selanjutnya ia melakukan shalat sesuai dengan apa yang ditentukan padanya, kemudian ia mendengarkan imam berkhutbah, melainkan orang yang melakukan semua itu akan mendapatkan pengampunan dosa antara Jumat yang satu dan Jumat berikutnya.” ([50])
- Melakukan shalat qobliyyah jumat
Para ulama berbeda pendapat tentang sholat sunnah yang dilakukan sebelum sholat jum’at, apakah shalat termasuk sunnah rawatib qobliyah (sebelum) Jum’at ataukah tidak? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan tentang hal ini:
وَأَمَّا سُنَّةُ الْجُمْعَةِ الَّتِي قَبْلَهَا فَلَمْ يَثْبُتْ فِيْهَا شَيْءٌ
“Adapun shalat sunnah rawatib sebelumm Jum’at, maka tidak ada hadits shahih yang mendukungnya.” ([51])
Ini dikuatkan dengan dalil-dalil yang ada yang menunjukkan bahwa sholat sunnah sebelum sholat juma’at adalah sholat sunnah muthlak yang dilakukan sebelum imam naik keatas mimbar atau sebelum dikumandangkannya adzan sholat jum’at, dan adzan sholat jum’at di zaman Nabi hanya 1 kali, diantara dalil yang menunjukan bahwa yang dimaksud adalah sholat utlaq:
عَنْ سَلْمَانَ الفَارِسِيِّ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى»
Dari Salmaan Al Faarisi, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mandi pada hari Jum’at, lalu ia bersuci semampu dia, lalu ia memakai minyak atau ia memakai wewangian di rumahnya lalu ia keluar, lantas ia tidak memisahkan di antara dua jama’ah (di masjid), kemudian ia melaksanakan shalat yang ditetapkan untuknya, lalu ia diam ketika imam berkhutbah, melainkan akan diampuni dosa yang diperbuat antara Jum’at yang satu dan Jum’at yang lainnya.” ([52])
Dan juga perbuatan para sahabat di zaman Umar ibn Al-Khottob -radhiyallahu ‘anhu-
أَنَّهُمْ كَانُوا فِي زَمَانِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، يُصَلُّونَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، حَتَّى يَخْرُجَ عُمَرُ
mereka di zaman ‘Umar bin Al Khottob melakukan shalat (sunnah) pada hari Jum’at hingga keluar ‘Umar (yang bertindak selaku imam) ([53])
- Kesalahan berkaitan dengan shalat tahiyyatul masjid pada hari jum’at, yaitu banyak orang ketika masuk masjid dalam kondisi dikumadangkan adzan kedua pada hari jumát, merekapun menunggu adzan hingga selesai baru kemudian shalat thiyyatul masjid. Padahal ketika adzan seleai khothib langsung menyampaikan khutbahnya, sementara mendengarkan khutbah hukumnya wajib, dan menjawab adzan hukumnya sunnah. Dalam kondisi demikian jika seseorang masuk masjid meski dalam kondisi adzan sedang dikumandangkan maka hendaknya ia langsung shalat tahiyyatul masjid, agar ia bisa mendengarkan khutbah secara sempurna.
- kita dapati dimana kaum muslimin langsung duduk dan tidak melakukan shalat tahiyyatul masjid ketika khotib sedang berkhutbah, padahal Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika sedang berkhutbah pernah memerintahkan seorang sahabat yang datang langsung duduk untuk melaksanakan sholat 2 raka’at, sebagaimana yang datang dari hadits Jabir -radhiyallahu ‘anhu-,
جَاءَ سُلَيْكٌ الْغَطَفَانِيُّ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَرَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَجَلَسَ، فَقَالَ لَهُ: «يَا سُلَيْكُ قُمْ فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَتَجَوَّزْ فِيهِمَا ثُمَّ قَالَ: «إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ، فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ، وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا»
“Sulaik Al-Ghathafani datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sedang berkhutbah, dia pun duduk. Maka beliau langsung bertanya padanya, “Wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua raka’at, kerjakanlah dengan ringan.” Kemudian beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sedangkan imam sedang berkhutbah, maka hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaknya dia mengerjakannya dengan ringan.” ([54])
Kesalahan yang Berkaitan dengan Shalat Istikhoroh
- Mengerjakan shalat istikharah lebih dari 2 raka’at. Padahal Nabi bersabda
” إِذَا هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِ الفَرِيضَةِ، ”
“Jika kalian ingin melakukan suatu urusan, maka kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu” ([55])
Dari sabda Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- “maka kerjakanlah shalat dua rakaat selain shalat fardhu,” diketahui bahwasanya shalat istikhoroh hanya 2 raka’at, maka ketika kita mengulang-ulang shalat istikhoroh dalam satu waktu maka hal ini berarti kita menambah jumlah raka’atnya dan menjadikannya lebih dari 2 raka’at. Hal ini tentu menyelisishi sunnah.
Adapun jika shalat istikhoroh 2 rakaat di waktu yang lain lagi maka tidak mengapa. (lihat pembahasan shalat-shalat sunnah, shalat istikharah)
- Dan juga kesalahan yang sering terjadi adalah pernyataan sebagian orang bahwa shalat istikhoroh harus dengan mendapatkan mimpi untuk hal yang dipilihkan oleh Allah untuknya. Dan ini tidak benar, karena sebagian ulama menyatakan bahwasanya orang yang sudah melakukan shalat istikhoroh akan mendapatkan perkara yang terbaik adalah ketika dia melakukan salah satu perkara tersebut dengan hati yang lapang, bukan karena disebabkan mimpi atau bergantung dengan seseorang.
Kesalahan yang Berkaitan dengan Shalat ‘ied
- Menyepelekan shalat hari raya dan mengatakan bahwa hukumnya hanya sunnah sehingga meninggalkan shalat hari raya, padahal Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk keluar ke mushalla untuk melakukan shalat ‘ied, sampai yang haidh pun diperintahkan keluar untuk menyaksikannya, sebagaimana yang dijelaskan di hadits Ummu ‘Athiyyah:
«أَمَرَنَا – تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنْ نُخْرِجَ فِي الْعِيدَيْنِ، الْعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الْخُدُورِ، وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat ‘ied (Idul Fithri ataupun Idul Adha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.” ([56])
- Tidak mengeraskan suara ketika takbir dijalan ketika menuju lapangan untuk shalat hari raya atau bahkan tidak melakukan takbir sama sekali,padahal Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” ([57])
dan juga disebutkan dalam suatu riwayat disebutkan.
أن رسول الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْرُجُ يَوْمَ الفِطْرِ فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ المصَلَّى وَحَتَّى يَقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَا قَضَى الصَّلاَةَ ؛ قَطَعَ التَّكْبِيْرَ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa keluar hendak shalat pada hari raya Idul Fithri sambil bertakbir sampai di lapangan dan sampai shalat hendak dilaksanakan. Ketika shalat hendak dilaksanakan, beliau berhenti dari bertakbir.” ([58])
- Shalat sunnah qobliyyah untuk shalat hari raya, dan ini banyak kita saksikan sebagian kaum muslimin yang ketika sudah sampai di tempat shalat ‘ied mereka melakukan 2 rakaat sebelum melakukan shalat ‘ied sambal menunggu imam, dan hal ini tidak ada asalnya sama sekali. Yang benar sebagaimana perkataan Ibnu Hajar :
وَالْحَاصِلُ أَنَّ صَلَاةَ الْعِيدِ لَمْ يَثْبُتْ لَهَا سُنَّةٌ قَبْلَهَا وَلَا بَعْدَهَا خِلَافًا لِمَنْ قَاسَهَا عَلَى الْجُمُعَةِ وَأَمَّا مُطْلَقُ النَّفْلِ فَلَمْ يَثْبُتْ فِيهِ مَنْعٌ بِدَلِيلٍ خَاصٍّ إِلَّا إِنْ كَانَ ذَلِكَ فِي وَقْتِ الْكَرَاهَةِ الَّذِي فِي جَمِيعِ الْأَيَّامِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Kesimpulannya bahwasanya shalat íed tidak ada shalat sunnah sebelumnya ataupun sesudahnya, berbeda dengan orang yang mengqiaskannya dengan shalat jumát (yang ada shalat ba’diahnya-pen). Adapun shalat sunnah Mutlaq maka tidak ada dalil khusus yang melarang, kecuali jika di waktu yang dibenci yang berlaku di seluruh hari. Wallahu a’lam” ([59])
- Menghidupkan malam hari raya dengan ibadah shalat dan lainnya dengan berlandaskan dengan sebuah hadits palsu,
مَنْ أَحْيَى لَيْلَةَ الْفِطْرِ وَالأَضْحَى، لَمْ يَمُتْ قَلْبُه يَوْمَ تَمُوْتُ الْقُلُوْبُ
“Barangsiapa yang menghidupkan malam hari raya ‘iedul fithri dan ‘iedul adha, maka hatinya tidak akan mati di hari matinya hati-hati.”
Kesalahan-Kesalahan Yang Berkaitan Dengan Tempat-Tempat Shalat
- Sujud di atas tanah Karbala dan menjadikan segenggam tanah karbala untuk bersujud di atasnya ketika shalat
Tidak ada satupun hadits yang shahih yang menyebutkan tentang keutamaan sujud di tanah Karbala dan kesucian tanah tersebut, atau disunnahkan menjadikan sebagian-sebagiannya sebagai tempat sujud ketika shalat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah pada hari ini. Seandainya hal itu disunnahkan, tentu lebih pantas dijadikan sebagai tempat bangunan dua msjid yang paling mulia: Makkah dan Madinah. Akan tetapi demikianlah bid’ahnya syi’ah serta ekstrimnya mereka dalam mengagungkan ahlul bait serta peninggalannya.
Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Hadits-hadits semisal (yang menerangkan tentang kesucian dan keutamaan tanah karbala) dzahirnya bathil menurut kami dan para imam radhiyallahu ‘anhum berlepasa diri darinya. Ia tidak memiliki sanad di sisi imam Ahlul Bait radhiyallahu ‘anhum. Dan menurut kaidah dan prinsip-prinsip ilmu hadits, riwayat tersebut sangat mudah terbantah. Dan sesungguhnya itu adalah riwayat-riwayat yang mursal dan mu’dhal (jenis-jenis hadits yang lemah). ([60])
- Shalat menghadap ke tempat-tempat yang bergambar atau sujud di atas sajadah yang ada bergambar dan berukir atau di tempat-tempat yang bergambar
Diriwayatkan dari Aisyah sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam shalat menggunakan baju yang bergambar, beliau melihat gambarnya sepintas, ketika selesai beliau mengatakan:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ، فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلَاتِي وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Nabi sallallahu alaihi wa sallam shalat mengenakan pakaian bergambar, beliau melihat selintas gambarnya, ketika selesai beliau mengatakan “Pergilah membawa baju ini ke Abu Jahm dan datangkan kain kasar Abu Jahm. Karena ia barusan melenakan dalam shalatku. Hisyam bin Urwah mengatakan dari ayahnya dari Aisyah, Nabi sallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Saya barusan melihat gambarnya, sementara saya dalam shalat, saya khawatir menggangguku.” ([61])
Ash-Shan’aniy berkata: “Hadits ini menjadi dalil tentang makruhnya ukiran dan yang sejenisnya yang mengganggu orang dari shalat dan sesuatu yang menyibukkan hati”. ([62])
Disebutkan dalam hadits lain:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ قِرَامٌ لِعَائِشَةَ، سَتَرَتْ بِهِ جَانِبَ بَيْتِهَا، فَقَالَ لَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمِيطِي عَنِّي، فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيرُهُ تَعْرِضُ لِي فِي صَلاَتِي
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bahwa sesungguhnya ‘Aisyah memiliki kain yang dia gunakan untuk menutupi jendela rumahnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jauhkanlah ia dariku, karena sesungguhnya gambar itu senantiasa memalingkan aku dalam shalatku.” ([63])
Dalam hadits ini menunjukkan tentang makruhnya shalat di tempat yang banyak gambar. Juga menunjukkan wajib menghilangkan sesuatu yang melalaikan kekhusyu’an orang shalat, baik berupa gambar maupun lainnya. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa melakukan shalat di tempat yang bergambar, shalatnya tidak batal, karena beliau tidak memutus shalatnya dan tidak mengulanginya. ([64])
Di antara dalil-dalil yang melarang hal itu adalah:
- Hadits Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ أَبِي طَلْحَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: لاَ تَدْخُلُ المَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ
Dari Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Malaikat tidak memasuki rumah yang di dalamnya terdapat gambar.” ([65])
- Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mau memasuki ka’bah, sampai setiap gambar yang ada di dalamnya dihapus. Sebagaimana hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu:
عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ زَمَنَ الْفَتْحِ وَهُوَ بِالْبَطْحَاءِ أَنْ يَأْتِيَ الْكَعْبَةَ، فَيَمْحُوَ كُلَّ صُورَةٍ فِيهَا، فَلَمْ يَدْخُلْهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى مُحِيَتْ كُلَّ صُورَةٍ فِيهَا
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada waktu ditaklukannya kota Makkah memerintahkan ‘Umar bin Al-Khattab ketika dia berada di Bathaa’ agar mendatangi Ka’bah. Maka dia pun menghapus setiap gambar yang ada di dalamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memasukinya, sampai semua gambar yang ada di dalamnya dihapus. ([66])
- Perbuatan sahabat radhiyallahu ‘anhum, sesungguhnya mereka shalat di dalam gereja Nashara, ketika tidak ada gambar.
Al-Imam Al-Bukhari berkata :
وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «إِنَّا لاَ نَدْخُلُ كَنَائِسَكُمْ مِنْ أَجْلِ التَّمَاثِيلِ الَّتِي فِيهَا الصُّوَرُ» وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ: «يُصَلِّي فِي البِيعَةِ إِلَّا بِيعَةً فِيهَا تَمَاثِيلُ»
Dan Umar berkata, “Sesungguhnya kami tidak masuk di gerja kalian karena ada patung-patung yang ada gambar-gambarnya”. Dan adalah Ibnu Ábbas shalat di kuil, kecuali kuil yang ada patungnya (maka beliau tidak shalat di situ)” ([67])
- Shalat di atas kuburan dan menghadap kepadanya
عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ قَبْلَ أَنْ يُتَوَفَّى بِخَمْسٍ يَقُولُ: قَدْ كَانَ لِي مِنْكُمْ إِخْوَةٌ وَأَصْدِقَاءُ، وَإِنِّي أَبْرَأُ إِلَى كُلِّ خَلِيلٍ مِنْ خُلَّتِهِ، وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا خَلِيلًا مِنْ أُمَّتِي لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا، وَإِنَّ رَبِّي اتَّخَذَنِي خَلِيلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا، وَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
Dari Jundub bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum beliau meninggal: “Dahulu aku memiliki saudara dan teman dari kalian, sesungguhnya aku berlepas diri kepada Allah dari kalian tentang adanya kekasih untukku. Karena sesungguhnya Allah telah menjadikanku sebagai kekasih, sebagaimana Dia telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Kalau aku dibolehkan menjadikan kekasih, tentulah aku menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ingatlah, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah menjadikan kuburan nabi mereka sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut. ([68])
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: قَاتَلَ اللَّهُ اليَهُودَ، اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, sesungguhya Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam bersabda: “Semoga Allah memerangi Yahudi dan Nasrani, dikarenakan mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid.” ([69])
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَرَضِهِ الَّذِي لَمْ يَقُمْ مِنْهُ: لَعَنَ اللَّهُ اليَهُودَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallh I’alaihi wasaallam bersabademoga Allah melaknat Yahudi dan Nashara, dikarenakan mereka menjadikan kuburan-kuburan para nabi mereka sebagai masjid. ([70])
عَنْ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: ” إِنَّ مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُ السَّاعَةُ وَهُمْ أَحْيَاءٌ، وَمَنْ يَتَّخِذُ الْقُبُورَ مَسَاجِدَ
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di antara seburuk-buruknya manusia adalah orang-orang yang menjumpai hari kiamat dalam keadaan masih hidup dan orang-orang yang menjadikan kuburan sebagai masjid.” ([71])
Faedah-faedah dari hadits di atas:
- Haram menjadikan kuburan sebagai masjid.
- Dilarang shalat di atas kuburan, meskipun tidak ada kuburan yang lain di sisinya.
- Begitu pula berlaku jika kuburan tersebut berada di depan, belakang, maupun di samping kanan dan kirinya.
- Demikian halnya shalat di samping kuburan adalah makruh, meskipun tidak terdapat bangunan masjid di atasnya.
Berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تَجْلِسُوا عَلَى الْقُبُورِ، وَلَا تُصَلُّوا إِلَيْهَا
“Janganlah kalian duduk di atas kuburan dan janganlah kalian shalat menghadap kepadanya.” ([72])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اجْعَلُوا مِنْ صَلَاتِكُمْ فِي بُيُوتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
“Jadikanlah shalat kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah menjadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan.” ([73])
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menetapkan sebabnya:
عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلى الله عَلَيه وَسَلم، قَالَ: اللَّهُمَّ لا تَجْعَلْ قَبْرِي وَثَنًا يُعْبَدُ
Dari Atha’ bin Yasar, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ya Allah janganlah engkau jadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah.” ([74])
- Mengkhususkan suatu tempat untuk shalat di masjid
Dimakruhkan mengkhususkan suatu tempat di dalam masjid, yaitu dia tidak shalat wajib kecuali pada tempat itu. Hal ini berdasarkan hadits Abdurrahman bin Syibl, dia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَقْرَةِ الْغُرَابِ، وَافْتِرَاشِ السَّبْعِ، وَأَنْ يُوَطِّنَ الرَّجُلُ الْمَكَانَ فِي الْمَسْجِدِ كَمَا يُوَطِّنُ الْبَعِيرُ
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang (di dalam shalat) seperti burung gagak yang mematuk (ketika sujud), duduk iftirasynya seekor singa dan seseorang menempati tempat di masjid seperti onta menempati suatu tempat.” ([75])
Hikmah larangan tersebut adalah:
- Sesungguhnya perbuatan itu akan mengantarkan dia pada kesenangan terhadap popularitas dan membuatnya ingin dilihat perbuatannya. Karena dengan cara demikian (mengkhususkan tempat) jadilah ia menjadi pusat perhatian
- Tidak mendapat keutamaan di hari kiamat, karena semakin banyak tempat dia jadikan tempat shalat maka kelak tempat-tempat tersebut akan menjadi saksi baginya.
- Karena ibadah di satu tempat akan menjadi tabiat baginya, dia akan keberatan jika melakukan ibadah di tempat yang lain. ([76])
FOOTNOTE:
=====================================================
([1]) Para ulama berselisihi tentang hukum mengulang-ulang membaca al-Fatihah tanpa udzur atau tanpa tujuan yang disyariátkan. Sebagian ulama memandang hal tersebut adalah makruh, dan sebagian lagi memandang hal itu membatalkan shalat. Hal ini karena mengulangi al-Fatihah berarti mengulangi rukun shalat. Karena al-Fatihah adalah rukun shalat. (lihat al-Inshoof, al-Mirdawi 2/99). Namun yang benar hanya makruh dan tidak membatalkan shalat karena asalnya shalat adalah sah kecuali ada dalil yang tegas yang menunjukan batalnya shalat. Selain itu membaca al-Fatihah adalah qoul (perkataan), maka tidak bisa diqiaskan dengan mengulangi ruku’ (misalnya) yang merupakan perbuatan. Demikian juga hukumnya sama dengan jika seseorang setelah al-Fatihah membaca surat dua kali (lihat Al-Muhadzdzab, Asy-Syiroozi 1/167)
Asy-Syaikh al-Útsaimin berkata :
والمُكرِّرُ للفاتحة على وجه التعبُّد بالتكرار لا شَكَّ أنه قد أتى مكروهاً؛ لأنه لو كان هذا مِن الخير لفَعَلَهُ النبيُّ صلّى الله عليه وسلّم، لكن إذا كرَّر الفاتحةَ لا على سبيل التعبُّد، بل لفوات وصف مستحبّ؟ فالظَّاهرُ الجواز، مثل: أن يكرِّرها لأنه نسيَ فقرأها سِرًّا في حال يُشرع فيها الجهرُ، كما يقعُ لبعض الأئمة ينسى فيقرأ الفاتحةَ سِرًّا، فهنا نقول: لا بأس أن يُعيدها من الأول استدراكاً لما فات من مشروعية الجهر، وكذلك لو قرأها في غير استحضار، وأراد أن يكرِّرها ليحضر قلبه في القراءة التالية؛ فإن هذا تكرار لشيء مقصود شرعاً، وهو حضور القلب، لكن إن خشيَ أن ينفتح عليه باب الوسواس فلا يفعل، لأن البعض إذا انفتحَ له هذا البابُ انفتح له باب الوسواس الكثير، وصار إذا قرأها وقد غَفَلَ في آية واحدة منها رَدَّها، وإذا رَدَّها وغَفَلَ رَدَّها ثانية، وثالثة، ورابعة
“Orang yang mengulangi membaca al-Fatihah dengan niat beribadah dengan pengulangan tersebut, maka tidak diragukan ia telah melakukan hal yang makruh. Karena jika hal ini termasuk kebaikan maka tentu Nabi shallallahu álaihi wa sallam telah melakukannya. Akan tetapi jika ia mengulangi al-Fatihah bukan karena menganggapnya suatu ibadah, namun karena terluputkan dari membaca al-Fatihah yang sesuai sunnah?. Maka yang nampak hukumnya boleh mengulangi al-fatihah. Contoh, ia mengulangi al-Fatihah karena ia telah membaca al-Fatihah dengan sirr pada kondisi yang disyariátkan untuk membaca al-Fatihah dengan jahr (keras). Sebagaimana yang dialami oleh sebagian imam, ia lupa sehingga membaca al-Fatihah dengan sir. Maka di sini kita katakan, “Tidak mengapa ia mengulangi lagi dari awal untuk membenarkan apa yang terluput darinya, yaitu membaca al-Fatihah dengan dijahr-kan.
Demikian juga kalau ia membacanya tanpa menghadirkan hati lalu ia ingin mengulangi membacanya agar bisa menghadirkan hatinya para bacaan berikutnya, maka ini adalah pengulangan dengan tujuan yang disyariátkan yang menghadirkan hati. Akan tetapi jika ia takut hal ini akan membuka pintu was-was kepadanya maka janganlah ia lakukan, karena sebagian orang jika terbuka pintu ini padanya (mengulangi al-fatihah) maka akan terbuka baginya pintu was-was yang banyak. Sehingga jika ia membaca al-Fatihah lalu ia lalai pada 1 ayat saja maka ia ulangi lagi al-Fatihah, jika dia ulangi lalu lalai lagi pada salah satu ayat maka ia ulangi lagi kedua kali, ketiga kali, ke empat kali…” (Asy-Syarh al-Mumti’ 3/239-240)
([2]) Merupakan sunnah Nabi dalam shalat beliau membuka kedua mata beliau. Terlalu banyak hadits yang menunjukan akan hal itu. Diantaranya Nabi ketika tasyahhud mengisyaratkan pandangannya ke tenujuknya. Demikian ketika Nabi shalat Nabi maju karena surga diperlihatkan kepada Nabi, dan Nabi mundur karena neraka diperlihatkan kepada Nabi. Demikian juga mencekik syaitan yang mengganggu Nabi di hadapan Nabi ketika beliau shalat, demikian juga Nabi bergerak dalam shalatnya ketika ada hewan yang ingin lewat di depan beliau, dan hadits-hadits yang lain. Yang ini semua menunjukan bahwa Nabi tidak menutup kedua matanya. (Lihat Zaadul Maáad 1/284)
Ibnu Qudamah berkata :
وَيُكْرَهُ أَنْ يُغْمِضَ عَيْنَيْهِ فِي الصَّلَاةِ. نَصَّ عَلَيْهِ أَحْمَدُ؛ وَقَالَ: هُوَ فِعْلُ الْيَهُودِ. وَكَذَلِكَ قَالَ سُفْيَانُ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ مُجَاهِدٍ، وَالثَّوْرِيِّ، وَالْأَوْزَاعِيِّ. وَرُوِيَ عَنْ الْحَسَنِ جَوَازُهُ مِنْ غَيْرِ كَرَاهَةٍ
“Dan dibenci ia menutup kedua matanya dalam shalat. Hal ini dinyatakan oleh Imam Ahmad, dan beliau berkata, “Ini adalah perbuatan Yahudi”. Dan demikian juga yang dikatakan oleh Sufyan bin Úyainah, dan diriwayatkan dari Mujahid, Sufyan ats-Tsauri, dan Al-Auzaaí. Dan diriwayatkan dari al-Hasan akan bolehnya hal tersebut tanpa makruh” (Al-Mughni 2/9)
إِنْ كَانَ تَفْتِيحُ الْعَيْنِ لَا يُخِلُّ بِالْخُشُوعِ، فَهُوَ أَفَضْلُ، وَإِنْ كَانَ يَحُولُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْخُشُوعِ لِمَا فِي قِبْلَتِهِ مِنَ الزَّخْرَفَةِ وَالتَّزْوِيقِ أَوْ غَيْرِهِ مِمَّا يُشَوِّشُ عَلَيْهِ قَلْبَهُ، فَهُنَالِكَ لَا يُكْرَهُ التَّغْمِيضُ قَطْعًا، وَالْقَوْلُ بِاسْتِحْبَابِهِ فِي هَذَا الْحَالِ أَقْرَبُ إِلَى أُصُولِ الشَّرْعِ وَمَقَاصِدِهِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْكَرَاهَةِ
“Jika membuka kedua mata tidak mengganggu kekhusyuán maka itulah yang terbaik. Akan tetapi jika ternyata mengganggu kekhsyuán seperti di depannya ada hiasan atau yang lainnya yang mengganggu hatinya, maka ketika itu jelas tidak makruh menutup kedua mata. Dan pendapat akan disukainya menutup kedua mata dalam kondisi ini lebih dekat kepada pokok-poko syariát dan tujuannya dari pada pendapat yang mengatakan makruh” (Zaadul Maád 1/285)
Adapun jika tanpa sebab lantas seseorang ingin meraih kekhusyuán dengan memejamkan kedua mata maka ini adalah bidáh yang dilakukan oleh sebagian kaum sufiyah dalam shalat mereka. (Lihat penjelasan Al-Útsaimin di Asy-Syarh al-Mumti’ 3/41-42)
([4]) Bahkan sebagian imam -terutama dalam shalat tarawih- membaca surat al-Fatihah dengan sekali bernafas bahkan dengan setengah bernafas karena begitu cepatnya. Tentu ini menghilangkan khsuyu’ dalam shalat dan tadabbur al-Qurán.
([5]) Para ulama madzhab Syafiíyah berselisih tentang hukum menambah lafal sayyidinaa ketika tasyahhud dalam shalat (bukan di luar shalat). Sebab khilaf menurut mereka adalah dua hal yang bertentangan, (1) Menjalani adab dalam menyebut Nabi, ataukah (2) menjalankan perintah Nabi dimana Nabi mengajarkan shalawat dalam shalat tanpa lafal sayyidinaa ? (lihat al-Muhimmat fi Syarh ar-Roudhoh wa ar-Rofií, al-Isnawi 3/112)
Secara umum ada dua pendapat di kalangan para ulama syafiíyah :
Pertama : Menambah lafal sayyidinaa lebih afdol.
Diantara ulama syafiíyah yang memilih pendapat pertama adalah al-Ízz bin Ábdissalam (sebagaimana dinukil oleh al-Isnawi di al-Muhimmaat 3/112), Al-Jalaal Al-Mahalli, Zakarya al-Anshoori (lihat Asna al-Matholib 1/166), dan Qolyuubi (lihat Hasyiat Qolyuubi 1/190), menurut mereka dengan menambah sayyidina maka telah menggabungkan antara menjalankan adab kepada Nabi dan juga perintah untuk bershalawat kepada beliau.
Kedua : Yang lebih afdol adalah tidak menambah lafal sayyidina dalam shalawat ketika bertasyahhud. Karena inilah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam kepada para sahabatnya (tanpa tambahan sayyidinaa). Dan ini dzohir dari perkataan al-Isnawi dimana beliau berkata :
وَفِي كَوْنِ ذَلِكَ أَفْضَلُ مِنْ تَرْكِهَا نَظَرٌ
“Dan tentang menambah sayyidinaa lebih afdol daripada tidak ditambahkan perlu dilihat kembali” (Al-Muhimmaat 3/112).
Dan ini juga yang nampak dari pendapat an-Nawawi, tatkala beliau menjelaskan bentuk shalawat yang terbaik beliau tidak menyebutkan tambahan lafal sayyidinaa, akan tetapi beliau hanya mencukupkan dengan shalawat Ibrahimiyah sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi. Beliau berkata :
وَأَكْمَلُهَا أَنْ يَقُولَ: (اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكَتْ عَلَى إِبْرَاهِيمَ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ)
“Dan shalawat yang palin sempurna adalah : Allahumma shalli ála Muhammad wa álaa Aali Muhammad….dst” (Roudotut Thoolibiin 1/265)
Bahkan as-Syirbini menyatakan bahwa dzohir dari madzhab syafií yang mu’tamad (yang menjadi patokan) adalah pendapat ini. Setelah beliau menyebutkan dua pendapat beliau berkata :
وَظَاهِرُ كَلَامِهِمْ اعْتِمَادُ الثَّانِي
“Dan yang nampak dari perkataan mereka (para ulama syafiíyah) adalah berpatokan pada pendapat yang kedua” (Mughni al-Muhtaaj 1/383). Demikian juga as-Sakhowi menukil pendapat sebagian ulama yang berpendapat dengan pendapat kedua (lihat al-Qoul al-Badii’ hal 107)
Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Al-Haafiz ibnu Hajar al-Ásqolaani rahimahullah. Al-Haafiz Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Garobilli (796-835 H) -beliau adalah seorang yang melazimi Ibnu Hajar- ia berkata :
وسئل (أي: الحافظ ابن حجر) أمتع الله بحياته عن صفة الصلاة على النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في الصلاة أو خارج الصلاة، سواء قيل بوجوبها أو بندبيتها؛ هل يشترط فيها أن يصفه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بالسيادة؛ كأن يقول مثلاً: اللهم! صل على سيدنا محمد، أو على سيد الخلق، أو على سيد ولد آدم. أو يقتصر على قوله: اللهم! صل على محمد؟ وأيهما أفضل: الإتيان بلفظ السيادة لكونها صفة ثابتة له صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أو عدم الإتيان به لعدم ورود ذلك في الآثار؟
“ Dan Ibnu Hajar -semoga Allah memenuhi kehidupan beliau dengan kebaikan- ditanya tentang sifat sholawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam shalat atau di luar shalat, sama saja apakah dikatakan hukumnya wajib atau sunnah. Apakah disyaratkan pada shalawat untuk mensifati Nabi dengan siyaadah (sayyid), seperti seseorang berkata contohnya “Allahummah shalli ala sayyidinaa Muhammad” atau “Sayyidil Kholqi” atau “Sayyidi waladi Adam”. Ataukah hanya mencukupkan dengan perkataan “Allahumma shalli ‘alaa Muhammad”?. Manakah diantara keduanya yang lebih afdhol?, apakah mengucapkan lafal sayyidinaa karena itu merupakan sifat yang tetap buat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ataukah tidak mengucapkannya karena tidak ada datang dalam atsar (riwayat-riwayat)?”
Beliau menjawab,
نعم؛ اتباع الألفاظ المأثورة أرجح، ولا يقال: لعله ترك ذلك تواضعاً منه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ كما لم يكن يقول عند ذكره صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” صلى الله عليه وسلم “، وأمته مندوبة إلى أن تقول ذلك كلما ذكر! لأنا نقول: لو كان ذلك راجحاً؛ لجاء عن الصحابة ثم عن التابعين، ولم نقف في شيء من الآثار عن أحد من الصحابة ولا التابعين لهم قال ذلك؛ مع كثرة ما ورد عنهم من ذلك. وهذا الإمام الشافعي – أعلى الله درجته، وهو من أكثر الناس تعظيماً للنبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قال في خطبة كتابه الذي هو عمدة أهل مذهبه: ” اللهم! صلِّ على محمد … ” إلى آخر ما أداه إليه اجتهاده، وهو قوله: ” كلما ذكره الذاكرون، وكلما غفل عن ذكره الغافلون “.
Benar, mengikuti lafadz shalawat yang ma’tsur (sesuai dalil) itu lebih didahulukan. Kita tidak boleh mengatakan: Bisa jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan demikian karena ketawadhuan beliau, sebagaimana beliau tidak membaca shalawat ketika nama beliau disebut, sementara umatnya dianjurkan membaca shalawat ketika nama beliau disebut. Kami beralasan, andaikan memberikan tambahan ‘sayyidina’ itu dianjurkan, tentu akan dipraktekkan para sahabat, kemudian tabi’in. Namun belum pernah kami jumpai adanya riwayat dari sahabat maupun tabiin yang mengucapkan kalimat itu. Padahal sangat banyak lafadz shalawat dari mereka. Lihatlah Imam As-Syafi’i –semoga Allah meninggikan derajatnya– beliau termasuk orang yang paling banyak mengagungkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau sampaikan dalam pengantar buku beliau, yang merupakan acuan pengikut madzhabnya:
اللهم صلِّ على محمد
“Allahumma shalli ‘ala Muhammad” dst hingga ijtihad Imam Syafi’i (dalam lafal-lafal shalawat yaitu hingga perkataan beliau كُلَّمَا ذَكَرَهُ الذَّاكِرُوْنَ، وَكُلَّمَا غَفَلَ عَنْ ذِكْرِهِ الْغَافِلُوْنَ “(shalawat tetap kepada Nabi ketika orang-orang mengingat Nabi dan ketika orang-orang lalai melupakannya”.
وكأنه استنبط ذلك من الحديث الصحيح الذي فيه: ” سبحان الله عدد خلقه “؛ فقد ثبت أنه صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال لأم المؤمنين – ورآها قد أكثرت التسبيح وأطالته -: ” لقد قلتُ بعدكِ كلماتٍ؛ لو وُزِنَتْ بما قُلْتِ لوَزَنَتْهُن “، فذكر ذلك. وكان صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يعجبه الجوامع من الدعاء. وقد عقد القاضي عياض باباً في صفة الصلاة على النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في كتاب ” الشفا “، ونقل فيه آثاراً مرفوعة عن جماعة من الصحابة والتابعين؛ ليس في شيء منها عن أحد من الصحابة وغيرهم لفظ: (سيدنا)…
Seakan-akan Imam Syafií mengambil “lafal shalawat tersebut”dari hadits shahih yang lafalnya: ” سبحان الله عدد خلقه “Maha suci Allah sebanyak makhlukNya”. Dan telah valid bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaih wasallam berkata kepada ummul mukminin (istri beliau) -yaitu Nabi melihatnya telah banyak dan lama bertasbih-, Nabi berkata kepadanya, “Sungguh setelahmu aku telah mengucapkan kata-kata yang seandainya ditimbang dengan apa yang telah engkau ucapkan maka akan mengimbanginya”. Lalu Nabi menyebutkan dzikir tersebut. Dan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suka dengan kata-kata yang singkat tapi padat dalam berdoa.
Dan al-Qodhi ‘Iyaadh telah membuat suatu bab tentang sifat bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaih wasallam di kitab beliau “Asy-Syifaa”. Beliau menukil di situ riwayat-riwayat yang sampai kepada sekelompok para sahabta dan tabi’in. Namun tidak ada dari seorangpun dari para sahabat dan yang lainnya lafal “sayyidnaa”.
….والمسألة مشهورة في كتب الفقه، والغرض منها أن كل من ذكر هذه المسألة من الفقهاء قاطبة؛ لم يقع في كلام أحد منهم: (سيدنا) ، ولو كانت هذه الزيادة مندوبة؛ ما خفيت عليهم كلهم حتى أغفلوها، والخير كله في الاتباع، والله أعلم “.
…dan permasalahan ini mashyur (terkenal) di buku-buku fikih. Dan tujuan dari ini yaitu bahwa semua ulama yang menyebutkan permasalahan ini dari Kalangan ahli fikih seluruhnya tidak seorangpun dari mereka yang mengatakan “sayyidinaa”. Dan kalau seandainya tambahan ini (Sayyidinaa) dianjurkan tentu tidak mungkin tidak diketahui oleh mereka seluruhnya sehingga mereka semua terlalaikan tidak menyebutnya. Dan seluruh kebaikan ada pada ittibaa’ (mengikuti dalil)” (Sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Al-Albani dari khot (manuskrip tulisan tangan al-Garobili, lihat Ashl Shifat Shalat An-Nabi 3/938-940)
Ibnu Hajar juga berkata :
أَنَّ أَلْفَاظَ الْأَذْكَارِ تَوْقِيفِيَّةٌ وَلَهَا خَصَائِصُ وَأَسْرَارٌ لَا يَدْخُلُهَا الْقِيَاسُ فَتَجِبُ الْمُحَافَظَةُ عَلَى اللَّفْظِ الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ وَهَذَا اخْتِيَارُ الْمَازِرِيِّ قَالَ فَيُقْتَصَرُ فِيهِ عَلَى اللَّفْظِ الْوَارِدِ بِحُرُوفِهِ وَقَدْ يَتَعَلَّقُ الْجَزَاءُ بِتِلْكَ الْحُرُوفِ
“Sesungguhnya lafal-lafal dzikir tauqifiyah (berdasarkan dalil), dan lafal-lafal tersebut memiliki keistimewaan-keistimewaan dan rahasia-rahasia yang tidak bisa dimasuki oleh qias (analogi), maka wajib untuk mempertahankan lafal yang datang dalam riwayat. Dan ini adalah pendapat pilian al-Maaziri, ia berkata, “Maka hendaknya membatasi pada lafal yang datang (dalam riwayat) berdasarkan huruf-hurufnya, dan bisa jadi pahala berkaitan dengan huruf-huruf tersebut” (Fathul Baari 11/112)
Adapun pendalilan dari pendapat pertama dimana Nabi bersabda أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ “Aku adalah pemimpin anak keturunan Adam” maka:
Pertama : Hadits ini berkaitan dengan apa yang harus kita yakini, bahwasanya Nabi adalah sayyid. Namun tidak menunjukan bahwa ketika kita mengucapkan nama Nabi maka harus menyertakan lafal “sayyidinaa”.
Kedua : Seandainya hadits ini menunjukan kita harus mengucapkan sayyidinaa secara umum ketika menyebutkan nama Nabi Muhammad, maka hadits ini bersifat umum. Sementara hadits-hadits yang menjelaskan tentang bagaimana bershalawat kepada Nabi dalam shalat lebih khusus, dan diajarkan oleh Nabi secara khusus. Maka tidak bisa mempertentangkan hadits yang umum dengan hadits yang lebih khusus. (lihat penjelasan Asy-Syaukaani di Al-Fath ar-Robbaani min Fataawaa al-Imaam Asy-Syaukaani 11/5818)
Ketiga : Semisal dengan shalawat adalah adzan, namun ternyata kaum muslimin secara umum dimanapun berada -termasuk mereka yang menambahkan lafal sayyidinaa di shalawat dalam shalat- lebih mendahulukan mengucapkan lafal “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”. Mereka tidak menambahkan lafal sayyidinaa.
([9]) lihat: Talbis Iblis 1/123
([10]) HR. Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602
([11]) HR. Tirmidzi no. 386, Ibnu Majah no. 967, Abu Daud no. 562. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan
([12]) HR. Ibnu Majah no. 771 dan Tirmidzi no. 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
([13]) HR. Ibnu Majah no. 771 dan Tirmidzi no. 314. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
([14]) HR. Bukhari no. 186 dan Muslim no. 268
([16]) Sunan At Tirmidzi no. 204
([17]) Lihat: Albayan Wat Tahshil 1/360
([18]) HR. BUKHORI 1/96 no 444, HR. MUSLIM 1/405 no. 714
([19]) HR. Muslim 2/597 no 875
([22]) Nailul Authar, as-Syaukani, 3/103-104
([24]) HR. At-Tirmidzi no. 199
([25]) HR. Bukhari, no. 723 dan Muslim, no. 433
([26]) HR. Bukhari, no. 719 dan Muslim, no. 434, HR. Bukhari dengan lafazhnya, sedangkan diriwayatkan oleh Imam Muslim secara makna
([27]) Sebelum disyariátkan adzan dahulu kaum muslimin berkumpul untuk shalat dengan seruan الصَّلاة جَامِعَة. Ibnu Umar berkata :
كَانَ المُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا المَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاَةَ لَيْسَ يُنَادَى لَهَا، فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِي ذَلِكَ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ اليَهُودِ، فَقَالَ عُمَرُ: أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلًا يُنَادِي بِالصَّلاَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ»
“Dahulu kaum muslimin ketika datang di kota Madinah maka mereka menanti-nanti shalat, tidak ada seruan (khusus) untuk panggilan shalat. Maka suatu hari mereka membicarakan hal tersebut. Maka sebagian orang berkata, “Jadikanlah naqus (semacam pentungan) seperti naqus-nya kaum nashoro”. Sebagian lagi berkata, “Yang lebih baik menggunakan buuq (semacam terompet) seperti buuq-nya yahudi”. Maka Umar berkat, “Tidakkah kalian mengutus seseorang untuk menyeru panggilan shalat?”. Maka Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berkata, “Wahai Bilal, bangkitlah dan serulah untuk shalat” (HR Al-Bukhari no 604 dan Muslim no 377)
Dan seruan Bilal ketik itu adalah الصَّلاَةَ جَامِعَة. Ibnu al-Musayyib berkata :
قَالُوا: كَانَ النَّاسُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلم قَبْلَ أَنْ يُؤْمَرَ بِالْأَذَانِ يُنَادِي مُنَادِي النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلم: الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ فَيَجْتَمِعُ النَّاسُ، فَلَمَّا صُرِفَتِ الْقِبْلَةُ إِلَى الْكَعْبَةِ أُمِرَ بِالْأَذَانِ
“Mereka berkata : Dahulu orang-orang di zaman Nabi shallallahu álaihi wasallam sebelum disyariátkannya adzan maka tukang pernyeru Nabi shallallahu álaihi wasallam menyeru “الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ”. Maka orang-orangpun berkumpul. Tatkala qiblat dirubah (dari Baitul Maqdis) ke Ka’bah maka diperintahkanlah untuk adzan” (At-Thobaqoot al-Kubroo, Ibn Saád 1/246)
Namun setelah disyariátkan adzan maka seruan tersebut tetap diserukan tatkala shalat gerhana. Abdullah bin Ámr bin al-Áash berkata :
لَمَّا كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ
“Tatkala terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah shallallahu álaihi wasallam maka diserukan sesungguhnya الصَّلاَةَ جَامِعَةٌ (yaitu shalat yang dikerjakan secara berjamaáh akan dikerjakan sekarang)” (HR Al-Bukhari no 1045 dn Muslim no 1844)
Yang datang dalil disunnahkan untuk menyerukan الصَّلاة جَامِعَة hanya shalat gerhana, lantas bagaimana dengan shalat-shalat lainnya yang juga disyariátkan untuk dikerjakan dengan berkumpulnya manusia untuk dikerjakan secara berjamaáh (seperti shalat íed, shalat gerhana, shalat istisqo’, dan shalat tarawih) apakah disyariátkan untuk dikatakan الصَّلاة جَامِعَة?
Secara umum ada 2 pendapat di kalangan para ulama :
Pertama : Disyariátkan untuk diserukan الصَّلاة جَامِعَة pada shalat-shalat tersebut disyariátkan untuk diucapkan الصَّلاة جَامِعَة, dalilnya adalah qias terhadap shalat gerhana. Demikian juga atsar dari Az-Zuhri
أَنَّهُ كَانَ يَأْمُرُ فِي الْعِيدَيْنِ الْمُؤَذِّنَ فَيَقُولُ الصَّلَاةُ جَامِعَةٌ وَلَا أَذَانَ إلَّا لِمَكْتُوبَةٍ
“Bahwasanya pada shalat íedul fithri dan íedul adha beliau memerintahkan muadzin untuk berkata “As-Shalaat Jamiáh”, dan tidak ada adzan kecuali pada shalat 5 waktu” (Al-Umm, Asy-Syafií 1/102).
Adapun shalat janazah dan shalat sunnah yang lain -selain shalat gerhana dan shalat íed- maka tidak dianjurkan untuk dikatakan “As-Shalat Jamiáh”. (Lihat al-Umm 1/102)
Ini adalah madzhab Syafií dan Hanbali. Hanya saja menurut madzhab Hanbali disyariátkan pada shalat gerhana, shalat íed, dan shalat istisqo’ (Lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 2/320)
Kedua : Bahwa الصَّلاة جَامِعَة hanya dikatakan tatkala shalat gerhana saja, karena pada shalat-shalat berjama’ah yang lain tidak diriwayatkan diucapkan hal tersebut. Dan hukum asal ibadah adalah tauqifiyah (terbatas pada dalil yang ada). Ini adalah pendapat madzhab Malikiyah (Lihat Mukhtashor al-Kholil, Kholil al-Jundi hal 47 dan adz-Dzakhiiroh, al-Qorofi 2/68) dan Hanafiyah (pada buku-buku fikih mereka hanya menyebutkan الصَّلاة جَامِعَة di shalat gerhana saja)
([29]) Mushonnaf abdurrozzak no. 2487
([31]) HR. Bukhari no. 378 dan Muslim no. 412
([33]) HR. Abu Daud no. 5212, Ibnu Majah no. 3703, Tirmidzi no. 2727. Ahmad no. 18547, Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih
([39]) Syarh Shahih Muslim, 5/146
([41]) HR. Bukhari no. 510 dan Muslim no. 507
([43]) HR. Abu Daud no. 1067. Kata Syaikh Al Albani, hadits ini shahih
([45]) HR. Abu Daud no. 1052, An Nasai no. 1369, dan Ahmad 3: 424. Kata Syaikh Al Albani hadits ini hasan shahih
([46]) HR. Bukhari no. 881 dan Muslim no. 850
([47]) HR. An-Nasai, no. 1380; Tirmidzi, no. 497; Ibnu Majah, no. 1091
([49]) HR. Bukhari no. 934 dan Muslim no. 851
([54]) HR. Muslim 2/597 no 875
([55]) HR. Bukhori 9/118 no 7390
([56]) HR. Muslim 2/605 no 890
([58]) Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah No. 5621
([59]) Fathul Baari 2/476. Namun sebaiknya jika ingin melaksanakan shalat Mutlaq sebelum atau sesudah shalat íed agar dikerjakan di rumah untuk menghindari fitnah dan salah sangka orang-orang awam. Kawatir mereka menyangka ada shalat qobliah sebelum shalat íed atau adanya shalat ba’diyah setelah shalat íed. Wallahu a’lam.
[60]) Al-Qoulul Mubin fii Akhtho’il Mushollin 1/60.
[61]) HR. Bukhari No. 373 dan Muslim No. 556.
[62]) Subulussalam 1/151.
([64]) Lihat: Nailul Authar 2/153 dan Subulussalam 1/151.
([65]) HR. Bukhari No. 3226 dan Muslim No. 2106.
([66]) HR. Abu Dawud No. 4156, Al-Albani mengatakan hadits hasan shahih.
[68]) HR. Nasa’I No. 11058.
[69]) HR. Bukhari No. 437 dan Muslim No. 530.
[70]) HR. Bukhari No. 1390 dan Muslim No. 529.
[71]) HR. Ahmad No. 3844.
[72]) HR. Muslim No. 972.
[73]) HR. Muslim No. 777.
[74]) HR. Muwattha’ No. 570 dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Fiqhus shirah hal.53.
[75]) HR. Abu Dawud No. 862 dan dihasankan oleh Al-Albani.
[76]) Lihat: Fathul Qadir 1/300.