SALAM
Penjelasan
Salam atau yang disebut dengan taslim secara bahasa bermakna penyampaian atau penghormatan. Dan secara istilah ahli fiqih bermakna salamnya orang yang shalat sebagai tanda telah keluar dari shalat, yaitu dengan mengucapkan: (السَّلَامُ عَلَيْكُم) ‘Assalaamu ‘alaikum’. ([1])
Hukum-Hukum
Pertama : Hukum salam pertama
Salam pertama merupakan rukun dan fardhu shalat. ([2])([3]) Salam menunjukkan bahwa seseorang telah keluar dari hukum shalat. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ، وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Pembuka shalat adalah bersuci. Pengharam-nya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.” ([4])
Disebutkan juga dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْتِمُ الصَّلَاةَ بِالتَّسْلِيمِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menutup shalatnya dengan salam. ([5])
Salam yang diucapkan pertama merupakan salam yang dimaksudkan dalam hadits. Dan dengan salam tersebut menandakan seseorang telah keluar dari shalat. ([6])
Kedua : Hukum Salam Kedua
Para ulama berselisih tentang hukum salam yang kedua, jumhur ulama([7]) berpendapat salam kedua adalah sunnah, dan sebagian ulama memandang hukumnya wajib. Dan yang lebih kuat bahwasanya salam kedua adalah sunnah dan tidak sampai derajat wajib. Hal ini karena hadits Nabi
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Penghalalnya adalah salam.” ([8])
Maka sudah sah salam sekali untuk dinamakan sebagai salam yang mengakhiri shalat.
Bahkan Nabi pernah salam sekali. ‘Aisyah ketika menjelaskan tentang sholat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau berkata:
ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
Kemudian mengucapkan sekali salam “assalaamu ‘alaikum”. ([9])
Ketiga : Syarat Pengucapan Salam
Diharuskan bagi orang yang menutup shalatnya dengan mengucapkan (السَّلَامُ عَلَيْكُم) dengan bahasa arab, diawali dengan ucapan (السَّلَامُ) dan di akhiri dengan ucapan (عَلَيْكُم) bagi yang mampu mengucapkannya dengan bahasa arab. Tidak cukup, seseorang keluar shalat dengan sekedar niat saja atau dengan ucapan lain yang semakna dengan salam.
Bagi orang yang tidak mampu mengucapkannya dengan bahasa arab, maka dia wajib keluar dari shalat dengan niat. Meskipun dia mengucapkan dengan hal yang semakna dengan bahasanya sendiri, maka itu diperbolehkan. Dengan dasar mengqiyaskan diperbolehkannya berdoa dengan bahasa selain bahasa arab, meskipun dia mampu mengucapkan dengan bahasa arab. Diutamakan mengucapkan salam dengan diawali (ال) ‘Al’. Hal ini berdasarkan hadits yang menjelaskan hal itu. ([10])
وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Penghalalnya adalah salam.” ([11])
Maksud “penghalal” adalah: Tanda boleh keluar dari shalat adalah dengan ucapan salam, tidak ada ucapan lain selain dari itu. ([12])
Demikian pula dalam hadits dijelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menoleh ke kanan dan ke kiri dengan mengucapkan salam. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berakata:
كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ خَدِّهِ، عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَعَنْ يَسَارِهِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ الله
Seakan-akan aku melihat putih pipinya dari arah kanan beliau (dengan mengucapkan) ‘Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah’ dan dari arah kiri beliau (dengan mengucapkan) ‘Assalaamu ‘alaikum wa rahmatullah’. ([13])
Dalam riwayat yang lain,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ خَدِّهِ، وَعَنْ يَسَارِهِ حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ خَدِّهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam dengan menoleh ke kanan hingga terlihat pipi beliau yang putih dan menoleh ke kiri hingga terlihat pipinya yang putih. ([14])
Kemudian hadits yang diriwayatkan oleh Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu berkata:
كُنْتُ أَرَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِ حَتَّى رَأَى بَيَاض خَدّه
Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika salam menoleh ke kanan dan ke kiri sehingga terlihat putih pipi beliau. ([15])
Gerakan Salam
Bacaan Salam
Ucapan salam yang paling pendek, namun memenuhi rukun shalat adalah dengan mengucapkan (السَّلَامُ عَلَيْكُم) ‘Assalaamu’alaikum’. ([16]) .
Adapun ucapan salam yang sempurna adalah ucapan (السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ)
Berikut ini bacaan-bacaan salam :
Pertama:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
“Semoga keselamatan tercurahkan atas kalian”. Dibaca sekali ketika menoleh ke kanan. ([17])
Kedua:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
“Semoga keselamatan serta rahmat Allah tercurahkan atas kalian.” Dibaca ketika menoleh ke kanan dan ke kiri. ([18])
Ketiga:
Menoleh ke kanan membaca:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ
Dan ke kiri membaca:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
Dalilnya adalah hadits Wasi’ bin Habban. ([19])
Keempat:
Menoleh ke kanan membaca:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Dan ke kiri membaca:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ
Dalilnya adalah hadits Alqomah Ibnu Wail dari ayahnya. ([20])
Kelima:
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه
“Semoga Keselamatan, Rahmat Allah, serta Keberkahan tercurahkan atas kalian”.
Dibaca ketika menoleh ke kanan dan ke kiri. Dalilnya adalah hadits dari Abu Ubaidah. ([21])
FOOTNOTE:
([1]) Lihat: Lisanul ‘Arab Li Ibni Mandzur 12/290 dan Al-Mishbahul Munir Li Al-Hamwi 1/286.
([2]) Syafi’iyyah, Hanafiyyah dan Malikiyyah sepakat bahwa salam merupakan rukun shalat.
([3]) Lihat: Mughnil Muhtaj Li As-Syirbiniy 1/178.
Adapun Hanafiyyah maka mereka berpendapat bahwa salam yang menandakan bahwa seseorang telah keluar dari shalat bukanlah fardhu (rukun), namun hanya wajib. Hal itu dikarenakan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengajarkan tasyahhud kepada Abdullah bin Mas’ud radhiiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
إِذَا فَعَلْتَ هَذَا أَوْ قَضَيْتَ هَذَا فَقَدْ قَضَيْتَ صَلَاتَكَ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَقُومَ فَقُمْ، وَإِنْ شِئْتَ أَنْ تَقْعُدَ فَاقْعُدْ
Jika kamu melakukan ini atau menyelesaikan ini, maka kamu telah menyelesaikan shalatmu. Jika kamu hendak berdiri maka berdirilah dan jika hendak duduk, maka duduklah. (HR. Abu Dawud no.970, Ahmad no.1/422, Ad-Daruquthniy no.1336)
Dalam hadits tersebut beliau tidak memerintahkan keluar shalat dengan mengucapkan salam. Akan tetapi lafal “Jika kamu melakukan ini atau menyelesaikan ini, maka kamu telah menyelesaikan shalatmu. Jika kamu hendak berdiri maka berdirilah dan jika hendak duduk, maka duduklah” yang merupakan sisi argumentasinya ternyata merupakan mudroj dari perkataan Ibnu Masúd dan bukan marfu’ dari Nabi, sebagaimana dijelaskan para ulama hadits (Lihat Ashl Shifat Shalat An-Nabi, Al-Albani 3/872)
Demikian juga Hanafiyah berdalil dengan hadits
إِذَا أَحْدَثَ – يَعْنِي الرَّجُلَ – وَقَدْ جَلَسَ فِي آخِرِ صَلَاتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَقَدْ جَازَتْ صَلَاتُهُ
Jika seseorang berhadats sedangkan dia duduk di akhir shalatnya sebelum mengucapkan salam, maka shalatnya sah. (HR. Tirmidzi no.408)
Namun hadits ini juga lemah tidak bisa dijadikan dalil karena sanadnya tidak kuat (Lihat Ashl Shifat Sholaat An-Nabi 3/1038).
Menurut Hanafiyyah seseorang dianggap telah keluar dari shalat dengan salam yang pertama. (lihat: Raddul Muhtar ‘ala Ad-Durrul Mukhtar Li Ibni Abidin 1/314,352-356, 5/467, Al-Badai’ Li ‘Alauddin Al-Kasani 1/113, Fathul Qadir Li Al-Kamal Ibnu Al-Humam 1/275-280 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 11/316)
Catatan: (Menurut Hanafiyyah dan Hanabilah, fardhu adalah segala sesuatu yang diwajibkan atas dasar dalil qath’i. Adapun wajib adalah segala sesuatu yang diharuskan untuk dikerjakan atas dasar dalil dzonni. (lihat: ushul As-Sarkhasi 1/110))
([4]) H.R. Abu Dawud no.61, Tirmidzi no.4 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([6]) Lihat: Tafsir Al-Qurthubi 1/362, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/397 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/474.
([7]) Yaitu Malikiyah (lihat Asy-Syarh al-Kabiir, Ad-Dardir 1/244) dan Syafi’iyah (lihat Al-Majmuu’, An-Nawawi 3/481), serta riwayat dari Ahmad (lihat al-Mughni, Ibnu Qudamah 1/396), dan ini adalah pendapat jumhur sahabat dan tabi’in (sebagaimana disebutkan oleh An-Nawawi di Al-Majmuu’ 3/481 dan al-Minhaaj 5/83). Ini juga pendapat Ibnu Hazm (lihat Al-Muhalla 3/45) dan yang dirajihkan oleh Ibnu Qudamah (lihat Al-Mughni 1/396)
Pendapat yang lain : Salam kedua hukumnya wajib, jika seseorang tidak salam yang kedua maka shalatnya tidak sah. Ini adalah pendapat Hanbali (lihat al-Inshoof, al-Mirdaawi 2/85 dan Kassyaaful Qinaa’, Al-Buhuuti 1/388-389), pendapat sebagaian ulama Malikiyah dan sebagian Dzohiriyah (sebagaimana dinukil oleh Ibnu Hajr di Fathul Baari 5/213)
([8]) HR. Abu Dawud no.61, Tirmidzi no.4 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([9]) HR. Ahmad Dalam Musnadnya 43/129 No. 25987, dishahihkan oleh pentahqiiq Musnad Ahmad dan al-Albani di Ashl Shifat Sholaat An-Nabi 3/1031
([10]) Lihat: Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/240, Mughnil Muhtaj Li As-Syirbini 1/177, 178 dan Al-Mughniy Li Ibni Qudamah 1/551, 558.
([11]) HR. Abu Dawud no.61, Tirmidzi no.4 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([12]) Lihat: Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 11/315.
([13]) H.R. An-Nasa’i no.1322 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([14]) H.R. An-Nasa’i no.1323 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([15]) H.R. Muslim, namun tidak dikeluarkan dalam shahih Muslim.
([16]) Menurut Syafi’iyyah, Hanabilah dan Malikiyyah. Namun, Malikiyyah mengatakan bahwa (سَلَامُ اللَّه) atau (سَلَامِي) atau (سَلَامُ عَلَيْكُم) tidaklah sah.
Dan Syafi’iyyah membolehkan untuk mendahulukan lafadz (عَلَيْكُم), maka lafadz yang diucapkan adalah (عَلَيْكُم السَّلَامُ) meskipun dimakruhkan. Tidak disahkan jika mengucapkan (السَّلَامُ عَلَيْهِم). Namun, tidak pula membatalkan shalat, karena itu merupakan doa untuk yang ghaib. Jika hal itu dilakukan dengan sengaja padahal dia tahu akan keharamannya maka shalatnya batal. Tidak disahkan mengucapkan (سَلَامُ عَلَيْكُم).
Menurut Hanabilah lafadz-lafadz yang sah untuk diucapkan adalah (السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ). Jika tidak mengucapkan (وَرَحْمَةُ اللهِ) maka shalatnya tidak sah, kecuali dalam shalat jenazah. Hal ini berdasarkan keumuman hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku (Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam) shalat.” (H.R. Bukhari no.631).
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengucapkan salam sebagaimana yang telah diterangkan dalam beberapa hadits. Maka jika seseorang mengucapkan selain salam yang telah dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, meskipun dengan membalikkan lafadznya seperti (عَلَيْكُم السَّلَامُ), maka tidak sah. Dan apabila dilakukan dengan sengaja maka shalatnya batal, karena merubah lafadz salam sebagaimana yang telah dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Menurut Syafi’iyyah dan Malikiyyah salam yang wajib dikerjakan adalah satu kali salam, yaitu salam yang pertama. Namun, menurut Hanabilah wajib dua salam.
(lihat: Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/241, Mughnil Muhtaj Li As-Syirbiniy 1/177, Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/361 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 27/72)
([17]) Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah ketika menjelaskan tentang sholat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثُمَّ يُسَلِّمُ تَسْلِيمَةً وَاحِدَةً، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
Kemudian mengucapkan sekali salam “assalaamu ‘alaikum”. (HR. Ahmad Dalam Musnadnya 43/129 No. 25987)
([19]) Ketika bertanya kepada Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tentang sholat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya beliau mempraktekkan tata cara salam Nabi:
وَذَكَرَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ عَنْ يَمِينِهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ عَنْ يَسَارِهِ
Ibnu Umar mengucapkan: “Assalamu alaikum wa rahmatullah.” ketika menoleh ke kanan dan mengucapkan: “Assalamu alaikum.” ketika menoleh ke kiri.” (HR. Nasa’i No. 1321, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ»، وَعَنْ شِمَالِهِ: «السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ»
“Aku sholat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau melakukan salam dengan menoleh ke kanan mengucapkan “assalaamu ‘alaikum wa rahmatullahi wa barokatuh” dan menoleh ke kiri mengucapkan “asslaamu ‘alaikum”. (HR. Abu Dawud No. 997)
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ «كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، وَعَنْ يَسَارِهِ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، يَجْهَرُ بِكِلْتَيْهِمَا»
Bahwa Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu salam ke kanan dengan mengucapkan: “Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” dan menoleh ke kiri dengan membaca: “Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakatuh” beliau mengeraskan keduanya.(HR. Abdurrazaq dalam Mushannaf No. 3129). Ini juga dilakukan oleh sahabat Ammar bin Yasir (HR. Abdurrazaq dalam Mushannaf No. 3134)
Kandungannya:
Dalam ucapan (semoga keselamatan tercurahkan atas kalian) terdapat doa yang sangat agung. Ungkapan ini senantiasa diucapkan oleh seorang muslim ketika bertemu dengan saudaranya sesama muslim, diucapkan ketika duduk tasyahud, dan diucapkan ketika salam dalam sholat menoleh ke kanan dan ke kiri.
Imam An-Nawawi menjelaskan makna dari kalimat “assalaamu ‘alaika”: As-Salaam adalah salah satu dari nama Allah, jadi artinya adalah nama Allah yaitu “as-salam” senantiasa bersamamu, yang berarti kamu senantiasa berada dalam penjagaan Allah. Ada juga yang mengartikan “as-salam” ini sebagai mashdar yang artinya “as-salaamah (keselamatan)” yang berarti mendoakan semoga kamu senantiasa berada dalam keselamatan. (Al-Minhaj Syarh Shohih Muslim Ibni Al-Hajjaj 14/141)
Syaikh Utsaimin menjelaskan: “as-salam” adalah nama Allah, karena Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam bersabda:
«إنَّ اللَّهَ هو السَّلامُ»
“Sesungguhnya Allah adalah as-salam”. (HR. Bukhāri No. 831 dan Muslim No. 402)
Sebagaimana Allah berfirman dalam kitab-Nya:
الْمَلِكُ الْقُدُّوسُ السَّلاَمُ
Maka, ketika mengucapkan “as-salamu ‘alaika” sama seperti mengucapkan “Allahu ‘alaika” yang artinya Allah menjagamu, memperhatikanmu dan makna-makna yang semisalnya. (Asy-Syarhul Mumti’ ‘Ala Zadil Mustaqni’ 3/149)
Beliau juga menjelaskan: “as-salam” artinya mendoakan keselamatan dari segala bahaya. Ketika kita mengucapkan “assalamu ‘alaika” kepada seseorang maka seakan kita mendoakannya agar Allah menyelamatkannya dari segala bahaya, selamat dari penyakit, selamat dari hilangnya akal (gila), selamat dari keburukan manusia, selamat dari penyakit hati, dan selamat dari neraka. Ini karena “as-salam” adalah lafaz yang umum yang bermakna doa keselamatan dari segala bahaya. (Syarh Riyadhus Sholihin 4/380)
Dalam ucapan (dan rahmat Allah): Sesungguhnya rahmat Allah sangat luas. Rahmat-Nya secara umum tercurah untuk semua makhluk, yang beriman maupun yang kafir, manusia, hewan, maupun tumbuhan, sehingga Allah disifati dengan Ar-Rahman. Dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu anhu menyebutkan bahwa rahmat yang Allah turunkan ke muka bumi ini adalah 1 dari 100 rahmat-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«إِنَّ لِلَّهِ مِائَةَ رَحْمَةٍ أَنْزَلَ مِنْهَا رَحْمَةً وَاحِدَةً بَيْنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ وَالْبَهَائِمِ وَالْهَوَامِّ، فَبِهَا يَتَعَاطَفُونَ، وَبِهَا يَتَرَاحَمُونَ، وَبِهَا تَعْطِفُ الْوَحْشُ عَلَى وَلَدِهَا، وَأَخَّرَ اللهُ تِسْعًا وَتِسْعِينَ رَحْمَةً، يَرْحَمُ بِهَا عِبَادَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Sesungguhnya Allah memiliki 100 rahmat. Salah satu di antaranya diturunkannya kepada kaum jin, manusia, hewan, dan tumbuhan. Dengan rahmat itulah mereka saling berbelas kasih dan menyayangi. Dengannya pula binatang liar mengasihi anaknya. Dan Allah menangguhkan 99 rahmat untuk Dia curahkan kepada hamba-hamba-Nya pada hari kiamat.” (HR. Muslim No. 2752)
Adapun rahmat secara khusus, maka hanya Allah berikan kepada hamba-hamba yang beriman kepada-Nya, sehingga Allah disifati dengan Ar-Rahim. Sebagaimana firman Allah:
وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Dan Dia adalah Yang Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman”. (Al-Ahzâb : 43)
Bahkan hamba tidak masuk surga kecuali dengan rahmat yang Allah berikan, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah:
لَا يُدْخِلُ أَحَدًا مِنْكُمْ عَمَلُهُ الْجَنَّةَ، وَلَا يُجِيرُهُ مِنَ النَّارِ، وَلَا أَنَا، إِلَّا بِرَحْمَةٍ مِنَ اللهِ
“Tidak ada amalan seorangpun yang bisa memasukkannya ke dalam surga dan menyelamatkannya dari neraka, tidak juga denganku, kecuali dengan rahmat dari Allah.” (HR. Muslim No. 2817).
Dalam ucapan (keberkahan-Nya): Keberkahan adalah kebaikan yang sangat banyak, bahkan Al-Quran pun disifati dengan kitab yang diberkahi:
وَهَذَا كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ مُبَارَكٌ
“Dan ini adalah kitab (al-Qur’an) yang diberkahi yang Kami turunkan)”. (QS. Al-An’am : 92)
Maksud keberkahan yang ada di dalam Al-Qur’an adalah karena di dalamnya penuh dengan banyak kebaikan, senantiasa memberi manfaat, memberi kabar gembira dengan pahala dan ampunan, menahan seorang hamba dari keburukan dan kemaksiatan, dan keberkahan-keberkahan lainnya yang tidak terhitung. (At-Tafsir Al-Wasith 2/299)
Maka bisa kita fahami ketika sesuatu diberkahi, ini menunjukkan bahwa ia dipenuhi dengan kebaikan. Begitu juga ketika kita mengucapkan “wa barokatuh” maka kita sedang mendoakan saudara kita agar Allah melimpahkan keberkahan-Nya kepada saudara kita di setiap amalannya, bahkan di setiap kehidupannya.