Tasyahud dan Duduk Tasyahud Awal
Penjelasan
Tasyahhud secara bahasa adalah bentuk mashdar dari lafadz (تَشَهَّدَ) bermakna mengucapkan dua syahadat. ([1]) Dan secara istilah ahli fiqh adalah kalimat tauhid atau kalimat tasyahhud yang diucapkan di dalam shalat, yaitu bacaan ‘Attahiyyatu Lillah.dan seterusnya’. Ibnu ‘Abidin menyebutkan bahwa tasyahhud merupakan kumpulan bacaan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan selainnya. Dinamakan tasyahhud karena bacaan di dalamnya mencakup dua syahadat. ([2])
Doa Tasyahhud Awal dan duduk ketika tasyahhud merupakan gerakan shalat yang wajib dikerjakan namun bukan rukun sholat.([3]) Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dimana Nabi memerintahkan untuk membaca doa tasyahhud. Nabi bersabda
فَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ، فَلْيَقُلْ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِين
Jika salah seorang dari kalian shalat, maka ucapkanlah: ‘Attahiyyaatu lillah was shalawaatu wat thayyibaat, As-Salaamu ‘alaika ayyuhan Nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, As-Salaamu ‘alainaa wa ‘ala ‘ibadillahis shaalihiin’. (Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga shalawat serta salam beserta rahmat Allah dan berkah-Nya terlimpahkan kepadamu wahai Nabi dan terlimpahkan pula kepada seluruh hamba Allah yang shaleh). ([4])
Dalil lain yang menunjukkan wajibnya tasyahhud awal adalah hadits riwayat Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahhau bersabda:
إِذَا أَنْتَ قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ، فَكَبِّرِ اللَّهَ تَعَالَى، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ عَلَيْكَ مِنَ الْقُرْآنِ وَقَالَ فِيهِ: فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ، وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ، ثُمَّ إِذَا قُمْتَ فَمِثْلَ ذَلِكَ حَتَّى تَفْرُغَ مِنْ صَلَاتِكَ
Apabila kamu hendak mendirikan shalat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah sesuatu yang mudah bagimu dari Al-Qur’an. Beliau juga bersabda: Dan apabila kamu duduk di pertengahan shalat, maka duduklah dengan tenang dan dudukkanlah pahamu yang kiri dengan duduk iftirasy, kemudian tasyahhudlah, kemudian ketika engkau berdiri (mendirikan shalat) maka lakukanlah seperti itu hingga selesai dari shalatmu. ([5])
Hadist di atas menunjukkan tentang orang yang buruk shalatnya. Tatkala Nabi membenarkan sholatnya Nabi menyuruhnya untuk bertasyahhud awal dan berdoa pada tasyahhud tersebut. ([6])
Namun tasyahhud awal dan duduk tasyahhud awal bukanlah rukun sholat, karena Nabi pernah lupa untuk mengerjakannya, dan Nabi menambalnya dengan sujud sahwi, berdasarkan hadits Abdullah bin Buhainah radhiyallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِهِمُ الظَّهْرَ، فَقَامَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ لَمْ يَجْلِسْ، فَقَامَ النَّاسُ مَعَهُ حَتَّى إِذَا قَضَى الصَّلاَةَ وَانْتَظَرَ النَّاسُ تَسْلِيمَهُ كَبَّرَ وَهُوَ جَالِسٌ، فَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ، ثُمَّ سَلَّم
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dzuhur bersama para sahabat. Beliau bangkit berdiri setelah dua rakaat pertama dan tidak duduk (tasyahhud awal), maka para sahabatpun ikut berdiri. Hingga saat selesai shalat, orang-orangpun menunggu beliau salam, beliau bertakbir dalam keadaan duduk, lantas sujud dua kali sebelum salam, kemudian beliau mengucapkan salam. ([7])
Hadits di atas menunjukkan bahwa apabila seseorang meninggalkan tasyahhud awal karena lupa, maka hendaknya diganti dengan sujud sahwi. Hadits tersebut menunjukkan akan wajibnya tasyahhud awal. ([8]) Karena jika tasyahhud awal adalah rukun sholat maka Nabi akan duduk kembali meskipun sudah terlanjur berdiri. Akan tetapi Nabi tidak duduk kembali namun melanjutkan berdirinya dan di akhir sholat menggantikan duduk tasyahud yang terlupakan dengan sujud sahwi. Ini menunjukkan bahwa duduk tasyahud awal hanya wajib dan tidak sampai derajat rukun.
Gerakan dalam Tasyahud
Pertama : Duduk tasyahud awal adalah dengan duduk iftirosy, yaitu duduk dengan menegakkan kaki kanan dan membentangkan kaki kiri kemudian menduduki kaki kiri tersebut. Berdasarkan hadits Waa’il bin Hujr –radhiyallahu ‘anhu– bahwa beliau berkata,
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِيْنَ جَلَسَ فِيْ الصَّلاَةِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ اْليُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ اْليُمْنَى.
“Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk dalam shalat, beliau duduk iftirosy dengan menghamparkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya.” ([9])
Dalam riwayat Tirmidzi, Waa’il bin Hujr berkata,
قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ قُلْتُ لأَنْظُرَنَّ إِلَى صَلاَةِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمَّا جَلَسَ – يَعْنِى – لِلتَّشَهُّدِ افْتَرَشَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى يَعْنِى عَلَى فَخِذِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى
“Ketika tiba di Madinah, aku pun bergumam, “Sungguh aku akan memperhatikan tata cara shalat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Ketika beliau duduk –yang Waa’il maksud adalah duduk ketika tasyahud-, beliau duduk dengan membentangkan kaki kirinya, meletakkan tangan kiri di atas paha kiri, serta menegakkan kaki kanannya.”([10])
Sebagaimana ia juga telah diriwayatkan dari jalur Amir bin ‘Abdullah bin Zubair, dari ayahnya (‘Abdullah bin Zubair) , ia berkata,
كاَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ فِيْ الرَّكْعَتَيْنِ، افْتَرَشَ اْليُسْرَى ، وَنَصَبَ اْليُمْنَى
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jika duduk pada dua rakaat, beliau membentangkan kaki kiri seraya menegakkan kaki kanannya.” ([11])
Kedua : Posisi tangan ketika duduk tasyahud
Ketika duduk tasyahud, letak tangan kanan berada di atas paha atau lutut kanan, sedangkan letak tangan kiri di atas paha atau lutut kiri, dengan posisi telapak tangan membentang, juga posisi siku sejajar dengan paha dan diletakkan di atas paha. Semua ini berlandaskan hadits-hadits berikut ini:
Hadits Abdullah bin Umar –radhiallahu’anhuma–, ia berkata:
كان إذا جلَس في الصلاةِ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى. وقبَض أصابعَه كلَّها. وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ. ووضَع كفَّه اليُسرى على فخِذِه اليُسرى
“Jika Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam duduk (tasyahud), beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat (menunjuk) dengan jari yang ada di sebelah jari jempol (jari telunjuk). Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” ([12])
Dan juga hadits Waa’il bin Hujr –radhiallahu ’anhu–, ia berkata:
ثمَّ قعدَ وافترشَ رجلَهُ اليسرى ووضعَ كفِّهِ اليُسرى على فخذِهِ ورُكبتِهِ اليُسرى وجعلَ حدَّ مرفقِهِ الأيمنِ على فخذِهِ اليُمنى ثمَّ قبضَ اثنتينِ من أصابعِهِ وحلَّقَ حلقةً ثمَّ رفعَ إصبعَهُ
“… kemudian beliau duduk dengan membentangkan kaki kirinya, meletakkan tangan kiri di atas paha dan lutut kirinya, memposisikan siku kanannya di atas paha kanannya, kemudian beliau menggenggam dua jarinya (jari kelingking dan jari manis), membentuk lingkaran (dengan jari jempol dan jari tengah), kemudian berisyarat (menunjuk) dengan jari telunjuknya.” ([13])
Ketiga : Pandangan mata ketika duduk tasyahud
Ketika tasyahud, jari telunjuk tangan kanan berisyarat ke arah kiblat dan pandangan mata ke arah jari telunjuk tersebut. Hal ini telah disebutkan pada beberapa hadits di atas, dan juga dalam riwayat lain dari Ibnu Umar –radhiyallahu ’anhuma-:
وأشار بأُصبُعِه الَّتي تلي الإبهامَ إلى القِبْلةِ ورمى ببصرِه إليها
“… beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat, dan memandang jari tersebut.” ([14])
Keempat : Memberi isyarat dengan telunjuk
Para ulama telah sepakat perihal disunahkannya memberi isyarat dengan jari telunjuk ketika bertasyahud. Hanya saja mereka berselisih pendapat perihal disunahkannya menggerak-gerakkan jari telunjuk tersebut. Dan pendapat yang terkuat adalah tidak disunahkannya hal tersebut.
Persoalan telah diperselisihkan sejak dahulu oleh para ulama, maka hendaknya senantiasa berlapang dada dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam persoalan ini. Secara umum, ada empat pendapat dalam hal ini:
Pertama : Disunahkan untuk digerak-gerakkan. Berdasarkan hadits Waa’il bin Hujr yang memuat tata cara tasyahud Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam-, beliau berkata :
«ثُمَّ قَبَضَ اثْنَتَيْنِ مِنْ أَصَابِعِهِ، وَحَلَّقَ حَلْقَةً، ثُمَّ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْتُهُ يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا»
“Kemudian beliau menggenggam dua jari tangan kanannya (yaitu jari kelingking dan jari manis) sembari membentuk lingkaran (yaitu antara jari tengah dengan jempolnya), lalu mengangkat jari telunjuknya. Maka kulihat beliau menggerak-gerakkan jari telunjuknya, beliau berdoa dengannya”. ([15])
Kedua : Tidak disunahkan, karena hadits Waa’il bin Hujr adalah hadits syaadzdz, yaitu daif. ([16])
Ketiga : Disunahkan untuk digerak-gerakan sesekali, karena kebanyakan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat yang lain tentang tata cara shalat Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- tidak menyebutkan bahwa jari tersebut digerak-gerakkan. Ini adalah pendapat Ali Adam al-Ethyuubi([17]) dan juga juga disebutkan oleh Al-Albani([18]).
Keempat : Kedua-duanya adalah sunnah (baik menggerakan jari telunjuk atau tidak). Karenanya seorang yang shalat bebas melakukan mana yang ia sukai, jika ia suka maka silahkan menggerakkan, dan jika ia suka maka tidak mengapa tidak menggerakkan. Ini adalah pendapat As-Shan’aani ([19])
Kelima : Ketika bangkit dari tasyahhud awal menuju raka’at ketiga maka kedua tangan diangkat (sebagaimana telah lalu penjelasannya tentang 4 tempat diangkatnya kedua tangan)
Bacaan Tasyahud
Pertama (Tasyahhud Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu).
التَّحِيَاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، اَلسَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Segala ucapan selamat, salawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Mudah-mudahan salawat serta salam terlimpahkan kepadamu wahai engkau wahai Nabi beserta rahmat Allah dan berkah-Nya. Mudah-mudahan salawat dan salam terlimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya”. ([20])
Catatan : Namun menurut Ibnu Mas’ud setelah Nabi meninggal maka lafal tasyahhud Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyyu diganti menjadi Assalamu ‘ala An-Nabi.
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Sakhbarah Abu Ma’mar berkata: Aku mendengar Ibnu Mas’ud berkata:
يَقُولُ: عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَفِّي بَيْنَ كَفَّيْهِ، التَّشَهُّدَ، كَمَا يُعَلِّمُنِي السُّورَةَ مِنَ القُرْآنِ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَهُوَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْنَا، فَلَمَّا قُبِضَ قُلْنَا: السَّلاَمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Rasulullah mengajarkanku doa tasyahhud sebagaimana beliau mengajarkanku surat dalam Al-Qur’an, sedangkan telapak tanganku berada diantara kedua telapak tangan beliau: Attahiyyatu lillah was shalawatu wat thayyibaat, Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyyu wa rahamatullahi wa barakaatuh, As-Salaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis Shalihin. Asyhadu an laa ilaaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluh. Saat itu beliau berada diantara kami. Namun, ketika beliau meninggal dunia, maka kami mengucapkan: Assalamu ‘ala An-Nabi (Semoga Keselamatan senantiasa tercurahkan kepada Nabi). ([21])
Di dalam jalur riwayat hadits ini disebutkan bahwa terdapat perubahan redaksi bacaan tasyahhud yang diucapkan di dalam shalat pada zaman Nabi yaitu dengan mengucapkan As-salamu ‘alaika (Semoga keselamatan atasmu) yang ditujukan kepada Nabi dengan kata ganti orang kedua. Namun, setelah beliau wafat, redaksi bacaan tersebut dirubah menjadi As-salaamu ‘ala An-Nabiy (Semoga kesalamatan atas Nabi) yang ditujukan kepada Nabi namun dengan kata ganti orang ketiga. Al-Hafidz Ibnu Hajar menuturkan bahwa besar kemungkinan tambahan tersebut dari Ibnu Mas’ud, yaitu berkata setelah membawakan lafdz tasyahhud: (فَلَمَّا قُبِضَ قُلْنَا السَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ) ketika beliau wafat kami mengucapkan: As-salamu ‘alan nabiy. ([22])
Dengan demikian maka boleh mengucapkan tasyahhud dengan Assalamu ‘alaika ayyuha an-nabiyyu dan juga boleh dengan Assalamu ‘ala An-Nabi([23])
Kedua (Tasyahhud Ibnu Abbas radhiyallhu ‘anhu)
اَلتَّحِيَاتُ المُبَارَكَاتُ، الصَلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لله، اَلسَّلَامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَينَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَالِحِين، أَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلّا الله، وَأَشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ الله
“Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Mudah-mudahan shalawat dan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan shalawat dan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah. ([24])
Ketiga (Tasyahhud Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu)
اَلتَّحِيَاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لله السَّلَامُ عَلَيْكَ أيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُه، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَن لَّا إِلَهَ إِلّا الله، وَأَشْهَدُ أَن مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وُرَسُوْلُهُ
“Segala penghormatan, kebaikan dan shalawat hanya milik Allah. Mudah-mudahan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya”. ([25])
Keempat (Tasyahhud Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhumaa)
بِسْمِ الله التَّحِيَّاتُ للهِ، وَالصَّلَوَاتُ للهِ، الزَّاكِيَاتُ للهِ، السَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ وَرَحْمَةُ الله وَبرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، شَهِدْتُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا الله وَشَهِدْتُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ الله
Dengan nama Allah, segala penghormatan dan shalawat hanya milik Allah, amal-amal shalih hanya bagi Allah. Mudah-mudahan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan-Nya ([26])
Kelima (Tasyahhud Umar bin Khottob radhiyallahu anhu)
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ، الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ، الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Segala penghormatan dan amal-amal shalih hanya bagi Allah. Segala kebaikan dan shalawat hanya milik Allah. Mudah-mudahan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya ([27])
Keenam (Tasyahud Aisyah radhiyallahu anhaa)
التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ الزَّاكِيَاتُ لِلَّهِ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
Segala penghormatan, kebaikan, shalawat, dan amal shalih hanya bagi Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya. Mudah-mudahan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Keselamatan atas kalian. ([28])
Tidak disunnahkan membaca shalawat ketika tasyahhud awal
Tidak ada bacaan tambahan setelah membaca doa tasyahhud awal. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’. ([29])
Hal itu dikarenakan tidak adanya dalil yang menjelaskan bahwa membaca doa atau shalawat pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya dan bahkan tidak pula mengajarkannya kepada umatnya. Seandainya hal itu merupakan amalan yang disyariatkan pada saat tasyahhud awal, tentunya doa tersebut telah diajarkan setelah membaca tasyahhud awal, maka tidak ada perbedaan antara tasyahhud awal dan tasyahhud akhir. ([30])
Selain itu duduk tasyahhud awal termasuk gerakan shalat yang ringan. ([31]) Bahkan diriwayatkan bahwa Abu Bakar ketika duduk pada saat selesai dua rakaat, seakan-akan beliau duduk di atas kerikil yang panas. ([32]) Artinya duduk tasyahhud awal dilakukan hanya sebentar saja dan tidak memungkinkan untuk membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Yang benar dalam pendapat ini adalah tidak disyariatkan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat tasyahhud awal. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ فَكَانَ يَقُولُ: التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kamu tasyahhud sebagaimana mengajarkan kami surat dalam Al-Qur’an, lalu beliau mengucapkan: ‘Attahiyyatul Mubaarakaat, As-shalawaatut Thayyibaatu lillah, As-Salaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa baarakaatuh, As-salaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibaadillahis Shalihin, Asyhadu an laa ilaaha illa Allah, Wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah’. (Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan hanya milik Allah. Mudah-mudahan shalawat dan salam terlimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan shalawat dan salam terlimpah pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah utusan Allah). ([33])
FOOTNOTE:
([1]) Lihat: Lisanul ‘Arab Li Ibni Mandzur 3/239.
([2]) Lihat: Nihayatul Muhtaj Li Ar-Ramliy 1/519, Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 1/342.
([3]) Menurut Hanafiyyah, Hanabilah, salah satu riwayat Malikiyyah dan Dawud dan jumhur ahli hadits. (Lihat: Ad-Durrul Mukhtar wa Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 1/466, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/83, Al-Furu’ Li Ibni Muflih 2/249, Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/243, Fathul Baari Li Ibni Rajab 5/166, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/450 dan Nailul Authar Li As-Syaukani 2/314)
([4]) H.R. Bukhari no.831 dan Muslim no.402.
([5]) H.R. Abu Dawud no.860, Thabrani no.4528, Al-Baihaqi no.2912 dan dihasankan oleh Al-Albani.
([6]) Lihat: Nailul Authar Li As-Syaukani dan Ihkamul Ahkam Li Ibni Daqiq Al-‘Id 1/166.
([7]) H.R. Bukhari no.829 dan Muslim no.570.
([8]) Lihat: Subulus Salam Li As-Shan’ani 1/202.
([9]) HR. Ibn Khuzaimah 1/343 no 391
([10]) HR. At-Tirmidzi 1/379 no. 292
([11]) Sahih Ibn Hibban 5/270 no. 1943
([12]) HR. Muslim 1/408 no. 580
([13]) HR. An-Nasai 2/126 no. 889, disahihkan Al Albani dalam Sahih An Nasai
([14]) Sahih Ibni Khuzaimah 1/355 no. 719, dan disahihkan oleh Al-A’zhami
([15]) HR. Ahmad no 18870, Bukhari dalam Raf’ul Yadain no 31, An-Nasa’i no 889, Ad-Darimi no 1381, Ibn Khuzaimah no 714, Ibn Hibban no 1860, dan selain mereka. Mereka semua meriwayatkan dari jalur Zaa’idah bin Qudamah, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari Bapaknya, dari Waa’il bin Hujur dengan lafaz yang serupa. Hadits dengan tambahan lafaz oleh Zaa’idah ini telah disahihkan oleh Ibnu-l Qayyim (lihat Zaadul Ma’aad 1/231) dan Al-Albani (lihat Tamaamul Minnah hal 214). Menurut Al-Albani bahwa belum ditemukan seorang pun dari ulama terdahulu yang mendaifkan hadits riwayat Zaa’idah bin Qudamah ini. Yang ditemukan hanyalah penyebutan tafarrud Zaa’idah dalam periwayatan tersebut (sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Khuzaimah) atau pentakwilan terhadap maknanya (sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Baihaqi). Dan inilah yang menjadi landasan Syaikh Al-Albani untuk tetap bersikeras mensahihkan riwayat Zaa’idah ini. (lihat Tamaamul Minnah hal 219). Namun yang benar sudah ada para ulama terdahulu yang telah menilai lemahnya riwayat Zaidah bin Qudamah tersebut. (akan datang penjelasannya)
Ada hadits lain yang berisi anjuran untuk menggerak-gerakan jari telunjuk, yaitu hadits Ibn Umar, bahwasanya Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- bersabda :
تَحْرِيكُ الْأُصْبُعِ فِي الصَّلَاةِ مَذْعَرَةٌ لِلشَّيْطَانِ
“Menggerak-gerakkan jari telunjuk di dalam shalat dapat menakut-nakuti setan”. (HR Al-Baihaqi no 2778 dan ar-Ruyani dalam Musnad–nya no 1439)
Akan tetapi hadits ini daif jiddan (sangat lemah) karena pada sanadnya terdapat Muhammad bin Umar Al Waqidi dan dia adalah perawi yang matruuk. Karenanya al-Baihaqi mendaifkannya setelah meriwayatkannya. (Lihat As-Sunan al-Kubro, al-Baihaqi 2/189 no 2788)
([16]) Pendapat para ulama dalam menyikapi hadits Waa’il bin Hujr -radhiallahu ánhu- tersebut -melalui jalur Zaa’idah bin Qudamah, dari ‘Ashim bin Kulaib, dari Bapaknya, dari Waa’il bin Hujur- tercabang menjadi dua pendapat :
Pertama : Hadits ini daif/syaadzdz. Dan ini adalah pendapat Syaikh Muqbil bin Haadi al-Wadií dan Syuáib al-Arnaa’uuth dari kalangan ulama kontemporer. Alasannya :
- Hanya زائدة بن قدامة Zaaidah bin Qudaamah yang meriwayatkan dari gurunya yaitu عاصم بن كليب Áshim bin Kulaib dengan tambahan lafaz يُحَرِّكُهَا “Nabi menggerak-gerakan jari telunjuknya”. Sementara tidak seorang pun dari 10 murid-murid tsiqaat Ashim bin Kulaib lainnya (yaitu Syu’bah bin Al-Hajjaj, Abdul Wahid bin Ziyaad al-Ábdi al-Bashri, Sufyan At-Tsauri, Sufyan bin Úyainah, Zuhair bin Muáwiyah, Abul Ahwash Sallam bin Sulaim, Abdullah bin Idris Al-Audi Al-Kufy, Bisyr bin Mufadhdhal Al-Bashry, Abu ‘Awanah Al-Wasithy Al-Bashry, dan Khalid bin Abdullah Al-Wasithy) yang menyebutkan tambahan lafaz ini. Semua hanya meriwayatkan sampai pada lafaz أَشَارَ بِسَبَابَتِه “Nabi memberi isyarat dengan telunjuknya”. (Lihat penjelasan para pentahkik Musnad Imam Ahmad 31/161)
Ibn Khuzaimah berkata -setelah meriwayatkan hadits ini-
لَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنَ الْأَخْبَارِ «يُحَرِّكُهَا» إِلَّا فِي هَذَا الْخَبَرِ زَائِدٌ ذِكْرُهُ
“Lafaz “Nabi menggerak-gerakannya” tidak terdapat dalam riwayat manapun kecuali dalam lafaz tambahan pada riwayat ini.” (Sahih Ibn Khuzaimah no 714), dalam sebagian lafaz زَائِدَةٌ ذَكَرَهُ “Zaidah bin Qudamah yang menyebut lafaz ini”
- Meskipun Zaidah bin Qudamah ats-Tsaqafi Abu Ash-Shalt adalah perawi yang sangat tsiqah, sampai-sampai Ibn Hibban mengatakan tentangnya:
كَانَ لاَ يَعُدُّ السَّمَاعَ حَتَّى يَسْمَعَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Zaa’idah tidak menganggap dirinya telah mendengar suatu hadits hingga mendengarnya sebanyak tiga kali.” (Ats-Tsiqaat, Ibn Hibban 6/340 dan Masyahir Ulama’ al-Amshaar, Ibn Hibban hal 269 no 1355)
Akan tetapi ia telah menyelisihi 10 perawi lainnya yang sebagiannya sederajat dengan beliau, seperti Sufyan bin Uyainah, Sufyan ats-Tsauri, Syu’bah dan Zuhair bin Mu’awiyah.
- Apalagi lafaz يُحَرِّكُهَا “Nabi menggerak-gerakan jari telunjuknya” adalah lafaz yang lebih spesifik dari pada lafaz “memberi isyarat”. Dan lafaz ini tentu lebih menarik perhatian untuk diriwayatkan dan dihafalkan dari pada riwayat “memberi isyarat”, karena ia memuat makna (gerakan) khusus. Maka bagaimana mungkin 10 orang perawi tsiqah tersebut tidak menghafalkannya dan riwayat tersebut terluput dari mereka?!
- Bisa jadi Zaidah meriwayatkan lafaz tambahan tersebut dengan menghikayatkan maknanya, yaitu beliau memahami “memberi isyarat (dengan jari telunjuk)” adalah dengan “menggerak-gerakaannya”. Hal ini telah disinggung oleh al-Baihaqi setelah meriwayatkan hadits Zaa’idah, beliau berkata:
فَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ الْمُرَادُ بِالتَّحْرِيكِ الْإِشَارَةَ بِهَا لَا تَكْرِيرَ تَحْرِيكِهَا فَيَكُونَ مُوَافِقًا لِرِوَايَةِ ابْنِ الزُّبَيْرِ
“Maka bisa jadi yang dimaksud dengan “menggerak-gerakan” adalah “memberi isyarat dengan telunjuk” bukan menggerak-gerakannya secara berulang-ulang, sehingga maknanya sesuai dengan riwayat Ibn Az-Zubair” (As-Sunan al-Kubra 2/189)
- Lafaz “memberi isyarat dengan telunjuknya” persis sama dengan sifat shalat Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- yang diriwayatkan dari para sahabat lain, selain Waa’il bin Hujr. Diantaranya:
Pertama : Ibn Umar, ketika beliau mensifati tata cara tasyahud Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- , beliau berkata :
وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ
“Dan Nabi memberi isyarat dengan telunjuk” (HR Muslim no 580)
Kedua : Abdullah bin Az-Zubair, beliau berkata :
وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ، وَلَمْ يُجَاوِزْ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ
“Dan Nabi memberi isyarat dengan telunjuknya, dan pandangan beliau tidak melampaui isyarat beliau” (HR Ahmad no 16100, Abu Daud no 988, dan An-Nasaai no 1275 dan disahihkan oleh Al-Albani dan para pentahkik Musnad Ahmad)
Ketiga : Abu Humaid As-Saídi, beliau berkata :
وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ – يَعْنِي السَّبَّابَةَ
“Dan Nabi memberi isyarat dengan jarinya, yaitu jari telunjuknya” (HR At-Tirmidzi no 293 dan disahihkan oleh Al-Albani dan para pentahkik Musnad Ahmad 31/163)
Keempat : Numair al-Khuzaaí, beliau berkata tentang duduk Nabi ketika shalat :
رَافِعًا بِأُصْبُعِهِ السَّبَّابَ
“Nabi mengangkat jari telunjuknya” (HR Ahmad no 15866 dan disahihkan oleh para pentahkik al-Musnad)
Kelima : Abdurrahman bin Abi Abzaa, beliau berkata :
كَانَ يُشِيرُ بِأُصْبُعِهِ السَّبَّاحَةِ فِي الصَّلَاةِ
“Nabi memberi isyarat dengan jari telunjuknya ketika shalat” (HR Ahmad no15368 dan disahihkan oleh para pentahkik al-Musnad)
- Senada dengan sisi argumentasi pada poin sebelum ini, sesungguhnya menggerak-gerak jari ketika shalat merupakan pemandangan yang sangat menarik perhatian. Maka jika Nabi -shallallahu álaihi wa sallam- melakukannya, tentu akan menarik perhatian para sahabat, dan tentu banyak dari mereka yang akan meriwayatkannya. Namun ternyata riwayat tentang gerak-gerak jari hanya ditemukan dari sahabat Waa’il bin Hujr, itu pun melalui jalur Zaa’idah bin Qudamah.
- Permasalahan tentang sahih atau daifnya hadits “menggerak-gerakan telunjuk” adalah sebuah silang pendapat yang klasik. Karenanya Ibn Ar-Rusyd (wafat 595 H) berkata :
وَثَبَتَ عَنْهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – «أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ كَفَّهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَكَفَّهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَيُشِيرُ بِإِصْبَعِهِ» وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ هَذِهِ الْهَيْئَةَ مِنْ هَيْئَات الْجُلُوسِ الْمُسْتَحْسَنَةُ فِي الصَّلَاةِ، وَاخْتَلَفُوا فِي تَحْرِيكِ الْأَصَابِعِ لِاخْتِلَافِ الْأَثَرِ فِي ذَلِكَ، وَالثَّابِتُ أَنَّهُ كَانَ يُشِيرُ فَقَطْ.
“Dan telah sahih (valid) dari Nabi -shallallahu álaihi wa sallam- bahwasanya beliau “meletakkan telapak tangan kanan di atas lutut kanan beliau, dan telapak tangan kiri beliau di atas lutut kiri beliau, dan memberi isyarat dengan jarinya”. Para ulama telah bersepakat bahwa cara duduk ini merupakan cara duduk yang baik ketika shalat. Namun mereka berselisih tentang menggerak-gerakan jari, karena perbedaan riwayat tentang hal tersebut. Dan yang valid (sahih) adalah beliau –shallallaahu alaihi wa sallam- hanya memberi isyarat saja (tidak menggerak-gerakannya)” (Bidaayatul Mujtahid 1/146)
Diantara para ulama mutakadimin yang mendaifkan hadits “menggerakan jari” adalah
Pertama : Abu ‘Awanah (wafat 316 H)
Dalam kitab Mustakhraj-nya beliau membuat suatu bab dengan judul
بَيَانُ الْإِشَارَةِ بِالسَّبَّابَةِ إِلَى الْقِبْلَةِ وَرَمْيِ الْبَصَرِ إِلَيْهَا وَتَرْكِ تَحْرِيكِهَا بِالْإِشَارَةِ
“Penjelasan tentang memberi isyarat dengan jari telunjuk, mengarahkan pandangan ke jari tersebut, tanpa menggerak-gerakannya ketika berisyarat.” (Mustakhraj Abi ‘Awaanah 1/539)
Kedua : Abu Bakar Ibnu-l Araby Al-Maliky (wafat 543 H)
Beliau berkata : لم يثبت عن النّبيّ – صلّى الله عليه وسلم – في تحريكها شيءٌ
“Tidak ada hadits yang sahih tentang menggerakan jari”, Lihat Al Masalik fi Syarh Muwaththa’ Malik 2/387)
Ketiga : Ibnu Ar-Rusyd (wafat 595 H), sebagiamana telah lalu penukilan perkataan beliau
([17]) Lihat Dzakhiirotul Úqbaa 11/298
([18]) Lihat Tamaamul Minnah hal 217
([19]) Lihat Subulus Salaam 1/282
([20]) HR. Bukhari 2/63 no. 1202
Lafal tasyahhud yang terbaik
Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafadz bacaan tasyahhud yang paling shahih adalah sebagaimana bacaan tasyahhud yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud. (Lihat Al-Ausath Li Ibn Abdil Barr 2/306, Subulus Salam Li As-Shan’ani 1/284, dan Al-Minhal Al-‘Adzbu Al-Maurud Syarh Sunan Abu Dawud 6/74)
Kemudian, menurut Imam Syafi’i tingkatan bacaan tasyahhud yang shahih dan disukai setelah bacaan yang riwayat Ibnu Mas’ud adalah sebagaimana riwayat Ibnu Abbas, ia berkata:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَلِّمُنَا التَّشَهُّدَ كَمَا يُعَلِّمُنَا السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ فَكَانَ يَقُولُ: التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ، الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ، السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلَامُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ، أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَفِي رِوَايَةِ ابْنِ رُمْحٍ كَمَا يُعَلِّمُنَا الْقُرْآنَ
“Rasulullah pernah mengajarkan kepada kami doa tasyahhud sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami suatu surat dalam Al-Qur’an, beliau mengucapkan: At-tahiyyatul Mubaarakatus Shalawatut Thayyibaatu lillah, As-salaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barakaatuh, As-salaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahis shalihin, Asyhadu an laa ilaaha illa Allahu, wa asyhadu anna Muhammadan rasulullah.” Dalam redaksi yang diriwayatkan Ibnu Rumh disebutkan “sebagaimana beliau mengajarkan kepada kami Al-Qur’an.” (H.R. Muslim no.403, lihat bacaan yang kedua)
Imam As-Syafi’i berkata: “Banyak sekali hadits yang menjelaskan tentang bacaan tasyahhud dengan lafadz yang berbeda, lafadz yang paling aku sukai adalah ini (riwayat Ibnu Abbas) karena lafadz tersebut lebih sempurna. (Al-Umm Li As-Syafi’i 1/140)
Dan diantara sebab beliau lebih memilih tasyahhud ini adalah: Tambahan riwayat dalam lafadz (المبُاَرَكَاتُ). Begitu juga cara mengajarkan Nabi kepada Ibnu Abbas, sebagaimana beliau mengajarkan Al-Qur’an kepadanya. Disamping itu, tasyahhud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah riwayat terakhir daripada yang lain. Dan riwayat hadits yang paling terakhir lebih utama daripada riwayat yang lain. Demikian halnya, tasyahhud tersebut sesuai firman Allah:
تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi keberkahan lagi baik.” (An-Nur: 61)
Dan segala suatu khususnya dalam ibadah yang sesuai dengan firman Allah, maka itu lebih utama. (Al-Hawi Al-Kabir Syarh Mukhtashar Al-Muzanniy Li Al-Mawardiy 2/156 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/457)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata: Imam As-Syafi’i pernah ditanya tentang tasyahhud yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, lalu beliau berkata: karena maknanya yang luas, hadits yang diriwayatkannya memiliki riwayat yang shahih dan makna dalam bacaan tersebut lebih banyak dan luas dibandingkan dengan yang lain. (Fathul Bari Li Ibn Hajr 2/316.)
Berbeda dengan Imam Malik, beliau lebih memilih lafadz tasyahhud yang diriwayatkan oleh Umar bin Khatthab, sebagaimana dalam hadits riwayat Abdurrahman bin Abdul Qariy:
أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ، يُعَلِّمُ النَّاسَ التَّشَهُّدَ. يَقُولُ: قُولُوا: التَّحِيَّاتُ للهِ، الزَّاكِيَاتُ للهِ، الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ للهِ؛ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ. السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِينَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُ اللهِ وَرَسُولُهُ
Sesungguhnya dia mendengar Umar bin Khatthab ketika di atas minbar mengajarkan kepada orang-orang doa tasyahhud, mengucapkan: At-tahiyyatu lillah, Az-zaakiyaatu lillah, At-Thayyibaatus Shalawaatu lillah, As-salaamu ‘alaika ayyuha An-nabiyyu wa rahmatullah, As-salaamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibaadillahis shalihin. Asyhadu an laa ilaaha illa Allahu wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu. (H.R. Malik di dalam Al-Muwattha’ no.300 dan Al-Baihaqi no.2838)
([22]) Lihat : Fathul Bari Li Ibn Hajar 2/314.
([23]) Lihat al-Muhimmaat fi Syarh ar-Roudhoh, Al-Isnawi 3/110, Asnaa al-Mathoolib, Zakariya al-Anshoori 1/164, an-Najm al-Wahhaaj fi Syarh al-Minhaaj, Kamaalud diin Abul Baqoo’ Ad-Damiirii, Asy-Syafií 2/164
([24]) HR. Muslim 1/302 no. 403
([25]) HR. Muslim 1/303 no. 404
([26]) Malik dalam muwattho’ 1/91 No. 54, At-Tahbir li-idhohi maani attaysir 5/400
([27]) HR. Malik dalam Al-Muwatha’ 1/90 no 53
([28]) HR. Malik dalam Al-Muwattho’ 1/92 No 55
Kandungannya:
Imam Nawawi menjelaskan makna yang terkandung dalam bacaan-bacaan tasyahud di atas: “At-Tahiyyāt adalah bentuk jamak dari tahiyyah yang artinya adalah kepemilikan, ada juga yang mengartikannya dengan: kekekalan, keagungan, dan kehidupan. Dikatakan bahwaa sebab dijamaknya attahiyyat adalah karena para raja Arab diberi ucapan selamat oleh para pengikutnya dengan ucapan yang khusus (berbeda-beda). Dikatakan juga bahwa sebab dijamaknya tahiyyat untuk Allah adalah karena Allah yang paling berhak.
Al-Mubārakāt dan Az-Zākiyāt yang disebutkan dalam hadits Umar radhiyallahu ‘anhu memiliki satu makna (yang sama). Al-Barakah artinya kebaikan yang banyak, dan ada yang mengatakan artinya adalah tumbuh, begitu juga Az-Zakah yang asalnya adalan An-Nama’ (tumbuh).
Dan As-Shalawāt yaitu shalat-shalat yang sudah diketahui, ada yang mengatakan artinya adalah doa-doa dan ketundukan, dan dikatakan juga artinya adalah rahmat (kasih sayang) yaitu Allah yang mengaruniakan rahmat tersebut.
Dan At-Thayyibāt adalah kata-kata yang baik. (Al-Minhaj Syarh Shiohih Muslim bin Al Hajjaj 4/116)
Sebagian ulama memandang bahwa makna dari Az-Zākiyāt adalah amal shalih yang baik dan juga perkataan-perkataan yang baik, yaitu itu semua tidak layak ditujukan kecuali hanya kepada Allah (Lihat Tanwiir al-Hawaalik, Syarh Muwattho’ Malik 1/87)
([29]) As-Samarqandiy berkata: Apakah ada doa tambahan atau bacaan shalawat pada tasyahhud awal? Maka kami katakan: tidak ada tambahan apapun di dalam tasyahhud awal menurut mayoritas ulama’ (Tuhfatul Fuqaha Li As-Samarqandiy 1/137 dan lihat: Fathul baari Li Ibni Rajab 7/341).
Hal ini juga yang dikatakan oleh Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, Syafi’iyyah (qadim) dan sebagian ulama yang mana mereka memakruhkan doa tambahan saat tasyahhud awal, diantaranya adalah Atha’, Thawus, Ats-Tsauriy, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, As-Sya’bi dan An-Nakha’i. (Lihat: Al-Bahru Ar-Ra’iq Li Ibni Nujaim 1/344, Mawahibu Al-Jalil Li Al-Hatthab 2/250, Al-Inshaf Li Al-Mardawiy 2/56, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/460 dan Al-Ausath Li Ibni Al-Mundzir 3/379).
Pendapat lain dalam hal ini adalah: Membaca shalawat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah tasyahhud awal adalah mustahab.
Ini adalah pendapat Syafi’iyyah dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Hubairah Al-Ajurriy dan Ibnu Hazm. Akan tetapi mereka berpendapat shalawat tersebut hanya khusus buat Nabi, adapaun shalawat kepada keluarga Nabi maka tidaklah disunnahkan dalam tasyahhud awal. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam duduk pada saat tasyahhud awal dengan cepat, artinya tidak mungkin pada saat duduk tasyahhud awal beliau bershalawat kepada keluarga beliau. (Lihat: Mughni Al-Muhtaj Li As-Syirbini 1/380, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/460, Raudhatu At-Thalibin 1/223, Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/56, Al-Mubdi’ Li Burhanudin Ibnu Muflih 1/413 dan Al-Muhalla Li Ibni Hazm 3/50).
As-Syafi’i berkata: Ada dua tasyahhud dan membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di setiap shalat kecuali subuh, yaitu tasyahhud awal dan tasyyahhud akhir. Jika seseorang meninggalkan tasyahhud awal dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena lupa, maka ia tidak perlu mengulanginya. Namun, dia harus menggantinya dengan sujud sahwi. (Al-Umm Li As-Syafi’i 1/228)
Alasan: Hal itu disebabkan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimin untuk bershalawat dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka jika telah disyariatkan untuk mengucapkan salam kepada beliau tatkala tasyahhud awal, maka disyariatkan pula bershalawat kepada beliau ketika tasyahhud awal. Di sisi lain posisi duduk tasyahhud awal merupakan kondisi disyariatkannya membaca doa tasyahhud dan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka disyariatkan pula membaca shalawat kepada beliau sebagaimana tasyahhud akhir. Karena di dalam bacaan tasyahhud awal disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka membaca shalawat kepada beliau merupakan perkara yang mustahab, dan hal itu menjadikan lebih sempurna ketika menyebutkan nama beliau. ( Lihat Jala’u Al-Afham Li Ibn Al-Qayyim hal.359 dan Al-Bayan Li Al-‘Imrani 2/237)
([30]) Jala’u Al-Afham Li Ibni Al-Qayyim hal.360.
([31]) Al-Hawi Al-Kabir Li Al-Mawardi 2/314.
([32]) Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf no.3034 dan dishahihkan oleh Ibnu hajar di dalam At-Talkhis Al-Habir 1/430.