BANGKIT DARI RUKUK (الاِعْتِدَالُ iktidal)
Penjelasan
Secara bahasa i’tidal bermakna menjadikan sesuatu lurus dan tegak. ([1]) Dan secara istilah Iktidal merupakan bentuk gerakan bangkit dari ruku’ dan sujud dengan tegak dan lurus. ([2])
Hukum-Hukum Seputar I’tidal
Pertama : Iktidal adalah rukun sholat([3])
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beriktidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.” ([4])
Semua yang disebutkan dalam hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya merupakan asal hukum gerakan shalat dan semuanya diwajibkan di dalam shalat, hingga ada dalil yang memalingkannya. ([5])
Kedua : Batasan Thumaninah Dalam Iktidal
Mayoritas ahli fiqh menegaskan ketika melakukan gerakan iktidal, hendaknya dilakukan dengan thuma’ninah. Menurut Malikiyyah batasan dari gerakan iktidal adalah dengan tidak mencondongkan badan. Menurut Hanabilah adalah gerakan yang jauh dari batas ruku’. Dan batas gerakan iktidal yang sempurna adalah meluruskan dan menegakkan badan hingga anggota tubuh kembali kepada posisi semula. Dalam keadaan seperti ini tidak mengapa jika badannya membungkuk sedikit asalkan tetap dalam keadaan posisi badan tegak, lurus dan tenang (thuma’ninah), karena posisi seperti ini masih dalam posisi berdiri.
Adapun menurut Syafi’iyyah batas iktidal adalah sama halnya dengan batasan berdiri ketika shalat, yaitu dengan berdiri menegakkan tulang belakang, jika membungkuk atau condong sedikit saja, sekiranya tidak dianggap berdiri maka tidak sah. Dan thuma’ninah dalam iktidal adalah menegakkan kembali anggota tubuh seperti halnya sebelum ruku’. Mereka juga menegaskan bahwa hendaknya seorang yang shalat ketika bangkit dari ruku’ supaya menyengaja untuk iktidal. Jika dia bangkit dari ruku’ kemudian berdiri dengan terkejut sebagaimana halnya kepala ular yang bangkit berdiri dengan cepat dan kembali lagi karena ketakutan, maka gerakan iktidalnya tidak sah. ([6]) Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang telah disebutkan sebelumnya tentang orang yang buruk di dalam shalatnya.
Ketiga : Hukum Mengucapkan (At-Tasmi’) yaitu ‘Sami’allaahu liman hamidah’ dan Mengucapkan (At-Tahmid) yaitu (رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ) ‘Rabbanaa walakal hamdu’
Mengucapkan At-Tahmid ketika bangkit dari ruku’ adalah wajib. ([7]) Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قَالَ الإِمَامُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ
Jika imam mengucapkan ‘Samia’allahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Allahumma rabbana lakal hamdu’. ([8])
Disebutkan juga dalam hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya:
يَا بُرَيْدَةُ إِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ مِنَ الرُّكُوعِ فَقُلْ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاءِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِن شيءٍ بَعْد
Wahai Buraidah, jika engkau angkat kepalamu (bangkit) dari ruku’, katakanlah: ‘sami’allahu liman hamidah, Allahumma rabbana lakal hamdu mil’as sama’i wa mil’al ardhi wa mil’a maa syi’ta min syai’in ba’du’. ([9])
Nabi juga bersabda kepada orang yang salah shalatnya :
إِنَّهُ لَا تَتِمُّ صَلَاةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ … ثُمَّ يَرْكَعُ حَتَّى تَطْمَئِنَّ مَفَاصِلُهُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَائِمًا
“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang hingga dia berwudhu…kemudian ruku’ hingga tegak tulang-tulang sendinya, kemudian mengucapkan: ‘Sami’allahu liman hamidah’ hingga tegak berdiri” ([10])
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan shalat kepada orang yang buruk shalatnya. Dan yang diajarkan Nabi kepadanya adalah tentang wajib-wajib shalat. ([11])
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، حِينَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ: رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ
Rasulullah apabila mendirikan shalat, maka beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’. Kemudian mengucapkan: ‘sami’allahu liman hamidah’ ketika bangkit dan meluruskan tulang punggungnya dari ruku’. Kemudian bangkit seraya mengucapkan: ‘rabbana lakal hamdu’. ([12])
Hadits tersebut menerangkan tentang sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan beliau bersabda:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah sebagaimana kalian melihat Aku shalat.” ([13])
Keempat : Yang berkewajiban mengucapkan Tasmi’ dan Tahmid
- Bagi Orang Yang Shalat Sendiri
Bagi orang yang shalat sendiri hendaknya menggabungkan bacaan Tasmi’ dan Tahmid, seperti (سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) dan (رَبَّنَا لَكَ الحَمْد). ([14]) Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ يُكَبِّرُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ، قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’, maka beliau juga mengucapkan ‘Allahumma rabbana wa lakal hamdu’. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika hendak ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya. Dan ketika bangkit dari dua sujudnya beliau mengucapkan ‘Allahu Akbar’. ([15])
Hadits menerangkan bahwa bacaan dzikir dalam shalat bagi imam shalat atau orang yang mengerjakan shalat dengan sendiri tidaklah dibedakan. Karena segala bacaan dan dzikir dalam shalat yang dibebankan kepada imam shalat juga dibebankan bagi orang yang shalat sendiri. ([16])
- Bagi Imam
Bagi orang yang memimpin dalam shalat atau imam, maka hendaknya membaca keduanya yakni bacaan At-Tasmi’ dan At-Tahmid. ([17])
Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ يُكَبِّرُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ، قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’, maka beliau juga mengucapkan ‘Allahumma rabbana wa lakal hamdu’. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir ketika hendak ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya. Dan ketika bangkit dari dua sujudnya beliau mengucapkan ‘Allahu Akbar’. ([18])
Demikian pula dalam riwayat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُولُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، حِينَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ: رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila mendirikan shalat, maka beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’. Kemudian mengucapkan: ‘sami’allahu liman hamidah’ ketika bangkit dan meluruskan tulang punggungnya dari ruku’. Kemudian bangkit seraya mengucapkan: ‘rabbana lakal hamdu’. ([19])
Az-Zaila’i menuturkan bahwa dibebankannya seorang imam untuk menggabungkan kedua bacaan itu, dikarenakan tujuan dari adanya seorang imam dalam shalat adalah untuk menuntun yang lainnya di dalam shalat, maka hendaknya tidak luput darinya beberapa dzikir shalat seperti ini. ([20])
- Bagi Makmum
Bagi makmum cukup mengucapkan bacaan Tahmid saja, dan tidak perlu mengucapkan bacaan Tasmi’. ([21])
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ
Dan apabila imam mengucapkan ‘Samia’allahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Rabbana lakal hamdu’. ([22])
Demikian juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قَالَ الإِمَامُ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الحَمْدُ
Jika imam mengucapkan ‘Samia’allahu liman hamidah’, maka ucapkanlah: ‘Allahumma rabbana lakal hamdu’. ([23])
Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membedakan bacaan takbir dan tasmi’. Takbir diucapkan oleh makmum sebagaimana imam shalat mengucapkannya. Adapun tasmi’ tidak diucapkan oleh makmum ketika diucapkan oleh imam shalat. Artinya ketika imam shalat mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’, maka bagi makmum tidak mengucapkan ‘Sami’allahu liman hamidah’, namun mengucapkan ‘rabbana wa lakal hamdu’ sebagaimana yang telah diterangkan dalam hadits. ([24])
Gerakan I’tidal
Pertama : Disyariatkan untuk mengangkat tangan ketika iktidal. Dalilnya adalah hadits:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ
“sesungguhnya Rasulullah –shallallahu ’alaihi wa sallam biasanya mengangkat kedua tangannya sejajar kedua pundaknya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk rukuk dan ketika mengangkat kepala setelah rukuk.”([25])
Adapun tata cara mengangkat tangan dan perbedaan pendapat antara para ulama dalam permasalahan tersebut, maka sudah dijelaskan pada pembahasan mengangkat tangan sebelum rukuk.
Kedua : Posisi tangan ketika iktidal
Ketika selesai mengangkat kedua tangan maka posisi tangan dibiarkan menjulur dan tidak bersedekap. Diantara hadits yang menjadi landasan hal tersebut adalah hadits Waa’il bin Hujr berikut:
أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلَاةِ كَبَّرَ، ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ، ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنَ الثَّوْبِ، ثُمَّ رَفَعَهُمَا، ثُمَّ كَبَّرَ فَرَكَعَ، فَلَمَّا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ
“Waa’il bin Hujr pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengangkat kedua tangannya saat memulai shalat sembari ber-takbîratul ihrâm. Kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- memasukkan tangan ke dalam pakaiannya, seraya meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Ketika Beliau akan rukuk, ia mengeluarkan kedua tangannya dari pakaian, lalu mengangkatnya seraya bertakbir sembari rukuk. Ketika Beliau mengucapkan sami‘allâhu li man hamidah, ia mengangkat kedua tangannya. Saat sujud, Beliau sujud di antara kedua telapak tangannya.” ([26])
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah –shallallaahu alaihi wa sallam- hanya bersedekap ketika berdiri membaca Al-Fatihah saja, dan tidak pada posisi berdiri yang lain, oleh karena itu ia disebutkan secara khusus. Seandainya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- kembali bersedekap ketika iktidal, pastilah Waa’il bin Hujr akan menyebutkannya dalam hadits di atas.
Hal ini didukung dengan perbuatan Ibnu Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu-
أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ «كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي الْوِتْرِ، ثُمَّ يُرْسِلْهُمَا بَعْدُ»
“Sesungguhnya Ibnu Mas’ud mengangkat kedua tangannya ketika berdiri di shalat witir, kemudian membiarkannya (terjulur) setelahnya (setelah rukuk).” ([27])
Bacaan Ketika I’tidal
Bacaan ketika bangkit dari ruku’ menuju iktidal
Jika shalat sendirian atau sebagai imam maka ketika bangkit dari ruku’ menuju iktidal membaca :
سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ
Setelah sampai pada posisi iktidal maka baru membaca bacaan-bacaan ketika iktidal
Adapun jika sebagai makmum maka langsung membaca bacaan-bacaan iktidal ketika bangkit dari ruku’ dan tidak perlu membaca tasmii’
Bacaan ketika dalam posisi iktidal
Pertama
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْد
Rabbanaa lakal hamdu (Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji). ([28])
Kedua
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْد
Rabbanaa wa lakal hamdu (Wahai Rabb kami, dan bagi-Mu segala puji). ([29])
Ketiga
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْد
Allahumma rabbanaa lakal hamdu (Ya Allah Rabb kami, bagi-Mu segala puji). ([30])
Keempat
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْد
Allahumma rabbanaa wa lakal hamdu (Ya Allah Rabb kami, dan bagi-Mu segala puji). ([31])
Kelima
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْد
Rabbanaaa lakal hamdu mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi wa mil-a maa syik-ta min syai-im ba’du.
(Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, serta sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya). ([32])
Keenam
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَد
Rabbanaaa lakal hamdu mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi wa mil-a maa syik-ta min syai-im ba’du wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.
(Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, serta sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya, dan tidak bermanfaat bagi-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan). ([33])
Ketujuh
اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ، وَمِلْءَ الْأَرْضِ، وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْد
Allahumma rabbanaaa lakal hamdu mil-as-samaawaati wa mil-al-ardhi wa mil-a maa syik-ta min syai-im ba’du.
(Ya Allah Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, serta sepenuh apa yang ada di antara keduanya dan sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya). ([34])
Kedelapan
اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ، اللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Allahumma rabbanaaa wa lakal hamdu mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa maa bainahumaa wa mil-u maa syik-ta min syai-im ba’du ahlats tsanaa-i wal majdi ahaqqu maa qoolal ‘abdu wa kullunaa ‘abdun, allahumma laa maani’a limaa a’thoita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.
(Ya Allah Rabb kami,dan bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh yang ada diantara langit dan bumi, serta sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya. Engkau adalah Dzat yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan. (Ucapan ini) yang paling pantas diucapkan seorang hamba. Dan semua kami adalah hamba-Mu semata. Ya Allah, tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan. Tidak bermanfaat dari-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan). ([35])
Kesembilan
اللهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءُ الْأَرْضِ، وَمَا بَيْنَهُمَا، وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Allahumma rabbanaaa lakal hamdu mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa maa bainahumaa wa mil-u maa syik-ta min syai-im ba’du ahlats tsanaa-I wal majdi, laa maani’a limaa a’thoita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.
(Ya Allah Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, dan sepenuh yang ada diantara langit dan bumi, serta sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya. Engkau adalah Dzat yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan. tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan. Tidak bermanfaat dari-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan). ([36])
Kesepuluh
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَمِلْءُ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ، أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ، أَحَقُّ مَا قَالَ الْعَبْدُ، وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ: اللهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلَا يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
Rabbanaaa lakal hamdu mil-us-samaawaati wa mil-ul-ardhi wa mil-u maa syik-ta min syai-im ba’du ahlats tsanaa-I wal majdi ahaqqu maa qoolal ‘abdu wa kullunaa laka ‘abdun, allahumma laa maani’a limaa a’thoita wa laa mu’thiya limaa mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu
(Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, serta sepenuh apa yang Engkau inginkan dari sesuatu setelahnya. Engkau adalah Dzat yang berhak mendapat pujian dan kemuliaan. (Ucapan ini) yang paling pantas diucapkan seorang hamba. Dan semua kami adalah hamba-Mu semata. Ya Allah, tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan. Dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan. Tidak bermanfaat dari-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan). ([37])
Kesebelas
لِرَبِّيَ الْحَمْدُ لِرَبِّيَ الْحَمْدُ
Li rabbiyal hamdu… Li rabbiyal hamdu. (Pujian hanya untuk Rabbku, pujian hanya untuk Rabbku). ([38])
Kedua belas
رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
Rabbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi mubaarakan ‘alaihi kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardhaa.
(Wahai Rabb kami, hanya untuk-Mu segala pujian. Pujian yang banyak, yang baik, yang diberkahi di dalamnya). ([39])
Ketiga belas
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ جَزِيلًا
Rabbanaa wa lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi jaziilan
(Wahai Rabb kami, hanya untuk-Mu segala pujian. Pujian yang banyak, yang baik, yang diberkahi, yang banyak di dalamnya). ([40])
Keempat belas
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ؛ حَمْداً كَثِيْراً طَيِّباً مُبَارَكاً فِيْهِ مُبَاركَاً عَلَيْهِ؛ كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى
Rabbanaa lakal hamdu hamdan katsiiron thoyyiban mubaarokan fiihi, mubaarokan ‘alaihi kamaa yuhibbu rabbunaa wa yardhoo.
(Wahai Rabb kami, hanya untuk-Mu segala pujian. Pujian yang banyak, yang baik, yang diberkahi di dalamnya, yang diberkahi atasnya sebagaimana yang dicintai dan diridhoi oleh Rabb kami). ([41])
FOOTNOTE:
([1]) Lihat: Lisanul ‘Arab Li Ibni Mandzur 11/434.
([2]) Lihat: AL-Mughni Li Ibni Qudamah 1/513.
([3]) Lihat: Al-Kafi Li Ibni Abdil Barr 1/227, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/416, Syarh Muntaha Al-Iradat Li Al-Bahutiy 1/217, Durarul Hukkam Li Malla Khasru 1/71 dan Al-Muhith Al-Burhani Li Ibni Mazah 1/337.
([4]) HR. Bukhari no.793, Muslim no.397.
([5]) Lihat: Nailul Authar Li As-Syaukani 2/202 dan Ihkamul Ahkam Li Ibni Daqiq Al-‘Id 1/166.
([6]) Lihat: Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/241, Mughnil Muhtaj Li As-Syirbiniy 1/165, Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/387, Asnal Mathalib Li Zakariya Al-Anshari 1/157 dan Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah 27/66.
([7]) Ini merupakan pendapat Hanabilah, Ishaq dan Dawud. (lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/362, Burhanuddin Li Ibni Muflih 1/445).
Adapun pendapat ulama lain, seperti Malikiyyah, Hanafiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan bahwa Tasmi’ dan Tahmid adalah sunnah. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الحَمْدُ، وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ يُكَبِّرُ، وَإِذَا قَامَ مِنَ السَّجْدَتَيْنِ، قَالَ: اللَّهُ أَكْبَرُ
Nabi shallallahu ‘aaihi wasallam jika mengucapkan: ‘Sami’allahu liman hamidah’, maka beliau juga mengucapkan: ‘Allahumma rabbana lakal hamdu.’. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertakbir jika ruku’ dan jika bangkit mengangkat kepalanya. Dan apabila bangkit dari dua sujud maka beliau mengucapkan: ‘Allahu Akbar’. (H.R. Bukhari no.795)
An-Nawawi mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan akan anjuran dan bukan kewajiban. (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/415). Dan seandainya hal itu menjadi perkara yang diwajibkan maka tidak boleh ditinggalkan dan apabila ditinggalkan maka tidak digantikan dengan sujud sahwi kecuali dikarenakan lupa. (lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/362).
([8]) H.R. Bukhari no.796 dan Muslim no.409.
([9]) H.R. Ad-Daruquthni no.1284.
([10]) H.R. Abu Dawud no.857, An-Nasa’i no.1136, Ad-Daruquthni no.319 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([11]) Lihat: Nailul Authar Li As-Syaukani 2/202 dan Ihkamul Ahkam Li Ibni Daqiq Al-‘Id 1/166.
([14]) At-Thahawiy dan Ibnu Abdil Barr meriwayatkan ijma’ ulama bahwa orang yang shalat sendiri hendaknya menggabungkan bacaan tasmi’ dan tahmid. (Fathul Baari Li Ibni Hajar 2/284, Al-Istidzkar Li Ibni Abdil Barr 2/178 dan Bidayatul Mujtahid Li Ibni Rusyd 1/151)
([16]) Lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/366.
([17]) Menurut pendapat Syafi’iyyah, Hanabilah, salah satu riwayat Abu Hanifah, pendapat Muhammad dan Abu Yusuf dari Hanafiyyah, Dawud dan sebagian ulama yang lain seperti At-Tsauri, Al-Auza’i dan lain-lain. (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/419, Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/348, Al-Inshaf Li Al-Mardawiy 2/48, Fathul Qadir Li Al-kamal bin Al-Humam 1/298, Al-Bahru Ar-Ra’iq Li Ibni Nujaim 1/343 dan Fathul Baari 7/192 Li Ibni Rajab 7/192)
([20]) Tabyiinul Haqaiq Li Az-Zaila’i 1/115.
([21]) Ini merupakan pendapat Malikiyyah, Hanafiyyah dan Hanabilah. Lihat: Fathul Qadir Li Al-Kamal bin Al-Humam 1/298, Ar-Risalah Li Al-Qairawaniy hal.27 dan Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/362.
Berbeda dengan Syafi’iyyah dan merupakan pendapat ‘Atha’, Abu Burdah, Muhammad bin Sirin, Ishaq dan Dawud Ad-Dzohiriy yang menjadikan perkara tersebut mustahab (Al-Hawi Lil Fatawa Li As-Suyuthi 1/41). Imam Syafi’i berkata sebagai berikut:
وَيَقُولُ الْإِمَامُ وَالْمَأْمُومُ وَالْمُنْفَرِدُ عِنْدَ رَفْعِهِمْ رُءُوسَهُمْ مِنْ الرُّكُوعِ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَإِذَا فَرَغَ مِنْهَا قَائِلُهَا أَتْبَعَهَا فَقَالَ رَبَّنَا وَلَك الْحَمْدُ وَإِنْ شَاءَ قَالَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ
Seorang imam, makmum dan orang yang shalat dengan sendiri hendaknya ketika bangkit dari ruku’ membaca ‘Sami’allahu liman hamidah’ dan jika sudah selesai dari bacaan tersebut, hendaknya menyambungnya dengan mengucapkan ‘Rabbana wa lakal hamdu’ atau membaca ‘Allahumma rabbana lakal hamdu’. (Al-Umm Li As-Syafi’i 1/135)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ali bin Abi Thalib:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ قَالَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَاوَاتِ وَمِلْءَ الْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ
Bahwa Rasulullah jika bangkit dari ruku’ shalat fardhu, beliau mengucapkan ‘Allahumma rabbana lakal hamdu mil’as samaawaati wa mil’al ardhi wa mil’a ma syi’ta min syai’in ba’du’. (Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar Li Al-Baihaqi no.3467).
Dan pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur, bahwa bagi makmum cukup mengucapkan ‘rabbana lakal hamdu’ setelah imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Wallahu a’lam.
([23]) H.R. Bukhari no.796 dan Muslim no.409.
([24]) Lihat: Syarh Abu Dawud Li Al-‘Ainiy 4/40.
([27]) Mushannaf Abdur Rozzaq 4/324 no. 7952
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi beberapa pendapat:
Pertama : Disyariatkan untuk irsaal (yaitu melepas tangan dan tidak bersedekap) ketika iktidal, berdasarkan hadits Waa’il bin Hujr -radhiallahu ‘anhu- yang telah lalu penyebutannya dan juga perbuatan yang diriwayatkan dari Ibn Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-.
Kedua: Disyariatkan untuk bersedekap (meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri) ketika iktidal, berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
«كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ اليَدَ اليُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ اليُسْرَى فِي الصَّلاَةِ»
“Dahulu orang-orang diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan kirinya ketika shalat” (HR. Al Bukhari no. 740)
Dan juga hadits Rifa’ah Ibn Rafi’, dimana Nabi bersabda:
فَإِذَا رَفَعْتَ رَأْسَكَ فَأَقِمْ صُلْبَكَ حَتَّى تَرْجِعَ الْعِظَامُ إِلَى مَفَاصِلِهَا
“Jika engkau bangkit dengan mengangkat kepalamu, maka luruskanlah tulang punggungmu hingga setiap tulang kembali pada posisinya.” (HR. Ahmad 31/328 no. 18995)
Mereka memahaminya: sampai tulang-tulang kembali kepada posisi ketika pertama kali berdiri, yang diistilahkan dengan qiyamul qira’ah; yaitu berdiri ketika membaca Al-Fatihah dan surat, yang mana pada posisi ini kedua tangan disedekapkan ke dada.
Ketiga : Boleh irsaal (melepaskan kedua tangan dan tidak bersedekap) dan boleh juga bersedekap. Ini adalah pendapat dari satu riwayat dari Imam Ahmad.
Hal ini dikarenakan iktidal adalah posisi berdiri yang memiliki kemiripan dengan dua posisi.
Pertama : Posisi iktidal menyerupai posisi berdiri sebelum rukuk, yang mana keduanya adalah posisi berdiri. Maka, jika berdiri sebelum rukuk dengan bersedekap, demikian juga berdiri setelah rukuk.
Kedua : Posisi iktidal terjadi setelah rukuk yang menyerupai posisi sujud dan duduk, yang mana tidak ada sedekap pada keduanya (sujud dan duduk), maka begitu juga tidak ada sedekap pada iktidal.
Karena iktidal memiliki kesamaan dengan dua posisi di atas, maka ketika iktidal boleh melakukan keduanya, boleh sedekap dan boleh juga irsaal.
Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat pertama (yaitu irsaal ketika iktidal dan tidak bersedekap), berdasarkan hadits Waa’il bih Hujr yang didukung oleh perbuatan Sahabat, yaitu Ibn Mas’ud. Adapun dalil-dalil yang dijadikan hujah oleh pendapat kedua maka ia bersifat umum dan tidak spesifik, serta masih mengandung ihtimaalaat (kemungkinan-kemungkinan).
Namun, ada toleransi yang besar dalam pembahasan ini, sebagaimana demikian pendapat Imam Ahmad. Jadi, boleh bersedekap dan boleh juga irsaal ketika iktidal.
([28]) HR. Bukhari No. 722, 733, 789 dan Muslim No. 477
Penjelasan:
Kita dapati kebanyakan doa yang ada dalam iktidal semuanya mengandung pujian-pujian untuk Allah, lalu apa hubungan kalimat pujian dengan posisi seorang hamba ketika berdiri iktidal?
Ketika bangkit dari ruku’ hamba disyariatkan untuk memuji Rabb-nya serta menyanjung-Nya atas nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepadanya, yaitu ketika ia berdiri iktidal dan kembali pada posisi terbaik dengan badan tegak dan lurus. Pada posisi ini ia memuji dan menyanjung Rabb-nya yang telah memberikan taufik kepadanya sehingga ia dapat memberikan ketundukan yang haram ia berikan kepada selain-Nya.” (Lihat Rahasia-Rahasia Shalat hal 66, terjemah dari kitab Asrorus Sholah, karyar Dr. Malik Sya’ban)
([29]) HR. Bukhari No. 732, 734 dan Muslim No. 392, 411
([30]) HR. Bukhari No. 796, Sunan Ad-Darimi 2/857 No. 1398, Ahmad dalam musnadnya 15/234 No. 9401
([31]) HR. Bukhori No. 796 Muslim No. 409
([32]) Ibnu Abi Ashim dalam kitab al-ahad wal matsany 4/46 No. 1993
([33]) Al-Firyabi dalam kitabnya Al-Qodar 1/145
([34]) HR. Ibnu Majah No. 878, Abu Dawud No. 846, Nasa’i dalam As-Sunanul Kubro No. 657
([35]) Al-Jami’u As-Shohih Lis Sunani Wal Masaanid 25/265
Kandungannya:
Doa ini memiliki kandungan makna yang sangat agung, karena pujiannya memenuhi langit dan bumi bahkan melebihi keduanya hingga tiada batas, sebagaimana pada lafaz yang artinya “serta sepenuh apa yang Engkau inginkan”. Karena apa yang menjadi keinginan Allah tidak ada satu makhluk pun yang tahu. Ini juga menjadi bukti kesempurnaan Allah yang tiada satu pun bisa menandingi-Nya dan juga menjadi bukti lemahnya seorang hamba. Atas dasar kesempurnaan yang Allah miliki dari segala sisi yang tiada cacat sedikit pun dan juga atas segala karunia kenikmatan-kenikmatan yang sangat banyak yang Allah limpahkan kepada hamba-Nya, maka sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk memuji Penciptanya dan hanya Allah satu-satunya Dzat yang berhak mendapat pujian tersebut.
Pada lafaz yang artinya “tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan” menunjukkan penetapan bahwa semua perbuatan hamba adalah ciptaan Allah. Karena ketika kita mengucapkan “tidak ada yang bisa menahan apa yang Engkau berikan” dan “tidak ada yang bisa memberikan apa yang Engkau tahan“ menunjukkan penafian secara umum, tidak ada yang bisa memberikan juga tidak ada yang bisa menahan pemberian kecuali Allah. Karena tidak ada yang bisa menahan atau melarang pemberian secara hakikat kecuali Allah.
Maka dari sini jelas bahwasanya memberikan dan juga menahan adalah sesuatu yang diciptakan Allah yang kemudian dilakukan oleh hamba. (Syarh Shohih Al-Bukhori oleh Ibnu Batthol 10/321)
Kemudian pada lafaz “Tidak bermanfaat dari-Mu kemuliaan/kedudukan orang yang memiliki kemuliaan”, al-jaddu artinya adalah bagian. Jadi, maksudnya bagian seseorang di dunia tidak akan bermanfaat di sisi Allah pada hari kiamat. At-Thobari juga berkata: Bagian seseorang di dunia berupa harta dan anak tidak akan bermanfaat di akhirat kelak, karena yang bermanfaat di sisi Allah di akhirat hanyalah amal, hal ini sesuai dengan firman Allah:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
“(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. QS. Asy Syu’aro’: 88-89 (Syarh Shohih Al-Bukhori oleh Ibnu Batthol 2/495 dan 10/321)
Ibnul Qayyim menjelaskan: “Hati yang bersih adalah hati yang selamat dari berbuat syirik kepada selain Allah dalam bentuk apa pun, karena ibadah hanya untuk Allah semata, yaitu al-irodah (keinginan), cinta, tawakkal, al-inabah (kembali), tunduk, takut dan rasa harap hanya ditujukan pada Allah semata.” (Ighotsatul Lahfaan 1/7)
([36]) HR. Muslim No. 478. Perbedaanya di sini tidak ada kalimat “ahaqqu maa qoolal ‘abdu wa kullunaa ‘abdun”.
([37]) HR. Muslim No. 477. Di sini tidak ada lafaz “wa maa bainahumaa”.
([38]) HR. Ahmad dalam musnadnya 38/392 No. 23375, dan Nasa’i No. 735.
Keterangan:
Ini adalah pengkhususan pujian hanya untuk Allah, karena ketika Khobar dikedepankan dan Mubtada diakhirkan, ini berfungsi pembatasan, yaitu membatasi pujian hanya untuk Allah semata bukan yang lain.
([39]) HR. Bukhori No. 799, Abu Dawud No. 770, An-Nasa’i No. 653, Ibnu Hibban dalam shahihnya no 1910, At-Thobroni dalam al-mu’jam al-kabir No. 4531.
Keterangan:
Doa ini kandungannya sama seperti yang dijelaskan dalam kandungan doa sebelumnya, akan tetapi dalam doa ini ada sebuah keutamaan bagi orang yang mengucapkannya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Rifa’ah bin Rofi’ Radhiallahu’anhu, ketika Rasulullah bangkit dari ruku ada seorang lelaki yang membaca doa tersebut, lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا
“Aku melihat tiga puluh sekian malaikat bersegera menuju kepadanya.” (Syarhu Shohihil Bukhori Libni Batthol 2/419)
([40]) HR. Hakim dalam Al-Mustadrok ‘Ala As-Shohihain 1/348 No. 819.