SUJUD
Penjelasan
Sujud secara bahasa bermakna tunduk, merendahkan diri dan meletakkan dahi di atas tanah. Dan sujud dalam shalat memiliki arti gerakan khusus meletakkan dahi di atas tanah sebagai bentuk tunduk dan penghambaan diri kepada Allah azza wa jalla. ([1])
Hukum-Hukum Seputar Sujud
Pertama : Sujud merupakan fardhu dan rukun shalat. ([2]) Sebagaimana firman Allah azza wa jalla:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman ruku’lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu.” ([3])
Kemudian hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya, diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk dengan thuma’ninah. Kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.” ([4])
Kedua : Bilangan Sujud Setiap Rakaat
Sujud yang wajib dilakukan pada setiap rakaat adalah dua sujud. ([5]) Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang buruk shalatnya.
ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk dengan thuma’ninah. Kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.” ([6])
Ketiga : Anggota Tubuh Saat Sujud
Ketika melakukan gerakan sujud, diwajibkan menempelkan anggota tubuh yang berjumlah tujuh, yaitu: dahi disertai hidung, ([7]) kedua tangan, kedua lutut dan kedua kaki. Dalil yang mendasari hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَاليَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَأَطْرَافِ القَدَمَيْنِ
“Aku diperintah untuk bersujud di atas tujuh tulang: di atas dahi, -sambil menunjuk ke hidungnya-, kedua tangan, kedua lutut, serta ujung jari-jemari kedua kaki.” ([8])
Dalam hadits menunjukkan perintah untuk sujud dengan anggota tubuh yang tujuh, adapun perintah menunjukkan kewajiban. ([9])
Kempat : Hukum tidak menempelkan salah satu anggota sujud (yang tujuh) ke tanah
Dalam masalah ini ada dua pembahasan yang harus kita pisah agar mudah dalam memahaminya:
Pertama: Hukum tidak menempelkan hidung ketika sujud
Terdapat perselisihan di antara ulama dalam masalah ini, namun pendapta yang kuat bahwa hidung termasuk anggota tubuh yang wajib sujud dengannya, hal ini berdasarkan zhohir perintah yang terdapat dalam hadits Ibnu ‘Abbas:
«أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ الْجَبْهَةِ، وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ، وَالرِّجْلَيْنِ، وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ، وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ، وَلَا الشَّعْرَ»
“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan: kening (lalu beliau menunjuk juga pada hidungnya), kedua tangan, kedua lutut, dan ujung kedua kaki.” ([10])
Dan dalam riwayat lain:
«أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعٍ، وَلَا أَكْفِتَ الشَّعْرَ، وَلَا الثِّيَابَ، الْجَبْهَةِ، وَالْأَنْفِ، وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَالْقَدَمَيْنِ»
“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan dan tidak menggulung rambut dan baju, yaitu kening (lalu beliau menunjuk juga pada hidungnya), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.” ([11])
Kedua: Hukum tidak sujud di atas anggota tubuh yang lain (selain hidung)
Jika seseorang meninggalkannya maka tidak sah shalatnya, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An-Nawawi:
وَأَمَّا الْيَدَانِ وَالرُّكْبَتَانِ وَالْقَدَمَانِ فَهَلْ يَجِبُ السُّجُودُ عَلَيْهِمَا فِيهِ قَوْلَانِ لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى أَحَدُهُمَا لَا يَجِبُ لَكِنْ يُسْتَحَبُّ اسْتِحْبَابًا مُتَأَكِّدًا وَالثَّانِي يَجِبُ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَهُوَ الَّذِي رَجَّحَهُ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى فَلَو أَخَلَّ بِعُضْوٍ مِنْهَا لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ
“Dan adapun kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki apakah wajib untuk sujud di atasnya? Maka ada dua qaul (pendapat) dari Syafi’i rahimahullah ta’ala, salah satunya: tidak wajib akan tetapi sangat dimustahabkan, yang kedua adalah wajib dan ini yang lebih benar juga ini adalah yang dikuatkan oleh Asy-Syafi’i rahimahullah ta’ala, maka seandainya seseorang meninggalkan salah satu dari anggota tersebut, maka shalatnya tidak sah.” ([12])
Ibnu Hazm berkata, “Meletakkan dahi disertai hidung, kedua tangan, kedua lutut dan kedua kaki wajib dilakukan ketika sujud. Jika salah satu ditinggalkan dengan sengaja, maka tidak sempurna shalat seseorang. Jika meninggalkannya karena lupa, maka hendaknya melanjutkan shalatnya dan menggantikannya dengan sujud sahwi. Jika tidak mampu melakukan hal itu, baik karena ketidaktahuan atau udzur, maka shalatnya tetap sah dan sempurna” ([13])
Kelima : Batasan Thuma’ninah Gerakan Sujud
Batasan thuma’ninah di dalam sujud adalah mendiamkan anggota tubuh sejenak saat meletakkan anggota tubuh yang tujuh pada tempat shalat. Para ulama menjelaskan ukuran waktu diam sejenaknya adalah ketika orang yang shalat mengucapkan: (سُبْحَانَ رَبِّيَ الأَعْلَى) sekali dalam posisi sujud, yaitu setelah dia mengayunkan tubuhnya dengan bertakbir untuk melakukan gerakan sujud. ([14]) Hal ini berdasarkan keumuman hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu tentang orang yang buruk dalam shalatnya.
Gerakan Sujud
Tidak perlu mengangkat tangan
Lalu turun sujud dan bertakbir tanpa mengangkat kedua tangan.
Kaidah : Tidak ada mengangkat tangan jika berkaitan dengan sujud, maka tidak ada mengangkat tangan sebelum sujud dan tidak mengangkat tangan setelah sujud
Ketika turun untuk sujud, diperbolehkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, dan juga sebaliknya.
Secara garis besar, seseorang ketika akan turun (dari berdirinya) untuk sujud, maka ia boleh mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, atau pun sebaliknya, yaitu mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya.
Hanya saja para ulama berselisih pendapat perihal yang lebih afdal di antara keduanya.
Ibnu Taimiyyah berkata :
أَمَّا الصَّلَاةُ بِكِلَيْهِمَا فَجَائِزَةٌ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ إنْ شَاءَ الْمُصَلِّي يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِنْ شَاءَ وَضَعَ يَدَيْهِ ثُمَّ رُكْبَتَيْهِ وَصَلَاتُهُ صَحِيحَةٌ فِي الْحَالَتَيْنِ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ، وَلَكِنْ تَنَازَعُوا فِي الْأَفْضَلِ
“Para ulama sepakat bahwa kedua sifat tersebut -mendahulukan tangan atupun lutut- diperbolehkan di dalam salat. Tidak mengapa jika seorang yang salat ingin mendahulukan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, demikian pula jika ia ingin mendahulukan kedua tangannya sebelum kedua lututnya, dan para ulama sepakat bahwa salatnya sah dengan sifat mana pun. Mereka hanya berselisih pendapat perihal yang lebih afdal di antara dua sifat tersebut” ([15])
Dan yang lebih afdal -wallahu a’lam bi–sh shawaab- adalah meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan, berdasarkan dua argumentasi:
Pertama : Sifat tersebut lebih sesuai dengan tabiat manusia, yang mana manusia jika ingin turun maka ia mendahulukan bagian tubuhnya yang lebih dekat dengan tanah.
Kedua : Ini adalah pendapat jumhur ulama.
Ini adalah pendapat para ulama Mazhab Syafii, Mazhab Hanafi, riwayat yang masyhur dalam Mazhab Hambali , pendapat yang dipilih oleh Ibnu-l Qayyim([16]), dan pendapat ini dikuatkan oleh beberapa ulama mutaakhirin; seperti Syaikh Ibn Baaz([17]), dan Syaikh Ibn Utsaimin.
Dan ini adalah amalan yang diriwayatkan dari para sahabat; seperti Umar bin Khaththaab([18]), Ibn Umar([19]), dan Ibn Mas’ud([20]). Dan dari kalangan tabiín; di antaranya Ibrohim An-Nakha’i([21]), Muslim bin Yasar, ([22]) Abu Qilaabah([23]), dan Muhammad bin Sirin, ([24]). Bahkan Ibrahim An-Nakha’i ketika ditanya tentang orang yang meletakkan tangan terlebih dahulu ia pun menjawab, “Tidaklah melakukan hal itu kecuali orang dungu dan gila.” ([25]),
Berkata Imam At-Tirmidzi setelah membawakan hadis yang mendasari pendapat yang mendahulukan lutut:
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ، وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Dan kandungan hadis inilah yang diamalkan/dikuatkan oleh mayoritas ulama, dimana mereka berpendapat hendaklah seseorang meletakkan kedua lututnya sebelum kedua tangannya, dan apabila hendak berdiri maka ia mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya”. ([26])
Al-Khaththaabi berkata :
فَذَهَبَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ إِلَى وَضْعِ الرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ، وَهَذَا أَرْفَقُ بِالْمُصَلِّي وَأَحْسَنُ فِي الشَّكْلِ وَفِي رَأْيِ الْعَيْنِ
“Dan mayoritas ulama berpendapat untuk mendahulukan lutut sebelum tangan, dan hal itu lebih mudah untuk dilakukan bagi orang yang salat, lebih indah modelnya dan lebih enak dipandang mata.” ([27])
Namun, tidak mengapa seseorang meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut, jika ia merasa lebih nyaman dengan cara tersebut, karena tidak adanya dalil yang tegas dalam permasalahan ini. Sebagaimana sebagian orang yang sudah tua atau bertubuh gemuk terkadang merasa lebih nyaman jika turun untuk sujud dengan mendahulukan kedua tangan sebelum kedua lutut. Wallahu a’lam bi-sh shawaab.([28])
Semua dalil yang dijadikan dasar oleh kedua pendapat (baik yang mendahulukan kedua lutut ataupun yang mendahulukan kedua tangan) semuanya lemah.
Adapun pendapat pertama (mendahulukan kedua lutut) maka berdalil dengan hadis Waa’il bin Hujr radhiallahu ánhu, beliau berkata :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ إِذَا سَجَدَ وَضَعَ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ وَإِذَا نَهَضَ رَفَعَ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Aku melihat Rasululullah apabila (hendak) sujud, Beliau meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu sebelum kedua tangannya. Dan apabila (hendak) bangkit, Beliau mengangkat kedua tangannya sebelum kedua lututnya.” ([29])
Namun hadis ini adalah hadis yang daif, karena semua jalur periwayatannya berporos pada riwayat Yazid bin Harun dari Syarik bin Abdillah An-Nakhaa’i Al-Qaadhi dari Ashim bin Kulaib. Dan hanya Syariik yang meriwayatkan hadis ini dari Ashim. Demikian juga hanya Yazid bin Harun yang meriwayatkannya dari Syarik. Sementara Syarik adalah perawi yang lemah jika meriwayatkan secara tunggal([30]). Meskipun ada 2 riwayat lain dari Waa’il bin Hujr, akan tetapi keduanya sanadnya lemah sehingga tidak memenuhi syarat untuk menjadi syaahid (penguat)([31]). Demikian juga ada beberapa hadis yang mungkin menjadi syawahid (penguat) bagi hadis di atas, akan tetapi semuanya daif.([32])
Adapun pendapat kedua (mendahulukan kedua tangan) berdalil dengan hadis Abu Hurairah -radhiallahu ánhu-.
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Apabila salah seorang di antara kalian hendak sujud, maka janganlah ia turun sebagaimana turunnya unta, akan tetapi letakkanlah kedua tangannya terlebih dahulu sebelum kedua lututnya” ([33]).
Jika hadis ini sahih, tentu ia merupakan dalil yang tegas bahwa tidak boleh mendahulukan kedua lutut([34]). Akan tetapi hadis ini pada sanadnya ada Abdul Áziiz Ad-Daraawardi dan Muhammad bin Abdullah bin Hasan, dan keduanya bersendirian dalam meriwayatkan hadis ini([35]). Oleh karena itulah Imam Bukhari mendaifkan hadis ini.
Meskipun ada 2 riwayat lain yang mirip dengan hadis ini namun keduanya tidak bisa menguatkan hadis ini([36]).
Walaupun hadis Waa’il bin Hujr (tentang mendahulukan kedua lutut) dan hadis Abu Hurairah (tentang mendahulukan kedua tangan) sama-sama daif, hadis Waa’il bin Hujr tampak lebih kuat ([37]). Al-Khaththaabi -setelah menyebutkan hadis Waa’il dan hadis Abu Hurairah- mengatakan:
حَدِيْثُ وَائِلِ بْنِ حُجرٍ أَثْبَتُ مِنْ حَدِيْثِ أَبِيْ هُرَيْرَةَ
“Hadis Waa’il bin Hujr lebih kuat dari pada hadis Abu Hurairah” (Maáalim As-Sunan 1/208)
Sujud diatas tujuh anggota tubuh
Sujud yang dilakukan adalah bersujud pada tujuh anggota tubuh.
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2 & 3) telapak tangan kanan dan kiri, (4 & 5) lutut kanan dan kiri, dan (6 & 7) ujung kaki kanan dan kiri.” ([38])
Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa dahi dan hidung itu seperti satu anggota tubuh. Untuk lima anggota tubuh lainnya wajib bersujud dengan anggota tubuh tersebut.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Jika dari anggota tubuh tersebut tidak menyentuh lantai, salatnya berarti tidak sah. Namun jika kita katakan wajib bukan berarti telapak kaki dan lutut harus dalam keadaan terbuka. Adapun untuk telapak tangan wajib terbuka menurut salah satu pendapat ulama Syafiiah sebagaimana dahi demikian. Namun yang lebih tepat, tidaklah wajib terbuka untuk dahi dan kedua telapak tangan.” ([39])
Posisi kedua tangan ketika sujud
Pertama : Kedua tangan sejajar dengan telinga atau sejajar pundak
Wail bin Hujr radhiallahu ánhu berkata :
ثُمَّ سَجَدَ، فَجَعَلَ كَفَّيْهِ بِحِذَاءِ أُذُنَيْهِ
“Lalu Nabi sujud, maka Nabi menjadikan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua telinganya” ([40])
Abu Humaid radhiallahu ánhu berkata :
ثُمَّ سَجَدَ فَأَمْكَنَ أَنْفَهُ وَجَبْهَتَهُ وَنَحَّى يَدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ
“Lalu Nabi sujud dan memantapkan posisi hidung dan dahinya (menyentuh tanah tatkala sujud), dan beliau menjauhkan kedua tangannya dari kedua lambungnya, dan beliau meletakan kedua telapak tangannya sejajar dengan kedua bahunya” (HR Abu Daud no 734 dan At-Tirmidzi no 270, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Kedua : Tangan direnggangkan (yaitu ketiak dibuka)
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Malik bin Buhainah:
«أَنَّ النَّبِيّ َصَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا صَلَّى فَرَّجَ بَيْنَ يَدَيْهِ، حَتَّى يَبْدُوَ بَيَاضُ إِبْطَيْهِ»
“Dan sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam jika shalat beliau merenggangkan antara kedua tangannya hingga terlihat putih dua ketiak beliau.” ([41])
Ketiga : Kedua siku diangkat
Dan yang diriwayatkan oleh al-Bara’:
«إِذَا سَجَدْتَ، فَضَعْ كَفَّيْكَ وَارْفَعْ مِرْفَقَيْكَ»
“Jika engkau sujud maka letakkanlah kedua telapak tanganmu dan angkatlah kedua sikumu.” ([42])
Demikian juga dalam hadits Abu Humaid as-Saaídi beliau berkata :
سَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَوَضَعَ يَدَيْهِ غَيْرَ مُفْتَرِشٍ وَلاَ قَابِضِهِمَا
“Nabi shallallahu álaihi wasallam sujud dan beliau meletakan kedua tangannya tanpa menghamparkan keduanya (yaitu beliau tidak menempelkan kedua lengannya ke tanah akan tetapi mengangkatnya) dan tidak juga mengumpulkannya (yaitu beliau menjauhkan kedua sikunya dari kedua lambungnya dan tidak menempelkan kedua lengan atasnya dan kedua lengan bahwanya dengan perutnya dan pahanya(([43])
Namun perlu diketahui bahwa hal ini hukumnya bukanlah wajib, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar:
وَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ مَعَ حَدِيثِ مَيْمُونَةَ عِنْدَ مُسْلِمٍ…مَعَ حَدِيث بن بُحَيْنَةَ الْمُعَلَّقِ هُنَا ظَاهِرُهَا وُجُوبُ التَّفْرِيجِ الْمَذْكُورِ لَكِنْ أَخْرَجَ أَبُو دَاوُدَ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لِلِاسْتِحْبَابِ وَهُوَ حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ شَكَا أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ مَشَقَّةَ السُّجُودِ عَلَيْهِمْ إِذَا انْفَرَجُوا فَقَالَ اسْتَعِينُوا بِالرُّكَبِ
“Dan hadits-hadits ini dengan hadits Maimunah pada shohih Muslim… bersama dengan Hadits Buhainah yang mu’allaq di sini zhahirnya menunjukkan wajibnya merenggangkan apa yang telah disebutkan, akan tetapi Abu Dawud meriwayatkan apa yang menunjukkan bahwasanya hal tersebut hanya untuk mustahab, yaitu hadits Abu Hurairah: “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengadu kepada beliau tentang sulitnya sujud mereka jika harus menjauhkan (kedua tangan dari kedua rusuk dan menjauhkan perut dari kedua paha), maka beliau bersabda: Gunakanlah lutut-lutut kalian ([44]).” ([45])
Ini adalah pendapat madzhab syafi’iyyah. ([46])
Namun jika dalam kondisi sholat berjamaah maka hendaknya tidak merenggangkan kedua tangannya. Syaikh al-Utsaimin berkata :
ويستثنى من هذا- أي: من التفريج- ما إذا كان في جماعة، فإنه لو كان في جماعة وفرج لآذى من بجانبه وأشغله عن صلاته فلا يفرج، إذن تكون هذه المسألة في الإمام والمنفرد، أما من كان مع الجماعة فلا يفرج؛ لأن ترك السنة لدفع الأذى أولى من فعل السنة مع الأذى؛
“Dikecualikan dari ini -yaitu merenggangkan- jika berada dalam shalat berjama’ah, jika seorang dalam shalat berjama’ah kemudian merenggangkan kedua tangannya maka ini sungguh akan mengganggu orang yang berada di sampingnya dan ia akan tersibukkan dalam shalatnya, maka hendaknya ia tidak merenggangkan. Dengan demikian, pembahasan ini adalah untuk imam dan orang yang shalat sendiri, adapun orang yang shalat berjamaah maka hendaknya ia tidak merenggangkan, karena meninggalkan sunnah dalam rangka mencegah gangguan lebih utama daripada melakukan sunnah tetapi mengganggu.” ([47])
Keempat : Merapatkan jari jemari
Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Wail bin Hujr beliau berkata:
« إِذَا رَكَعَ فَرَّجَ أَصَابِعَهُ، وَإِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ »
“Jika Nabi ruku’ maka beliau merenggangkan jari-jari tangannya, dan jika sujud maka beliau merapatkan jari-jarinya.” ([48])
Menempelkan kedua kaki tatkala sujud.
Ketika sujud yang lebih utama adalah menempelkan kedua tumit([49]), berdasarkan hadis Aisyah -radhiallahu ‘anhaa-, beliau berkata :
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ مَعِي عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلًا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ،
“Aku kehilangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, padahal tadinya ia bersamaku di kasur. Aku pun mencarinya dan aku mendapati beliau sedang sujud dengan menempelkan kedua tumitnya satu dengan yang lainnya, dalam kondisi mengahdapkan ujung jari-jari kakinya kea rah kiblat” ([50]), (H.R. Ibnu Khuzaimah 654, Ibnu Hibban 1933, Hakim 832)([51]).
Didukung lagi dengan lafaz yang lain :
فَالْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ
“Lalu aku pun mencari beliau, hingga satu telapak tanganku menyentuh kedua telapak kaki beliau, ketika Beliau sedang di tempat salat, sementara kedua telapak kaki beliau dalam kondisi tegak” (H.R. Muslim 486, Abu Dawud 879, Ibnu Majah 384, Ahmad 25655, dan selain mereka).
Lafaz ini meskipun tidak secara tegas menunjukkan bahwa kedua tumit Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- dalam kondisi menempel ketika sujud, akan tetapi ia telah memberi isyarat yang sangat kuat akan hal tersebut. Karena Aisyah menyatakan bahwa satu telapak tangan beliau menyentuh kedua telapak kaki Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam-, dan itu tidak mungkin terjadi kecuali jika kedua kaki Nabi sedang menempel” ([52]).
Catatan:
Dua hadis di atas sebenarnya mengisahkan peristiwa yang sama, yaitu tentang Aisyah yang kehilangan Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- di malam hari lalu mencari Beliau. Dan dari semua jalur periwayatan dari Aisyah tidak ditemukan lafaz (menempelkan kedua tumitnya) kecuali melalui jalur ‘Urwah bin Zubair dari Aisyah, sebagaimana pula tidak ada penyebutan lafaz (kaki beliau tegak) kecuali pada riwayat dari jalur Abu Hurairah dari Aisyah.
Berikut jalur-jalur periwayatan hadis Aisyah :
- ‘Urwah dari Aisyah: (menempelkan kedua kakinya).
- Abu Hurairah dari Aisyah: (kedua kaki beliau tegak).
- Muhammad bin Ibrahim At-Taimi: (tanpa ada penyebutan kaki). Akan tetapi riwayat ini daif karena ia mursal. Muhammad bin Ibrahim tidak bertemu Aisyah.
- Ibn Abi Mulaikah dari Aisyah: (seperti no.3)
- Athaa’ dari Aisyah: (seperti no.3)
- Hilal bin Yasaf dari Aisyah: (seperti no.3)
- Amroh dari Aisyah: (seperti no.3)
- Shaalih bin Sa’iid dari Aisyah (seperti no 3)
- Masruuq bin Al-Ajda’ dari Aisyah (seperti no 3)
- ‘Urwah dari Aisyah
Jika kita perhatikan pohon sanad di atas maka nampak bahwa riwayat-riwayat tersebut bisa diklasifikasikan menjadi 3 model (lihat takhriij riwayat-riwayat di atas dalam al-Musnad al-Jaami’ 19/517-521)
Pertama : Riwayat yang datang secara mutlak dan tidak menyebutkan tentang sifat kaki Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika sujud, yaitu (1) riwayat Hilal bin Yasaf dari Aisyah (dengan lafaz فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ “maka tanganku menyentuhnya ketika Beliau sedang sujud”), (2) riwayat Muhammad bin Ibrahim at-Taimiy dari Aisyah (dengan lafaz فَوَقَعَتْ يَدِى عَلَى قَدَمَيْهِ “Maka tanganku menyentuh kedua kakinya”) (3) riwayat ‘Amroh dari Aisyah (dengan lafaz فَوَضَعْتُ يَدِي عَلَى صَدْرِ قَدَمَيْهِ “maka akupun meletakan tanganku di bagian depan kakinya”), (4) riwayat Ibnu Abi Mulaikah dari Aisyah (dengan lafaz فَتَحَسَّسْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ، فَاذَا هُوَ رَاكِعٌ اوْ سَاجِدٌ “Maka akupun mencari lalu aku kembali, ternyata beliau sedang rukuk atau sujud”), dan (5) riwayat Athoo dari Aisyah (dengan lafaz فَانْتَهَيْتُ إِلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ “maka aku dapati beliau dalam kondisi sujud”), (6) riwayat shalih bin Sáiid dari Aisyah (dengan lafaz فَلَمَسَتْهُ بِيَدِهَا فَوَقَعَتْ عَلَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ “Maka ia (Aisyah) pun mencari Beliau dengan tangannya, hingga tangan tersebut menyentuh Beliau”), (7) riwayat Masruuq bin al-Ajda’ dari Aisyah (dengan lafaz فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى أَخْمَصِ قَدَمَيْهِ “Maka tanganku menyentuh kedua telapak kakinya”), (8) riwayat ‘Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah (dengan lafaz فَوَقَعَتْ عَلَى أَخْمُصِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ سَاجِدٌ “maka tanganku menyentuh kedua telapak kakinya dan beliau dalam kondisi sujud”)([53])
Kedua : Riwayat yang datang yang menjelaskan tentang kedua kaki Nabi yang tegak ketika sujud, dan ini hanya datang dari periwayatan Abu Hurairah dari Aisyah (dengan lafaz فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْن قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ، وَهُمَا مَنْصُوَبتَانِ “Maka tanganku menyentuh kedua telapak kakinya sementara beliau sedang sujud dan kedua kakinya tegak”)
Ketiga : Riwayat yang datang menjelaskan tentang kedua tumit Nabi menempel ketika sujud, dan ini hanya datang dari periwayatan ‘Urwah bin Az-Zubair dari Aisyah (dengan lafaz فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًا عَقبَيْهِ “maka aku dapati beliau sujud dengan menempelkan kedua tumitnya”).
Dari sini terjelaskan bahwa hadis model kedua adalah hadis tersendiri, demikian juga hadis model ketiga juga adalha hadis tersendiri, maka tidaklah disebut sebagai tambahan lafaz (ziyaadat ats-tsiqoh), apalagi sebagai bentuk penyelisihan terhadap perawi yang lain (syaadz).
Dengan demikian maka pernyataan sebagian ulama kontemporer (seperti Syaikh Muqbil dan Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Laa Jadiida fi Ahkaam As-Shalaah hal 74) bahwa: “hadis menempelkan kedua tumit ketika sujud adalah hadis yang syaadzdz.” tidaklah tepat. Hal ini karena :
- Tidak ada ziyaadatu-ts tsiqah (tambahan lafaz oleh seorang perawi tsiqah) yang menyelisihi riwayat para perawi tsiqah Karena dengan mencermati pohon sanad di atas, dapat disimpulkan bahwa masing-masing lafaz telah diriwayatkan melalui jalur masing-masing yang saling berbeda, sehingga tidak bisa dikatakan bahwa ada satu lafaz yang menyelisihi lafaz lainnya.
Adapun pernyataan Al-Hakim setelah meriwayatkan hadis ini ;
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا ذَكَرَ ضَمَّ الْعَقِبَيْنِ فِي السُّجُودِ غَيْرَ مَا فِي هَذَا الْحَدِيثِ
“Aku tidak mengetahui seorangpun menyebutkan tentang menggabungkan kedua tumit ketika sujud kecuali apa yang kutemukan dalam hadis ini.”
Tidaklah berarti beliau menghukumi hadis ini sebagai hadis syaadzdz. Akan tetapi yang beliau maksud adalah tidak ada satu hadis pun seputar penyebutan sifat salat Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- yang menyebutkan tentang “menempelkan kedua tumit ketika sujud” kecuali jalur/hadis ini.
- Jika hadis Urwah bin Az-Zubair dianggap syaadzdz, maka seharusnya hadis Abu Hurairah juga dianggap syaadzdz, karena hanya riwayat Abu Hurairah saja yang menyebutkan tentang ditegakannya kedua kaki Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- ketika sujud.
- Penulis tidak menemukan seorang pun dari ulama terdahulu yang melemahkan hadis ini, apalagi yang menghukuminya sebagai hadis syaadzdz. Justru seluruh ulama terdahulu yang berbicara tentang hadis ini telah mensahihkannya. (Sebagaimana telah lalu penyebutan nama-nama para ulama tersebut)
- Penulis belum menemukan seorang pun dari kalangan ulama mutakadimin yang mendaifkan hadis ini. Bahkan sebaliknya, banyak di antara mereka yang mensahihkan hadis ini (sebagaimana telah berlalu penyebutannya).
- Yang lebih tepat adalah menghukumi hadis/lafaz ini sebagai bentuk tafarrud (periwayatan secara tunggal) oleh Sa’id bin Abi Maryam atau Yahya bin Ayyub. Dan ia memiliki imbas yang berbeda dengan menghukuminya sebagai ziyaadatu-ts tsiqah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
واحتج من قبل الزيادة من الثقة مطلقا بأن الراوي إذا كان ثقة وانفرد بالحديث من أصله كان مقبولا، فكذلك انفراده بالزيادة وهو احتجاج مردود، لأنه … إن الفرق بين تفرد الراوي بالحديث من أصله وبين تفرده بالزيادة ظاهر، لأن تفرده بالحديث لا يلزم منه تطرق السهو والغفلة على غيره من الثقات إذ مخالفة في روايته لهم – بخلاف تفرده بالزيادة إذا لم يروها من هو أتقن منه حفظا وأكثر عددا فالظن غالب بترجيح روايتهم على روايته ومبنى هذا الأمر على غلبة الظن
“Dan kelompok yang mengakui ziyaadatu-ts tsiqah (tambahan lafaz dari perawi yang tsiqah/terpercaya) sebagai hujah yang mutlak (tak bersyarat) berargumen dengan kaidah yang menyatakan bahwa: [Seorang perawi tsiqah (terpercaya periwayatannya) jika ia ber-tafarrud (meriwayatkan suatu hadis secara tunggal) dari asalnya (asal sanadnya) maka riwayatnya diterima], sehingga tafarrud-nya dengan suatu ziyaadah (lafaz tambaahan) juga demikian (diterima).
Argumentasi ini tidak dapat diterima, karena … Sungguh sangat jelas perbedaan antara tafarrud seorang perawi dari asal sanad suatu hadis dengan tafarrud-nya dalam meriwayatkan sebuah lafaz tambahan. Karena tafarrud si perawi dalam meriwayatkan suatu hadis (dari awal sanadnya) tidaklah mengharuskan adanya kelupaan dan kealpaan yang muncul para perawi tsiqah lainnya (karena mereka tidak meriwayatkan apa yang ia riwayatkan). Namun, jika si perawi ber-tafarrud meriwayatkan sebuah ziyaadah yang tidak diriwayatkan oleh perawi lain yang lebih baik hafalannya darinya, atau oleh sekelompok perawi yang berjumlah lebih banyak darinya, maka tentulah hati ini lebih cenderung kepada riwayat mereka yang lebih baik hafalannya dan lebih banyak jumlahnya (daripada riwayat si perawi yang ber-tafarrud). Dan (ketahuilah) bahwa landasan hukum pada pembahasan semacam ini adalah kecenderungan hati (kuatnya persangkaan)”. (An-Nukat alaa Kitab Ibn Ash-Shalaah 2/690-691)
Jika seseorang sujud sambil merenggangkan (menjarakkan) kedua tumit kakinya maka tidak mengapa. Dan ini merupakan pendapat sebagian ulama lain([54]).
Bacaan Ketika Sujud
Dzikir sujud
Pertama
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi”. ([55])
Kedua
سُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى وَبِحَمْدِهِ
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi dan pujian untuk-Nya)”. Ini dibaca tiga kali. ([56])
Ketiga
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ
“Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-.” ([57])
Keempat
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau ya Allah, Tuhan kami, Segala puji bagi Engkau. Ya Allah, ampunilah aku”. ([58])
Kelima
اللهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ، وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Ya Allah, kepada-Mu aku bersujud, kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Telah sujud wajahku kepada Dia yang telah menciptakannya, membentuknya, memisahkan pendengaran dan penglihatannya, Maha Suci Allah Pencipta yang paling baik. ([59])
Keenam
اَللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، وَأَنْتَ رَبِّي، سَجَدَ وَجْهِيْ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ، فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ
“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku bersujud, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku berserah diri. (Engkau Rabb-ku). Bersujud wajahku kepada Dzat yang menciptakan dan membentuknya, lalu Dia baguskan rupanya, yang membelah pendengaran dan penglihatannya. Mahasuci Allah sebaik-baik Pencipta. ([60])
Ketujuh
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Maha Suci Engkau, segala puji bagi Engkau. Tidak ada Tuhan selain Engkau”. ([61])
Kedelapan
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Mahasuci Engkau ya Allah, dan dengan pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau”. ([62])
Kesembilan
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ
“Maha Suci Dia yang memiliki kekuasaan, kerajaan, kebesaran dan keagungan”. ([63])
Doa-doa yang dianjurkan dalam sujud
Anjuran Berdoa Dalam Sujud
Dianjurkan untuk berdoa di dalam sujud. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ، فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ
Keadaan hamba yang paling dekat dengan Rabb-Nya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah doa (dalam sujud). ([64])
Doa Yang Dianjurkan Dalam Sujud
Pertama :
اللهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي كُلَّهُ دِقَّهُ، وَجِلَّهُ، وَأَوَّلَهُ وَآخِرَهُ وَعَلَانِيَتَهُ وَسِرَّهُ
‘Allahumma ighfirlii dzanbii kullahu, diqqahu, wa jillahu, wa awwalahu wa aakhirahu, wa ‘alaaniyyatahu wa sirrahu’.
“Ya Allah, ampunilah untukku dosaku semuanya, baik yang kecil maupun yang besar, yang awal maupun yang akhir, yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi”.([65])
Kedua :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
‘Allahumma ighfirlii maa asrartu wa maa a’lantu’
“Ya Allah, ampunilah dosaku yang tersembunyi dan terang-terangan”. ([66])
Ketiga
ربِّ اغْفِرْ لِي مَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ
“Wahai Rabb-ku, ampunilah aku, apa yang aku rahasiakan dan apa yang aku nyatakan”. ([67])
Keempat :
اللهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي سَمْعِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَعَنْ يَمِينِي نُورًا، وَعَنْ شِمَالِي نُورًا، وَأَمَامِي نُورًا، وَخَلْفِي نُورًا، وَفَوْقِي نُورًا، وَتَحْتِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا
‘Allahumma ij’al fii qalbii nuuraa, wa fii sam’i nuura, wa fii basharii nuuraa, wa ‘an yamiinii nuuraa, wa ‘an syimaalii nuuraa, wa amaamii nuuraa, wa khalfii nuuraa, wa fauqii nuuraa, wa tahtii nuuraa, waj’al lii nuuraa’
“Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di dalam pendengaranku, cahaya di dalam mataku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di depanku, cahaya di belakangku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, dan jadikanlah cahaya untukku”. ([68])
Keempat :
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ، أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ
‘Allahumma innii a’udzu bi ridhaaka min sakhatika, wa bi mu’aafaatika min ‘uquubatika, wa a’udzubika minka, laa uhshi tsanaa’an ‘alaika kamaa atsnaita ‘ala nafsika’
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari hukuman-Mu, dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diri-Mu sendiri”. ([69])
FOOTNOTE:
“Ya Allah, Aku berlindung diri kepada ridhaMu dari murkaMu, dengan keselamatanMu dari siksaMu. Dan aku berlindung diri kepadaMu dariMu, Aku tidak mampu menghitung semua pujian untukMu, sebagaimana Engkau memuji DzatMu”. ([70])
([1]) Lihat: Lisanil Arab Li Ibni Mandzur 3/204, Raddul Muhtar ‘ala Ar-Raddul Mukhtar Li Ibni ‘Abidin 1/300, 312 dan Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/420.
([2]) An-Nawawi menyebutkan: Sujud merupakan fardhu (wajib) sesuai dalil yang terdapat Al-Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan ulama. (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/421). Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Abdil Barr, Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah. (lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/369, At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr 10/212, Maratibul Ijma’ Li Ibni Hazm hal.26 dan Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 22/566)
([4]) HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397.
([5]) Ibnu Hazm mengatakan: Ulama bersepakat bahwa sujud fardhu (wajib) dilakukan dua kali disetiap rakaat. (lihat: Maratibul Ijma’ Li Ibni Hazm hal.26, Nihayatul Muhtaj Li Ar-Ramliy 1/509 dan Tuhfatul Muhtaj Li Ibni Hajar Al-Haitamiy 2/69)
([6]) HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397.
([7]) Sebagaimana yang telah dinukil dari Ibnu Qudamah bahwa sujud wajib dilakukan pada semua anggota tubuh kecuali hidung, ada perselisihan pendapat dalam hal ini (Akan datang penjelasannya)
([8]) H.R. Bukhari no.812, Muslim no.490.
([9]) Lihat: Ihkamul Ahkam Li Ibni Daqiq Al-‘Id hal.152.
Terdapat tiga pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama: wajibnya untuk sujud dengan kening dan hidung. Dan ini adalah salah satu pendapat madzhab Malikiyyah, berkata Ad-Dusuqi:
(وَأَعَادَ) الصَّلَاةَ (لِتَرْكِ) السُّجُودِ عَلَى (أَنْفِهِ بِوَقْتٍ)
“dan mengulangi shalat karena meninggalkan sujud dengan hidung saat itu juga.” (Haasyiyatud dusuqy ‘alaa Asy-syarhil kabiir 1/240)
Dan ini juga pendapat madzhab hanabilah (Lihat: Al-Mughni Libni 1/370)
Dalil mereka adalah riwayat Ibnu ‘Abbas di atas, juga terdapat riwayat lain dari Ikrimah dari Ibnu Abbas:
“لا صَلاةَ لِمَن لا يَمَسُّ أنفُه الأرضَ ما يَمَسُّ الجَبينُ”
“tidak ada shalat bagi orang yang hidungnya tidak menyentuh tanah sebagaimana keningnya menyebtuh.” (HR. Al-Baihaqy no 2692, dikatakan oleh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki: ini juga diriwayatkan oleh Hakim dari jalur Abu Qutaibah dan ia berkata shohih dengan syarat Bukhori).
Mulla Al-Qari membantah pendapat yang menyebutkan bahwa sujud dengan hidung hanya mustahab:
وَفِيهِ نَظَرٌ؛ لِأَنَّ هَذِهِ زِيَادَةٌ يَجِبُ الْأَخْذُ بِهَا، نَعَمْ خَبَرُ ” «لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَا يُصِيبُ أَنْفَهُ مِنَ الْأَرْضِ بِشَيْءٍ» ” مُرْسَلٌ، وَرَفْعُهُ لَا يَثْبُتُ اهـ. وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَنَا، وَهُوَ فِي حُكْمِ الْمَرْفُوعِ؛ لِأَنَّهُ لَا يُقَالُ مِثْلُ هَذَا بِالرَّأْيِ
“maka di daalamnya perlu ditinjau, karena tambahan ini (sujud dengan hidung) wajib untuk diamalkan, betul bahwa Khobar “tidak ada shalat bagi yang hidungnya tidak menyentuh tanah sedikitpun” adalah mursal dan marfu’nya tidak shohih, namun mursal adalah hujjah menurut kami, dan dia seperti hukum marfu’, karena tidak mungkin hal seperti ini dikatakan berdasarkan ra’yu (pendapat).” (mirqootul mafaatiih 2/718)
Pendapat kedua: Boleh sujud dengan salah satu dari keduanya, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, sebagaimana dibawakan oleh An-Nawawi.
وقال أبو حنيفة رضي الله عنه وبن الْقَاسِمِ مِنْ أَصْحَابِ مَالِكٍ لَهُ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَيِّهِمَا شَاءَ
“Dan berkata Abu Hanifah semoga Allah meridhoinya dan Ibnul Qasim dan ulama Malikiyyah: boleh baginya untuk mencukupkan dengan salah satu dari keduanya (kening atau hidung).” (Syarhun Nawawi Alaa Muslim 4/208)
Pendapat ketiga: Wajib sujud dengan kening, adapun dengan hidung maka mustahab, namun lebih utama untuk bersujud dengan keduanya. Dan ini adalah pendapat Imam Malik berdasarkan pendapat yang rajih dalam madzhab, berkata ad-Dusuqi:
فَهُوَ مُسْتَحَبٌّ عَلَى الرَّاجِحِ وَلَا إعَادَةَ لِمُسْتَحَبٍّ
“Maka dia (sujud dengan hidung) hukumnya mustahab menurut pendapat yang rajih, dan tidak harus diulangi untuk perbuatan yang mustahab.” (Haasyiyatud dusuqy ‘alaa Asy-syarhil kabiir 1/240)
Dan juga pendapat madzhab Asy-Syafi’I, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi:
هَذِهِ الْأَحَادِيثُ فِيهَا فَوَائِدُ مِنْهَا أَنَّ أَعْضَاءَ السُّجُودِ سَبْعَةٌ وَأَنَّهُ يَنْبَغِي لِلسَّاجِدِ أَنْ يَسْجُدَ عَلَيْهَا كُلِّهَا وَأَنْ يَسْجُدَ عَلَى الْجَبْهَةِ وَالْأَنْفِ جَمِيعًا فَأَمَّا الْجَبْهَةُ فَيَجِبُ وَضْعُهَا مَكْشُوفَةً عَلَى الْأَرْضِ وَيَكْفِي بَعْضُهَا وَالْأَنْفُ مُسْتَحَبٌّ فَلَوْ تَرَكَهُ جَازَ وَلَوِ اقْتَصَرَ عَلَيْهِ وَتَرَكَ الْجَبْهَةَ لَمْ يَجُزْ هَذَا مَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ وَمَالِكٍ رَحِمَهُمَا اللَّهُ تَعَالَى وَالْأَكْثَرِينَ
“Hadits-hadits ini terdapat di dalamnya faidah-faidah, di antaranya: bahwa anggota-anggota sujud ada tujuh, dan selayaknya bagi orang yang sujud untuk sujud di semua anggota sujud yang tujuh, dan hendaknya bagi orang yang sujud untuk sujud di atas kening dan hidung, adapun kening maka wajib untuk meletakkannya dalam keadaan terbuka di atas bumi dan cukup baginya untuk meletakkan sebagiannya, adapun hidung maka (hukum meletakkannya) mustahab, maka seandainya ia meninggalkannya itu boleh, dan seandainya ia mencukupkan dengan meletakkan hidung saja tanpa kening maka tidak boleh. Ini adalah mazhab Imam Syafi’i, Imam Malik rahimahumallah dan banyak ulama”. (Syarhun Nawawi Alaa Muslim 4/208)
Mereka juga membantah pendapat pertama, seandainya hidung juga diwajibkan karena masuk dalam perintah, maka yang diperintahkan akan berjumlah delapan, Ibnu Rajab membantah pendapat ini:
قالوا: لأنه عد الأعضاء المأمور بالسجود عليها سبعاً، ولو كان الأنف معها لكانت ثمانياً. وهذا مردود، فان الأنف من الجبهة، كما قال طاوس: هو خيرها.
“Mereka berkata: karena beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menghitung anggota yang diperintahkan untuk sujud dengannya ada tujuh, dan jikalau hidung dimasukkan bersamanya maka akan berjumlah delapan. Ini tertolak, karena hidung bagian dari kening sebagaimana yang dikatakan Thowus: Dia (hidung) bagian yang terbaik (dari kening).” (fathul baary 7/258)
([12]) Syarhun Nawawi Alaa Muslim 4/208
Ibnu Qudamah menyebutkan bahwa dalam masalah ini terdapat perselisihan ulama:
Pendapat pertama: Wajib sujud di atas tujuh anggota sujud kecuali hidung, karena di dalamnya terdapat perselisihan. Dan ini adalah pendapat Thowus, Imam Syafi’i dalam satu qaul, dan Ishaq.
Pendapat kedua: Sujud hanya wajib dengan kening, adapun dengan selainnya maka tidak wajib. Dan ini adalah pendapat imam Malik, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i dalam qaul yang lain.
Yang menjadi alasan mereka adalah:
- Berdasarkan dzikir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam “Sajada wajhiya” (wajahku bersujud), dan ini menunjukkan bahwasanya sujud hanya dengan wajah.
- Bahwasanya orang yang sujud dengan wajah maka ia dinamakan orang yang sujud, dan meletakkan selain wajah di tanah maka tidak dinamakan orang yang sujud, maka perintah untuk sujud hanya menuju kepada sesuatu yang dengannya seseorang dinamakan bersujud, bukan kepada yang lainnya.
- Dan seandainya sujud diwajibkan kepada anggota-anggota tersebut maka wajib untuk disingkap sebagaimana tersingkapnya kening ketika sujud.
Namun semua dalil di atas dibantah oleh Ibnu Qudamah:
Adapun pengkhususan sujud hanya dengan wajah maka ini dibantah dengan riwayat dari Ibnu Abbas:
«أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعٍ، وَلَا أَكْفِتَ الشَّعْرَ، وَلَا الثِّيَابَ، الْجَبْهَةِ، وَالْأَنْفِ، وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ، وَالْقَدَمَيْنِ»
“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan: kening (lalu beliau menunjuk juga pada hidungnya), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.” (HR. Muslim no. 491)
Dan juga riwayat dari Ibnu ‘Umar:
“إن اليدين يَسْجدان كما يسجدُ الوجه، فإذا وضع أحدكم وجهه فليضع يديه، وإذا رفعه فليرفعْهما.
“Sesungguhnya kedua tangan sujud sebagaimana wajah sujud, maka jika salah satu di antara kalian meletakkan wajahnya maka letakkan juga kedua tangannya, dan jika mengangkat wajahnya maka angkat juga kedua tangannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad No. 4501 dan dishohihkan oleh Ahmad Muhammad Syakir)
Dan sujud dengan wajah tidak menafikan sujud dengan selainnya.
Adapun mengqiyaskan anggota sujud dengan kening di mana kening ketika sujud harus terbuka kemudian mewajibkan anggota tubuh yang lainnya harus terbuka juga ketika mewajibkannya maka ini tidak benar, karena kening memang biasanya dalam keadaan terbuka, berbeda dengan anggota tubuh lainnya.” (Lihat: al-Mughni Ibnu Qudamah 1/370-371)
([13]) Al-Muhalla Li Ibni Hazm 2/286
([14]) Lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/410, Badai’ As-Shanai’ Li ‘Alauddin Al-Kasani 1/162, Hasyiyah Ibnu Abidin 1/312, Mughnil Muhtaj Li As-Syirbiniy 1/169, Hasyiyah Al-‘Adawi dan Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/500.
([15]) Majmu’ al-Fatawa, Ibn Taimiyyah, 22/449
([16]) Zaaadul Ma’ad karya Ibn-l Qayyim 1/223
([17]) Majmu’ Fatawa Ibn Baz 25/148
([18]) Syarhu Ma’anil Atsar, At-Thohawi, no.1528
([19])Mushannaf, Ibn Abi Syaibah no.2720
([20]) Syarhu Ma’anil Atsar, At-Thohawi, no.1529
([21]) Syarhu Ma’anil Atsar, At-Thohawi, no.1530
([22]) Mushannaf, Ibn Abi Syaibah no.2721
([23]) Mushannaf, Ibn Abi Syaibah no.2723
([24]) Mushannaf, Ibn Abi Syaibah no.2724
([25]) Lihat Syarhu Ma’anil Atsar, Ath-Thohawi, no.1530
([26]) Sunan At-Tirmidzi, no.268
([27]) Ma’alimus Sunan 1/208, dan ucapan beliau ini menandakan bahwa beliau menganggap tidak adanya hadis yang sahih dalam masalah ini, wallahu a’lam.
([28]) Pendapat kedua (yaitu mendahulukan kedua tangan daripada kedua lutut) adalah pendapat Imam Malik , Al-Auza’i, dan riwayat kedua dari ImamAhmad, dan Ibn Hazm.
Berkata Ibn Abi Daud, “Dan ini adalah pendapat Ahli Hadis.” (Nailul Awthor, Asy-Syaukani 2/282), dan dikuatkan oleh beberapa ulama mutaakhirin, seperti Syaikh Al-Albani.
Al-Auzaaí berkata :
أَدْرَكْتُ النَّاسَ يَضَعُوْنَ أَيْدِيَهُمْ قَبْلَ رُكَبِهِمْ
“Aku mendapati orang-orang meletakkan tangan mereka terlebih dahulu sebelum lutut mereka” (Masail Harb al-Kirmani, 1/225 no.423)
pendapat ketiga : Sebagian ulama berusaha mengambil sikap pertengahan yaitu bolehnya melakukan kedua cara tersebut, seorang boleh mendahulukan kedua lutut dan boleh juga mendahulukan kedua tangan.
Dan pendapat ini merupakan pendapat Qataadah, dan sebuah riwayat dari Imam Malik (lihat : Al-Majmu’, An-Nawawi 3/421)
Ibn Abi Syaibah meriwayatkan:
سُئِلَ قَتَادَةُ عَنِ الرَّجُلِ إذَا انْصَبَّ مِنَ الرُّكُوعِ يَبْدَأُ بِيَدَيْهِ؟ فَقَالَ: يَصْنعُ أَهْوَنَ ذَلِكَ عَلَيْهِ.
Qataadah di tanya tentang seseorang yang hendak sujud setelah rukuk, apakah ia mendahulukan tangannya? Ia menjawab: Hendaklah ia melakukan yang paling mudah baginya. (Mushannaf, Ibn Abi Syaibah, no 2725)
([29]) HR. An-Nasaa’i 680, At-Tirmidzi 268, Ibn Maajah 882 , Abu Daud 838, dan Ibn Hibban 1912, dan hadis ini dihasankan oleh Al-Baghawi.(Lihat : Syarh as-Sunnah no.642)
([30]) Hadis ini lemah karena beberapa hal :
Pertama : Di dalam sanad hadis ini ada perawi yang bernama Syariik (yaitu Syariik bin Abdullah An-Nakha’i, Al-Qodhi) dan beliau adalah perawi yang shaduuq (yaitu hadis yang diriwayatkannya dinilai hasan).
Inilah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal (Lihat Adh-Dhu’afaa, al-‘Uqoili 2/194), Al-‘Ijli (Lihat Ma’rifat ats-Tsiqoot, al-‘Ijli 1/119), Yahya bin Ma’in, (Lihat Al-Kaamil, Ibn ‘Adi 4/8), dan Adz-Dzahabi (Lihat Tadzkirotul Huffaazh 1/170)
Akan tetapi Syariik sering keliru. Ibn Hajar berkata : صَدُوْقٌ يُخْطِئُ كَثِيْرًا تَغَيَّرَ حِفْظُهُ مُنْذُ وَلِيَ الْقَضَاءَ بِالْكُوْفَةِ “Shaduuq, sering sekali keliru, dan telah berubah (buruk) hafalannya semenjak menjabat menjadi Hakim Besar di Kufah.” (Taqrib at-Tahdzib, Ibn Hajar no.2802 dan lihat Ats-Tsiqah, Ibn Hibban, 6/444). At-Tirmidzi juga berkata, كَثِيْرُ الْغَلَطِ وَالْوَهْمِ “Sering sekali salah dan keliru” (‘Ilal At-Tirmidzi no 62) .
Kedua : Tafarrud (Menyendiri) nya Syarik dalam meriwayatkan hadis ini dari ‘Ashim bin kulaib.
At-Tirmidzi -setelah meriwayatkan hadis ini- berkata:
هَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ غَرِيْبٌ لاَ نَعْرِفُ أَحَدًا رَوَاهُ مِثْلَ هَذَا عَنْ شَرِيْكٍ
“Ini adalah hadis hasan dan ghariib, kami tidak mengetahui ada seorang pun yang menukil riwayat seperti ini dari Syariik” (Sunan at-Tirmidzi, no.268).
Perkataan At-Tirmidzi “Ghariib” menunjukan tafarrud (bersendirian/meriwayatkan secara tunggal) nya perawi dalam meriwayatkan suatu hadis.
Dan tafarrud (menyendirinya) Syarik dalam meriwayatkan hadis ini tidak bisa ditolerir, karena syarik bukanlah perawi yang diterima riwayatnya jika ia meriwayatkan secara tunggal.
Berkata imam Ad-Daaraquthni -setelah meriwayatkan hadis ini- :
وَشَرِيكٌ لَيْسَ بِالْقَوِيِّ فِيمَا يَتَفَرَّدُ بِهِ
“Syarik tidak kuat hadisnya apabila ia ia meriwayatkan sesuatu secara tunggal.” (Sunan Ad-Daaruquthni 2/150 no 1307).
Murid-murid Ashim bin Kulaib yang tidak meriwayatkan hadis ini dari Áshim lebih tsiqah dan lebih kuat hafalannya daripada Syarik bin Abdullah. Seperti Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Zaa’idah bin Qudamah, dan selain mereka. Apakah mungkin riwayat semacam ini terluput dari mereka ? Terlebih lagi hadis ini berkaitan dengan sifat salat Nabi -shallallahu álaihi wa sallam- yang sangat diperhatikan oleh para perawi.
Ketiga : Yazid bin Harun meriwayatkan hadis ini dari Syarik setelah ia menjabat sebagai Hakim Besar di Kufah.
Al-Khathiib meriwayatkan dengan sanadnya dari Muhammad bin Yahya Al-Azdi dimana beliau berkata:
سَمِعْتُ يَزِيدَ بْنِ هَارُونَ يَقُولُ قَدِمْتُ الْكُوفَةَ فَمَا رَأَيْتُ بِهَا أَحَدًا إِلَّا وَهُوَ يُدَلِّسُ إِلَّا مِسْعَرَ بْنَ كِدَامٍ وَشَرِيكًا
“Aku mendengar Yazid bin Haarun berkata, “Ketika sampai di Kufah, aku tidak menemukan seorangpun yang tidak melakukan tadliis kecuali Mis’ar bin Kidaam dan Syariik” (Al-Kifayah fi Ílmi ar-Riwaayah, 3/385)
Dan jumhur ahli hadis berpendapat riwayatnya melemah semenjak ia menjabat sebagai Hakim Besar, karena hafalannya yang berubah. Terlebih lagi hanya Yazid bin Harun lah yang meriwayatkannya dari Syariik.
([31]) Ada 2 riwayat yang dijadikan oleh sebagian ulama sebagai syawaahid bagi hadis Syarik ini sehingga hadis ini bisa di hasankan. Namun kedua riwayat tersebut lemah.
Pertama : Hadis Waa’il bin Hujr dari jalur Abdul Jabbar:
فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاهُ
“Dan tatkala nabi sujud, maka lututnya menyentuh tanah terlebih dahulu sebelum tangannya”. (H.R. Abu Daud no 839 dan Al-Baihaqi no 2734). Dan hadis ini juga diriwayatkan melalui jalur Hammam dari Muhammad bin Juhadah dari Abdul Jabbar dari Waa’il bin Hujr.
Akan tetapi hadis ini daif disebabkan riwayatnya yang mursal. Hal ini karena Abdul Jabbar lahir enam bulan sepeninggal ayahnya (Waa’il bin Hujr), sehingga ia tidak bertemu dengannya. (Lihat Ats-Tsiqoot, Ibn hibban, no.9341)
Berkata Ibn hajar:
عَبْدُ الْجَبَّارِ بْنُ وَائِلِ بْنِ حُجُر… ثِقَةٌ لَكِنَّهُ أَرْسَلَ عَنْ أَبِيْهِ
“Abdul Jabbar bin Waa’il bin Hujr tsiqah, hanya saja ia meriwayatkan dari ayahnya secara mursal (Taqrib at-Tahdzib, Ibn Hajar, no.3768)
Dan pendapat yang mengatakan ia sempat mendengar langsung dari ayahnya adalah daif. Imam Bukhari mengatakan:
وَقَالَ فِطْرٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ عَبِدِ الْجَبَّارِ سَمِعْتُ أَبِي، وَلاَ يَصِحُّ
“Dan Fithr berkata dari Abu Ishaq dari Abdul Jabbar dia berkata, “Aku mendengar ayahku”, dan ini (pernyataan Abdull Jabbar bahwa beliau mendengar dari ayahnya -pen) tidaklah valid”. (At-Taarikh al-Kabiir, Bukhari, no.164)
Kedua : Hadis Kulaib:
فَلَمَّا سَجَدَ وَقَعَتَا رُكْبَتَاهُ إِلَى الأَرْضِ قَبْلَ أَنْ تَقَعَ كَفَّاه
“Dan tatkala Nabi sujud, lututnya turun ke tanah sebelum tangannya” (HR. Albaihaqi no 2736, dan Abu Daud hanya mengisyaratkan).
Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Hammam dari Syaqiq Abu-l Laits dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya -Kulaib-, dan ia tidak menyebut Waa’il bin Hujr.
Hadis ini daif dikarenakan dua hal:
Pertama : Hadis ini mursal, karena Kulaib tidak bertemu dengan Rasulullah –shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Berkata Ibn Hajar Al-Asqolaani:
كُلَيْبُ بْنُ شِهَابٍ وَالِدُ عَاصِمٍ صَدُوْقٌ…وَوَهِمَ مَنْ ذَكَرَهُ فِي الصَّحَابَةِ
“Kulaib bin Syihab, ayahnya ‘Ashim, seorang shaduuq…dan telah keliru orang yang menganganggap ia termasuk salah satu sahabat Nabi.”.(Taqribu at-Tahdzib no.5696, lihat juga Al-Jarh wa at-Ta’diil, Ibn Abi Hatim, 7/167 no.946)
Kedua : Syaqiq di sini adalah Abu Laits, dan ia adalah orang yang tidak dikenal sebagai perawi hadis. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Hajar Al-Asqalaani. (Lihat Taqrib at-Tahdzib, no.2835), ia tidak dikenal kecuali dengan riwayat Hammam darinya (lihat Tahdzib at-Tahdzib 4/319).
([32]) Ada 3 sahabat yang lain yang meriwayatkan hadis tentang mendahulukan kedua lutut :
Pertama : Hadis Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata :
رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنْحَطَّ بِالتَّكْبِيْرِ؛ فَسَبَقَتْ رُكْبَتَاهُ يَدَيْهِ
“Aku melihat Rasulullah turun seraya bertakbir, dan kedua lututnya mendahului kedua tangannya” (HR Ad-Daaraquthni no 1308 dan Ibn Abu Khaitsamah di dalam Taarikh-nya no.81)
Hadis ini diriwayatkan melalui jalur Al-‘Alaa bin Ismail Al-‘Atthoor dari Hafsh bin Ghiyats dari ‘Ashim Al-Ahwal dari Anas bin Malik.
Akan tetapi hadis ini munkar dikarenakan dua hal:
Pertama : الْعَلَاءُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ الْعَطَّارُ Al-‘Alaa bin Isma’il Al-Atthor adalah perawi yang majhuul.
Ibn Hajar berkata tentang Al-Álaa:
قَالَ اِبْنُ الْقَيِّمْ مَجْهُوْلٌ
“Ibnu-l Qoyyim berkata: Dia seorang yang majhuul.”. (Lisanul Mizan 5/462 no.5271)
Kedua : Al ‘Ala’ bin Isma’il menyelisihi riwayat perawi yang tsiqah, yaitu Umar bin Hafsh bin Ghiyats. Umar termasuk orang yang paling tsiqah diantara murid-murid ayahnya; Hafsh bin Ghiyats. Dan Umar meriwayatkan hadis ini dari Hafsh seacara mauquuf dari Umar bin Khaththaab.
Ibn Hajar berkata:
وَخَالَفَهُ عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ وَهُوَ مِنْ أَثْبَتِ النَّاسِ فِي أَبِيْهِ فَرَوَاهُ عَنْ أَبِيْهِ عَنِ الأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيْمَ عَنْ عَلْقَمَةَ وَغَيْرِهِ عَنْ عُمَرَ مُوْقُوْفًا عَلَيْهِ، وَهَذَا هُوَ الْمَحْفُوْظُ وَاللهُ أَعْلَمُ
“Dan Al-Álaa diselisihi oleh Umar bin Hafsh bin Ghiyats, sementara Umar termasuk yang paling terpercaya dalam meriwayatkan dari ayahnya, dan ia meriwayatkan dari ayahnya dari Al- A’masy dari Ibrohim dari Alqamah dan selainnya dari Umar bin Khaththaab secara mauquuf, dan inilah riwayat yang mahfuuzh/sahih” (Lisanul Mizan 5/462 no.5271).
Kesimpulannya, hadis ini tidaklah memuat perbuatan Rasulullah -shallallaahu alaihi wa sallam-, akan tetapi Anas hanyalah meriwayatkan perbuatan Umar bin Khaththaab. Adapun riwayat yang datang yang dari jalur Al-Álaa maka dihukumi sebagai riwayat munkar, karena ia merupakan riwayat seorang perawi yang dha’iif (yaitu majhuul), yang menyelisihi riwayat seorang perawi yang tsiqah.
Ibn Hajar berkata,
وَسُئِلَ أَبُو حَاتِمٍ عَنِ الْحَدِيْثِ الَّذِي رَوَاهُ فَقَالَ مُنْكَرٌ
“Dan Abu Hatim di tanya tentang hadis yang ia riwayatkan di atas maka ia menjawab: “Munkar” (Lisanul Mizan 5/462 no.5271).
Kedua : Hadis Abu Hurairah -radhiallahu ánhu-, beliau berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا سَجَدَ بَدَأَ بِرُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Sesungguhnya nabi apabila sujud, makai ia memulai dengan lututnya sebelum tangannya” (HR. At-Thohawi dalam Syarh Maáani al-Atsar no 1516)
Akan tetapi hadis ini juga daif, dikarenakan ada perawi yang bernama Abdullah bin Sa’iid Al-Maqburi, dan ia adalah perawi yang mattruuk. (Lihat Taqriib At-Tahdziib no.3356 dan al-Jarhu wa at-Ta’diil, Ibn Abi Hatim 5/71).
Ketiga : Hadis Sa’d bin Abi Waqqaash -radhiallahu ánhu-, beliau berkata :
كُنَّا نَضَعُ الْيَدَيْنِ قَبْلَ الرُّكْبَتَيْنِ؛ فَأُمِرْنَا بِالرُّكْبَتَيْنِ قَبْلَ الْيَدَيْنِ
“Kami dahulu meletakkan kedua tangan sebelum kedua lutut (ketika hendak sujud), lalu kami di perintahkan untuk meletakkan kedua lutut sebelum kedua tangan” (HR. Ibn Khuzaimah no 628 dan Al-Baihaqi no 2637 yang juga meriwayatkan dari jalur Ibn Khuzaimah)
Akan tetapi hadis ini sangat lemah (daif jiddan) karena melalui jalur Ibrahim bin Ismail bin Yahya bin Salamah bin Kuhail dari ayahnya (Ismail bin Yahya bin Salamah bin Kuhail) dari kakeknya (Yahya bin Salamah bin Kuhail), dan ketiganya adalah perawi yang lemah. Sang anak dha’iif (Lihat At-Taqriib, Ibn Hajar no 149), sang ayah dan sang kakek matruuk (Lihat At-Taqriib, Ibn Hajar no 493 dan no 7561)
([33]) HR. Abu Daud no 840, Al-Baihaqi no 2739. Ibn Hajar berkata :
وَهُوَ أَقْوَى مِنْ حَدِيثِ وَائِلٍ
“Dan hadis Abu Hurairah ini lebih kuat dari hadis Waa’il bin Hujr (yang menyebutkan mendahulukan kedua lutut-pen)”(Bulughul marom no.310)
Al-Mubaarokfuuri berkata :
فَالْحَاصِلُ: أَنَّ حَدِيثَ أَبِي هُرَيْرَةَ صَحِيحٌ أَوْ حَسَنٌ لِذَاتِهِ وَهُوَ أَقْوَى وَأَثْبَتُ وَأَرْجَحُ مِنْ حَدِيثِ وَائِلٍ هَذَا عِنْدِي
“Kesimpulannya: bahwa hadis Abu Hurairah ini sahih atau hasan li dzaatihi dan menurutku ia lebih kuat dari hadis Waa’il.” (Tuhfatul Ahwadzi, 2/124)
([34]) Sisi pendalilan dari hadis ini adalah :
Pertama : Hadis ini memuat perintah jelas Rasulullah –shallallaahu alaihi wa sallam- untuk mendahulukan tangan daripada lutut.
Kedua : Rasulullah melarang untuk turun seperti unta, dan unta turun dengan lututnya, dan lutut unta terletak di bagian depannya (tangannya).
al-Azhari berkata:
ورُكْبةُ البَعيرِ في يده … وأمَّا المَفْصِلان الناتِئَانِ من خلْف فهما العُرْقوبان
“Dan lutut unta ada pada tangannya… sedangkan sendi yang menonjol di bagian kaki belakang disebut ‘urquub” (Tahdzib al-Lughoh, al-Azhari 10/123)
Ibn Manzhur berkata:
ورُكْبَتا يَدَيِ الْبَعِيرِ: المَفْصِلانِ اللَّذانِ يَليانِ البَطْنَ إِذا بَرَكَ، وأَما المَفْصِلانِ الناتِئَانِ مِنْ خَلْفُ فَهُمَا العُرْقُوبانِ. وكُلُّ ذِي أَربعٍ، رُكْبَتاه فِي يَدَيْهِ، وعُرْقُوباهُ فِي رِجْلَيه
“Dan kedua lutut pada kedua tangan unta adalah dua sendi yang terletak di dekat perut apabila ia menderum, dan adapun sendi yang menonjol di belakang adalah ‘urquub, dan semua yang memiliki kaki empat, maka lututnya berada di tangannya dan ‘urqubnya berada di kakinya” (Lisaanul Árob 1/433)
At-Thohawi berkata :
أَنَّ الْبَعِيرَ رُكْبَتَاهُ فِي يَدَيْهِ، وَكَذَلِكَ كُلُّ ذِي أَرْبَعٍ مِنَ الْحَيَوَانِ وَبَنُو آدَمَ بِخِلَافِ ذَلِكَ
“Lutut unta terletak di tangannya dan semua hewan berkaki empat, sedangkan manusia berbeda”(Syarhu Musykil al-Atsar 1/168)
Suraqah bin Malik -ketika mengejar Nabi dan Abu Bakar- berkata :
سَاخَتْ يَدَا فَرَسِي فِي الأَرْضِ، حَتَّى بَلَغَتَا الرُّكْبَتَيْنِ
“Dan tertanamlah kedua tangan kudaku hingga ke lututnya” (HR. Bukhari 3906)
Meskipun ini masalah kuda, akan tetapi kata ba’ir juga digunakan untuk hewan berkaki empat selain unta, di antaranya adalah kuda. Dan ucapan Suraqah sesuai dengan penjelasan At-Thohawi dan Ibn Manzhuur, bahwa lutut binatang berkaki empat ada di tangannya (kedua kaki bagian depan).
Ketiga : Kata برك di gunakan untuk menyifati turun dengan lutut bukan dengan tangan. Hal ini dikuatkan oleh hadis Anas bin Malik, beliau berkata
فَلَمَّا أَكْثَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَنْ يَقُولَ سَلُونِي بَرَكَ عُمَر-وفي رواية ابن حبان: على ركبتيه- فَقَالَ: رَضِينَا بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
Dan tatkala Rasulullah terus mengulang-ulang ucapan “Tanyalah aku!”, Umar pun turun seraya berlutut (dalam riwayat Ibn Hibban : Umur berlutut di atas kedua lututnya) lalu ia berkata, “Kami rida Allah sebagai Tuhan kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai utusan (Allah)” (HR. Muslim no 6270 dan Ibn Hibban no 106).
Namun sebagian ulama kontemporer memandang bahwa yang dilarang adalah adalah sifat (cara) turunnya unta. Sehingga kalau seseorang turun hendak sujud jangan seperti unta yang depannya terlebih dahulu baru kemudian bokongnya. Maka jika seseorang turun dengan kedua tangannya terlebih dahulu maka persis seperti cara turunnya unta (Lihat penjelasan Syaikh Al-Útsaimin dalam As-Syarh al-Mumti’ 3/111)
Atau maksudnya: janganlah turun dengan keras/kasar (apakah dengan lutut maupun dengan tangan) sebagaimana unta ketika menderem kakinya menghantam tanah dengan keras/kasar sehingga menerbangkan debu. Akan tetapi hendaknya ia turun dengan tenang dan perlahan, bukan dengan menghentak. (Lihat penjelasan Syaikh Abdul Karim Al-Khudhoir di Syarah Manzhuumah Az-Zamzami)
([35]) Hadis ini daif di karenakan 2 hal:
Pertama : Tafarrud (Menyendirinya) Abdul ‘Aziz ad-Daraawardi dalam meriwayatkan hadis ini dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan.
Sementara ‘Abdul ‘Aziz ad-Daraawardi adalah seorang perawi yang shaduuq (Lihat Taqriib at-Tahdziib, Ibn Hajar no 4119). Bahkan sebagian ulama men-dha’ifkannya (seperti Abu Zuráh dan Imam Ahmad) karena hafalannya yang buruk. (al-Jarhu wa at-Ta’diil, ibn Abi Hatim, 5/395-396)
Dan perawi yang derajatnya seperti ini tafarrud-nya sulit untuk diterima.
Kedua : Menyendirinya Muhammad bin Abdullah bin Hasan dalam meriwayatkan hadis ini dari Abu Az-Zinad, sementara murid-murid Abu Az-Zinad lainnya yang jauh lebih tsiqah dan mutqin tidak meriwayatkan hadis ini dari beliau. Seperti Syu’bah bin Hajjaj, Sufyan Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyaynah, Malik, Al-Laits, dan selain mereka.
Karenanya Bukhari mempermasalahkan Muhammad bin abdullah bin Hasan, dan dengan sebab itu beliau mendaifkan hadis ini.
Imam Bukhari setelah menyebutkan hadis ini, beliau berkata tentang Muhammad bin Hasan :
وَلاَ يُتَابَعُ عَلَيْهِ وَلاَ أَدْرِي سَمِعَ مِنْ أَبِي الزِّنَادِ أَمْ لاَ
“Tidak ada perawi lain yang meriwayatkan hadis ini selain beliau, dan aku tidak mengetahui apakah dia benar-benar mendengarnya dari Abu-z Zinaad ataukah tidak” (At-Taariikh al-Kabiir 1/139)
Di antara metode Bukhari dalam karyanya at-Taarikh al-Kabiir, beliau selalu menyebutkan illah (cacat) hadis yang beliau daifkan. Dan ketika beliau menyebutkan hadis Abu Hurairah tersebut beliau menyebutkan 2 illah,
Pertama : Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang telah bersendirian (meriwayatkan secara tunggal),
Kedua : Muhammad bin Abdullah bin Hasan tidak mendengar dari Abu Az-Zinad.
Jika sebagian ulama tidak setuju dengan illah yang kedua (Muhammad bin Abdullah bin Hasan tidak mendengar dari Abu Az-Zinaad), beralasan dengan syarat ketat Bukhari yang menyelisihi jumhur ahli hadis dalam menyatakan samaa’ (status mendengar langsung) si perawi dari gurunya (Lihat An-Nukat, Ibn Hajar 2/595), maka tetap saja hadis ini tidak terlepas dari ‘illah yang pertama, yaitu tafarrud-nya Muhammad bin Abdullah dari Abu Az-Zinaad. Dan menurut metode ilmiah para ahli hadis mutakadimin, tafarrud-nya perawi semisal Muhammad bin Abdullah bin Hasan adalah salah satu faktor yang membuat sebuah hadis dihukumi sebagai hadis daif.
Ibn Rojab Al-Hambali berkata ;
وَأَمَّا أَكْثَرُ الْحُفَّاظِ الْمُتَقَدِّمِيْنَ فَإِنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ فِي الْحَدِيْثِ إِذَا انْفَرَدَ بِهِ وَاحِدٌ وَإِنَ (لَمْ) يَرْوِ الثِّقَاتُ خِلاَفَهُ أَنَّهُ لاَ يُتُابَعُ عَلَيْهِ، وَيَجْعَلُوْنَ ذَلِكَ عِلَّةً فِيْهِ، اللَّهُمَّ إِلاَّ أَنْ يَكُوْنَ مِمَّنْ كَثُرَ حِفْظُهُ وَاشْتَهَرَتْ عَدَالَتُهُ وَحَدِيْثُهُ كَالزُّهْرِي وَنَحْوِهِ، وَرُبَّمَا يَسْتَنْكِرُوْنَ بَعْضَ تَفَرُّدَاتِ الثِّقَاتِ الْكِبَارِ أَيْضاً، وَلَهُمْ فِي كُلِّ حَدِيْثٍ نَقْدٌ خَاصٌّ، وَلَيْسَ عِنْدَهُمْ لِذَلِكَ ضَابِطٌ يَضِبْطُهُ.
“Mayoritas huffaazh (ahli hadis) mutakadimin menyatakan bahwa sebuah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi secara tafarrud (tunggal/bersendirian) tidaklah bisa di-mutaaba’ah (didukung dengan riwayat lain), sekali pun para perawi tsiqah tidak meriwayatkan sesuatu yang menyelisihi kandungan riwayatnya. Dan mereka menganggapnya (tafarrud-nya si perawi tersebut) sebagai illah (cacat) bagi hadis tersebut. Kecuali jika perawi yang ber-tafarrud tersebut golongan perawi yang banyak hafalannya, terkenal adaalah-nya, dan terkenal periwayatannya; seperti Az-Zuhri dan yang semisalnya. Bahkan terkadang para ahli hadis juga menganggap munkar sebagian tafarrud para perawi tsiqah senior. Dan mereka (para ahli hadis) memiliki metode kritik yang khas untuk masing-masing hadis, mereka tidak memiliki aturan khusus tentang hal itu” (Syarh Ílal at-Tirmidzi 2/582)
([36]) Kedua riwayat tersebut :
Pertama : Hadis Abu Hurairah, bahwa Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- bersabda :
يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ فَيَبْرُكُ فِي صَلاَتِهِ بَرْكَ الْجَمَلِ
“Seseorang di antara kalian hendak turun sujud lalu ia menderum/turun seperti turunnya unta” (HR. At-Tirmidzi no 270, Abu Daud no 841, An-Nasai no 1090, dan Al-Baihaqi no 2742).
Dan semua melalui jalur Abdullah bin Naafi’ Ash-Shaaig dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan dari Abu Az-Zinad dari al-A’roj dari Abu Hurairah
Abdullah bin Naafi’ as-Shooigh menjadi mutabaáh bagi ad-Daraawardi dalam meriwayatkan dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan.
Namun hadis ini tetap saja dhoíf dan tidak bisa jadi penguat karena :
Pertama : Porosnya kembali kepada periwayatan Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang telah meriwayatkan hadis ini secara tunggal dari Abu Az-Zinaad. At-Tirmidzi setelah meriwayatkan hadis ini mengatakan:
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ حَدِيثٌ غَرِيبٌ، لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي الزِّنَادِ إِلاَّ مِنْ هَذَا الوَجْهِ
“Hadis Abu Hurairah adalah hadis gharib (hanya memiliki satu jalur periwayatan, tidak diriwayatkan dari jalur lain-pen), kami tidak mengetahuinya dari hadis Abu Az-Zinaad kecuali melalui jalur ini” (HR At-Tirmidzi no 269)
Dan pernyataan At-Tirmidzi ini sesuai dengan penjelasan Bukhari dalam At-Taariikh al-Kabiir, sebagaimana telah lalu penyebutannya.
Kedua : Abdullah bin Naafi’ as-Shooigh derajatnya adalah shaduuq, disebabkan silang pendapat para Ahli Hadis dalam menilai Beliau. (Lihat Tahriir Taqriib at-Tahdziib, Basyyaar Áwwad & Syuaib al-Arnauuth 2/277)
Dan kalaupun hadis ini hasan, ia tetap tidak menguatkan lafaz (maka hendaklah ia letakkan kedua tangannya terlebih dahulu sebelum kedua lututnya). Karena hadis ini hanya memuat larangan dari meniru sifat turunnya unta, dan tidak memuat penyebutan lafaz tambahan tersebut. Dan tambahan tersebut hanya ditemukan pada riwayat Ad-Daraawardi dari Muhammad bin Abdullah.
Sehingga ini kembali bermuara pada perselisihan seputar sisi argumentasinya: Apa yang dimaksud dengan larangan meniru turunnya unta?
Kedua : Hadis Ibn ‘umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ، وَقَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ
Dari Ibn Umar -radhiallahu ánhu-, bahwasanya beliau meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu daripada kedua lututnya. Dan ia berkata, “Dahulu Rasulullah -shallahu ‘alaihi wa sallam- melakukan hal itu” (HR. Ibn Khuzaimah no 627)
Hadis ini diriwayatkan oleh melalui jalur Abdul ‘Aziz Ad-Daraawardi dari ‘Ubaidullah bin Umar dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar.
Akan tetapi hadis ini daif karena dua hal:
Pertama : ‘Abdul ‘Aziz Ad-Daraawardi terkadang terbalik apabila meenghikayatkan riwayatnya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al ‘Umari. Ia menyebutkan periwayatan dari ‘Ubaidullah padahal sebenarnya dari Abdullah bin ‘Umar Al ‘Umari. Sementara Abdullah Al ‘Umari adalah seorang perawi yang dhoíf.
Imam Ahmad berkata:
وَرُبَّمَا قَلَبَ حَدِيْثَ عَبْدِ اللهِ الْعُمَرِي يَرْوِيْهِ عَنْ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ
“Terkadang ia terbalik dalam meriwayatkan hadis Abdullah al-’Umari, ia malah menyebutkan riwayat dari ‘Ubaidullah al’-Umari”(al-Jarh wa At-Ta’’diil, Ibn Abi Hatim 5/396)
Kedua : Adanya riwayat yang jauh lebih kuat yang menyelisihi riwayat ini.
Sebagaimana yang di riwayatkan oleh Ibn Syaibah dari Ibn Umar :
أَنَّهُ كَانَ يَضَعُ رُكْبَتَيْهِ إذَا سَجَدَ قَبْلَ يَدَيْهِ
Bahwasanya Ibn Umar meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu apabila sujud sebelum kedua tangannya (al-Mushannaf no.2720)
([37]) Hal ini dikarenakan : Penguat hadis Syariik (yaitu hadis Waa’il bin Hujr dari Abdul Jabbar) lebih kuat daripada penguat hadis Abu Hurairah dari jalur Ad-Daraawardi dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan (yaitu hadis Abu Hurairah dari jalur Abdullah bin Nafi’ dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan).
Hal ini karena kedua hadis Abu Hurairah, baik dari jalur periwayatan Ad-Daraawardi atau pun jalur periwayatan Abdullah bin Nafi’, sama-sama berporos pada Muhammad bin Abdullah bin Hasan yang dipermasalahkan tafarrud-nya oleh Bukhari. ‘
Memang benar riwayat Abdu-l Jabbaar dari ayahnya adalah mursal, akan tetapi tidak menutup kemungkinan ia meriwayatkannya secara garis besar dari keluarga-keluarganya, dari ayahnya, dan keluarga-keluarganya berstatus tsiqah. Terlebih lagi telah disebutkan dalam sebagian riwayat, bahwa ia (Abdu-l Jabbar) meriwayatkan hadis-hadis ayahnya (Waa’il bin Hujr) melalui perantara ibunya (Sebagai contoh: lihat as-Sunan al-Kubro, al-Baihaqi, no.2335), saudaranya (Sebagai contoh: lihat As-Sunan Al-Kubro no 2306), atau dari keluarganya (Sebagai contoh: lihat As-Sunan Al-Kubro no 2311)
([38]) HR. Bukhari 1/162 no. 812
([39]) Syarh Sahih Muslim, 4: 185
([40]) HR. Ahmad no 18870 dan dishahihkan oleh para pentahqiqnya, An-Nasai no 889,
([41]) HR. Bukhori No. 807, Muslim no. 495
([43]) HR. Al-Bukhari no 828, dan lihat penjelasan Musthofa al-Baghoo
([44]) HR. Ahmad No. 8477, dan dikatakan oleh Syu’aib al-Arnauth bahwa sanadnya kuat
([46]) Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam An-Nawawi:
والمستحب أن يجافى مرفقيه عن جنيبه
“Yang mustahab adalah merenggangkan kedua sikunya dari dua sisi badannya.” (Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab 3/406)
([47]) Fathu dzil jalaali wal ikraam 2/120
([48]) HR. Hakim no. 826, Ibnu Khuzaimah no 642, dan Ibnu Hibban no 1920, At-Thobrani di al-Mu’jam al-Kabiir no 26, Ad-Daaruquthni no 1283, dan Al-Baihaqi di As-Sunan al-Kubro no 2695. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin (lihat al-Badr al-Muniir 3/668) dan dihasankan oleh al-Haitsami (Lihat Majma’ az-Zawaid 2/135) dan Al-Albani (lihat Ashl shifat as-Sholaat 2/727).
([49]) Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibn Khuzaimah (dari Mazhab Syafií) dan Ibn Tamim al-Harraani (wafat 675 H dari Mazhab Hambali), dan dipilih oleh ulama kontemporer, seperti Syaikh Al-Albani, dan Ibn ‘Utsaimin.
Berkata Ibn Khuzaimah:
بَابُ ضَمِّ الْعَقِبَيْنِ فِي السُّجُودِ
“Bab: Menempelkan Kedua Tumit tatkala Sujud”. (Sahih Ibn Khuzaimah, 1/328)
Muhammad bin Tamim al-Harraani berkata (tentang sifat sujud)
وَيُسْتَحَبُّ إِذَا سَجَدَ… وَيَجْمَعُ عَقِبَيْهِ
“Dan disukai ketika sujud…. Untuk menggabungkan kedua tumitnya” (Mukhtashor Ibni Tamim 2/146)
(Mukhatshar Ibni Tamiim álaa Mazhab al-Imaam ar-Rabbaani Abi Ábdillah Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibaani 2/146)
Berkata Syaikh Ibn ‘Utsaimin:
وَلَكْنَّ الَّذِي يَظْهَرُ مِن السُّنَّة: أَنَّ الْقَدَمَيْنِ تَكُوْنَان ِمَرْصُوْصَتَيْنِ، يَعْنِي: يَرُصُّ الْقَدَمَيْنِ بَعْضَهُمَا بِبَعْضٍ
“Akan tetapi, (pendapat) yang lebih kuat sesuai muatan berbagai hadis: bahwa kedua kaki itu saling meneempel, maksudnya: menempelkan kedua kaki, antara satu dengan yang lainnya” (As-Syarh Al–Mumti’, Ibn ‘Utsaimin, 3/122)
([50]) Semua perawinya tsiqah, kecuali Yahya bin Ayyub Al-Ghaafiqi, beliau perawi yang shaduuq sehingga hadisnya hasan. (Lihat : Tahriir Taqriib At-tahdziib, Basysyaar ‘Awwad dan Syu’aib Al-Arnaa’uth, no.7511).
Dan Muslim meriwayatkan darinya dalam Bab Wudu, Salat, Puasa, Nikah, Faraa’idh (Waris), Nazar, dan Dalaa’ilu-n Nubuwwah (Tanda-tanda Kenabian) (Lihat: Rijal Sahih Muslim, Abu Bakr bin Manjuwaih, 2/322)
Adapun Bukhari, ia (hanya) menyebutkan beberapa riwayatnya sebagai syaahid, diantaranya: no.241, 393, 402, 572 dll. Dan ia termasuk perawi para Ashhaabu-s Sunan (Penulis Kitab Sunan yang 4)
([51]) Hadis ini ini disahihkan oleh:
Pertama : Al–Hakim, beliau berkata :
هَذَا حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ،
(Hadis ini sahih, sesuai dengan syarat (kriteria) Asy-Syaikhain (Bukhari dan Muslim), akan tetapi mereka tidak membawakan hadis ini dalam Sahiih mereka.)
Kedua : Adz-Dzahabi, beliau mengomentari hadis yang diriwayatkan oleh Al-Hakim ini dengan mengatakan:
عَلَى شَرْطِهِمَا
“Sesuai dengan kriteria al-Bukhari dan Muslim dalam sahih mereka berdua”
Namun Syaikh Al-Albani mengkritisi penilaian Al-Haakim dan Adz-Dzahabi tersebut, karena pada sanadnya ada perawi yang bernama عُمَارَةُ بْنُ غَزِيَّةَ “Umaroh bin Ghoziyyah”. Al-Albani berkata :
إنما هو صحيح على شرط مسلم فقط؛ فإن البخاري لم يحتج بعُمارة هذا، وإنما استشهد به – كما ذكر ذلك الذهبي نفسه في ” الميزان ” -.
“Yang benar adalah: Hadis ini sahih sesuai syarat (kriteria) Muslim saja, karena Umaarah tidaklah termasuk perawi (utama/inti) Bukhari dalam Sahih-nya, (Bukhari) hanya menyebutkan riwayatnya (Umaarah) dalam Sahih-nya sebagai Syaahid (riwayat pendukung).” (Ashlu Shifat Salat Nabi, Al-Albani, 2/737)
Ketiga : Ibn ‘Abdil Barr, beliau berkata:
وَمِنْ حَدِيثِ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ مِنْ طُرُقٍ صِحَاحٍ ثَابِتَةٍ…فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا عَقِبَيْهِ مُسْتَقْبِلًا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ
“Dan dari hadis Urwah dari Aisyah melalui jalur-jalur yang sahih dan valid…dan aku (Aisyah) dapati beliau sedang sujud dengan menempelkan kedua kakinya satu dengan yang lainnya, dan menghadapkan jari jemari kakinya ke arah kiblat” (At-Tamhiid, Ibn ‘Abdil Barr, 23/348).
Keempat :Ibnl Mulaqqin (lihat al-Badr al-Muniir 3/669)
Kelima : Ibn Hajar, dimana beliau mengatakan:
وقد رواه الدَّارَقطني بلفظ: كان إذا سجد يستقبل بأصابعه القبلة، وفيه حارثة بن أبي الرجال وهو ضعيف. لكن رواه ابن حبان عن عائشة في حديث أوله: فَقدت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وكان معي على فراشي، فوجدته ساجدًا راصًّا عقبيه، مستقبلا بأطراف أصابعه القبلة.
“Dan hadis tersebut (hadis Aisyah) telah diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dengan lafaz : “Adalah Nabi jika sujud beliau menghadapkan jari-jari (kaki) beliau ke kiblat”. Namun pada sanadnya ada Haaritsah bin Abu-r Rijaal, dan dia seorang perawi yang dha’iif (lemah). Akan tetapi ia juga diriwayatkan oleh Ibn Hibban dari Aisyah dalam sebuah hadis yang awalnya, “Aku kehilangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, yang mana tadinya ia bersamaku di kasur, lalu aku mencarinya dan aku dapati ternyata beliau sedang sujud dan beliau menempelkan kedua tumitnya satu dengan yang lainnya, dan jari-jari kakinya menghadap kiblat”. (At-Tamyiiz fi Talkhish Takhrij Syarhil Kabir (atau yang populer dengan nama At-Talkhish Al-Habir), Ibn Hajar, 2/732)
Keenam : Adapun dari kalangan ulama kontemporer adalah Al-Albani (lihat Ashl Shifat Sholaat An-Nabi 2/736-737) dan Syu’aib al-Arnaa’uth (lihat Sahih Ibni Hibbaan dengan tahkik beliau 5/260)
([52]) Meskipun masih ada kemungkinan bahwa Aisyah menyentuh kedua kaki Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan dua tangan, atau dengan satu tangan akan tetapi bergantian dan bukan dengan sekali sentuhan.
([53][53]) Sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Baihaqi di al-Khilaafiyaat baina al-Imaamain Asy-Syafií wa Abi Haniifah 1/293 no 472. Dan para perawinya tsiqoh kecuali Muhammad bin Umar bin Jamiil al-Azdi maka penulis tidak menemukan biografinya secara al-jarh wa at-ta’diil.
([54]) Berkata An-Nawawi –salah satu ulama Mazhab Syafii-:
قال الشافعي والأصحاب يُسْتَحَبُّ لِلسَّاجِدِ أَنْ يُفَرِّجَ بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ وَبَيْنَ قَدَمَيْهِ قَالَ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي تَعْلِيقِهِ قَالَ أَصْحَابُنَا يَكُونُ بَيْنَ قَدَمَيْهِ قَدْرُ شِبْرٍ
Imam Syafií dan al-ashhaab (ulama Mazhab Syafii) menyatakan : “Dianjurkan bagi orang yang sedang sujud untuk merenggangkan lututnya dan kedua kakinya”. Al-Qodhi Abu At-Thayyib mengomentari hal tersebut dengan mengatakan, “Berkata ulama mazhab kami (Mazhab Syafii): Dan hendaklah jarak antara kedua kakinya seukuran satu jengkal” (Al-Majmu’ Syarh Al Muhadzzab, An-Nawawi, 3/431, Raudhah Ath-Thaalibin, An-Nawawi, 259).
Ibn Qudamah –salah satu ulama Mazhab Hambali- berkata:
وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ وَرِجْلَيْهِ؛
“Dan dianjurkan untuk merenggangkan kedua lututnya dan kakinya”(Al-Mughni, Ibn Qudamah, 1/374)
Berkata imam Ibn Muflih – salah satu ulama Mazhab hambali-:
(وَيُفَرِّقُ بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ) وَرِجْلَيْهِ، لِأَنَّهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – كَانَ إِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخْذَيْهِ، وَذَكَرَ ابْنُ تَمِيمٍ، وَغَيْرُهُ أَنَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَ عَقِبَيْهِ،
“dan merenggangkan kedua lututnya” dan juga kakinya, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- apabila sujud, maka beliau merenggangkan kedua pahanya. Ibn Tamim dan selainnya mengatakan: Hendaklah seorang yang sujud menempelkan/merapatkan kedua tumitnya” (Al-Mubdi’ fii Syarh Al-Muqni’, Ibn Muflih, 1/405).
Berkata Al Hajjawi – salah satu ulama Mazhab Hambali-:
وَيُسَنُّ أَنْ يُجَافِيَ عَضُدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَبَطْنَهُ عَنْ فَخِذَيْهِ وَفَخِذَيْهِ عَنْ سَاقَيْهِ مَا لَمْ يُؤْذِ جَارَهُ وَيَضَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ وَلَهُ أَنْ يَعْتَمِدَ مِرْفَقَيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ إِنْ طَالَ وَيُفَرِّقَ بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ وَرِجْلَيْهِ
“Dan disunahkan untuk menjauhkan lengan atasnya dari sisi tubuhnya dan menjauhkan perutnya dari pahanya, dan menjauhkan pahanya dari betisnya selagi tidak mengganggu orang yang di sampingnya, dan (juga disunahkan untuk) meletakkan tangannya sejajar dengan pundaknya, dan boleh baginya untuk menyandarkan kedua sikunya ke pahanya jika sujudnya berlangsung lama, dan (disunahkan pula untuk) merenggangkan antara kedua lututnya dan kedua kakinya” (Al-Iqna’, Al Hajjawi, 1/121).
Berkata imam Ibn Bulban -Mazhab Hambali-:
ويُسَنُّ أن يُجافِي عَضُدِيْهِ عن جَنْبَيْه، وَبَطْنَه عن فَخِذَيْه، وَفَخِذَيْه عن ساقَيْه، ما لم يُؤْذِ جَارَه فَيَجِبُ تَرْكُهُ. ويَضَعُ يديهِ على الأَرْضِ حَذْوَ مَنكِبَيْه ويُفَرِّقُ بيْنَ رُكْبَتَيْه ورِجْلَيْه،
“Dan disunahkan untuk menjauhkan lengan atasnya dari sisi tubuhnya, menjauhkan perutnya dari pahanya, dan menjauhkan pahanya dari betisnya selama itu tidak mengganggu orang yang di sampingnya. Dan (disunahkan pula untuk) meletakkan tangannya sejajar dengan pundaknya, dan merenggangkan antara kedua lututnya dan kedua kakinya” (Mukhtashar Al Ifadat Wa Rub’ul Ibadat wal Adab, Ibn Balban, 1/93)
Berkata Muhammad bin ‘Abdul Wahhab – salah satu ulama Mazhab Hambali-:
وَيُسَنُّ لِلسَّاجِدِ أَنْ يُجَافِيَ عَضُدَيْهِ عَنْ جَنْبَيْهِ وَبَطْنَهُ عَنْ فَخِذَيْهِ وَفَخِذَيْهِ عَنْ سَاقَيْهِ، وَيَضَعَ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ، وَيُفَرِّقَ بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ وَرِجْلَيْهِ.
“Dan disunahkan bagi orang yang sujud, untuk menjauhkan lengan atasnya dari sisi samping tubuhnya, antara perutnya dengan pahanya, dan antara pahanya dengan betisnya. Dan (disunahkan pula untuk) meletakkan tangannya sejajar dengan pundaknya, serta merenggangkan lutut dan kakinya” (Adab Al Masyyi Ila Ash-shalah, Muhammab bin ‘Abdil Wahhab, 9, Mukhtashar Al Inshaf wa Asy-syarh Al Kabir, 1/125)
Adapun dalil mereka adalah :
Dalil Pertama : Hadis Abu Humaid As-Saa’idi:
«وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ»
“Dan apabila beliau (Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) sujud, maka beliau merenggangkan pahanya tanpa menumpukan perutnya sedikitpun ke pahanya” (H.R. Abu Daud 735).
Segi argumentasi:
Dikarenakan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- merenggangkan paha beliau, maka lututnya dan kakinya tentu ikut renggang.
Berkata Ibn Muflih:
(وَيُفَرِّقُ بَيْنَ رُكْبَتَيْهِ) وَرِجْلَيْهِ، لِأَنَّهُ – عَلَيْهِ السَّلَامُ – كَانَ إِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخْذَيْهِ
“Dan hendaklah ia merenggangkan kedua lututnya dan kakinya, karena Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- apabila sujud beliau merenggangkan kedua pahanya” (Al Mubdi’ fi Syarh Al Muqni’, Ibn Muflih, 1/405).
Sanggahan:
Pertama : Merenggangkan paha tidak mengharuskan renggangnya kaki, hanya saja ia mengharuskan renggangnya lutut.
Kedua : Dari segi sanad, ternyata hadisnya daif:
Abu Daud meriwayatkan hadis ini melalui jalur Utbah bin Abu Hakim dari Abdullah bin Isa dari Al-Abbas bin Sahl As-Saa’idi dari Abu Humaid.
Dan hadis ini bermasalah dikarenakan:
- ‘Utbah bin Abi Hakim sering salah dalam periwayatan.
Berkata Ibn Hajar:
عُتبة بن أبي حكيم…صدوق يُخطئ كثيرًا،
‘Utbah bin Abu Hakim…seorang shaduuq dan banyak salah dalam periwayatan (At-Talkhish Al Habir, Ibn Hajar, 1/618)
- Semua periwayatan dari Abu Humaid selain dari jalur ‘Abdullah bin ‘Isa (yang benar ‘Isa bin ‘Abdullah) tidak menyebutkan lafaz “merenggangkan paha”, akan tetapi hanya menyebutkan “menjauhkan lengan dari sisi badan dan menjauhkan dari perutnya”. Dan jalur-jalur tersebut adalah:
- Dari jalur ‘Abdul Hamid bin Ja’far dari Muhammad bin ‘Atho’, dari ‘Abbas bin Sahl dari Abu Humaid. H.R. Ahmad 23599, Ibn Maajah 1061, Abu Daud 730, Al Bazzaar 3711.
- Dari jalur Fulaih dari ‘Abbas bin Sahl dari Abu Humaid. H.R. Abu Daud 734, At-Tirmidzi 270, Ibn Khuzaimah 640, Ibn Hibban 1871.
Dalil Kedua : Hadis Al Baraa’, ia berkata :
“كان النبي -صلى الله عليه وسلم- إذا ركع بسط ظهره، وإذا سجد وجه أصابعه قبل القبلة فتفاجّ”
“Dahulu Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- membentangkan punggungnya (maksudnya: lurus, tidak bungkuk dan tidak pula menanjak) ketika rukuk, dan mengarahkan jari-jarinya ke arah qiblat serta merenggangkan kakinya ketika sujud” (H.R. Al Baihaqi 2737)
Berkata Ibn Hajar:
فَتَفَاجَّ يَعْنِي وَسَّعَ بَيْنَ رِجْلَيْهِ
“Maksudnya adalah: melebarkan kaki beliau” (At-Talkhiis Al-Habiir 1/459)
Akan tetapi hadis ini daif, karena ia diriwayatkan melalui jalur Al-Husain bin ‘Ali Ash-Shuda’i dari ayahnya dari Zakariya bin Abi Zaidah dari Abu Isahq dari Al Baraa’.
Sementara ‘Ali bin Yazid As-Shuda’i adalah perawi yang dha’iif. Abu Haatim berkata :
ليس بقوي منكر الحديث عن الثقات
“Ia perawi yang tidak kuat, sering meriwayatkan hadis-hadis munkar dari perawi-perawi tsiqah.” (Al Jarhu Wa At-Ta’diil, Ibn Abi Hatim, 6/209). Dan hal senada juga dinyatakan oleh Ibn Ádi (Al Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijaal, Ibn ‘Adi, 6/362)
Abu ‘Ishaq: dan dia adalah ‘Amr bin ‘Ubaid As-Sabi’i, beliau perawi yang tsiqah, akan tetapi hafalannya bermasalah di masa tuanya. (Lihat Al-Jarh Wa at-ta’diil, Ibn Abi Hatim, 6/234, Siyar A’lam An-Nubala, Adz-Dzahabi, 5/394, Taqrib At-tahdzib, Ibn Hajar, no.5065).
Dan perawi seperti beliau (Abu Ishaq As-Sabii’i) hanya diterima riwayatnya jika datang melalui jalur murid yang meriwayatkan darinya sebelum masa tuanya, dan Zakariya bin Abu Zaidah termasuk murid yang meriwayatkan darinya (Abu Ishaq As-Sabii’i) di masa tuanya.
Berkata Ibn Hajar:
زكريا ابن أبي زائدة…ثقة وكان يدلس وسماعه من أبي إسحاق بأخرة
“Zakariya bin Abu Zaidah…tsiqah, hanya saja ia terkadang melakukan tadlis, dan ia meriwayatkan hadis dari Abu Ishaq di akhir (masa hidup Abu Ishaq).”( Taqrib At-Tahdzib, Ibn Hajar, no.2022)
([55]) Abu Dawud 1/230 No. 871
Dalam doa ini terkandung pensucian Allah dari segala kekurangan dan dari segala hal yang tidak layak disematkan pada-Nya. Di dalamnya juga terdapat penjelasan sifat ketinggian Allah. Dan sifat Maha Tinggi Allah meliputi:
- Maha Tinggi Dzat-Nya, karena Dia berada di atas semua makhluk-Nya.
- Maha Tinggi kedudukan-Nya, sebab segala sifat sempurna hanya milik Dia saja.
- Maha Tinggi kekuasaan-Nya, sebab Dia Maha berkuasa atas segala sesuatu, (QS. Al-Ankabut: 17)
(Lihat keterangan Syaikh Shalih al Fauzan ketika menerangkan nama al ‘Aliyy pada ayat Kursi dalam kitab Syarh al ‘Aqidah al Wasithiyah, hal. 26)
Lalu apa hubungannya dengan posisi kita ketika sujud?
Pada saat kita menyungkurkan badan kita ke tanah sujud bersimpuh merendah serendah-rendahnya dengan menghinakan diri sehina-hinanya, kita meletakkan beberapa anggota tubuh yang merupakan kemuliaan seseorang sebagaimana yang datang dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri.” (HR. Bukhari 1/162 no. 812)
Dan hidung adalah salah satu bagian yang mulia yang manusia miliki, itu mengapa dalam hadits ada istilah “رغم أنف” (hidungnya menempel di tanah) untuk mengungkapkan kehinaan terhadap seseorang, karena hidung termasuk bagian yang mulia, ketika hidung tersebut menempel ke tanah maka tidak ada kemuliaan lagi, begitu juga dalam posisi sujud maka seorang hamba harus hidungnya menempel ke bawah untuk menyatakan kehinaan dirinya, dia merendahkan dirinya serendah-rendahnya lalu meninggikan penciptanya setinggi-tingginya dengan melafazkan dengan lisannya “subhanaa robbiyal a’laa”, dan hatinya meyakini tingginya Sang Pencipta dan ini adalah bagian yang penting dalam shalat yang mana sujud tidak boleh dipalingkan ke selain Allah.
لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ
“Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya”. (QS. Fusshilat: 37)
Dan ini adalah keadaan yang paling terdekat antara hamba dan Rabbnya sehingga dianjurkan untuk banyak memohon kepada Allah sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أقربُ ما يكونُ العبدُ من ربِّه وهو ساجدٌ فأكْثِروا الدُّعاءَ
“Kondisi paling dekat antara seorang hamba dengan Tuhannya adalah ketika dia sujud, maka perbanyaklah doa (ketika sujud)” (HR. Muslim No. 482)
Karena sujud ini adalah bukti penghambaan, ketundukan, kerendahan, dan kefakirannya. Dalam kondisi seperti ini sangat tepat bagi seorang hamba untuk memanjatkan doa karena dia sangat dekat dengan Allah dan akan dikabulkan doanya.
([56]) HR. Abu Dawud 1/230 No. 870
([57]) HR. Muslim 1/353 No. 487
Berkata Imam An-Nawawi: “Makna (subbuuh) adalah yang terlepas dari segala kekurangan, penyekutuan atau kesyirikan, dan dari setiap yang tidak layak untuk Allah, dan (qudduus) adalah yang disucikan dari segala hal yang tidak pantas untuk Sang Pencipta”. Kemudian melanjutkan perkataannya: “(ar-ruuh) dikatakan artinya malaikat yang besar dan dikatakan juga kemungkinan yang dimaksud adalah Jibril” (Al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim Bin Al-Hajjaj 4/205)
([58]) HR. Bukhori No. 794, 817 dan Muslim No. 484
Imam Nawawi menjelaskan bahwasanya doa ini diucapkan oleh Rasulullah untuk melaksanakan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah dalam surat An-Nashr:
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا
“Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.”
Dalam doa ini terkandung pensucian Dzat Allah dari segala kekurangan dan dari segala hal yang tidak layak untuk Allah, Pujian atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya berupa hidayah taufik sehingga ia bisa beribadah kepadanya yang semua itu bukan karena daya atau upayanya akan tetapi semata-mata karena nikmat hidayah taufiq yang Allah berikan, juga terkandung di dalamnya permohonan ampun atas segala dosa yang diperbuat.
([59]) HR. Muslim 1/534 No. 201
Dalam doa ini terdapat bentuk pentauhidan kepada Allah, sujudnya, imannya, serta islamnya. Kemudian kita perhatikan pada kata setelahnya disebutkan bahwa sujud diperuntukkan untuk yang menciptakan, membentuk, memisahkan pendengaran dan penglihatan, dan menciptakan manusia dengan bentuk yang sangat sempurna apakah ada selain Allah yang bisa melakukan semua hal tersebut?
Tentu jawabannya tidak ada, dan ini bantahan bagi orang yang melakukan sujud kepada sesuatu seperti bebatuan, berhala, matahari, pepohonan dan yang lainnya yang lemah yang tidak bisa melakukan hal-hal di atas. Jangankan melakukan hal yang besar, menciptakan seekor lalat yang kecil pun tentunya mereka tidak bisa. Apakah mereka layak untuk kita bersujud kepadanya? Maha Suci Allah dari bentuk penyekutuan yang dilakukan oleh orang-orang yang bodoh.
([60]) Sunan At-Tirmidzi 5/363 no 3423 hadits sama dengan hadits no 5 dengan tambahan “anta robby”
([61]) HR. Muslim 1/351 No. 485
Dalam doa ini terkandung 3 hal: Penyucian Dzat Allah dari segala kekurangan dan dari segala hal yang tidak layak untuk Allah, Pujian atas segala nikmat yang telah diberikan kepadanya, kemudian mengesakan Allah dalam masalah beribadah. Karena Dzat yang tidak memiliki cacat sama sekali yang telah memberikan karunia yang sangat banyak kepadanya adalah yang paling berhak untuk disembah.
([62]) Sunan Nasa’i 2/223 No. 1131
Doa ini terkandung di dalamnya pensucian dan menafikan dari hal yang tercela, yang kurang, dan yang tidak layak untuk Allah karena Allah adalah Dzat Yang Maha Pemilik kerajaan-kerajaan, Maha Memiliki Kekuasaan hakiki, Maha Memiliki kebesaran dan keagungan. Ketika seorang hamba mengetahui hakikat keagungan sang penciptanya dan mengetahui bahwa tidak ada tandingan yang bisa menandingi penciptanya maka membuatnya hanya menggantungkan dirinya kepada Allah bukan selain-Nya yang lemah dan penuh kekurangan.
([65]) HR. Muslim No: 1/350 No. 483
Kalau kita perhatikan pada awal kalimat terkandung di dalamnya permintaan ampunan atas dosa-dosa seorang hamba secara keseluruhan, kemudian dalam doa tersebut disebutkan perincian satu persatu “yang kecil, yang besar dan seterusnya”, apakah ini ucapan yang sia-sia karena kalimat kedua sudah terkandung dalam kalimat pertama? Tidak, dikatakan oleh para ulama pengulangan seperti ini faedahnya untuk penguatan, yaitu menunjukkan akan kesungguhan seorang hamba meminta agar semua dosanya diampuni. (Lihat Syarah Sunan Abu Dawud 4/88)
([66]) H.R. An-Nasa’i no.1124, Ahmad no.25183 dan Ibnu Hajar menshahihkan sanadnya di dalam Nata’ij Al-Afkar Li Ibni Hajar Al-‘Asqalaniy 2/99.
([67]) HR. An-Nasa-I no 1125, dishohihkan oleh Al-Albani
Doa ini terkandung di dalamnya kesungguhan dalam permohonan ampunan kepada Allah, meminta ampun dari segala dosa yang dilakukan secara sembunyi agar tidak ditampakkan di hadapan manusia, juga meminta ampunan dari dosa yang dilakukan secara terang-terangan, Rasulullah mengajarkan doa ini padahal beliau adalah manusia yang telah diampuni dosa yang telah lalu dan yang akan datang supaya termasuk menjadi hamba yang senantiasa bersyukur dan juga supaya diikuti oleh umatnya, maka kita lebih utama lagi untuk senantiasa memohon ampun kepada Allah karena kita bukanlah manusia yang terjaga dari dosa.
([68]) HR. Muslim1/528 No: 187
Dijelaskan oleh para ulama maksud dari meminta cahaya di setiap anggota tubuh serta di di seluruh penjuru arah adalah meminta diberikan yang haq dan juga cahayanya, serta meminta petunjuknya di setiap langkahnya, perbuatannya, juga di setiap keadaannya agar tidak tergelincir. (Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim Bin Alhajjaj 6/45)
([69]) HR. Muslim 1/532 no 486.
Doa yang indah ini ada tersirat makna yang sangat tersembunyi, kita perhatikan disini disebutkan sebuah kata dengan lawannya yaitu “keridhaan” dan “kemarahan”, “keselamatan” dan “hukuman” yang masing-masing kata ada lawannya kemudian berlindung kepada Dzat yang tidak ada lawannya yaitu Allah.
Kemudian pada kalimat berikutnya terkandung di dalamnya akan pengakuan terhadap lemahnya diri seorang hamba, karena dia tidak mampu untuk menghitung pujian dan sanjungan kepada Allah dan juga tidak mampu mendapati hakikat dan tidak mampu mendapatinya secara rinci tentang pujian kepada Allah. (Lihat Ad-Dibaj ‘Ala Shohih Muslim Bin Al-Hajjaj, As-Suyuthi 2/178)