RUKUK
Penjelasan
Secara bahasa dari lafadz (رَكَعَ يَرْكَعُ رُكُوعًا) yang bermakna (الانْحِنَاءُ) yaitu menunduk atau membungkuk. ([1]) Secara istilah ruku’ dalam shalat adalah gerakan khusus yang dilakukan setelah berdiri membaca surat Al-Qur’an dengan menundukkan kepala dan membungkukkan punggung disertai kedua tangan memegang kedua lutut hingga punggung dan kepala lurus sama rata. ([2])
Rukuk termasuk salah satu rukun shalat. Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah –radhiallahu’anhu- panjang yang menjelaskan tentang seseorang yang diajarkan tata cara shalat yang benar oleh Nabi -shallallahu ‘alahi wa sallam-, di antaranya tentang rukuk:
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
“…lalu rukuklah dengan tuma’ninah…” ([3])
Hukum-Hukum Seputar Ruku’ Sholat
Pertama : Ruku’ merupakan rukun sholat
Ruku’ merupakan salah satu rukun shalat dan wajib dikerjakan bagi yang mampu. ([4]) Allah berfirman :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman ruku’lah, sujudlah dan sembahlah Tuhanmu.” ([5])
Kemudian hadits tentang orang yang buruk shalatnya, diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ المَسْجِدَ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسٌ فِي نَاحِيَةِ المَسْجِدِ، فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَرَجَعَ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ، فَقَالَ: «وَعَلَيْكَ السَّلاَمُ، فَارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» فَقَالَ فِي الثَّانِيَةِ، أَوْ فِي الَّتِي بَعْدَهَا: عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلِّهَا
Ada seorang lelaki yang masuk masjid dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di suatu sudut masjid, lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab: “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau menjawab (sama seperti sebelumnya): “Dan bagimu keselamatan, kembalilah lalu ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lantas orang yang tersebut berkata pada kali kedua atau yang ketiga: “Ajarilah aku! Wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah dengan berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk (antara dua sujud) disertai thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk disertai thuma’ninah Kemudian lakukanlah seperti itu dalam setiap shalatmu.” ([6])
Kedua : Ruku’ harus thuma’ninah
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadits Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-, Nabi bersabda :
ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
“kemudian rukuklah sampai engkau benar-benar rukuk dengan thumaninah” ([7])
Dan thuma’ninah dapat terealisasi dalam rukuk apabila seseorang sudah mencapai posisi rukuk sempurna, yaitu dengan diam sesaat pada posisi tersebut, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Qudamah: “Makna thuma’ninah (dalam rukuk) ialah ketika sampai batasan rukuk lalu diam sebentar.“([8]), ini menunjukkan bahwa banyak dari kaum muslimin yang salah memahami arti thuma’ninah. Dimana sebagian merkea memahami bahwa thuma’ninah adalah sekedar posisi rukuk, bukan diam sesaat setelah mencapai posisi rukuk yang sempurna.
Batas thuma’ninah dalam gerakan ruku’ adalah dengan ukuran membaca bacaan tasbih yang telah diwajibkan. ([9]) Hal ini berdasarkan hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya yang telah disebutkan. Dan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
إِنَّ أَسْوَأَ النَّاسِ سَرِقَةً، الَّذِي يَسْرِقُ صَلَاتَهُ، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَسْرِقُهَا؟ قَالَ: لَا يُتِمُّ رُكُوعَهَا وَلَا سُجُودَهَا
Seburuk-buruknya pencuri adalah orang yang mencuri shalatnya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri sholat? Rasulullah berkata, Dia tidak sempurnakan ruku dan sujudnya. ([10])
Demikian juga hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَكَعَ اسْتَوَى فَلَوْ صُبَّ عَلَى ظَهْرِهِ الْمَاءُ لَاسْتَقَرّ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam jika ruku’ maka anggota tubuhnya sejajar, seandainya dituangkan air ke atas punggungnya maka air itu akan tenang. ([11])
Demikian juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Zaid bin Wahb Al-Juhaniy.
رَأَى رَجُلًا لاَ يُتِمُّ رُكُوعَهُ وَلاَ سُجُودَهُ، فَلَمَّا قَضَى صَلاَتَهُ قَالَ لَهُ حُذَيْفَةُ: مَا صَلَّيْتَ قَالَ: وَأَحْسِبُهُ قَالَ: لَوْ مُتَّ مُتَّ عَلَى غَيْرِ سُنَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Beliau melihat seseorang yang tidak menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Tatkala dia selesai dari shalatnya, Hudzaifah berkata kepadanya: “Kamu tidak shalat” Dia (perawi) berkata: Aku pikir dia berkata: “Jika kamu mati, maka kamu mati tidak di atas agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.” ([12])
Perkataan Hudzaifah (kamu tidak shalat) menunjukkan akan wajibnya thuma’ninah dalam ruku’ dan sujud, apabila ditinggalkan maka hal itu membatalkan shalat. ([13])
Begitu juga halnya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تُجْزِئُ صَلَاةٌ لَا يُقِيمُ الرَّجُلُ فِيهَا صُلْبَهُ فِي الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat seseorang yang tidak meluruskan punggungnya dalam ruku’ dan sujud.” ([14])
Ketiga : Batas Gerakan ruku’
Dan gerakan ruku’ yang sah dan mencukupi rukun shalat adalah membungkukkan badan yaitu dengan sekedar meletakkan kedua tangan di atas kedua lutut dengan diam sebentar. Dengan menjadikan patokan bahwa gerakan ruku’ menjadi pembatas antara gerakan mengayunkan tubuh ketika hendak membungkuk dan gerakan berdiri dari ruku’. Dan sebagian orang didapati memiliki bentuk tangannya terlalu panjang atau pendek. Maka ukurannya adalah meluruskan tulang punggung dengan tulang leher hingga sejajar sama rata. Seandainya posisi kedua tangannya telah diletakkan di atas kedua lututnya, namun tidak mampu mencapai gerakan ruku’ yang telah dijelaskan, maka hal itu tidak bisa disebut dengan ruku’.
Bagi orang yang tidak mampu, maka hendaknya membungkukkan badannya sampai dengan batas kemampuannya. Seandainya benar-benar tidak mampu membungkukkan badannya, maka cukup memberikan isyarat dengan kepalanya. Seandainya dia shalat dalam keadaan duduk, hendaknya membungkukkan badannya dengan mengayunkan kepalanya dan menjadikan dahinya sejajar berada di depan lututnya. Dan gerakan yang lebih sempurna adalah apabila dia mampu meletakan dahinya di tempat sujudnya. ([15])
Gerakan Ruku’
Pertama : Meletakkan kedua telapak tangannya pada lutut sembari merenggangkan jari jemarinya. Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Abu Humaid,
إِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Ketika Rasulullah -shallallahu ’alaihi wa sallam– rukuk, Beliau pun meletakkan kedua telapak tangannya pada lututnya dan merenggangkan jari jemarinya.” ([16])
Kedua : Punggung direndahkan hingga posisi rukuk, namun dengan diluruskan, tidak bengkok seperti busur panah. Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Humaid As-Saa’idi –radhiallahu’anhu–, beliau berkata:
أنا كنتُ أَحْفَظَكُمْ لِصَلاَةِ رَسُوْلِ اللهِ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، رَأَيْتُهُ إِذَا كَبَّرَ جَعَلَ يَدَيْهِ حِذَاءَ مَنْكِبَيْهِ، وَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ يَدَيْهِ مِنْ رُكَبْتَيْهِ، ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ
“Akulah orang yang paling hafal tata cara shalat Rasulullah -shallallahu ’alaihi wa sallam– di antara kalian. Aku melihat beliau menyejajarkan kedua tangannya dengan pundak ketika bertakbir, lalu menurunkan punggungnya (dengan posisi tulang punggung lurus dan tidak bengkok seperti busur panah).” ([17])
Juga berdasarkan hadits dari Ali bin Abi Thalib –radhiallahu ’anhu–:
كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَكَعَ؛ لَوْ وُضِعَ قَدَحٌ مِنْ مَاءٍ عَلَى ظَهْرِهِ؛ لَمْ يُهْرَاق
“Seeandainya sebuah wadah berisi air diletakkan di atas punggung Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam- ketika Beliau rukuk, tentulah air tersebut tidak akan tumpah.” ([18])
Ketiga : Posisi kepala sejajar dengan punggung, tidak mendongak dan tidak pula terlalu menunduk, berdasarkan hadits Abu Humaid As Sa’idi –radhiallahu’anhu-:
إِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ ثُمَّ هَصَرَ ظَهْرَهُ غَيْرَ مُقْنِعٍ رَأْسَهُ وَلاَ صَافِحَ بِخَدِّهِ
“Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam jika rukuk beliau meletakkan kedua telapak tangannya pada lututnya dan merenggangkan jari jemarinya sambil membungkukkan badannya tanpa mengangkat kepalanya (sehingga lebih tinggi dari punggungnya), tanpa menundukan kepalanya (sehingga lebih rendah dari punggungnya) dan tidak pula menampakkan pipinya sehingga tidak condong/miring kepada salah satu sisi.” ([19])
‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata:
وَكَانَ إِذَا رَكَعَ لَمْ يُشْخِصْ رَأْسَهُ، وَلَمْ يُصَوِّبْهُ وَلَكِنْ بَيْنَ ذَلِكَ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika rukuk beliau tidak meninggikan (mendongakkan) kepada dan tidak juga merendahkannya (terlalu membungkukkan), namun di antara keduanya (lurus).” ([20])
Keempat : Adapun pandangan mata ketika rukuk maka tidak ada dalil yang secara tegas menerangkan perihal ini. Namun hendaknya seorang yang shalat berusaha untuk rukuk dengan tata cara yang telah diterangkan pada hadits di atas.
Tentu jika seorang memaksakan arah pandangannya ketika rukuk ke arah tempat sujud, itu akan membuatnya sedikit mengangkat kepalanya sehingga tidak sejajar dengan pundaknya.
Oleh karena itu, hendaknya seseorang memandang ke arah bawah secara wajar. Jadikan prioritas utama adalah untuk rukuk sesuai tata cara rukuk Nabi –shallallaahu alaihi wa sallam-, karena tidak ada dalil yang secara spesifik menentukan arah pandangan ketika rukuk. ([21])
(gerakan yang benar) : punggung rata, kedua siku agak dibuka, jari-jari direnggangkan, pandangan normal ke bawah
(gerakan yang salah) 1, rukuknya tidak sempurna (kurang rendah), 2, pandangan matanya terlalu dipaksa ke arah sujud sehingga mengangkat kepala, 3, pandangan matanya terlalu ke bawah sehingga kepala terlalu menunduk, 4, kedua tangan rapat, seharusnya direnggangkan, 5, terlalu menunduk
Bacaan Dalam Ruku’
Pertama
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيم
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung.” ([22])
Kedua
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِه (ثلاث مرات)
“Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya.” Ini dibaca tiga kali. ([23])
Ketiga
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوح
“Maha Suci, Maha Qudus, Rabb-nya para malaikat dan ar-Ruh’ ( yaitu Jibril)”. ([24])
Keempat
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
“Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku”. ([25])
Kelima:
اللهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، خَشَعَ لَكَ سَمْعِي، وَبَصَرِي، وَمُخِّي، وَعَظْمِي، وَعَصَبِي
“Ya Allah, untuk-Mu aku rukuk, kepada-Mu aku beriman, untuk-Mu aku berserah diri, kutundukkan kepada-Mu pendengaranku dan penglihatanku, pikiranku, tulang-tulangku dan urat syarafku”. ([26])
Keenam
اللَّهُمَّ لَكَ رَكَعْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَلَكَ أَسْلَمْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، أَنْتَ رَبِّي، خَشَعَ سَمْعِي وَبَصَرِي، وَدَمِي وَلَحْمِي، وَعَظْمِي وَعَصَبِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالِمِين
“Ya Allah, untuk-Mu aku rukuk, kepada-Mu aku beriman, untuk-Mu aku berserah diri, kepada-Mu aku bergantung, Engkau adalah Rabb-ku, kutundukkan kepada-Mu pendengaranku dan penglihatanku, serta darahku, dagingku, tulang-tulangku dan urat syarafku, semua untuk Allah Rabb semesta alam”. ([27])
Ketujuh pada shalat malam membaca:
سُبْحَانَ ذِي الْجَبَرُوتِ وَالْمَلَكُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَة
“Maha Suci Dzat yang memiliki Jabarut dan Malakut dan memiliki kedigdayaan dan keagungan”. ([28])
Kedelapan
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ
“Maha Suci Engkau, segala puji bagi Engkau. Tidak ada Tuhan selain Engkau”. ([29])
Kesembilan
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَ بِحَمْدِكَ، لاَ إِلَـٰهَ إِلاَّ أَنْتَ
“Mahasuci Engkau ya Allah, dan dengan pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Engkau”. ([30])
FOOTNOTE:
([1]) Lihat: Lisanul ‘Arab Li Ibni Mandzur 8/133.
([2]) Lihat: Hasyiyah Ibnu Abidin 1/300, Hasyiyah Al-Adawi 1/231, Nihayatul Muhtaj Li Ar-Ramliy 1/448, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/499 dan Kassyaful Qina’ 1/346.
([3]) HR. Bukhari 1/152 no 757, Muslim 1/297 no. 397
([4]) Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa ulama bersepakat akan wajibnya ruku’ dan sujud dalam shalat bagi orang yang mampu. (lihat: Al-Ijma’ Li Ibni Al-Mundzir hal.42 dan Al-Isyraf li Ibni Al-Mundzir 2/214). Dikatakan pula oleh Ibnu Hazm: Ulama bersepakat bahwa ruku’ hukumnya adalah fardhu. (lihat: Maratibul Ijma’ Li Ibni Hazm hal.26). Ibnu Abdil Barr juga menuturkan: Dalil tentang fardhunya ruku’ telah jelas di dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dan kesepakatan ulama’. (lihat: At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr 10/196). Dan dinukilkan dari perkataan An-Nawawi: Ulama sepakat akan wajibnya ruku’. (lihat: Al-Majmu’ li An-Nawawi 3/396). Ibnu Qudamah: Ulama sepakat akan wajibnya ruku’ sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 77. (lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/357). Ibnu Taimiyyah: Allah telah mewajibkan ruku’ dan sujud termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan ulama menyepakati hal itu. (Majmu’ Al-Fatawa 22/566).
([6]) HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397.
([7]) HR. Bukhari 7351/152 no 757
Adapun Abu Hanifah menganggap bahwa thuma’ninah bukanlah suatu yang wajib, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Kaasany,
فَأَمَّا الطُّمَأْنِينَةُ عَلَيْهِمَا فَلَيْسَتْ بِفَرْضٍ فِي قَوْلِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٍ
“Adapun thuma’ninah maka bukanlah suatu yang wajib berdasarkan perkataan Abu Hanifah dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaani” (Badaa’i’us Shonaai’ fii Tartiibi–sy Syaraa–i’ karya ‘Ala-Uddin Al-Kasaany Al-Hanafy 1/105)
([9]) Menurut Jumhur ahli fiqih yaitu Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah dan Abu Yusuf dari Hanafiyyah. Namun, menurut Hanafiyyah thuma’ninah tidaklah diwajibkan. Yang diwajibkan pada gerakan ruku’ adalah membungkukkan badan. Apabila seseorang melakukan gerakan ruku’ dengan cukup sekedar membungkuk saja, maka dia telah melakukan ruku’. Berdasarkan keumuman firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 77. (Hasyiyah Al-Adawi 1/231,234, Hasyiyah Ibnu Abidin 1/300,312, Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/406, 411, Mughnil Muhtaj Li As-Syirbini 1/163, Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/497, Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/346 dan Al-Inshaf Li Al-Mardawi 2/59).
([10]) HR Ahmad no.11532, dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi.
([11]) H.R. Thabrani no.12781 dan Abu Ya’la: perawinya terpercaya. Disebutkan Majma’ Az-Zawa’id Li Al-Haitsami 2/123.
([13]) Nailul Authar Li As-Syaukani 2/310.
([14]) HR. Ibnu Majah no.870 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([15]) Lihat: As-Syarhul Kabir Li Ad-Dirdir wa Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/239 daan Adz-Dzakhirah Li Al-Qarafi 2/188 untuk madzhab Maliki.
An-Nawawi mengatakan: Pemisah antara berdiri dan ruku’ yaitu ketika seorang yang shalat meletakkan kedua tangannya pada kedua lututnya dan diam sejenak, inilah batasan dari gerakan ruku’ (Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/297,410 dan Al-Hawi Al-Kabir Li Al-Mawardi 2/117, lihat pula: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/360 dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Dawud Adz-Dzohiriy, lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/410)
([16]) HR. Al-Baihaqi 3/506 no. 2585, di sahihkan oleh Al-Albani
Dan ada juga Tathbiq yang ini diamalkan oleh Ibn Mas’ud -radhiyallahu anhu-, yaitu dengan menggenggam kedua tangan lalu meletakkan keduanya diantara 2 lutut, akan tetapi ini dilakukan di awal islam kemudian dimansukh, sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Mush’ab Ibn Sa’ad:
صَلَّيْتُ إِلَى جَنْبِ أَبِي، فَجَعَلْتُ يَدَيَّ بَيْنَ رُكْبَتَيَّ، فَنَهَانِي عَنْ ذَلِكَ، فَعُدْتُ، فَقَالَ: «لَا تَصْنَعْ هَذَا، فَإِنَّا كُنَّا نَفْعَلُهُ، فَنُهِينَا عَنْ ذَلِكَ، وَأُمِرْنَا أَنْ نَضَعَ أَيْدِيَنَا عَلَى الرُّكَبِ»
“aku shalat disisi ayahku, lalu aku letakkan kedua tanganku diantara kedua lututku, lalu ayahku melarangku dari perbuatan tersebut dan berkata: jangan lakukan ini, sesungguhnya kami dahulu melakukannya kemudian kami dilarang dari hal tersebut dan diperintahkan untuk meletakkan tangan-tangan kami dilutut-lutut kami.” (HR. Abu Daud 1/229 no. 867, disahihkan oleh Al-Albani)
([17]) HR. Bukhari no. 1/165 no. 828
Al-Khottobi berkata tentang makna هَصَرَ ظَهْرَهُ:
مَعْنَاهُ ثَنَّى ظَهْرَهُ وَخَفَضَهُ، وَأَصْلُ الْهَصْرِ أَنْ يَأْخُذَ بِطَرْفِ الشَّيْءِ ثُمَّ يَجْذِبُهُ إِلَيْهِ كَالغُصْنِ مِنَ الشَّجَرَةِ وَنَحْوِهِ
“Maknanya adalah menurunkan punggungnya dan merendahkannya. Dan asal dari al-Hashr” adalah sesoerang mengambil ujung sesuatu lalu menariknya kepadanya, seperti dahan pohon dan yang semisalnya”. (Maáalim as-Sunan 1/195-196)
Ibn Bathhool berkata :
هَصَرَ الشَّيْءَ هَصْرًا: أَخَذَ بِأَعْلَاهُ لِيُمِيْلَهُ إِلَى نَفْسِهِ
“Yaitu ia memegang ujung atas sesuatu untuk menurunkan dan mengarahkannya kepada dirinya” (Syarh Sahih al-Bukhari 2/408)
Intinya maknanya adalah Nabi menundukan punggungnya ke bawah akan tetapi punggung tersebut tidak membengkok seperti busur panah (Lihat Miráat al-Mafaatiih, al-Mubaarokfuuri 3/11)
([18]) HR. Ahmad 2/289 no. 997, Al Albani dalam Ashl Shifat Shalat Nabi [2/637] mengatakan: “Sanadnya lemah, namun dapat disimpulkan bahwa hadits ini sahih dan valid dengan berbagai jalur periwayatan yang mendukungnya.”
([19]) HR. Abu Daud 1/195 no. 731,
Lafaz مُقْنِع termasuk الأَضْدَادِ yaitu bisa mengandung makna yang berlawanan, terkadang bisa berarti mengangkat dan terkadang bisa berarti menundukan. (lihat Maáalim As-Sunan, al-Khotthobi 1/196)
([21]) Meskipun -sebagaimana telah disebutkan di atas- ada seorang ulama yang dengan ijtihadnya mencoba memudahkan orang yang shalat dalam mengatur arah pandangannya, beliau adalah Syariik al-Qoodhi. Beliau berkata :
يَنْظُرُ فِي الْقِيَامِ إِلَى مَوْضِعِ السُّجُودِ، وَفِي الرُّكُوعِ إِلَى مَوْضِعِ قَدَمَيْهِ، وَفِي السُّجُودِ إِلَى مَوْضِعِ أَنْفِهِ، وَفِي الْقُعُودِ إِلَى حِجْرِهِ
“Hendaklah ketika berdiri, ia melihat ke tempat sujudnya, ketika rukuk, ia melihat ke tempat kedua kakinya, ketika sujud, ia melihat hidungnya, dan ketika duduk, ia melihat ke arah pangkuannya. (Sebagaimana dinukil oleh Ibn Abdil Barr di At-Tamhiid 17/393 dan Ibnl Árobi di Al-Jaami’ Li Ahkami al-Qur’aan 2/160)
Namun semua ini tidak ada dalilnya, dan telah dibantah oleh Ibnu Abdil Barr (lihat At-Tamhiid 17/393)
Kandungannya:
Di dalamnya terdapat aspek ibadah yang sangat agung antara gerakan tubuhnya dan juga lisannya, ketika seorang hamba ruku’ dia harus menundukkan kepalanya, membungkukkan badannya, lalu mensucikan dan mengagungkan Allah.
Al-Kholil bin Ahmad Al-Farohidi, salah satu ulama bahasa yang terkenal, menjelaskan tentang makna (Subhanallah) artinya adalah: “Mensucikan Allah dari segala hal yang tidak layak untuk disifatkan kepada Allah”. (Lihat: Al-Ain 3/151)
Oleh karena itu, Allah menjadikan ruku’ adalah salah satu rukun shalat. Ini dikarenakan keagungan dan pentingnya gerakan tersebut dalam shalat.
([23]) HR. Ahmad no. 24063 dan sanadnya dishohihkan oleh Syu’aib Al-Arnauth
Kandungannya:
Terkumpul di dalam doa ini tiga hal yang sangat penting, yaitu; pensucian, pengagungan, dan pujian. Maka seorang hamba harus senantiasa mensucikan Allah dari segala kekurangan, mengagungkan-Nya dan tidak ada yang bisa melebihi dari kebesaran Allah sehingga senantiasa mengedepankan Allah dalam setiap hidupnya. Juga senantiasa memuji Allah atas segala nikmat yang telah Allah berikan kepadanya, khususnya nikmat Islam, nikmat Iman, dan nikmat berjalan di atas sunnah Rasul-Nya. Juga perlu diketahui bahwa dalam mensucikan Allah dan memuji-Nya terdapat keutamaan yang sangat besar, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
« كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ »
“Ada dua kalimat yang ringan diucapkan di lidah, tapi berat pada timbangan amal, dan sangat dicintai oleh Ar-Rahman, yaitu: Subhaanallahi wabihamdihi, subhaanallahil ‘azhiim (Maha Suci Allah dan pujian-Nya, dan maha suci Allah yang Maha Agung)”. (HR. Bukhari No. 6682 dan Muslim No. 2694)
([24]) HR. Muslim No. 487, Ishaq dalam musnadnnya 3/719 No. 1322, Ahmad dalam musnadnya 40/73 No. 24063.
Imam An-Nawawi berkata: “Makna (subbuuhun) adalah yang terlepas dari segala kekurangan, persekutuan atau kesyirikan, dan dari setiap yang tidak layak untuk Allah. Adapun (qudduusun) adalah yang disucikan dari segala hal yang tidak pantas untuk Sang Pencipta”. Kemudian melanjutkan perkataannya: “(Ar-Ruuh) dikatakan artinya malaikat yang besar dan dikatakan juga kemungkinan yang dimaksud adalah Jibril”. (Lihat: Al-Minhaj Syarhu Shohih Muslim bin Al-Hajjaj 4/205)
([25]) HR. Bukhari No. 794, 817, 4294, 4968, dan Muslim No. 484
Kandungannya:
Di dalamnya terdapat pensucian Allah, pujian untuk Allah, lalu permohonan ampun, dan ini adalah salah satu adab meminta kepada Allah, hendaknya seorang hamba ketika meminta dimulai dengan pujian-pujian yang indah, mensucikannya dari segala kekurangan, dan mengagungkannya. Kemudian setelah itu menyebutkan permohonannya. Salah satu permohonan yang layak diucapkan oleh hambanya adalah memohonkan ampunan dari segala kesalahan-kesalahan yang dia lakukan yang diketahui maupun tidak.
Kandungannya:
Dalam doa ini terkandung ketundukan yang sempurna dari seorang hamba kepada Rabb-nya. Dia juga mengerahkan semua anggota tubuhnya agar bisa tunduk kepada-Nya, yaitu pendengaran, penglihatan, pikiran, dan tulang-tulangnya. Semuanya adalah bagian terpenting pada tubuh seseorang. Semuanya itu dia serahkan hanya untuk ketundukan kepada Allah semata, dengan mengikhlaskan semua amalannya hanya untuk Allah semata, dan ini bukanlah perkara yang mudah, keikhlasan itu membutuhkan usaha yang sangat berat agar seorang hamba itu bisa mendapatkan keikhlasan dengan sempurna di dalam hatinya, dan salah satu caranya adalah dengan menundukkan semua anggota tubuhnya hanya untuk Allah semata.
Sahl bin Abdillah at-Tustarī pernah ditanya:
أَيُّ شَيْءٍ أَشَدُّ عَلَى النَّفْسِ؟ قَالَ: الإِخْلاَصُ لِأَنَّهُ لَيْسَ لَهَا فِيْهِ نَصِيْبٌ
‘Sesuatu apakah yang paling berat untuk jiwa?’ Beliau menjawab : ‘Ikhlas. Karena tidak ada bagian untuk jiwa dalam keikhlasan itu’. (Lihat: Jami’ul Ulum Wal Hikam Hal. 84)
([27]) HR. Nasa’i No. 1051, dan dishohihkan oleh Al-Albani
([28]) HR. Nasa’i No. 722, Ahmad dalam musnadnya 39/405 No. 23980 dan sanadnya dikatakan kuat oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Abu Dawud No. 873 dan dishohihkan oleh Al-Albani.
Kandungan:
Terkandung di dalamnya pensucian serta pengagungan kepada Allah dari segi rububiyyah-Nya. Bahwa Allah adalah Dzat maha pemilik kerajaan-kerajaan, maha memiliki kekuasaan, kebesaran dan keagungan. Ketika seorang hamba mengetahui hakikat keagungan sang penciptanya dan mengetahui bahwa tidak ada tandingan yang bisa menandingi penciptanya, maka ini membuatnya hanya menggantungkan diri kepada Allah semata.
Al-Áini berkata :
الْجَبَرُوْتُ فَعَلُوْتُ مِنَ الْجَبْرِ وَالْقَهْرِ، وكذلك الْمَلَكُوْتُ فَعَلُوْتُ مِنَ الْمُلْكِ…ويقال: إن زيادة الواو والتاء لأجل المبالغة في التعظيم
“الْجَبَرُوْتُ adalah فَعَلُوْتُ dari lafal al-jabr dan al-qohr (kekuasaan), dan demikian pula الْمَلَكُوْتُ adalah فَعَلُوْتُ dari الْمُلْكِ “kerajaan/kepimilikan” … dan dikatakan bahwasanya tambahan huruf و dan ت (pada kata الْجَبَرُوْتُ dan لْمَلَكُوْت) dalam rangka untuk hiperbola dalam hal pengagungan” (Syarh Sunan Abi Daud 4/80)
Kandungannya:
Di dalamnya terdapat pensucian, pujian, pengesaan Allah, dan pengikraran bahwasanya tidak yang berhak untuk disembah kecuali Allah. Karena inilah manusia dan jin diciptakan dan para Rasul diutus, sebagaimana yang Allah firmankan:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Juga firman Allah Subhanahu wa Ta’āla:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah Aku!” (QS. Al-Anbiya’: 255)
([30]) HR. Nasa’i No. 1131 dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani.