Membaca Al-Fatihah dalam Shalat
Disusun Oleh Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA
Hukum-Hukum
Pertama : Al-Fatihah adalah rukun shalat
Membaca surat Al-Fatihah merupakan rukun yang wajib dikerjakan bagi imam dan munfarid (orang yang shalat sendirian). ([1]) Hal ini berdasarkan hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu anhu,
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الكِتَابِ
Dari ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak (sah) shalat orang yang tidak membaca fatihatul kitab (surat Al-Faatihah).” ([2])
Penafian yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan tidak sahnya suatu shalat tanpa adanya membacanya surat Al-Fatihah. ([3])
Dan disebutkan pula dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ، فَهِيَ خِدَاجٌ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang shalat tidak membaca surat Al-Fatihah,maka ia cacat.” (beliau mengulanginya hingga tiga kali) ([4])
Dari hadits di atas (خِدَاجٌ) bermakna (ناقصةٌ) yaitu kurang atau cacat. Maka shalat yang cacat sejatinya tidak disebut dengan shalat secara keseluruhan. ([5])
Kedua : Hukum membaca surat Al-Fatihah bagi makmum pada shalat jahriyyah ([6])
Dalam shalat sirriyah maka hendaknya makmum membaca al-Fatihah sendiri. Adapun pada shalat jahriyyah maka makmum tidak wajib bagi makmum untuk membaca surat-Al-Fatihah menurut pendapat yang terkuat([7]). Hal ini berdasarkan firman Allah azza wa jalla:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. ([8])
Imam Ahmad berkata: “Ulama bersepakat bahwa hal ini sangat berlaku terutama dalam shalat. ([9])
Dan diriwayatkan dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَنَا فَبَيَّنَ لَنَا سُنَّتَنَا وَعَلَّمَنَا صَلَاتَنَا. فَقَالَ: إِذَا صَلَّيْتُمْ فَأَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثُمَّ لْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam khutbah kepada kami, beliau menjelaskan sunnah dan mengajarkan shalat kepada kami. Lalu beliau bersabda: “Jika kalian shalat maka luruskanlah shaf kalian, kemudian salah satu dari kalian memimpin shalat untuk kalian, jika imam bertakbir maka bertakbirlah kalian dan jika imam membaca (suatu surat) maka dengarkanlah.” ([10])
Kemudian sebuah atsar yang diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Yasar bahwa dia bertanya kepada Zaid bin Tsabit tentang bacaan beserta imam? Maka beliau mengatakan:
لَا قِرَاءَةَ مَعَ الْإِمَامِ فِي شَيْءٍ
“Tidak bacaan apapun ketika imam membaca (suatu surat).” ([11])
Sesungguhnya makmum hanya diperintahkan untuk mendengarkan saja menurut ijma’ ulama. Maka tidak wajib baginya apa yang tidak diperintahkan atasnya yaitu membaca bacaan surat. Karena dia tidak mampu mengerjakan dua hal sekaligus. Disaat dia harus mendengarkan bacaan imam, dia juga harus membaca suatu surat, maka ini tidak dibolehkan. Wallahu a’lam. ([12])
Seandainya membaca Al-Fatihah itu wajib atau mustahab bagi makmum, maka dipastikan entah dia harus membaca beriringan dengan makmum, namun dalil telah melarang hal ini. Atau entah dia diam sampai imam selesai membaca kemudian dia membaca, namun ini tidaklah diwajibkan dan tidak ada perselisihan diantara para ulama, bahkan tidak juga mustahab menurut jumhur ulama. ([13])
Tidak ada riwayat satupun dari sahabat radhiyallahu ‘anhum yang menjelaskan mereka membaca bacaan surat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada jeda bacaan yang pertama ataupun yang kedua. Seandainya hal ini di syariatkan, tentunya mereka adalah orang pertama yang berhak mengetahui hal tersebut, mengamalkannya dan mengajarkannya. ([14])
Ketiga : Jika imam sedang membaca surat selain Al-Fatihah
Ketika imam membaca bacaan surat selain surat Al-Fatihah, maka seorang makmum cukup mendengarkan bacaan dari imam saja. Hal merupakan salah satu hal yang disepakati oleh ulama. ([15])
Keempat : Kesalahan-kesalahan dalam membaca surat Al-Fatihah
Hendaknya seseorang membaca surat Al-Fatihah di dalam shalat secara keseluruhan huruf, harakat, lafadz dan ayat dengan berurutan, yaitu dengan tidak berhenti di tengah ayat dengan jeda yang lama. Jika seseorang membaca surat Al-fatihah tidak sesuai urutannya, atau merubah satu huruf sekalipun dari bacaan ayat di dalamnya atau keliru dalam membacanya, ([16]) maka bacaan Al-fatihah tersebut tidak sah, dan shalatnya pun tidak sah. ([17]) Begitulah yang disebutkan oleh mayoritas Ulama. ([18])
Hal itu disebabkan orang yang meninggalkan satu huruf -begitu juga halnya orang yang meninggalkan bacaan huruf bertasydid yang berarti huruf tersebut mewakili dua huruf-, maka bacaannya tidak sah, karena sama halnya dia tidak membacanya dengan sempurna, maka shalatnya tidak sah. ([19])
Kelima : Orang Yang Tidak Mampu Membaca surat Al-Fatihah
Orang yang tidak memiliki kemampuan membaca dan menulis dikarenakan lanjut usia atau lemahnya kemampuan dalam mempelajarinya, khususnya mempelajari baca tulis Al-Qur’an, maka shalatnya tetap sah meskipun dia tidak mampu membaca surat Al-Fatihah. Menurut kesepakatan ulama yang telah dinukilkan oleh Ibnu Taimiyyah: “Begitu pula orang yang tidak mampu membaca dan menulis, shalatnya tetap sah meskipun tidak mampu membaca surat Al-Fatihah, menurut kesepakatan ulama.” ([20])
Bagi mereka yang tidak mampu membaca surat Al-Fatihah, maka hendaknya membaca tujuh ayat selain surat Al-Fatihah yang dia bisa. Jika tidak mampu, maka dengan dzikir apa saja. ([21])
Hal ini berdasarkan hadits yang telah diriwayatkan oleh sahabat Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَتَوَضَّأْ كَمَا أَمَرَكَ اللَّهُ، ثُمَّ تَشَهَّدْ فَأَقِمْ أَيْضًا، فَإِنْ كَانَ مَعَكَ قُرْآنٌ فَاقْرَأْ، وَإِلَّا فَاحْمَدِ اللَّهَ وَكَبِّرْهُ وَهَلِّلْهُ، ثُمَّ ارْكَعْ فَاطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ اعْتَدِلْ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ فَاعْتَدِلْ سَاجِدًا، ثُمَّ اجْلِسْ فَاطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ قُمْ، فَإِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُكَ، وَإِنْ انْتَقَصْتَ مِنْهُ شَيْئًا انْتَقَصْتَ مِنْ صَلَاتِكَ
“Jika engkau hendak mendirikan shalat, berwudhu’lah sebagaimana Allah perintahkan kepadamu, kemudian hadirkanlah (hati) lalu dirikanlah. Jika engkau memiliki (hafalan) Al-Qur’an, maka bacalah. Jika tidak punya hafalan, maka bacalah tahmid, takbir dan bertasbih. Kemudian ruku’lah hingga tenang dalam ruku’, kemudian bangkitlah (dari ruku’) hingga tegak berdiri, kemudian sujudlah hingga tenang dalam sujud, kemudian duduklah hingga tenang dalam sujud, kemudian berdirilah. Jika engkau telah melakukannya, maka telah sempurna shalatmu, jika engkau menguranginya, maka berkurang juga shalatmu.” ([22])
Demikian pula dalam hadits tentang orang yang buruk dalam shalatnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا
“Jika engkau hendak shalat, maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah.” ([23])
An-Nawawi menambahkan: “Karena membaca surat Al-Fatihah merupakan rukun dari rukun-rukun shalat, maka dibolehkan baginya berpindah dan berganti kepada bacaan yang lain ketika tidak mampu, sebagaimana halnya berdiri ketika shalat.” ([24])
Bacaan
(Audio surat al-Fatihah dengan bacaan yang benar bisa Anda dengarkan langsung via aplikasi Bekal Islam)
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (1) الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعالَمِينَ (2) الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ (3) مالِكِ يَوْمِ الدِّينِ (4) إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (5) اهْدِنَا الصِّراطَ الْمُسْتَقِيمَ (6) صِراطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلا الضَّالِّينَ (7)
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (1) Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang (3) Yang menguasai hari pembalasan (4) Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (5) Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat (7) ([25])
FOOTNOTE:
([1]) Hal ini disepakati oleh jumhur ulama diantaranya:
- Malikiyyah: Membaca Al-fatihah merupakan kewajiban shalat bagi seorang imam dan orang yang shalat sendiri. Dan tidak diwajibkan bagi makmum. (lihat: As-Syarhus Shaghir Li Ad-Dirdir 1/343).
- Syafi’iyyah: Membaca surat Al-fatihah wajib bagi seorang imam dan orang yang shalat sendiri, baik di dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah. (lihat: Asnal Mathalib Li Zakariya Al-Anshariy 1/150).
- Hanabilah: “Membaca surat Al-Fatihah di setiap rakaat wajib bagi imam dan orang yang shalat sendirian, begitu juga bagi makmum. Namun, bagi makmum ditanggung oleh imam. (lihat: Al-Iqna’ Lil Hajawiy 1/133).
- Dawud Adz-Dzohiriy: Dinukilkan dari Ibnu Abdil Barr ketika menerangkan perselisihan ulama dalam bab ini. Bahwa Malik, As-Syafi’i, Ishaq, Abu Tsaur dan Jumhur ulama mengatakan tidak ada shalat tanpa membaca surat Al-Fatihah. (lihat: At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr 20/192).
An-Nawawi mengatakan: “Menurut madzhab kami, tidak sah shalat seorang yang mampu membaca surat Al-Fatihah dalam shalat namun tidak membacanya. Demikian juga yang dikatakan oleh jumhur ulama baik dari kalangan sahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya. Demikian yang diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Umar bin Al-Khatthab, Utsman bin Al-‘Ash, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudriy, Khawat bin Jubair, Az-Zuhriy, Ibnu ‘Aun, Al-Auza’i, Malik, Ibnul Mubarak, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dll (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawiyyah 3/327 dan At-Tamhid Li Ibni Abdil Barr 20/192).
([2]) HR. Bukhari no.756, Muslim no.394.
([3]) Lihat: Nailul Authar Li As-Syaukaniy 2/243.
([5]) Lihat: Nailul Authar Li As-Syaukaniy 2/243.
([6]) Shalat jahriyyah adalah shalat yang dikeraskan bacaan shalat nya terutama ketika membaca surat Al-Fatihah dan surat yang lainnya.
([7]) Ulama yang berpendapat dalam hal ini adalah:
- Hanafiyyah: Menurut Hanafiyyah membaca surat Al-Fatihah tidak diwajibkan bagi makmum, baik pada shalat jahriyyah maupun sirriyyah. (lihat: Al-‘Inayah Lil Babartiy 1/338 dan Al-Binayah Lil ‘Ainiy 2/313)
- Malikiyyah: Ibnu Abdil Barr menyebutkan: Tidak sepantasnya bagi seseorang (makmum) untuk membaca (surat Al-Fatihah atau surat yang lain) di belakang imam di dalam shalat sirriyyah maupun jahriyyah. Jika dia melakukan hal itu, maka dia telah berlaku buruk, dan dia tidak mendapatkan pahala menurut Malikiyyah. (lihat: Al-Kafi Li Ibni Abdil Barr 1/201 dan Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah Li Ibni Juzai hal.44)
- Hanabilah: Merupakan suatu yang mustahab bagi makmum untuk membaca Al-fatihah disetiap jeda bacaan imam atau disaat imam tidak mengeraskan bacaanya dalam shalat. (lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/406 dan Ar-Rauduhl Murbi’ Lil Bahutiy hal.126)
Syafi’iyyah (qaul qadim): Hendaknya seorang makmum melirihkan bacaan surat Al-Fatihah sekedar seseorang mendengar bacaannya sendiri. Karena hukum asal bagi seorang makmum adalah mendengarkan bacaan imam, agar tidak mengganggu imam. Bahkan dimakruhkan apabila sampai mengeraskan suara. Dan merupakan hal yang mustahab jika imam berhenti sejenak setelah membaca Al-Fatihah, kira-kiramemberikan kesempatan makmum untuk membaca. (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/364 dan Asnal Mathalib Li Zakariya Al-Anshariy 1/150).
- Mayoritas Ulama berpendapat sebagaimana yang dinukilkan dari Ibnu Taimiyyah bahwa hendaknya makmum diam jika mendengarkan bacaan imam dan sama sekali tidak membaca, karena mendengar bacaan imam lebih baik dari pada bacaannya sendiri. Jika dia tidak mendengar bacaan imam, maka hendaknya dia membaca sendiri, karena bacaannya lebih baik dari pada diam. Kesimpulannya adalah mendengarkan bacaan imam lebih baik dari pada membaca sendiri, dan membaca sendiri lebih baik dari pada diam. (Al-Fatawa Al-Kubra 2/286)
Ibnu Taimiyyah juga mengatakan: “Ulama terbagi menjadi tiga pendapat dalam masalah ini. Salah satunya adalah pendapat jumhur ulama, dan inilah pendapat yang paling benar. Yaitu tidak ada bacaan apapun ketika imam membaca surat Al-Fatihah dan surat yang lainnya pada saat shalat jahriyyah, baik itu bacaan surat Al-Fatihah maupun bacaan surat yang lain. Karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (Al-A’raf: 204).
Imam Ahmad mengatakan: “Ulama bersepakat bahwa Al-Fatihah diturunkan (menjadi bacaan) di dalam shalat.” Telah ditetapkan dalam hadits yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا
“Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti, jika dia bertakbir maka bertakbirlah dan jika dia membaca maka diam (dengarkan) lah.” (H.R. Ibnu Majah no.846 dan Al-Albani mengatakan hadits hasan shahih). (lihat: Majmu’ Al-Fatawa 22/294-295).
([9]) Lihat: Al-Mughni Li Ibni Qudamah 1/407, Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 22/295.
([12]) Lihat: Tabyinul Haqaiq Li Az-Zaila’i 1/131.
([13]) Lihat: Al-Fatawa Al-Kubra Li Ibni Taimiyyah 2/172.
([14]) Lihat: Al-Fatawa Al-Kubra Li Ibni Taimiyyah 2/173.
([15]) Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa ulama telah bersepakat dalam permasalahan bacaan surat selain Al-Fatihah, yaitu bagi makmum mendengarkan bacaan imam itu lebih baik dari pada mengikuti bacaan imam (lihat: Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 18/21). Demikian juga dinukilkan darinya bahwa ulama sepakat makmum yang mendengarkan bacaan imam selain surat Al-Fatihah lebih baik dari pada membacanya (Majmu’ Al-Fatawa 23/270).
([16]) An-Nawawi mengatakan: “Jika seseorang keliru dalam membaca Al-Fatihah yang dapat merubah arti, seperti membaca dhammah huruf ta’ pada lafadz (أَنْعَمْتَ) atau membaca kasrah huruf kaf pada lafadz (إِيَّاكَ نَعْبُدُ) atau membacanya dengan dua hamzah seperti (إِيَّاءَ), maka shalatnya tidak sah jika dia melakukanya dengan sengaja. Dan jika tidak sengaja melakukannya, maka wajib baginya mengulangi membaca Al-fatihah.
Namun, jika kekeliruannya tidak merubah arti, seperti membaca fathah huruf dal pada lafadz (نَعْبُدُ) menjadi (نَعْبُدَ) atau huruf nun pada lafadz (نَسْتَعِيْنُ) menjadi (نَسْتَعِيْنَ) atau huruf shad pada lafadz (صِرَاطَ) menjadi (صَرَاطَ) atau yang semisalnya, maka hal itu tidak membatalkan shalatnya dan tidak pula membatalkan bacaannya. Akan tetapi hal itu dimakruhkan dan sangat diharamkan jika hal itu dilakukan dengan sengaja. (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/393)
Dan dinukilkan dari Ibnu Utsaimin: “Contoh kekeliruan yang dapat mengubah arti, adalah seperti dalam lafadz:
(اِهْدِنَا = ihdinaa) artinya ‘tunjukilah kami’ atau ‘berikanlah hidayah kepada kami’ atau ‘tetapkanlah hidayah pada kami’.
Namun, diucapkan dengan membaca fathah hamzahnya menjadi:
(أَهْدِنَا = ahdinaa) artinya ‘berikanlah kami hadiah’.
Sama halnya jika dia mengucapkan suatu ayat:
(صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ = ‘shiratal ladziina an’amta ‘alaihim) artinya jalan yang engkau (Allah) berikan kenikmatan kepada mereka.
Namun, membacanya dhammah pada huruf ta’ menjadi:
(صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتُ عَلَيْهِمْ = ‘shiratal ladziina an’amtu ‘alaihim) artinya jalan yang aku berikan kenikmatan kepada mereka.
Maka bacaan seperti ini tidaklah sah, begitu pula shalatnya. Karena hal itu mengubah arti dan memberikan makna sejatinya yang memberikan kenikmatan adalah yang membaca ayat tersebut bukan Allah.
Dan contoh lafadz yang tidak merubah arti adalah seperti dalam lafadz (الْحَمْدُ لِلَّهِ = ‘Alhamdulillah’) namun membacanya dengan (الْحَمْدِ لِلَّهِ = ‘Alhamdilillah’) yaitu dengan membaca kasrah huruf dal. (lihat: As-Syarhul Mumti’ 3/60)
([17]) Al-Bahutiy mengatakan: “Shalatnya tidak sah jika tempat kekeliruan atau keluputannya telah terlewat jauh yang tak mungkin membenarkannya di dalam sela-sela bacaannya. Namun, jika tempat kekeliruannya masih dekat, sehingga dia mampu mengoreksi bacaan dan mengulanginya, maka hal itu tidak membatalkan bacaannya. Karena setiap kali dia mendapati kekeliruan, maka saat itu pula dia mengoreksi dan membenarkannya. (lihat: Kassyaful Qina’ 1/338)
([18]) Ulama yang berpendapat demikian adalah:
- Syafi’iyyah: Di dalam shalat wajib membaca surat Al-Fatihah dengan keseluruhan huruf dan tasydidnya. Ada empat belas huruf yang bertasydid, tiga diantaranya ada di dalam ‘basmalah’. Apabila tidak terbaca satu huruf atau meringankan bacaan tasydid atau mengubah satu huruf ke huruf yang lain padahal mampu mengucapkannya dengan baik dan benar, maka bacaanya tidak sah. (Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/392, lihat: Al-Mughni 1/348 dan Tuhfatul Muhtaj Li Ibni Hajar Al-Haitami 2/46)
- Hanabilah: Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya nukilan Al-Bahuti dalam Kassyaful Qina’. Ibnu Qudamah juga menyebutkan: Al-Qadhi Abu Ya’la menyebutkan bahwa meninggalkan bacaan dari huruf yang bertasydid tidak membatalkan bacaan dan shalat. Namun, yang benar adalah hal itu membatalkan, karena huruf bertasydid mewakili dua huruf. Sebagaimana huruf ra’ dalam lafadz (الرَّحْمَن) dan huruf lam dalam lafadz (الَّذِيْن) jika meninggalkan satu huruf darinya maka hal itu akan merubah makna. Dikecualikan bagi yang memiliki tujuan menampakkan bacaan idzgham pada bacaan tersebut, seperti melafadzkannya (الرَّحْمَن) dengan menampakkan huruf lam Makah hal itu tidak membatalkan shalat, karena hanya meninggalkan idgham saja dan tidak merubah arti. (lihat: Al-Mughni 1/348)
- Salah satu pendapat Malikiyyah: Tidak dibolehkan shalat di belakang orang yang salah dalam membaca surat Al-Fatihah dan kesalahannya dapat merubah makna. Seperti membaca kasrah pada huruf kaf dalam lafadz (إِيَّاكَ نَعْبُدُ). Dan membaca dhammah pada huruf ta’ dalam lafadz (أَنْعَمْتَ). Namun, apabila kesalahannya tidak merubah makna, seperti membaca kasrah pada huruf dal dalam lafadz (الْحَمْدُ لِلَّهِ), maka hal tersebut tidak membatalkan shalat. (lihat: Al-Bayan wa At-Tahshil 1/449)
Catatan:
Seringkali kita mendengar seseorang yang diamanahkan untuk memimpin suatu shalat, ketika membaca huruf dhad (ض) merubahnya dengan membaca huruf dzo (ظ) pada lafadz (وَلَا الضَّالِّينَ). Maka dalam hal ini menurut para ulama berpendapat bahwa shalatnya tetap sah. Demikian yang disebutkan oleh madzhab Maliki (lihat: As-Syarhul Kabir Li Ad-Dirdir wa Hasyiyah Ad-Dasuqi 1/329), pendapat masyhur dari madzhab Hanabilah (lihat: Kassyaful Qina’ Li Al-Bahutiy 1/482 dan Al-Mubdi’ Li Ibni Muflih 2/73), mayoritas madzhab Hanafi (lihat: Hasyiyah Ibnu Abidin 1/631), salah satu pendapat madzhab Syafi’i (lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/392) dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah (lihat: Majmu’ Al-Fatawa 23/350) dan Ibnu Katsir (Tafsir Ibnu Katsir 1/143). Alasannya adalah karena berdekatannya makhraj hurufnya dan berat dalam membedakan keduanya. (lihat: Al-Majmu’ 3/392-393).
([19]) Lihat: Kassyaful Qina’ Lil Bahutiy 1/338.
([20]) Lihat: Majmu’ Al-Fatawa 23/75.
([21]) Ar-Ramliy As-Syafi’i mengatakan: “Jika seseorang tidak mampu membaca surat Al-Fatihah dan tidak mungkin untuk mempelajarinya karena sempitnya waktu atau daerah yang jauh atau sulit mendapatkan mushaf atau terbatasnya orang yang mengajarkan Al-Qur’an, maka hendaknya dia membaca tujuh ayat selain Al-Fatihah, jika tidak mampu maka dengan berdzikir seperti tasbih atau tahlil. (lihat: Nihayatul Muhtaj Li Ar-Ramliy 1/484)
Al-Bahutiy Al-Hanbaliy menuturkan: “Orang yang tak mampu membaca surat Al-Fatihah dengan baik, hendaknya dia berusaha mempelajarinya, karena hal itu merupakan rukun yang wajib dilaksanakan dalam shalat. Jika dia tidak berusaha mempelajarinya padahal mampu, maka shalatnya tidak sah dikarenakan meninggalkan kewajiban disertai kemampuan. (lihat: Kassyaful Qina’ Lil Bahutiy 1/340)
([22]) H.R. Tirmidzi no.302 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([23]) HR. Bukhari no.6251, Muslim no.397.
([24]) Lihat: Al-Majmu’ Li An-Nawawi 3/374.
Dan yang lebih penting lagi adalah selayaknya seseorang ketika melaksanakan sholat untuk
memahami dan menghayati setiap kandungan yang ada dalam surat al-fatihah tersebut dalam setiap ayatnya, Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
“Allah Ta’ala berfirman, “Aku membagi shalat (yaitu surat Al-Fatihah, pent.) untuk-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan untuk hamba-Ku sesuai dengan apa yang dia minta.”ك
فإذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي
Ketika hamba berkata (yang artinya), “Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memujiku.”
وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي
Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku menyanjungku.” (sanjungan yaitu pujian yang berulang-ulang, pent.)
وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي
Ketika hamba berkata (yang artinya), “Yang menguasai hari pembalasan”; Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuliakanku.” Dan terkadang Allah berfirman, “Hamba-Ku memasrahkankan urusannya kepada-Ku.”
فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
Ketika hamba berkata (yang artinya), “Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya kepada Engkau kami meminta pertolongan”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah antara Aku dan hamba-Ku. Dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta.”
فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل
Dan ketika hamba berkata (yang artinya), “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat”; Allah Ta’ala berfirman, “Ini adalah untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.” (HR. Muslim 1/296 no. 395)