DAFTAR ISI:
- Sejarah Shalat
– Shalat Para Nabi Terdahulu
– Tata Cara Shalat Para Nabi Terdahulu
– Awal Disyariatkannya Shalat adalah Shalat Malam
– Shalat Lima Waktu
– Perintah Shalat Lima Waktu dengan Bilangan Dua Rakaat
– Perubahan Arah Kiblat, Dari Baitul Maqdis ke Ka’bah
– Shalat Pertama yang Rasulullah Kerjakan Menghadap Ka’bah - Keutamaan Shalat
- Adab-adab Menuju Masjid dan Ketika di Masjid
- Khusyu’
– Keutamaan Khusyu’
– Sebab-sebab yang Membantu untuk Khusyu’
Sejarah Shalat
Shalat Para Nabi Terdahulu
Salah satu hal yang menunjukkan akan agungnya ibadah shalat yang diperintahkan oleh Allah kepada orang-orang yang beriman adalah bahwa shalat merupakan ibadah yang Allah syariatkan pula kepada para Nabi dan Rasul terdahulu. Sebelum turunnya perintah shalat kepada Nabi, Allah telah mensyariatkan shalat kepada para Nabi dan Rasul terdahulu. Mereka diperintahkan mendirikan shalat sebagaimana perintah shalat yang didirikan oleh kaum muslimin pada umumnya. Namun, mengenai tatacara, waktu dan hal lainnya tidak disebutkan secara rinci. Diantara dalil yang menunjukkan akan hal itu diantaranya adalah([1]):
Adapun shalatnya Nabi Ibrahim álaihis salam, maka Allah menyebut Nabi Ibrahim, ketika meninggalkan Nabi Isma’ail di lembah yang tak ada orang sama sekali, beliau bermunajat kepada Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an, beliau berkata :
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah rezeki kepada mereka dari buah-buahan, suapaya mereka bersyukur.” ([2])
Ibrahim tidak menyebut amalan-amalan apapun selain shalat, yang ini menunjukkan tidak ada amalan yang paling utama seperti shalat. Demikian juga Allah berfirman:
وَإِذْ بَوَّأْنَا لِإِبْرَاهِيمَ مَكَانَ الْبَيْتِ أَنْ لَا تُشْرِكْ بِي شَيْئًا وَطَهِّرْ بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْقَائِمِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): “Janganlah kamu mempersekutukan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf dan orang-orang yang beribadah dan orang-orang yang ruku’ dan sujud.” ([3])
Begitu pula disebutkan dalam firman Allah doa Ibrahim.
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Ya Tuhanku, jadikanah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat. Ya Tuhan kami perkenankanlah doaku.” ([4])
Tentang shalatnya Nabi Isma’il, Allah berfirman :
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma’il (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya dan dia adalah seorang Rasul dan Nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” ([5])
Allah berfirman tentang Nabi Syu’aib ketika melarang kaumnya menyembah sesembahan selain Allah azza wa jalla dan mencegah dari berbuat curang dalam masalah timbangan, maka kaumnya berkata :
يَا شُعَيْبُ أَصَلَاتُكَ تَأْمُرُكَ أَنْ نَتْرُكَ مَا يَعْبُدُ آبَاؤُنَا أَوْ أَنْ نَفْعَلَ فِي أَمْوَالِنَا مَا نَشَاءُ إِنَّكَ لَأَنْتَ الْحَلِيمُ الرَّشِيدُ
“Hai Syu´aib, apakah shalatmu menyuruh kamu agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang kami memperbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” ([6])
Di dalamnya terdapat dalil bahwa kaum Nabi Syu’aib tidak mengetahui amalan apapun yang paling agung yang dapat mengusik meraka keculai shalat. ([7])
Nabi Musa yang disebut dengan Kalimurrahman (orang yang diajak bicara oleh Allah), sesungguhnya perintah pertama yang Allah perintahkan kepadanya setelah tauhid adalah shalat. Allah berfirman :
فَاسْتَمِعْ لِمَا يُوحَى. إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي
“Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” ([8])
Hal ini menunjukkan agungnya ibadah shalat karena Allah tidak menyebutkan dan mendahulukan amalan ibadah yang lain sebelum shalat.
Demikian pula perintah Allah kepada Nabi Musa agar memerintahkan kaumnya untuk shalat. Allah berfirman:
وَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى وَأَخِيهِ أَنْ تَبَوَّآ لِقَوْمِكُمَا بِمِصْرَ بُيُوتًا وَاجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قِبْلَةً وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan Kami wahyukan kepada Musa dan saudaranya: “Ambillah beberapa buah rumah di Mesir untuk tempat tinggal bagi kaummu dan jadikanlah rumah-rumahmu itu qiblat (tempat shalat) dan dirikanlah shalat serta berikanlah berita gembira untuk orang-orang yang beriman.” ([9])
Tentang shalatnya Nabi Daud, Allah menyampaikan ketika Nabi Daud ingin bertaubat dan kembali kepada Allah, beliau tidak memiliki cara selain dengan mendirikan shalat.
فَاسْتَغْفَرَ رَبَّهُ وَخَرَّ رَاكِعًا وَأَنَابَ
“Maka ia meminta ampun kepada Rabbnya lalu menyungkur sujud dan bertaubat.” ([10])
Adapun shalatnya Nabi Sulaiman, maka Allah menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman pernah terlambat menunaikan shalat ashar disebabkan kuda-kuda beliau, kemudian beliau menyesal hal tersebut.
وَوَهَبْنَا لِدَاوُودَ سُلَيْمَانَ نِعْمَ الْعَبْدُ إِنَّهُ أَوَّابٌ. إِذْ عُرِضَ عَلَيْهِ بِالْعَشِيِّ الصَّافِنَاتُ الْجِيَادُ. فَقَالَ إِنِّي أَحْبَبْتُ حُبَّ الْخَيْرِ عَنْ ذِكْرِ رَبِّي حَتَّى تَوَارَتْ بِالْحِجَابِ. رُدُّوهَا عَلَيَّ فَطَفِقَ مَسْحًا بِالسُّوقِ وَالْأَعْنَاقِ
“Dan Kami karuniakan Sulaiman kepada Daud, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (Ingatlah) ketika dipertunjukkan kepada Sulaiman kuda-kuda yang tenang di waktu berhenti dan cepat berlari pada waktu sore. Maka ia berkata, “Sesungguhnya aku menyukai kesenangan terhadap barang yang baik (kuda) hingga melalaikan diriku dari mengingat Tuhanku sampai kuda itu tertutup dari pandangan.” (Ia berkata), “Bawalah kuda-kuda itu kembali kepadaku!” Lalu ia menebas kaki dan lehernya.” ([11])
Ibnu Katsir berkata, “Banyak ulama ahli tafsir yang menyebutkan bahwa Nabi Sulaiman tersibukkan dengan penampilan kuda-kuda yang dimilikinya hingga terlewatkan waktu shalat Ashar. Dan yang pasti, beliau tidak meninggalkan shalat Ashar dengan sengaja, akan tetapi karena lupa. Sebagaimana Rasulullah disibukkan dengan penggalian parit pada waktu perang Khandaq dari shalat Ashar, hingga beliau mendirikan shalatnya setelah terbenamnya matahari” ([12])
Adapun shalatnya Nabi Zakaria, maka Allah berfirman :
فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ
Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di mihrab. ([13])
Tentang shalatnya Nabi Yunus ‘alaihis salam, Allah berfirman
فَلَوْلَا أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ. لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ
“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang bertasbih kepada Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.”([14])
Sebagia salaf menafsirkan “bertasbih” dengan “mengerjakan shalat”. Ibnu ‘Abbas berkata, “Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat”. Begitu pula yang dikatakan oleh Sa’id bin Jabir, Qatadah dan sebagainya.” ([15])
Adapun shalatnya Nabi ‘Isa, maka diantara mukjizat beliau adalah berbicara sedangkan beliau masih dalam gendongan. Dan diantara yang beliau ucapkan :
إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا. وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْتُ وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا
“Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi. Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup.” ([16])
Allah berfirman menerangkan para Nabi dari kalangan Bani Isra’il :
وَلَقَدْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَبَعَثْنَا مِنْهُمُ اثْنَيْ عَشَرَ نَقِيبًا وَقَالَ اللَّهُ إِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ أَقَمْتُمُ الصَّلَاةَ وَآتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَآمَنْتُمْ بِرُسُلِي وَعَزَّرْتُمُوهُمْ وَأَقْرَضْتُمُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا لَأُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلَأُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ فَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ مِنْكُمْ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاءَ السَّبِيلِ
Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat diantara mereka dua belas orang pemimpin dan Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku. ([17])
Allah menyebutkan para Nabi satu persatu dan mensifati mereka diantaranya dengan shalat, Allah berfirman:
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh dan dari keturunan Ibrahim dan Israil dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.” ([18])
Yang dimaksud dengan bersujud tersebut adalah shalat. Karenanya setelah itu Allah berfirman tentang kaum setelah para nabi yang tidak shalat sebagaimana para nabi. Allah berfirman:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا
“Kemudian datanglah setelah mereka pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti hawa nafsunya, maka mereka kelak akan tersesat.” ([19])
Tata Cara Shalat Para Nabi terdahulu
Mengenai bilangan dan tata cara shalat yang dikerjakan oleh para nabi terdahulu maka para Nabi terdahulu senantiasa mendirikan shalat lima waktu sebagaimana shalat yang dikerjakan dan diajarkan oleh Jibril kepada Nabi. Hal ini berdasarkan riwayat berikut :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّنِي جِبْرِيلُ عِنْدَ الْبَيْتِ مَرَّتَيْنِ، صَلَّى بِيَ الظُّهْرَ حِينَ مَالَتِ الشَّمْسُ قَدْرَ الشِّرَاكِ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى بِيَ الْفَجْرَ حِينَ حُرِّمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَ الظُّهْرَ حِينَ كَانَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، وَصَلَّى بِيَ الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ، وَصَلَّى بِيَ الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ، وَصَلَّى بِيَ الْعِشَاءَ حِينَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، وَصَلَّى بِيَ الْغَدَاةَ بَعْدَمَا أَسْفَرَ، ثُمَّ الْتَفَتْ إِلَيَّ فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، الْوَقْتُ فِيمَا بَيْنَ هَذَيْنِ الْوَقْتَيْنِ، هَذَا وَقْتُ الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَكَ
Dari Ibnu Abbas, berkata: Rasulullah bersabda: Jibril mengimamiku shalat di Baitul Haram dua kali. Dia mengimamiku shalat dzuhur ketika matahari tergelincir (dan bayang-bayang) seperti tali sendal dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika mega merah menjadi hilang dan shalat shubuh ketika diharamkan bagi oang yang puasa untuk makan dan minum. Kemudian dia mengimamiku shalat dzuhur pada keesokan harinya ketika bayang-bayang suatu benda seperti benda aslinya dan shalat ashar ketika bayang-bayang suatu benda dua kali dari benda aslinya dan shalat maghrib ketika orang yang puasa berbuka dan shalat isya’ ketika lewat sepertiga malam dan shalat shubuh setelah waktu isfar. Kemudian dia menoleh ke arahku, seraya berkata: “Wahai Muhammad! Waktu shalat adalah antara dua waktu ini yang merupakan waktu shalat para Nabi sebelum engkau.” ([20])
Adapun umat-umat para nabi terdahulu, maka telah datang dalil yang menunjukan bahwa bani Israil shalatnya kurang dari lima waktu dalam sehari semalam. Disebutkan dalam hadits yang panjang tentang peristiwa Isra’ dan Mi’raj, ketika Nabi turun dengan membawa perintah shalat lima waktu, kemudian bertemu dengan Nabi Musa, lalu Nabi Musa menyarankan kepada beliau agar tetap meminta keringanan lagi kepada Allah agar kurang dari 5 waktu. Ibnu Rajab mengomentari hadits tersebut dengan berkata :
وفي رواية شريك، عن أنس المتقدمة: أن موسى قال لمحمد – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – بعد أن صارت خمسا: (قد – والله – رَاوَدْتُ بَنِي إِسْرَائِيْلَ عَلَى أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ فَتَرَكُوْهُ) وهو يدل على أن الصلوات الخمس لم تفرض على بني إسرائيل، وقد قيل: أن من قبلنا كانت عليهم صلاتان كل يوم وليلة وقد روي عن ابن مسعود، أن الصلوات الخمس مما خص الله به هذه الأمة.
Riwayat Syarik menyebutkan, dari Anas: bahwa setelah ditetapkan perintah shalat lima waktu kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, maka Nabi Musa berkata kepada Nabi Muhammad, “Demi Allah, aku telah membujuk Bani Isra’il agar mengerjakan shalat yang kurang dari lima waktu, namun mereka meninggalkannya”.
Ini menunjukkan bahwa shalat lima waktu tidaklah diwajibkan kepada Bani Isra’il. Dan dikatakan: sesungguhnya kaum sebelum kita diperintahkan dua shalat dalam sehari semalam. Diriwayatkan pula dari Ibnu Mas’ud bahwa shalat lima waktu merupakan ibadah yang dikhususkan bagi umat ini. Wallahu a’lam. ([21])
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya: Apakah umat terdahulu diwajibkan shalat sebagaimana diwajibkannya kepada kita seperti halnya waktu dan teta cara pelaksanaannya ataukah tidak?
Maka beliau menjawab: Mereka diwajibkan shalat sebagaimana kita mendirikannya di waktu-waktu yang telah ditentukan. Namun, tidak sama dengan waktu dan tatacara shalat kita. Wallahu a’lam. ([22])
Awal disyariatkannya shalat adalah shalat malam
Syariat shalat pertama kali yang Allah perintahkan kepada Nabi adalah ibadah shalat malam. Perintah tersebut turun kepada Nabi pada permulaan islam yang kemudian dihapus dan digantikan dengan mendirikan shalat lima waktu.([23]) Sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Muzzammil, Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ. قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا. نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا
Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil. (Yaitu) separuhnya atau kurang sedikit dari itu. ([24])
Ketika turun ayat tersebut, Nabi bersama para sahabat senantiasa mengerjakan perintah Allah ini selama setahun. Setelah setahun Allah menghapus perintah dalam ayat tersebut dan menggantinya dengan perintah yang ada dalam ayat terakhir dari suarat Al-Muzzammil:
إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَى مِنْ ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِنَ الَّذِينَ مَعَكَ وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran” ([25])
Muqathil dan Ibnu Kaisan mengatakan:
كَانَ هَذَا بِمَكَّةَ قَبْلَ أَنْ تُفْرَضَ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ بِالصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ.
“Ayat ini turun di Makkah sebelum diwajibkannya shalat lima waktu. Hingga akhirnya perintah tersebut dihapus dan digantikan dengan perintah mendirikan shalat lima waktu.” ([26])
Sisi Pendalilan
Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menurunkan perintah untuk mendirikan shalat malam kepada NabiNya dan juga kepada para Sahabat. At-Thabari menjelaskan hal itu dalam tafsirnya:
خَيَّرَهُ اللهُ تَعَالَى ذِكْرَهُ حِيْنَ فَرَضَ عَلَيْهِ قِيَامَ اللَّيْلِ بَيْنَ هَذِهِ الْمَنَازِلِ أَيْ ذَلِكَ شَاءَ فَعَلَ، فَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ فِيْمَا ذُكِرَ يَقُوْمُوْنَ اللَّيْلَ، نَحْوَ قِيَامِهِمْ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْمَا ذُكِرَ حَتَّى خَفَّفَّ ذَلِكَ عَنْهُمْ
Allah menjadikan Nabi sebagai manusia pilihan yaitu dengan menyebut beliau ketika mewajibkannya untuk menunaikan shalat malam (qiyamullail). Disebutkan pula, bahwa yang berkewajiban mendirikan shalat malam adalah Rasulullah dan para sahabat. Mereka mendirikan shalat malam ini sebagaimana mereka mendirikan shalat pada bulan ramadhan hingga Allah menurunkan ayat yang memberikan keringanan kepada mereka.
Adapun jarak antara ayat pertama dengan ayat yang terakhir sekitar satu tahun. ([27]) Hal ini berdasarkan riwayat-riwayat berikut :
عَنْ سَعْدِ بْنِ هِشَامِ بْنِ عَامِرٍ وَحَكِيْمُ بْنُ أَفْلَحَ، قَالَ سَعْدٌ: فَقُلْتُ يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِيْنَ…أَنْبِئِيْنِيْ عَنْ قِيَامِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: أَلَسْتَ تَقْرَأُ “يَا أَيُّهَا الْمُزَمِّل؟ قُلْتُ: بَلَى، قَالَتْ فَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجّلَّ افْتَرَضَ قِيَامَ الَّليْلِ فِيْ أَوَّلِ هَذِهِ السُّوْرَةِ فَقَامَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ حَوْلًا وَأَمْسَكَ اللهُ خَاتِمَتَهَا اثْنَيْ عَشَرَ شَهْرًا فِيْ السَّمَاءِ حَتَّى أَنْزَلَ اللهُ فِيْ آخِرِ هَذِهِ السُوْرَةِ التَّخْفِيْفَ فَصَارَ قِيَامُ الَّليْلِ تَطَوُّعًا بَعْدَ فَرِيْضَةٍ…”
Dari Sa’ad bin Hisyam bin ‘Amir dan Hakim bin Aflah, Sa’ad berkata: Wahai Ummul-mu`minin…beritahukan kepadaku bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallm? Lalu Aisyah jawab : “Bukankah engkau hafal surat “Ya Ayyuhal-muzammil”? lalu akupun jawab: “Ya” Aisyah berkata: Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla mewajibkan shalat malam di awal surat ini maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya selama setahun dan Allah tahan penutup surat ini di langit selama dua belas bulan hingga Allah turunkan keringanan di akhir surat maka shalat malam menjadi sunah setelah sebelumnya hukumnya wajib…”([28])
Ibnu Abbas juga berkata :
لَمَّا نَزَلَ أَوَّلُ الْمُزَّمِّلِ كَانُوا يَقُومُونَ نَحْوًا مِنْ قِيَامِهِمْ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى نَزَلَ آخِرُهَا، فَكَانَ بَيْنَ أَوَّلِهَا وَآخِرِهَا قَرِيبٌ مِنْ سَنَةٍ
Ketika turun ayat pertama dari surat Al-Muzzammil, mereka mendirikan shalat sebagaimana halnya shalat yang mereka dirikan pada bulan Ramadhan hingga turunlah ayat yang terakhir. Dan jarak antara ayat pertama dengan ayat terakhir mendekati satu tahun. ([29])
Shalat lima waktu
Para ulama berselisih sebelum diwajibkan shalat lima waktu maka berapa kali-kah kaum muslimin shalat dalam sehari semalam?. Ibnu Hajar berkata, “Sekelompok ulama berpendapat bahwasanya sebelum al-Israa’, tidak ada shalat yang diwajibkan kepada kaum muslimin selain shalat malam tanpa ada batasan jumlah rakaat tertentu. Dan Al-Harbi berpendapat bahwa sebelum al-Israa’ shalat diwajibkan dua raka’at di pagi hari dan dua raka’at di sore hari” ([30])
Adapun diwajibkan shalat 5 waktu sehari semalam yaitu terjadi pada waktu malam Isra’ Mi’raj. Pada malam tersebut awalnya Allah mensyariatkan shalat sebanyak lima puluh kali, hingga akhirnya Allah ringankan menjadi lima kali shalat. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam beberapa riwayat hadits yang menerangkan perjalanan isra’ mi’raj Nabi. Diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَوْحَى اللهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى، فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ “، قَالَ: ” فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي، فَقُلْتُ: يَا رَبِّ، خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي، فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقُلْتُ: حَطَّ عَنِّي خَمْسًا، قَالَ: إِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ، فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ “، قَالَ: ” فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى، وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ حَتَّى قَالَ: يَا مُحَمَّدُ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ لِكُلِّ صَلَاةٍ عَشْرٌ، فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلَاةً، قَالَ: ” فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ “، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَقُلْتُ: قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ.
Dari Anas bin Malik berkata, Rasulullah bersabda: “Allah memberikan wahyu kepadaku, lalu memerintahkan kepadaku sholat lima puluh kali sehari semalam, kemudian aku kembali bertemu dengan Musa. Musa bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Apa yang Allah perintahkan padamu?” Aku menjawab: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan lima puluh kali sholat dalam sehari semalam.” Musa berkata: “Kembalilah dan mintalah keringanan kepada Tuhanmu, sungguh umatmu tak kan mampu (menunaikan) hal itu. Dan sesungguhnya aku telah dicoba dengan umatku (bani isra’il dan pemuka-pemukanya).” Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku dan berkata: “Ya Allah berilah keringanan kepada umatku”, Lalu Dia mengurangi menjadi lima kali shalat. Kemudian aku kembali kepada Musa dan berkata: “Telah diringankan kepadaku menjadi lima kali.” Dia lantas berkata: ‘Sunggguh, umatmu tidak akan mampu menunaikannya, kembalilah menghadap Rabb-mu dan mintalah keringanan.’ Aku senantiasa menghadap Allah dan kembali kepada Musa, hingga kemudian Allah berfirman: “Wahai Muhammad, sesungguhnya dia adalah lima kali shalat setiap hari dan satu kali shalat setara dengan sepuluh (kali shalat), sama dengan lima puluh kali shalat. Kemudian aku turun dan bertemu Musa dan mengabarkannya. Maka dia berkata: ‘kembalilah menghadap Rabb-mu dan mintalah keringanan.’ Lantas Rasulullah menjawab: ’Aku sudah kembali kepada Rabb-ku hingga aku merasa malu kepadaNya.” ([31])
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat lima waktu diwajibkan pada malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Isra’ dan Mi’raj. Ulama juga sepakat bahwa perintah diwajibkannya shalat lima waktu, bilangan rakaat, ruku’ dan sujudnya adalah saat peristiwa tersebut. Namun, mereka berbeda pendapat mengenai waktu terjadinya peristiwa itu. ([32])
Adapun lima waktu yang diharuskan untuk didirikan shalat adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah dalam firmanNya:
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”. ([33])
Di dalam ayat ini telah dijelaskan waktu-waktu didirikannya shalat lima waktu. (لِدُلُوكِ الشَّمْسِ) maksudnya adalah dari sesudah matahari tergelincir. Dan waktu mulai tergelincirnya matahari dari pertengahan langit menuju arah barat, merupakan permulaan waktu shalat dzuhur dan termasuk diantaranya adalah shalat ashar.
Adapaun (إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ) maksudnya adalah sampai gelap malam. Yaitu permulaan gelap malam waktu shalat maghrib dan shalat isya setelahnya.
Lalu (وَقُرْآنَ الْفَجْرِ) maksudnya adalah dan dirikanlah pula shalat subuh. Yaitu shalat fajar, Demikianlah petunjuk umum tentang waktu-waktu shalat lima waktu yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an. ([34])
Perintah shalat lima waktu dengan bilangan dua rakaat
Bilangan rakaat pada shalat yang diperintahkan dari peristiwa isra’ dan mi’raj adalah dua rakaat dan dilaksanakan pada lima waktu yaitu pada waktu dzuhur, ashar, isya’, shubuh dan tiga rakaat pada shalat maghrib. Kemudian ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah diwajibkan menjadi empat rakaat kecuali maghrib dan shubuh, yaitu setelah kedatangan beliau ke Madinah.
Aisyah berkata :
فَرَضَ اللَّهُ الصَّلاَةَ حِينَ فَرَضَهَا رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِي الحَضَرِ وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِي صَلاَةِ الحَضَرِ
“Pertama kali Allah memerintahkan salat adalah dua rakaat dua rakaat([35]), baik saat muqim maupun saat perjalanan. Setelah itu, ditetapkanlah ketentuan itu untuk shalat safar dan ditambahkan lagi untuk shalat disaat muqim. ([36])
Dan dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa ‘Aisyah berkata:
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ هَاجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفُرِضَتْ أَرْبَعًا، وَتُرِكَتْ صَلاَةُ السَّفَرِ عَلَى الأُولَى
Shalat telah diwajibkan (pertama kali) sebanyak dua rakaat, kemudian ketika Nabi hijrah diwajibkan menjadi empat rakaat. Sedangkat shalat safar dibiarkan seperti semula. ([37])
Dalam riwayat yang lain ‘Aisyah berkata:
فُرِضَتْ صَلَاةُ السَّفَرِ وَالْحَضَرِ رَكْعَتَيْنِ، فَلَمَّا أَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ زِيدَ فِي صَلَاةِ الْحَضَرِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ، وَتُرِكَتْ صَلَاةُ الْفَجْرِ لِطُولِ الْقِرَاءَةِ، وَصَلَاةُ الْمَغْرِبِ لِأَنَّهَا وِتْرُ النَّهَارِ
Shalat ketika safar dan muqim diwajibkan sebanyak dua rakaat. Ketika Rasulullah berada di Madinah ditambahkan dua rakaat dua rakaat pada shalat ketika muqim. Sedangkan shalat shubuh dibiarkan (seperti semula) karena bacaannya yang panjang, begitu juga dengan shalat maghrib karena ia merupakan witr (shalat) siang hari. ([38])
Kemudian setelah ditetapkan perintah shalat dengan empat rakaat, diberikan keringanan dalam mengerjakan shalat ketika safar. Hal itu terjadi ketika Allah menurunkan firman-Nya:
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ
Maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat(mu). ([39])
Kesimpulannya, shalat fardu (Dzuhur, Ashar, dan Isya) pertama kali diwajibkan ketika al-Israa’ adalah 2 raka’at, lalu ketika Nabi berhijrah berubah diwajibkan menjadi 4 raka’at, lalu Allah beri keringanan jika dalam safar menjadi 2 raka’at lagi. Sehingga statusya sekarang shalat safar 2 raka’at bukanlah ‘azimah([40]) akan tetapi rukhsah.([41])
Perubahan Arah Kiblat, dari Baitul Maqdis Ke Ka’bah
Ketika di Mekah Rasulullah mengerjakan shalat dengan menghadap ke Ka’bah sekaligus menghadap ke Baitul Maqdis. Yaitu dengan menjadikan ka’bah berada dihadapan beliau dan antara beliau dan Baitul Maqdis([42]). Namun ketika Nabi berhijrah ke Madinah maka hal ini tidak bisa beliau lakukan lagi, jika beliau menghadap Baitul Maqdis maka beliau tidak bisa menghadap Ka’bah. Karena Baitul Maqdis berada di sebelah utara kota Madinah, sementara Ka’bah terletak di sebelah selatan kota Madinah. Maka beliaupun rindu agar bisa shalat menghadap Ka’bah.
Rasulullah lebih senang jika dalam arah kiblat dalam shalat dihadapkan ke ka’bah. Al-Baraa’ bin ‘Aazib, berkata:
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الكَعْبَةِ
Rasulullah senang dengan dihadapkan kiblat ke arah ka’bah. ([43])
Hal ini (Nabi shalat di Madinah menghadap Baitul Maqdis dan membelakangi Ka’bah) berlangsung sekitar 16 bulan di Madinah, hingga akhirnya Allah menurunkan wahyuNya dengan merubah arah kiblat kepada Ka’bah. Allah berfirman :
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. ([44])
Ibnu Abbas, berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ بِمَكَّةَ نَحْوَ بَيْتِ الْمَقْدِسِ، وَالْكَعْبَةُ بَيْنَ يَدَيْهِ، وَبَعْدَ مَا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، ثُمَّ صُرِفَ إِلَى الْكَعْبَة
Dahulu ketika di Makkah Rasulullah mengerjakan shalat menghadap Baitul Maqdis, sedangkan Ka’bah berada di hadapan beliau. Setelah hijrah ke Madinah selama enam belas bulan, kemudian (qiblat) dirubah menghadap Ka’bah. ([45])
Shalat Pertama Yang Rasulullah Kerjakan Menghadap Ka’bah
Telah datang riwayat-riwayat yang menunjukan bahwa tatkala turun ayat tentang perubahan kiblat maka terjadi perubahan kiblat di masjid-masjid yang ada tatkala itu di kota Madinah. Diantaranya Masjid Nabawi([46]), Masjid Quba([47]), dan Masjid Bani Salimah([48]). Menurut Ibnu Hajar rahimahullah Masjid pertama kali yang mengalami perubahan kiblat adalah Masjid Banu Salimah, yaitu ketika Nabi sedang sholat duhur di situ, jadi perubahan kiblat terjadi ditengah-tengah Nabi sedang shalat dzhuhur. Setelah itu Nabi sholat ashar di Masjid Nabawi maka langsung menghadap Ka’bah sejak awal shalat. Adapun para penduduk Quba di Masjid Quba maka mereka baru menerima kabar keesokan harinya tatkala mereka sedang sholat subuh.
Ibnu Hajar berkata,
وَالتَّحْقِيقُ أَنَّ أَوَّلَ صَلَاةٍ صَلَّاهَا فِي بَنِي سَلِمَةَ لَمَّا مَاتَ بِشْرُ بْنُ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ الظُّهْرُ وَأَوَّلُ صَلَاةٍ صَلَّاهَا بِالْمَسْجِدِ النَّبَوِيِّ الْعَصْر وَأما الصُّبْح فَهُوَ من حَدِيث ابن عُمَرَ بِأَهْلِ قُبَاءٍ
“Yang benar bahwasanya sholat yang pertama kali dilakukan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam (tatkala datang perintah merubah kiblat) di Bani Salimah ketika Bisyr bin al-Baroo’ bin Ma’ruur wafat adalah sholat dzhuhur. Dan sholat pertama yang Nabi kerjakan di Masjid Nabawi adalah sholat ashar. Adapun sholat subuh maka berdasarkan hadits Ibnu Umar yaitu di Masjid Quba” ([49]) Yaitu di Quba pada waktu shalat subuh keesokan harinya ([50]).
Ibnu Katsir berkata :
وَذَكَرَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْمُفَسِّرِيْنَ وَغَيْرِهِمْ: أَنَّ تَحْوِيْلَ الْقِبْلَةِ نَزَلَ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ وَقَدْ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَذَلِكَ فِي مَسْجِدِ بَنِي سَلِمَةَ، فَسُمَّيَ مَسْجِدَ الْقِبْلَتَيْنِ
“Banyak ahli tafsir dan para ulama yang lainnya menyebutkan bahwa (perintah) perubahan qiblat turun kepada Rasulullah shallallahu álaihi wasallam sementara Nabi telah sholat dua rakaát dari sholat dzuhur, yaitu di Masjid Bani Salimah. Maka dinamakanlah Masjid tersebut dengan Masjid al-Qiblatain” ([51])
Terjadinya perubahan kiblat pada pertengahan bulan Rojab tahun kedua hijriyah menurut pendapat jumhur (mayoritas) ulama([52])
Keutamaan Shalat
Keutamaan sholat sangatlah banyak yang menunjukan akan agungnya ibadah sholat. Seseorang hendaknya mengenali keutamaan-keutamaan tersebut agar lebih semangat dalam menegakan ibadah sholat. Diantara keutaman-keutamaan tersebut adalah :
- Sholat merupakan cahaya dan penyelamat di hari kiamat. Barang siapa yang menjaga sholat, maka akan menjadi cahaya dan penyelamat baginya di hari kiamat. Dan barang siapa yang tidak menjaga sholat maka tidak ada baginya cahaya dan penyelamat baginya di hari kiamat. ([53])
عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَأُ الْمِيزَانَ، وَسُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ تَمْلَآَنِ – أَوْ تَمْلَأُ – مَا بَيْنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَالصَّلَاةُ نُورٌ، وَالصَّدَقَةُ بُرْهَانٌ وَالصَّبْرُ ضِيَاءٌ
Dari Abu Malik Al-Harits bin ‘Ashim Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, bersuci merupakan bagian dari iman, Alhamdulillah (segala puji milik Allah) memenuhi timbangan, Subhanallah (Maha suci Allah) dan Alhamdulillah (Segala puji milik Allah) keduanya memenuhi antara langit dan bumi, shalat adalah cahaya, sedekah adalah petunjuk, sabar adalah sinar.”([54])
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ عَمْرٍو بْنِ العَاص رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: ذَكَرَ النَّبِّي ﷺ الصَّلَاةَ يَوْمًا بَيْنَ أَصْحَابِهِ فَقَالَ: مَنْ حَافَظَ عَلَيْهَا، كَانَتْ لَهُ نُورًا، وَبُرْهَانًا، وَنَجَاةً مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا، لَمْ يَكُنْ لَهُ نُورُ، وَلَا بُرْهَانُ، وَلَا نَجَاةُ، وَكَانَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَعَ قَارُونَ، وَفِرْعَوْنَ، وَهَامَانَ، وأُبَيِّ بْنِ خَلَفٍ.
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: Suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersama para sahabat menyebutkan tentang shalat seraya berkata: “Barang siapa yang menjaga shalat lima waktu, maka shalat itu akan menjadi cahaya, bukti dan keselamatan bainya pada hari kiamat. Dan barang siapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak mendapatkan cahaya, bukti dan juga tidak mendapatkan keselamatan. Dan pada hari kiamat, orang yang tidak menjaga shalatnya itu akan bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf.” ([55])
Demikian juga Nabi bersabda :
بَشِّرِ الْمَشَّائِيْنَ فِي الظُّلَمِ إِلَى الْمَسَاجِدِ بِالنُّوْرِ التَّامِّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berjalan di kegelapan (misalnya untuk sholat isya dan subuh berjamaáh-pen) menuju masjid-masjid bahwa mereka mendapatkan cahaya yang sempurna pada hari kiamat” ([56])
- Shalat merupakan amalan paling utama bagi seorang hamba. ([57])
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” ([58])
- Barang siapa memelihara dan menjaga shalatnya, maka agamanya akan terjaga, karena sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar. ([59])
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ.
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. ([60])
- Shalat adalah tiang agama islam. ([61])
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ، وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ.
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah jihad di jalan Allâh. ([62])
Tentunya suatu bangunan jika tiangnya runtuh maka akan runtuh pula bangunannya.
- Shalat merupakan kewajiban pertama yang dihisab pada hari kiamat. ([63])
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَوَّلُ مَا يُـحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلَحَتْ صَلَحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perkara yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka seluruh amalnya pun baik. Apabila shalatnya buruk, maka seluruh amalnya pun buruk.” ([64])
Dalam riwayat lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ جَبَلٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يُحَاسَبُ بِصَلَاتِهِ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْجَحَ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasaaallam bersabda: “Sesungguhnya amal yang pertama kali dihisab pada seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Maka, jika shalatnya baik, sungguh ia telah beruntung dan berhasil. Dan jika shalatnya rusak, sungguh ia telah gagal dan rugi.” ([65])
- Shalat adalah perkara yang terakhir hilang dalam Islam. Jika hal yang terakhir hilang maka akan hilang keseluruhannya. ([66])
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” لَتُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً، فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا، وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ.”
Dari Abu Umamah Al-Bahiliy radhiyallahu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sungguh tali ikatan Islam akan putus seutas demi seutas. Setiap kali terputus, manusia bergantung pada tali berikutnya. Tali yang paling awal terputus adalah “hukum”, dan yang terakhir adalah “shalat”.” ([67])
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: أَوَّلُ مَا يُرْفَعُ مِنَ النَّاسِ الْأَمَانَةُ وَآخِرُ مَا يَبْقَى الصَّلَاةُ وَرُبَّ مُصَلٍّ لَا خَيْرَ فِيهِ.
Dari Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:” Yang pertama kali diangkat dari manusia adalah amanat, dan akhir yang tersisa adalah sholat, dan betapa banyak orang yang sholat namun tidak ada kebaikan padanya.” ([68])
Dalam riwayat lain:
عَنْ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: أَوَّلُ مَا يُرْفَعُ مِنَ النَّاسِ الْأَمَانَةُ وَآخِرُ مَا يَبْقَى مِنْ دينِهِمُ الصّلاة ورُبَّ مُصَلَ لَا خَلاقَ لهُ عِنْدَ الله تَعَالَى.
Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang pertama kali diangkat dari manusia adalah amanat, dan akhir yang tersisa adalah sholat, dan boleh jadi orang yang sholat tidak mendapat pahala di sisi Allah.” ([69])
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: أَوَّلُ مَا تَفْقِدُونَ مِنْ دِينِكُمُ الْأَمَانَةُ، وَآخِرُهُ الصَّلَاةُ.
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Yang pertama akan hilang dari agama kalian adalah sifat amanah, dan yang terakhir akan hilang dari agama kalian adalah sholat.” ([70])
- Shalat adalah wasiat terakhir Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. ([71])
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنهَا، قَالَتْ: كَانَ مِنْ آخِرِ وَصِيَّةِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” الصَّلَاةَ الصَّلَاةَ، وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ” حَتَّى جَعَلَ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَجْلِجُهَا فِي صَدْرِهِ، وَمَا يَفِيصُ بِهَا لِسَانُهُ.
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: “Wasiat terakhir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ‘Perhatikanlah sholat, perhatikanlah sholat, dan perhatikanlah budak-budak kalian’. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengulang-ulangnya di dalam dadanya, namun lidah beliau tidak mampu mengungkapkannya dengan jelas. ([72])
- Allah azza wa jalla memuji orang-orang yang mendirikan shalat ([73]). Allah berfirman:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا. وَكَانَ يَأْمُرُ أَهْلَهُ بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَكَانَ عِنْدَ رَبِّهِ مَرْضِيًّا.
Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan ia menyuruh keluarganya untuk mengerjakan salat dan menunaikan zakat; dan ia adalah seorang yang diridai di sisi Tuhannya. ([74])
- Allah mencela orang yang lalai dan bermalas-malasan dalam menunaikan shalat ([75]). Allah azza wa jalla berfirman:
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا.
Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. ([76])
Allah juga berfirman:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا.
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali. ([77])
- Rukun islam paling agung setelah dua syahadat. ([78])
عَنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ، وَحَجِّ البَيْتِ.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa salam bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Romadhon, dan mengerjakan haji ke Baitulloh.” ([79])
- Agungnya kedudukan sholat lima waktu di sisi Allah. Dimana saat Allah mensyariatkannya pada umat ini, Allah langsung memanggil RasulNya dan berbicara langsung kepada RasulNya perihal perintah sholat ini, tanpa melalui perantara malaikat Jibril. ([80])
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلَاةً، فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ، حَتَّى آتِيَ عَلَى مُوسَى، فَقَالَ مُوسَى: مَاذَا افْتَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: فَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ، فَرَاجَعْتُ رَبِّي، فَوَضَعَ عَنِّي شَطْرَهَا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ فَرَاجَعْتُ رَبِّي، فَقَالَ: هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ، لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَقُلْتُ: قَدِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memerintahkan umatku sholat lima puluh kali, kemudian aku kembali dengan perintah itu, hingga aku bertemu dengan Musa. Musa bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Apa yang Allah perintahkan padamu?” Aku menjawab: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan lima puluh kali sholat salam sehari semalam.” Musa berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, sungguh umatmu tak kan mampu (menunaikan) hal itu.” Kenudian aku kembali menghadap Rabb-ku, Lalu Dia mengurangi separuhnya dariku. Kemudian aku kembali kepada Musa dan mengabarkan hal itu. Dia lantas berkata: Kembalilah menghadap Rabb-mu. Sunggguh, umatmu tidak akan mampu menunaikannya.’ Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku, lalu Dia berfirman, ‘Ia adalah lima dan ia adalah lima puluh. Ucapan (ketetapan) dari-Ku tidak dapat diganti lagi.’ Kemudian aku kembali kepada Musa, lalu berkata,’Kembalilah menghadap Rabb-mu.’ Aku lantas menjawab,’Aku sudah malu kepada Rabb-ku.’” ([81])
- Lima shalat yang dikerjakan, namun senilai lima puluh shalat dalam timbangan. ([82])
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلَاةً، فَقَالَ: هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ، لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَقُلْتُ: قَدِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memerintahkan umatku sholat lima puluh kali, lalu Dia berfirman, ‘Ia adalah lima dan ia adalah lima puluh. Ucapan (ketetapan) dari-Ku tidak dapat diganti lagi.’ Kemudian aku kembali kepada Musa, lalu berkata,’Kembalilah menghadap Rabb-mu.’ Aku
lantas menjawab,’Aku sudah malu kepada Rabb-ku.” ([83])
- Shalat merupakan ibadah yang sangat dicintai oleh Allah azza wa jalla.
Awalnya shalat diwajibkan sebanyak lima puluh kali shalat. Ini menunjukkan bahwa Allah amat menyukai ibadah shalat tersebut. Kemudian Allah memberi keringanan bagi hamba-Nya hingga menjadi lima waktu dalam sehari semalam. Akan tetapi, tetap saja shalat tersebut dihitung dalam timbangan sebanyak lima puluh shalat, walaupun dalam amalan hanyalah lima waktu. Hal ini menunjukkan mulianya kedudukan shalat dalam islam. ([84])
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” فَرَضَ اللَّهُ عَلَى أُمَّتِي خَمْسِينَ صَلَاةً، فَرَجَعْتُ بِذَلِكَ، حَتَّى آتِيَ عَلَى مُوسَى، فَقَالَ مُوسَى: مَاذَا افْتَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ؟ قُلْتُ: فَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً، قَالَ: فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ، فَرَاجَعْتُ رَبِّي، فَوَضَعَ عَنِّي شَطْرَهَا، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَأَخْبَرْتُهُ، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا تُطِيقُ ذَلِكَ فَرَاجَعْتُ رَبِّي، فَقَالَ: هِيَ خَمْسٌ وَهِيَ خَمْسُونَ، لَا يُبَدَّلُ الْقَوْلُ لَدَيَّ، فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى، فَقَالَ: ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ، فَقُلْتُ: قَدِ اسْتَحْيَيْتُ مِنْ رَبِّي.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah memerintahkan umatku sholat lima puluh kali, kemudian aku kembali dengan perintah itu, hingga aku bertemu dengan Musa. Musa bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Apa yang Allah perintahkan padamu?” Aku menjawab: “Aku diperintahkan untuk melaksanakan lima puluh kali sholat salam sehari semalam.” Musa berkata: “Kembalilah kepada Tuhanmu, sungguh umatmu tak kan mampu (menunaikan) hal itu.” Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku, lalu Allah mengurangi separuhnya dariku. Kemudian aku kembali kepada Musa dan mengabarkan hal itu. Dia lantas berkata: Kembalilah menghadap Rabb-mu. Sunggguh, umatmu tidak akan mampu menunaikannya.’ Kemudian aku kembali menghadap Rabb-ku, lalu Dia berfirman, ‘Ia adalah lima dan ia adalah lima puluh. Ucapan (ketetapan) dari-Ku tidak dapat diganti lagi.’ Kemudian aku kembali kepada Musa, lalu berkata,’Kembalilah menghadap Rabb-mu.’ Aku lantas menjawab,’Aku sudah malu kepada Rabb-ku.’” ([85])
Dan hadits lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَأَلْتُ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ –: أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلاةُ عَلَى وَقْتِهَا. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: بِرُّ الْوَالِدَيْنِ. قُلْتُ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ. قَالَ: حَدَّثَنِي بِهِنَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhuma dengan tangannya, ia berkata, ‘Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amalan apakah yang paling dicintai Allâh?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” Aku (Abdullah bin Mas’ud) mengatakan, ‘Kemudian apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Berbakti kepada dua orang tua.” Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allâh.” Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata, “Itu semua telah diceritakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepadaku, sekiranya aku menambah (pertanyaanku), pasti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menambah (jawaban Beliau) kepadaku.” ([86])
- Allah azza wa jalla memuji orang-orang beriman dalam surat al-Mukminun dengan menyebut sifat-sifat mereka yang mulia. Sifat-sifat tersebut dibuka dengan sifat sholat dan diakhiri juga dengan sifat sholat. Ini menunjukkan ditekankannya amalan shalat. ([87])
Allah Ta’ala berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ. الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ. إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ. فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ. وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ.
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” ([88])
- Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan umatnya untuk memerintahkan keluarga mereka supaya menunaikan shalat. ([89])
Allah Ta’ala berfirman:
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” ([90])
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَر رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka berumur 7 tahun. Pukul mereka jika tidak mengerjakannya ketika mereka berumur 10 tahun. Pisahkanlah tempat-tempat tidur mereka.” ([91])
- Siapa yang tertidur atau lupa dari shalat, maka ia harus mengqodhonya. Ini cukup menunjukkan kemuliaan shalat lima waktu karena harus diganti apabila ibadah ini luput dilaksanakan. ([92])
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:” مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا، لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَ ذَلِكَ.”
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa yang lupa shalat, hendaklah ia shalat ketika ia ingat. Tidak ada kewajiban baginya selain itu.” ([93])
Dalam riwayat lain:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً، أَوْ نَامَ عَنْهَا، فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا.
“Barangsiapa yang lupa shalat atau tertidur, maka tebusannya adalah ia shalat ketika ia ingat.” ([94])
- Allah azza wa jalla menyebut sholat sebagai iman. ([95])
وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَؤُوفٌ رَّحِيمٌ.
“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan iman kalian. Sungguh, Allah maha pengasih, maha penyayang kepada manusia.” ([96])
Yakni shalat yang dikerjakan sebelum terjadinya pemindahan kiblat; dari Baitul Maqdis ke Ka’bah.
- Allah azza wa jalla mengkhususkan penyebutan sholat dalam Alquran. ([97]) Allah azza wa jalla berfirman:
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ.
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. ([98])
وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ.
“Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sholat.” ([99])
Allah mengkhususkan penyebutan shalat padahal shalat sendiri merupakan amalan kebajikan.
- Allah azza wa jalla menyebutkan shalat dalam Al-Qur’an beriringan dengan banyak ibadah. ([100])
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” ([101])
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ.
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.” ([102])
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ.
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” ([103])
- Allah azza wa jalla memerintahkan nabi-Nya untuk bersabar dalam mengerjakannya. ([104])
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَحْنُ نَرْزُقُكَ.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu.” ([105])
Begitu pula perintah untuk bersabar dalam mengerjakan ibadah yang lain. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla:
وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ.
“Dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya.” ([106])
- Shalat merupakan penyejuk hati, penenang jiwa raga, taman, rahmat yang berikan bagi hamba-hamba yang beriman. ([107])
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:إِنَّمَا حُبِّبَ إِلَـيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ: اَلنِّسَاءُ وَالطِّيْبُ، وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِـيْ فِـي الصَّلَاةِ.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di antara kesenangan dunia kalian yang aku cintai adalah wanita dan wewangian. Dan dijadikan kesenangan hatiku terletak di dalam shalat.” ([108])
- Shalat menghapus dosa dan keburukan-keburukan. ([109])
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُولُ: الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ، وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ، وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ، مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Di antara shalat lima waktu, di antara Jum’at yang satu dan Jum’at berikutnya, diantara Ramadhan dengan Ramadhan berikutnya adalah penghapus dosa di antara semua itu selama tidak dilakukan dosa besar.” ([110])
عَنْ جَابِرٍ وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللهِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهْرٍ جَارٍ، غَمْرٍ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ، يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ.
Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Permisalan shalat yang lima waktu itu seperti sebuah sungai yang mengalir melimpah di dekat pintu rumah salah seorang di antara kalian. Ia mandi dari air sungai itu setiap hari lima kali.” ([111])
- Allah azza wa jalla mengangkat derajat seseorang dan menghapuskan dosa (kesalahan) dengan sebab sholat. ([112])
عَنْ ثَوْبَانِ مَوْلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَخْبِرْنِي بِعَمَلٍ أَعْمَلُهُ يُدْخِلُنِي اللهُ بِهِ الْجَنَّةَ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ لِلَّهِ، فَإِنَّكَ لَا تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً، إِلَّا رَفَعَكَ اللهُ بِهَا دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً.
Dari Tsauban, maulanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Beritahukan kepadaku amalan yang dapat memasukkanku ke surga? Maka Rasulullah shallallhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Hendaklah engkau memperbanyak sujud! Karena engkau tidaklah sujud kepada Allah dengan sekali sujud melainkan Allah akan meninggikan derajatmu dan akan menghapuskan satu kesalahan dengan sebab sujud itu.”’ ([113])
- Berjalan menuju shalat akan dicatat sebagai kebaikan, bisa meninggikan derajat dan menghapuskan dosa. ([114])
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ، ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مَنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ، كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً، وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً.
Barangsiapa bersuci di rumahnya lalu ia berjalan menuju salah satu rumah Allâh untuk menunaikan salah satu shalat fardhu yang yang Allâh wajibkan, maka salah satu langkah kakinya akan menghapuskan kesalahan dan langkah kaki yang lainnya meninggikan derajat. ([115])
Dalam hadits lain;
قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ لَمْ يَرْفَعْ قَدَمَهُ الْيُمْنَى إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ حَسَنَةً، وَلَمْ يَضَعْ قَدَمَهُ الْيُسْرَى إِلَّا حَطَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُ سَيِّئَةً.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika salah seorang diantara kalian berwudhu’, dia berwudhu dengan baik dan benar, kemudian dia keluar menuju ke masjid, maka dia tidak mengangkat kaki kanannya (untuk melangkah) kecuali Allah menuliskan satu kebaikan untuknya dan dia tidak menurunkan kaki kirinya kecuali Allah menghapus satu dosa darinya.” ([116])
- Setiap mengerjakan sholat dianggap bertamu di surga. ([117])
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ، أَوْ رَاحَ، أَعَدَّ اللهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلًا، كُلَّمَا غَدَا، أَوْ رَاحَ.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Barangsiapa pergi ke masjid di waktu pagi hari dan sore hari, maka Allâh Azza wa Jalla menyiapkan untuknya hidangan dari surga setiap kali ia pergi di pagi atau sore hari.” ([118])
- Pahala orang yang keluar rumah untuk shalat seperti pahala orang yang keluar berhaji dalam keadaan berihram. ([119])
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ مُتَطَهِّرًا إِلَى صَلَاةٍ مَكْتُوبَةٍ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْحَاجِّ الْمُحْرِمِ، وَمَنْ خَرَجَ إِلَى تَسْبِيحِ الضُّحَى لَا يَنْصِبُهُ إِلَّا إِيَّاهُ فَأَجْرُهُ كَأَجْرِ الْمُعْتَمِرِ، وَصَلَاةٌ عَلَى أَثَرِ صَلَاةٍ لَا لَغْوَ بَيْنَهُمَا كِتَابٌ فِي عِلِّيِّينَ.
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan sudah bersuci menuju shalat wajib, maka pahalanya seperti pahala orang yang berhaji yang sedang berihram. Barangsiapa keluar untuk menunaikan shalat Dhuha, ia tidak merasakan lelah kecuali karena melaksanakan shalat tersebut, maka pahalanya seperti pahala orang berumrah.” ([120])
- Menunggu sholat seperti ar-Ribaath yaitu berjaga di daerah perbatasan dalam jihad fi sabilillah. Nabi bersabda
أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الْخَطَايَا، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟» قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: «إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ، وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ، وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ
“Maukah aku tunjukan kepada kalian tentang perkara yang Allah menghapus dosa-dosa denganya dan mengangkat derajat?”. Mereka (para sahabat) berkata, “Tentu wahai Rasulullah”. Nabi berkata, “(Tetap) menyempurnakan wudhu meski dalam kondisi yang tidak disukai, memperbanyak langkah menuju masjid, menunggu sholat setelah sholat ditunaikan, maka itulah ar-Ribaath” ([121])
- Shalat merupakan sebab utama untuk masuk surga bahkan menemani Nabi di surga.
Robiáh bin Káab al-Aslami radhiallahu ánhu berkata :
كُنْتُ أَبِيتُ مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَتَيْتُهُ بِوَضُوئِهِ وَحَاجَتِهِ فَقَالَ لِي: «سَلْ» فَقُلْتُ: أَسْأَلُكَ مُرَافَقَتَكَ فِي الْجَنَّةِ. قَالَ: «أَوْ غَيْرَ ذَلِكَ» قُلْتُ: هُوَ ذَاكَ. قَالَ: «فَأَعِنِّي عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ»
“Aku menginap bersama Nabi shallallahu álaihi wasallam, lalu aku mendatangkan bagi beliau air wudhu beliau dan keperluan beliau. Maka Nabi berkata kepadaku, “Mintalah !”. Aku berkata, “Aku memohon untuk menemanimu di surga”. Nabi berkata, “Tidakah engkau meminta permintaan yang lain?”. Aku berkata, “Itulah permintaanku”. Maka Nabi berkata, “Maka bantulah aku untuk terkabulkannya keinginanmu dengan banyak sujud kepada Allah”. ([122])
- Malaikat tetap selalu mendoakan orang yang sholat selama ia masih di tempat sholatnya, bahkan ia masih dianggap tetap sholat selama yang menahannya adalah sholat.
Nabi bersabda :
وَالمَلاَئِكَةُ تُصَلِّي عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ، اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ، اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ، وَقَالَ: أَحَدُكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا كَانَتِ الصَّلاَةُ تَحْبِسُهُ
“Dan para malaikat mendoakan salah seorang dari kalian selama ia tetap di tempat sholatnya yang ia sholat di situ. (Malaikat berkata) Ya Allah ampunilah dia, ya Allah rahmatilah dia selama ia tidak berhadats”. Dan Nabi berkata, “Salah seorang dari kalian tetap dalam sholat selama sholat yang menahannya (sehingga tidak pulang)” ([123])
- Barang siapa yang ke Masjid -sebagaimana kebiasaannya sholat berjamaáh- lalu ia mendapati jamaáh telah selesai sholat, maka ia tetap mendapatkan pahala sholat berjamaáh.
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ رَاحَ فَوَجَدَ النَّاسَ قَدْ صَلَّوْا أَعْطَاهُ اللَّهُ جَلَّ وَعَزَّ مِثْلَ أَجْرِ مَنْ صَلَّاهَا وَحَضَرَهَا لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَجْرِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa yang berwudhu lalu membaguskan wudhunya, kemudian keluar lalu ia mendapati orang-orang telah selesai sholat maka Allah tetap memberikan kepadanya seperti pahala orang-orang yang sholat dan hadir ikut sholat berjamaáh, dan tidak mengurangi pahala mereka sama sekali” ([124])
- Shalat merupakan bentuk kasih sayang Allah azza wa jalla kepada para hambaNya yang beriman. Melalui ibadah ini Allah menganugrahkan kepada mereka kasih sayangNya. Dengan ibadah ini seorang hamba benar-benar akan merasakan kasih sayang Allah.
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatilah rasul, supaya kamu diberi rahmat.” ([125])
Adab-Adab Menuju Masjid dan ketika di Masjid
- Menutup aurat, memakai pakaian yang baik dan sopan
Dianjurkan bagi setiap muslim ketika mendatangi masjid untuk mendirikan shalat agar berhias diri memakai pakaian yang bersih, menutup aurat dan sopan. Berdasarkan firman Allah:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ
“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid”. ([126])
Maksud dari ayat ini adalah memakai الزِّينَةِ yaitu pakaian untuk menutup aurat([127]), dan tentu jika pakaiannya lebih indah maka lebih baik sebagaimana pendapat sebagian ulama. Ibnu Katsir berkata
وَلِهَذِهِ الْآيَةِ وَمَا وَرَدَ فِي مَعْنَاهَا مِنَ السُّنَّةِ يُسْتَحَبُّ التَّجَمُّلُ عِنْدَ الصَّلَاةِ، وَلَا سِيَّمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ الْعِيدِ، وَالطِّيبُ لِأَنَّهُ مِنَ الزِّينَةِ
: “Karena ayat ini dan hadits-hadits yang semakna dengan ayat ini maka disukai setiap kali hendak shalat untuk berhias ketika shlata, terutama ketika hari jumát dan hari raya, dan disukai memakai wewangian karena itu termasuk bagian dari الزِّينَةِ (hiasan).” ([128])
- Menghindari aroma tak sedap pada anggota tubuh dan pakaian
Hendaknya bagi seorang muslim sebelum berangkat menuju masjid, memperhatikan kebersihan dan aroma tubuhnya, diantaranya yang perlu diperhatikan adalah makanan yang telah dikonsumsinya. Bagi orang yang telah makan sejenis bawang merah atau bawang putih, hendaknya membersihkan diri terlebih dahulu sebelum berangkat menuju masjid. Agar orang-orang yang hendak shalat di masjid tidak terganggu dengan baunya yang menyengat. Dan barang siapa yang mengganggu orang-orang yang shalat, maka sejatinya dia telah mengganggu malaikat. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi bersabda:
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَلًا فَلْيَعْتَزِلْنَا، أَوْ لِيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا، وَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ
“Barang siapa yang makan bawang merah atau bawang putih, hendaknya menjauhi kami atau menjauh dari masjid kami dan hendaknya ia berdiam di rumahnya” ([129])
Dijelaskan pula dalam dalam riwayat yang sama:
مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ ([130]) فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
Barang siapa makan bawang merah, bawang putih dan bawang bakung. Janganlah sekali-kali mendekati masjid kamu, karena sesungguhnya malaikat terganggu dengan sesuatu yang membuat anak Adam terganggu. ([131])
Ibnu Rajab mengatakan bahwa alasan dilarangnya seseorang mendatangi masjid adalah jika kaum muslimin yang hendak shalat di masjid terganggu dengan bau tak sedap yang ada pada anggota tubuhnya atau pakaiannya. Malaikatpun merasa terganggu dengan sesuatu yang membuat anak ada terganggu. ([132])
- Berjalan menuju masjid dengan khusyu’, tenang dan tidak terburu-buru
Dianjurkan bagi orang yang hendak menuju masjid, berjalan dengan khusyu’, tenang dan tidak tergesa-gesa. Karena jika seseorang berangkat menuju masjid dengan hati yang tenang, tanpa tergesa-gesa, maka dia akan mendapatkan keadaan siap dalam menghadap Rabbnya dan lebih mudah mendapatkan kekhusyu’an di dalam shalatnya. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berkata: Aku mendengar Rasulullah bersabda:
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ فَلاَ تَأْتُوهَا تَسْعَوْنَ، وَأْتُوهَا تَمْشُونَ، عَلَيْكُمُ السَّكِينَةُ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا، وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
Apabila shalat telah didirikan, maka janganlah mendatanginya dengan tergesa-tergesa. Datangilah dengan berjalan tenang. Apapun yang kalian dapatkan maka shalatlah dan apapun yang tertinggal, maka sempurnakanlah. ([133])
Disebutkan pula dalam riwayat Abu Qatadah berkata:
بَيْنَمَا نَحْنُ نُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ سَمِعَ جَلَبَةَ ([134]) رِجَالٍ، فَلَمَّا صَلَّى قَالَ: مَا شَأْنُكُمْ؟ قَالُوا: اسْتَعْجَلْنَا إِلَى الصَّلاَةِ؟ قَالَ: فَلاَ تَفْعَلُوا إِذَا أَتَيْتُمُ الصَّلاَةَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Ketika kami shalat bersama Nabi, beliau mendengar suara orang-orang gaduh tergesa-gesa. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: Ada apa dengan kalian? Mereka menjawab: kami terburu-buru mendatangi shalat. Beliau bersabda: janganlah berbuat demikian, jika kalian mendatangi shalat, maka datangilah dengan tenang. Apapun yang kalian dapatkan dalam shalat maka shalatlah dan apapun yang tertinggal maka sempurnakanlah”. ([135])
Hikmah dari perintah Nabi untuk berjalan dengan tenang tatkala menuju masjid adalah karena seseorang yang berjalan menuju masjid dia sesungguhnya sedang dalam shalat. Sebagaimana ditunjukan dalam riwayat yang lain :
فَإِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا كَانَ يَعْمِدُ إِلَى الصَّلَاةِ فَهُوَ فِي صَلَاةٍ
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian jika menuju untuk shalat maka dia dalam kondisi shalat” ([136])
Karenanya jika seseorang sedang menuju shalat hendaknya ia memperhatikan perkara apa yang harus dialakukan ketika shalat dan mana perkara yang harus dijauhi ketika sedang shalat, karena ketika ia menuju shalat ia tercatat sedang shalat. Sehingga ia tidak boleh tergopoh-gopoh tatkala sedang menuju shalat. ([137])
- Bersegera (lebih dahulu) menuju masjid
Termasuk perbuatan yang disukai oleh Rasulullah adalah berlomba-lomba dan bersegera menuju masjid. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الأَوَّلِ، ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِلَّا أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ لاَسْتَهَمُوا، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي التَّهْجِيرِ لاَسْتَبَقُوا إِلَيْهِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِي العَتَمَةِ وَالصُّبْحِ، لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Seandainya orang-orang mengetahui pahala yang ada di dalam adzan dan shaf pertama([138]), kemudian mereka tidak menemukan cara mendapatkannya kecuali dengan cara mengundi (taruhan), niscaya mereka akan melakukannya. Dan Apabila mereka mengetahui pahala besar bersegera menuju shalat([139]), niscaya mereka akan berlomba-lomba. Dan seandainya mereka mengetahui pahala besar di dalam shalat isya’ dan subuh, niscaya mereka akan mendatanginya, meskipun dengan merangkak([140])” ([141])
Ibnu Batthal menyebutkan: Dikatakan bahwa maksud dari shaff awal adalah berlomba-lomba untuk mendatangi masjid. Karena orang yang bersegera mendatangi masjid untuk shalat di awal waktu atau menunggu waktu shalat, meskipun dia tidak shalat di shaff pertama, itu lebih baik dari pada orang yang datang terlambat ke masjid dan shalat di shaff pertama. Karena ketika seseorang menunggu waktu shalat, maka dia telah tercatat di dalam shalat. ([142])
- Membaca doa ketika berjalan menuju masjid
Dianjurkan bagi orang yang berjalan menuju masjid untuk mengisi waktu perjalanannya dengan berdzikir, mengingat Allah ataupun berdoa. Diantara doa yang dituntunkan oleh Nabi ketika seseorang berjalan menuju masjid adalah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas adalah :
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي بَصَرِي نُورًا، وَفِي سَمْعِي نُورًا، وَعَنْ يَمِينِي نُورًا، وَعَنْ يَسَارِي نُورًا، وَفَوْقِي نُورًا، وَتَحْتِي نُورًا، وَأَمَامِي نُورًا، وَخَلْفِي نُورًا، وَاجْعَلْ لِي نُورًا
Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, cahaya di dalam penglihatanku, cahaya di dalam pendengaranku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya di atasku, cahaya di bawahku, cahay di depanku, cahaya di belakangku dan jadikanlah cahaya untukku. ([143])
Rasulullah membaca doa ini ketika beliau keluar rumah menuju masjid hendak menunaikan shalat subuh. ([144])
- Membaca doa ketika masuk dan keluar masjid
Dianjurkan bagi seorang muslim yang hendak memasuki masjid untuk membaca doa yang telah dituntunkan oleh Nabi. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Humaid atau Abu Usaid berkata: Rasulullah bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ، وَإِذَا خَرَجَ، فَلْيَقُلْ: اللهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaklah dia berdoa: “Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” Dan apabila dia keluar, hendaklah berdoa: “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kautamaan dari-Mu.” ([145])
Di dalam riwayat Abu Humaid As-Sa’idiy berkata, Rasulullah bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ، فَلْيُسَلِّمْ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ لِيَقُلْ: اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ، وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
Apabila salah seorang dari kalian masuk masjid, hendaklah mengucapkan salam kepada Nabi, kemudian berdoa: “Ya Allah bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” Dan apabila dia keluar, hendaklah berdoa: “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kautamaan dari-Mu.” ([146])
Dianjurkan pula bagi orang yang hendak masuk masjid mengucapkan doa lain, seperti yang disebutkan dalam hadist berikut yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, dari Nabi.
أَنَّهُ كَانَ إِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ قَالَ: أَعُوذُ بِاللَّهِ الْعَظِيمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيم
Bahwa beliau ketika masuk masjid mengucapkan: “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung dan kepada wajahnya Yang Maha Mulia dan kekuasaannya Yang Maha Terdahulu dari gangguan setan yang terkutuk. ([147])
- Mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan mendahulukan kaki kiri ketika keluar.
Diantara adab yang berkaitan dengan masjid adalah mendahulukan kaki kanan ketika masuk memasuki masjid. Karena itu merupakan kebiasaan Rasulullah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ، فِي تَنَعُّلِهِ، وَتَرَجُّلِهِ، وَطُهُورِهِ، وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
Nabi suka memulai dari sebelah kanan ketika memakai sandal, menyisir rambut, bersuci dan sebagainya. ([148])
Demikian halnya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik:
مِنَ السُّنَّةِ إِذَا دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُمْنَى، وَإِذَا خَرَجْتَ أَنْ تَبْدَأَ بِرِجْلِكَ الْيُسْرَى
Diantara tuntunan Nabi adalah engkau masuk masjid dengan mendahulukan kaki kananmu. Dan ketika keluar engkau mendahulukan kaki kirimu. ([149])
- Shalat tahiyyatul masjid setiap kali memasuki masjid
Dianjurkan pula bagi seorang muslim setiap kali masuk masjid untuk mendirikan shalat dua rakaat terlebih dahulu, inilah yang disebut dengan shalat tahiyyatul masjid. Shalat ini tidaklah diwajibkan, namun sunnah muakkadah. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Qatadah, bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ المَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaknya shalat dua rakaat sebelum ia duduk. ([150])
- Duduk dan menunggu waktu shalat
Duduk di dalam masjid untuk menunggu waktu shalat memiliki keutamaan tersendiri, berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
فَإِذَا دَخَلَ الْمَسْجِدَ كَانَ فِي الصَّلَاةِ مَا كَانَتِ الصَّلَاةُ هِيَ تَحْبِسُهُ، وَالْمَلَائِكَةُ يُصَلُّونَ عَلَى أَحَدِكُمْ مَا دَامَ فِي مَجْلِسِهِ الَّذِي صَلَّى فِيهِ، يَقُولُونَ: اللهُمَّ ارْحَمْهُ، اللهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، اللهُمَّ تُبْ عَلَيْهِ، مَا لَمْ يُؤْذِ فِيهِ، مَا لَمْ يُحْدِثْ فِيهِ
Apabila dia masuk masjid, maka dia (tercatat) dalam keadaan shalat selama ia tertahan untuk mendirikan shalat. Dan malaikat berdoa untuk salah seorang dari kalian selama dia berada di tempat shalat. Mereka (para malaikat) berdoa: Ya Allah, rahmatilah dia. Ya Allah ampunilah dosanya. Ya Allah terimalah taubatnya selama dia tidak ber-hadats (tidak batal wudhu)”. ([151])
- Boleh merebahkan diri di dalam masjid
Dibolehkan untuk merebahkan diri dengan berbaring di dalam masjid. Karena perbuatan tersebut juga pernah dilakukan oleh Rasulullah dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain. Berdasarkan hadits riwayat Abdullah bin Zaid:
أَنَّهُ رَأَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْتَلْقِيًا فِي المَسْجِدِ، وَاضِعًا إِحْدَى رِجْلَيْهِ عَلَى الأُخْرَى
Sesungguhnya dia melihat Rasulullah berbaring di dalam masjid dengan meletakkan salah satu kakinya di atas kaki yang lain. ([152])
Ibnu Batthal berkata: Rasulullah melakukannya di masjid, supaya para sahabat mengetahui bahwa perbuatan tersebut dan yang semisalnya merupakan perbuatan yang ringan dan dibolehkan apabila dilakukan di dalam masjid. ([153])
- Boleh tidur di masjid
Dibolehkan juga untuk tidur di dalam masjid bagi seseorang yang membutuhkan atau tidak memiliki tempat tinggal. Karena pada zaman Nabi pernah ada kalangan dari para sahabat Nabi yang tinggal di dalam masjid, mereka adalah Ashhabus Shuffah([154]). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nafi’ berkata:
أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ يَنَامُ وَهُوَ شَابٌّ أَعْزَبُ لاَ أَهْلَ لَهُ فِي مَسْجِدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
Abdullah bin Umar mengabarkan kepadaku bahwa ia pernah tidur di masjid Nabi ketika dia masih pemuda, lajang dan belum berkeluarga. ([155])
- Tidak melakukan transaksi jual beli atau mengumumkan barang hilang di dalam masjid
Tidak diperbolehkan melakukan transaksi jual beli di masjid, karena masjid dibangun dan didirikan tidak untuk hal itu. Masjid didirikan sebagai tempat untuk beribadah, mengajarkan syari’at Allah dan berdzikir kepada Allah ([156]). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي المَسْجِدِ، فَقُولُوا: لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً، فَقُولُوا: لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ
Apabila kalian melihat orang menjual atau membeli di dalam masjid, maka katakanlah: Semoga Allah tidak memberikan keuntungan kepada barang daganganmu. Dan apabila kalian melihat orang mengumumkan sesuatu yang hilang di dalamnya, maka katakanlah: Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu. ([157])
Selain tidak diperbolehkan untuk bertransaksi di masjid, demikian pula tidak diperbolehkan untuk mengumumkan barang hilang di masjid ([158]). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, berkata, Rasulullah bersabda:
مَنْ سَمِعَ رَجُلًا يَنْشُدُ ضَالَّةً فِي الْمَسْجِدِ فَلْيَقُلْ لَا رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ الْمَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا
Barang siapa mendengar seseorang mengumumkan barang hilang di dalam masjd, hendaknya dia mendoakan: Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu. Karena sesungguhnya masjid-masjid itu tidak dibangun untuk ini. ([159])
- Tidak mengeraskan suara ketika berada di masjid
Termasuk adab yang perlu diperhatikan adalah tidak mengeraskan suara ketika berada di dalam masjid. Hal itu pernah terjadi di zaman Rasulullah, dan beliau mengingkarinya([160]). Berdasarkan hadits dari Abdullah bin Ka’b berkata:
أَنَّ كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ، أَخْبَرَهُ أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا لَهُ عَلَيْهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي المَسْجِدِ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ، وَنَادَى كَعْبَ بْنَ مَالِكٍ قَالَ: «يَا كَعْبُ» قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَأَشَارَ بِيَدِهِ أَنْ ضَعِ الشَّطْرَ مِنْ دَيْنِكَ، قَالَ كَعْبٌ: قَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُمْ فَاقْضِهِ
Sesungguhnya Ka’b bin Malik bercerita bahwa dia pernah menagih hutang Ibnu Abi Hadrad kepadanya di dalam masjid pada masa Rasulullah. Lalu, suara keduanya meninggi hingga terdengar oleh Rasulullah yang sedang berada di rumah. Setelah itu Rasulullah keluar menemui keduanya hingga menyingkap tabir kamar beliau dan memanggil Ka’ab bin Malik seraya berkata: Wahai Ka’b. Dia menjawab: Iya, wahai Rasulullah. Lalu beliau memberikan isyarat dengan tangannya, agar Ka’b merelakan setengah dari hutangnya. Lalu Ka’ab berkata: Aku telah melakukannya, wahai Rasulullah. Maka Rasulullah bersabda: Bangkitlah dan tunaikanlah. ([161])
- Tidak menjalin jari jemari -ketika menuju masjid- sebelum didirikan shalat
Rasulullah melarang umatnya dari perbuatan merekatkan jari-jemarinya ketika seseorang keluar dari rumahnya menuju masjid dan sebelum mendirikan shalat. Hal ini berdasarkan hadits Ka’b bin ‘Ujrah, bahwa Rasulullah bersabda:
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ، ثُمَّ خَرَجَ عَامِدًا إِلَى المَسْجِدِ فَلَا يُشَبِّكَنَّ بَيْنَ أَصَابِعِهِ، فَإِنَّهُ فِي صَلَاةٍ
Apabila salah satu diantara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya. Kemudian ia keluar menuju masjid, maka janganlah menjalinkan jari-jemarinya([162]), karena sejatinya dia di dalam shalat. ([163])
- Boleh bercakap-bercakap masalah dunia yang ringan
Dibolehkan bagi seseorang yang berada di dalam masjid membericarakan hal-hal dunia, namun tidak mengandung dosa. Karena Nabi pernah melakukan hal tersebut. Berdasarkan hadits dari Anas bin Malik berkata:
أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُنَاجِي رَجُلًا فِي جَانِبِ المَسْجِدِ، فَمَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ حَتَّى نَامَ القَوْمُ
Shalat telah didirikan, namun Nabi masih berbicara dengan seseorang dengan suara pelan di sebuah sudut masjid. Beliau belum mendirikan shalat hingga orang-orang tertidur. ([164])
An-Nawawi menyebutkan diantara hikmah yang dapat diambil dari hadits tersebut adalah dibolehkannya bercakap-cakap setelah muadzin mengumandangkan adzan yang kedua (yakni iqamah). Apalagi jika hal itu adalah perkara yang penting. Namun, untuk perkara yang tidak penting maka hal itu dimakruhkan. ([165])
- Boleh makan ataupun tidur di masjid
Dibolehkan makan dan minum di dalam masjid, karena Rasulullah pernah melakukannya. Berdasarkan hadits Abdullah bin Al-Harits berkata:
كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْم
Dahulu pada masa Rasulullah masih hidup, kami makan roti dan daging di masjid. ([166])
- Boleh bermain dan berlatih peperangan di masjid
Masjid menjadi pusat bagi urusan kaum Muslimin. Hal-hal yang dapat memberikan manfaat untuk agama dan pemeluknya, dibolehkan dilaksanakan di dalam masjid. Termasuk diantaranya adalah bermain atau berlatih dengan tombak (yakni untuk mempersiapkan diri di dalam peperangan melawan musuh) ([167]). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari ‘Urwah bin Zubair berkata, bahwa ‘Aisyah berkata:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ فِي المَسْجِدِ، وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ، أَنْظُرُ إِلَى لَعِبِهِمْ
Sungguh aku melihat Rasulullah pada suatu hari berdiri di pintu rumahku sedangkan budak-budak Habasyah bermain di dalam masjid. Rasulullah menutupiku dengan kain selendang beliau saat aku menyaksikan permainan mereka. ([168])
- Menampakkan pakaian terbaiknya ketika menuju masjid untuk shalat jum’at atau shalat ‘id
Dianjurkan bagi setiap muslim untuk selalu berpakaian dan berpenampilan sebaik-baiknya setiap kali menuju masjid, terlebih lagi ketika menghadiri shalat jum’at atau shalat ‘id. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Salman Al-Farisiy berkata, Rasulullah bersabda:
لاَ يَغْتَسِلُ رَجُلٌ يَوْمَ الجُمُعَةِ، وَيَتَطَهَّرُ مَا اسْتَطَاعَ مِنْ طُهْرٍ، وَيَدَّهِنُ مِنْ دُهْنِهِ، أَوْ يَمَسُّ مِنْ طِيبِ بَيْتِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ فَلاَ يُفَرِّقُ بَيْنَ اثْنَيْنِ، ثُمَّ يُصَلِّي مَا كُتِبَ لَهُ، ثُمَّ يُنْصِتُ إِذَا تَكَلَّمَ الإِمَامُ، إِلَّا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الجُمُعَةِ الأُخْرَى
Tidaklah seseorang mandi pada hari jum’at, bersuci dengan semampunya, menyisir rambutnya, memakai minyak wangi miliknya, kemudian dia keluar menuju masjid dengan tidak memisahkan (tempat duduk) antara dua orang, kemudian dia mendirikan shalat yang telah disyariatkan baginya, kemudian diam ketika imam berkhutbah, kecuali akan diampuni dosa-dosa antara dirinya dengan jum’at berikutnya. ([169])
- Tidak keluar dari masjid setelah dikumandangkan adzan
Tidak selayaknya bagi seseorang untuk keluar dari masjid, padahal telah dikumandangkan adzan untuk shalat. Perbuatan ini dimakruhkan oleh mayoritas ulama ([170]). Berdasarkan hadits riwayat Abu Sya’tsa’ Salim bin Al-Aswad berkata:
كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ، فَأَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ، فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَسْجِدِ يَمْشِي فَأَتْبَعَهُ أَبُو هُرَيْرَةَ بَصَرَهُ حَتَّى خَرَجَ مِنَ الْمَسْجِدِ، فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ: أَمَّا هَذَا، فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Kami duduk-duduk di masjid bersama Abu Hurairah, lalu muadzin mengumandangkan adzan. Setelah itu ada seorang lelaki yang bangkit dari masjid, Abu Hurairahpun mengawasinya hingga dia keluar dari masjid. Lalu Abu Hurairah berkata: Adapun orang ini, tekah menyelisihi Abu Al-Qasim (Rasulullah). ([171])
- Mendirikan shalat dengan mengenakan sandal atau sepatu
Diantara perbuatan Rasulullah ketika shalat di dalam masjid adalah beliau shalat dengan mengenakan sandal beliau([172]). Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Maslamah Sa’id bin Yazid Al-Azdiy berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik:
أَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي نَعْلَيْهِ؟ قَالَ: نَعَمْ
“Apakah Nabi pernah shalat dengan menggunakan sandal? Anas menjawab: “iya.” ([173])
Demikian halnya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudriy, berkata:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ، قَالَ: مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ، قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا – أَوْ قَالَ: أَذًى – وَقَالَ: إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
“Ketika Rasulullah shalat bersama para sahabat, tiba-tiba beliau melepaskan sandalnya lalu meletakkan di sebelah kirinya. Ketika kaum muslimin mengetahui hal itu, merekapun melepaskan sandal mereka. Setelah Nabi selesai shalat, beliau bersabda: Apa yang membuat kalian melepaskan sandal kalian? Mereka menjawab: Kami melihat engkau melepas kedua sandalmu, kamipun melepaskan sandal kami. Lalu Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Jibril datang kepadaku memberitahukanku bahwa pada kedua sandal itu terdapat kotoran atau najis. Maka dari itu jika salah seorang diantara kalian datang ke masjid, hendaknya memperhatikan (sandalnya). Jika dia melihat kotoran (najis) pada sandalnya, hendaknya dibersihkan kemudian menggunakannya untuk shalat.” ([174])
Akan tetapi tentu harus diperhatikan kondisi tatkala menggunakan sepatu atau sendal ke dalam masjid. Harus dipastikan bahwa sepatu atau sendal tersebut tidak mengotori lantai masjid.
Jika ternyata masjid berkarpet atau berubin dan ternyata sendal atau sepatu yang digunakan ternyata bisa mengotori karpet maka hendaknya tidak menggunakan sendal atau sepatu, karena tentu tidak boleh mengotori masjid. Berbeda ketika di zaman Nabi ketika lantai masjid hanya berupa tanah, maka kondisi seseorang memakai sepatu atau tanah tidak mempengaruhi kondisi masjid, terlebih lagi tanah/pasir memiliki sifat membersihkan.
Selain itu untuk menerapkan shalat menggunakan sepatu atau sandal harus juga melihat kondisi masyarakat, jika masyarakat belum paham, hendaknya diberi pemahamana terlebih dahulu agar penerapan sunnah “menggunakan sepatu/sendal” tidak menimbulkan fitnah. Karena bisa jadi sebagian orang awam akan memandang bahwa masuk masjid dengan menggunakan sepatu atau sendal merupakan bentuk “tidak menghormati” masjid, padahal merupakan perkara yang dibolehkan. Wallahu a’lam.
Khusyu’
Keutamaan Khusyu’:
Pertama: Khusyu’ merupakan ciri pertama pewaris surga Firdaus
Sesungguhnya khusyu’ merupakan ruhnya shalat. Karenanya seseorang yang khusyu’ dalam shalatnya telah menggapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Bahkan khusyu’ dalam shalat merupakan ciri utama para pewaris surga Firdaus. Allah berfirman:
}قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ، إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ، فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ، أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ، الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ{
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu´ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” ([175])
Ibnul Qoyyim berkata:
قال تعالى: {وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ} فأمرنا بإقامتها وهو الإتيان بها قائمة تامة القيام والركوع والسجود والأذكار وقد علق الله سبحانه الفلاح بخشوع المصلى في صلاته فمن فاته خشوع الصلاة لم يكن من أهل الفلاح، ويستحيل حصول الخشوع مع العجلة والنقر قطعا، بل لا يحصل الخشوع قط إلا مع الطمأنينة وكلما زاد طمأنينة ازداد خشوعا، وكلما قل خشوعه اشتدت عجلته حتى تصير حركة يديه بمنزلة العبث الذي لا يصحبه خشوع ولا إقبال على العبودية، ولا معرفة حقيقة العبودية
“Allah Ta’ala berfirman: {dan tegakkanlah shalat oleh kalian}, Allah memerintahkan kita untuk menegakkannya, yaitu mendatanginya dengan menegakkan kesempurnaan berdirinya, ruku’nya, sujudnya, dan dzikir-dzikirnya. Dan sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah mengkaitkan kemenangan dengan khusyu’nya seseorang dalam shalatnya, barang siapa yang luput darinya kekhusu’an dalam shalat maka dia tidak termasuk dari golongan orang-orang yang menang, dan sangatlah mustahil untuk mendapatkan kekhusyu’an dengan terburu dan shalat seperti burung mematuk, bahkan tidak akan pernah didapati kekhusyu’an kecuali dengan thuma’ninah (tenang), dan ketika thuma’ninah (tenang) bertambah maka akan bertambah pula kekhusyu’an, dan ketika khusyu’nya sedikit maka akan bertambah kecepatan gerakannya hingga gerakan tangannya berubah menjadi sesuatu gerakan bermain-main yang tidak ditemani kekhusyu’an dan juga tidak ditemani menghadap dalam penghambaan.” ([176])
Kedua: Khusyu’ memudahkan untuk semangat shalat
Allah berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al-Baqoroh: 45)
As-Sa’di berkata:
{وَإِنَّهَا} أي: الصلاة {لَكَبِيرَةٌ} أي: شاقة {إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ} فإنها سهلة عليهم خفيفة؛ لأن الخشوع، وخشية الله، ورجاء ما عنده يوجب له فعلها، منشرحا صدره لترقبه للثواب، وخشيته من العقاب، بخلاف من لم يكن كذلك، فإنه لا داعي له يدعوه إليها، وإذا فعلها صارت من أثقل الأشياء عليه. والخشوع هو: خضوع القلب وطمأنينته، وسكونه لله تعالى، وانكساره بين يديه، ذلا وافتقارا، وإيمانا به وبلقائه
“{dan sesungguhnya dia} yaitu shalat {sungguh besar} yaitu sungguh berat {kecuali bagi orang-orang yang khusyu’} maka sungguh shalat adalah suatu yang mudah dan ringan bagi mereka, karena sesungguhnya khusyu’, takut kepada Allah, dan mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya mewajibkan baginya untuk melakukannya dengan keadaan hati yang lapang disertai dengan mengharapkan pahala dan takut akan adzab-Nya. Berbeda dengan orang yang tidak khusyu’, tidak takut kepada Allah, dan tidak mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya maka sesungguhnya dia tidak memiliki faktor yang memotifasinya untuk melakukan shalat. Jika ia mengerjakan shalat maka hal tersebut berubah menjadi sesuatu yang sangat berat baginya. Dan khusyu’ adalah ketundukkan dan thuma’ninahnya (ketenangan) hati, dan diamnya karena Allah Ta’ala, dan takluknya hati di hadapan-Nya dengan kerendahan, merasa butuh, dan iman kepada-Nya dan kepada perjumpaan’nya.” ([177])
Ketiga: Khusyu’ merupakan perkara penentu pahala shalat seseorang.
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya:
وَسُئِلَ:
عَنْ وَسْوَاسِ الرَّجُلِ فِي صَلَاتِهِ وَمَا حَدُّ الْمُبْطِلِ لِلصَّلَاةِ؟ وَمَا حَدُّ الْمَكْرُوهِ مِنْهُ؟ وَهَلْ يُبَاحُ مِنْهُ شَيْءٌ فِي الصَّلَاةِ؟ وَهَلْ يُعَذَّبُ الرَّجُلُ فِي شَيْءٍ مِنْهُ؟ وَمَا حَدُّ الْإِخْلَاصِ فِي الصَّلَاةِ؟ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {لَيْسَ لِأَحَدِكُمْ مِنْ صَلَاتِهِ إلَّا مَا عَقَلَ مِنْهَا} ؟ .
فَأَجَابَ:
الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْوَسْوَاسُ نَوْعَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَمْنَعُ مَا يُؤْمَرُ بِهِ مِنْ تَدَبُّرِ الْكَلِمِ الطَّيِّبِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ الَّذِي فِي الصَّلَاةِ بَلْ يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ الْخَوَاطِرِ فَهَذَا لَا يُبْطِلُ الصَّلَاةَ؛ لَكِنْ مَنْ سَلِمَتْ صَلَاتُهُ مِنْهُ فَهُوَ أَفْضَلُ مِمَّنْ لَمْ تَسْلَمْ مِنْهُ صَلَاتُهُ. الْأَوَّلُ شِبْهُ حَالِ الْمُقَرَّبِينَ وَالثَّانِي شِبْهُ حَالِ الْمُقْتَصِدِينَ.
وَأَمَّا الثَّانِي: فَهُوَ مَا مَنَعَ الْفَهْمَ وَشُهُودَ الْقَلْبِ بِحَيْثُ يَصِيرُ الرَّجُلُ غَافِلًا فَهَذَا لَا رَيْبَ أَنَّهُ يَمْنَعُ الثَّوَابَ كَمَا رَوَى أَبُو دَاوُد فِي سُنَنِهِ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: {إنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ مِنْ صَلَاتِهِ وَلَمْ يُكْتَبْ لَهُ مِنْهَا إلَّا نِصْفُهَا إلَّا ثُلُثُهَا؛ إلَّا رُبْعُهَا إلَّا خُمْسُهَا إلَّا سُدْسُهَا حَتَّى قَالَ: إلَّا عُشْرُهَا} فَأَخْبَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَدْ لَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إلَّا الْعُشْرُ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَيْسَ لَك مِنْ صَلَاتِك إلَّا مَا عَقَلْت مِنْهَا وَلَكِنْ هَلْ يُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَيُوجِبُ الْإِعَادَةَ؟ فِيهِ تَفْصِيلٌ. فَإِنَّهُ إنْ كَانَتْ الْغَفْلَةُ فِي الصَّلَاةِ أَقَلَّ مِنْ الْحُضُورِ وَالْغَالِبُ الْحُضُورُ لَمْ تَجِبْ الْإِعَادَةُ وَإِنْ كَانَ الثَّوَابُ نَاقِصًا فَإِنَّ النُّصُوصَ قَدْ تَوَاتَرَتْ بِأَنَّ السَّهْوَ لَا يُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَإِنَّمَا يُجْبَرُ بَعْضُهُ بِسَجْدَتَيْ السَّهْوِ وَأَمَّا إنْ غَلَبْت الْغَفْلَةُ عَلَى الْحُضُورِ فَفِيهِ لِلْعُلَمَاءِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي الْبَاطِنِ وَإِنْ صَحَّتْ فِي الظَّاهِرِ …؛ لِأَنَّ مَقْصُودَ الصَّلَاةِ لَمْ يَحْصُلْ فَهُوَ شَبِيهُ صَلَاةِ الْمُرَائِي فَإِنَّهُ بِالِاتِّفَاقِ لَا يَبْرَأُ بِهَا فِي الْبَاطِنِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ حَامِدٍ وَأَبِي حَامِدٍ الْغَزَالِيِّ وَغَيْرِهِمَا. وَالثَّانِي تَبْرَأُ الذِّمَّةُ فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ وَإِنْ كَانَ لَا أَجْرَ لَهُ فِيهَا وَلَا ثَوَابَ بِمَنْزِلَةِ صَوْمِ الَّذِي لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ. وَهَذَا هُوَ الْمَأْثُورُ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ مِنْ الْأَئِمَّةِ وَاسْتَدَلُّوا بِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: {إذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قُضِيَ التَّأْذِينُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِيَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ: اُذْكُرْ كَذَا اُذْكُرْ كَذَا مَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ لَا يَدْرِي كَمْ صَلَّى فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ} فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الشَّيْطَانَ يُذَكِّرُهُ بِأُمُورِ حَتَّى لَا يَدْرِيَ كَمْ صَلَّى وَأَمَرَهُ بِسَجْدَتَيْنِ لِلسَّهْوِ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ. وَهَذَا الْقَوْلُ أَشْبَهُ وَأَعْدَلُ؛ فَإِنَّ النُّصُوصَ وَالْآثَارَ إنَّمَا دَلَّتْ عَلَى أَنَّ الْأَجْرَ وَالثَّوَابَ مَشْرُوطٌ بِالْحُضُورِ لَا تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الْإِعَادَةِ لَا بَاطِنًا وَلَا ظَاهِرًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
“beliau (Ibnu Taimmiyyah) pernah ditanya tentang perasaan waswas seseorang dalam shalatnya dan tentang batasan yang membatalkan shalatnya? Apakah orang tersebut akan diadzab disebabkan oleh sesuatu dari waswas tersebut? Dan apa batasan ikhlas dalam shalat? Dan apa yang dimaksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “seseorang di antara kalian tidak akan mendapatkan apapun dari shalatnya kecuali apa yang dia fahami darinya”?
Kemudian beliau menjawab:
Alhamdulillah, was-was (kegelisahan) ada dua macam:
Pertama: sesuatu yang tidak menghalangi dari mentadabburi kalimat yang baik dan amalan shalih yang berada dalam shalat bahkan ini hanya seperti fikiran-fikiran yang terlintas, maka ini tidak membatalkan. Akan tetapi barang siapa yang shalatnya selamat dari hal tersebut, maka ini lebih utama dari orang yang shalatnya tidak selamat darinya. Orang yang pertama menyerupai keadaan muqorrobin dan orang yang kedua menyerupai keadaan muqtashidin.
Adapun yang kedua: adalah sesuatu yang menghalangi dari memahami dan hadirnya hati, yaitu ketika seseorang menjadi seorang yang lalai, maka tidak diragukan bahwa hal ini menghalangi dari memperoleh pahala sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dari Ammar bin Yasir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya seseorang selesai dari shalatnya dan tidak dituliskan pahala dari shalat tersebut untuknya kecuali hanya setengahnya, kecuali hanya sepertiganya, kecuali hanya seperempatnya, kecuali hanya seperlimanya, kecuali hanya seperenamnya, -hingga sabda beliau- dan ada yang mendapat hanya sepersepuluhnya”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan terkadang seseorang tidak tercatat baginya dari pahala shalatnya kecuali hanya sepersepuluh. Dan Ibnu Abbas berkata, “Engkau tidak mendapatkan apa pun dari shalatmu kecuali apa yang engkau fahami darinya”, akan tetapi apakah shalatnya batal dan wajib baginya untuk mengulang shalatnya? Maka dalam permasalahan ini ada perinciannya, seandainya lalainya dia dalam shalat lebih sedikit dari kehadiran hatinya, dan yang lebih banyak adalah kehadiran hatinya maka tidak wajib untuk mengulang walaupun pahalanya berkurang, karena nas-nas yang ada sangat banyak yang menjelaskan bahwa lupa tidak membatalkan shalat akan tetapi sebagiannya ditutup dengan dua sujud sahwi, dan adapun jika lalainya lebih banyak dari kehadirannya maka terdapat dua perkataan dari para ulama, pertama: shalatnya tidak sah secara batin, walaupun sah secara zhahir…, karena maksud dari shalat belum didapati dan ini menyerupai shalat orang yang riya’, maka ini disepakati bahwa dia belum lepas tanggungannya secara batin, dan ini adalah perkataan Abu Abdillah bin Hamid dan Abu Hamid al-Ghozaly dan selainnya. Dan kedua: telah lepas tanggungannya dan tidak wajib baginya untuk mengulanginya, walaupun dia tidak mendapatkan pahala dalam shalatnya, dan ini kedudukannya seperti puasa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka dia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan haus, dan ini adalah atsar dari imam Ahmad dan imam-imam yang lain. Mereka berdalil dengan hadits di Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Jika seorang muaddzin mengumandangkan adzan untuk shalat maka syaithan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk kepada hati seseorang seraya berkata, ‘Ingatlah ini dan itu’ sesuatu yang dia tidak ingat. Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya, jika seseorang di antara kalian mendapati hal tersebut maka hendaknya dia sujud dua kali”, sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa syaithan membuatnya ingat terhadap perkara-perkara hingga dia tidak tahu berapa raka’at dia sudah shalat, lalu beliau memerintahkan untuk melakukan dua sujud sahwi dan tidak memerintahkannya untuk mengulang dan juga beliau tidak membedakan antara yang sedikit dan yang banyak. Dan perkataan kedua ini lebih lebih mendekati kebenaran dan keadilan, karena nas-nas dan atsar-atsar hanya menunjukkan bahwa ganjaran dan pahala disyaratkan dengan hadirnya hati dan tidak menunjukkan akan wajibnya untuk mengulang shalatnya, tidak secara batin maupun zhahir. Wallalhu A’lam. ([178])
Dari penjelasan Ibnu Taimiyyah diatas maka diketahui bahwasanya khusyu’ sangat mempengaruhi pahala shalat seseorang, dimana kadar pahala seseorang berdasarkan apa yang dia renungkan dari shalatnya tersebut. Namun Ibnu Taimiyyah juga mengingatkan bahwa tidak adanya khusyu’ dalam shalat menurut pendapat yang lebih kuat adalah tidak membatalkan shalat.
Keempat: Shalat yang khusyu’ bisa mengampuni dosa-dosa yang telah lalu.
Nabi bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat dan tidak berbicara kepada hatinya antara keduanya, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lalu.” ([179])
Yang dimaksud dengan dosa-dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar, adapun dosa-dosa besar maka disertai dengan taubat.
Adapun الخَوَاطِرُ (yang terbersit di hati) maka ada dua:
Pertama: Bersitan yang langsung menyerang hati, yang tidak bisa ditolak dan dihindari. Maka bersitan seperti ini tidaklah mempengaruhi pahala shalat karena tidak bisa dihindari dan diluar dari kemampuan seorang hamba untuk menolaknya.
Kedua: Bersitan yang mengalir di hati, yang bisa diputuskan oleh hati dan bisa ditolak. Maka inilah yang jika dibiarkan maka akan mempengaruhi pahala shalat dan menguranginya. Karena dalam hadits Nabi berkata يُحَدِّثُ نَفْسَهُ “Ia berbicara dengan hatinya” karena ini menunjukan adanya kesengajaan untuk berbicara dengan hati.
Kemudian bersitan hati bisa berkaitan dengan perkara dunia dan juga perkara akhirat. Adapun yang mengurangi pahala adalah bersitan yang berkaitan dengan dunia. Adapun bersitan yang berkaitan dengan akhirat maka tentu itu yang diharapkan, seperti merenungkan apa yang dibaca, baik bacaan al-Qurán, bacaan dzikir dan doa. Adapun bersitan akhirat yang berkaitan dengan perkara-perkara di luar shalat maka itu diluar dari tujuan shalat. Akan tetapi bersitan ini tidak mengapa karena tetapi berkaitan dengan kepentingan akhirat. Umar berkata:”
إنِّي لَأُجَهِّزُ الْجَيْشَ وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya aku menyiapkan pengaturan pasukan perang sementara aku dalam shalat” ([180]
Sebab-sebab yang membantu untuk khusyu’
Karena agungnya khusyu’ dalam shalat maka syaitan berusaha untuk menghilangkan khusyu’ dari orang yang sedang shalat. Bahkan ada syaitan spesialis yang khusus beraktifitas untuk mengganggu kekhusyuán.
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ أَبِي الْعَاصِ، أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلَاتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ، وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلَاثًا» قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي
“bahwasanya ‘Utsman bin Abu Al–‘Ash mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya; “wahai Rasulullah! Aku sering diganggu syaithan dalam shalat, sehingga bacaanku menjadi kacau karenanya”, Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “itu memang syaithan yang dinamakan Khanzab. Jika engkau mulai merasakannya maka segeralah mohon perlindungan kepada Allah darinya, lalu meludahlah ke sebelah kirimu tiga kali! Dia (‘Usman) berkata: maka akupun melakukan hal tersebut, lalu Allah menghilangkannya dariku.” ([181])
Nabi bersabda:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ، وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ، حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ، حَتَّى إِذَا قَضَى التَّثْوِيبَ أَقْبَلَ، حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ المَرْءِ وَنَفْسِهِ، يَقُولُ: اذْكُرْ كَذَا، اذْكُرْ كَذَا، لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِي كَمْ صَلَّى
“jika dikumandangkan adzan untuk shalat maka syaithan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk kepada hati seseorang seraya berkata, ‘Ingatlah ini dan itu’ terhadap sesuatu yang dia tidak ingat. Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya.” ([182])
Berikut ini kiat-kiat yang bisa membantu seseorang untuk khusyu’ dalam shalat, diantaranya:
Pertama: Menghadirkan dalam diri bahwa ia sedang berhadapan dengan Allah sang maha kuasa. Dan inilah makna ihsaan dalam ibadah.
Nabi bersabda tentang al-Ihsaan :
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” ([183])
Jika seseorang meyakini bahwa Allah sedang melihatnya, sedang menilai shalatnya, tentu ia akan lebih khusyu’ dalam shalatnya. Allah berfirman:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ، الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ، وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud, Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ([184])
Jika kita sedang shalat lantas guru kita melihat shalat kita, atau bos kita melihat shalat kita, tentu kita akan berusaha untuk shalat dengan shalat yang terbaik. Lantas bagaimana lagi jika yang melihat adalah Allah.
Kedua: Meyakini bahwa jika ia bisa baik dalam mengadap Allah di dunia (dengan shalat) maka akan mudah baginya menghadapi Allah pada hari kiamat (dalam hisab dan lainnya).
Ibnul Qoyyim berkata:
للْعَبد بَين يَدي الله موقفان موقف بَين يَدَيْهِ فِي الصَّلَاة وموقف بَين يَدَيْهِ يَوْم لِقَائِه فَمن قَامَ بِحَق الْموقف الأول هوّن عَلَيْهِ الْموقف الآخر وَمن استهان بِهَذَا الْموقف وَلم يوفّه حقّه شدّد عَلَيْهِ ذَلِك الْموقف قَالَ تَعَالَى وَمن اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلاً طَوِيلاً إِنَّ هَؤُلاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْماً ثَقِيلاً
“S1eorang hamba dihadapan Allah memiliki dua posisi: posisi dia di hadapan Allah dalam shalat dan posisi dia di hadapan Allah di hari perjumpaan dengan-Nya, barang siapa yang menegakkan hak posisi yang pertama maka akan dimudahkan baginya pada posisi kedua, dan barang siapa yang meremehkan posisi yang pertama tersebut dengan tidak menunaikan haknya maka akan disulitkan baginya pada posisi kedua tersebut, Allah Ta’ala berfirman: {Dan pada sebagian dari malam, maka bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya di malam yang panjang. Sesungguhnya mereka (orang kafir) itu mencintai kehidupan (dunia) dan mereka meninggalkan hari yang berat (hari akhirat) di belakang mereka}.” ([185])
Ketiga: Meyakini bahwa ketika ia sedang shalat maka ia sedang bermunajat (berbicara) dengan Allah.
Nabi bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian jika berdiri dalam shalatnya maka sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Rabbnya” ([186])
Dan الْمُنَاجَاةُ “munajaat” dalam bahasa arab asal maknanya adalah الكَلاَمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ سِرًّا “Pembicaraan di antara dua orang dengan diam-diam”. Makna ini didukung dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الفاتحة: 2]، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1]، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} [الفاتحة: 5] قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Allah berfirman: Aku membagi shalat antara Aku dan hambaKu dua bagian, dan untuk hambaku ia mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”, Maka Allah berkata: “HambaKu memujiKu”, apabila hamba tersebut mengucapkan: “Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang”, Allah berkata: “HambaKu menyanyjungKu”, apabila hamba tersebut mengucapkan: “Pemilik hari kiamat”, Allah berkata: “HambaKu mengagungkanKu”, apabila hamba tersebut mengucapkan: “Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan”, Allah berkata: “Ini adalah antara Aku dengan hambaKu, dan hambaKu mendapatkan apa yang dia minta”, dan apabila hamba tersebut mengucapkan: “Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat”, Allah berkata: “Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan apa yang dia minta”.” ([187])
Karenanya jika seseorang sedang shalat sesungguhnya ia sedang fokus berbicara dengan Allah, berdua antara dia dengan Allah. Lantas apakah merupakan adab yang baik jika kita berbicara dengan seorang pejabat, ia sedang fokus berbicara dengan kita sementara kita berbicara dengan dia sambil tidak fokus dan fikiran kemana-mana? Bagaimana lagi jika kita sedang bermunajat kepada Penguasa alam semesta?!
Keempat: Ketika shalat menghadirkan hati seakan-akan ini merupakan shalat yang terakhir.
Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda:
إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ
“Jika engkau shalat maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah” ([188])
Maksudnya yaitu ketika shalat seakan-akan ia akan berpisah dari shalatnya, yaitu seakan-seakan merupakan shalatnya yang terakhir. ([189])
Ibnu Rojab berkata :
وَلِذَلِكَ أُمِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، لِأَنَّهُ مَنِ اسْتَشْعَرَ أَنَّهُ مُوَدِّعٌ بِصَلَاتِهِ، أَتْقَنَهَا عَلَى أَكْمَلِ وُجُوهِهَا
“Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk shalat dengan shalat perpisahan, karena sesungguhnya barang siapa yang merasa bahwa dirinya akan berpisah dari (dunia) dengan shalatnya maka dia akan menyempurnakannya dengan sesuatu yang paling sempurna.” ([190])
Kelima: Berusaha memahami semua yang ia baca, terutama dzikir-dzikir dan doa-doa dalam shalat. Karena jika seseorang memahami apa yang ia ucapkan maka akan memudahkannya untuk konsentrasi dalam shalatnya.
Keenam: Berusaha untuk variasi dalam membaca dzikir-dzikir shalat, bukan satu model dzikir saja. Karena kalau hanya satu model dzikir terkadang lisan mengalir saja mengucapkan dzikir tersebut tanpa harus memahaminya. Lain halnya jika dzikir-dzikir divariasikan, maka tentu membantu untuk fokus dalam memahami apa yang dibaca.
Misalnya, pada shalat ini membaca doa istiftah yang satu, maka pada shalat yang lain membaca doa istiftaah yang lainnya. Demikian juga begitu banyak variasi doa dalam rukuk dan sujud yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam.
Ketujuh: Berusaha persiapan dengan sebaik-baiknya ketika hendak shalat, seperti berwudhu dari rumah lalu berjalan menuju masjid dengan tenang. Lalu jika masuk masjid shalat qobliah atau shalat tahiyyatul masjid, lalu jika masih ada waktu bisa membaca al-Qurán, atau berdoa kepada Allah. Ini semuanya merupakan pengantar atau muqoddimah, sehingga ketika masuk dalam shalat fardu maka dalam kondisi lebih khusyu’.
Kedelapan: Berusaha menjauhkan diri dari sebab-sebab yang bisa mengganggu kekhusyuán. Sebab-sebab tersebut bisa diklasifikasikan kepada dua model:
Pertama: Tempat yang tidak kondusif untuk shalat. Misalnya sajadah yang terlalu menarik perhatian.
Aisyah berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ، فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: «اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي» وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا، وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي»
“Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam shalat di baju dari wol([191]) yang ada garis-garisnya (gambarnya). Kemudian beliau selintas melihat garis-garisnya. Ketika selesai shalat, beliau mengatakan, ‘Pergilah dengan membawa baju ini ke Abu Jahm, dan bawakan (penggantinya) untukku dengan Anbijaniyah (baju kasar tanpa ada garis-garisnya/gambarnya([192])) kepunyaan Abu Jahm. Karena baju tersebut baru saja melalaikanku dari shalatku”. Dan berkata Hisyam bin’Urwah dari ayahnya, dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi w asallam bersabda: “Aku melihat kepada gambarnya, sementar aku sedang shalat, maka aku khawatir gambar tersebut menggangguku.” ([193])
Atau lokasi yang kurang bersih dan menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga bisa mengganggu konsentrasi
Kedua: Berkaitan dengan hal-hal yang bisa mengganggu pikiran, seperti :
- Dalam kondisi lapar, sementara makanan sudah siap dihidangkan
- Sedang shalat tapi menahan buang air atau buang angin
Nabi bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak sempurna([194]) shalat seseorang apabila makanan yang telah dihidangkan, atau apabila dia menahan buang air besar atau kecil.” ([195])
Kesembilan: Berdoa kepada Allah agar diberikan hati yang khyusu’. Diantara doa Nabi shallallahu álaihi wasallam :
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْأَرْبَعِ: مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari empat perkara: dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak berasa puas dan dari doa yang tidak didengar.” ([196])
Ditulis oleh DR. Firanda Andirja, Lc, MA
FOOTNOTE:
([1]) Ta’dzim As-Shalat Li ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr hal. 10.
([7]) Al- Allamah As-Sa’diy menafsirkan ayat ini bahwa:
أَنَّ الصَّلَاة،َ لَمْ تَزَلْ مَشْرُوْعَةً لِلْأَنْبِيَاءِ الْمُتَقَدِّمِيْن،َ وَأَنَّهَا مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ، حَتَّى إِنَّهُ مُتَقَرِّرٌ عِنْدَ الْكُفَّارِ فَضْلَهَا، وَتَقْدِيْمَهَا عَلَى سَائِرِ الْأَعْمَالِ، وَأَنَّهَا تَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ، وَهِيَ مِيْزَانٌ لِلْإِيْمَانِ وَشَرَائِعِهِ، فَبِإِقَامَتِهَا تَكْمُلُ أَحْوَالُ الْعَبْدِ، وَبِعَدَمِ إِقَامَتِهَا، تَخْتَلُّ أَحْوَالُهُ الدِّيْنِيَّةُ.
Sesungguhnya shalat selalu menjadi syariat para Nabi terdahulu dan merupakan amalan yang paling utama. Sehingga orang-orang kafir mengakui keutamaannya diantara ibadah yang lain. Dapat mencegah perbuatan keji dan keburukan. Disamping itu shalat menjadi barometer keimanan dan syariat islam. Mengerjakannya dapat menyempurnakan kondisi dan keadaan seorang hamba dan sebaliknya, meninggalkannya mampu merubah keadaan ideologinya. (Taisir Al-Karim Ar-Rahman fii Tafsir Kalam Al-Mannan Li Abdurrahman As-Sa’diy hal. 388)
([12]) Tafsir Ibnu Katsir 7/65.
([15]) Tafsir At-Thabari 21/109.
([20]) H.R. Ahmad no. 3322, Abu Dawud no. 393, Tirmidzi no. 149 dan dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Shahih Al-Jami’ no. 1402.
([21]) Fathul Bari Li Ibni Rajab 2/321.
([22]) Majmu’ Al-Fatawa Li Ibni Taimiyyah 22/5 dan Fatawa Al-Kubra 2/5.
([23]) Demikian pendapat mayoritas ulama seperti imam As-Syafi’i (lihat: Al-Umm Li As-Syafi’i 1/86), Ibnu Hajar (Fathul Bari Li Ibn Hajar 1/465), Ibnu Rajab (lihat: Fathul Bari Li Ibn Rajab 2/306). Begitu juga halnya dari mayoritas ahli tafsir diantaranya At-Thabariy, Ibnu Katsir, Al-Qurthubiy, Al-Baghawi (Tafsir At-Thabari (Jami’ Al-Bayan) 23/679, Tafsir Al-Baghawi 8/258, Tafsir Ibnu Katsir 8/259 dan Tafsir Al-Qurthubi 19/56).
([26]) Tafsir Al-Baghawi 8/250.
([27]) Tafsir At-Thabariy (Jami’ Al-Bayan) 23/678.
([28]) HR Muslim : no 745, dan Ahmad dalam Musnadnya : no 24269.
([31]) H.R. Bukhari no. 349 dan Muslim no.162.
([32]) Diantara pendapat tersebut adalah:
- Al-Israa’ wa al-Mi’raaj terjadi 18 bulan setelah Nabi diangkat menjadi Nabi. Ini adalah pendapat Adz-Dzahabi di Taariikh beliau.
- Terjadi pada 27 Robiúl awwal setahun sebelum berhijrah. Ini adalah pendapat Abu Ishaaq al-Harbi.
- Adapun Ibnu Syihaab az-Zuhri, diriwayatkan dari beliau bahwa beliau berpendapat al-Israa’ terjadi setahun sebelum hijrah. Dana diriwayatkan juga dari beliau bahwa al-Israa’ terjadi 5 tahun setelah beliau diangkat menjadi Nabi (Lihat semua pendapat ini di Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 2/6)
Namun tidak ada dalil yang kuat yang menunjukan mana yang lebih tepat diantara pendapat-pendapat tersebut.
([34])Jami’ul bayan 17/514, Tafsir Ibn Katsir 5/102, Taisirul Kalamir Rahman fii Tafsir Kalamil Mannan hal.464.
([35]) Penyebutan ‘dua rakaat’ diulang dua kali untuk menjelaskan bahwa setiap shalat dikerjakan sebanyak dua rakaat. (Fathul Bari Li Ibni Hajar 1/464). Kecuali shalat maghrib maka sejak awal sudah diwajibkan 3 raka’at.
([39]) H.R. Ibnu Khuzaimah no.305 dan Ibnu Hibban no.2738.
([40]) ‘Azimah adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh As-Syathibi, yaitu:
مَا شُرِعَ مِنَ الْأَحْكَامِ الْكُلِّيَّةِ ابْتِدَاءً
Artinya: Hukum-hukum yang berlaku umum yang disyariatkan sejak semula. (Al-Muwafaqat Li As-Syathibiy 1/464).
([41]) Lihat : Fathul Bari Li Ibn Hajar 1/465.
([42]) Yaitu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat antara rukun Yamani dengan Rukun Hajar Aswad, karena dengan demikian berarti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menghadap ke utara ke arah Baitul Maqdis.
([46]) Diantaranya hadits Al-Baroo’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
وَأَنَّهُ «صَلَّى قِبَلَ بَيْتِ المَقْدِسِ سِتَّةَ عَشَرَ شَهْرًا، أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ يُعْجِبُهُ أَنْ تَكُونَ قِبْلَتُهُ قِبَلَ البَيْتِ، وَأَنَّهُ صَلَّى أَوَّلَ صَلاَةٍ صَلَّاهَا صَلاَةَ العَصْرِ، وَصَلَّى مَعَهُ قَوْمٌ»
“Bahwasanya Nabi shallallahu álaihi wasallam sholat ke arah Baitul Maqdis selama 16 bulan atau 17 bulan, dan beliau suka jika kiblat ke arah Ka’bah. Dan beliau sholat pertama kali (sholat menghadap Ka’bah) adalah sholat ashar dan sekelompok orang sholat bersama beliau” (HR Al-Bukhari no 40)
Ibnu Katsir berkata :
([47]) Diantaranya hadits Ibnu Umar, beliau berkata :
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: «إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا»، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الكَعْبَةِ
“Tatkal orang-orang sedang sholat subuh di Masjid Quba’, tiba-tiba datang seseorang lalu berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam telah diturunkan kepadanya malam kemarin suatu ayat Qurán, dan ia diperintahkan untuk menghadap Ka’bah, maka hendaknya kalian menghadap Ka’bah”. Awalnya wajah mereka menghadap Syaam (Baitul Maqdis) maka merekapun berputar untuk menghadap Ka’bah” (HR Al-Bukhari no 403 dan Muslim no 526)
([48]) Berdasarkan riwayat yang disebutkan oleh Ibnu Saád. Beliau berkata :
وَيُقَالُ: بَلْ زَارَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم أُمَّ بِشْرِ بْنِ الْبَرَاءِ بْنِ مَعْرُورٍ فِي بَنِي سَلِمَةَ فَصَنَعَتْ لَهُ طَعَامًا وَحَانَتِ الظُّهْرُ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلم بِأَصْحَابِهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ أُمِرَ أَنْ يُوَجِّهَ إِلَى الْكَعْبَةِ فَاسْتَدَارَ إِلَى الْكَعْبَةِ وَاسْتَقْبَلَ الْمِيزَابَ فَسُمِّيَ الْمَسْجِدُ: مَسْجِدُ الْقِبْلَتَيْنِ
“Dan dikatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam menziarahi Ummu Bisyr bin al-Baroo’ bin Ma’ruur di kampung Bani Salimah. Maka ia membuatkan makanan untuk Nabi shallallahu álaihi wasallam lalu tiba waktu dzhuhur. Maka Rasululah shallallahu álaihi wasallam sholat mengimami para shahabat dua rakaát pertama, kemudian beliau diperintahkan untuk menghadap Ka’bah maka Nabipun berputar untuk menghadap Ka’bah dan beliau menghadap Mizab. Maka Masjid (di kampung Bani Salimah) tersebut dinamakan dengan Masjid al-Qiblatain” (At-Thobaqoot 1/241-242).
Riwayat inilah yang dinukilkan oleh para ulama diantaranya Ibnul Jauzi (Lihat Kasyful Musykil, 1/461) dan Ibnu Hajar (lihat Fathul Baari 1/503). Namun riwayat ini disampaikan oleh Ibnu Sáad tanpa sanad.
([50]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 1/460.
Ibnu Umar berkata:
بَيْنَا النَّاسُ بِقُبَاءٍ فِي صَلاَةِ الصُّبْحِ، إِذْ جَاءَهُمْ آتٍ، فَقَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أُنْزِلَ عَلَيْهِ اللَّيْلَةَ قُرْآنٌ، وَقَدْ أُمِرَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الكَعْبَةَ، فَاسْتَقْبِلُوهَا، وَكَانَتْ وُجُوهُهُمْ إِلَى الشَّأْمِ، فَاسْتَدَارُوا إِلَى الكَعْبَةِ
Ketika orang-orang berada di Quba’ mengerjakan shalat shubuh, tiba-tiba datang seseorang kepada mereka seraya berkata: “Sesungguhnya telah diturunkan wahyu kepada Rasulullah, beliau telah diperintahkan agar menghadap Ka’bah, maka menghadaplah ke Ka’bah. Sebelumnya mereka menghadap ke Syam, lalu berputar menghadap ke Ka’bah. (H.R. Bukhari no.403 dan Muslim no.526.)
Begitu juga dengan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bara’ bin ‘Azib, beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى نَحْوَ بَيْتِ المَقْدِسِ، سِتَّةَ عَشَرَ أَوْ سَبْعَةَ عَشَرَ شَهْرًا، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُحِبُّ أَنْ يُوَجَّهَ إِلَى الكَعْبَةِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ: {قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ}، فَتَوَجَّهَ نَحْوَ الكَعْبَةِ “، وَقَالَ السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ، وَهُمُ اليَهُودُ: {مَا وَلَّاهُمْ} عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي كَانُوا عَلَيْهَا، قُلْ لِلَّهِ المَشْرِقُ وَالمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ، ثُمَّ خَرَجَ بَعْدَ مَا صَلَّى، فَمَرَّ عَلَى قَوْمٍ مِنَ الأَنْصَارِ فِي صَلاَةِ العَصْرِ نَحْوَ بَيْتِ المَقْدِسِ، فَقَالَ: هُوَ يَشْهَدُ: أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنَّهُ تَوَجَّهَ نَحْوَ الكَعْبَةِ، فَتَحَرَّفَ القَوْمُ، حَتَّى تَوَجَّهُوا نَحْوَ الكَعْبَة
Dahulu Rasulullah mendirikan shalat dengan menghadap Baitul Maqdis selama enam belas atau tujuh belas bulan. Rasulullah lebih suka menghadap kiblat ke arah ka’bah. Lalu Allah menurunkan ayat: “Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit.” Lalu beliau menghadap ke Ka’bah. Orang-orang bodoh dari golongan yahudi berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allahlah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendakiNya ke jalan yang lurus.” Setelah itu ada seseorang lelaki yang shalat bersama Nabi, kemudian setelah selesai dia keluar, lalu melewati suatu kaum dari Anshar yang mengerjakan shalat ‘ashar menghadap Baitul Maqdis. Lalu dia berkata bahwa dia bersaksi telah mengerjakan shalat bersama Rasulullah dan menghadap ke arah Ka’bah. Setelah itu kaum tersebut berputar hingga menghadap ke arah Ka’bah. (H.R. Bukhari no.399)
([51]) Tafsir Ibnu Katsir 1/326
([52]) Lihat : Fathul Baari 1/97
([53]) Lihat: Ta’dzimusshalah hal.5
Makna shalat adalah cahaya diantaranya :
- Sholat adalah cahaya yang membimbing kepada kebenaran sehingga mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.
- Orang yang sholat akan diberikan cahaya baginya pada kegelapan hari kiamat di padang mahsyar (lihat Syarh al-Árbaín, al-Útsaimin hal 222)
- Sholat menyinari hati, sehingga menjadi berseri dan lapang, karena orang yang sholat hatinya fokus kepada Allah.
- Orang yang shalat wajahnya akan bersinar pada hari kiamat, dan ini mengisyaratkan tentang hadits orang yang berwudhu akan ada ghurroh (cahaya) di wajahnya (Lihat Ikmaal al-Mu’lim Bi Fawaaidi Muslim, al-Qoodhi Íyaadh 2/8)
- dan di dunia wajahnya berseri-seri (Lihat penjelasan An-Nawawi di Al-Minhaaj 3/101), dan telah datang hadits maudhu’ (palsu) yang mendukung makna ini yaitu مَنْ كَثُرَتْ صَلاَتُهُ بِاللَّيْلِ؛ حَسُنَ وَجْهُهُ بِالنَّهَارِ “Barang siapa yang banyak sholatnya di malam hari maka wajahnya indah di siang hari”, hadits ini dinyatakan palsu oleh Al-Albani (Ad-Dhoíifah no 4644). Akan tetapi makna hadits ini benar (Lihat Ikmaal al-Mu’lim Bi Fawaaidi Muslim, al-Qoodhi Íyaadh 2/8)
- Sholat sebagai cahaya di kuburan (lihat Mirqoot al-Mafaatiih 1/342)
- Sholat sebagai cahaya untuk melewati shiroth (lihat At-Taisiir bi Syarh al-Jaami’ as-Shogiir 1/506)
Dengan demikian maka sholat adalah cahaya mencakup cahaya di hati, cahaya di wajah (di dunia maupun di akhirat), cahaya hidayah, cahaya di kuburan, cahaya di padang mahsyar, dan cahaya di atas shiroth. Karena nash hadits (وَالصَّلَاةُ نُورٌ) mencakup seluruh makna tersebut (Lihat Dzakhiirotul Úqba fi Syarh al-Mujtaba 21/388)
([55]) HR. Ahmad no 6576 dengan sanad yang hasan
([56]) HR Abu Daud no 561 dan at-Tirmidzi no 223 dan dishahihkan oleh al-Albani
([57]) Lihat: Ta’dzimusshalah hal.6
([59]) Lihat: Ta’dzimusshalah hal.6
([61]) Lihat: Ta’dzimusshalah hal.6, Sholatul mukmin hal.107
([63]) Lihat: Ta’dzimusshalah hal.6, Shalatul Mukmin hal.107
([64]) HR. Thabrani no.1859 dishahihkan oleh Al-Albani no.2573 di Shahihul Jami’
([65]) HR. An-Nasa’i no.322, Tirmidzi no.413 dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ As-Shoghir wa ziyadatihi juz:1, hal:405
([66]) Lihat Shalatul Mukmin hal.108
([67]) HR. Ahmad no.22160, dishahihkan oleh Al-Albani no.5075 di dalam Shohih Al-Jami’
([68]) HR. Thabrani no.387 di dalam Al-Mu’jam As-Shagir, Didha’ifkan oleh Al-Albani no.1824 di dalam Dho’iful Jami’
([69]) HR. Tirmidzi dan Hakim, Dihasankan oleh Al-Albani no.2575 di dalam Shahihul Jami’
([70]) HR Ath-Thabrani no.7182 di dalam Mu’jam Al-Kabir, Al-Khara’itiy di dalam Makarimal Akhlaq no.171, dishahihkan oleh Al-Albani dalam silsilah ahadits shahihah no. 1739
([71]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.108
([72]) HR. Ahmad no.26483. Dishahihkan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ul Ghalil no.2178)
([73]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.108
([75]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.109
([78]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.109
([79]) HR. Bukhari no.8, Muslim no.19, Tirmidzi no.2609
([80]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.109
([81]) HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani
([82]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.109
([83]) HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani
([84]) HR. Bukhari no.7515, Muslim no. 162
([85]) HR. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh Al-Albani
([87]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.109
([89]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.109
([91]) HR. Abu Dawud no.495, dihasankan oleh Al-Albani di dalam Shohihul Jami’ no.5868.
([92]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.110
([95]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.111
([97]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.111
([100]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.111
([104]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.112
([107]) Lihat: Ta’dzimusshalah hal.6
([109]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.115
([112]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.111
([114]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.111
([116]) HR. Abu Dawud no.563 Syaikh Al-Albani berkata: hadits shohih
([117]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.117
([118]) HR. Bukhari no.662, Muslim no.669
([119]) Lihat: Sholatul Mukmin hal.118
([120]) HR. Abu Dawud no.558 Syaikh Al-Albani berkata: hadits hasan
([123]) HR al-Bukhari no 2119 dan Muslim no 649
([124]) HR Abu Daud no 564 dan dishahihkan oleh Al-Albani
[126]) Al-A’raf: 31
[127]) Ibnu Hajar berkata :
وَنقل ابن حَزْمٍ الِاتِّفَاقَ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ سَتْرُ الْعَوْرَةِ
“Ibnu Hazm menukilkan ittifaaq (kesepakatan para ulama) bahwa yang dimaksud dengan ziinah (perhiasan) dalam ayat ini adalah menutup aurat” (Fathul Baari 1/465)
[128]) Tafsir Ibnu Katsir 3/365.
[129]) H.R. Bukhari no.7359 dan Muslim no.564.
[130]) (الْكُرَّاثَ) sejenis bawang putih yaitu bawang bakung, sebagian orang terganggu karena baunya yang menyengat. (Fathul Bari Li Ibni Rajab 8/17).
[131]) H.R. Muslim no.564.
[132]) Lihat: Fathul Bari Li Ibni Rajab 8/9.
[133]) H.R. Bukhari no.908.
[134]) Suara gaduh karena tergesa-gesa (Fathul bari Li Ibni Rajab 5/387, Shahih Bukhari Ta’liq Musthafa Al-Bugha 1/129).
[135]) H.R. Bukhari no.635.
[136]) H.R. Muslim no 602
[137]) Lihat penjelasan Ibnu Hajar di Fathul Bari 2/118.
[138]) Maksudnya adalah kebaikan dan pahala besar yang didapatkan di dalam adzan dan shaf pertama (Fathul bari Li Ibni Rajab 5/286).
[139]) (التَّهْجِيرِ) yaitu bersegara mendatangi shalat di awal waktu (An-Nihayah Li Ibni Al-Atsir 5/246).
[140]) (حَبْوًا) yaitu berjalan dengan kedua tangan dan kedua kakinya atau pinggulnya yakni merangkak (An-Nihayah Li Ibni Al-Atsir 1/336).
[141]) H.R. Bukhari no.615.
[142]) H.R. Syarh Shahih Bukhari Li Ibni Batthal 2/244.
[143]) H.R. Bukhari no.6316 dan Muslim no.763. Dalam riwayat Imam Muslim di akhir hadits disebutkan (وَعَظِّمْ لِي نُورًا) “muliakanlah cahaya bagiku.”
[144]) Fathul Bari Li Ibni Hajar 3/4.
[145]) H.R. Muslim no.713.
[146]) H.R. Ibnu Majah no.772, Abu Dawud no.463 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
[147]) H.R. Abu Dawud no.466 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
[148]) H.R. Bukhari no.168.
[149]) H.R. Hakim no.791 di dalam Al-Mustadrak, hadits shahih dengan syarat Muslim.
[150]) H.R. Bukhari no..444 dan Muslim no.714.
[151]) H.R. Bukhari no.477 dan Muslim no.649.
[152]) H.R. Bukhari no.475 dan Muslim no.2100.
[153]) Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 9/61.
[154]) Ashhabus Shuffah yaitu Sahabat Nabi dari kalangan Muhajirin yang tidak memiliki tempat tinggal dan mereka tinggal dan berdiam diri di masjid Nabi. (Lihat: Fathul Bari Li Ibni Rajab 3/261)
[155]) H.R. Bukhari no.440.
[156]) Syarh Shahih Al-Bukhari 2/105.
[157]) Syarhu An-Nawawi ‘ala Muslim 5/55.
[158]) H.R. Tirmidzi no.1321 dan Ad-Darimi no.1441, dishahihkan oleh Al-Albani.
[159]) H.R. Muslim no.568.
[160]) Fathul Bari Li Ibni Rajab 3/401.
[161]) H.R. Bukhari no.471 dan Muslim no.1558.
[162]) Tasybikul yad artinya adalah merekatkan antar jari jemari tangan. sebagian orang melakukan perbuatan tersebut, padahal termasuk kepada perbuatan yang sia-sia. Diantara hikmah dilarangnya menjalin jari jemari saat hendak shalat adalah ketika seseorang duduk sembari beristirahat menunggu waktu shalat dengan menjalinkan jari-jemarinya, maka hal itu dapat menyebabkan rasa kantuk dan tertidur, yang mana hal itu dapat mengakibatkan batalnya wudhu seseorang, apabila dia berhadats dalam tidurnya. (Lihat : Ma’alim As-Sunan Li Al-Khatthabiy 1/162).
[163]) H.R. Tirmidzi no.386 dan dishahihkan oleh Al-Albani
[164]) H.R. Bukhari no.642.
[165]) Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim 4/73. Namun, jika yang dibicarakan bukan termasuk perkara yang penting, maka hal itu dimakruhkan oleh sebagian ulama, diantaranya adalah Hanafiyyah (Lihat: Umdatul Qoriy Li Ainiy 5/158)
[166]) H.R. Ibnu Majah no.3300, dishaihihkan oleh Al-Albani.
[167]) Syarh Shahih Al-Bukhari Li Ibni Batthal 2/104.
[168]) H.R. Bukhari no.454.
[169]) H.R. Bukhari no.883.
[170]) Fathul Bari Li Ibni Rajab 5/427.
[171]) H.R. Muslim no.655.
[172]) Hadits diatas menjelaskan diantara kebiasaan Rasulullah adalah mengenakan sandal ketika mendirikan shalat. Namun, perbuatan beliau ini menunjukkan bahwa hal tersebut termasuk perkara yang mubah (dibolehkan). (Lihat: Fathul Bari Li Ibni Rajab 3/42)
[173]) H.R. Bukhari no.386.
[174]) H.R. Abu Dawud no.650 dan dishahihkan oleh Al-Albani.
([176]) Ash-Shalaatu wa Ahkaamu Taarikihaa 1/140
([178]) Majmuu’ al-Fataawaa 22/611-613
([179]) HR Al-Bukhari no 159 dan Muslim no 226
([180]) Lihat: Ihkaam al-Ahkaam 1/86
([182]) HR Al-Bukhari no 608 dan Muslim no 389
([183]) HR Al-Bukhari no 50 dan Muslim no 1
([184]) QS Asy-Syuároo 217-220
([186]) HR Al-Bukhari no 405 dan Muslim no 551
([188]) HR Ahmad no 23498 dan Ibnu Majah No 4171, dan dishahihkan oleh Al-Albani di As-Shahihah no 401
([189]) Lihat Mirqoot al-Mafaatiih 8/3270
([190]) Jaamiúl Uluum wal Hikam 2/114
([191]) Lihat: Ma’alimus sunan 1/216
([192]) Lihat: Ma’alimus sunan 1/216
([193]) HR Al-Bukhari no 373 dan Muslim no 556
([194]) Lihat: Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaat Al-Mashaabiih 3/835
([196]) HR Ahmad no 8488, Ibnu Maajah no 3837 dan Abu Dawud no 1548, dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad