Khusyu’ Ketika Shalat
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Keutamaan Khusyu’:
Pertama: Khusyu’ merupakan ciri pertama pewaris surga Firdaus
Sesungguhnya khusyu’ merupakan ruhnya shalat. Karenanya seseorang yang khusyu’ dalam shalatnya telah menggapai derajat yang tinggi di sisi Allah. Bahkan khusyu’ dalam shalat merupakan ciri utama para pewaris surga Firdaus. Allah berfirman:
}قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ، الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ عَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِلزَّكَاةِ فَاعِلُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ، إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ، فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ لِأَمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ، وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ، أُولَئِكَ هُمُ الْوَارِثُونَ، الَّذِينَ يَرِثُونَ الْفِرْدَوْسَ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ{
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyu´ dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya, dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.” ([1])
Ibnul Qoyyim berkata:
قال تعالى: {وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ} فأمرنا بإقامتها وهو الإتيان بها قائمة تامة القيام والركوع والسجود والأذكار وقد علق الله سبحانه الفلاح بخشوع المصلى في صلاته فمن فاته خشوع الصلاة لم يكن من أهل الفلاح، ويستحيل حصول الخشوع مع العجلة والنقر قطعا، بل لا يحصل الخشوع قط إلا مع الطمأنينة وكلما زاد طمأنينة ازداد خشوعا، وكلما قل خشوعه اشتدت عجلته حتى تصير حركة يديه بمنزلة العبث الذي لا يصحبه خشوع ولا إقبال على العبودية، ولا معرفة حقيقة العبودية
“Allah Ta’ala berfirman: {dan tegakkanlah shalat oleh kalian}, Allah memerintahkan kita untuk menegakkannya, yaitu mendatanginya dengan menegakkan kesempurnaan berdirinya, ruku’nya, sujudnya, dan dzikir-dzikirnya. Dan sungguh Allah subhanahu wa ta’ala telah mengkaitkan kemenangan dengan khusyu’nya seseorang dalam shalatnya, barang siapa yang luput darinya kekhusu’an dalam shalat maka dia tidak termasuk dari golongan orang-orang yang menang, dan sangatlah mustahil untuk mendapatkan kekhusyu’an dengan terburu dan shalat seperti burung mematuk, bahkan tidak akan pernah didapati kekhusyu’an kecuali dengan thuma’ninah (tenang), dan ketika thuma’ninah (tenang) bertambah maka akan bertambah pula kekhusyu’an, dan ketika khusyu’nya sedikit maka akan bertambah kecepatan gerakannya hingga gerakan tangannya berubah menjadi sesuatu gerakan bermain-main yang tidak ditemani kekhusyu’an dan juga tidak ditemani menghadap dalam penghambaan.” ([2])
Kedua: Khusyu’ memudahkan untuk semangat shalat
Allah berfirman:
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’.” (QS. Al-Baqoroh: 45)
As-Sa’di berkata:
{وَإِنَّهَا} أي: الصلاة {لَكَبِيرَةٌ} أي: شاقة {إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ} فإنها سهلة عليهم خفيفة؛ لأن الخشوع، وخشية الله، ورجاء ما عنده يوجب له فعلها، منشرحا صدره لترقبه للثواب، وخشيته من العقاب، بخلاف من لم يكن كذلك، فإنه لا داعي له يدعوه إليها، وإذا فعلها صارت من أثقل الأشياء عليه. والخشوع هو: خضوع القلب وطمأنينته، وسكونه لله تعالى، وانكساره بين يديه، ذلا وافتقارا، وإيمانا به وبلقائه
“{dan sesungguhnya dia} yaitu shalat {sungguh besar} yaitu sungguh berat {kecuali bagi orang-orang yang khusyu’} maka sungguh shalat adalah suatu yang mudah dan ringan bagi mereka, karena sesungguhnya khusyu’, takut kepada Allah, dan mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya mewajibkan baginya untuk melakukannya dengan keadaan hati yang lapang disertai dengan mengharapkan pahala dan takut akan adzab-Nya. Berbeda dengan orang yang tidak khusyu’, tidak takut kepada Allah, dan tidak mengharapkan apa yang ada di sisi-Nya maka sesungguhnya dia tidak memiliki faktor yang memotifasinya untuk melakukan shalat. Jika ia mengerjakan shalat maka hal tersebut berubah menjadi sesuatu yang sangat berat baginya. Dan khusyu’ adalah ketundukkan dan thuma’ninahnya (ketenangan) hati, dan diamnya karena Allah Ta’ala, dan takluknya hati di hadapan-Nya dengan kerendahan, merasa butuh, dan iman kepada-Nya dan kepada perjumpaan’nya.” ([3])
Ketiga: Khusyu’ merupakan perkara penentu pahala shalat seseorang.
Ibnu Taimiyyah pernah ditanya:
وَسُئِلَ:
عَنْ وَسْوَاسِ الرَّجُلِ فِي صَلَاتِهِ وَمَا حَدُّ الْمُبْطِلِ لِلصَّلَاةِ؟ وَمَا حَدُّ الْمَكْرُوهِ مِنْهُ؟ وَهَلْ يُبَاحُ مِنْهُ شَيْءٌ فِي الصَّلَاةِ؟ وَهَلْ يُعَذَّبُ الرَّجُلُ فِي شَيْءٍ مِنْهُ؟ وَمَا حَدُّ الْإِخْلَاصِ فِي الصَّلَاةِ؟ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {لَيْسَ لِأَحَدِكُمْ مِنْ صَلَاتِهِ إلَّا مَا عَقَلَ مِنْهَا} ؟ .
فَأَجَابَ:
الْحَمْدُ لِلَّهِ، الْوَسْوَاسُ نَوْعَانِ:
أَحَدُهُمَا: لَا يَمْنَعُ مَا يُؤْمَرُ بِهِ مِنْ تَدَبُّرِ الْكَلِمِ الطَّيِّبِ وَالْعَمَلِ الصَّالِحِ الَّذِي فِي الصَّلَاةِ بَلْ يَكُونُ بِمَنْزِلَةِ الْخَوَاطِرِ فَهَذَا لَا يُبْطِلُ الصَّلَاةَ؛ لَكِنْ مَنْ سَلِمَتْ صَلَاتُهُ مِنْهُ فَهُوَ أَفْضَلُ مِمَّنْ لَمْ تَسْلَمْ مِنْهُ صَلَاتُهُ. الْأَوَّلُ شِبْهُ حَالِ الْمُقَرَّبِينَ وَالثَّانِي شِبْهُ حَالِ الْمُقْتَصِدِينَ.
وَأَمَّا الثَّانِي: فَهُوَ مَا مَنَعَ الْفَهْمَ وَشُهُودَ الْقَلْبِ بِحَيْثُ يَصِيرُ الرَّجُلُ غَافِلًا فَهَذَا لَا رَيْبَ أَنَّهُ يَمْنَعُ الثَّوَابَ كَمَا رَوَى أَبُو دَاوُد فِي سُنَنِهِ عَنْ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: {إنَّ الرَّجُلَ لَيَنْصَرِفُ مِنْ صَلَاتِهِ وَلَمْ يُكْتَبْ لَهُ مِنْهَا إلَّا نِصْفُهَا إلَّا ثُلُثُهَا؛ إلَّا رُبْعُهَا إلَّا خُمْسُهَا إلَّا سُدْسُهَا حَتَّى قَالَ: إلَّا عُشْرُهَا} فَأَخْبَرَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَدْ لَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إلَّا الْعُشْرُ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَيْسَ لَك مِنْ صَلَاتِك إلَّا مَا عَقَلْت مِنْهَا وَلَكِنْ هَلْ يُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَيُوجِبُ الْإِعَادَةَ؟ فِيهِ تَفْصِيلٌ. فَإِنَّهُ إنْ كَانَتْ الْغَفْلَةُ فِي الصَّلَاةِ أَقَلَّ مِنْ الْحُضُورِ وَالْغَالِبُ الْحُضُورُ لَمْ تَجِبْ الْإِعَادَةُ وَإِنْ كَانَ الثَّوَابُ نَاقِصًا فَإِنَّ النُّصُوصَ قَدْ تَوَاتَرَتْ بِأَنَّ السَّهْوَ لَا يُبْطِلُ الصَّلَاةَ وَإِنَّمَا يُجْبَرُ بَعْضُهُ بِسَجْدَتَيْ السَّهْوِ وَأَمَّا إنْ غَلَبْت الْغَفْلَةُ عَلَى الْحُضُورِ فَفِيهِ لِلْعُلَمَاءِ قَوْلَانِ: أَحَدُهُمَا: لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ فِي الْبَاطِنِ وَإِنْ صَحَّتْ فِي الظَّاهِرِ …؛ لِأَنَّ مَقْصُودَ الصَّلَاةِ لَمْ يَحْصُلْ فَهُوَ شَبِيهُ صَلَاةِ الْمُرَائِي فَإِنَّهُ بِالِاتِّفَاقِ لَا يَبْرَأُ بِهَا فِي الْبَاطِنِ وَهَذَا قَوْلُ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ حَامِدٍ وَأَبِي حَامِدٍ الْغَزَالِيِّ وَغَيْرِهِمَا. وَالثَّانِي تَبْرَأُ الذِّمَّةُ فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ وَإِنْ كَانَ لَا أَجْرَ لَهُ فِيهَا وَلَا ثَوَابَ بِمَنْزِلَةِ صَوْمِ الَّذِي لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ. وَهَذَا هُوَ الْمَأْثُورُ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَد وَغَيْرِهِ مِنْ الْأَئِمَّةِ وَاسْتَدَلُّوا بِمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: {إذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لَا يَسْمَعَ التَّأْذِينَ فَإِذَا قُضِيَ التَّأْذِينُ أَقْبَلَ فَإِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ أَدْبَرَ فَإِذَا قُضِيَ التَّثْوِيبُ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُولُ: اُذْكُرْ كَذَا اُذْكُرْ كَذَا مَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ لَا يَدْرِي كَمْ صَلَّى فَإِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ ذَلِكَ فَلْيَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ} فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الشَّيْطَانَ يُذَكِّرُهُ بِأُمُورِ حَتَّى لَا يَدْرِيَ كَمْ صَلَّى وَأَمَرَهُ بِسَجْدَتَيْنِ لِلسَّهْوِ وَلَمْ يَأْمُرْهُ بِالْإِعَادَةِ وَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ الْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ. وَهَذَا الْقَوْلُ أَشْبَهُ وَأَعْدَلُ؛ فَإِنَّ النُّصُوصَ وَالْآثَارَ إنَّمَا دَلَّتْ عَلَى أَنَّ الْأَجْرَ وَالثَّوَابَ مَشْرُوطٌ بِالْحُضُورِ لَا تَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الْإِعَادَةِ لَا بَاطِنًا وَلَا ظَاهِرًا وَاَللَّهُ أَعْلَمُ.
“beliau (Ibnu Taimmiyyah) pernah ditanya tentang perasaan waswas seseorang dalam shalatnya dan tentang batasan yang membatalkan shalatnya? Apakah orang tersebut akan diadzab disebabkan oleh sesuatu dari waswas tersebut? Dan apa batasan ikhlas dalam shalat? Dan apa yang dimaksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “seseorang di antara kalian tidak akan mendapatkan apapun dari shalatnya kecuali apa yang dia fahami darinya”?
Kemudian beliau menjawab:
Alhamdulillah, was-was (kegelisahan) ada dua macam:
Pertama: sesuatu yang tidak menghalangi dari mentadabburi kalimat yang baik dan amalan shalih yang berada dalam shalat bahkan ini hanya seperti fikiran-fikiran yang terlintas, maka ini tidak membatalkan. Akan tetapi barang siapa yang shalatnya selamat dari hal tersebut, maka ini lebih utama dari orang yang shalatnya tidak selamat darinya. Orang yang pertama menyerupai keadaan muqorrobin dan orang yang kedua menyerupai keadaan muqtashidin.
Adapun yang kedua: adalah sesuatu yang menghalangi dari memahami dan hadirnya hati, yaitu ketika seseorang menjadi seorang yang lalai, maka tidak diragukan bahwa hal ini menghalangi dari memperoleh pahala sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dari Ammar bin Yasir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya seseorang selesai dari shalatnya dan tidak dituliskan pahala dari shalat tersebut untuknya kecuali hanya setengahnya, kecuali hanya sepertiganya, kecuali hanya seperempatnya, kecuali hanya seperlimanya, kecuali hanya seperenamnya, -hingga sabda beliau- dan ada yang mendapat hanya sepersepuluhnya”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan terkadang seseorang tidak tercatat baginya dari pahala shalatnya kecuali hanya sepersepuluh. Dan Ibnu Abbas berkata, “Engkau tidak mendapatkan apa pun dari shalatmu kecuali apa yang engkau fahami darinya”, akan tetapi apakah shalatnya batal dan wajib baginya untuk mengulang shalatnya? Maka dalam permasalahan ini ada perinciannya, seandainya lalainya dia dalam shalat lebih sedikit dari kehadiran hatinya, dan yang lebih banyak adalah kehadiran hatinya maka tidak wajib untuk mengulang walaupun pahalanya berkurang, karena nas-nas yang ada sangat banyak yang menjelaskan bahwa lupa tidak membatalkan shalat akan tetapi sebagiannya ditutup dengan dua sujud sahwi, dan adapun jika lalainya lebih banyak dari kehadirannya maka terdapat dua perkataan dari para ulama, pertama: shalatnya tidak sah secara batin, walaupun sah secara zhahir…, karena maksud dari shalat belum didapati dan ini menyerupai shalat orang yang riya’, maka ini disepakati bahwa dia belum lepas tanggungannya secara batin, dan ini adalah perkataan Abu Abdillah bin Hamid dan Abu Hamid al-Ghozaly dan selainnya. Dan kedua: telah lepas tanggungannya dan tidak wajib baginya untuk mengulanginya, walaupun dia tidak mendapatkan pahala dalam shalatnya, dan ini kedudukannya seperti puasa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dusta, maka dia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan haus, dan ini adalah atsar dari imam Ahmad dan imam-imam yang lain. Mereka berdalil dengan hadits di Shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Jika seorang muaddzin mengumandangkan adzan untuk shalat maka syaithan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk kepada hati seseorang seraya berkata, ‘Ingatlah ini dan itu’ sesuatu yang dia tidak ingat. Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya, jika seseorang di antara kalian mendapati hal tersebut maka hendaknya dia sujud dua kali”, sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa syaithan membuatnya ingat terhadap perkara-perkara hingga dia tidak tahu berapa raka’at dia sudah shalat, lalu beliau memerintahkan untuk melakukan dua sujud sahwi dan tidak memerintahkannya untuk mengulang dan juga beliau tidak membedakan antara yang sedikit dan yang banyak. Dan perkataan kedua ini lebih lebih mendekati kebenaran dan keadilan, karena nas-nas dan atsar-atsar hanya menunjukkan bahwa ganjaran dan pahala disyaratkan dengan hadirnya hati dan tidak menunjukkan akan wajibnya untuk mengulang shalatnya, tidak secara batin maupun zhahir. Wallalhu A’lam. ([4])
Dari penjelasan Ibnu Taimiyyah diatas maka diketahui bahwasanya khusyu’ sangat mempengaruhi pahala shalat seseorang, dimana kadar pahala seseorang berdasarkan apa yang dia renungkan dari shalatnya tersebut. Namun Ibnu Taimiyyah juga mengingatkan bahwa tidak adanya khusyu’ dalam shalat menurut pendapat yang lebih kuat adalah tidak membatalkan shalat.
Keempat: Shalat yang khusyu’ bisa mengampuni dosa-dosa yang telah lalu.
Nabi bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian dia shalat dua rakaat dan tidak berbicara kepada hatinya antara keduanya, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lalu.” ([5])
Yang dimaksud dengan dosa-dosa yang diampuni adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar, adapun dosa-dosa besar maka disertai dengan taubat.
Adapun الخَوَاطِرُ (yang terbersit di hati) maka ada dua:
Pertama: Bersitan yang langsung menyerang hati, yang tidak bisa ditolak dan dihindari. Maka bersitan seperti ini tidaklah mempengaruhi pahala shalat karena tidak bisa dihindari dan diluar dari kemampuan seorang hamba untuk menolaknya.
Kedua: Bersitan yang mengalir di hati, yang bisa diputuskan oleh hati dan bisa ditolak. Maka inilah yang jika dibiarkan maka akan mempengaruhi pahala shalat dan menguranginya. Karena dalam hadits Nabi berkata يُحَدِّثُ نَفْسَهُ “Ia berbicara dengan hatinya” karena ini menunjukan adanya kesengajaan untuk berbicara dengan hati.
Kemudian bersitan hati bisa berkaitan dengan perkara dunia dan juga perkara akhirat. Adapun yang mengurangi pahala adalah bersitan yang berkaitan dengan dunia. Adapun bersitan yang berkaitan dengan akhirat maka tentu itu yang diharapkan, seperti merenungkan apa yang dibaca, baik bacaan al-Qurán, bacaan dzikir dan doa. Adapun bersitan akhirat yang berkaitan dengan perkara-perkara di luar shalat maka itu diluar dari tujuan shalat. Akan tetapi bersitan ini tidak mengapa karena tetapi berkaitan dengan kepentingan akhirat. Umar berkata:”
إنِّي لَأُجَهِّزُ الْجَيْشَ وَأَنَا فِي الصَّلَاةِ
“Sesungguhnya aku menyiapkan pengaturan pasukan perang sementara aku dalam shalat” ([6])
Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([2]) Ash-Shalaatu wa Ahkaamu Taarikihaa 1/140
([4]) Majmuu’ al-Fataawaa 22/611-613