Sebab-sebab yang Membantu untuk Khusyu’
Oleh DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
Karena agungnya khusyu’ dalam shalat maka syaitan berusaha untuk menghilangkan khusyu’ dari orang yang sedang shalat. Bahkan ada syaitan spesialis yang khusus beraktifitas untuk mengganggu kekhusyuán.
أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ أَبِي الْعَاصِ، أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ حَالَ بَيْنِي وَبَيْنَ صَلَاتِي وَقِرَاءَتِي يَلْبِسُهَا عَلَيَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «ذَاكَ شَيْطَانٌ يُقَالُ لَهُ خَنْزَبٌ، فَإِذَا أَحْسَسْتَهُ فَتَعَوَّذْ بِاللهِ مِنْهُ، وَاتْفِلْ عَلَى يَسَارِكَ ثَلَاثًا» قَالَ: فَفَعَلْتُ ذَلِكَ فَأَذْهَبَهُ اللهُ عَنِّي
“bahwasanya ‘Utsman bin Abu Al–‘Ash mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya; “wahai Rasulullah! Aku sering diganggu syaithan dalam shalat, sehingga bacaanku menjadi kacau karenanya”, Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “itu memang syaithan yang dinamakan Khanzab. Jika engkau mulai merasakannya maka segeralah mohon perlindungan kepada Allah darinya, lalu meludahlah ke sebelah kirimu tiga kali! Dia (‘Usman) berkata: maka akupun melakukan hal tersebut, lalu Allah menghilangkannya dariku.” ([1])
Nabi bersabda:
إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ، وَلَهُ ضُرَاطٌ، حَتَّى لاَ يَسْمَعَ التَّأْذِينَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاءَ أَقْبَلَ، حَتَّى إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ، حَتَّى إِذَا قَضَى التَّثْوِيبَ أَقْبَلَ، حَتَّى يَخْطِرَ بَيْنَ المَرْءِ وَنَفْسِهِ، يَقُولُ: اذْكُرْ كَذَا، اذْكُرْ كَذَا، لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ حَتَّى يَظَلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِي كَمْ صَلَّى
“jika dikumandangkan adzan untuk shalat maka syaithan akan lari sambil mengeluarkan kentut hingga ia tidak mendengar suara adzan. Apabila panggilan adzan telah selesai maka setan akan kembali. Dan bila iqamat dikumandangkan setan kembali berlari dan jika iqamat telah selesai dikumandangkan dia kembali lagi, lalu menyelinap masuk kepada hati seseorang seraya berkata, ‘Ingatlah ini dan itu’ terhadap sesuatu yang dia tidak ingat. Dan terus saja dia melakukan godaan ini hingga seseorang tidak menyadari berapa rakaat yang sudah dia laksanakan dalam shalatnya.” ([2])
Berikut ini kiat-kiat yang bisa membantu seseorang untuk khusyu’ dalam shalat, diantaranya:
Pertama: Menghadirkan dalam diri bahwa ia sedang berhadapan dengan Allah sang maha kuasa. Dan inilah makna ihsaan dalam ibadah.
Nabi bersabda tentang al-Ihsaan :
أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.” ([3])
Jika seseorang meyakini bahwa Allah sedang melihatnya, sedang menilai shalatnya, tentu ia akan lebih khusyu’ dalam shalatnya. Allah berfirman:
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْعَزِيزِ الرَّحِيمِ، الَّذِي يَرَاكَ حِينَ تَقُومُ، وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan bertawakkallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang, Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat), dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud, Sesungguhnya Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” ([4])
Jika kita sedang shalat lantas guru kita melihat shalat kita, atau bos kita melihat shalat kita, tentu kita akan berusaha untuk shalat dengan shalat yang terbaik. Lantas bagaimana lagi jika yang melihat adalah Allah.
Kedua: Meyakini bahwa jika ia bisa baik dalam mengadap Allah di dunia (dengan shalat) maka akan mudah baginya menghadapi Allah pada hari kiamat (dalam hisab dan lainnya).
Ibnul Qoyyim berkata:
للْعَبد بَين يَدي الله موقفان موقف بَين يَدَيْهِ فِي الصَّلَاة وموقف بَين يَدَيْهِ يَوْم لِقَائِه فَمن قَامَ بِحَق الْموقف الأول هوّن عَلَيْهِ الْموقف الآخر وَمن استهان بِهَذَا الْموقف وَلم يوفّه حقّه شدّد عَلَيْهِ ذَلِك الْموقف قَالَ تَعَالَى وَمن اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلاً طَوِيلاً إِنَّ هَؤُلاءِ يُحِبُّونَ الْعَاجِلَةَ وَيَذَرُونَ وَرَاءَهُمْ يَوْماً ثَقِيلاً
“S1eorang hamba dihadapan Allah memiliki dua posisi: posisi dia di hadapan Allah dalam shalat dan posisi dia di hadapan Allah di hari perjumpaan dengan-Nya, barang siapa yang menegakkan hak posisi yang pertama maka akan dimudahkan baginya pada posisi kedua, dan barang siapa yang meremehkan posisi yang pertama tersebut dengan tidak menunaikan haknya maka akan disulitkan baginya pada posisi kedua tersebut, Allah Ta’ala berfirman: {Dan pada sebagian dari malam, maka bersujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya di malam yang panjang. Sesungguhnya mereka (orang kafir) itu mencintai kehidupan (dunia) dan mereka meninggalkan hari yang berat (hari akhirat) di belakang mereka}.” ([5])
Ketiga: Meyakini bahwa ketika ia sedang shalat maka ia sedang bermunajat (berbicara) dengan Allah.
Nabi bersabda:
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلاَتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ
“Sesungguhnya salah seorang dari kalian jika berdiri dalam shalatnya maka sesungguhnya ia sedang bermunajat kepada Rabbnya” ([6])
Dan الْمُنَاجَاةُ “munajaat” dalam bahasa arab asal maknanya adalah الكَلاَمُ بَيْنَ اثْنَيْنِ سِرًّا “Pembicaraan di antara dua orang dengan diam-diam”. Makna ini didukung dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} [الفاتحة: 2]، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} [الفاتحة: 1]، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} [الفاتحة: 5] قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} [الفاتحة: 7] قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ
“Allah berfirman: Aku membagi shalat antara Aku dan hambaKu dua bagian, dan untuk hambaku ia mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata, “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”, Maka Allah berkata: “HambaKu memujiKu”, apabila hamba tersebut mengucapkan: “Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang”, Allah berkata: “HambaKu menyanyjungKu”, apabila hamba tersebut mengucapkan: “Pemilik hari kiamat”, Allah berkata: “HambaKu mengagungkanKu”, apabila hamba tersebut mengucapkan: “Hanya kepadaMulah aku menyembah dan hanya kepadaMulah aku memohon pertolongan”, Allah berkata: “Ini adalah antara Aku dengan hambaKu, dan hambaKu mendapatkan apa yang dia minta”, dan apabila hamba tersebut mengucapkan: “Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat”, Allah berkata: “Ini untuk hambaKu, dan hambaKu mendapatkan apa yang dia minta”.” ([7])
Karenanya jika seseorang sedang shalat sesungguhnya ia sedang fokus berbicara dengan Allah, berdua antara dia dengan Allah. Lantas apakah merupakan adab yang baik jika kita berbicara dengan seorang pejabat, ia sedang fokus berbicara dengan kita sementara kita berbicara dengan dia sambil tidak fokus dan fikiran kemana-mana? Bagaimana lagi jika kita sedang bermunajat kepada Penguasa alam semesta?!
Keempat: Ketika shalat menghadirkan hati seakan-akan ini merupakan shalat yang terakhir.
Nabi shallallahu álaihi wasallam bersabda:
إِذَا قُمْتَ فِي صَلَاتِكَ فَصَلِّ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ
“Jika engkau shalat maka shalatlah seperti shalatnya orang yang hendak berpisah” ([8])
Maksudnya yaitu ketika shalat seakan-akan ia akan berpisah dari shalatnya, yaitu seakan-seakan merupakan shalatnya yang terakhir. ([9])
Ibnu Rojab berkata :
وَلِذَلِكَ أُمِرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُصَلِّيَ صَلَاةَ مُوَدِّعٍ، لِأَنَّهُ مَنِ اسْتَشْعَرَ أَنَّهُ مُوَدِّعٌ بِصَلَاتِهِ، أَتْقَنَهَا عَلَى أَكْمَلِ وُجُوهِهَا
“Oleh karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk shalat dengan shalat perpisahan, karena sesungguhnya barang siapa yang merasa bahwa dirinya akan berpisah dari (dunia) dengan shalatnya maka dia akan menyempurnakannya dengan sesuatu yang paling sempurna.” ([10])
Kelima: Berusaha memahami semua yang ia baca, terutama dzikir-dzikir dan doa-doa dalam shalat. Karena jika seseorang memahami apa yang ia ucapkan maka akan memudahkannya untuk konsentrasi dalam shalatnya.
Keenam: Berusaha untuk variasi dalam membaca dzikir-dzikir shalat, bukan satu model dzikir saja. Karena kalau hanya satu model dzikir terkadang lisan mengalir saja mengucapkan dzikir tersebut tanpa harus memahaminya. Lain halnya jika dzikir-dzikir divariasikan, maka tentu membantu untuk fokus dalam memahami apa yang dibaca.
Misalnya, pada shalat ini membaca doa istiftah yang satu, maka pada shalat yang lain membaca doa istiftaah yang lainnya. Demikian juga begitu banyak variasi doa dalam rukuk dan sujud yang telah diajarkan oleh Nabi shallallahu álaihi wasallam.
Ketujuh: Berusaha persiapan dengan sebaik-baiknya ketika hendak shalat, seperti berwudhu dari rumah lalu berjalan menuju masjid dengan tenang. Lalu jika masuk masjid shalat qobliah atau shalat tahiyyatul masjid, lalu jika masih ada waktu bisa membaca al-Qurán, atau berdoa kepada Allah. Ini semuanya merupakan pengantar atau muqoddimah, sehingga ketika masuk dalam shalat fardu maka dalam kondisi lebih khusyu’.
Kedelapan: Berusaha menjauhkan diri dari sebab-sebab yang bisa mengganggu kekhusyuán. Sebab-sebab tersebut bisa diklasifikasikan kepada dua model:
Pertama: Tempat yang tidak kondusif untuk shalat. Misalnya sajadah yang terlalu menarik perhatian.
Aisyah berkata :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي خَمِيصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ، فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: «اذْهَبُوا بِخَمِيصَتِي هَذِهِ إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَأْتُونِي بِأَنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي» وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كُنْتُ أَنْظُرُ إِلَى عَلَمِهَا، وَأَنَا فِي الصَّلاَةِ فَأَخَافُ أَنْ تَفْتِنَنِي»
“Sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wa sallam shalat di baju dari wol([11]) yang ada garis-garisnya (gambarnya). Kemudian beliau selintas melihat garis-garisnya. Ketika selesai shalat, beliau mengatakan, ‘Pergilah dengan membawa baju ini ke Abu Jahm, dan bawakan (penggantinya) untukku dengan Anbijaniyah (baju kasar tanpa ada garis-garisnya/gambarnya([12])) kepunyaan Abu Jahm. Karena baju tersebut baru saja melalaikanku dari shalatku”. Dan berkata Hisyam bin’Urwah dari ayahnya, dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi w asallam bersabda: “Aku melihat kepada gambarnya, sementar aku sedang shalat, maka aku khawatir gambar tersebut menggangguku.” ([13])
Atau lokasi yang kurang bersih dan menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga bisa mengganggu konsentrasi
Kedua: Berkaitan dengan hal-hal yang bisa mengganggu pikiran, seperti :
- Dalam kondisi lapar, sementara makanan sudah siap dihidangkan
- Sedang shalat tapi menahan buang air atau buang angin
Nabi bersabda:
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ، وَلَا هُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ
“Tidak sempurna([14]) shalat seseorang apabila makanan yang telah dihidangkan, atau apabila dia menahan buang air besar atau kecil.” ([15])
Kesembilan: Berdoa kepada Allah agar diberikan hati yang khyusu’. Diantara doa Nabi shallallahu álaihi wasallam :
اللهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْأَرْبَعِ: مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ، وَمِنْ قَلْبٍ لَا يَخْشَعُ، وَمِنْ نَفْسٍ لَا تَشْبَعُ، وَمِنْ دُعَاءٍ لَا يُسْمَعُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari empat perkara: dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak berasa puas dan dari doa yang tidak didengar.” ([16])
Dapatkan Informasi Seputar Shalat di Daftar Isi Panduan Tata Cara Sholat Lengkap Karya Ustadz DR. Firanda Andirja, Lc. MA.
_______________________
([2]) HR Al-Bukhari no 608 dan Muslim no 389
([3]) HR Al-Bukhari no 50 dan Muslim no 1
([6]) HR Al-Bukhari no 405 dan Muslim no 551
([8]) HR Ahmad no 23498 dan Ibnu Majah No 4171, dan dishahihkan oleh Al-Albani di As-Shahihah no 401
([9]) Lihat Mirqoot al-Mafaatiih 8/3270
([10]) Jaamiúl Uluum wal Hikam 2/114
([11]) Lihat: Ma’alimus sunan 1/216
([12]) Lihat: Ma’alimus sunan 1/216
([13]) HR Al-Bukhari no 373 dan Muslim no 556
([14]) Lihat: Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaat Al-Mashaabiih 3/835
([16]) HR Ahmad no 8488, Ibnu Maajah no 3837 dan Abu Dawud no 1548, dan dishahihkan oleh para pentahqiq Musnad al-Imam Ahmad