7. مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
mā afā`allāhu ‘alā rasụlihī min ahlil-qurā fa lillāhi wa lir-rasụli wa liżil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wabnis-sabīli kai lā yakụna dụlatam bainal-agniyā`i mingkum, wa mā ātākumur-rasụlu fa khużụhu wa mā nahākum ‘an-hu fantahụ, wattaqullāh, innallāha syadīdul-‘iqāb
7. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
Tafsir :
Nabi ﷺ menguasai tanah Bani Nadhir tersebut dengan cara “fai`i” sebagaimana dikemudian hari juga beliau menguasai tanah Fadak dan tanah Bani Quraizhah juga dengan cara “fai`i”. Terdapat perbedaan antara harta “fai`i” dengan “ghanimah”. Ghanimah adalah harta rampasan perang setelah melalui peperangan dengan musuh. Musuh tersebut akhirnya kalah, baik mati ataupun pun kabur, maka harta yang mereka tinggalkan tersebut disebut dengan “ghanimah” ([1]). Adapun “fai`i” maka itu adalah harta musuh yang diperoleh setelah mereka kabur tanpa ada peperangan terlebih dahulu. Hukum keduanya berbeda.
Adapun perkara “ghanimah” maka Allah telah berfirman tentang hal ini:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ
“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika kamu beriman kepada Allah…”.QS Al-Anfal:41.
Dalam ayat Al-Anfal tersebut ghanimah dibagi 5 bagian, bagian 20% untuk Allah dan Rasul-Nya yang kemudian dibagikan untuk kerabat Nabi ﷺ anak-anak yatim, fakir miskin dan ibnus-sabil sedangkan sisanya 80 % dibagi-bagi antara para pahlawan dan para mujahid di jalan Allah maka inilah pembagian ghanimah.
Adapun harta “fai`i” maka berbeda, para mujahid tidak mendapatkan bagian ini, ini adalah hak seluruhnya bagi Nabi ﷺ dan beliau memiliki kebebasan penuh untuk membagi-bagikannya karena harta “fai`i” diperoleh tanpa ada peperangan sama sekali oleh karena itu berbeda hukumnya. ([2])
Adapun وَلِذِيْ القُرْبَى “Kaum karib kerabat” disini maksudnya adalah karib kerabat Nabi ﷺ yakni Ahli bait dari kalangan Bani Hasyim([3]) namun Nabi ﷺ tidak bagikan kepada Bani Abdi Manaf walaupun secara nasab aslinya mereka Ahli bait Nabi ﷺ akan tetapi ketika terjadi pemboikotan terhadap Nabi ﷺ di kota Mekkah oleh orang-orang kafir Quraisy, mereka (Bani Abdi Manaf) tidak membela Nabi ﷺ dan yang membela Nabi ﷺ hanyalah Bani Hasyim. Walaupun Bani Hasyim kafir ketika itu namun mereka tetap membela Nabi ﷺ ketika terjadi pengepungan tersebut selama 3 tahun. ([4])
Ketika diboikot tersebut, Nabi ﷺ berlindung di suatu tempat bernama “Syi’b Abu Thalib” yang itu merupakan wilayah tanah milik Abu Thalib yang berada di antara gunung-gunung yang semuanya bernaung disana, seluruh kaum muslimin yang ada termasuk Bani Hasyim. Bani Hasyim tersebut aslinya adalah dari kaum musyrikin namun karena sama dengan Nabi ﷺ dari suku Bani Hasyim maka mereka membela Nabi ﷺ padahal mereka kafir dan di antaranya adalah Abu Thalib, oleh karena itu setelah mereka masuk Islam maka mereka dinamakan Ahli bait Nabi ﷺ.
Oleh karena itu yang dimaksud dengan وَلِذِيْ القُرْبَى “Kaum karib kerabat” pada ayat ini adalah Ahli bait keluarga kerabat Nabi ﷺ yang diharamkan atas mereka sedekah, adapun harta “fai`i” maka boleh bagi mereka untuk memakannya.
Allah juga menyebutkan “وَاليَتَامَى” (anak-anak yatim), dan definisi anak yatim adalah anak yang belum baligh yang ayahnya telah meninggal dunia, oleh karena itu jika ada anak yang telah meninggal dunia ibunya maka ini bukanlah anak yatim dalam Islam karena masih ada ayahnya yang menafkahinya dan mengurusnya, hal ini berbeda dengan kebiasaan yang ada di Indonesia, jika ada yang salah satu orang tuanya meninggal apakah ayah atau ibu maka itu disebut sebagai yatim, adapun jika meninggal keduanya maka itu disebut yatim piatu. Adapun dalam Islam, jika ayahnya masih hidup maka tidak dinamakan sebagai anak yatim. Begitu pula anak tersebut jika sudah mencapai usia baligh maka ia bukanlah anak yatim lagi, hanya saja kebanyakannya seorang anak yatim tadi jika mencapai usia baligh walaupun tidak dinamakan sebagai yatim dalam Islam biasanya ia tetap dalam keadaan miskin karena tidak adanya ayah yang menafkahinya. Maka orang tersebut tetap berhak menerima zakat hanya saja berbeda status, ketika belum baligh maka ia berhak menerima harta zakat tersebut sebagai “yatim”, adapun setelah masa balighnya maka ia tetap berhak menerima sebagai “miskin”.
Allah pun kembali melanjutkan “وَالْمَسَاكِيْنَ”, orang-orang miskin adalah orang-orang yang memiliki penghasilan namun penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya, seperti ada orang yang kebutuhan keluarganya adalah 5 juta rupiah per bulannya namun penghasilannya adalah 4,5 juta rupiah maka pada hakikatnya orang ini masih tergolong sebagai orang miskin, selama penghasilannya tidak memenuhi kebutuhannya yang pokok dan wajar maka dia masih tergolong sebagai orang miskin yang berhak menerima harta “fai`i” dan juga harta zakat.
Allah berfirman “وَابْنُ السَّبِيْل”, ibnus-sabil dalam ayat ini adalah orang yang mengadakan safar sehingga ia merupakan orang asing yang dari negerinya dan kehabisan bekal dalam safar tersebut([5]) maka orang seperti ini diperbolehkan baginya untuk diberikan harta “fai`i” sekadar harta yang cukup baginya untuk pulang ke kampungnya sendiri dengan bekal tersebut. Misalnya di Indonesia sini ada orang dari luar negeri kemudian ia jatuh miskin sehingga tidak bisa pulang ke negaranya maka ia berhak untuk diberikan harta tersebut yang cukup baginya untuk biaya pesawat beserta bekal dalam perjalanannya tersebut.
Maka 5 golongan inilah yang Allah katakan:
فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ
“…maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil…”, inilah pembagian harta “ghanimah”.
Adapun harta “fai`i” maka Nabi ﷺ berkuasa penuh untuk membagikannya sedangkan para mujahid maka tidak mendapatkan bagian tersebut karena tidak terjadi peperangan. Nabi berhak untuk membagikan berdasarkan ijtihad pribadi beliau. Adapun setelah Nabi ﷺ meninggal maka harta ini dikembalikan kepada ijtihad penguasa, apakah diberikan kepada kaum muslimin yang membutuhkan ataukah dimasukkan ke baitul-mal dan sama sekali tidak dibagikan kepada para mujahid.
Maka dalam bab jihad ada yang dinamakan “ghanimah” dan ada pula yang bernama “fai`i”, disamping itu ada pula yang dinamakan “nafal” ([6]) yaitu hadiah khusus di luar pembagian “ghanimah” yang diberikan kepada para mujahid khusus karena kehebatannya dalam peperangan atau kelebihan lainnya atau kurang lebih seperti bonus yang diberikan kepada sang mujahid tersebut. Selain yang disebutkan tersebut ada juga yang bernama “salab” yang jika seorang muslim berhadapan dengan seorang kafir kemudian si muslim berhasil membunuh si kafir maka segala yang ada di tubuh si kafir berhak untuk diambil oleh si muslim([7]). Di zaman dahulu -dalam peperangan- adakalanya seorang kafil memakai benda yang mahal seperti perisai yang mahal atau sarung pedang yang dihias dengan emas atau kuda yang kuat dan dihiasai, maka semuanya itu boleh diambil oleh sang mujahid yang berhasil mengalahkannya. Dan “salab” maupun “nafal” ini merupakan bagian dari “ghanimah”.
Di samping itu ada juga “jizyah” yaitu harta yang dibayarkan oleh orang-orang kafir yang tunduk kepada kaum muslimin dalam negeri kaum muslimin, seperti “kafir dzimmiy” yang mereka tinggal di tengah kaum muslimin maka ia harus membayarkan “jizyah” sebagai bukti ketundukan kepada negara Islam. Maka dalam bahasan ini ada beberapa istilah, di antaranya adalah “ghanimah”, “nafal” dan “salab” yang berhubungan dengan “ghanimah” lalu ada juga “fai`i” yang diperoleh tanpa peperangan, dan adapula “jizyah” yang merupakan bukti ketundukan negara kafir kepada negara Islam dengan menyerahkan sejumlah harta kepada negara Islam, maka inilah jenis-jenis harta yang disebutkan dalam istilah Fiqh jihad.
Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
“…supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”, oleh karena itu syari’at Islam membagi-bagi harta tersebut, ada bagian untuk fakir miskin, ada bagian untuk anak-anak yatim dan juga ada bagian untuk ibnus-sabil.
Dan juga Allah berfirman:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa saja harta rampasan (fai`i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.QS Al-Hasyr: 7
Allah pun berfirman:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”,
Ayat ini mengingatkan para Sahabat karena ketika mereka berperang dengan Bani Nadhir ternyata sebagian para Sahabat tidak mendapatkan bagian maka pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa kalian wahai kaum mslimin mendapatkan harta ini tanpa harus ada pertempuran, tanpa ada penyerangan dan tanpa bawa kuda sama sekali maka semuanya dikembalikan kepada Nabi ﷺ, apa yang Nabi ﷺ putuskan maka wajib kaum muslimin menerimanya. Dan ini cukup berat karena sebagian orang adakalanya shalih dalam hal selain harta namun dalam hal harta ia tidak shalih. Banyak kasus terjadi, dua orang shalih yang bersahabat lalu mereka berdua bekerja bersama dalam urusan bisnis, akhirnya mereka berdua bertengkar karena urusan harta. Ini disebabkan karena kecintaan terhadap harta merupakan tabiat manusia sampai tidak ingin bagiannya terkurangi sedikit pun.
Dalam perang tersebut, para Sahabat berangkat bersama Nabi ﷺ kemudian mereka menyerang Bani Nadhir sehingga mereka kabur dan meninggalkan banyak harta namun Nabi ﷺ sama sekali tidak memberikan kepada para Sahabat, tentu saja pada hal yang seperti ini terdapat keberatan pada Sahabat, karena biasanya jika mereka berjihad mereka selalu mendapatkan bagian, adapun kali ini mereka tidak mendapatkan bagian sama sekali. Maka Allah jelaskan bahwa harta “fai`i” tersebut murni dari Allah tanpa ada peperangan sama sekali dan kembali Allah menegaskan dengan ayat-Nya:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”, dan inilah pasti hal yang terbaik karena Allah memiliki sifat العَزِيْز yang bermakna Maha Perkasa dan juga الْحَكِيْمُ yang bermakna Maha Bijaksana maka keputusan Allah pastilah bijaksana.
Ayat ini secara khusus berkaitan tentang pembagian harta “fai`i” dan disini Allah memerintahkan para Sahabat untuk tunduk kepada keputusan Nabi ﷺ dan tidak boleh protes sama sekali, namun ada kaidah umum dalam ilmu Tafsir disebutkan:
الْعِبْرَةُ بِعُمُوْمِ اللّفْظِ لَا بْخُصُوْصِ السَّبَبِ
“Yang menjadi patokan adalah keumuman lafazh dan bukanlah kekhususan sebab”, walaupun ayat ini pada asalnya adalah berbicara tentang keputusan Nabi ﷺ terkait hukum “fai`i” agar para Sahabat menerima keputusan tersebut, akan tetapi lafazh ini diberlakukan secara umum untuk bisa menghukumi segala permasalahan agama. Ketika Nabi ﷺ telah mengharamkan sesuatu maka haruslah kita katakan haram, sebaliknya ketika Nabi ﷺ membolehkan sesuatu maka kita pun harus menerimanya ([8]) dan tidak boleh seorang muslim melakukan protes karena Allah Ta’ala juga berfirman di ayat yang lain:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. QS AN-Nisa: 65.
Oleh karena itu kita wajib menerima segala macam syariat Allah, jika kita seorang muslim maka kita harus senantiasa mengikrarkan :
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Aku ridho Allah sebagai Rabbku dan aku ridho Nabi Muhammad sebagai Rasulku”, maka ,kita wajib berserah diri terhadap keputusan Nabi ﷺ seperti masalah jilbab ketika diwajibkan maka tidak boleh kita memprotesnya: “Mengapa jilbab ini diwajibkan”?, karena yang demikian menunjukkan ketidak-ridhoan atas keputusan Nabi ﷺ, dan jika kita tidak setuju Nabi ﷺ sebagai utusan Allah maka silakan cari utusan yang lain. Masalah lainnya, jika ada yang mengatakan: “Mengapa shalat 5 waktu diwajibkan?” Maka jika Anda tidak setuju berarti Anda tidak setuju akan kondisi Nabi ﷺ sebagai seorang Rasul. Oleh karena itu di antara bacaan zikir pagi dan petang yang senantiasa dianjurkan:
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا وَبِالإِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Aku ridho Allah sebagai Rabbku dan Islam sebagai agamaku dan aku ridho Nabi Muhammad sebagai Rasulku”,
Hal ini adalah agar kita selalu ingat bahwa kita harus selalu tunduk terhadap keputusan Nabi Muhammad ﷺ dan apapun keputusan beliau hakikatnya itulah keputusan yang terbaik dan diridhoi oleh Allah Ta’ala.
Keumuman ayat ini didukung dengan pemahaman para sahabat akan hal tersebut. Imam Al-Qurthubiy menyebutkan dari Sahabat Ibnu Mas’ud:
لَقِيَ ابْنُ مَسْعُودٍ رَجُلًا مُحْرِمًا وَعَلَيْهِ ثِيَابُهُ فَقَالَ لَهُ: انْزِعْ عَنْكَ هَذَا. فَقَالَ الرَّجُلُ: أَتَقْرَأُ عَلَيَّ بِهَذَا آيَةً مِنْ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى؟ قَالَ: نَعَمْ، وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا.
Ibnu Mas’ud bertemu dengan seseorang yang ihram sambil memakai pakaian lalu Ibnu Mas’ud berkata kepada orang tersebut: “Lepaskan pakaian ini dari dirimu!” lalu si lelaki berkata: “Apakah engkau bisa bawakan dalil larangan dari Qur`an?” lalu Ibnu Mas’ud jawab: “Ya”, “Dan apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh beliau maka tinggalkanlah”([9])
Dan Nabi ﷺ telah melarang ihram dengan memakai pakaian berjahit dan ayat ini juga menjelaskan bahwasanya seluruh keputusan Nabi ﷺ ada dalam Qur`an.
Imam Asy-Syafi’iy pernah ditanyakan kepadanya:
مَا تَقُولُ- أَصْلَحَكَ اللَّهُ- فِي الْمُحْرِمِ يَقْتُلُ الزُّنْبُورَ؟ قَالَ فقال: بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا. وَحَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ رِبْعِيِّ بْنِ حِرَاشٍ عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِي أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ). حَدَّثَنَا سُفْيَانُ ابن عُيَيْنَةَ عَنْ مِسْعَرِ بْنِ كِدَامٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- أَنَّهُ أَمَرَ بِقَتْلِ الزُّنْبُورِ. قَالَ عُلَمَاؤُنَا: وَهَذَا جَوَابٌ فِي نِهَايَةِ الْحُسْنِ، أَفْتَى بِجَوَازِ قَتْلِ الزُّنْبُورِ فِي الْإِحْرَامِ، وَبَيَّنَ أَنَّهُ يَقْتَدِي فِيهِ بِعُمَرَ، وَأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِالِاقْتِدَاءِ بِهِ، وَأَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ أَمَرَ بِقَبُولِ مَا يَقُولُهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَجَوَازُ قَتْلِهِ مُسْتَنْبَطٌ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
“Apa pendapatmu tentang hukum membunuh tawon bagi orang yang ihram? Lalu Imam Asy-Syafi’iy menjawab: “Apa-apa yang datang kepadamu dari Rasulullah maka ambillah dan apa-apa yang dilarang oleh Rasulullah ﷺ maka tinggalkanlah”.
Sufyan bin Uyaynah telah menyampaikan kepada kami dari Abdul-Malik bin ‘Umair dari Rib’iy bin Hirasy dari Hudzaifah bin Al-Yaman bahwasanya Nabi ﷺ bersabda: “Ikutilah dua orang sepeninggalku: Abu Bakar dan Umar”. Sufyan bin Uyaynah juga telah menyampaikan kepadaku dari Mis’ar bin Qidam dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dari Umar bin Khatthab bahwasanya beliau memerintahkan untuk membunuh tawon”. ([10])
Dalam riwayat ini seakan Imam Asy-Syafi’iy mengatakan bahwasanya bolehnya membunuh tawon adalah fatwanya Umar dan Nabi ﷺ dalam haditsnya perintahkan kita untuk mengikuti Abu Bakar dan Umar sedangkan Allah telah perintahkan kita untuk mengikuti Nabi ﷺ. Maka urutannya adalah : Allah memerintah untuk mengikuti Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ memerintahkan untuk mengikuti Umar, dan beliau telah berfatwa akan kebolehan membunuh tawon. Jika seseorang yang sedang ihram diganggu tawon maka boleh baginya untuk membunuh tawon tersebut.
Demikian pula riwayat Ibnu Mas’ud dalam Shahih Muslim:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُسْتَوْشِمَاتِ وَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَ اللَّهِ” فَبَلَغَ ذَلِكَ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَ، فَجَاءَتْ فَقَالَتْ: بَلَغَنِي أَنَّكَ لَعَنْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ! فَقَالَ: وَمَا لِي لَا أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ! فَقَالَتْ: لَقَدْ قَرَأْتُ مَا بَيْنَ اللَّوْحَيْنِ فَمَا وَجَدْتُ فِيهِ مَا تَقُولُ. فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ لَقَدْ وَجَدْتِيهِ! أَمَا قَرَأْتِ وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا! قَالَتْ: بَلَى. قَالَ: فَإِنَّهُ قَدْ نَهَى عَنْهُ .. الْحَدِيثَ.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah melaknat para wanita yang menyambung (rambut), para wanita yang meminta agar disambung rambutnya, para wanita yang mencabut alisnya dan para wanita yang merenggangkan giginya demi kecantikan, mereka adalah para wanita yang mengubah-ubah ciptaan Allah”, maka ketika hadits ini sampai kepada seorang wanita dari Bani Asab yang ia bernama Ummu Ya’qub maka ia pun datang kepada Ibnu Mas’ud dan berkata: “Wahai Ibnu Mas’ud, telah sampai kabar kepadaku bahwasanya engkau melaknat begini dan begitu” maka dijawab oleh Ibnu Mas’ud: “Mengapa aku tidak melaknat orang yang dilaknat oleh rasulullah ﷺ dan laknat itu ada di dalam Al-Quran” maka si wanita kembali berkata: “Aku telah membaca seluruh Al-Quran dan aku tidak mendapati apa yang engkau katakan”. Maka kembali dijawab oleh Ibnu Mas’ud: “Jika engkau membaca Al-Quran dengan baik niscaya akan engkau dapati, yakni ayat:
وَما آتاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَما نَهاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Dan apa-apa yang datang dari Rasulullah ﷺ maka ambillah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah ﷺ maka tinggalkanlah” dan sesungguhnya Nabi ﷺ telah melarang hal tersebut dan ayat tersebut ada di dalam Al-Quran”. ([11])
_____________________
Footnote :
([1]) Imam Ath-Thabariy berkata tentang makna ghanimah:
مَا أَصَابَ الْمُسْلِمِيْنَ عُنْوَةً بِقِتَالٍ فِيْهِ الحُمُسُ وَأَرْبَعَةُ أَخْمَاسِهَ لِمَنْ شَهِدَهَا
“Harta yang didapatkan oleh kaum muslimin dengan paksa melalui peperangan dan ada bagian 20 % (untuk Allah dan Rasul-Nya) dan 80 % untuk para mujahid yang ikut perang” (Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 546).
([2]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 14-15. Dan nama Nabi adalah Muhammad bin Abdillah bin Abdil Muttholib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushoy bin Kilaab.
Bani Hasyim, yaitu anak-anak keturunan Hasyim. Bani Abdi Manaf, yaitu anak-anak keturunan Abdu Manaf. Sehingga semua Bani Hasyim pasti keturunan Abdu Manaf, akan tetapi tidak semua ketutunan Abdu Manaf adalah Bani Hasyim.
([3]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 279.
([4]) Lihat Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 63.
([5]) Imam Ath-Thabariy menjelaskan tentang makna ابْنُ السَّبِيْل : المُجْتَجُ سَفَرًا وَقَدِ انْقُطِعَ بِهِ “Orang yang bepergian safar dan kehabisan bekal”.(Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 560).
Adapun Imam Ibnu Katsir maka beliau berkata :
هُوَ الْمُسَافِرُ أَوِ الْمُرِيدُ لِلسَّفَرِ إِلَى مَسَافَةٍ تُقْصَرُ فِيهَا الصَّلَاةُ، وَلَيْسَ لَهُ مَا يُنْفِقُهُ فِي سَفَرِهِ ذَلِكَ
“Orang yang safar atau orang yang ingin safar dengan jarak yang diperbolehkan untuk qashar shalat sedangkan ia tidak memiliki bekal dalam safar tersebut” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 65).
([6]) Imam Ath-Thabariy menjelaskan tentang makna نَفَلٌ:
كُلُّ مَنْ زِيْدَ مِنْ مقَاتِلَةِ الْجَيْشِ عَلَى سَهْمِهِ مِنَ الْغَنِيْمَةِ إِنْ كَانَ ذَلِكَ لِبَلَاء أَبْلَاهُ، أَوْ لِغِنَاءٍ كَانَ مِنْهُ عَنِ الْمُسْلِمِيْنَ بِتَنْفِيْلِ الْوَالِيْ ذَلِكَ إِيّاهُ
“Setiap bagian tambahan selain bagian aslinya untuk pasukan karena ujian yang ia dapatkan atau jasa dia kepada kaum musclemen dengan pemberian imam kepadanya”.(Tafsir Ath-Thabariy: 13/ 366).
([7]) Sayyid Sabiq menjelaskan makna سَلَبٌ :
السَلَبُ هُوَ مَا وًجِدَ عَلَى الْمَقْتُوْلِ مِنَ السِّلَاحِ وَعًدَّةِ الْحَرْبِ، وَكَذَلِكَ مَا يَتَزَيَّنُ بِهِ لِلْحَرْبِ.
“Salab adalah barang yang didapati pada jasad orang yang terbunuh (pada perang) baik itu berupa senjata, perlengkapan perang dan segala sesuatu yang merupakan hiasan dalam peperangan”.(Fiqhus-Sunah: 2/679).
([8]) Lihat Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 17.
([9]) Atsar ini disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 17.