23. هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
huwallāhullażī lā ilāha illā huw, al-malikul-quddụsus-salāmul-mu`minul-muhaiminul-‘azīzul-jabbārul-mutakabbir, sub-ḥānallāhi ‘ammā yusyrikụn
23. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Tafsir :
Dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala mengulangi kembali bahwa Allah subhanahu wa ta’ala adalah satu-satunya yang berhak untuk disembah dan tidak ada yang berhak untuk disembah kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, semua tidak ada yang berhak untuk disembah, maka siapa yang lagi berhak untuk disembah? Apakah ingin menyembah malaikat? Apakah malaikat maha Ar-Rahman? Tentu tidak. Apakah menyembah nabi Isa? Apakah Nabi Isa memiliki sifat Ar-rahman dan apakah dia juga mengetahui yang ghaib dan syahadah? Tentu tidak. Apalagi menyembah sapi, maka sungguh sapi tidak mengetahui yang ghaib dan yang tampak. Atau patung yang layak disembah? Maka ketika ingin disembah harus dibuat terlebih dahulu patungnya? Maka bagaimana mungkin layak patung untuk disembah. Oleh karenanya Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa satu-satunya yang berhak untuk disembah adalah Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian menyebutkan dalil-dalilnya,
اَلْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلٰمُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ الْعَزِيْزُ الْجَبَّارُ الْمُتَكَبِّرُۗ سُبْحٰنَ اللّٰهِ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Disebutkan dalil pertama dalam ayat ini karena Allah subhanahu wa ta’ala اَلْمَلِكُ yaitu sang raja, tidak ada yang menguasai alam semesta ini kecuali Allah subhanahu wa ta’ala([1]). Dan pada hari kiamat nanti tidak ada yang menjadi raja kecuali Allah subhanahu wa ta’ala, Allah subhanahu wa ta’ala berfiman,
يَقْبِضُ اللهُ الْأَرْضَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَيَطْوِي السَّمَاءَ بِيَمِينِهِ، ثُمَّ يَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ أَيْنَ مُلُوكُ الْأَرْضِ
“Allah menggenggam bumi pada hari kiamat dan melipat langit dengan tangan kanannya kemudian berkata: Akulah sang Raja, di mana raja-raja dunia?” ([2])
Dan Juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ
“Yang menguasai di Hari Pembalasan.” QS. Al-Fatihah: 4
Kemudian الْقُدُّوْسُ maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala yang maha suci tidak ada aib dan kekurangan sama sekali([3]), maka Dia yang berhak untuk disembah.
السَّلٰمُ maksudnya Allah subhanahu wa ta’ala selamat dari segala kekurangan dan Allah subhanahu wa ta’ala memberikan keselamatan kepada makhluk-Nya([4]).
الْمُؤْمِنُ ada yang mengatakan artinya al-mushaddiq([5]) yaitu yang membenarkan nabi-nabi-Nya dengan mengirimkan mukjizat-mukjizat kepada mereka, membenarkan orang-orang yang beriman dengan menunaikan janji Allah subhanahu wa ta’ala bahwasanya mereka akan masuk surga, dan membenarkan orang-orang kafir dengan menunaikan janji Allah subhanahu wa ta’ala dengan memasukkan mereka ke dalam neraka jahannam.
الْمُهَيْمِنُ berkata Al-Alusy menjelaskan maknanya,
الرقيبُ والحفيظُ على الشيءِ
“yang mengawasi dan menjaga sesuatu” ([6])
Dan beliau menyebutkan khilaf dalam makna Al-Muhaimin. Dan Al-Quran jika disifati dengan al-muhaimin maka artinya yang memutuskan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu” QS. Al-Maidah: 48
الْعَزِيْزُ yaitu maha perkasa, maksudnya tidak ada yang mengalahkannya, tidak ada yang mendominasinya, dan tidak ada yang bisa protes dengan segala keputusannya.
الْجَبَّارُ yaitu yang maha kuasa yang semua makhluk tunduk di bawah kehendak Allah subhanahu wa ta’ala, seakan-akan memaksa siapapun dan tidak ada siapapun yang bisa keluar dari kehendak dan keputusan Allah subhanahu wa ta’ala.
الْمُتَكَبِّرُ kalau dalam bahasa kita artinya sombong, yaitu yang maha agung. Karena yang berhak sombong hanya Allah subhanahu wa ta’ala, dalam hadits qudsi Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
الْكِبْرِيَاءُ رِدَائِي، وَالْعِزَّةُ إِزَارِي، فَمَنْ نَازَعَنِي وَاحِدًا مِنْهُمَا، أُلْقِهِ فِي النَّارِ
“Kesombongan itu adalah ‘selendangKu’ dan keagungan itu adalah ‘SarungKu’ Sesiapa, barang siapa yang ingin mengusik Ku pada salah satu dari keduanya, Aku lemparkannya ke dalam Neraka.” ([7])
Maka tidak boleh ada yang merasa sombong dan merasa agung, karena yang berhak untuk merasa sombong dan agung hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun manusia semua yang mereka miliki hanyalah pemberian Allah subhanahu wa ta’ala maka mereka berhak untuk sombong.
__________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 28/190
([2]) HR. Ahmad no. 8863, dikatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth hadits ini shohih
([3]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 28/190
([4]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/46
([5]) Lihat: Tafsir Al-Qurthuby 18/46 dan Tafsir As-Sa’dy hal: 854