15. هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ
huwallażī ja’ala lakumul-arḍa żalụlan famsyụ fī manākibihā wa kulụ mir rizqih, wa ilaihin-nusyụr
15. Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.
Tafsir :
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا
“Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi.”
Kata ذَلُولًا maknanya adalah tunduk. Oleh karenanya dikatakan الْبَعِيْر الذَلوْل (unta yang tunduk) untuk menunjukkan bahwa unta tersebut mudah untuk ditunggangi. Demikian pula jalan di atas muka bumi ini, Allah Subhanahu wa ta’ala memudahkan bumi untuk dipijaki. Bumi yang tadinya mudah untuk bergetar, akan tetapi Allah memancangkan gunung agar bumi ini tetap tidak bergetar sehingga mudah untuk dipijaki. ([1])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا
“Maka jelajahilah di segala penjurunya.”
Terdapat khilaf di kalangan ulama ahli tafsir tentang makna kata مَنَاكِبِهَا, dan secara umum ada dua tafsiran. Tafsiran pertama menyebutkan bahwa maknanya adalah seluruh penjuru bumi. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala mempersilahkan manusia berjalan kemanapun di seluruh penjuru bumi karena Allah telah mudahkan bumi untuk dijelajahi. Tafsiran kedua menyebutkan bahwa maknanya adalah gunung-gunung. Karena مَنْكِبْ dalam bahasa Arab artinya adalah pundak, dan pundak merupakan bagian tertinggi dari seorang manusia. Maka disebut gunung-gunung karena merupakan bagian tertinggi dari bumi. Artinya Allah Subhanahu wa ta’ala juga telah menjadikan gunung-gunung mudah untuk didaki. Maka jika yang tinggi bisa untuk dipijaki, maka tentu memijaki daratan jauh lebih mudah. Pendapat kedua ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. ([2])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَكُلُوا مِن رِّزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Ayat ini juga merupakan dalil bahwasanya seseorang butuh untuk melakukan usaha untuk mencari rezeki, karena Allah Subhanahu wa ta’ala menggandengkan kata فَامْشُوا (berjalan) dan kata رِّزْقِهِ (rezeki) dalam ayat. Oleh karena itu, tawakal yang benar adalah tawakal yang dibarengi dengan usaha. Berbeda halnya jika kita berada pada kondisi yang tidak bisa lagi kita melakukan sebuah usaha kecuali doa, maka berdoalah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena bisa jadi Allah Subhanahu wa ta’ala menimbulkan akibat tanpa ada sebab. Akan tetapi tidak boleh seseorang menjebak dirinya pada kondisi meraih akibat tanpa sebab. Contohnya adalah seseorang yang ingin pergi berdakwah ke pulau lain, namun dia tidak membawa uang dan alat komunikasi. Tentunya untuk pergi ke pulau tersebut tidak bisa dengan jalan kaki, minimal untuk pergi ke pula tersebut adalah dengan mengendarai kapal laut. Akan tetapi jika tidak membawa uang, maka tidak mungkin seseorang bisa naik kapal laut. Kalaupun dia bisa sampai ke pulau tersebut, yang ada pasti dia menyusahkan banyak orang. Karena ada sebagian Da’i yang berdakwah dengan model seperti ini, dia bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, tapi dia menjebak dirinya untuk meraih akibat tanpa sebab, padahal syariat tidak mengajarkan demikian. Oleh karenanya tawakal yang benar adalah harus ada usaha. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakal pada Allah dengan sebenar-benar tawakal, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.”([3])
Burung digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai contoh makhluk yang paling bertawakal. Allah Subhanahu wa ta’ala memberikannya rezeki, akan tetapi burung tersebut tetap melakukan usaha dengan terbang di pagi hari berusaha mencari rezekinya. Oleh karenanya bukanlah yang namanya tawakal jika mengharapkan hasil namun hanya diam dan tidak berusaha. ([4])
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Artinya adalah orang yang pergi mencari rezeki harus ingat untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala karena kelak pada hari kiamat dia akan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala([5]). Allah Subhanahu wa ta’ala tidak melarang seseorang untuk mencari rezeki, bahkan Allah memerintahkan hal itu. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan agar seseorang yang mencari rezeki juga harus memiliki bekal akhirat. Dalam surah Al-Jumu’ah Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Apabila shalat telah dilaksanakan, maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah : 10)
Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
رِجَالٌ لَّا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُ
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).” (QS. An-Nur : 37)
Oleh karenanya juga Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang di antara orang-orang yang diberi naungan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat yaitu,
وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ
“Seorang laki-laki yang hatinya terpaut dengan masjid.”([6])
Hadits ini menerangkan bahwa laki-laki tersebut tidak sedang berada di masjid, akan tetapi hatinya selalu rindu untuk ke masjid untuk beribadah.
____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/179.
([2]) Lihat: At-Tafsir Al-Ma’tsur 22/76.
([3]) HR. At-Tirmidzi no. 2344
([4]) Lihat: Tafsir Ibnu Katsir 8/179.