14. أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ
alā ya’lamu man khalaq, wa huwal-laṭīful-khabīr
14. Apakah Allah Yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan); dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?
Tafsir :
Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan demikian untuk menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui tentang apa yang dia ciptakan. Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan hati-hati manusia, maka tentu Allah tahu isi hati-hati tersebut. Allah Subhanahu wa ta’ala yang menciptakan lisan-lisan manusia, maka tentu Allah juga tahu apa yang dibisik-bisikkan oleh lisan-lisan mereka. ([1])
Makna الْخَبِيرُ
الْخَبِيرُ dalam bahasa Arab yaitu ذُوْ خِبْرَةٍ (yang memiliki keahlian). Kalau kita berbicara tentang manusia, tidaklah seseorang dikatakan Khabiir kecuali dia telah belajar secara mendalam sehingga dia mengetahui seluk-beluk apa yang dia dalami tersebut. Kalau dalam bahasa Indonesia Khabiir bisa diartikan sebagai pakar. Dan para ulama mengatakan bahwa الْخَبِيرُ lebih dalam maknanya daripada الْعَلِيْمُ, adapun الْخَبِيرُ adalah mengetahui secara detail dan terperinci. Jadi al-Khobiir adalah sifat al-‘Aliim tapi pada perkara yang detail. Oleh karenanya ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr : 18)
Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa Dia Khabiir terhadap apa yang manusia kerjakan, artinya Allah tahu bagaimana amal seseorang, bagaimana proses terjadinya amal tersebut, serta mengetahui hal yang melatarbelakangi amalan tersebut, dan mengetahui apa yang terjadi setelah amalan tersebut dikerjakan. Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui itu semua secara detail, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala disebut الْخَبِيرُ.
Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tidak hanya Khabiir terhadap amal kebaikan seseorang, bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala Khabiir terhadap dosa-dosa seseorang. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Dan cukuplah Tuhanmu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’ : 17)
Oleh karenanya pula tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan perintah untuk menjaga pandangan mata, Allah menyebutkan sifat-Nya Khabiir. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَزْكَىٰ لَهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka lakukan’.” (QS. An-Nur : 30)
Sebagian para ulama menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala membawakan sifat-Nya yang Khabiir dalam ayat ini karena meskipun seseorang tidak mengetahui lirikan mata orang lain, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala Maha Mengetahui atas lirikan matanya. Bahkan Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يَعْلَمُ خَائِنَةَ الْأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورُ
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang tersembunyi dalam dada.” (QS. Ghafir : 19)
Ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tahu dosa kita secara detail, dan demikianlah Allah Subhanahu wa ta’ala karena sifat-Nya adalah الْخَبِيرُ. Oleh karenanya tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala mengabarkan tentang orang-orang yang berdoa kepada mayat, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبِيرٍ
“Jika kamu menyeru mereka, mereka tidak mendengar seruanmu, dan sekiranya mereka mendengar, mereka juga tidak memperkenankan permintaanmu. Dan pada hari Kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan (ini) kepadamu seperti yang diberikan oleh (Allah) Yang Mahateliti.” (QS. Fathir : 14)
Oleh karenanya juga Luqman berkata kepada anaknya, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ
“(Luqman berkata): “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Luqman : 16)
Di antara sifat Khibrah-Nya Allah Subhanahu wa ta’ala adalah dalam menakdirkan segala sesuatu, dan bukan diciptakan dengan asal-asalan. Contohnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَن يَشَاءُ وَيَقْدِرُ ۚ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا
“Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Isra’ : 30)
Tidaklah Allah Subhanahu wa ta’ala menakdirkan satu hamba dilapangkan rezekinya dan yang lainnya disempitkan dengan asal-asalan. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang lebih bermaslahat bagi hamba-Nya, sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala lebih tahu mana yang pantas untuk dilapangkan rezekinya, dan tahu siapa yang harus disempitkan rezekinya. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala juga mengatakan,
وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ
“Dan sekiranya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi, tetapi Dia menurunkan dengan ukuran yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Mahateliti terhadap (keadaan) hamba-hamba-Nya, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syura : 27)
Maka jika kita telah mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala itu Khabiir, maka hal tersebut akan memudahkan kita bersabar tatkala kita terkena musibah atau melihat kejadian yang buruk, karena kita tahu bahwa yang menjadikan itu semua adalah Al-Khabiir. Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menjadikan hal tersebut melainkan dengan hikmah dan dengan aturan-aturan-Nya. Allah Subhanahu wa ta’ala tahu kapan seharusnya diturunkan musibah tersebut, Allah tahu kapan kita harus sedih dan kapan kita harus senang, Allah Subhanahu wa ta’ala tahu itu semuanya. Ibarat seorang insinyur yang hendak membuat rumah, maka dia harus matang dalam perhitungannya. Jika rumah tersebut jadi sesuai dengan apa yang dikehendaki sang insinyur, maka barulah dia dikatakan hebat. Adapun Allah Subhanahu wa ta’ala sebelum menciptakan seluruh alam semesta ini telah Allah Subhanahu wa ta’ala tetapkan takdirnya semua. Allah Subhanahu wa ta’ala telah tahu apa-apa yang akan terjadi, dan tidak ada yang sia-sia dari apa yang Allah Subhanahu wa ta’ala takdirkan. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mu’minun : 115)
Maka dengan kita tahu bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Khabiir, kita akan bisa bersabar dan menerima segala takdir Allah Subhanahu wa ta’ala, karena kita tahu bahwa segalanya telah ditakdirkan dengan kadar yang Allah Subhanahu wa ta’ala kehendaki.
Makna اللَّطِيفُ
Kata اللَّطِيفُ secara bahasa yaitu Allah Maha Lembut. Ibnul Qayyim mengatakan bahwa للَّطِيفُ bisa dibawa kepada dua makna([2]). Makna pertama, maknanya seperti makna Al-Khabiir, yaitu Allah Subhanahu wa ta’ala mengetahui perkara-perkara yang detail. Makna kedua, maknanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala menyampaikan kepada hamba-hamba-Nya kemaslahatan-kemaslahatan tanpa disadari oleh para hamba. Sebagaimana perkataan Nabi Yusuf ‘alaihissalam kepada ayahnya yaitu Nabi Ya’qub ‘alaihissalam setelah terpisah dengan waktu yang begitu lama,
وَقَالَ يَا أَبَتِ هَٰذَا تَأْوِيلُ رُؤْيَايَ مِن قَبْلُ قَدْ جَعَلَهَا رَبِّي حَقًّا ۖ وَقَدْ أَحْسَنَ بِي إِذْ أَخْرَجَنِي مِنَ السِّجْنِ وَجَاءَ بِكُم مِّنَ الْبَدْوِ مِن بَعْدِ أَن نَّزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنِي وَبَيْنَ إِخْوَتِي ۚ إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ ۚ
“Dan dia (Yusuf) berkata, “Wahai ayahku, inilah takwil mimpiku yang dahulu itu. Dan sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya kenyataan. Sesungguhnya Tuhanku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia membebaskan aku dari penjara dan ketika membawa kamu dari dusun, setelah syaithan merusak (hubungan) antara aku dengan saudara-saudaraku. Sungguh, Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki’.” (QS. Yusuf : 100)
Nabi Yusuf ‘alaihissalam tidak menyebutkan bagaimana kisahnya yang sangat panjang tentang saudara-saudaranya melemparkannya ke dalam sumur, lalu dijual menjadi budak, kemudian dirayu oleh seorang wanita, kemudian dituduh yang tidak-tidak sehingga dimasukkan ke dalam penjara, lalu dikeluarkan, kemudian berkumpul kembali dengan ayah dan keluarganya setelah berpisah selama puluhan tahun. Semua apa yang dialami oleh Nabi Yusuf ‘alaihissalam adalah hal yang tidak disadari. Allah Subhanahu wa ta’ala yang mengatur semuanya sedemikian rupa, tetapi ternyata Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan kisah yang indah pada akhirnya. Oleh karenanya Nabi Yusuf ‘alaihissalam mengatakan,
إِنَّ رَبِّي لَطِيفٌ لِّمَا يَشَاءُ ۚ
“Sungguh, Tuhanku Mahalembut terhadap apa yang Dia kehendaki.”
Betapa sering Allah menginginkan kita terlepas dari kebinasaan dan kehancuran, akan tetapi kita tidak sadar. Bisa jadi Allah tidak mengabulkan permintaan-permintaan kita, karena Allah mengetahui apa yang paling maslahat bagi kita. Dan jika seseorang mengetahui makna nama Allah Al-Lathif, maka dia akan selalu husnudzan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Betapa sering Allah Subhanahu wa ta’ala ingin menaikkan derajat seseorang tanpa disadari.
Akan tetapi sebagaimana Allah bisa mengangkat derajat seseorang tanpa dia sadari, demikian pula Allah bisa menghancurkan seseorang perlahan-lahan tanpa dia sadari. Renungkanlah kisah Fir’aun, Allah Subhanahu wa ta’ala tidak menghancurkannya dengan serta-merta. Akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala menghancurkannya tanpa dia sadari. Lihatlah bagaimana dia dikabarkan oleh para dukunnya akan lahirnya seorang anak laki-laki dari Bani Israil yang kelak akan menggulingkan singgasananya. Dia pun menugaskan para pasukannya agar membunuh semua anak laki-laki yang lahir dari kalangan Bani Israil. Namun kelahiran Nabi Musa ‘alaihissalam telah ditakdirkan oleh Allah dan tidak diketahui oleh Fir’aun dan para pasukannya. Nabi Musa kecil pun dihanyutkan ke sungai nil oleh ibunya, hingga kemudian dilihat oleh istrinya Fir’aun. Tatkala itu istri Fir’aun tidak memiliki anak, maka dia mengambil dan menjadikan Nabi Musa kecil sebagai anak angkatnya dan disayang sebagaimana anak sendiri. Kemudian ia bertumbuh besar di bawah perawatan Fir’aun dan istrinya, tanpa dia sadari anak kecil itulah yang kelak akan menghancurkan kerajaannya. Siapa yang menakdirkan hal ini sedemikian rupa? Tentu Allah Subhanahu wa ta’ala. Mungkin kisah ini seperti tampak sesuatu yang ‘kebetulan’, padahal itu semua telah diatur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Itulah Allah Subhanahu wa ta’ala Al-Lathif, betapa banyak ditinggikan tanpa dia sadari, dan betapa banyak pula orang yang dihancurkan tanpa disadari.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala tidak hanya mengetahui tentang manusia, akan tetapi Allah Subhanahu wa ta’ala juga Maha Mengetahui tentang semua makhluk hidup yang ada. Sebagaimana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَعِندَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِن وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya. Tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya. Tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al-An’am : 59)
Jika jatuhnya daun saja diketahui oleh Allah, maka bagaimana lagi dengan manusia sebagai mukallaf (dibebankan untuk menjalankan syariat). Oleh karenanya jangan sampai terbetik dalam hati kita bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala tidak mengetahui isi hati kita. Padahal kenyataannya setiap gerakan, perilaku, serta apa yang terlintas di hati kita semua dicatat dan diketahui oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Allah Subhanahu wa ta’ala tahu kapan seseorang itu riya’, ujub, sombong, atau bahkan Allah tahu kapan seorang itu ikhlas atau tidak. Karena Allah Subhanahu wa ta’ala adalah Al-Khabiir dan Al-Lathif. Maka hal ini akan menjadikan kita terpacu agar ikhlas dalam beramal meskipun tidak ada seorang manusia pun yang mengetahuinya, karena kita tahu bahwa Rabb kita mengetahui segala apa yang kita kerjakan.
_____________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir Muqotil bin Sulaiman 4/391 dan At-Tafsir Al-Ma’tsur 22/75.