2. ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْغَفُورُ
allażī khalaqal-mauta wal-ḥayāta liyabluwakum ayyukum aḥsanu ‘amalā, wa huwal-‘azīzul-gafụr
2. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Tafsir :
Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ
“(Dia Allah) yang menjadikan mati dan hidup.”
Dari ayat ini para ulama mengatakan bahwa kematian itu diciptakan sebagaimana kehidupan diciptakan. Kematian bukanlah amrun ‘adamiy (sesuatu yang tidak ada) tetapi amrun wujudiy (sesuatu yang ada) ([1]). Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda,
يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحَ، فَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا أَهْلَ الجَنَّةِ، فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُونَ، فَيَقُولُ: هَلْ تَعْرِفُونَ هَذَا؟ فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، هَذَا المَوْتُ، وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ، ثُمَّ يُنَادِي: يَا أَهْلَ النَّارِ، فَيَشْرَئِبُّونَ وَيَنْظُرُونَ، فَيَقُولُ: وهَلْ تَعْرِفُونَ هَذَا؟ فَيَقُولُونَ: نَعَمْ، هَذَا المَوْتُ، وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ، فَيُذْبَحُ ثُمَّ يَقُولُ: يَا أَهْلَ الجَنَّةِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ، وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُودٌ فَلاَ مَوْتَ
“Kematian didatangkan pada hari kiamat seperti kambing berwarna putih campur hitam. Kemudian dikatakan: ‘Wahai penduduk surga’, maka mereka melihat dengan mendongak, lalu dikatakan: ‘Apa kalian mengetahui ini?’, mereka menjawab: ‘Ya, itu adalah kematian’. Dan semuanya telah melihatnya. Kemudian dikatakan kepada penduduk neraka: ‘Wahai penghuni neraka’, mereka melihat dengan mendongak lalu dikatakan kepada mereka: ‘apa kalian mengetahui ini?’, mereka menjawab: ‘Ya, itu adalah kematian’. Dan semuanya telah melihatnya. Lalu kematian itu disembelih. Setelah itu dikatakan: ‘Wahai penduduk surga, kekal tidak ada ada kematian dan wahai penduduk neraka, kekal tidak ada kematian’.” (Muttafaqun ‘alaih)([2])
Sebagai salaf menafsirkan hadits ini bahwa hari itu adalah hari yang paling membahagiakan bagi penghuni surga karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan mati, adapun bagi penghuni neraka hari itu adalah hari yang paling mengerikan karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan mati dalam neraka Jahannam. Oleh karenanya kematian itu adalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, dan akan dihadirkan pada hari kiamat dalam bentuk seekor kambing yang akan disembelih.
Kemudian firman Allah Subhanahu wa ta’ala,
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”
Adapun Tujuan Allah menciptakan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia siapa di antara mereka yang terbaik amalannya. Maka kehidupan dan kematian yang dialami oleh setiap orang adalah ujian([3]). Dan dari sini kita sadar bahwa kita diciptakan di atas muka bumi ini memang untuk diuji. Maka tidak ada satu pun dari manusia yang merasakan kehidupan dan kematian yang lepas dari ujian Allah. Karena ujian Allah Subhanahu wa ta’ala pasti akan menerpa siapa saja, baik orang kaya maupun miskin, baik yang sehat maupun yang sakit, yang tua maupun yang muda, yang besar maupun kecil.
Kata أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا (yang terbaik amalnya) memiliki banyak tafsiran di kalangan para salaf. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud yang terbaik amalnya adalah yang paling banyak mengingat kematian. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya siapa orang yang paling cerdas, beliau mengatakan,
أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ
“Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.”([4])
Al-Hasan Al-Bashri juga menafsirkan yang terbaik amalannya dengan mengatakan,
أَيُّكُمْ أَزْهَدُ فِي الدُّنْيَا وَأَتْرَكُ لَهَا
“Siapa di antara kalian yang paling zuhud terhadap dunia dan yang paling meninggalkan dunia.”([5])
Fudhail bin ‘iyadh menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan yang terbaik amalannya adalah,
أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ
“Yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunnah.”([6])
Tafsiran Fudhail bin ‘Iyadh menekankan bahwa sebanyak apa pun amalan seseorang namun tidak ikhlas, maka tidak akan diterima. Demikian juga jika seorang beramal dengan ikhlas namun tidak sesuai dengan sunnah maka tidak akan diterima. Oleh karena amal yang terbaik kata Fudhail bin ‘Iyadh adalah yang paling ikhlas dan yang paling sesuai dengan sunnah.
Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa ta’ala tidaklah mengatakan أَكْثَرُ عَمَلًا (yang paling banyak amalannya), karena yang menjadi patokan di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala adalah amal yang terbaik([7]). Bisa jadi seseorang berumur pendek, akan tetapi dia mendapat kedudukan yang tinggi. Sebagaimana sahabat Sa’ad bin Mu’adz yang beliau masuk Islam sekitar satu atau dua tahun sebelum hijrah dan meninggal lima atau enam tahun setelah hijrah. Beliau hanya menjalani keislamannya selama enam atau tujuh tahun, waktu yang sangat singkat. Meskipun demikian, ternyata kematiannya membuat ‘Arsy Allah bergetar. Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
اهْتَزَّ العَرْشُ لِمَوْتِ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ
“Bergetar ‘Arsy Ar-Rahman sebab meninggalnya Sa’ad bin Mu’adz.”([8])
Oleh karena itu tidak ada kata terlambat. Jangan sampai orang yang baru berhijrah berputus asa kemudian mengatakan bahwa dirinya tidak bisa menyusul yang lainnya. Akan tetapi hendaknya dia beramal seikhlas mungkin dan sesuai sunnah, karena diterima atau tidaknya suatu amalan itu menjadi keputusan Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena bisa jadi seseorang hanya menjalani ke-Islamannya dengan waktu yang singkat, akan tetapi kualitasnya sangat luar biasa. Sebagaimana juga tentang kisah wanita Juhainah yang hamil karena telah melakukan zina. Kemudian dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk minta dirajam. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar ia menunggu hingga melahirkan. Ketika wanita tersebut telah melahirkan dan kemudian dirajam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian menyalatkan jenazahnya. Melihat itu Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
تُصَلِّي عَلَيْهَا يَا نَبِيَّ اللهِ وَقَدْ زَنَتْ؟ فَقَالَ: لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ قُسِمَتْ بَيْنَ سَبْعِينَ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ لَوَسِعَتْهُمْ، وَهَلْ وَجَدْتَ تَوْبَةً أَفْضَلَ مِنْ أَنْ جَادَتْ بِنَفْسِهَا لِلَّهِ تَعَالَى؟
“Wahai Nabi Allah, engkau menyalatkannya padahal dia telah berzina?”. Nabi menjawab: ‘Sunnguh, dia telah bertaubat kalau sekiranya taubatnya dibagi-bagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah, pasti taubatnya akan mencukupi mereka semua. Adakah taubat yang lebih utama daripada menyerahkan nyawa kepada Allah Ta’ala secara ikhlas?’.”([9])
Hadits ini menjelaskan bahwa taubat itu bertingkat-tingkat, akan tetapi taubat wanita Juhainah ini berada ditingkat yang tinggi, sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan bahwa jika taubat wanita tersebut cukup jika dibagi kepada tujuh puluh penduduk Madinah dan semuanya masuk surga. Ini menunjukkan bahwa bisa jadi amalan seseorang itu tidak banyak, namun kualitas amalannya sangat luar biasa di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Oleh karenanya jika seseorang menjadikan amalannya banyak dan berkualitas maka tentu itu jauh lebih luar biasa lagi, sebagaimana para salaf yang memperhatikan kualitas dan juga kuantitas amal-amal mereka. Akan tetapi yang lebih utama adalah kualitas, yaitu bagaimana seseorang beribadah kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dengan amalnya yang terbaik, yaitu yang paling ikhlas dan paling sesuai dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
_______________________
Footnote :
([1]) Lihat: Tafsir al-Qurthubi 18/206, Tafsir ibnu Katsir 8/176 dan Adwaaul Bayaan 8/228.
Jika kematian adalah perkara ‘adami (tidak ada) maka maksudnya kematian adalah hilangnya kehidupan. Sehingga antara kehidupan dan kematian hubungannya تَقَابُلُ الْعَدَمِ وَالْمَلَكَة (sebagaimana hubungan antara buta dan tuli). Adapun jika kematian adalah perkara wujudi (sesuatu yang ada) maka kematian adalah sesuatu sifat/kondisi yang muncul tatkala kehidupan sirna, dan bukan hanya sekedar hilangnya kehidupan. Sehingga hubungan antara kematian dan kehidupan adalah تَقَابُلُ الضِّدَّيْنِ (dua hal yang saling kontradiktif sebagaimana antara timur dan barat, namun keduanya adalah perkara yang ada)
Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa perselisihan apakah kematian adalah perkara yang wujud (ada) atau ádami (tidak ada) merupakan khilaf lafdziy (yaitu khilaf yang dari sisi pengungkapan saja). Karena pada hakikatnya kedua pendapat tersebut setuju bahwa yang namanya kematian adalah keluarnya ruuh dari jasad, atau perpindahan ruuh dari alam dunia menuju alam akhirat (Lihat Darú at-Taáarud, Ibnu Taimiyyah 2/383)
([2]) HR. Bukhari no. 4730 dan HR. Muslim no. 2849
([3]) Lihat: Tafsir Al-Baghawi 8/176, Ibnu Katsir 8/176 dan Tafsir As-Sa’diy hal.875.