1. سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَا فِى ٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
sabbaḥa lillāhi mā fis-samāwāti wa mā fil-arḍ, wa huwal-‘azīzul-ḥakīm
1. Telah bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
2. هُوَ ٱلَّذِىٓ أَخْرَجَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ مِن دِيَٰرِهِمْ لِأَوَّلِ ٱلْحَشْرِ ۚ مَا ظَنَنتُمْ أَن يَخْرُجُوا۟ ۖ وَظَنُّوٓا۟ أَنَّهُم مَّانِعَتُهُمْ حُصُونُهُم مِّنَ ٱللَّهِ فَأَتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا۟ ۖ وَقَذَفَ فِى قُلُوبِهِمُ ٱلرُّعْبَ ۚ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُم بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِى ٱلْمُؤْمِنِينَ فَٱعْتَبِرُوا۟ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَبْصَٰرِ
huwallażī akhrajallażīna kafarụ min ahlil-kitābi min diyārihim li`awwalil-ḥasyr, mā ẓanantum ay yakhrujụ wa ẓannū annahum māni’atuhum ḥuṣụnuhum minallāhi fa atāhumullāhu min ḥaiṡu lam yaḥtasibụ wa qażafa fī qulụbihimur-ru’ba yukhribụna buyụtahum bi`aidīhim wa aidil-mu`minīna fa’tabirụ yā ulil-abṣār
2. Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir di antara ahli kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran yang pertama. Kamu tidak menyangka, bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin, bahwa benteng-benteng mereka dapat mempertahankan mereka dari (siksa) Allah; maka Allah mendatangkan kepada mereka (hukuman) dari arah yang tidak mereka sangka-sangka. Dan Allah melemparkan ketakutan dalam hati mereka; mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang mukmin. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai wawasan.
3. وَلَوْلَآ أَن كَتَبَ ٱللَّهُ عَلَيْهِمُ ٱلْجَلَآءَ لَعَذَّبَهُمْ فِى ٱلدُّنْيَا ۖ وَلَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ عَذَابُ ٱلنَّارِ
walau lā ang kataballāhu ‘alaihimul-jalā`a la’ażżabahum fid-dun-yā, wa lahum fil-ākhirati ‘ażābun-nār
3. Dan jika tidaklah karena Allah telah menetapkan pengusiran terhadap mereka, benar-benar Allah mengazab mereka di dunia. Dan bagi mereka di akhirat azab neraka.
4. ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ شَآقُّوا۟ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ ۖ وَمَن يُشَآقِّ ٱللَّهَ فَإِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
żālika bi`annahum syāqqullāha wa rasụlahụ wa may yusyāqqillāha fa innallāha syadīdul-‘iqāb
4. Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka menentang Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa menentang Allah dan Rasul-Nya, Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
5. مَا قَطَعْتُم مِّن لِّينَةٍ أَوْ تَرَكْتُمُوهَا قَآئِمَةً عَلَىٰٓ أُصُولِهَا فَبِإِذْنِ ٱللَّهِ وَلِيُخْزِىَ ٱلْفَٰسِقِينَ
mā qaṭa’tum mil līnatin au taraktumụhā qā`imatan ‘alā uṣụlihā fa bi`iżnillāhi wa liyukhziyal-fāsiqīn
5. Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik.
6. وَمَآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْهُمْ فَمَآ أَوْجَفْتُمْ عَلَيْهِ مِنْ خَيْلٍ وَلَا رِكَابٍ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُسَلِّطُ رُسُلَهُۥ عَلَىٰ مَن يَشَآءُ ۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
wa mā afā`allāhu ‘alā rasụlihī min-hum fa mā aujaftum ‘alaihi min khailiw wa lā rikābiw wa lākinnallāha yusalliṭu rusulahụ ‘alā may yasyā`, wallāhu ‘alā kulli syai`ing qadīr
6. Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap apa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
7. مَّآ أَفَآءَ ٱللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ مِنْ أَهْلِ ٱلْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ كَىْ لَا يَكُونَ دُولَةًۢ بَيْنَ ٱلْأَغْنِيَآءِ مِنكُمْ ۚ وَمَآ ءَاتَىٰكُمُ ٱلرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَىٰكُمْ عَنْهُ فَٱنتَهُوا۟ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلْعِقَابِ
mā afā`allāhu ‘alā rasụlihī min ahlil-qurā fa lillāhi wa lir-rasụli wa liżil-qurbā wal-yatāmā wal-masākīni wabnis-sabīli kai lā yakụna dụlatam bainal-agniyā`i mingkum, wa mā ātākumur-rasụlu fa khużụhu wa mā nahākum ‘an-hu fantahụ, wattaqullāh, innallāha syadīdul-‘iqāb
7. Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.
8. لِلْفُقَرَآءِ ٱلْمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخْرِجُوا۟ مِن دِيَٰرِهِمْ وَأَمْوَٰلِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضْوَٰنًا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ
lil-fuqarā`il-muhājirīnallażīna ukhrijụ min diyārihim wa amwālihim yabtagụna faḍlam minallāhi wa riḍwānaw wa yanṣurụnallāha wa rasụlah, ulā`ika humuṣ-ṣādiqụn
8. (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.
9. وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلْإِيمَٰنَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِى صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّآ أُوتُوا۟ وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِۦ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُفْلِحُونَ
wallażīna tabawwa`ud-dāra wal-īmāna ming qablihim yuḥibbụna man hājara ilaihim wa lā yajidụna fī ṣudụrihim ḥājatam mimmā ụtụ wa yu`ṡirụna ‘alā anfusihim walau kāna bihim khaṣāṣah, wa may yụqa syuḥḥa nafsihī fa ulā`ika humul-mufliḥụn
9. Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung
10. وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلْإِيمَٰنِ وَلَا تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلًّا لِّلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
wallażīna jā`ụ mim ba’dihim yaqụlụna rabbanagfir lanā wa li`ikhwāninallażīna sabaqụnā bil-īmāni wa lā taj’al fī qulụbinā gillal lillażīna āmanụ rabbanā innaka ra`ụfur raḥīm
10. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”.
11. ۞ أَلَمْ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ نَافَقُوا۟ يَقُولُونَ لِإِخْوَٰنِهِمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ مِنْ أَهْلِ ٱلْكِتَٰبِ لَئِنْ أُخْرِجْتُمْ لَنَخْرُجَنَّ مَعَكُمْ وَلَا نُطِيعُ فِيكُمْ أَحَدًا أَبَدًا وَإِن قُوتِلْتُمْ لَنَنصُرَنَّكُمْ وَٱللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَٰذِبُونَ
a lam tara ilallażīna nāfaqụ yaqụlụna li`ikhwānihimullażīna kafarụ min ahlil-kitābi la`in ukhrijtum lanakhrujanna ma’akum wa lā nuṭī’u fīkum aḥadan abadaw wa ing qụtiltum lananṣurannakum, wallāhu yasy-hadu innahum lakāżibụn
11. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu”. Dan Allah menyaksikan bahwa Sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.
12. لَئِنْ أُخْرِجُوا۟ لَا يَخْرُجُونَ مَعَهُمْ وَلَئِن قُوتِلُوا۟ لَا يَنصُرُونَهُمْ وَلَئِن نَّصَرُوهُمْ لَيُوَلُّنَّ ٱلْأَدْبَٰرَ ثُمَّ لَا يُنصَرُونَ
la`in ukhrijụ lā yakhrujụna ma’ahum, wa la`ing qụtilụ lā yanṣurụnahum, wa la`in naṣarụhum layuwallunnal-adbāra ṡumma lā yunṣarụn
12. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka diperangi, niscaya mereka tidak akan menolongnya; sesungguhnya jika mereka menolongnya, niscaya mereka akan berpaling lari ke belakang; kemudian mereka tidak akan mendapat pertolongan.
13. لَأَنتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِى صُدُورِهِم مِّنَ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُونَ
la`antum asyaddu rahbatan fī ṣudụrihim minallāh, żālika bi`annahum qaumul lā yafqahụn
13. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. Yang demikian itu karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti.
14. لَا يُقَٰتِلُونَكُمْ جَمِيعًا إِلَّا فِى قُرًى مُّحَصَّنَةٍ أَوْ مِن وَرَآءِ جُدُرٍۭ ۚ بَأْسُهُم بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ ۚ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّىٰ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَعْقِلُونَ
lā yuqātilụnakum jamī’an illā fī quram muḥaṣṣanatin au miw warā`i judur, ba`suhum bainahum syadīd, taḥsabuhum jamī’aw wa qulụbuhum syattā, żālika bi`annahum qaumul lā ya’qilụn
14. Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.
15. كَمَثَلِ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ قَرِيبًا ۖ ذَاقُوا۟ وَبَالَ أَمْرِهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
kamaṡalillażīna ming qablihim qarīban żāqụ wa bāla amrihim, wa lahum ‘ażābun alīm
15. (Mereka adalah) seperti orang-orang Yahudi yang belum lama sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih.
16. كَمَثَلِ ٱلشَّيْطَٰنِ إِذْ قَالَ لِلْإِنسَٰنِ ٱكْفُرْ فَلَمَّا كَفَرَ قَالَ إِنِّى بَرِىٓءٌ مِّنكَ إِنِّىٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلْعَٰلَمِينَ
kamaṡalisy-syaiṭāni iż qāla lil-insānikfur, fa lammā kafara qāla innī barī`um mingka innī akhāfullāha rabbal-‘ālamīn
16. (Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) shaitan ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir, maka ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Rabb semesta Alam”.
17. فَكَانَ عَٰقِبَتَهُمَآ أَنَّهُمَا فِى ٱلنَّارِ خَٰلِدَيْنِ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَٰٓؤُا۟ ٱلظَّٰلِمِينَ
fa kāna ‘āqibatahumā annahumā fin-nāri khālidaini fīhā, wa żālika jazā`uẓ-ẓālimīn
17. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kekal di dalamnya. Demikianlah balasan orang-orang yang zalim.
18. يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ
yā ayyuhallażīna āmanuttaqullāha waltanẓur nafsum mā qaddamat ligad, wattaqullāh, innallāha khabīrum bimā ta’malụn
18. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
19. وَلَا تَكُونُوا۟ كَٱلَّذِينَ نَسُوا۟ ٱللَّهَ فَأَنسَىٰهُمْ أَنفُسَهُمْ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْفَٰسِقُونَ
wa lā takụnụ kallażīna nasullāha fa ansāhum anfusahum, ulā`ika humul-fāsiqụn
19. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.
20. لَا يَسْتَوِىٓ أَصْحَٰبُ ٱلنَّارِ وَأَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ ۚ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ هُمُ ٱلْفَآئِزُونَ
lā yastawī aṣ-ḥābun-nāri wa aṣ-ḥābul-jannah, aṣ-ḥābul-jannati humul-fā`izụn
20. Tidaklah sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni-penghuni jannah; penghuni-penghuni jannah itulah orang-orang yang beruntung.
21. لَوْ أَنزَلْنَا هَٰذَا ٱلْقُرْءَانَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَّرَأَيْتَهُۥ خَٰشِعًا مُّتَصَدِّعًا مِّنْ خَشْيَةِ ٱللَّهِ ۚ وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
lau anzalnā hāżal-qur`āna ‘alā jabalil lara`aitahụ khāsyi’am mutaṣaddi’am min khasy-yatillāh, wa tilkal-amṡālu naḍribuhā lin-nāsi la’allahum yatafakkarụn
21. Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
22. هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَٰلِمُ ٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ ۖ هُوَ ٱلرَّحْمَٰنُ ٱلرَّحِيمُ
huwallāhullażī lā ilāha illā huw, ‘ālimul-gaibi wasy-syahādah, huwar-raḥmānur-raḥīm
22. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
23. هُوَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْمَلِكُ ٱلْقُدُّوسُ ٱلسَّلَٰمُ ٱلْمُؤْمِنُ ٱلْمُهَيْمِنُ ٱلْعَزِيزُ ٱلْجَبَّارُ ٱلْمُتَكَبِّرُ ۚ سُبْحَٰنَ ٱللَّهِ عَمَّا يُشْرِكُونَ
huwallāhullażī lā ilāha illā huw, al-malikul-quddụsus-salāmul-mu`minul-muhaiminul-‘azīzul-jabbārul-mutakabbir, sub-ḥānallāhi ‘ammā yusyrikụn
23. Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
24. هُوَ ٱللَّهُ ٱلْخَٰلِقُ ٱلْبَارِئُ ٱلْمُصَوِّرُ ۖ لَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ يُسَبِّحُ لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۖ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
huwallāhul-khāliqul-bāri`ul-muṣawwiru lahul-asmā`ul-ḥusnā, yusabbiḥu lahụ mā fis-samāwāti wal-arḍ, wa huwal-‘azīzul-ḥakīm
24. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Asmaaul Husna. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan bumi. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Asbabun Nuzul dan Tafsir Surah Al-Hasyr
Surat Al-Hasyr adalah surat madaniyyah dengan kesepakatan para ulama([1]) dan surat ini berkisah tentang pengusiran Bani Nadhir dari kota Madinah dimana mereka terusir dari kota Madinah ke Khaibar. Adapun penamaan surat ini maka para ulama menjelaskan bahwa surat ini memiliki dua nama yaitu Surat Al-Hasyr dan Surat Bani Nadhir. Demikianlah Ibnu Abbas yang menamakan surat ini dengan nama yang kedua tersebut dimana beliau berkata:
قُلْ سُوْرَةُ النَّضِيْرِ
“Katakanlah Surat (Bani) Nadhir” ([2])
“Al-Hasyr” sendiri maknanya adalah pengusiran dan surat ini dinamakan demikian karena memang menceritakan tentang pengusiran Yahudi Bani Nadhir.
Keutamaan surat ini terdapat dalam beberapa hadits, di antaranya adalah riwayat Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ: “مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْحَشْرِ لَمْ يَبْقَ جَنَّةٌ وَلَا نَارٌ وَلَا عَرْشٌ وَلَا كُرْسِيٌّ وَلَا حِجَابٌ وَلَا السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالْأَرَضُوْنَ السَّبْعُ وَالْهَوَامُّ وَالرِّيْحُ وَالطَّيْرُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَالْجِبَالُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالْمَلَائِكَةُ إِلَّا صَلَّوْا عَلَيْهِ وَاسْتَغْفَرُوْا لَهُ فَإِنْ مَاتَ مِنْ يَوْمِهِ أَوْ لَيْلَتِهِ مَاتَ شَهِيْدًا”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda : “Barangsiapa yang membaca surat Al-Hasyr maka tidaklah tersisa satu makhluk pun, baik surga, neraka, arsy, kursiy, hijab, langit yang tujuh, bumi yang tujuh, serangga-serangga, angin, burung-burung, pepohonan, hewan-hewan, gunung-gunung, matahari, bulan dan para malaikat melainkan semuanya akan bershalawat kepadanya dan memintakan ampunan baginya dan jika ia meninggal pada hari itu atau pada malam itu niscaya akan dituliskan baginya sebagai mati syahid”([3])
Namun hadits ini adalah hadits yang dha’if. Demikian pula ada hadits dha’if yang lainnya dari Anas bin Malik:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “مَنْ قَرَأَ آخِرَ سُوْرَةِ الْحَشْرِ ” لَوْ أَنْزَلْنَا هَذَا الْقُرْآنَ عَلَى جَبَلٍ …” إِلَى آخِرِهَا- فَمَاتَ مِنْ لَيْلَتِهِ مَاتَ شَهِيْدًا”
Dari Anas bin Malik, ia berkata: Nabi ﷺ bersabda: “ Barangsiapa yang membaca akhir dari surat Al-Hasyr dari ayat “Seandainya Kami turunkan Al-Quran ini kepada gunung…” hingga akhir surat lalu ia mati pada hari tersebut maka ia mati dalam keadaan syahid”([4]),
Demikian juga dalam hadits dho’if yang lain Nabi ﷺ juga bersabda:
“مَنْ قَالَ حِينَ يُصْبِحُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ وَقَرَأَ ثَلَاثَ آيَاتٍ مِنْ آخِرِ سُورَةِ الْحَشْرِ وَكَّلَ اللَّهُ بِهِ سَبْعِينَ الْفَ مَلَكٍ يُصَلُّونَ عَلَيْهِ حَتَّى يُمْسِيَ وَإِنْ مَاتَ فِي يَوْمِهِ مَاتَ شَهِيدًا وَمَنْ قَرَأَهَا حِينَ يُمْسِي فَكَذَلِكَ”
“Barangsiapa yang mengucapkan ketika di pagi hari sebanyak tiga kali: “Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari godaan syetan yang terkutuk lalu membaca tiga ayat terakhir Surat Al-Hasyr maka Allah akan mewakilkan untuknya tujuh puluh ribu malaikat yang bershalawat (berdoa) untuknya hingga sore hari dan jika ia meninggal pada hari itu maka meninggal dalam keadaan mati syahid, dan barangsiapa yang membaca ketika sore hari juga akan mendapatkan balasan demikian”([5])
Oleh karena itu semua dalil yang berbicara tentang keutamaan membaca Surat Al-Hasyr semuanya adalah hadits yang dha’if. Akan tetapi secara umum surat ini tetap dikatakan mulia karena ia merupakan bagian dari ayat-ayat Al-Quran dan berlaku baginya keumuman hadits Nabi ﷺ:
مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ، وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa yang membaca satu huruf dari Al-Quran maka ia akan mendapatkan satu kebaikan dan satu kebaikan dilipat-gandakan menjadi sepuluh kebaikan…”.([6])
dapun sebab nuzul dari ayat ini adalah tentang kisah pengusiran Bani Nadhir, Nabi ﷺ ketika datang ke Madinah disana telah ada 3 suku besar dari kalangan Yahudi: Yang pertama adalah Bani Qainuqa’, yang kedua adalah Bani Nadhir dan yang ketiga adalah Bani Quraizhah yang mereka merupakan Yahudi yang berbeda jalur keturunan, sebagaimana telah diketahui bahwa Yahudi memiliki dua belas “Asbath” yakni jalur keturunan dan di antaranya adalah Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah namun mereka semua sama-sama merupakan keturunan Yahudi. Barangkali ada yang bertanya-tanya mengapa mereka tidak bergabung saja? Maka jawabannya memang mereka tidak bergabung karena mereka berbeda suku namun tetap mereka sama-sama keturunan Yahudi.
Tatkala Nabi ﷺ datang ke kota Madinah maka Nabi ﷺ membuat perjanjian dengan Yahudi yang dikenal sebagai “Watsiqatul-Madinah” atau disebut juga sebagai Piagam kota Madinah yang di dalam piagam tersebut terdapat kesepakatan antara penduduk kota Madinah yang isinya menyatakan kesepakatan mereka baik itu kaum muslimin, kaum musyrikin maupun kaum Yahudi untuk membela negeri tersebut. Jika ada yang menyerang dari luar maka mereka harus bersama-sama berinfak dan berjuang untuk melawan musuh tersebut dan mempertahankan kota tersebut. Hal ini disepakati oleh semuanya termasuk orang-orang Yahudi sehingga Nabi ﷺ hidup bersama orang-orang Yahudi dengan menghormati kondisi mereka, para orang Yahudi pun tetap menjalankan ibadah mereka sebagai orang Yahudi dan tidak diganggu oleh Nabi ﷺ dan beliau hanya mendakwahkan mereka agar mereka masuk Islam namun beliau tidak pernah melarang mereka untuk beribadah sesuai dengan ajaran agama mereka.
Nabi ﷺ berinteraksi dengan mereka, berjual-beli dengan mereka. Bahkan disana terdapat pasar yang bernama Pasar Bani Qainuqa’, dan biasa terjadi jual-beli disana dengan kaum muslimin. Hiduplah orang-orang Yahudi disana berdampingan dengan kaum muslimin di kota Madinah, namun akhirnya mereka yakni orang-orang Yahudi tersebut berkhianat. Dan yang pertama kali berkhianat adalah Bani Qainuqa’, dimana mereka berkhianat dan membatalkan perjanjian damai dengan Nabi ﷺ sehingga mereka diusir dari kota Madinah oleh Rasulullah ﷺ sehingga merekalah yang pertama keluar dari kota Madinah.
Pada tahun 2 Hijriyah terjadi perang Badar dan ketika itu kaum muslimin menang sehingga orang-orang Yahudi semakin percaya bahwa dia inilah Nabi yang kita tunggu-tunggu kehadirannya, buktinya adalah beliau berhasil memenangkan perang Badar karena alasan Yahudi tinggal di kota Madinah adalah karena mereka menunggu kedatangan Nabi yang terakhir, mereka sengaja tinggal di kota tersebut karena telah mengetahui hal ini, Allah berfirman tentang keadaan mereka:
يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ
“Mereka (orang-orang Yahudi) mengenalinya (Nabiﷺ) sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri” QS Al-Baqarah: 146.
Maka orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan yang mendetail tentang Nabi ﷺ seperti pengetahuan terhadap anak sendiri saking mendetailnya pengetahuan mereka. Bahkan mereka telah mengetahui dimana Nabi tersebut akan berhijrah sehingga mereka memilih kota Madinah sambil menunggu kedatangan Nabi terakhir untuk berhijrah. Namun ketika Nabi ﷺ telah berhijrah kesana, mereka tidak beriman kepada Nabi ﷺ karena ternyata Muhammad bukan dari kalangan Bani Isra’il dan ternyata beliau berasal dari bangsa Arab sementara orang-orang Yahudi adalah orang-orang yang fanatik dengan suku mereka, sedangkan keyakinan mereka adalah mereka saja suku yang diakui oleh Allah Ta’ala, adapun orang-orang selain mereka maka tidak ada yang diakui oleh Allah Ta’ala dan akan memasuki neraka Jahanam, seperti inilah keyakinan orang-orang Yahudi. Maka ketika keluar seorang Nabi terakhir tersebut mereka terpukul karena ternyata Nabi terakhir tersebut dari bangsa Arab.
Setelah selesai perang Badar yang dimenangkan oleh Nabi ﷺ maka Yahudi semakin yakin bahwa ini adalah Nabi yang ditunggu-tunggu namun tetap saja mereka tidak mau beriman. Ketika terjadi perang Uhud pada tahun ke 3 Hijriyah dimana Nabi ﷺ dan kaum muslimin mengalami kekalahan bahkan sampai 72 orang Sahabat yang mati syahid di jalan Allah maka banyak orang-orang Yahudi yang mulai berani menggangu Nabi ﷺ, pikir mereka sebagaimana Muhammad bisa kalah dari suku Quraisy maka ada kemungkinan kita bisa mengalahkannya bahkan memang pernah terjadi di kalangan Nabi-Nabi Bani Isra’il terdahulu ada yang berhasil dibunuh, Allah sebutkan dalam Al-Quran di antara keburukan orang-orang Yahudi:
وَقَتْلِهِمُ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Dan mereka (Yahudi) membunuh para Nabi dengan tanpa hak” QS An-Nisa: 155.
Jikalau ada Nabi yang tidak sesuai dengan hawa nafsu mereka maka mereka akan membunuh Nabi tersebut.
أَفَكُلَّمَا جَاءَكُمْ رَسُولٌ بِمَا لَا تَهْوَى أَنْفُسُكُمُ اسْتَكْبَرْتُمْ فَفَرِيقًا كَذَّبْتُمْ وَفَرِيقًا تَقْتُلُونَ
Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh (QS Al-Baqoroh : 87)
Begitu pula dengan Nabi Muhammad ﷺ, meksipun yahudi mengetahui bahwa beliau memang Nabi terakhir akan tetapi masih ada kemungkinan dia kalah dan ada kemungkinan ia mati meskipun Yahudi memang benar-benar telah mengetahui bahwa ia adalah Nabi. Demikianlah spekulasi orang-orang Yahudi, mereka berpikir bahwa beliau memang Nabi namun masih ada kemungkinan kalah buktinya adalah beliau kalah pada perang Uhud, dan mungkin saja mereka berhasil membunuhnya karena nyatanya di antara Nabi-nabi terdahulu ada juga Nabi-nabi yang berhasil dibunuh. Adapun perkara akhirat maka itu nanti urusan mereka dengan Allah, pokoknya mereka tidak mau beriman dengan Nabi ini. Orang-orang Yahudi memiliki keyakinan bahwa mereka pasti masuk surga walaupun tanpa beriman dengan Muhammad ﷺ dan hasad mereka sungguh luar biasa kepada kaum muslimin.
Ummul mukminin Shofiyyah binti Huyay radhiallahu ánhaa (yang ayah beliau Huyay bin Akthob adalah kepala suku bani Nadhiir) pernah berkata :
وَسَمِعْتُ عَمِّي أَبَا يَاسِرٍ، وَهُوَ يَقُولُ لِأَبِي حُيَيِّ بْنِ أَخْطَبَ: أَهُوَ هُوَ؟ قَالَ: نَعَمْ وَاَللَّهِ، قَالَ: أَتَعْرِفُهُ وَتُثْبِتُهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: فَمَا فِي نَفْسِكَ مِنْهُ؟ قَالَ: عَدَاوَتُهُ وَاَللَّهِ مَا بَقِيتُ
“Dan aku mendengar Abu Yasir pamanku berkata kepada Huyay bin Akhthob, “Apakah Muhammad itu adalah nabi yang kita tunggu-tunggu?”. Ayahku berkata, “Iya, demi Allah”. Pamanku berkata, “Apakah engkau sudah mengenalnya dan sudah memastikannya?”. Ayahku berkata, “Iya”. Pamanku berkata, “Bagaimana sikapmu terhadapnya?”. Ayahku berkata, “Memusuhinya, demi Allah selama hidupku” ([7])
Maka orang-orang Yahudi mulai berani mengganggu Nabi ﷺ hingga terjadi suatu kejadian “Bi`ir Ma’unah” (sumur Ma’unah) tatkala ada 70 orang Sahabat yang dipanggil untuk mengajar Al-Quran ternyata yang memanggil tersebut berkhianat dan berujung para Sahabat yang dipanggil tersebut akhirnya dibunuh.
Ketika itu ada 1 orang yang sempat lolos dari pembunuhan tersebut yaitu ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamariy, beliau berhasil kabur dan kembali ke kota Madinah. Ketika di perjalanan ia bertemu dengan dua orang kafir dari Bani ‘Amr atau Bani ‘Amir dan kedua orang kafir ini telah memiliki perjanjian damai dengan Nabi ﷺ. Akhirnya sahabat tersebut bertemu dengan dua orang kafir ini, maka ketika kedua orang kafir ini tertidur ia membunuh keduanya karena ia menyangka bahwa kedua orang ini termasuk dari golongan orang-orang yang telah membunuh 70 Sahabat tadi.
Lalu sahabat ini sampai di kota Madinah, ia pun melaporkan kejadian tersebut kepada Nabi ﷺ bahwasanya dia telah membunuh dua orang kafir namun Nabi ﷺ kemudian menegur sahabat tersebut bahwasanya kedua orang tersebut telah memiliki perjanjian damai dengan beliau dan tidak boleh untuk dibunuh karena meskipun mereka kafir akan tetapi mereka dari golongan kafir “mu’aahad” yang tidak boleh dibunuh yakni orang kafir yang telah memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin, adapun kafir yang boleh dibunuh hanyalah kafir “harbiy”.
Akhirnya Nabi ﷺ memutuskan untuk membayar diyat dua orang kafir yang terbunuh tersebut. Kabar wafatnya dua orang kafir tersebut sampai kepada suku mereka. Ketika Nabi ﷺ ingin membayarkan diyatnya sedangkan beliau dalam keadaan tidak memiliki harta, maka Nabi ﷺ ingin agar Bani Nadhir membantu membayarkan diyat dua orang yang terbunuh tadi. Hal ini karena keadaan Bani Nadhir yang memiliki banyak harta, bahkan mereka memiliki beberapa benteng dan mereka pun memiliki banyak kebun kurma. Lalu Nabi ﷺ pun menemui Bani Nadhir untuk meminta bantuan. Akan tetapi ketika Nabi ﷺ hendak datang kepada mereka untuk meminta bantuan dalam membayar diyat, orang-orang Yahudi tersebut ternyata sebalumnya telah rapat dan mereka bersepakat untuk membunuh Nabi ﷺ dengan cara menyiapkan satu orang untuk membawa “rahaa” (yakni alat untuk menggiling gandum yang terbuat dari batu). Orang tersebut dipersiapkan di bagian atas rumah untuk melemparkan “rahaa” (batu penggilingan) ke arah Nabi ﷺ sehingga beliau mati. Lalu datanglah Nabi ﷺ namun rencana busuk pembunuhan tersebut digagalkan oleh Jibril, sehingga Nabi ﷺ pun tidak jadi meminta bantuan dari mereka bahkan beliau bersiap untuk menyerang mereka karena mereka telah membatalkan perjanjian dengan rencana pembunuhan tersebut.
Lalu Nabi ﷺ datang menyerang mereka dengan membawa pasukan lengkap. Ketika Nabi ﷺ datang mereka ketakutan dan masuk ke dalam benteng-benteng mereka dan mereka ingin kembali berdamai dengan Nabi ﷺ, namun ternyata Nabi ﷺ memberikan mereka tempo selama sepuluh hari agar mereka keluar, jikalau mereka tidak keluar maka mereka akan diperangi. Ketika mereka telah bersikap untuk keluar dari kota Madinah, datanglah orang-orang munafik yang diketuai oleh Abdullah bin Ubay bin Salul menemui orang-orang Yahudi dan membujuk mereka agar tidak keluar dari kota Madinah dan mengatakan bahwa orang-orang munafik ini berjumlah sekitar dua ribu orang atau bahkan lebih. Orang-orang munafik berjanji akan membantu mereka dan mereka mengajak untuk melawan Nabi ﷺ dan pasukannnya. Kaum munafik berkata, “Jikalau kalian berperang niscaya kami akan perang bersama kalian dan kalaulah kalian terusir maka kami pun akan ikut terusir bersama kalian”. Demikian bujuk orang-orang munafik dan perkataan orang-orang munafik ini Allah abadikan di akhir Surat Al-Hasyr dimana mereka berkata manis di hadapan orang-orang Yahudi. Ketika orang-orang Yahudi mendengar janji yang diucapkan oleh orang-orang munafik maka orang-orang Yahudi pun bertahan di kota Madinah dan mereka bersikap untuk perang. Mulailah terjadi awal peperangan antara Yahudi melawan Nabi ﷺ dan Nabi ﷺ mulai menyerang mereka dengan membakar kebun-kebun kurma orang Yahudi dan mereka pun menjadi ketakutan. Akhirnya mereka menyerah dengan cara mengirimkan surat kepada Nabi ﷺ dan urunglah terjadi peperangan karena memang Allah lemparkan rasa takut di dalam diri mereka di awal peperangan sehingga Nabi ﷺ pun mengusir mereka. Karenanya surat yang menceritakan peristiwa ini disebut dengan al-Hasyr, karena “al-Hasyr” artinya adalah pengusiran.
Intinya Yahudi (bani Nadhiir) pun akhirnya terusir dari kota Madinah, sebagian mereka mengungsi ke Syam dan sebagian lagi pergi ke Khaibar. Di antara yang pergi ke Khaibar adalah Huyay bin Akhthob yang merupakan ayah dari Shafiyyah sekaligus pemimpin dari bani Nadhiir. Karenanya Shofiyyah disebutkan dalam biografi beliau dengan Shafiyyah bintu Huyay An-Nadhiriyyah yang menunjukkan bahwa beliau dari kabilah Bani Nadhir.
Ketika mereka keluar dari kota Madinah Nabi ﷺ mengizinkan mereka untuk membawa barang-barang mereka yang bisa dibawa satu ekor unta. Mereka diperbolehkan untuk membawa apa saja apakah berwujud emas atau perak atau benda-benda lainnya selain senjata. Dan tiap keluarga hanya diperbolehkan membawa bawaan (pikulan) satu ekor unta. Saat pengusiran tersebut mereka membawa apa yang bisa dibawa bahkan mereka membongkar rumah-rumah mereka agar bisa dibawa kayu-kayunya bersama mereka dan membuat rumah yang baru dan mereka pikulkan di atas unta-unta mereka dan mereka pun pergi meninggalkan kota Madinah. Inilah sebab nuzul dari Surat Al-Hasyr yang maknanya adalah “Pengusiran” karena berisi tentang pengusiran Bani Nadhir dari kota Madinah dan dinamakan juga sebagai Surat Bani Nadhir. ([8])
______________
Footnote:
([1]) Tafsir Al-Qurthubiy: 18/ 1.
([2]) HR Al-Bukhari no 4029 dan Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 266 dan disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 1.
([3]) Atsar ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 266 dan disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 1.
([4]) Atsar ini diriwayatkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 289 dan disebutkan oleh Imam Al-Qurthubiy dalam tafsirnya: 18/ 49.
([5]) HR Ahmad dalam Musnadnya no 20306, Ad-Darimiy dalam Sunannya no 3468, At-Tirmidziy dalam Sunannya no 2922 dan beliau berkata, “Hadits ini gharib, kami tidak mengetahui kecuali dari jalan ini”, dan disebutkan oleh Ats-Tsa’labiy dalam Tafsirnya: 9/ 289 . Sanadnya dha’if karena adanya rawi yang bernama Khalid bin Thahman, ia didha’ifkan oleh Imam Yahya bin Ma’in.
([6]) HR At-Tirmidziy dalam Sunannya no 2910 dan beliau berkata: Hadits hasan shahih gharib dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albaniy, beliau berkata dalam Silsilah Shahihah no 660: sanadnya jayyid .
([7]) Siroh Ibni Hisyaam 1/519 dari Muhammad bin Ishaaq dalam sirahnya, dan dari jalur Muhammad bin Ishaaq Abu Nuáim (Dalail an-Nubuwwah no 37) dan Al-Baihaqi (Dalaail an-Nubuwwah 2/533) meriwayatkan. Sanadnya dikatakan kuat oleh As-Shouyani dalam kitabnya As-Shahih min Ahaadiits As-Siirah an-Nabawiyah (hal 170) karena ada syahidnya dari jalan Ibnu Syihab Az-Zuhri di Dalaail An-Nubuwwah, al-Baihaqi (2/532).
([8]) Lihat Tafsir Ath-Thabariy: 23/ 259, Tafsir Ibnu Katsir: 8/ 57-58 dan Tafsir Ibnu ‘Asyur: 28/ 66-68.