16. وَأَمَّآ إِذَا مَا ٱبْتَلَىٰهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُۥ فَيَقُولُ رَبِّىٓ أَهَٰنَنِ
wa ammā iżā mabtalāhu fa qadara ‘alaihi rizqahụ fa yaqụlu rabbī ahānan
Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”.
Tafsir Surat al-Fajr Ayat-16
Para ulama memberikan kaedah, jika disebutkan kata الْإِنسَانُ di dalam surat makiyyah maka itu maksudnya adalah orang kafir, kecuali ada dalil yang memalingkannya. Bahkan sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa kedua ayat ini turun tentang Umayyah bin Kholaf al-Jumahi (Lihat Tafsir As-Sm’aani 6/221)
Dua ayat ini adalah gambaran pola pikir orang kafir, jika diberi rezeki mereka merasa dimuliakan tetapi jika rezekinya disempitkan mereka merasa dihinakan. Mereka menjadikan barometer pemuliaan dan penghinaan pada harta. Adapun orang beriman tidaklah demikian, orang beriman akan merasa dimuliakan jika diberi taufik untuk beribadah kepada Allah. Mereka menjadikan barometer pemuliaan dengan ketaatan dan barometer penghinaan dengan kemaksiatan. (Lihat Tafsir As-Sama’aani 6/221 dan Tafsir Al-Qurthubi 8/421) Jika dia rajin shalat, rajin bershadaqah, rajin beribadah, itu artinya Allah memuliakannya. Namun jika dia malas beribadah, maka Allah telah menghinakan dia. Dan demikianlah musibah yang sebenarnya, tatkala seseorang terjauhkan dari ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdoa:
وَلَا تَجْعَلْ مُصِيبَتَنَا فِي دِينِنَا
“Ya Allah, Janganlah Engkau jadikan musibah yang menimpa kami dalam urusan agama kami.” (HR Tirmidzi no.3502)